Senin, 09 Februari 2009

Komunikasi Antarbudaya

PROFIL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Oleh: Ibrahim M Shaleh


“Setiap manusia hidup dalam komunitas dan sistem sosial tertentu yang tak terbantahkan,
karenanya ia juga mempunyai cara hidup dan tuntunan perilaku tersendiri pula
yang membedakan satu dengan yang lainnya.
Sebuah komunikasi yang baik antarbudaya,
bukanlah pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti (sama seperti) kita,
melainkan mendekatkan pemahaman orang lain
mengenai diri kita (yang berbeda)”
Ibrahim, 2005


Pendahuluan
Sebagai bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai etnik, agama dan budaya, sudah sepantasnya bagi masyarakat kita untuk mau saling membuka diri bagi keberadaan siapapun, mengenalnya dan membangun komunikasi yang baik. Untuk itu, sikap hidup inklusif tentu saja menjadi pilihan utama dalam masyarakat majemuk. Sebab hanya dengan sikap inilah ruang komunikasi akan hidup dan dapat terbangun di antara keberbagaian etnik, agama dan budaya yang ada.
Badau yang didiami oleh mayoritas suku Iban dan suku Melayu, serta beberapa suku lainnya dalam jumlah kecil telah menunjukkan betapa komunikasi yang baik antaretnik telah dapat dibangun di sana. Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan, dinamika sosial juga terjadi dalam hubungan antaretnik di Badau. Akan tetapi semua itu dapat diatasi dengan baik dan menjadi modal bagi jalinan komunikasi yang lebih akrab bahkan intens dalam berbagai ranah/kontek sosial. Kemauan dan kemampuan menggunakan dua bahasa dalam bentuk bilingualisme dua arah menjadi bukti betapa terbangunnya komunikasi yang baik antara orang Iban dan orang Melayu di Badau. Beberapa aspek itulah yang akan dikaji lebih lanjut dalam makalah ini.

Deskripsi Kawasan Kajian
Badau merupakan nama sebuah kawasan di pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu provinsi Kalimantan Barat, dan berbatasan langsung dengan Sarawak Malaysia. Jarak Badau dengan ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu mencapai 120 km, dengan ibu kota provinsi Kalimantan Barat mencapai lebih kurang 1000 km. Sementara dengan Lubok Antu Sarawak Malaysia hanya berjarak 10 km saja.
Sebelum tahun 1990-an kawasan Badau hanya dapat dijangkau melalui angkutan sungai dengan waktu tempuh yang boleh memakan waktu berhari-hari mencapai kawasan itu. Akan tetapi sejak dibangunnya jalan Lintas Utara tahun 1992 (Wadley, 1998), Badau sudah dapat dijangkau melalui angkutan darat dengan masa tempuh hanya lebih kurang 5 – 6 jam.




Badau dan beberapa perkampungan di bagian utara Kapuas Hulu yang bersempadan dengan Sarawak Malaysia merupakan kawasan yang selalu menarik untuk di kaji, baik dalam aspek sosiologi, antropologi, mahupun budaya komuniti yang berdiam di sana. Hal itu terbukti dengan ramainya ilmuan yang mengkaji di sekitar kawasan tersebut. Beberapa nama dapat disebutkan Grinten (1862), Bouman (1924), King (1974, 1985), Rousseau (1980), Freeman (1958, 1970) dan Sellato (2002) yang mengkaji masyarakat Dayak (Iban) baik dalam kontek se-alam Melayu mahupun persebaran masyarakat di pedalaman Borneo dan Kalimantan Barat.
Nama lain dapat disebutkan misalnya Enthoven (1903), Gerlach (1981), Bos (1917) dan Van der Putten (1917), penulis pada masa kekuasaan kolonialisme dan misionaris kristian di kawasan tersebut. Begitupun Wadley (1997, 1998, 2001, 2005 & 2006,), Eilenberg (2005), Wadley dan Eilenberg (2006) yang mengenalkan secara lebih terperinci mengenai kawasan Badau dan kehidupan masyarakat Iban di sekitar perbatasan Indonesia dengan Sarawak Malaysia . Terakhir adalah Ibrahim (2006, 2007a, 2007b,2008a, 2008b) yang mengkaji mengenai komuniti Iban dan komuniiti Melayu, bahasa komunikasi yang digunakan dalam hubungan sosial di kawasan itu, terutama menyangkut hubungan Iban dengan Melayu .

Suku Iban dan Suku Melayu di Badau
Iban dan Melayu merupakan suku terbesar di Kecamatan Badau. Berdasarkan klasifikasi statistik daerah, dari jumlah 5000 lebih penduduk di Kecamatan Badau, dianggarkan suku Iban mencapai 3000 an orang (lebih kurang 60 %). Sementara suku Melayu berada pada jumlah terbesar kedua, sekitar 1800 an orang (31 %). Selebihnya (9 %) adalah suku-suku lain seperti Kantuk, Jawa, Minang, dan lain-lain (Ibrahim, 2007a).
Besarnya jumlah masyarakat Iban di Badau dapat dilihat dari wilayah persebarannya yang menempati 16 kampung dari 19 kampung yang ada di wilayah Kecamatan Badau. Sedangkan orang Melayu tersebar di empat kampung saja, yakni Badau 1, Badau 2, Raden Sura dan Pulau Majang

Suku Iban
Suku Iban pertama kali menempati kawasan Badau sejak ratusan tahun silam. Sebelumnya kawasan Badau merupakan persebaran suku Kantuk. Peralihan suku ini terjadi ketika tradisi ngayau masih eksis dalam budaya Dayak, khususnya Iban. Sekelompok Iban dalam jumlah besar datang dari Sarawak Malaysia menyerang suku Kantuk di Badau. Iban berhasil memenangi peperangan tersebut, mengusir orang Kantuk, hingga bermulalah mereka menetap sebagai penduduk di Badau masa itu. Karena itulah, saat ini suku Iban hanya terdapat di sekitar kawasan Badau, dan beberapa kawasan yang berdekatan dengan perbatasan tersebut seperti Batang Lupar dan Benua Martinus. Sementara itu suku Kantuk lari menjauhi perbatasan dan membuat pemukiman baru di sepanjang sungai Kantuk, di wilayah Kecamatan Empanang. Wilayah inilah sekarang yang menjadi basis suku ini, karena itu wilayah ini lebih dikenal dengan Nanga Kantuk.
Mengenai suku Iban dan asal usulnya dalam sejarah, masih agak kabur datanya (Rahim Aman, 2006). Banyak memang para ahli yang mempercayai bahawa suku ini sebenarnya adalah berasal dari lembah Kapuas di Kalimantan Barat, Indonesia (lihat misalnya Darke, 1982; Sandin, 1968; Padoch, 1982; Rousseau, 1990; Bambang & Collins, 1985; Collins, 2004; Chong, 2006). Akan tetapi saat ini, suku Iban justru merupakan populasi terbesar kedua di Malaysia, setelah Melayu (Rahim Aman, 2006: 2). Keadaan sedemikian tentu saja mesti dilihat beriringan dengan kontek sejarah asal usul dan persebaran suku ini.
Sejarah menulis bahwa pada mulanya, suku ini sebenarnya tidak memiliki nama khas sebagai identiti perkaumannya, karena lazimnya suku ini menisbahkan namanya dan identiti kaumnya kepada nama tempat mereka berdiam, oleh itu dahulunya mereka menamakan dirinya “kami undop”, “kami Sekrang”, “kami menoa” (Sandin, 1967). Orang Barat menyebut suku ini sebagai “sea Dayak” (Aman, 2006; King, 1993; Asmah, 1993).
Di Badau, meskipun tidak sepenuhnya menggantikan nama sukunya dengan nama daerah, akan tetapi mereka senantiasa menyebutkan diri mereka bersamaan dengan nama daerah asal/kampung mereka, seperti Iban Sungai Tembaga, Iban Tangit, Iban Jantin, atau Iban Badau. Identitas mereka yang paling kentara adalah adanya pemukiman rumah panjang. Mereka juga menggunakan bahasa Iban sebagai lingua franca. Meskipun dalam konteks tertentu mereka juga menjadi penutur bilingualisme (Ibrahim, 2008), termasuk dalam hubungan dan komunikasi dengan etnis Melayu di Badau.

Penggunaan Bahasa Iban dalam Komunikasi di Badau

Di Borneo Barat yang melingkup Sarawak (Malaysia) dan Kalimantan Barat (Indonesia) terdapat sekurang-kurangnya dua belas bahasa dan dialek nonmelayu (dayak), satu antaranya adalah bahasa Iban yang merupakan bahagian daripada varian Ibanik (Collins, 2007: 32-33). Di Badau, bahasa Iban memiliki karakteristik kebahasaan yang khas dan berbeza dengan bahasa suku-suku lain, hal ini semakin menguatkan daulat para pakar linguistik dunia bahawa Kalimantan Barat merupakan tanah asal prasejarah yang menunjukkan diversiti bahasa yang sangat tinggi (lihat Collins, 1995, 1998, 2002, 2006; Blust 2006). Bahasa Iban merupakan bahasa yang lazim dipakai dalam komunikasi hari-hari orang Iban di Badau, terutama di rumah panjang sesama Iban. Bahkan di tempat-tempat umum tertentu di pasar misalnya, atau ditempat kerja bahasa Iban begitu banyak digunakan.
Secara umum bahasa Iban memang berbeza dengan bahasa Melayu, baik kosa kata mahupun dialeknya (lihat perbandingannya dalam Chairil Effendy dkk, 2006; Rahim Aman, 2006). Namun beberapa hal ternyata ada kesamaan bahasa Iban dengan bahasa Melayu di Badau, perbezaan hanya pada bahagian tertentu saja dari vokal bahasa tersebut (sila lihat dalam senarai). Kerana itu wajar jika orang Melayu di Badau banyak yang dapat berkomunikasi dengan bahasa Iban, sebagaimana umumnya Iban juga mengerti dan dapat berkomunikasi dalam bahasa Melayu. Dalam hal kemampuan komunikasi bilingual ini, yang terlihat perbezaannya hanya logat (dialek) saja. Terutama logat Iban yang pasti terdengar walaupun dengan menggunakan bahasa Melayu .
Kemampuan menggunakan atau paling tidak memahami bahasa Iban pada orang Melayu, dan bahasa Melayu pada orang Iban di Badau membuat mudahnya membangun komunikasi sosial di antara mereka. Akomodasi kedua bahasa sekaligus (bahasa Iban dan bahasa Melayu) dalam komunikasi sosial orang Iban dengan suku lain di Badau sepertinya telah membentuk bahasa komunikasi tersendiri (bahasa Iban Melayu-Melayu Iban). Ini juga yang menjadi alasan kekeluargaan dan harmonisasi begitu dapat dibangun antara Iban dan suku Melayu di Badau (Ibrahim, 2006).

Ciri utama bahasa Iban di Badau

Perbincangan mengenai bahasa Iban di pulau Borneo, terutama menyangkut fonologi, sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para pakar linguistik, baik bahasa Iban di Sarawak mahupun di Kalimantan Barat. Beberapa nama tersebut dapat disebutkan antaranya Hudson (1970), Asmah (1981), Rahim Aman (1997), Collins (2004), Chong (2003, 2006), Dedy (2004) dan Chairil Efendi dkk (2006).
Untuk lebih jelasnya mengenai bahasa Iban di Badau, berikut ini akan dipaparkan beberapa ciri fonologi bahasa Iban Badau terutama menyangkut perubahan vokal akhir /ay/ yang berkorespondensi dengan /-n/, /-ng/, dan /-ar/.

Vokal akhir /ay/ yang berkorespondensi dan beraturan

bejalay berjalan
bukay bukan
makay (mpa) makan

datay datang
pulay pulang
paay panjang

bsay besar

Selain bentuk korenspondesi di atas, bentuk diftong /ay/ yang digunakan secara tak beraturan boleh dikata sebagai ciri yang kentara dalam bahasa Iban di Badau, ini dapat dilihat dari beberapa kata dalam senarai berikut.

Vokal akhir /ay/ yang tak beraturan

naday tidak ada
utay barang / benda
bekeay seperti itu
kemenay kemana
namay apa namanya
makay makan (aktiviti)
ay tidak mau (menolak)
uai bukay orang lain
ntkay prenggi (nama buah sayur)
apay bapak
inay ibu

Vokal akhir campuran /aw/

taw mengetam/menuai padi
banaw ngobrol (beramah tamah)
mansaw matang/masak
bdaw sudah

Vokal akhir campuran //

inu dara perempuan gadis/perawan
bejaku katanya
meadi saudara
ayi air

Menurut Collins (1983, 1987, 2004), ciri lain bahasa Iban adalah diftongisasi vokal tinggi pada akhir kata dan diikuti dengan geluncuran. Ciri tersebut juga ditemui dalam bahasa Iban di Badau, berikut senarainya.

nmuw dapat/tau/boleh
nunuw membakar
mauah banyak
manuak ayam
pucua pucuk
laua lauk
buru burung
ngau mengantar/dorong ke atas

Dalam komunikasi sosial masyarakat di Badau, bahasa Iban merupakan lingua pranca yang tidak hanya digunakan oleh sesama masyarakat Iban, akan tetapi juga digunakan oleh orang Melayu, terutama apabila mereka berkomunikasi dengan orang Iban. Sebaliknya orang Iban di Badau umumnya juga dapat menggunakan bahasa Melayu, terutama apabila mereka berkomunikasi dengan orang Melayu yang tidak memahami dengan baik bahasa Iban. Bilingualisme dua arah antara orang Iban dengan orang Melayu di Badau menjadikan kedua-dua bahasa ini sentiasa digunakan dalam komunikasi mereka. Hanya saja ada situasi tertentu, terutama menyangkut kemampuan partisipan komunikasi yang menjadi pertimbangan untuk menggunakan bahasa Iban atau bahasa Melayu dalam komunikasi meraka.

Masyarakat Iban dan penutur Bilingualisme

Sebagaimana didapati bahawa masyarakat Iban (juga orang Melayu) di Badau merupakan penutur bilingualisme, suatu komuniti yang mampu menggunakan dua bahasa dalam pertuturannya. Hal ini dapat dilihat dari kesemua aspek bilingualisme (Fishman, 1968: 555 dalam Chaer, 1990: 125), yang wujud dalam komuniti Iban dan juga Melayu di Badau, seperti:

1. Degree: adanya kemampuan dalam menggunakan kedua-dua bahasa pertuturan.
2. Function: kedua-dua bahasa sentiasa difungsikan dan dipergunakan dalam pertuturan.
3. Alternation: berlakukanya pengertian atau peralihan dari satu bahasa pertuturan ke bahasa pertuturan lainnya.
4. Interference: berlakunya pemakaian ciri-ciri kebahasaan semasa berbicara atau menulis dengan bahasa lain.

Kesemua aspek bilingualisme tersebut didapati dalam penutur bilingualisme di Badau, dimana selain menggunakan bahasa Iban sebagai lingua pranca dalam komunikasi dan interaksi sesama, orang Iban di Badau juga mampu memahami dan menuturkan bahasa Melayu dalam komunikasi mereka, terutama ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat Melayu. Begitupun sebaliknya pada orang Melayu yang juga mampu memamahi dan menuturkan bahasa Iban dalam komunikasi dan interaksi mereka dengan orang Iban. Sebagai contoh misalnya perbualan yang terjadi antara inay Iban dengan orang Melayu.

Suku Melayu
Berbeda dengan kedatangan suku Iban di Badau (lihat Ibrahim, 2007a, 2007b, 2008), kedatangan orang Melayu di kawasan ini sesungguhnya tiada dapat dipastikan waktu dan peristiwanya. Hal ini disebabkan kedatangan orang Melayu di kawasan ini tidak secara serentak dalam bilangan yang besar sebagaimana kedatangan orang Iban. Melayu masuk dan mendiami kawasan ini lebih disebabkan dua alasan utama; pertama, persebaran penduduk secara alamiah dari kawasan sekitar hingga memasuki kawasan Badau. Hal ini dapat difahami dimana Melayu merupakan penduduk mayoritas di pesisir Sungai Kapuas yang berhampiran dengan kawasan Badau. Kedua, dinamika sosial dan ekonomi yang turut membawa sebagian orang Melayu menempati kawasan tersebut yang sebelumnya sudah ditempati oleh orang Iban. Hal ini utamanya didorong oleh keadaan kawasan Badau yang berbatasan dengan Sarawak Malaysia, dan menyediakan peluang ekonomi dan perniagaan yang maju dan lebih prospektif (Ibrahim, 2008).
Meskipun pada mulanya Badau dan sekitarnya hanyalah merupakan perkampungan Iban, akan tetapi hubungan perdagangan dengan orang Melayu sudahpun terjalin sejak masa dahulu lagi (Ibrahim, 2007b). Bahkan menurut Enthoven (1903), pedagang Melayu lah yang senantiasa membawa barang-barang keperluan sehari-hari dan dijual kepada orang-orang Iban dari kampung ke kampung.
Jauh lagi sebelum kedatangan Iban di Badau, Melayu sebenarnya sudah memainkan peranan yang penting di Kalimantan Barat dengan beberapa kerajaan seperti kerajaan Melayu Sukadana di Ketapang, kerajaan Melayu Sambas, kerajaan Melayu Mempawah, kerajaan Melayu Pontianak, kerajaan Melayu Kubu, kerajaan Melayu Sintang hingga ke beberapa kerajaan kecil Melayu di Kapuas Hulu (Enthoven, 1903). Kedudukan dan peranan penting orang Melayu hingga masa pendudukan kolonial Belanda, memberi pengaruh yang berarti bagi persebaran orang Melayu di seluruh Kalimantan Barat, termasuk Kapuas Hulu dan Badau beberapa tahun berikutnya.
Untuk Kapuas Hulu sendiri masa itu sebenarnya telah terdapat beberapa kerajaan Melayu seperti di Selimbau, Piasak, Jongkong, Bunut, dan Suhaid. Sebagai petanda bahwa mereka itu adalah keturunan raja dan keluarga bangsawan Melayu, maka digunalah gelaran “Abang” “Pangeran”, “Panembahan”, “Sultan”, “Raden”, dan “Kiyai” (Wadley, 2006a). Kemudian pada sebagian kecil keturunan kerajaan atau kaum bangsaan Melayu ada juga yang menggunakan gelar “Ade”. Bagi kalangan perempuan digunakan gelaran “Dayang” dan “Dara” seperti Dara Juanti yang memerintah kerajaan Sintang (Wadley, 2006a).
Di Badau, memang tidak pernah ada kerajaan melayu sebagaimana dalam sejarah Melayu di Selimbau, Piasak, Jongkong, Bunut dan Suhaid. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa umumnya Melayu di Badau adalah pendatang yang berasal dari beberapa daerah/kampung Melayu di Kapuas Hulu, termasuk beberapa di antaranya berasal dari Sintang dan Pinoh.
Identitas pokok orang Melayu di Badau sama seperti Melayu pada umumnya, yakni beragama Islam, menggunakan bahasa Melayu (varian Melayu Ulu Kapuas) sebagai lingua franca (Ibrahim, 2007c; Yusriadi, 2008), dan tidak sedikit juga merupakan penutur bilingualisme (Ibrahim, 2008).

Ciri Utama & Varian Bahasa Melayu di Badau
Pengenalan
Sebagai bagian daripada alam Melayu yang begitu luas, yang dihuni oleh banyak kaum dan bahasa, para ahli linguistik mempercayai bahawa pulau borneo merupakan tanah asal bahasa Melayu (Collins, 1995, 1998, 2007). Jauh di pedalaman Kalimantan Barat, khususnya perbatasan utara Kabupaten Kapuas Hulu dengan Sarawak Malaysia yang merupakan persebaran majoriti orang Iban dan orang Kantuk, ternyata juga terdapat sebilangan orang Melayu yang cukup signifikan di Badau. Bahasa Melayu juga merupakan lingua franca dalam komunikasi sosial orang Melayu di Badau, bahkan terhadap orang Iban dalam bentuk bilingualisme (Ibrahim, 2008).
Sebagai orang Melayu yang menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca di tengah majoriti orang Iban, ternyata ada banyak varian bahasa yang dituturkan oleh orang Melayu di Badau. Merujuk pada klasifikasi yang diberikan oleh Yusriadi (2007, 2008) yang menyebutkan empat varian dialek Melayu Ulu Kapuas, yakni varian Selimbau, varian Semitau/Putussibau, varian Embau dan varian Embau Hulu, ternyata keempat-empat varian itu juga dituturkan oleh orang Melayu di Badau. Akan tetapi yang paling ramai penuturnya adalah varian Semintau/Putussibau dan varian Embau. Wujudnya keempat-empat varian tersebut dalam pertuturan bahasa Melayu di Badau disebabkan umumnya orang Melayu di Badau adalah berasal dari kawasan asal empat varian tersebut.

Ciri Utama Bahasa Melayu di Badau

Secara umum bahasa Melayu di Badau sama dengan bahasa Melayu dialek Ulu Kapuas yang mempunyai 6 vokal /i/,/e/,//,/a/,/u/,/o/, 3 diftong /ay/, /aw/ dan /uy/, dan 19 konsonan /p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, //, /h/, //, /m/, /n/, //, //, /c/, /j/, /s/, /l/, /w/, /y/. Kerana itu bahasa Melayu di Badau juga dapat dikenali dengan beberapa ciri utamanya, baik dalam aspek fonoloji maupun morfolojinya. Yusriadi (2008) melaporkan bahawa ciri utama bahasa Melayu Kapuas Hulu dapat dilihat dari aspek fonoloji dan morfoloji. Daripada aspek fonoloji, bahasa Melayu Ulu Kapuas ditandai dengan:

1. Adanya peninggian vokal belakang madya [o] menjadi vokal belakang tinggi [u].
/kutu/ - `kotor` /ua/ - `orang` /butul/ - `botol`

2. Alveolarisasi bunyi velar yang wujud setelah vokal depan tinggi seperti bunyi [ik], [it];[i], [in].

/baik/ /bait/ `baik`
/mudik/ /mudit/ `mudik`
/tarik/ /tarit/ `tarik`

/kuni/ /kunin/ `kuning`
/kanci/ /kancin/ `kancing`
/kambi/ /kamin/ `kambing`

3. Luluhnya bunyi nasal homorganik.
/timbul/ /timul/ `timbul`
/mandi/ /mani/ `mandi`
/paja/ /paa/ `panjang`

Sementara daripada aspek morfoloji yang merupakan ciri lain bahasa Melayu dialek Ulu Kapuas dapat dilihat dalam bentuk morfofonoloji yang ditandai dengan wujudnya pemanjangan konsonan sebagai bagian daripada variasi morfolojinya (Yusriadi, 2008), contohnya:

/b:unuh/ /dibunuh/ `dibunuh`
/b:ona/ /bonabona/ `benar-benar`
/t:awa/ /ketawa/ `tertawa`

Selain klasifikasi yang dikemukakan oleh Yusriadi (2008), sebenarnya masih ada satu lagi ciri bahasa Melayu Ulu Kapuas yang paling kentara, yakni hilangnya bunyi konsonan pada awal kata.

Contoh:
/ucin/ /kuci/ `kucing`
/idu/ /hidu/ `hidung`
/ulu/ /hulu/ `hulu`
/itam/ /hitam/ `hitam`

Varian Bahasa Melayu di Badau
Melayu di Badau merupakan sebahagian daripada orang Melayu di Kapuas Hulu yang menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Meskipun hidup dalam komuniti yang tidak terlalu besar dibandingkan suku Iban, orang Melayu di Badau masih dapat menempatkan bahasa Melayu sebagai identiti dan alat komunikasi sosial mereka. Kerana itu, bahasa Melayu yang dituturkan di Badau sebenarnya juga mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu yang dituturkan di Ulu Kapuas. Bahkan yang lebih menarik lagi, beberapa varian bahasa Melayu dialek Ulu Kapuas dituturkan di kawasan Badau. Merujuk kepada Yusriadi (2007, 2008) yang melaporkan bahawa ada empat varian bahasa Melayu Ulu Kapuas meliputi; varian Selimbau (v1), varian Suhaid dan Putussibau (v2), varian Embau (v3) dan varian Embau Hulu (v4), dimana keempat-empat varian tersebut wujud dalam pertuturan orang Melayu di Badau.
Jika dilihat dari letak geografis, masing-masing varian sebenarnya memiliki penutur di dalam kawasan yang berbeda dan terpisah di Ulu Kapuas. Varian Selimbau (v1) misalnya merupakan varian bahasa Melayu yang dituturkan di daerah asal Selimbau yang terletak di pesisir sungai Kapuas bahagian utara Kabupaten Kapuas Hulu. Varian Suhaid dan Putussibau (v2) dituturkan di daerah asal Nanga Suhaid (pesisir Kapuas Hilir) bahagian barat Kabupaten Kapuas Hulu) dan Putussibau sendiri yang merupakan ibu kota kabupaten. Varian Embau (v3) yang dituturkan di daerah asal Sungai Embau bagian hilir. Sementara varian Embau Hulu (v4) merupakan varian bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Melayu di hulu sungai Embau, atau di sekitar wilayah kecamatan Hulu Gurung.
Pengamatan di lapangan mendapati bahawa keempat-empat varian ini ternyata dituturkan di Badau. Padahal Badau merupakan sebuah kawasan di perbatasan utara Kabupaten Kapuas Hulu dengan Sarawak Malaysia, yang tentunya berbeda dan terpisah dari kawasan penutur asal empat varian di atas. Hal ini mungkin disebabkan umumnya orang Melayu di Badau memang berasal dari kawasan yang merupakan tempat asal varian tersebut dituturkan, yang kemudian berpindah dan menetap di Badau sejak puluhan tahun yang lalu (Ibrahim, 2006). Berikut ini sekilas senarai varian di maksud.

v1 v2 v3 v4
put put pout peut
bas bas boas beas
snit sni soni soni
mata mata mata mat
kmna kmna kemona kemon
Pengalaman penulis selama melakukan penyelidikan di lapangan mendapati ke empat-empat varian tersebut dituturkan oleh masyarakat Melayu di Badau, meskipun oleh personal yang berbeda dan dalam kontek pertuturan yang juga berbeda. Berikut masing-masing contohnya dalam bentuk kalimat .

Contoh :

v1: Penutur varian Selimbau yang berjual ikan dengan menggunakan sepeda motor dan menawarkan kepada orang Melayu di Badau supaya mau membeli ikan jualannya.

O: bu, na mli ikan kian, itu baak ikan bsa-bsa ay.
Oh Ibu, mau beli ikan ngak? Ini banyak ikannya, besar-besar lagi.

v2: Penutur varian Suhaid/Putussibau yang sudah lama hidup di Badau dan bekerja di Badau. Dialog ini berlangsung ketika mereka bertemu di rumah Kepala Dusun Mentari.

wai Andi, kemna di dii na kala keliat, aku ngiga dai kemai
Wahai Andi, kemana saja kamu ngak pernah tampak, saya mencarimu sejak dari kemaren.

v3: Penutur varian Embau memulai dialog ketika menerima tamu di rumahnya, yang ternyata adalah keluarganya yang sudah lama tidak bertemu.

aku kia sopa ga dii todi, bahim ga nadi
tadinya saya kira kamu ini siapa, Ibrahim ataukah Nadi.

v4: Penutur varian Embau Hulu ketika memarahi anak lelakinya yang berjalan terlalu lama pada suatu pagi dimana pemungutan suara pilihan raya Gubernur Kalimantan Barat akan segera dilangsungkan.

aba, kemon ga pelam, iy ua dah ka uck
Abang kemana saja pergi lama-lama, di sini orang-orang sudah mau mulai mencoblos.

Dari beberapa varian tersebut, varian Suhaid/Putussibau (v2) dan varian Embau (v3) merupakan varian bahasa Melayu yang paling ramai dituturkan di Badau, termasuk oleh orang Iban yang merupakan penutur bilingualisme di Badau. Lagi-lagi hal ini mungkin disebabkan umumnya Melayu di Badau adalah berasal dari Suhaid/Putussibau sekitarnya dan Embau sekitarnya.
Orang Melayu di Badau merupakan penduduk pendatang yang berasal dari beberapa perkampungan Melayu di Kapuas Hulu, dan menetap sebagai penduduk Melayu di Badau puluhan tahun yang silam. Kerana itu dalam banyak hal orang Melayu di Badau mempunyai kesamaan dengan umumnya Melayu di Kapuas Hulu, termasuk dalam aspek bahasanya. Yusriadi (2007, 2008) menyebutkan ada empat varian dialek melayu Ulu Kapuas yakni Varian Selimbau (v1), varian Semitau/Putussibau (v2), varian Embau (v3) dan varian Embau Hulu (v4). Di Badau, ke empat-empat varian tersebut ternyata dituturkan oleh orang Melayu, hal ini mungkin disebabkan kerana orang Melayu di Badau umumnya adalah berasal dari daerah varian keempat bahasa tersebut. Akan tetapi daripada varian-varian tersebut, varian Semitau/Putussibau (v2) dan varian Embau (v3) merupakan yang paling ramai dituturkan oleh orang Melayu di Badau.
Persoalan kapan suatu varian tertentu dituturkan, dan dalam kondisi mana varian-varian tersebut dapat ditemukan dalam pertuturan orang Melayu di Badau, merupakan aspek penting lainnya yang dapat dikaji dalam tulisan selanjutnya.

Komunikasi Antarsuku Iban dengan Suku Melayu di Badau
Komunikasi antarsuku
Komunikasi antarsuku dapat dimaknai sebagai jalinan komunikasi dan hubungan sosial yang terjadi di antara suku yang berbeda. Mengacu kepada konsep umum komunikasi, maka dapat difahami bahwa para anggota suku yang senantiasa menjalin komunikasi dan hubungan sosial di antara mereka adalah merupakan komunikator sekaligus komunikannya. Dalam hal apa, dan untuk alasan apa komunikasi itu terjalin merupakan konteks/pesan/tujuan komunikasi itu sendiri. Bahasa verbal dan nonverbal yang digunakan dalam komunikasi mereka hanyalah sekedar pilihan simbol/lambang dalam mengkomunikasikan suatu pesan tertentu. Karena itu, aksioma komunikasi selalu mengingatkan bahwa “world don`t means people means”. Kata-kata, bahasa dan verbalisme bukanlah sesungguhnya pesan komunikasi, ia hanyalah sebagai simbol/lambang yang digunakan untuk menghantarkan pesan. Sebab makna pesan sebenarnya ada pada manusia sebagai partisipannya.




Berdasarkan kepada konsep di atas, komunikasi antarsuku yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah jalinan komunikasi dan hubungan sosial yang berlangsung di antara suku Iban dan suku Melayu di Badau. Bagaimana kedua suku itu membangun komunikasi dalam hubungan sosial mereka, dalam hal apa dan untuk maksud apa komunikasi dan hubungan sosial dibangun di antara mereka, bagaimana dengan pilihan bahasa dalam membangun komunikasi di antara mereka, dan bagaimana kontek/pesan/tujuan komunikasi yang terbangun di antara suku Iban dan suku Melayu di Badau.

Kontek komunikasi antarsuku
The communication context (particularly the relationships with the other individuals in the communication situation) plays an important part in the interpretation of a communication message, demikian Rogers & Stienfatt (1999: 90) menjelaskan mengenai kontek dalam komunikasi.
Dengan penjelasan tersebut dapat difahami bahwa kontek komunikasi itu menyangkut situasi apa dan bagaimana jalinan komunikasi itu dilangsungkan dalam satu hubungan sosial dan individu. Kontek inilah biasanya yang menentukan apa sesungguhnya pesan yang diinginkan dalam komunikasi tersebut. Perbedaan kontek akan memungkinkan perbedaan pesan yang ingin disampaikan dalam komunikasi, meskipun dengan menggunakan pilihan simbol/bahasa/verbal yang sama. Begitupun komunikasi nonverbal, tidak selamanya orang senyum itu bermakna sebagai keakraban, sebab mungkin saja senyum itu bermakna keanehan, merendahkan dan seribu makna lainnya, tergantung apa konteknya (Ibrahim, 2005). Karena itu menurut Rogers & Stienfatt (1999), memahami kontek merupakan suatu hal yang paling penting dalam upaya memahami pesan komunikasi yang sebenarnya.
Dalam komuniasi antarsuku Iban dan suku Melayu di Badau, kontek komunikasi yang dimaksudkan paling tidak menyangkut waktu, tempat dan partisipan yang terlibat ketika komunikasi itu berlangsung. Masing-masing kontek ini juga akan menentukan pada pilihan bahasa apa yang akan digunakan dalam komunikasi tersebut.
Dari aspek waktu, kontek komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu berlangsung ditentukan dalam komunikasi formal dan tidak formal. Kontek ini berlangsung dalam komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu ketika adanya urusan formal dalam urusan pemerintahan, baik di tingkat kecamatan, maupun desa. Pada kontek tersebut, komunikasi antarsuku berlangsung umumnya menggunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Melayu (varian) Badau. Hanya sesekali saja bahasa Iban digunakan dalam kontek komunikasi formal.
Kontek nonformal, komunikasi antarsuku berlangsung dalam keseluruhan hubungan sosial dan kemasyarakatan, baik sebagai anggota masyarakat dalam satu desa maupun sebagai anggota masyarakat antardesa. Hal ini dapat difahami ketika melihat persebaran masyarakat di Badau, khususnya di kampung Melayu yang juga ada anggotanya dari suku Iban. Meskipun di kampung-kampung Iban hanya sedikit sekali yang ada anggotanya orang dari suku Melayu. Akan tetapi secara keseluruhan, hubungan dan komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu sangat intens berlangsung. Pada kontek ini, bahasa Iban dan bahasa Melayu sama-sama selalu digunakan sesuai dengan kemauan dan kemampuan partisipan untuk menggunakannya.
Dari aspek tempat, kontek komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu berlangsung ditentukan oleh tempat komunikasi itu dilakukan. Beberapa tempat berlangsungnya komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu di Badau seperti di sekolah, pasar, pusat olah raga, lapangan kerja, organisasi sosial dan lembaga adat budaya. Pada konteks ini bahasa Iban dan bahasa Melayu sama-sama selalu digunakan dalam bentuk campur kod atau bilingualisme.
Dari aspek partisipan, bahasa yang digunakan dalam komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu sangat bergantung pada siapa yang berkomunikasi. Jika komunikasi berlangsung sesama suku Iban di Rumah Panjang, atau orang Melayu yang berkunjung ke Rumah Panjang, maka bahasa Iban yang digunakan. Sebaliknya jika sesama orang Melayu, atau orang Iban di kampung orang Melayu, maka bahasa Melayu menjadi pilihan utama bahasa komunikasi. Akan tetapi untuk kontek Badau, penggunaan bahasa komunikasi juga ditentukan oleh siapa yang pertama memulai komunikasi, dan dengan menggunakan bahasa apa. Jika yang pertama memulai komunikasi adalah orang Melayu akan tetapi menggunakan bahasa Iban, maka bahasa Iban yang dipakai seterusnya. Jika menggunakan bahasa Melayu, maka bahasa Melayu yang digunakan seterusnya, meskipun dengan orang Iban. Akan tetapi jika yang memulai orang Iban dengan menggunakan bahasa Iban, tetap saja bahasa Iban yang digunakan, kecuali orang Iban yang faham bahasa Melayu, dan orang Melayu yang tidak mengerti bahasa Iban, maka bahasa Melayu yang akan digunakan.
Kondisi kebahasaan dan kontek penggunaannya dalam komunikasi dan hubungan sosial antarsuku Iban dan suku Melayu seperti ini, menjadikan kedua suku ini di Badau sebagai penutur dua bahasa sekaligus (bilingualisme), bahasa Iban dan bahasa Melayu (Ibrahim, 2008).

Komunikasi antarsuku dalam sejarah sosial di Badau
Layaknya sebuah hubungan sosial umumnya, komunikasi antarsuku di Badau dalam sejarah sosial etnik juga mengalami dinamika tersendiri, baik yang bersifat fositif maupun yang negatif. Hubungan sosial komunikasi yang bersifat positif tentu saja sebuah jalinan hubungan dan komunikasi yang baik, penuh keterbukaan, toleransi dan persahabatan diantara anggota kelompok dan peribadi etnik. Sebaliknya yang bersifat negatif adalah hubungan sosial komunikasi yang mandeg, tidak saling mau terbuka, intoleran, bahkan konflik.
Untuk melihat realitas hubungan sosial Iban dan Melayu di Badau, tentu sejarah menjadi bagian yang penting untuk diperhatikan. Di atas telah dipaparkan bagaimana sejarah kedua suku ini masuk dan mendiami kawasan Badau. Iban yang memulainya melalui proses eksodus saat peperangan ngayau terjadi masa itu, karenanya mereka ini juga dikenal sebagai suku yang sangat agresif, kejam dan sadis untuk membunuh lawan-lawannya (lihat Wadley, 1997, 2001; Ibrahim, 2007a, 2007b). Sebaliknya Melayu masuk dengan strategi yang lebih diplomatik, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan di kawasan itu. Bagaimana posisi para pedagang Melayu di tengah komunitas Iban dalam sejarah sosial hubungan kedua etnik ini dapat dilihat dalam beberapa tulisan antara lain Enthoven (1903), Gerlach (1981), Bos (1917), Van der Putten (1917), Wadley (1997, 2001), Ibrahim (2007a, 2008b)
Latar belakang sosial yang beda, terutama agresifitas Iban, ternyata tidak berpengaruh secara langsung dalam bentuk negatif ketika membangun hubungan dengan Melayu. Keduanya bisa memelihara hubungan yang damai, harmonis, dan komunikatif. Persoalan apapun yang terjadi diantara mereka selalu dapat diselesaikan dengan cara yang baik, sebuah penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua-duanya.
Salah satu paktor yang menyebabkan hubungan baik dapat dibangun diantara kedua suku ini adalah, mereka saling memahami apa yang menjadi perinsip hidup dan nilai-nilai sosial dalam falsafah hidup mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh seorang informan Melayu di lapangan.

”ua Iban palin menghagai ua ya udah sida pecaya. Pinsip sida ya pecaya pada ua ya dipanda udah bepengelaman, udah tua, udah lama idup. ua Iban palin kuat ngona jasa bait ua lain, sampai tuun temuun” (Ad. 42 tahun: 5 – 12 – 2006)

”Orang Iban paling menghargai orang yang sudah mereka percayai. Prinsip mereka adalah percaya pada orang yang lebih tua, sudah berpengalaman dalam hidup. Orang Iban paling kuat mengenang jasa orang lain, bahkan sampai turun temurun”

Perinsip hidup orang Iban di atas menjadi modal bagi orang Melayu untuk membangun hubungan dan komunikasi dengan orang Iban. Karena itu, kejujuran dan saling percaya menjadi falsafah keduanya dalam menjalin hubungan dan komunikasi sosial hingga saat ini.
Selain itu, untuk memelihara hubungan dan ketentraman bersama, dibentuklah satu lembaga adat yang terdiri dari tokoh-tokoh etnik yang ada di Badau. Jika ada persoalan menyangkut hubungan diantara anggota suku, maka melalui lembaga adat itulah dilakukan musyawarah dan penyelesaiannya (Junter, Unat, & Luther, 12-2006). Sebelum persoalan masuk ke lembaga adat bersama ini, di tingkat internal suku sebenarnya juga sudah ada lembaga adat tersendiri. Lembaga adat inilah yang menyelesaikan persoalan yang terjadi di internal suku di Badau. Setelah kedua lembaga adat (Internal & bersama antarsuku) ini menemukan jalan buntu, barulah perkara tersebut dialihkan ke hukum konvensional (kepolisian dan pengadilan).
Berikut ini pernyataan salah satu informan yang juga merupakan kedua dewan bersama.

”Hubungan ura Iban dengan suku lain baik, jadi kami bentuk kepala-kepala suku dari ura luar Kalbar (Jawa, Padang, Bugis, Batak, NTB-NTT) dan kepala suku adalah mereka ya sudah lama menetap di Badau, dibentuk masa pak Bubu (camat Badau). Apa gunanya, sebab di badau tahun 2000-an sampai sekara muncul banyak ura dari suku apa saja. Melalui kepala suku masi-masi ya akan bertangu jawab untuk menyelesaikan persoalan jika terjadi pada anak buah anggota sukunya. Jadi kami dewan adat hanya mengkoordinasikan dan memediasi persoalan suku-suku dan antara suku untuk diselesaikan masi-masi” (Lt. 55 tahun: 4-12-2006)

Beberapa kebijakan & kearifan lokal inilah yang menjadikan hubungan sosial dan komunikasi diantara suku Iban dengan suku Melayu dapat dibangun dengan baik dan harmonis sepanjang sejarah sosial keduanya.

Bilingualisme sebagai bentuk komunikasi antarsuku
Suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai penutur bilingual apabila terdapat suasana kebahasaan dimana dua atau lebih bahasa mampu digunakan dalam suatu suasana komunikasi (Appel & Musyken, 1987), atau adanya seseorang atau suatu komuniti yang mampu menggunakan dua bahasa dalam pertuturannya (Fishman, 1968). Merujuk pada pandangan tersebut, paling tidak ada tiga bentuk masyarakat penutur bilingualisme menurut Appel & Musyken (1987: 2); bentuk pertama, dimana dua kelompok bertemu dan masing-masing hanya menguasai bahasa sendiri; bentuk kedua, masing-masing menguasai bahasa sendiri dan bahasa lawan bicaranya atau lebih; dan bentuk ketiga, hanya satu kelompok yang menguasai dua bahasa, sedangkan kelompok yang lain hanya menguasai bahasa sendiri.
Begitupun menurut Fishman (1968), paling tidak ada beberapa aspek yang mesti wujud dalam suatu masyarakat penutur bilingual, yakni: adanya kemampuan dalam menggunakan kedua-dua bahasa pertuturan (degree); kedua-dua bahasa tersebut sentiasa difungsikan dan dipergunakan dalam pertuturan (function); berlakunya pengertian atau peralihan dari satu bahasa pertuturan ke bahasa pertuturan lainnya (alternation); dan, berlakunya pemakaian ciri-ciri kebahasaan semasa berbicara atau menulis dengan bahasa lain (interference).
Merujuk pada bentuk–bentuk penutur bilingualisme Appel & Musyken (1987) yang terdiri dari tiga bentuk, maka yang wujud di Badau adalah bentuk kedua, yakni bilingualisme dua arah, dimana orang Iban dan orang Melayu dapat menguasai bahasa lawan bicara dan menggunakannya dalam komunikasi, selain dengan bahasa mereka sendiri. Begitupun aspek-spek bilingualisme yang dipersyaratkan Fishman pada suatu penutur bilingual, hampir semuanya wujud dalam komunikasi masyarakat Iban dan Melayu di Badau, kecuali aspek keempat (Ibrahim, 2008a).
Bagi masyarakat Iban, bahasa Iban merupakan lingua franca dalam komunikasi sosial mereka, terutama di Rumah Panjang dan interaksi sesama orang Iban. Begitupun masyarakat Melayu di Badau juga menjadikan bahasa Melayu sebagai sebagai lingua franca komunikasi dan interaksi sesama mereka. Akan tetapi kedua-dua masyarakat ini boleh menukar bahasanya dalam situasi tertentu bergantung kepada tempat, siapa partisipan dan kapan komunikasi itu berlangsung (kontek komunikasi).
Pengamatan di lapangan mendapati bahawa orang Iban akan menggunakan bahasa Iban semasa mereka berbual sesama kaum sendiri, terutama di Rumah Panjang, akan tetapi apabila mereka berjumpa dengan orang Melayu, mereka juga boleh menggunakan bahasa Melayu (Ibrahim, 2007b). Perubahan itu mengikut situasi apabila suatu perbualan dimula. Ketika seseorang dari kaum Melayu memula pembualannya dengan bahasa Melayu, maka rakan Iban pun menyahutnya dengan bahasa Melayu. Akan tetapi apabila seseorang memula pembualannya dengan bahasa Iban, meskipun dia itu orang Melayu, maka bahasa Iban akan terus digunakan dalam perbualan tersebut.
Begitupun ketika seseorang dari kaum Iban memula pembicaraannya dengan bahasa Iban, maka umumnya Melayu di Badau dapat langsung menjawabnya dengan bahasa Iban. Akan tetapi apabila difahami bahawa orang Melayu tersebut tidak mahu atau tidak mengerti bahasa Iban, maka orang Iban tersebut segera merubah bahasa percakapannya dengan menggunakan bahasa Melayu .
Situasi lain yang juga menentukan bagi penggunaan bahasa dalam komunikasi sosial di Badau, baik menggunakan bahasa Iban ataupun bahasa Melayu adalah mengikuti tempat interaksi. Jika interaksi itu berlangsung di Rumah Panjang atau di kampung Iban, maka bahasa Iban merupakan bahasa pertama sebagai lingua franca. Akan tetapi jika interaksi itu terjadi di kantor pemerintahan, sekolah, pasar dan sebagainya, maka bahasa Melayu (dan Bahasa Indonesia) menjadi bahasa pertama sebagai lingua franca. Meskipun utnuk semua kontek ini bergantung pada kemauan partisipan untuk menggunakan salah satu atau kedua-dua bahasa dalam komunikasi mereka (Ibrahim, 2007b).
Dengan kondisi masyarakat yang bilingual inilah, kedua-dua bahasa, bahasa Iban dan bahasa Melayu begitu terpelihara sebagai lingua franca dalam masyarakat etnik di Badau. Dalam hal ini mayoritas masyarakat non Iban di Badau dapat memahami dan menguasai bahasa Iban, sebagaimana sebaliknya orang Iban di Badau juga boleh menguasai dan menuturkan dengan baik bahasa Melayu.

Penutup
Komunikasi yang baik dan efektif tentu saja mensyaratkan kesaling-pengertian dan kesaling-fahaman dalam berbagai aspek antara partisipan. Meskipun komunikasi itu bukan kemestian memaksa orang lain untuk mengikuti sama seperti kita, akan tetapi mendekatkan pemahaman dan pengertian antarpartisipan adalah suatu kemestian. Komunikasi antarsuku Iban dengan suku Melayu di Badau begitu dapat terbangun dengan baik. Kedua suku bisa saling memahami kontek dalam hubungan sosial dan komunikasi mereka, termasuk ketika harus memilih bahasa yang digunakan dalam komunikasi tersebut. Kondisi ini membawa kedua suku ini dapat hidup rukun, aman, damai dan penuh kekeluargaan dalam satu wilayah dan perkampungan. Hal ini dapat dibuktikan dengan wujudnya kedua suku ini sebagai penutur bilingual, bahasa Iban dan bahasa Melayu.


Daftar Bacaan

Abdul Chaer & Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. Edisi revisi.

Appel, R dan Peter Musyken. 1987. Language Contact and Bilingualism. London: Edward Arnold.

Alo Liliweri. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Pustaka Pelajar; Jogjakarta.

Alo Liliweri. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi antarbudaya. LKIS; Jogjakarta.


Collins, J.T. 2004. Ibanic Languages in Kalimantan Barat, Indonesia: Exploring Nomenclature, Distribution and Characteristics, dalam Borneo Research Bulletin, ol 35 tahun 2004

Dedy Mulyana dan Jalaludin Rahmat. 2001. Komunikasi Antarbudaya. Rosda Karya; Bandung.

Enthoven, J.J.K. 1903. Borneo Wester-Afdeeling, Leiden, Boekhandel En Drukkerij voorheen E.J.Brill, Deel I.

Ibrahim M Shaleh. 2008a. Komuniti Iban dan Melayu di Badau: kajian daripada aspek Bilingualisme. Makalah yang dibentangkan dalam seminar dialek-dialek austronesia di Nusantara (SADDAN III),Universiti Brunei Darussalam 24 s/d 26 Januari.

Ibrahim M Shaleh. 2008b. Varian Bahasa Melayu di Badau. Makalah yang diajukan untuk jurnal bahasa, pusat bahasa Brunei Darussalam.

Ibrahim M Shaleh. 2008c. Potret Keberagamaan orang Melayu di Badau. Dalam Yusriadi & Edi Kurnanto. Agama & Etnisitas di Kalbar. Sedang proses penerbitan.

Ibrahim M Shaleh. 2007a. Mengenal orang Iban di Badau. Dalam yusriadi dan Chong Sin, Kelompok Ibanik di Kalimantan Barat. STAIN Pontianak Press; Pontianak.

Ibrahim M Shaleh. 2007b. Penggunaan Bahasa Iban di Badau. Dalam Chong Sin & Collins, Bahasa dan masyarakat Ibanik di Borneo, ATMA UKM Press; Bangi, Kuala Lumpur.

Ibrahim M Shaleh. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya. STAIN Pontianak Press; Pontianak.

Rahim bin Aman. 2006. Perbandingan Fonologi dan Morfologi bahasa Iban, Kantuk dan Mualang, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.

Rogers & Stienfatt. 1999. Intercultural Communication. WavelanPress; Witted State of Amerika.

Sandin, B. 1967. The Sea Dayaks of Borneo Before White Rajah Rule, East Lansing: Michigan State Universiti Press.

Wadley, Reed L. 1997. Circular Labor Migrations and Subsistence Agriculture: A Case of the Iban in West Kalimantan, Indonesia. Disertation Doctor of Philosophy Arizona State Universiti.

Wadley, Reed L. 1998. The Road to change in the Kapuas Hulu borderlands: Jalan Lintas Utara. Borneo Research Bulletin. Vol. 29: 71-94.

Wadley, Reed L. 2001. Frointers of death: Iban expansion and inter-ethnic relations in west Borneo. http://www/iias.nl/iiasn/24/theme/24T10.html , akses 2 Oktober 2007.

Yusriadi. 2008. Varian bahasa Melayu ulu Kapuas. Makalah seminar antarabangsa Dialek-dialek Austronesia se-Nusantara (SADDAN III) di Universiti Brunei Darussalam, 24 s/d 26 januari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar