Jumat, 16 September 2011

PUASA DAN HIDUP HEMAT

Materi ceramah "Kolak Ramadhan 1432 H" di RRI Pro 2 Pontianak, 7 Agustus 2011

Oleh: Ibrahim MS (Dosen STAIN Pontianak)

Diantara makna utama dalam syariat puasa adalah Manahan diri. Orang yang berpuasa adalah mereka yang bisa menahan diri dari mengikuti kehendak hawa nafsu (manusiawi) untuk selanjutnya menyerahkan diri mengikuti kehendak Allah Swt. Kehendak hawa nafsu merupakan satu kehendak manusiawi yang tak pernah puas. Bahkan hawa nafsu yang tak terkontrol cendrung akan menjauhkan manusia dari ridha Allah Swt. Karena itu Allah Swt mencela setiap hambanya yang terlalu mengikuti bisikan hawa nafsunya. Perintah melakukan Ibadah Puasa pada bulan ramadhan ini merupakan satu pembiasan diri yang baik bagi setiap manusia untuk dapat mengontrol hawa nafsunya.
Perintah menahan diri dari mengikuti dorongan hawa nafsu sesungguhnya mempunyai dasar yang banyak dalam al-qur`an dan hadits dengan bentuk ungkapan antaralain supaya selalu hidup hemat dan jangan berlebih-lebihan. Sebagaimana firman Allah: Makan dan minumlah, dan janganlah kami berlebih-lebihan (Q.S.4: 141) “Janganlah berlebih-lebihan, sesunggunnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (Q.S.7: 31)
Orang yang mampu menahan dan mengontrol kehendak hawa nafsunya adalah orang yang senantiasa hidup hemat dan tidak berlebih-lebihan. Dengan kata lain, setiap orang yang senantiasa berhemat dalam hidupnya, maka ia akan terhindar dari sikap yang berlebih-lebihan. Allah Swt berkali-kali mengingatkan hambanya untuk tidak hidup berlebih-lebihan (la tusyrifu, innallaha la yuhibbul musyrifin).
Orang berpuasa dan senantiasa hemat dalam hidup adalah orang yang mengerti akan keseimbangan hidup. Orang sadar bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki dua titik ekstrim yang harus di seimbangkan. Ada yang kaya dan ada pula yang miskin, ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang berlebihan dan ada yang serba kekurangan. Karena itu hidup hemat merupakan titik tengah yang menjadi penyeimbang dari kedua sisi ekstrim itu.
Karena itu, Ibadah puasa yang kita lakukan sesungguhnya mengajarkan bagaimana hidup hemat dan tidak berlebih-lebihan. Tidak makan dan minum pada siang hari karena berpuasa bukanlah berarti tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan dan diminum. Melainkan supaya kita menyadari bagaimana rasanya orang yang kaya yang berlimpah makanan dan minuman dengan orang yang hidup dalam kemiskinan, yang tidak bisa makan dan minum karena ketiadaan.
Begitu berbukapun, kita juga dilarang untuk makan dan minum yang berlebih-lebihan. Sebab orang yang beriman sepatutnya membagi isi perutnya dengan tiga bagian, sebagian untuk makanan, sebagian untuk minuman dan sebagian lagi dikosongkan untuk bernafas (al-Hadits). orang yang hemat sesungguhnya juga mengatur kebutuhan hidupnya dengan baik. Dia tidak akan berlebih-lebihan, meskipun dia mempunyai kelebihan. Dan puasa ramadhan yang sedang dijalankan sesungguhnya mengajarkan diri kita untuk senantiasa hidup hemat, mampu menahan diri dari kehendak hawa nafsu yang cendrung berlebih-lebihan. Wallahu a`lam.

SEANDAINYA MEREKA "MENGERTI" PUASA

Opini Ramadhan 1432 H yang diterbitkan di Harian Borneo Tribune, 20 Agustus 2011

Oleh: Ibrahim MS

Nabi Saw pernah mengungkapkan harapannya kepada ummat manusia dengan pernyataan, “seandainya mereka mengerti puasa”.
Apa makna dari ungkapan Nabi Saw tersebut? adakah kita sebagai ummatnya tidak mengerti tentang ibadah puasa yang sebenarnya? Ataukah puasa yang kita lakukan selama ini bukanlah puasa dalam pengertian yang benar?
Pastinya, pernyataan Nabi Saw itu memiliki konteks sendiri yang harus dipahami. Dimana Puasa yang bermakna menahan diri, meredam kehendak nafsu manusiawi dan selanjutnya menyerahkan diri secara total kepada kehendak Allah Swt. Diantara hawa nafsu yang harus ditahan/dikontrol oleh orang yang berpuasa adalah makan, minum dan melakukan hubungan seksual pada siang hari. Sebaliknya, orang yang berpuasa dianjurkan untuk memperbanyak Ibadah, zikir dan mendekatkan diri kepada pencipta-Nya. Itulah makna utama Ibadah puasa yang dilakukan oleh umat muslim selama bulan ramadhan.
Berangkat dari substansi makna puasa tersebut, nyata bahwa setiap orang yang berpuasa seharusnya terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela, terpelihara dari dosa dan kemaksiatan yang membatalkan puasa. Sebab, orang yang sedang berpuasa sebenarnya adalah orang sedang mengikuti secara totalitas kehendak Allah Swt, mengerahkan segenap jiwa dan raga untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta melalui berbagai amaliah di bulan puasa.
Dengan kesadaran puasa yang demikian, maka kita akan mampu mengontrol diri dan hawa nafsu dalam hidup. Kita akan mampu menahan diri untuk tidak melakukan kemaksiatan dan dosa. Dengan keadaan iman yang selalu sadar bahwa “kita sedang berpuasa”, maka kita akan mampu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Inilah yang terus dilakukan, dan dilatih oleh orang yang berpuasa selama 1 bulan ramadhan. Orang-orang yang terlatih dengan puasa inilah yang sesungguhnya yang berhasil meraih kesucian jiwa dan ketakwaan pada hari kemenangan (idul fitri) nantinya.
Dengan menyadari makna substansi berpuasa, maka menjauhkan diri dari kemaksiatan dan dosa, bukan hanya kewajiban selama bulan ramadhan. Dengan kesadaran tersebut pula, maka kebijakan menutup tempat-tempat perjudian, prostitusi dan berbagai penyakit sosial lainnya oleh pemerintah juga bukan hanya selama bulan ramadhan, melainkan berterusan pada bulan-bulan yang lain.
Dengan menyadari makna puasa yang sebenarnya sebagai upaya mengontrol diri dan hawa nafsu menuju keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, maka sesungguhnya kita “wajib” berpuasa seumur hidup (bukan hanya pada bulan ramadhan). Sebab, puasa pada bulan ramadhan lebih merupakan latihan dan pembiasaan diri untuk kehidupan yang lebih panjang di bulan-bulan yang lain. Puasa inilah yang diinginkan oleh Nabi Saw untuk dipahami oleh Umatnya. Itulah yang dinyatakan Nabi Saw dengan “seandainya mereka mengerti puasa”. Wallahu a`lam.

PUASA DAN MAWAS DIRI

Opini Ramadhan 1432 H yang diterbitkan di Harian Borneo Tribune, 9 Agustus 2011

Oleh: Ibrahim MS

Puasa sebagai satu Ibadah yang dipercayai dapat menghantarkan seseorang kepada derajat ketakwaan (Q.S.2: 183) sebenarnya membawa banyak pelajaran yang patut dicermati oleh orang yang berpuasa (shaim). Berdasarkan pada istilahnya, puasa mempunyai makna “menahan diri” atau “kontrol diri”.
Dengan demikian puasa merupakan amal ibadah yang dikerjakan dengan cara menahan diri untuk tidak makan dan minum pada siang hari, serta tidak melakukan segala apa yang membatalkannya dari terbit pajar hingga terbenamnya matahari (Zainal Abidin, 1951).
Sebagai satu Ibadah yang diistimewakan, Allah SWT telah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang berpuasa. Bahkan satu dari empat kelompok manusia yang dirindukan oleh surga Allah adalah orang yang berpuasa di bulan ramadhan (al-Hadits).
Menurut Quraisy Shihab dalam tafsir Al-Mishbah, keistimewaan ibadah puasa dapat dilihat dari dasar perintah melakukan ibadah ini. Menurutnya, sapaan “hai orang-orang yang beriman” yang digunakan Allah dalam permulaan ayat perintah puasa itu bermakna panggilan kepada kesadaran diri dan hati (iman) seorang hamba. Iman itulah sesungguhnya yang menggerakkan setiap hambanya untuk berpuasa, menahan diri dari kuasa hawa nafsu, meredam kehendak diri (sebagai manusia) untuk selanjutnya mengikuti kehendak Allah SWT.
Beberapa keistimewaan lainnya dari Ibadah puasa adalah sebagai berikut:
Pertama, Puasa merupakan ibadah yang bersifat rahasia hamba dengan Tuhan, dimana kualitas puasa seseorang bergantung kepada keikhlasan hati dan kesadaran iman yang berpuasa. Karena itulah Allah menjanjikan balasan pahala yang khusus dan istimewa bagi orang yang berpuasa (hadits kudsi)
Kedua, ibadah puasa yang dilakukan berdasarkan panggilan hati dan kesadaran Iman senantiasa melibatkan seluruh aktivitas hambanya, dari fisik yang menahan diri untuk tidak makan dan minum pada siang hari serta melakukan hal-hal yang membatalkan puasa ,hingga non fisik berupa kesadaran hati, pikiran dan imannya bahwa dirinya sedang mengikuti kehendak Allah (berpuasa).
Ketiga, puasa dalam bentuk aktivitas fisik hanya akan memberikan dampak yang bersifat fisik pula. Sementara nilai ketakwaan yang dikehendaki dari ibadah puasa lebih merupakan dampak non fisik dari keimanan dan kesadaran dalam diri orang yang berpuasa.
Keempat, puasa yang dilakukan atas dasar kesadaran diri, perasaan, pikiran dan hati (iman) itulah sesungguhnya yang diyakini dapat membentuk sosok diri yang bertakwa, sebagaimana tujuan disyariatkan berpuasa (Q.S. 2: 183).
Terakhir, orang yang berhasil mencapai derajat takwa dari puasanya adalah mereka yang mampu menjadikan puasanya sebagai upaya mawas diri. Yakinlah bahwa seseorang tidak akan melakukan korupsi, mencuri dan berbagai kemaksiatan jika kesadaran imannya selalu mengingatkan bahawa “saya sedang berpuasa”. Sebab, dengan “selalu berpuasa dan mawas diri”, Insya Allah kita akan mampu menghindarkan diri dari berbuat dosa dan kemaksiatan hidup. Wallahu a`lam

Sabtu, 12 Februari 2011

Dakwah Dari Masjid

Pengantar Editor untuk buku PETA DAKWAH DI KALIMANTAN BARAT, yang diterbitkan oleh STAIN Press dan Jurusan Dakwah STAIN Pontianak, Februari 2011

Oleh: Ibrahim MS
Dosen Komunikasi Penyiaran Islam, Jurusan Dakwah STAIN Pontianak


Sejarah kelahiran Islam menjadi bukti betapa masjid telah memainkan peran penting sebagai tempat pelaksanaan ibadah dan pembinaan ummat, sebagaimana yang dilakukan Nabi Saw di Madinah. Bahkan pada sebagian masyarakat muslim, keberadaan masjid telah melebihi peran lembaga pendidikan agama itu sendiri. Lihat misalnya kajian Azyumardi Azra (2003) tentang peran masjid dan surau pada masyarakat Minangkabau.
Menurut Azyumardi Azra (2003), masjid dan surau telah memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat muslim Minangkabau. Masjid/surau bagi masyarakat muslim Minangkabau tidak saja sebagai tempat melakukan aktivitas ibadah kaum muslimin, melainkan sudah menjadi lembaga pendidikan secara umum. Melalui masjid dan suraulah pendidikan dan pembinaan ummat dilakukan secara intensif. Bahkan dalam konteks otonomisasi, orang Minang percaya bahwa surau/masjid dapat membangkitkan "batang tarandam", yakni melahirkan ulama-ulama besar sebagaimana masjid/surau di masa silam.
Peran besar masjid sebagai pusat pembinaan keagamaan mesti mampu membangun kesadaran dan kecerdasan kepada para jama`ahnya, bahwa agama tidaklah lahir dengan sendirinya tanpa maksud tertentu untuk kehidupan manusia. Agama lahir adalah sebagai satu bentuk arahan dan tuntunan yang diharapkan dapat membantu manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia juga di akhirat. Menyadari arti penting sebuah agama bagi manusia, mengharuskan setiap pemeluk agama untuk senantiasa berpikir dan menilai seberapa besarkah peran agama sebagai penuntun hidup, telah mampu dirasakan oleh setiap ummat.
Melalui peran Masjid juga mesti ditanamkan satu kesadaran agama bahwa Islam yang kita percayai sebagai agama yang turunkan dari Allah SWT (samawi) telah hadir dengan segenap tuntunan dan aturan yang qath`i, mesti berhadapan dengan realitas hidup dan perkembangan sosial kemanusiaan yang dinamis (zhanni). Dengan kata lain, Islam mesti harus selalu mampu memberikan arah dan tuntunan kepada jalan hidup manusia, termasuk dalam menghadapi problem sosial yang dinamis itu. Dengan iman, kita sadar bahwa tuntunan dasar Islam (al-qur`an & hadits) memang tidak pernah berubah & tidak mungkin dirubah. Akan tetapi penggalian terhadap tuntunan nilai-nilai Islam mutlak perlu dilakukan secara terus-menerus untuk mampu menjawab problem kekinian. Disinilah wilayah penafsiran teks-teks keagamaan (al-qur`an & hadits) penting dilakukan terhadap konteks yang berlaku. Dan masjid atau surau mempunyai peran dalam konteks ini.
Sadar akan pentingnya peran masjid yang bukan saja sebagai tempat kaum muslimin melaksanakan Ibadah (fungsi ubudiyah) melainkan juga fungsi ekonomi, sosial dan pendidikan jama`ah, mengharuskan kita kaum muslimin untuk senantiasa mampu membuka diri, melakukan introspeksi hingga merekonstruksi pemahaman tentang fungsi dan peran Masjid. Karena itu banyak penelitian dan kajian yang telah dilakukan berkaitan dengan fungsi dan peran masjid dalam keberagamaan masyarakat muslim hingga saat ini.
Diantara kajian tersebut adalah Anita (2008) yang mengkaji mengenai salah satu gerakan keagamaan dan dakwah yang dikembangkan oleh Masjid Mujahidin berupa program Penyiaran Dakwah melalui Radio Mujahidin Pontianak; Bayu (2008), Mahasiswa STAIN Pontianak, Jurusan Dakwah yang menulis Skripsinya dalam kajian tentang Optimalisasi Fungsi Masjid Mujahidin dalam upaya rekruitmen Jama`ahnya.
Kajian Ibrahim MS (2008) tentang Aktivitas Keagamaan Masyarakat Muslim di Komplek Perumahan Purnama Agung VII juga menjadikan Masjid Jami`atus Shalihin sebagai titik berangkat dan pusat pembinaan keagamaan para jamaah muslim di komplek tersebut. Melalui proyek penelitian yang dibiayai oleh DIPA STAIN Pontianak tahun 2008, Ibrahim MS melaporkan betapa Masjid Jami`atus Shalihin telah memainkan peran yang optimal dalam pembinaan kualitas keagamaan para jamaahnya yang berada di sekitaran komplek Purnama Agung VII, Pontianak.
Singkat perkataan, masih banyak lagi kajian yang memberikan pemahaman kepada kita bahwa masjid telah memainkan peran yang besar dalam kehidupan sosial dan keagamaan ummat. Melalui masjid umat dapat pembinaan keagamaan, pembinaan ekonomi, pembinaan pendidikan dan sebagainya. Kondisi ini tampak sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masjid yang semakin meningkat dari sisi kuantitasnya. Dari sisi fisik bangunannya juga tampak kemegahannya. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah perkembangan sedemikian juga dibarengi dengan peningkatan kualitas layanan dan peran yang dibawa melalui masjid yang ada? Adakah melalui masjid kita dapat berharap banyak untuk membentengi umat dari segala persoalan kemanusiaan, keummatan dan berbagai persoalan global yang semakin menerpa dalam kehidupan manusia saat ini? Apapun jawabanya, jelas bahwa melalui masjid aktivitas dakwah dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Melalui masjid peta dakwah dapat disusun sedemikian rupa, hingga menghasilkan gerakan dakwah yang efektif dan berhasil kedepan.
Sementara itu, untuk konteks Kalimantan Barat umumnya, dan Kota Pontianak khususnya, tampak adanya kendala dalam merencanakan formulasi gerakan dakwah yang lebih efektif dan berhasil. Hal ini disebabkan antara lain, kurangnya referensi mengenai simpul-simpul umat, termasuk keberadaan masjid dengan gambaran jamaahnya yang lebih utuh dan komprehenshif. Gerakan dakwah yang dijalankan selama ini terkesan berjalan sendiri-sendiri, dengan perspektif yang juga masing-masing tak berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Oleh itu dipandang perlu adanya peta dakwah yang baik bagi mewujudkan gerakan dakwah yang berhasil kedepan. Karena itu profil masjid sebagaimana disajikan dalam buku ini menjadi salah satu modal awal untuk membangun peta dakwah di Kalimantan Barat.
Sebagai suatu kumpulan tulisan dari hasil kajian singkat dan masih sangat sederhana, kami berupaya menyajikan keseluruhan tulisan profil Masjid se-Kota Pontianak berdasarkan perwakilan kawasan, yakni profil masjid di wilayah Pontianak Selatan, Pontianak Timur, Pontianak Barat, Pontianak Tenggara dan Pontianak Utara. Adapun masjid di wilayah Pontianak Kota tidak menjadi bagian dari kajian profil ini disebabkan kawasan sudah pernah dikaji oleh aktivis dakwah lain yang lain.
Untuk masjid di wilayah Pontianak Selatan, kami memilih Masjid Raya Mujahidin, Masjid Al-Jihad, Masjid Baiturrahman, Masjid Nurul Hasanah dan Masjid Miftahudin. Sedangkan untuk masjid di wilayah Pontianak Timur kami memilih Masjid Jami` Arrahman Keraton, Masjid Jami` Harunia, Masjid Al-Karim, dan Masjid Ar-Rafiul A`la. Untuk masjid di wilayah Pontianak Barat kami mengambil profil Masjid Agung Al-Falah, Masjid Sirajudin, Masjid Sirajul Munir, Masjid As-salam dan Masjid Ar-Risalah. Sedangkan untuk masjid di wilayah Pontianak Tenggara diambil profil Masjid Baitul Makmur, Masjid Islamiyah, Masjid Ikhwanul Mukminin, dan Masjid Quba. Terakhir untuk masjid di wilayah Pontianak Utara diambil profil masjid Baburrahman, Jalan Selat Panjang.
Pilihan masjid-masjid tersebut dalam kajian profil ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, baik menyangkut teknik kajian mahupun refresentasi kawasan pemetaan dakwah di wilayah Kota Pontianak. Dari sisi teknik, pemilihan masjid tersebut merupakan satu bentuk keterbatasan dari kemampuan para pengkaji, dimana kami tidak mungkin melakukan kajian dan menulis profil semua masjid yang ada di Kota Pontianak, karena itu kami memilih beberapa masjid saja. Dari sisi refresentasi, masjid yang dipilih dalam profil ini adalah masjid yang memiliki karakteristik yang khas seperti usia masjid yang tergolong tua, keberadaan jamaah yang juga ramai, serta memiliki nilai sejarah.
Sebagai suatu karya dari hasil kajian sederhana dan pemula, tentunya banyak kekurangan dari profil ini. Akan tetapi dengan i`tikad yang baik untuk kemaslahatan gerakan dakwah yang lebih besar ke depan, sedikit sebanyak profil masjid se-Kota Pontianak ini mempunyai peran dan manfaat tersendiri bagi upaya merumuskan Peta Dakwah Islam di Kalimantan Barat.
Akhirnya, dengan wujudnya Peta Dakwah (melalui profil masjid) ditambah lagi dengan wawasan yang memadai pada para juru dakwah dalam merencanakan gerakan dakwah kedepan, Insya Allah akan mampu mewujudkan gerakan dakwah yang lebih efektif dan berhasil dalam membangun ummat muslim yang paripurna, kaffah dan insan kamil, Wallahu a`lamu bish shawab.

Menara Damai, 10 Januari 2011
Tertanda,


Editor

MELAYU: BICARA TENTANG KITA

Ibrahim MS (Direktur Malay Corner STAIN Pontianak)
Pengantar editor untuk buku KEARIFAN KOMUNIKASI DALAM PANTANG LARANG MELAYU DI NANGA JAJANG. Diterbitkan STAIN Press, Mei 2010

Dalam banyak kesempatan, seringkali kita masih mendengarkan pertanyaan mengenai `siapa sebenarnya Melayu`. Sekilas pertanyaan demikian tentu membuat kita tersentak kaget, sebab yang ditanyakan itu adalah diri kita, atau komunitas yang kita akui sebagai identitas sosial etnik kita. Bahkan yang bertanya pun juga bagian dari komunitas itu sendiri.
Dalam pikiran sederhana, semestinya dengan mudah kita dapat menjelaskan mengenai siapa diri kita dan atau komunitas kita. Tapi kenyataannya tidak demikian untuk pertanyaan yang satu ini, `siapa Melayu`. Pertanyaan ini sesungguhnya tidak pernah dapat diberikan jawaban yang tunggal sepanjang sejarah social mengenai `apa dan siapa yang kita sebut sebagai Melayu hingga hari ini. Beragam defenisi yang telah diberikan oleh para pengkaji Melayu sesuai dengan perspektif mana yang digunakan. Dari sisi budaya dan bahasa, oleh para pengkaji Melayu didefenisikan sebagai orang yang berbudaya dan berbahasa Melayu, walaupun kenyataannya beragam pula budaya dan bahasa Melayu itu. Dari sisi agama, Melayu didefenisikan sebagai komunitas yang beragama Islam, tapi kenyataannya beragam pula komunitas yang memeluk Islam di wilayah nusantara ini, dan bahkan ada sebagian keturunan (yang diidentifikasi sebagai) Melayu yang tidak beragama Islam.
Sulitnya memberikan defenisi yang pasti dan tunggal tentang Melayu, agaknya disebabkan oleh beberapa paktor; pertama, panjang dan kompleknya sejarah sosial yang terjadi di nusantara ini, terutama menyangkut komunitas yang hendak didefenisikan sebagai Melayu; kedua, beragamnya perspektif keilmuan para ahli dalam mengkaji tentang Melayu, sehingga menimbulkan keragaman yang luar biasa dalam mendefenisikan tentang siapa Melayu, termasuk dari para ilmuan `Melayu` itu sendiri; ketiga, merupakan bukti bahwa sesungguhnya Melayu itu besar, wujud di tengah kompleksitas sosial, budaya, politik, ekonomi dan agama di seluruh wilayah nusantara ini. Karena itulah, kajian mengenai Melayu tidak akan pernah habis-habisnya (selesai). Dengan itu pula, pertanyaan mengenai `siapa sebenarnya Melayu` juga tidak akan pernah dapat dijawab secara tunggal dan pasti, karena siapapun, kapanpun, dimanapun dan dengan perspektif apapun akan selalu dapat memberikan jawabannya. Jika pun kita harus sepakat dengan salah satu defenisi dan menggunakannya dalam konteks mengkaji tentang Melayu, maka defenisi tersebut tetap terbatas, sesuai dengan perspektif tertentu yang digunakan untuk melihat siapa sebenarnya Melayu.
Pernyataan di atas dapat dibuktikan dengan beragamnya defenisi yang diberikan oleh para pengkaji mengenai `siapa sebenarnya Melayu`, baik dari para ilmuan kolonial seperti Enthoven (1903), Bouman (1924), Bos (1917), Van der Puten (1917), dan sebagainya, maupun setelah kemerdekaan seperti Gerlach (1981), King (1993) dan banyak lagi para ilmuan kontemporer abad ini. Hal ini, sekali lagi disebabkan mengkaji tentang Melayu memang menarik, karena Melayu sangat kompleksitas sebagaimana kompleksitasnya sejarah sosial yang berlangsung di seluruh wilayah nusantara ini. Kesadaran itulah setidaknya yang menjadi semangat mengkaji tentang Melayu terus muncul dalam sejarah, termasuk apa yang dilakukan oleh teman-teman peneliti dan akademisi melalui tulisan yang ada dalam buku ini.
Buku ini, sesungguhnya merupakan kumpulan tulisan dari para peneliti dan akademisi yang telah berpartisipasi sebagai pemakalah dalam Seminar Melayu Nusantara 2 yang diselenggarakan oleh Malay Corner STAIN Pontianak akhir tahun 2009. Sebagaimana lazimnya sebuah buku yang baik, kami berupaya untuk menyusun seluruh tulisan ini menjadi lebih sistematis, punya alur berpikir yang baik dan kerkesinambungan. Karena itu, tulisan ini disusun secara tematik, berdasarkan kelompok tema dan perspektif kajian masing-masing dari tulisan yang ada. Meskipun ada beberapa tulisan yang agaknya dipaksakan untuk masuk pada salah satu tema dalam buku ini. Hal ini mesti dimaklumi sebagai satu bentuk keterbukaan terhadap kompleksitas kajian tentang Melayu.
Meskipun agak dipaksakan, secara keseluruhan ada tiga bagian tulisan dalam buku ini. Bagian pertama berisi tulisan mengenai Perspektif tentang Orang Melayu. Bagian ini terdiri dari tulisan Patmawati mengenai `Melayu dalam Perspektif Sejarah`; Juniawati yang menulis mengenai `Identitas Melayu dalam Perspektif Media`; dan Kristianus Atok yang menulis mengenai `Identitas Melayu dari Perspektif Sosial`.
Bagian kedua pada buku ini berisi tulisan mengenai Bahasa dan Identitas orang Melayu. Bagian ini terdiri dari tulisan Dedy Ary Aspar dan Prima Dwantika yang mengkaji tentang `Bahasa dan Identitas Melayu Pontianak`; Irmayani yang menulis tentang `Proses Morpologi dalam Bahasa Melayu Pontianak`; Martina menulis tentang `Bahasa Melayu di Media Kalimantan Barat`; dan Dewi Juliastuti yang menulis mengenai `Identitas Melayu dalam Seni Lagu Daerah`.
Bagian ketiga berisi tulisan mengenai Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu di Kalimantan Barat. Bagian ini terdiri dari tulisan Erwin dan Andi Gidang mengenai `Nilai-nilai Pendidikan dalam Tradisi Tepung Tawar di Sambas`; Ibrahim MS yang menulis mengenai `Tradisi dan Komunikasi dalam Tepung Tawar pada Masyarakat Melayu Nanga Jajang`; dan Didi Darmadi yang menulis mengenai `Tradisi Peladangan orang Melayu Buyan dan beberapa peralatannya`.
Dari ketiga bagian tulisan dalam buku ini, tampak bahwa jika dikerucutkan kajiannya, hanya ada 2 katagori yang dibincangkan mengenai orang Melayu di Kalimantan Barat. Katagori pertama adalah tradisi yang diwujudkan dalam seni lagu daerah, tepung tawar dan peladangan. Katagori kedua adalah komunikasi yang berwujud upaya-upaya mengenal orang Melayu (perspektif tentang Melayu) dan bahasa (alat komunikasinya), termasuk komunikasi dalam tradisi sosialnya. Karena itu, buku ini diberi judul “Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu”.
Buku ini, dan semua tulisan yang ada memiliki kekuatan masing-masing, sesuai dengan perspektif yang digunakan. Karena itu sangat baik dibaca dan dijadikan salah satu referensi penting tentang Melayu, khususnya kajian Melayu di Kalimantan Barat.
Sebagai editor, yang telah berusaha untuk menghimpun semua tulisan ini, membaca dan melakukan editing, menyusunnya hingga siap diterbitkan menjadi sebuah buku ini, tentu merasa bangga dan bahagia. Meskipun dengan senantiasa menyadari kemungkinan terdapat beberapa kekurangan dari buku ini, terutama menyangkut kapasitas kerja dan tanggung jawab editor.
Apapun hasilnya, puji syukur kehadirat Allah Swt buku ini telah diterbitkan dan dipublikasi ke masyarakat. Karena itu hanya satu harapan dari kami, buku yang sederhana ini bermanfaat buat para pembaca sekalian, semoga.
Selamat Membaca!



Pontianak-Damai, 15 Maret 2010



Editor