Selasa, 30 April 2013

HILANGNYA PENDIDIKAN MADRASAH


Catatan Singkat di Dusun Gunung Ambawang, Desa Sungai Deras

Oleh: Ibrahim MS

SUNGAI DERAS: BAYANGAN AWAL
Beberapa hari sebelum keberangkatan mahasiswa ke lokasi KKL, kami dosen pembimbing diundang serta oleh panitia guna mendengarkan penjelasan mengenai lokasi masing-masing posko penempatan mahasiswa bimbingan. Satu persatu kelompok dijelaskan lokasinya oleh panitia kepada dosen pembimbing. Saya sendiri sebagai salah seorang pembimbing menunggu dengan sabar sampai penjelasan mengenai lokasi kelompok bimbingan saya dijelaskan panitia.
“Berikutnya lokasi di Sungai Deras”, kata salah seorang panitia ketika memulai penjelasan mengenai kelompok kami yang merupakan wilayah Kecamatan Teluk Pakedai. Dengan teliti dan penuh sabar saya mendengarkan penjelasan tersebut. Ketika sampai giliran lokasi kelompok 4 di Desa Sungai Deras B dengan dosen pembimbing saya sendiri, panitia mengatakan bahwa “kelompok ini belum tau pasti poskonya, karena kami tim survey tidak sampai ke lokasi tersebut dengan suatu alasan, tapi yang pasti lokasinya di kaki gunung”, itulah pernyataan dari tim survey ketika itu.
Mendengar hal ini, saya sedikit kecewa dengan tim survey panitia dan meminta mereka menggenahkan kerja-kerja survey itu. Dalam hati saya terbayangkan bahwa pasti lokasi ini jauh, dan mungkin akan lebih sukar dijangkau, di kaki gunung, begitulah bahasanya. Saya juga mulai menduga, jika lokasi ini berada di kaki gunung pada satu sisi, dan pada sisi lain ia dekat dengan sungai atau laut sehingga disebut dengan Sungai Deras.
“Ok lah, apapun bayangan itu, pastinya ada panitia yang bertanggung jawab mengurusnya, dan juga mengantar kami bersama mahasiswa kelompok 4 ke sana”. Begitulah pernyataan sabar dalam diri saya ketika itu.  Pada hari yang telah dijadwalkan, kamipun berangkat menuju lokasi masing-masing, termasuk kelompok bimbingan saya di Sungai Deras B.

SUNGAI DERAS B – DUSUN GUNUNG AMBAWANG
Setibanya kami (kelompok 3 dan 4) di Desa Sungai Deras tengah hari itu, saya tidak lagi mendengar sebutan Sungai Deras B, yang ada adalah Desa Sungai Deras dan Dusun Gunung Ambawang.
“Dari dua kelompok ini, satu di Desa Sungai Deras ini, satu lagi di Dusun Gunung (Ambawang)”, itulah yang saya dengar dari salah seorang pegawai desa yang menerima rombongan kami hari itu.
Meski masih teringat dengan bayangan sebelumnya jika Dusun Gunung ini jauh di sana. Saya coba bertanya kepada salah seorang warga desa yang kebetulan mengurus sesuatu di kantor desa siang itu.
“Jauhkah Dusun Gunung itu Pak?”.
“Ya, antara 15 – 20 kilo gitulah”, jelasnya.
“Oh, lumayan”, saya mengiyakan jawab bapak itu.

Sementara itu, kelompok 3 sudah bersiap menuju posko mereka. Kami juga mulai bersiap menuju Dusun Gunung dengan pick up yang juga sudah standby menunggu. Satu persatu mahasiswa dengan barang bawaan naik di atas pick up itu. Saya sendiri juga bersiap memulai perjalanan ke Dusun Gunung dengan sepeda motor andalan yang sengaja saya bawa dari Pontianak.
Singkat kata, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 1 jam kamipun sampai di sebuah kampung dengan dua cabang. Ini lah rupanya Dusun Gunung Ambawang yang terdiri dari Cabang Kanan dan Cabang Kiri. Kami dengan rombongan dibawa menyusuri Cabang Kiri hingga sampai di sebuah masjid,Masjid Istiqamah namanya. Disamping masjid itu tampak sebuah bangunan sekolah yang masih bertuliskan plang Madrasah Ibtidaiyah Al-Istiqamah. Disitulah kami berhenti dan memulai komunikasi dengan seorang lelaki yang tampak sepuh menunggu kami di bangunan tua Madrasah itu. Lelaki sepuh yang tidak memakai baju ketika itu ternyata adalah Pak Abdul Hamid, pengurus masjid yang juga Ketua RT 8 di Dusun Gunung Ambawang.
Beliau inilah yang disebutkan oleh pak Kadus (ketika saya hubungi melalui telepon) untuk ditemui apabila rombongan sampai di lokasi.
“Alhamdulillah sampai juga. Orang yang harus ditemui juga sudah dijumpai. Persoalan posko dan kehadiran mahasiswa KKL di kampung ini juga sudah selesai dibicarakan bersama pak Hamid”. Begitulah bisikan syukur dan lega dalam hati saya ketika itu.

MADRASAH IBTIDAIYYAH ISTIQAMAH
Dengan bentuk bangunan yang khas sebagaimana lazimnya gedung sekolah cukup memberikan identitas bahwa bangunan itu adalah sebuah sekolah. Ketika mengamatinya dari dekat, ternyata pada dinding bagian depan bangunan itu masih jelas sebuah plang nama yang bertuliskan Madrasah Ibtidaiyah Al-Istiqamah.
Saya merasa bangga dan terharu, karena di kampung ini ada sebuah madrasah, dimana kami bersama rombongan mahasiswa KKL diterima oleh seorang lelaki sepuh dengan penampilan yang santai. Lelaki tua itu menunjukkan kami dengan gedung tua madrasah itu dan menyilakan kami masuk ke dalamnya.
“Maaf, apakah bapak ini pak Abdul Hamid?” Tanyaku.
“Iya, saya pak Abdul Hamid”, jawabnya.

Nama ini saya kenal sejak di kantor desa di Sungai Deras, dimana beliau ini merupakan ketua salah satu RT di Dusun Gunung Ambawang ini.
Sebagaimana orang yang baru datang (alias tamu), saya menyapa ramah beliau sambil mengenalkan diri dan rombongan mahasiswa yang datang. “Kami dari STAIN Pontianak”, jelasku kepada beliau. Dengan penuh percaya diri, pak Hamid yang saat itu tidak mengenai baju menerima kedatangan kami. Bahkan beliau mengatakan bahwa mereka sudah mendapat kabar kedatangan kami, dan dalam rangka apa kedatangan kami. Karena itu mereka (warga) sudah menyiapkan bakal tempat nginap (posko) mahasiswa.
“Inilah rencananya tempat penginapan mahasiswa. cuman, mungkin perlu kita buat sekat dulu untuk yang ibu-ibu (mahasiswi maksudnya). Ini ada terpal sudah saya siapkan”, jelas pak Hamid dengan polos.
Dengan kondisi bangunan sekolah madrasah itu yang sudah tua, jendela tembus pandang dan bebas hambatan, atap bangunan yang tampak kelang kelip karena tembus pandang ke langit, sebagian lantai yang terbuka seperti bak sampah membuatku sedikit ragu dengan calon posko mahasiswa.
“Ada alternatif lain kah pak untuk penginapan mahasiswa?”
Saya coba bertanya siapa tau ada tempat yang lebih meyakinkan.
Dengan tampak ragu-ragu dan sempat diam sejenak. Pak Hamid minta izin untuk keluar dan menemui salah satu warga yang ada di rumah persis di depan madrasah lama itu. Sementara para mahasiswa tampak memikirkan kemungkinan posko mereka memang di madrasah itu. Beberapa saat kemudian pak Hamid datang dan kembali berbincang dengan saya.
“Pak, ini di depan ini ada rumah. Rumah besan saya. Jadi kalau yang ibu-ibu (mahasiswa) mau tidur di rumah silakan kata besan saya. Tapi mohon dimaklumi kalau pagi tuan rumahnya pergi ke kebun. Kalau mahasiswa tak merasa ngak nyaman taka apa. Terus soal alat masak mereka punya ngak? Nanti kalau untuk masak, mereka bisa dibuatkan dapur di bagian teras (menyekat teras) katanya. Jadi prinsipnya, mohon dimengerti, agar jangan sampai merugikan sebelah pihak”. Itulah kehati-hatian tuan rumah yang disampaikan oleh pak Hamid dengan pilihan rumah ini.
“Baik pak, terima kasih atas tawaran ini. Tapi saya perlu bertanya kepada para mahasiswa untuk menimbang dimana sebaiknya posko mereka”, aku meminta diri kepada pak Hamid.
Pertemuanpun kami gelar. Kami berdiskusi dengan tawaran-tawaran itu dan mempertimbangkan dengan baik hingga pada akhirnya dengan yakin para mahasiwa tetap memilih gedung madrasah sebagai posko mereka dan bersedia untuk mengemasnya sehingga layak huni. Kamar perempuan dibuatkan sekat darurat dengan terpal. Bola listrik pun dialirkan dari masjid. Untuk mandi mahasiswa sudah dapat izin dari pak Hamid menumpang di kamar mandi masjid. Singkat kata, dalam waktu 2 jam posko kelompok kami siap, dan bermulalah babak baru cerita mahasiswa sebagai warga Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Al-Istiqamah Dusun Gunung Ambawang sore itu.
Karena sejak sore itu, gedung MI Al-Istoqamah tidak lagi menyelanggarakan pendidikan untuk anak-anak Ibtidaiyah, sebab madrasah ini sudah lama menghilang dari aktivitas pendidikannya. Madrasah ini yang secara administratif masih terdaftar di Kemenag Kabupaten Kubu Raya, namun tidak lagi mampu menyelenggarakan PBM sebagaimana mestinya.
Sejak sore itu pula, gedung madrasah itu sudah menjadi kampus, sebab didiami oleh mahasiswa KKL. Gedung MI itu telah menjadi kampus dan asrama buat mahasiswa kelompok 4. Disinilah mereka akan menempa diri, berdiskusi dan merencanakan program pengabdian selama hampir dua bulan, dan di sini pula mereka menghilangkan penat dari aktivitas dan rutinitas PBM bersama warga kampong Dusun Gunung Ambawang.
Sejak sore itu pula, gedung madrasah yang memiliki ciri bangunan sekolah pada umumnya tidak lagi sunyi dari siswa atau guru-guru. Sebab gedung MI telah merubah menjadi tempat ramai dengan mahasiswa KKL sebagai penghuninya.
Alhamdulillah, semangat hidup dan kehidupan telah tampak kembali di bekas bangunan lama yang masih dengan jelas diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Al-Istiqamah Dusun Gunung Ambawang. Madrasah yang hilang (guru dan muridnya) sebelum ini telah hidup kembali dengan kehadiran mahasiswa KKL dengan segenap aktivitas yang telah, sedang dan akan dilakukan selama 2 bulan di lokasi. Harapannya tentu saja adalah, madrasah ini akan betul-betul hidup dengan aktivitas PBM nya setelah ditinggalkan oleh mahasiswa KKL.

HARAPAN; AKANKAN TINGGAL KENANGAN
Dalam beberapa kesempatan saya coba mendiskusikan mengenai madrasah itu kepada para sesepuh dan pemuka masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, khususnya Cabang Kiri. Saya ingin mendengar cerita dari mereka mengenai Madrasah Ibtidaiyah itu hingga ke-vakumannya saat ini.
Dari diskusi tersebut, setidaknya ada dua hal yang saya dapatkan. Pertama, MI itu awalnya berjalan dengan baik, mempunyai siswa yang lumayan banyak. Akan tetapi dalam perjalanannya, seringkali proses belajar mengajar (PBM) tidak terlaksana dengan baik, siswa terlantar, dan hasil belajar mereka juga rendah. Hal ini menurut mereka disebabkan kurangnya tenaga pengajar (guru) yang bisa standby dan memberikan perhatian penuh untuk mengurus MI tersebut.  Akibatnya, sebagian besar orang tua mulai menarik anak-anaknya dari madrasah, dan memindahkannya ke Sekolah Dasar (SD), meskipun agak lebih jauh jarak tempuhnya. Kondisi ini diperparah lagi dengan ketiadaan upaya kongkrit yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mendukung (bahkan memperbaiki) proses belajar di madrasah. Dari pihak guru sendiri juga tampak sikap acuh dan kurang bertanggung jawab dengan tugasnya membangun madrasah, bahkan akhirnya berhenti atau pindah tugas. Begitupun dengan pihak kementeriaan agama selaku lembaga yang menaungi pendidikan madrasah juga tidak bisa memberikan solusi apa-apa terhadap persoalan tersebut, bahkan sekedar turun meninjau dan memberikan pembinaan juga tidak pernah, begitulah cerita mereka tentang madrasah ini.
Kedua, sesungguhnya masih ada harapan dan keingininan pada sebagian masyarakat agar Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah dapat hidup kembali, menyelenggarakan PBM dengan baik, sebagaimana layaknya. Harapan ini muncul dari kesadaran akan pentingnya pendidikan madrasah bagi anak-anak mereka. Meskipun ada sekolah SD sebagai pilihan pendidikan anak-anak mereka, akan tetapi mereka sadar bahwa ada nilai plus (kelebihan) pendidikan madrasah dibandingkan dengan pendidikan umum (SD), terutama muatan-muatan keagamaan. Hal inilah yang menjadi harapan dan keinginan pada sebagian warga agar pendidikan madrasah dapat dihidupkan kembali.
Berdasarkan informasi dari pak Hamid (Ketua RT yang juga Ketua Masjid Istiqamah) dan pak Solihin (Kasi Kesra Desa Sungai Deras yang juga warga Dusun Gunung Ambawang), peluang menghidupkan kembali madrasah ini masih terbuka lebar, sebab secara administratif madrasah ini masih terdaftar di Kementerian agama Kabupaten Kubu Raya. Dengan kata lain, meskipun sudah beberapa tahun ini Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah tidak lagi beroperasi (sebagaimana persoalan di atas), namun sesungguhnya madrasah ini belum ditutup secara resmi administratif di Kementrian Agama. Konon katanya, masyarakat masih diberikan waktu untuk memikirkan dan mengevaluasi kemungkinan menghidupkan kembali PBM di madrasah ini.
Mendengar penjelasan tersebut, sontak saya merasakan ada harapan yang mungkin dapat diwujudkan untuk kembali hidupnya madrasah ini. Karena itu saya melanjutkan pertanyaan kepada pak Solihin dan pak Hamid. “Lantas apa yang disiapkan dan akan dilakukan oleh warga disini untuk masa depan Madrasah?”Dengan nada datar dan singkat keduanya menjawab, “tak taulah, tak ada guru yang mau mengajar lagi, anak-anak juga sudah sekolah ke SD semua”. Semula saya berpikir ada upaya konkrit tertentu yang mereka lakukan untuk mewujudkan harapan mereka. Akan tetapi jawaban keduanya justru menunjukkan sebuah harapan yang semu.
Saya kembali mendesak mereka dengan beberapa pertanyaan lanjutan, seperti; “sudah pernahkan warga disini meminta Kemenag untuk menugaskan guru di madrasah ini? Apakah bapak ibu dan warga disini bersedia menyekolahkan kembali anak-anak di madrasah ini? Bukan harus ke SD? atau peran apa yang telah dan akan dilakukan oleh warga disini dalam membantu jalannya PBM di madrasah ini? Apakah jika ada yang dapat membantu proses ini di Kemenag seperti penempatan guru baru di sini, warga akan mendukung sepenuhnya dengan mengembalikan sekolah anak-anak ke madrasah ini?” Lagi-lagi, saya tidak mendapatkan jawaban yang baik, tegas dan meyakinkan. Kondisi ini membuat saya sampai pada satu kekhawatiran akankah harapan kembali hidupnya madrasah ibtidaiyah al-Istiqamah ini hanya tinggal harapan.., atau harapan yang akan sirna menjadi kenangan..

POTENSI YANG BISA DIMANFAATKAN
Berdasarkan pengamatan singkat di lapangan, sesungguhnya masih ada banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali pendidikan di madrasah, antara lain gedung sekolah, SDM lokal (guru dan anak-anak), hingga refresentasi keberadaannya.
Dari sisi gedung sekolah, Madrasah Ibtidaiyah memiliki bangunan sekolah yang masih relatif baik dan layak untuk penyelenggaraan PBM. Artinya bahwa, dengan sedikit renovasi (perbaikan), gedung madrasah yang ada masih layak digunakan untuk penyelenggaraan proses belajar mengajar, meskipun baru ada dua lokal ruang kelas dan 1 ruang kantor yang saat ini justru dikontrakkan sebagai tempat tinggal warga.
Dari sisi SDM tenaga pengajar, di Dusun Gunung Ambawang sesungguhnya ada beberapa alumni pendidikan tinggi, termasuk STAIN Pontianak seperti pak Imran dan beberapa anggota keluarga dekatnya. Jika ada kemauan dan upaya masyarakat untuk memperjuangkan keberadaan madrasah, akankah mereka ini tidak mau mengabdi dan bertugas di kampung sendiri..?
Begitupun dari sisi anak-anak, kunjungan singkat penulis di Dusun Gunung Ambawang menemukan ada ramai anak-anak usia sekolah (madrasah) yang memiliki semangat belajar yang tinggi, terutama pendidikan agama dan TPA. Ini terlihat dari aktivitas mereka di masjid al-Istiqamah, belajar TPA dan mengisi waktu-waktu shalat berjama`ah.
Dari sisi refresentasi keberadaan sekolah, madrasah ini berada paling dekat dengan pemukiman warga Gunung Ambawang khususnya Cabang Kiri. Madrasah ini juga berada persis disamping Masjid al-Istiqamah, satu-satunya masjid di Cabang Kiri. Sementara SD berada lebih dari 1 km dari lingkungan masjid dan juga konsentrasi pemukiman penduduk Cabang Kiri. SD lebih dekat dengan pemukiman penduduk di Cabang Kanan.
Belum lagi informasi terakhir yang didapati oleh mahasiswa KKL dari Kantor Kecamatan Teluk Pakedai yang mengatakan bahwa pihak pemerintah setempat (melalui kecamatan) telah menyiapkan anggaran khusus untuk menghidupkan kembali madrasah tersebut. Sungguh suatu berita yang menyenangkan, yang bisa menjadi semangat lebih bagi para pemuka masyarakat khususnya, dan masyarakat Dusun Gunung Ambawang umumnya yang mendambakan kehidupan kembali madrasah Ibtidaiyyah ini. Karena itu, kepada mahasiswa peserta KKL saya menyampaikan harapan dan dukungan untuk segera menyampaikan kabar baik ini dan terus memberikan semangat kepada masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, khususnya para pemuka masyarakat dan sesepuh untuk dapat memikirkan, merencanakan dan segera melakukan langkah-langkah kongkrit dalam upaya merealisasi cita-cita menghidupkan Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah.     
Kondisi ini menurut penulis  merupakan potensi yang besar, yang masih dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali Madrasah Ibtidaiyab Al-Istiqamah, bahkan memajukannya. Hanya saja persoalannya adalah, apakah warga Dusun Gunung Ambawang (khususnya Cabang Kiri) betul-betul berkeinginan dan berharap untuk menghidupkan kembali madrasah ini kedepan? Dengan anggaran yang telah disipakan pemerintah, apakah masyarakat di Dusun Ambawang dapat memanfaatkan peluang dan dukungan ini? Jika mereka sepakat untuk membangun kembali madrasah, maka ada banyak pilihan yang dapat dilakukan segera, termasuk meminta dukungan dan pembinaan dari Kemenag Kabupaten Kubu Raya. Dengan kata lain, hidup atau matinya pendidikan di madrasah ini utamanya ditentukan oleh semangat dan dukungan riil dari seluruh masyarakat di Dusun Gunung Ambawang.

KEHADIRAN MAHASISWA KKL
Kehadiran mahasiswa dalam program KKL di kampung ini sesungguhnya bisa menjadi semangat baru pada masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, khususnya pada aspek pendidikan keagamaan. Nuansa keislaman dan pendidikan keagamaan yang menjadi ciri profesionalitas mahasiswa yang ber-KKL dalam setiap program pangabdiaan sejatinya dapat menjadi daya tarik dan kerinduan tersendiri pada orang-orang tua akan pentingnya pendidikan agama ditanamkan pada generai anak-anak mereka sejak dini.
Kerinduan dan daya tarik tersebut pada akhirnya akan menjadi semangat baru untuk memandang pentingnya keberadaan madrasah sebagai pendidikan agama pertama dan utama bagi generasi anak-anak mereka. Karenanya, mahasiswa dapat menjadikan proyek penyadaran ini sebagai misi penting dalam melaksanakan programnya di lapangan.
Dengan misi penyadaran ini, mahasiswa juga dapat memberikan pencerahan kepada warga akan pentingnya pendidikan agama bagi generasi anak-anak sejak dini, yang tentu saja tidak cukup didapatkan pada sekolah SD dan TPA. Bahkan mahasiswa mempunyai peluang membangun kekuatan sosial (social force) dari masyarakat itu sendiri untuk bergerak dan memperjuangkan apa saja yang menjadi harapan dan cita-cita mereka bersama ke depan, terutama menghidupkan kembali pendidikan madrasah. Penelusuran akan informasi adanya anggaran yang telah disiapkan oleh pemerintah (melalui kecamatan) untuk menghidupkan madrasah ini merupakan satu bukti adanya peran dan dukungan yang diberikan oleh mahasiswa KKL di lapangan. Apalagi jika kondisi ini didukung oleh upaya penyemangatan (supportivenes) yang baik melalui keseluruhan program KKL di lapangan. 
Apapun hasilnya dan pengaruh yang dapat diberikan oleh mahasiswa selama berada di lokasi KKL, yang pasti penguatan aspek pendidikan keagamaan mesti menjadi warna yang jelas dalam segenap aktivitas dan program kegiatan mereka. Sebab hanya dengan itu masyarakat akan melihat nilai penting dan unggul dari sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam yang notabene memiliki nilai-nilai sinergis dengan pendidikan madrasah yang harus mereka perjuangkan hari ini, yakni pendidikan madrasah yang berada dalam dilema hidup dan mati. Hidup karena secara administratif madrasah ini masih diakui keberadaannya di Kementerian Agama Kabupaten Kubu Raya. Mati karena secara riil tidak ada lagi proses belajar mengajar yang masih berjalan di madrasah ini. Akankan madrasah ini akan dapat hidup kembali, atau justru akan hilang dalam sejarah masyarakat Dusun Gunung Ambawang? Perjalanan waktu yang akan menjawabnya.
Sementara bagi para mahasiswa, apa yang dapat dilakukan dengan program KKL ini? Pastinya, berikan peran yang maksimal sesuai dengan batas tanggung jawab dan kapasitas yang dapat anda lakukan. Insya Allah sebuah amal baik (sekecil apapun ia) tidak akan pernah hilang dari catatan amal kita, meskipun sejarah hidup kita telah berakhir.…?
Akhirnya, semoga upaya menghidupkan kembali Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah dapat direalisasikan oleh masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, amin.