Sabtu, 14 Februari 2009

Kearifan Lokal dalam Komunikasi

Seri tulisan Catatan FGD
Penelitian Promosi Perdamaian di Kalimantan Barat

Kesimpulan lengkap dari hasil penelitian ini sudah diterbitkan dalam Alpha Amirrachman (ed).2007. "Revitaslisasi Kearifan Lokal" yang diterbitkan oleh ICIP dan EU, Jakarta.

Pendahuluan
Meskipun diperlukan pengkajian yang lebih baik untuk memberikan penafsiran dan pemaknaan yang tepat dengan istilah kearifan lokal (local wisdom), namun dapat dipastikan bahwa istilah tersebut menggambarkan pada sesuatu yang dianggap baik, di sepakati sebagai nilai – nilai luhur dan dijadikan aturan dan norma dalam masyarakat lokal. Oleh karenanya batasan wilayah, masyarakat, agama, adat dan etnis dengan sendirinya menjadi batasan nilai – nilai kebajikan yang disebut kearifan lokal (local wisdom) itu.
Dengan kata lain, setiap komunitas (etnis, agama, daerah) tersebut pasti memiliki nilai – nilai luhur tertentu yang dipandang baik, dijadikan aturan dan norma sosial, minimal dalam komunitas itu sendiri. Nilai – nilai inilah yang mengikat masyarakat dalam komunitas tertentu dengan damai, harmonis, bersahabat, saling menghargai dan menghormati, saling membantu satu sama lain, bahkan turut menciptakan peradaban dalam sejarah komunikasi sosial manusia. Kenyataan ini mesti disadari sebagai salah satu kekuatan alamiah yang tumbuh dari dan untuk masyarakat itu sendiri. Karenanya, kekuatan ini sangat baik dan penting untuk diperkuat kembali posisinya dalam rangka mewujudkan kedamaian dalam hubungan sosial, di samping penegakan hukum positif dan managemen penyelenggaraan pemerintahan nasional.
Upaya menggali kearifan lokal dalam masyarakat untuk membangun harmonisasi dalam komunikasi dan hubungan sosial mendapat sambutan yang antusias dari berbagai elemen masyarakat etnis dan agama. Ini terlihat dari kesepahaman mereka dalam melihat kearifan lokal untuk kedamaian dalam masyarakat, yang sesungguhnya ada dalam setiap etnis, berikut kesimpulan pernyataan :
“Setiap etnis memiliki kearifan lokal, baik dalam bentuk pantun, pepatah, pribahasa, ungkapan, adat istiadat dsb (Yusriadi, Suriyanto, Hermansyah & Albertus). Sebagai contoh etnis melayu (umumnya) mempunyai pepatah “di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung” . ungkapan ini sangat populer dalam masyarakat Melayu Kalimantan Barat sebagai keharusan untuk menghormati tata krama, adat istiadat, nilai – nilai anutan dan budaya setempat. Dalam etnis Tionghoa Kalbar juga dikenal ungkapan – pepetah – pribahasa “ jip kang sui suan, jip koi sui nyak” yang artinya kira – kira “ jika masuk sungai harus sesuai belokannya, masuk kampung harus sesuai adat setempat” (Suriyanto). Ungkapan ini juga mengandung pilosofi komunikasi yang saling menghargai, menghormati dan menjunjung perbedaan dalam masyarakat”.

Bagian dari kearifan lokal yang harus dipahami oleh setiap kita dalam menciptakan dan memelihara kedamaian dalam komunikasi dan hubungan sosial adalah kemampuan untuk memahami diri kita sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada yang dilebihkan satu dengan yang lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah adat, baik dalam bentuk kebiasaan yang ada dalam masyarakat maupun sebagai hukum yang dipatuhi. Sebagai sebuah kebiasaan, ia senantiasa hidup dalam diri dan hubungan sosial masyarakat adat, akan tetapi sebagai hukum yang dipatuhi, adat merupakan kesepakatan yang ditegakkan melalui lembaga adat. Karenanya adat suatu masyarakat (etnis, agama dll) mungkin saja – bahkan pasti memiliki perbedaan dengan masyarakat (etnis, agama) lainnya. Di sinilah kita mesti kembali ke konsep dasar manusia dan fitrah sosialnya. Pernyataan ini dapat dilihat dalam ungkapan salah satu narasumber diskusi yang berasal dari etnis Tionghoa (Suryanto) :
“Saya kira saya akan memulai dengan pendapat saya bahwa kita ini harus meluruskan pandangan kita dulu terhadap sesama. Bagi saya, kita perlu menekankan bahwa kita harus memandang orang lain sebagai ciptaan, atau sebagai manusia. Pandanglah orang lain itu sebagai manusia. Toleransi adalah yang penting, pandangan parsial itu harus disigkirkan. Kalau ini bisa dimasyarakatkan pada setiap orang di sekitar kita, saya yakin konflik tidak akan berlarut larut dan akan cepat diselesaikan.
Mengenai kearifan lokal, sebaiknya kita merangsang para pemimpn kita, baik di lingkungan pemerintah maupun di ligkungan kelompok masyarakat kita untuk memulai memberikan contoh dan memulai untuk mempraktekannya agar masyarakat meniru. Dengan dimulai dari contoh para pemimpin itu, maka masyarakat akan segera meniru mereka untuk hal-hal yang positif. Dalam tradisi masyarakat Tionghoa ada juga semboyan hidup yang hampir sama maknanya dengan yang dimiliki oleh orang Melayu, dimana bumi dipijak, disitu langit dijujung. Begini bahasa Cinanya, ini dalam bahasa Cina Tou Chu, Jip Kang Sui Swan, Jip Koi Sui Nyak. Artinya dalam Bahasa Indonesia adalah: Masuk ke sungai harus mengikuti arah belokan sungai itu, masuk kampong harus mengikuti adat yang berlaku disitu. Ini saya kira bisa berlaku untuk siapa saja, kalau seseorang bisa melakukan ini, saya yakin masyarakat kita akan selalu berdamai. Dalam kata lain, prinsip hidup ini dapat diadopsi di manapun kita berada dan oleh siapapun.
Berbicara mengenai konflik, di Kalbar ini konflik yang terjadi adalah karena kepentingan kepentingan tertentu. Masalah kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan itu kemudian dibesar-besarkan dan menjadi alat kepentingan yang melebar mejadi luas. Kepentingan tertentu inilah yang membuat konflik menjadi besar dan melibatkan orang banyak. Kalau saja semua masyarakat kalbar melaksanakan dengan benar pepatah kita tadi, pasti konflik itu segera bisa diatasi dan tidak menjadi besar”.

Yang menjadi persoalan lebih lanjut, hukum adat tidak hanya tidak di tegakkan secara benar, bahkan dimanipulasi oleh berbagai kepentingan, termasuk oleh elit komunitas itu sendiri. Sehingga jadilah seakan –akan hukum adat tidak baik, tidak adil, dan mesti dihilangkan. Di sisi lain, hukum positif sebagai bagian dari konsekuensi sebuah negara berdaulat juga tidak bisa di jalankan dengan baik dan benar, penegakan hukum lemah, tidak jarang hukum diterapkan dengan pandang bulu. Sementara itu dengan alasan hukum positif, hukum adat dibatasi bahkan tidak diakui otoritas. Akibatnya adalah masyarakat krisis hukum, mereka kehilangan otoritas nilai – nilai yang dijadikan anutan, pedoman bahkan pandangan hidup dan regulasi sosial. Jadilah masyarakat hidup dalam krisis hukum, kepercayaan, yang berujung pada upaya menciptakan hukum dan aturan sendiri, main hakim sendiri, dan menyelesaikan persoalan dengan cara sendiri pula. Oleh karenanya hukum adat sebagai salah satu kearifan lokal patut untuk diperhatikan dan diangkat kembali dalam upaya membangun dan memelihara kedamaian dan mencegah konflik. Ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh salah satu narasumber dari etnis Melayu (Hermansyah) berikut ini :
“Pemberlakuan hukum adat menurut saya juga sebuah solusi yang tepat, karena hukum adat terdapat di setiap daerah. Jika setiap daerah memberlalukan itu dengan benar, maka pelanggaran-pelanggaran yang merupakan sebab terjadinya konflik bisa dipangkas segera. Hukum adat harus ditegakkan dan diundangkan sebagai hukum yang mengikat. Paling tidak, hukum adat sangat tepat untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran sosial dan mencegah terjadinya konflik berkepanjangan.
Pertanyaan yang muncul adalah, hukum adat sekarang tidak bisa ditegakkan karena tidak dipatuhi oleh masyarakatnya. Ini mesti dicari jawabannya, mengapa? Salah satu sebabnya adalah bahwa hukum adat dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia pernah tidak diakui sebagai hukum yang berlaku. Nah ini lah yang membuat hukum adat tidak dipatuhi oleh masyarakat dalam beberapa kurun waktu. Kalau pada masa terjadinya konflik, hukum positif juga tidak mampu menyelesaikan persoalan, maka bagaimana masyarakat akan merasa aman dengan hukum positif. Pangkal pemicu konflik justru ada pada kelemahan hukum positif kita dalam menangani kasus konflik kecil itu. Nah kalau hukum adat bisa ditegakkan dan dapat mengikat para anggota masyarakatnya, maka kasus-kasus perselisihan akan dapat diselesaikan cepat, dan tidak akan mengarah pada konflik masal”.

Begitu pentingnya peran kearifan lokal yang ada dalam masyarakat kita untuk membangun kedamaian dan mencegah konflik sosial dalam masyarakat sebagaimana dalam pengalaman sosial di kalbar, juga diungkapkan oleh seorang ilmuan dan aktivis Dayak Kalbar (Albertus) sebagai berikut :
“Sebagai sebuah alternatif, saya sangat senang ketika diskusi ini mengangkat masalah kearifan lokal. Saya justru benar-benar tersentak ketika memikirkan bahwa kearifan lokal yang kita miliki ini saya pikir dapat berfungsi dengan baik. Ini sebuah potensi positif. Hukum Adat menurut saya menjadi sebuah alternatif untuk ini. Inti persoalan kita sebenarnya adalah masyarakat kita menghendaki keadilan dalam semua hal. Mereka juga menghendaki perdamaian dan hidup tenang. Hukum positif pada saat konflik tidak mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul karena tidak ditegakkan. Hukum adat ini jika ditegakkan akan mampu menjawab dan memberikan keadilan bagi masyarakatnnya. Mengapa? Karena Hukum adat itu sendiri mengikat pada masyarakat adatnya untuk mematuhinya. Hukum adat ini juga bisa mengatasi perselisihan dan memberikan keadilan dalam pembagian aset sumberdaya alam yang menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat kita. Hukum adat ditegakkan dan diundangkan sebagai hukum yang berlaku di wilayah sesuai dengan daerah wilayah adatnya akan menjadi sebuah solusi yang paling menarik”.

Persoalan lainnya yang juga penting dilihat dalam kontek pemberdayaan hukum adat sebagai kearifan lokal yang dipandang mampu mengawali proses mewujudkan kedamaian dalam hubungan sosial dan komunikasi antar masyarakat adalah pada wilayah pemberlakuannya, selain penegakan hukum itu sendiri. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh salah satu tim lapangan (Juani) berikut ini :
”Saya baru pulang dari kampung dan bertemu tokoh adat Dayak. Ada beberapa hal yang pelu saya sampaikan disini. Sebenarnya Adat Dayak dikampung itu hanya untuk orang Dayak saja dan kalau orang lain datang di kampung ini maka mereka harus mengikuti adat di sini. Sebenarnya hukum adat Dayak itu sangat perlu diterapkan di sini, tapi hukum adat yang benar. Masalahnya sekarang adat itu bisa diperjual-belikan. Ada orang kampung yang semaunya saja mengatas-namakan adat untuk mencari uang. Inilah yang merusak adat itu sendiri. Orang Dayak sendiri sangat tidak suka dengan konflik. Maka mereka menginginkan berlakunya hukum adat Dayak dengan benar agar tidak ada konflik. Inilah sebenarnya yang merak inginkan. Mengenai mangkok merah dan Tariu, ini saya dapatkan langsung dari kepala adat di kampung saya tadi. Mangkok merah itu menjadi simbol persatuan orang Dayak. Kalau mereka sudah melihat Mangkok merah, maka mereka harus bersatu dan siap melawan musuh. Mangkok merah itu terdiri dari mangkok, bulu, dan abu. Maknanya mangkok merah sebagai sebuah wadah untuk bersiap-siap melawan musuh, bulu ayam melambangkan agar pesan itu disampaikan kepada seluruh orang Dayak secepat mungkin, dan bara api itu artinya untuk penerangan. Tali kepuak sebagai pengikat semua bahan tadi sebagai simbol persatuan seluruh orang Dayak”.


Hal senada juga diungkapkan oleh narasumber lainnya (Subro), yang menyebutkan bahwa Madura sebagaimana etnis lainnya di Kalbar juga memiliki kearifan lokal yang mengandung nilai–nilai/pesan–pesan damai, menyejukkan dan penuh keramahan. Kalau dalam etnis Melayu ada kearifan lokal pantun, etnis Madura juga memiliki lagu–lagu/nyanyian–nyanyian yang mengandung pesan damai, berikutnya pernyataannya :
”Dalam menyikapi kondisi ini, saya kira kearifan lokal yang sudah disebut tadi sangat menarik untuk difungsikan kembali. Saya melihat tradisi pantun oleh orang Melayu itu sebagai tradisi sebagai rumpun. Dalam masyarakat kami yang keturunan Madura itu juga memiliki lagu-lagu yang kalau kita kaji berfungsi seperti pantun dalam masyarakat Melayu. Ini sangat baik untuk membantu memahami budaya lain dan meningkatkan hubungan antar kelompok masyarakat. Ini bisa juga untuk menangkal ”ketamakan“ yang mungkin tadi disebut sebagai kapitalisme. Saya yakin benar bahwa konflik yang terjadi di kalbar ini adalah karena ketamakan-ketamakan itu. Kalau kita belajar dari kehidupan orang-orang keturunan Madura yang hidup berdampingan dengan damai bersama orang Dayak di daerah Korek & Retok di Sungai Ambawang dan sekitarnya itu, sebenarnya kita tidak perlu khawatir dengan konflik lagi kedepan. Justru isu etnis yang sekarang marak itu digunakan orang dan mampu untuk meningkatkan bargaining position dalam perpolitikan mereka. Sebagai contoh saja banyak elite dari tokoh etnis Dayak, Madura, dan Melayu yang menggunakannya dalam pilkada, mereka bisa menghakimi bahwa sesuatu itu karena etnis tertentu, atau mereka masih memiliki budaya superioritas sehingga memperjuangkan etnisnya-lah yang harus memimpin daerah ini. Saya kira Gerry Van Klinken (Peneliti) sudah membuat pemetaan elite etnis yang tepat dalam kancah perpolitikan Kalbar ini. Konflik-konflik itu pada hakikatnya adalah konflik yang disimbolkan, konflik yang melibatkan orang yang pakai clurit dan pakai mandau maka disebutlah konflik Dayak dan Madura. Padahal sesungguhnya konflik itu hanya konflik antara seorang Madura dan Seorang Dayak. Stereotip terhadap Suku dan etnis ini juga yang menjadi sebab meluasnya konflik menjadi besar” .

Di antara kearifan lokal lainnya yang menarik untuk dikaji adalah tradisi tutur atau cerita pada masyarakat pedalaman Kalbar. Dimana dalam tradisi tutur dan cerita tersebut banyak sekali terkandung nilai–nilai/pesan–pesan kedamaian, keindahan dan harmonisasi hubungan sosial. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang narasumber FGD yang berasal dari etnis Melayu dan peneliti pada Pusat Bahasa Kalimantan Barat. Beliau (Dedi Ari Aspar) memberi pandangan sebagai berikut :
”Konflik terjadi di Kalbar ini juga karena hukum memberi ruang kepada konflik untuk terjadi, dalam arti hukum tidak ditegakkan sehingga masalah kecil bisa menjadi masalah besar. Ini saya kira sudah dibicarakan teman-teman semua.
Satu hal lagi yang menjadi masalah dalam kepemimpinan daerah ini adalah bahwa ketokohan, atau leadhership kita sangat lemah. Tradisi ketokohan kita telah merosot karena selama orde baru tokoh-tokoh politik didominasi oleh militer dan dipilih oleh pemerintah. Kanyataan ini menimbulkan pengaruh pada tokoh-tokoh kita saat ini. Mereka itu ada yang benar-benar tokoh, tapi banyak juga yang menokohkan diri sehingga tidak berbasis pada masyarakat. Saya kira kita punya masalah serius dalam leadhership ini. Pemberlakuan adat akan efektif kalau didukung oleh ketokohan yang berbasis pada masyarakat adat itu. Saya kira karifan lokal atau local leadhership ini yang perlu dikuatkan kembali.
Kearifan lokal lainnya yang sangat menarik untuk dikembangkan adalah tradisi tutur atau cerita di kalangan masyarakat Kalbar. Tradisi ini sangat penting dan efektif dalam pembelajaran masyarakat yang tidak hanya pada sejarah, budaya, dan tradisi mereka, tetapi juga etika dan prilaku sehari-hari dalam berhubungan dengan orang lain, dan masyarakat umum. Bagaimana menghargai dan menghormati orang lain sangat ditekankan dalam tradisi tutur ini. Dalam penelitian saya, tradisi tutur ini bertujuan untuk mendidik anak, dan masyarakat untuk belajar menciptakan kedamaian dalam kehidupan mereka. Masalahnya sekarang adalah bahwa tradisi lisan itu sudah mulai pudar digantikan oleh tradisi baru menonton TV. Pengaruh TV ini sekarang mendominasi tradisi cerita itu. Cerita sudah tidak lagi lewat lisan, tetapi sudah divisualisasi. Pengaruh Modernisasi dan budaya global menjadi sulit dihindarkan. Tetapi saya yakin budaya lisan pun sangat efektif jika difungsikan lagi dengan bentuk yang disesuaikan dengan kondisinya“ .

Dari sisi yang sedikit berbeda Direktur Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB) Dr. Yusriadi melihat bahwa pada dasarnya setiap kita memiliki kearifan lokal masing–masing, hanya saja persoalannya kita tidak saling tahu dan mengenal kearifan lokal tersebut. Akibatnya tentu saja tidak mampu untuk saling memahami dan menghormatinya sebagai tata aturan hidup dan hubungan sosial yang damai dan harmonis. Karena itu diperlukan komunikasi yang intensif antarkomunitas untuk saling memahamkan kearifan lokal tersebut. Dalam hal ini media masa bisa difungsikan sebagai sosialisasi dan komunikasi kearifan lokal tersebut. Berikut petikan pernyataannya :
“Saya yakin bahwa kita memang memiliki kerifan lokal, bahkan banyak. Tapi yang penting sekarang adalah bagaimana mengkaji itu dengan baik, dan mempublikasikan atau mengkomunikasikannya. Maka media harus difungsikan untuk tujuan ini. Media harus bisa diperankan sebagai alat untuk menunjukkan dengan benar kearifan lokal ini. Sebagai contoh kearifan lokal mengayau. Media harus bisa menjelaskan apa dan bagaimana mengayau itu sehingga orang tau dan bisa mengambil kesimpulan yang benar. Saya kira media membutuhkan para peneliti untuk itu dalam fungsinya untuk memperkenalkan dan menjelaskan kearifan lokal yang kita miliki“.

Bagian dari hal yang harus dipahami dalam rangka mengangkat kearifan lokal dalam upaya menciptakan dan memelihara kedamaian dalam hubungan sosial masyarakat adalah perbaikan konsepsi dalam memandang manusia itu sendiri. Sekretaris Majlis Agama Konghuchu Indonesia (TAMAKIN) mengungkapkan hal itu dalam diskusi penelitian:
“Saya ingin menegaskan kembali bahwa kita perlu kembali pada penciptaan manusia. Ini sangat penting karena kita perlu mimikirkan bahwa kita memang tidak pernah bisa meminta dimana kita akan diciptakan. Saya tidak pernah minta untuk lahir sebagai orang Tionghoa. Dan saya yakin saudara sekalian juga demikian. Poin saya adalah bagaimana kita bisa bersatu dalam perbedaan. Bahwa perbedaan itu adalah memang sebuah takdir Tuhan. Kita tidak mungkin bisa menghilangkan perbedaan itu. Maka bersatu dalam perbedaan adalah sesuatu yang harus dilakukan.
Mengenai hukum adat, saya setuju bahwa adat itu untuk diterapkan. Adat itu mengikat pada masyarakat yang bersangkutan. Adat pasti baik dan dijalankan dengan baik, jangan menyimpang dari yang ada. Hukum adat dalam sejarahnya telah menyumbangkan banyak sekali dalam pembuatan hukum positif. Sumbangan itu sangat penting. Oleh karena itu yang penting adalah menegakkan hukum yang setegas-tegasnya. Tujuan adat itu kan mengembalikan kepada semula, dengan sanksi-sanksinya itu. Jadi, jika seseorang melanggar adat maka dia harus diadat supaya dia kembali semula dan menjadi baik. Untuk itu, saya percaya bahwa jika pelaksaan adat istiadat ini dicontohkan oleh para pemimpin kita, di mana saja, dari suku apa saja, dan dari agama apa saja, maka ini akan berhasil. Dan contoh teladan dari pimpinan ini akan ditiru oleh masyarakat. Saya yakin ini akan sangat baik dan efektif dalam membantu meningkatkan ketentraman dan perdamaian antara anggota masyaraat Kalimantan Barat ini.
Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa untuk memulai itu semua, kita harus mulai dari diri sendiri. Kita harus menjalankan adat kita sendiri yang baik. Jika kita sudah memandang orang lain dan memperlakukan orang lain sebagai manusia, dimulai dari diri sendiri, maka ini akan ditiru oleh masyarakat”.

Kedepan, pemberlakuan hukum adat sebagai bentuk kearifan lokal yang cukup efektif dalam mengawal kedamaian dalam hubungan masyarakat mesti disesuaikan dengan konteks dan wilayah keberlakuannya sehingga tidak dikhawatirkan justru menjadi pemicu konflik baru. Harapan ini paling tidak terungkap dari pernyataan dua orang narasumber (Hermansyah dan Subro) berikut ini :
”Saya kira pelaksanaan adat itu sangat baik. Tadi yang menjadi masalah adalah mengapa adat tidak efektif itu karena adat tidak diperlakukan pada konteksnya. Menurut saya adat itu sangat baik untuk solusi ini, tapi harus diberlakukan pada konteksnya. Adat yang dijalankan tidak pada konteksnya itulah yang akan menjadi masalah dan konflik. Ini misalnya terjadi atas kesewenang-wenangan oknum tertentu dalam melaksanakan adat itu sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang adat. Ini yang harus dihindari. Dan ini bisa dipecahkan dengan mengundangkan hukum adat itu. Jadi hukum adat itu punya teritori sendiri dan hanya mengikat pada wilayah adat itu. Mengacu pada dalil yang ada dalam Islam bahwa adat itu hukum yang belum diundangkan, dan jika diundangkan menjadi syari’at maka itu harus dipatuhi. Jadi adat itu harus dihukumkan dulu” (Hermansyah).

”Tentang Adat, saya setuju bahwa adat adalah salah satu kearifan lokal yang sangat tepat untuk membantu memecahkan masalah ini tetapi yang perlu ditekankan bahwa adat itu punya teritori masing-masing. Jadi pelaksanaanya sesuai dengan teritori dari wilayah hukum adat itu sendiri. Adat itu mengikat pada masyarakatnya, dan siapa yang datang pada wilayah adat itu. Dan ini sangat bagus saya kira. Nah, saya setuju dengan Bang Hermansyah tadi bahwa adat itu harus dihukumkan dulu untuk dipatuhi sebagai hukum. Dan saya mengakui bahwa adat telah mampu mencegah kerusuhan yang lebih parah di masa konflik dulu. Ini saya kira bisa menjadi alasan bahwa kearifan lokal (adat) ini telah terbukti mampu dan dapat menjadi sebuah alternatif untuk mencapai masyarakat multikultural di Kalbar ini” (Subro).

Beberapa kearifan dalam komunikasi masyarakat
Etnis Madura misalnya memiliki beberapa adat yang baik untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan damai seperti selamatan, acara perkawinan, sunnatan, muharraman dan lain–lain. Dalam hal kesenian juga ada yang namanya ronggeng. Kesemuanya ini terbuka bagi keterlibatan–keikutsertaan etnis–bahkan agama lain sekalipun. Ini terungkap dari hasil wawancara dengan salah satu narasumber etnis Madura, berikut petikan wawancaranya :
”Kalau kita orang Madura punya budaya selamatan. Jadi kita sering mengadakan selamatan pada acara-acara keagamaan, dan juga acara perkawinan, sunatan, atau juga yang lainnya. Kami mengundang tetangga, baik dekat maupun jauh, bahkan yang bukan Islam sekalipun. Jadi yang penting kita minta do`a dan berbagi rejeki begitulah. Saya kira ini juga untuk mempererat tali persaudaraan diantara kita.
Kalau dari segi kesenian, ada yang namanya Ronggeng. Kalau ada perkawinan atau ada acara syukuran lain, orang Madura juga sering menyelenggarakan ronggeng. Ini juga tempat berkumpulnya orang ramai. Jadi siapapun bisa datang dan menikmati hiburan ronggeng. Menurut saya ini juga bisa dikatakan sebagai kearifan lokalnya orang Madura untuk mengumpulkan orang dan memberikan hiburan pada orang banyak, tidak hanya untuk orang Madura saja. Moment seperti ini bisa menjadi tempat bertemunya orang banyak dan menjalin kedekatan juga saya kira”

Hal senada juga diungkapan oleh Ketua Umum GP ANSOR Kalbar yang juga berasal dari etnis Madura (Romawi Martin, SE), menurutnya ada banyak adat budaya yang baik pada etnis madura sebagai kearifan lokal yang bisa mempersatukan manusia dari berbagai latar belakang etnis dan agama, a.l : acara perkawinan, selamatan, ruwahan, muharraman, nisfu sya`ban, dan budaya ronggeng itu sendiri. Khusus budaya ronggeng, Romawi melihatnya lebih sebagai identitas kesombongan, dimana layaknya orang nyawer yang senantiasa bersaing harga sawernya untuk menunjukkan harga diri.
Di Kampung Jawa kecamatan Sanggau Ledo, masyarakat setempat yang notabene terdiri dari etnis Jawa, Melayu, Dayak, Bugis & Sunda masih memelihara adat bersama seperti selamatan kampung. Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Kepala Kampung Jawa, kecamatan Sanggau Ledo. Berikut petikan wawancaranya :

Intervieuwer : Budaya apa yang mendukung perdamaian suku di daerah kita (intervieuwer)
Informan : Untuk saat ini yang saya ketahui ada 3.
Yang pertama selamatan kampung yakni upacara sukuran yang diadakan di tengah-tengah kampung dengan menghadirkan tokoh agama, tokoh adat dan suku-suku lain, nanti dipimpin seorang lebai (tokoh agama Islam) sebelum berdoa diberi penjelasan tentang makna selamatan kampung tanda syukur pada Allah dan dijauhkan segala bencana. Masyarakat diwajibkan membawa makanan dan membawa alat-alat untuk mencari nafkah misalnya arit, pisau, parang, cangkul dan lain-lain diadakan setiap tahun sekali di bulan Sapar, sedangkan fungsinya untuk mengingat apa yang diberikan Allah kepada kita semua. Tujuannya untuk mengumpulkan masyarakat kita jadi satu walau berbeda suku, agama tapi kita tetap satu.
Yang kedua, tolak balak adalah satu tradisi kampung suku Dayak untuk mengusir hama penyakit tanaman.
Sedangkan ketiga Rakik Saman yaitu mengelilingi kampung dengan membawa makanan (supaya kampung kita aman dari segala hal disini bermacam suku, agama boleh ikut untuk kepentingan kampung, fungsinya sama dengan tolak bala dalam budaya orang Melayu. Sedangkan tujuannya untuk menyatukan tiap-tiap suku yang ada di kampung kita ini supaya semangat kebersamaan itu tetap lestari.
Sementara itu bagi masyarakat Dayak dusun Jawa juga ada adat yang sangat mendukung terwujudnya kedamaian dalam masyarakat, baik dalam bentuk gawai adat, tahun baru padi, pantak, naik dangau, dau juang dan mangkok merah. Hal ini diungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat Dayak di dusun Jawa. Berikut kutipan wawancaranya :
J :Menurut bapak adakah lembaga adat Dayak yang mendukung terwujudnya dan pemeliharaan perdamaian ?
D :Ada. Tiap acara Dayak itu pasti banyak yang bukan orang Dayak, kita lihat saja dan beda agama, misalnya acara gawai. Gawai adalah suatu upacara setiap tahunnya pada tanggal 23 bulan April yang menyatukan masyarakat Dayak. Lewat gawai ditempatkan di rumah adat Dayak masing-masing daerah pasti ada panitia gawai, biasanya melalui acara ini pasti meriah.
J :Saya ingin tahu tentang budaya Dayak misalnya Tahun Baru Padi, Pantak, Naik Dango, Daun Juang, Mangkok Merah.
D :Tahun baru padi artinya satu kampung sudah selesai panen padi dan memberikan hasil yang memuaskan, maka diadakan tahun baru padi. Tahun baru padi adalah awal memulai untuk melakukan hidup baru dengan memakan beras baru, tahun baru padi sama juga dengan bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa hasil yang didapatnya terpenuhi. Acaranya makan-makan ada juga yang membakar lemang untuk dibawa pulang masing-masing, sedangkan fungsinya untuk menjaga keutuhan adat Dayak sedangkan tujuannya untuk persatuan semua suku, berbagi rasa senang terhadap orang lain.
J :Bagaimana fungsi gereja terhadap perdamaian yang Bapak ketahui?
D :Gereja saat ini mengajak kepada jemaahnya untuk tidak berbuat yang melanggar hukum agama makanya tiap minggu pasti pendeta atau pastor selalu menasehati jemaah untuk berbuat baik pada masyarakat lain atau agama lain, janganlah mengejek orang lain atau merendahkan orang lain.
J :Adakah tempat acara berkumpul masyarakat yang beda agama budaya, suku?
D :Pasti ada sering kita keluar ke rumah-rumah, di lapangan gedung dan lain-lainnya.
J :Menurut Bapak pantak itu seperti apa?
D :Pantak adalah sebuah bangunan yang didirikan untuk tempat penyimpanan tengkorak-tengkorak manusia dan hewan. Pantak juga menjadi tempat pemujaan suku kami yang belum tahu agama. Pantak dibuat dari kayu belian tiang tinggi besar. Besar seperti seorang tinggi tingkat sampai ke tingkat pertama kurang lebih tujuh meter tingkat kedua tingginya sampai kurang lebih sama dengan tiang tingkat pertama. Lantai pertama tempat penyangga dan lantai kedua tempat penyimpanan tengkorak.
J :Bagaimana acara naik dango menurut bapak?
D :Naik dango sama dengan upacara pembersihan benda-benda lama yang ada di rumah adat.
J :Mengapa tiap orang dayak pasti punya tanaman juang?
D :Karena ini adalah lambang pemersatu Dayak, barang siapa yang menanam daun juang tidak boleh melakukan tindakan yang melanggar hukum adat.
J :Mengapa peperangan Dayak disebut magkok merah?
D :Mengkok sebenarnya adalah wadah tempat sekelompok orang yang menyatakan tidak boleh membunuh orang Dayak. Sedangkan di dalamnya terdapat bara api yang artinya biar gelap harus berangkat mendengarkan informasi atau berita apa yang terjadi dengan suku kita. Bulu ayam untuk menyampaikan informasi atau berita kepada masyarakat Dayak, daun kajang biar petir hujan harus berangkat atau datang mendengarkan informasi. Jerenang warna merah memuat malam daerah dalam keadaan berbahaya maka terjadi peperangan antar suku, kalau satu tidak akan terjadi.

Bagi etnis Tionghoa juga ada beberapa adat budaya yang termasuk kearifan lokal dan menjadi ajang bagi komunikasi, interaksi dan kebersamaan masyarakat lintas etnis. Adat budaya tersebut a.l : Barongsai naga, perayaan cap go meh, imlek dan sebagainya. Dalam acara–acara tersebut, yang terlibat merayakannya tidak hanya etnis Tionghoa, tapi juga banyak dari etnis lain, baik Melayu, Dayak maupun yang lainnya. Apalagi yang tertarik sekedar menyaksikannya. Budaya seperti ini seakan–akan sekarang sudah menjadi hiburan banyak orang dari etnis dan agama apapun.
Kemudian beberapa adat budaya lain yang merupakan kearifan lokal masyarakat etnis Kalimantan Barat a. l. seperti Sape Base (etika bertegur sapa), Belaleh (kebiasaan bergotong royong), Pantun–pepatah, Upacara adat dan beberapa Pandangan Hidup lain dalam masyarakat masyarakat adat.

Bentuk-bentuk adat dalam komunikasi masyarakat
Bentuk-bentuk adat yang masih berlaku dalam komunikasi masyarakat Kalimantan Barat beraneka ragam, karena terdiri dari ragam suku atau kelompok etnis. Maka muncullah nilai-nilai luhur dan latar belakang kehidupan sosial budaya yang berbeda-beda. Walaupun dalam era globalisasi, tetapi masyarakat Kalimantan Barat masih teguh mengadakan upacara-upacara adat. Di bawah ini beberapa contoh upacara adat yang masih dirayakan :
1. Penghormatan kepada leluhur dalam lingkungan masyarakat
Masyarakat suku Dayak sangat menghormati arwah para leluhurnya pada saat keluarga atau keturunan leluhur tersebut akan mengadakan pesta, seperti perkawinan ataupun sunatan. Sebelum mengadakan upacara, mereka berziarah ke kuburan leluhur dengan membawa sesajian untuk tujuan meminta izin kepada leluhurnya.
Pada masyarakat suku Melayu juga melakukan ziarah ke makam sesepuh, hal ini biasanya dilakukan pada hari Selasa di akhir bulan Syafar-khususnya masyarakat Mempawah yang biasanya berziarah ke makam pendiri kerajaan Mempawah, menjelang bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya. Upacara di mulai dengan pembakaran beberapa batang setanggi dan bersamaan munculnya asap, pemimpin penziarah memulai membaca ayat-ayat al-Qur’an, berzikir, dan berdoa, kemudian menaburkan bunga. Jika ada penziarah yang mempunyai nazar, niatnya disampaikan dengan mengikat kain kuning ke pusaran makam sesepuhnya. Keluarga yang datang sambil membersihan makam dan menaburkan bunga.
Upacara ziarah biasanya diiringi dengan upacara kenduri yang dilaksanakan pada hari Rabu pukul 07.00 atau 08.00. Upacara kenduri dipimpn oleh seorang lebai atau dukun untuk membacakan doa selamat dan tolak bala. Upacara kenduri dapat dilakukan masing-masing gang ataupun RT.

2. Perayaan Adat
Suku Dayak dan suku Melayu merupakan etnis mayoritas di Kalimantan Barat yang masing-masing memiliki tradisi yang khas yang berakar dari konsep keagamaan yang diwarisi turun temurun. Dalam perayaan adat istiadat mereka tetap berpijak pada kebiasaan para leluhur, baik dalam penggunaan perangkat, atribut sakral, maupun langkah-langkah dalam pelaksanaan upacara.

Perayaan adat sebagai bentuk komunikasi dalam masyarakat:
a. Selamatan Desa
Umumnya dilakukan oleh suku Dayak, khususnya Dayak Kanayatn. Selamatan desa dilakukan apabila desa mengalami gangguan, baik yang nyata (seperti wabah penyakit), maupun yang gaib (seperti mimpi yang diperoleh tetua kampung atau kepala suku, seperti kegagalan panen, dan sebagainya).

b. Pesta Panen
Biasanya dilakukan oleh masyarakat Dayak dan Melayu. Pada masyarakat Dayak dinamakan “Naik Dango“, sedangkan pada masyarakat Melayu dinamakan upacara “Robo-Robo“.
Pada acara penyambutan tamu di lingkungan masyarakat Kalimantan Barat pada umumnya memiliki kesamaan.

Penyambutan tamu pada masyarakat Dayak
a. Pantak Pemarang (Gunting Pita)
Jika mendatangi daerah ini selalu di dahului dengan pemberitahuan kepada kepala kampung atau kepala adatnya, melaui camat atau pemerintah setempat. Dengan demikian kampung yang akan didatangi akan bersiap-siap dengan segala upacara adat dan pakaian adatnya. Apabila tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, maka tidak akan mendapat sambutan, dan biasanya tamu dicegat belum boleh masuk kampung.
Kepala adat segera datang menjumpai seorang tamu dan melancarkan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Pertanyaannya antara lain dari mana kamu datang, apa maksud kamu datang, mengapa, kapan dan lain sebagainya. Jika pertanyaan terjawab tanpa gugup dan jelas, maka kepala adat menyerahkan sebuah mandau yang tajam. Di hadapan tamu telah diletakkan sebuah kayu atau bambu yang terhalang untuk dipotomg oleh tamu agung. Kepala Adat sangat mengharapkan agar tamu dapat memotong bambu atau kayu tersebut. Jika tidak tahu cara memotong pasti mandau akan melenting dan tidak akan dapat memotong. Tetapi jika tahu caranya pasti dengan sekali ayunan bambu atau kayu penghalang tersebut akan terpotong. Jika sudah terpotong, kepala adat akan menjabat tangan tamu dan mempersilakan masuk untuk beramah tamah.

b. Kunjungan ke Kampung Rarai Dayak Linoh (Sintang)
Jika ingin bertamu ke kampung Rarai Dayak Linoh, sekitar seratus meter dari perkampungan tertulis “sebelum para tamu masuk kekampung memberikan tanda tembakan tiga kali, kami akan membalas enam kali tembakan“. Apabila ada tembakan balasan berarti mereka siap menerima tamu.
Letak kampung Rarai Dayak linoh berada di seberang lembah kecil, di bukit seberang, sedangkan tamu ada di bukit lain, mereka berbaris rapi tampak daun kelapa yang masih muda dibelah menghiasi di pintu masuk kampung. Setibanya kita di pintu kampung, kita disambut oleh kepala adat dan keluarga kepala kampung. Saat berjabat tangan terdengar gong kecil dan besar berbunyi bertalu-talu, mengerikan, seperti bunyi alarm kebakaran. Ternyata itu sambutan hangat dari rakyat untuk tamu-tamu agung. Kita dipersilakan masuk kampung berjalan di antara barisan kehormatan sepanjang jalan sampai ke tangga rumah. Di muka tangga, tamu di taburi dengan beras kuning tanda sambutan hangat dan suatu kehormatan tertinggi bagi tamu agung. Ibu-ibu menaburi beras sambil berdoa dalam nyanyian, mereka berterima kasih atas kedatamgan tamu agung, kiranya kedatangan tamu membawa segala berkat, baik kesehatan, peternakan, dan berkat pertanian.
Tamu kemudian disambut oleh gadis-gadis dan digandeng dengan sopan diantar naik tangga. Tamu naik harus dilakukan tujuh kali. Kali ketujuh barulah diperbolehkan memasuki ruangan tamu. Untuk memasuki ruang tamu, kita harus melalui sekeping besi dan sebuah telur ayam yang sudah diletakkan di depan tangga pintu masuk. Telur dan sekerat besi harus diinjak oleh para tamu, telur diinjak tidak sampai pecah, di saat itu beras kuning diperkuat taburannya, makin nyaring pula mereka berdoa dalam nyanyian, memohon berkat dan berterima kasih atas kedatangan tamu yang bermaksud baik untuk ke kampungnya.
Tiap-tiap benda dan perlakuan mereka selalu mengandung arti menurut adat dan kepercayaan mereka. Besi benda keras menunjukkan bahwa mereka adalah orang kuat. Telur yang bulat putih itu melambangkan kebulatan dan putih hatinya menerima tamu yang baik hati. Setelah masuk ruangan tamu dipersilakan duduk di atas sebuah gong besar. Bunyi gong besar dan kecil bergemuruh nyaring melengking serta bunyi tambur bertalu-talu tak henti-hentinya mengiringi seluruh acara terima tamu.
Acara terus berjalan. Selagi tamu masih duduk di atas gong besar datang seorang pengacara membawa seekor ayam putih dikipas-kipaskan di atas kepala tamu kemudian diturunkan di hadapan tamu. Di depan tamu sudah tersedia mangkok dan sebilah pisau. Pengacara mengangkat pisau dan meletakkan ke leher ayam untuk disembelih, darahnya di tampung di mangkok.
Sehelai sayap dicabut dan ayam diantar ke dapur untuk direbus. Pengacara mencelupkan bulu sayap ayam ke arah darah ayam, diangkatnya dan mulai dicontengkan ke dahi, ke pipi kiri dan kanan masing-masing tamu. Tujuan mereka mengibaskan ayam di atas kepala tamu agar terhindar dari penyakit dan lelah akibat dari perjalanan menuju kampung. Sedangkan menconteng darah maksudnya agar roh halus atau setan tidak berani mengganggu, kemudian sebilah pisau diangkat pengacara, dilekatkan ke dahi, dimasukkan ke mulut, digigit melintang akhirnya dilekatkan lagi ke tengkuk, leher sambil membaca doa. Setelah acara selesai tamu didatangi penduduk untuk bersalaman.
Pada masyarakat Melayu acara penyambutan tamu biasanya dengan penaburan beras kuning diiringi dengan pengucapan shalawat Nabi Muhammad.

Peresmian Bangunan Adat
Peresmian bangunan adat pada masyarakat Dayak seperti halnya pindah rumah yang baru atau menempati bangunan baru. Untuk pindah rumah biasanya harus dilaksanakan sebelum matahari terbit/pagi hari dan barang yang pertama kali dibawa adalah bahan makanan pokok seperti beras, garam, gula, minyak, dan bumbu-bumbu masak yang lain. Kemudian disusul dengan barang perlengkapan rumah tangga yang lain. Di rumah yang baru ini penghuninya mengadakan upacara adat yang bertujuan untuk meminta keselamatan pada Tuhan agar penghuni yang bersangkutan selalu sehat di rumah tersebut dan mudah mendapatkan rizki.
Pada masyarakat Melayu peresmian rumah/bangunan baru selalu dirayakan dengan pembacaan al-Barzanji, Tepung Tawar pada setiap sisi rumah dengan doa-doa untuk memohon keselamatan, juga dibacakan doa tolak bala agar rumah dan penghuninya dijauhkan dari bala atau halangan-halangan.

Partisipasi Masyarakat
Pada saat akan dilaksanakan pesta adat biasanya dilakukan persiapan-persiapan untuk acara tersebut. Ada pesta yang hanya dilakukan di lingkungan keluarga saja, gang, atau ada juga yang melibatkan partisipasi masyarakat secara keseluruhan, se-kecamatan, atau bahkan se-kabupaten, seperti halnya pesta “Robo-Robo”. Pesta ini dilaksanakan masyarakat Melayu khususnya di Mempawah.
Pesta Robo-Robo dilaksanakan satu tahun sekali pada bulan Syafar, yaitu pada hari Rabu terakhir di bulan Syafar tahun Islam. Acara Robo-Robo biasanya juga disebut Syafaran. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bulan syafar merupakan bulan banyaknya turun bala dari yang Maha Kuasa, artinya bulan Syafar merupakan bulan yang paling naas atau penuh kesialan. Sejarah Nabi seperti terlepasnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun karena mukjizat terbelahnya air laut, diselamatkannya Nabi Ibrahim dari kobaran api untuk membakarnya, diselamatkannya Nabi Yunus dalam perut ikan, dan lain-lain.
Bagi penduduk daerah Kabupaten Pontianak di Mempawah, upacara ini bersifat sejarah karena upacara ini dikaitkan dengan peristiwa penting dalam sejarah kehidupan kerajaan Mempawah, antara lain pendaratan pertama Opu Daeng Menambun, putra bugis pendiri kerajaan Mempawah, dan kematian beliau sebagai panembahan pertama kerajaan itu. Upacara tersebut bersifat keagamaan yaitu permohonan/doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar seluruh masyarakat diselamatkan dari bala bencana yang dapat menimpa sewaktu-waktu.
Aktifitas yang dilakukan penduduk dalam penyelenggaraan upacara ini antara lain membuat kenduri, sesajian, turut serta dalam lomba sampan, atau menyelenggarakan hiburan-hiburan lain. Sementara penduduk di desa-desa turut membuat kue-kue khusus terutama ketupat untuk kenduri sekeluarga atau besama-sama tetangga.
Di kalangan keluarga bangsawan keterlibatan dalam acara Robo-Robo adalah melakukan ziarah ke makam para Panembahan Opu Daeng Menambun. Mereka berkumpul secara resmi di istana, berzikir, bertahlil, dan berkenduri serta melakukan ziarah.

Pesan Komunikasi dalam upacara Adat
Apakah dalam adat masyarakat Kalimantan Barat masih mengandung nilai-nilai komunikasi dan kebersamaan? Tentu saja ada. Misalnya di daerah Kendawangan, Kabupaten Ketapang, masyarakatnya menganggap nilai-nilai komunikasi yang terkandung dalam perayaan adat merupakan milik bersama (nilai kebersamaan).
Nilai tenggang rasa misalnya dalam menjalankan upacara adat di Kalimantan Barat yang terdiri dari tiga suku besar yaitu Dayak, Melayu, dan Cina, masing-masing masyarakat menghormati adat masing-masing.
Nilai rela berkorban pada upacara adat yang diselenggarakan seluruh warga masyarakat seperti Robo-Robo, warga masyarakat rela mengorbankan waktu, tempat, bahkan biaya untuk memeriahkan jalannya upacara. Contoh lain pada kegiatan gotong royong masyarakat setempat mempunyai kesadaran yang tinggi tentang pentingnya gotong royong. Contoh lain lagi misalnya pada acara perkawinan, saat pembuatan selasar atau teras masyarakat sekitarnya tidak perlu diperintah datang untuk membantu.

Kearifan lokal dalam bidang politik
Dalam hal Politik, beberapa kebijakan khusus pemerintah daerah yang dapat disebut kearifan lokal adalah Sharing Power (berbagi kekuasaan, terutama antara Melayu dan Dayak, Islam dan non Islam). Budaya politik Sharing Power ini menjadi ajang kerjasama dan pemersatu diantara dua etnis dan agamka tersebut. Pada sisi lain, sharing power dalam kekuasaan politik terbukti mampu meredam konflik antar masyarakat yang berbeda etnis dan agama, paling dari segi kepentingan politik lebih terakomodasi. Sharing power ini dalam politik direalisasikan dalam bentuk pembagian posisi kuasa. Misalkan jika Calon Bupati Melayu–Muslim, maka wakilnya mesti Dayak–Nonmuslim, atau sebaliknya. Kearifan ini telah menjadi nilai kesepakatan di seluruh wilayah pemerintahan di Kalbar. Sebagai contoh, Bupati Kapuas Hulu Melayu–Muslim, Wakilnya Dayak–nonmuslim, Sintang Bupatinya Dayak-nonmuslim, Wakilnya Melayu-Muslim, Melawi Bupatinya Dayak-Nonmuslim, Wakilnya Melayu-Muslim, Sekadau Bupatinya Dayak-nonmuslim, Wakilnya Melayu-Muslim, Sanggau Bupatinya Dayak-nonmuslim, Wakilnya Melayu – Muslim. Kecuali itu adalah pasangan Gubernur (Dayak-China).
Kearifan lokal politik di Kalbar seperti ini sepertinya telah memberikan pengaruh yang sangat positif dalam meredam konflik di satu sisi, dan di sisi lain mampu memelihara kedamaian dalam hubungan etnis dan agama di Kalbar.
Kearipan lokal lainnya yang menyangkut kebijakan pemerintah daerah adalam pengakuan terhadap eksistensi adat budaya masing – masing etnis yang ada di Kalbar. Realisasi kearifan lokal ini berupa pasilitasi intituionalisasi lembaga adat budaya seperti Majlis Adat Buaday Melayu (MABM), Majlis Adat Budaya Dayak (MABD), Majlis Adat Budaya Tionghoa (MABT) dan lai-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar