Senin, 09 Februari 2009

Kearifan dalam Tradisi Buma

KEARIFAN DALAM TRADISI BUMA

(Penghormatan terhadap alam melalui Pantang Larang dalam tradisi Buma Masyarakat Melayu Nanga Jajang)

Oleh: Ibrahim MS, MA (Dosen STAIN Pontianak)

(e-mail: ab_irhamiy@yahoo.com hp: 081522647310)

Pendahuluan

Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia memiliki ratusan kearifan lingkungan yang tersebar pada masyarakat berbagai etnik, yang oleh para ilmuan dan pengambil kebijakan dipercayai bahwa masyarakat lokal (dengan kearifannya) adalah pelaku dalam mewariskan pengetahuan dan tradisi dalam pengelolaan sumber daya alam yang sesungguhnya (Andi M. Akhmar, 2007).

Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan terbukanya berbagai pengaruh globalisasi dalam kehidupan umat manusia, telah turut mempengaruhi cara hidup dalam suatu masyarakat. Bahkan akibat pengaruh tersebut, kearifan lokal seperti nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan sikap ketauladanan lainnya juga sudah mulai terkikis dalam kehidupan dan budaya masyarakat (Abdur Rozaki, 2004). Menurutnya, Visi dan ideologi pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi,perkembangan fisik dan material dibandingkan dengan nilai spiritualitas dan kearifan lokal (local wisdoms) dipropagandakan oleh mesin-mesin negara, dalam banyak hal turut mempengaruhi cara berpikir dan bertindak sebagian besar anggota masyarakat. Tidak menutup kemungkinan kondisi seperti ini juga terjadi pada masyarakat kita di daerah, karena itu diperlukan satu upaya untuk mengangkat dan menguatkan kembali perannya sebagai perekat nilai kemanusiaan dan keseimbangan alam jagat raya ini.

Kearifan dalam tradisi Buma (peladangan) pada masyarakat Melayu Nanga Jajang, merupakan satu kajian singkat yang hendak mengungkapkan bagaimana proses peladangan yang dilakukan oleh masyarakat, bagaimana kearifan lokal dalam memelihara alam dan keseimbangannya melalui tradisi berladang, serta beberapa pantang larang sebagai kearifan lokal masyarakat dalam tradisi tersebut.

Kajian ini dilakukan pada masyarakat Melayu dusun Nanga Jajang, Kecamatan Batu Datu, Kabupaten Kapuas Hulu. Dusun ini didiami oleh lebih kurang 100 kepala keluarga, yang sebagian besar masyarakatnya adalah Melayu dan petani ladang musiman. Dusun ini terletak di bagian selatan Kabupaten Kapuas Hulu, atau tepatnya berada di pesisir jalan Lintas Selatan menuju kota Putussibau. Berikut petanya.

Gambar 1: Peta Kabupaten Kapuas Hulu

Ng Jajang

PETA Kapuas Hulu

Sumber: dikutif dari Ibrahim, 2007.

Kajian singkat ini tentu saja belum mampu mengungkap sepenuhnya kearifan lokal dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang, khususnya pada tradisi peladangan. Akan tetapi beberapa hal yang diungkapkan dalam kajian ini cukup memberikan gambaran betapa arifnya masyarakat dalam memelihara keseimbangan alam dan usaha hidup mereka. Ladang berpindah dan membuka lahan baru tidak bermakna sebagai perusakan alam sebagaimana difahami oleh banyak kalangan luar yang tidak mengerti kearifan masyarakat. Masyarakat Melayu di Nanga Jajang sesungguhnya mempunyai banyak kearifan dalam memelihara alam dan keseimbangan, meskipun mereka hidup dalam sistem peladangan berpindah dan membuka lahan baru untuk menanam padi dan sebagainya. Kearifan tersebut dapat dilihat salah satunya seperti disimbolkan dengan beberapa pantang larang dalam masyarakat.

Inilah beberapa hal yang akan dikaji dalam tulisan singkat ini.

Prosesi Peladangan dalam Tradisi Masyarakat

Ir. Rahmat Witoelar (Menteri Negara Lingkungan Hidup RI) pernah mengungkapkan bahwa dalam beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat dijadikan yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan kehidupan mereka (Pengantar dalam Andi M. Akhmar, 2007).

Demikian pula prosesi uma/peladangan bagi masyarakat Melayu di Nanga Jajang juga merupakan bentuk interaksi dan adaptasi mereka dengan lingkungan hidup mereka. Adaptasi inilah yang selanjutnya melahirkan kearifan tradisi peladangan masyarakat, termasuk tata cara dan bentuk pengelolaan ladang (uma) yang wujud dalam kehidupan mereka.

Bentuk peladangan masyarakat

Secara umum peladangan bagi masyarakat Melayu Nanga Jajang adalah satu aktivitas bertanam padi untuk kebutuhan hidup keluarga. Dalam tradisi berladang di Nanga Jajang, Padi merupakan tanaman utama/pokok. Meskipun demikian, masyarakat Melayu Nanga Jajang juga menyelipkan tanaman-tanaman lainnya di antara tanaman padi tersebut. Sebut saja misalnya seperti mentimun, jagung, bayam, sawi, kacang panjang, gambas, labu, prenggi, ubi jalar dan ubi kayu,dan lain-lainnya. Akan tetapi tanaman-tanaman ini hanya bersifat numpang saja dengan tanaman pokoknya padi.

Untuk peladangan (menanam) padi ini terdapat beberapa bentuk dalam tradisi masyarakat Melayu Nanga Jajang, seperti “buma darat” (ngeremak, ranuk dan empalai) “buma bukit” dan “buma lokan” (sawah atau payak).

Uma darat adalah tradisi menanam padi yang dilakukan pada lahan tanah kering yang jauh dari tepi sungai, baik dengan cara membuka lahan pada hutan rimba (remak), dengan menebang pohon-pohon besar, maupun dengan membuka lahan kering pada tempat-tempat di tepian sungai dan bekas ladang satu atau dua tahun sebelumnya. Bentuk kedua inilah yang disebut dengan “uma empalay” atau “uma ranuk”, menanam padi pada lahan yang sudah dibuka pada peladangan satu atau dua tahun sebelumnya.

Sementara uma bukit adalah tradisi menanam padi dengan membuka lahan tanah kering di lereng-lereng bukit, satu kawasan yang berada tinggi di atas permukaan sungai/laut. Ladang bukit ini dipilih biasa untuk alasan membuka lahan bagi perkebunan karet, buah-buahan dan sebagainya. Sebelum lahan tersebut ditanami dengan karet atau kebun lainnya, maka dalam satu atau dua tahun pertama lahan itu akan ditanami padi (untuk berhuma).

Sementara uma lokan adalah tradisi menanam padi di lahan basah, lahan yang menyimpan banyak air, yang biasa disebut masyarakat setempat dengan “lokan” atau “payak”. Cara menanam padi pada uma inipun berbeda dengan menanam padi pada uma darat atau uma bukit. Dalam sistem pertanian modern, uma lokan ini mirip dengan cara kerja bersawah. Bedanya, uma lokan masyarakat Melayu Nanga Jajang tidak dikerjakan sebagaimana persawahan modern dengan cara dibajak, dicangkul, diairi secara teratur dan sebagainya. Uma lokan yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Nanga Jajang masih sangat tradisional dan alamiah, mengikuti keadaan lahan apa adanya, dengan ketersediaan air apa adanya, dan bentuk olahan yang juga apa adanya.

Sementara itu, lahan bekas menanam padi yang sudah ditumbuhi oleh tumbuhan-tumbuhan liar disebut masyarakat Melayu Jajang dengan “emmudak” atau lokasi bekas uma yang sudah ditumbuhi pohon-pohon kecil/masih muda.

Inilah beberapa bentuk tradisi menanam padi (buma/beladang) pada masyarakat Melayu di dusun Nanga Jajang.

Arti penting peladangan bagi masyarakat

Buma atau berladang bagi masyarakat Melayu di dusun Nanga Jajang merupakan pekerjaan rutinitas tahunan, sekaligus menjadi aktivitas utama dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Meskipun tidak seperti layaknya petani besar di pulau jawa yang menghasilkan padi dalam jumlah yang banyak untuk kemudiaan dijual ke pasaran. Bagi masyarakat Melayu Nanga Jajang, hasil pertanian (berladang) sangat berarti bagi pemenuhan kebutuhan hidup keluarga selama satu tahun. Bagi orang Melayu di Nanga Jajang, buma juga menjadi ajang menjalin komunikasi dan kebersamaan dalam masyarakat. Melalui aktivitas buma ini antarwarga saling bekerjasama, tolong menolong dan bergotong royong dalam bentuk “bung”, “bami` ari”, maupun sekedar berbagi pengalaman dan cerita. Untuk kajian tentang “bung” dan “bami` ari” dalam tradisi uma orang Melayu di Nanga Jajang sama dengan apa yang ditulis oleh Didi (2006) tentang ‘bung” dan “bami` ari” dalam tradisi orang Melayu Buyan.

Dalam tradisi masyarakat Melayu di dusun Nanga Jajang, ada beberapa prosesi peladangan yang selalu dilakukan. Baik ketika akan membuka lahan untuk berladang, saat mengolah lahan untuk berladang hingga menuai hasil dari perladangan tersebut (ngotam). Prosesi-prosesi tersebut memang tidak pernah diungkapkan apalagi didokumentasikan sebagai suatu prosesi yang harus dilakukan, namun bisa dipastikan setiap orang yang berladang (buma) senantiasa melakukannya.

Bahkan dengan beberapa pantang larang yang menyertai prosesi berladang pada tradisi masyarakat Melayu dusun Nanga Jajang memberikan satu isyarat untuk berhasil tidaknya ladang pertanian yang mereka kerjakan. Dengan alasan inilah mereka merasakan bahwa pantang larang tersebut mesti dipatuhi, dan tidak boleh diabaikan.

Disinilah terasa semakin menarik untuk melihat secara baik prosesi peladangan dalam tradisi masyarakat Melayu dusun Nanga Jajang.

Tradisi ketika akan membuka lahan untuk berladang

Bagi masyarakat Melayu di Nanga Jajang, sebelum membuka lahan untuk berladang, terlebih dahulu mereka mencari tempat-tempat atau lahan baru yang dipandang cocok dan subur untuk menanam padi. Baik pada lahan yang dimiliki sendiri maupun lahan milik orang lain dan lahan bebas. Khusus pada lahan milik orang lain tentunya sudah mendapatkan izin terlebih dahulu untuk dibuka.

Tradisi membuka peladangan pada lahan bebas ini biasanya diistilahkan oleh masyarakat setempat dengan “ngeremak” atau “buma remak”.

Setelah dipastikan cocok dengan lahan tersebut, maka mereka akan mengamati kondisi tanah dan luas lahan yang tersedia untuk kemudian mereka berikan “pancak” atau tanda bahwa lahan tersebut akan dikerjakan. Pancak ini biasanya dibuat di bagian depan lahan, atau bagian yang paling dekat dengan jalan yang menghubungkan ke lahan tersebut. Hal ini dilakukan untuk memberitahukan kepada orang lain bahwa lahan tersebut sudah dipilih untuk dibuka. Dengan demikian orang lainpun tidak akan membuka peladangan pada lahan yang sama. Prosesi ini utamanya dilakukan pada lahan bebas.

Kemudian untuk memulai aktivitas menebas lahan, masyarakat Melayu di Nanga Jajang mempunyai perhitungan tanggal hari tersendiri yang dianggap baik. Menurut Mak Ngah (KP:20/11/08), tanggal hari yang dianggap baik untuk memulai membuka lahan adalah tanggal ganjil atau kelipatan dari ganjil pertama, seperti tanggal 5 dan 10. dan sebaiknya adalah pada saat purnama naik, yakni sebelum tanggal 15.

Selain itu, ada beberapa tanda yang biasa dilihat oleh masyarakat Melayu Jajang ketika pertama kali akan membuka lahan. Jika pertama kali datang mereka menemukan ada bangkai binatang yang mati di atas lahan tersebut-terutama babi, maka itu menandakan lahan tersebut tidak baik dan tidak cocok untuk dipilih sebagai lahan peladangan. Sebaliknya jika mereka menemukan ular pada lahan tersebut dipercayai sebagai tanda yang baik. Ular menandakan mereka akan dapat padi yang banyak, sebab ular itu disimbolkan sebagai “golung tali omak” atau lingkaran tali alat/wadah pengangkut padi mereka (Mak Ngah. KP: 20/11/08)

Tradisi ketika membuka lahan

Setelah dibuatkan “pancak” yang menandakan bahwa lahan tersebut telah dipilih untuk dibuka peladangan, dan dipastikan tidak ada alamat yang tidak baik yang ditemukan, ada beberapa hal yang dilakukan oleh masyarakat Melayu di dusun Nanga Jajang untuk memulai prosesi buma. Pertama, “ngelotak batu” yakni satu tradisi dimana mereka akan menyimpan sebuah batu di atas lahan tersebut sebagai tanda akan memulai pekerjaan menebas dan menebang di lahan itu. Batu tersebut biasanya adalah batu yang digunakan untuk mengasah pisau atau parang yang digunakan sebagai alat tebas mereka (batu asah). Batu asah tersebut tidak boleh diletak langsung di atas tanah, melainkan harus diletakkan dengan “empalang kayu”. Menurut Umak Ngah lagi, “ngelotak batu gawai ke empalang kayu tujuh utik, batu asah isau yang pakai nobas iyak mih” (KP: 20/11/08).

Kedua, mereka akan membuat “pongkal uma” atau pondok kecil sebagai tempat menyimpan keperluan atau bekal selama bekerja dan juga tempat berteduh sementara. Pondok tersebut dibuat sangat sederhana dengan beralaskan beberapa batang kayu kecil yang dirapatkan dan diletak di atas tanah, beratapkan daun-daun atau sekedar plastik berukuran 1 x 2 meter saja. Disinilah segala keperluan dan bekal selama bekerja seharian mereka tinggalkan. “Pongkal uma” ini biasanya berdekatan/sama dengan tempat ngelotak batu. Prosesi menempatkan batu asah di atas lahan tersebut setidaknya mempunyai makna; pertama, sebagai izin pada lahan bahwa mereka akan mengerjakan lahan tersebut untuk menanam padi; kedua, untuk memudahkan aktivitas menebas dan menebang di lahan itu, dimana batu asah sudah disiapkan untuk mengasah pisau/parang yang mereka gunakan.

Begitulah seterusnya hingga lahan tersebut selesai ditebas/ditebang, menjadi “robak”, kemudiaan dibakar dan siap untuk ditanami. Masa mendiami robak sebelum dibakar sangat ditentukan dengan jenis ladangnya dan tingkat kepanasan suhu/sinar matahari. Jika ladang remak, maka masa menunggu dibakar agak lebih panjang-bahkan mencapai hitungan masa berbulan bulan-karena menunggu kayu-kayu besar betul-betul sudah mati dan bisa dibakar. Sementara “robak” uma ranuk atau empalay, cukup menunggu sampai 1 bulan saja sudah bisa dibakar, terutama jika musim “kemarau tunuw”. Prosesi ini masih dilakukan oleh semua masyarakat Melayu di dusun Nanga Jajang.

Mengerjakan ladang dengan cara membakar menjadi pilihan satu-satunya yang terus dilakukan oleh masyarakat Melayu di Jajang. Beberapa kearifan yang terus terpelihara dalam tradisi ini antara lain adalah “ngeladang”, yakni membersihkan tepi-tepi lahan daripada daun, ranting kayu bahkan gambut yang mudah terbakar. Ini dimaksudkan agar api tidak menjalar ke lahan hidup lainnya (jelangkit) ketika mereka membakar lahan. Bahkan untuk menghindari terjadikan jelangkit ke lahan lain, mereka menyiapkan tong-tong air yang dilengkapi dengan bedil air[1] atau semprot air. Prosesi ini merupakan kearifan lokal yang telah terbukti mampu menghindari kebakaran yang berlebihan dalam tradisi peladangan masyarakat di Nanga Jajang.

Tradisi “empalang bonih” dan “nugal” padi

Begitu lahan selesai dibakar, belum serta merta mereka boleh menanam padi. Ada beberapa hal yang mesti dilakukan terlebih dahulu, antaranya: “ngokas”, yakni aktivitas membersihkan lahan dari sisa-sisa potongan kayu yang dibakar. Kemudiaan setelah dirasakan bersih, mereka menyiapkan batasan-batasan kerja menanam yang disebut “ngontang” atau menyontang[2]. Sementara itu yang dituakan, biasanya ibu-ibu menyiapkan “empalang bonih”[3].

Empalang bonih yang menandakan dimulainya aktivitas menanam padi oleh masyarakat menunjukkan bahwa peladangan (menanam padi) sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Melayu secara turun temurun. Prosesi ritual yang dilakukan saat membuat empalang bonih membuktikan adanya kearifan dalam masyarakat ketika mereka akan memulai mengelola lahan (sumber daya alam), begitupun kepercayaan mereka dengan sang pemurah yang telah berbaik hati memberikan hasil padi yang berlimpah, yang dalam mitologi petani bugis sama dengan dewi padi (lihat M. Yamin Sani & Nur Haedar. 2007)

Empalang bonih ini terbuat dari susunan kayu yang dibuat seperti gambaran bintang. Di tengah-tengah gambaran bintang itu diletakkan susunan kayu sebanyak 7 atau 11 batang. Kemudiaan dalam lima sudut petak bintang ditanamkan satu lubang benih padi. Sebagian masyarakat juga ada yang membuat 3 atau 9 petak bintang dalam empalang bonih. Jika 3 atau 9 petak yang dibuat maka lubang untuk benih padi juga sejumlah itu (3 atau 9). Di tempat inilah pertama kali benih padi ditanamkan.

Gambar Empalang Bonih (minta sama bang Herman)

Masyarakat Melayu di Nanga Jajang mempercayai bahwa hasil padi yang baik sangat ditentukan oleh benih padi yang ditanamkan di empalang bonih ini. karena itu, orang pertama yang menanam padi di tempat tersebut juga adalah orang yang dipilih sesuai dengan “rasi” atau tuahnya. Orang tersebut bisa bapak, ibu, atau bahkan anak-anaknya.

Selain itu, pada empalang bonih juga ditanami beberapa tanaman pelengkap lainnya seperti cekur, kunyit, juaran atau sabang yang ditanam di salah satu tepi pusaran bintang yang dibuat sebagai empalang bonih itu. Setelah prosesi itu selesai dilakukan, barulah mereka boleh menanami benih padi di seluruh lahan tersebut.

Dalam masyarakat Melayu Jajang, tradisi menanam padi pada seluruh lahan ini disebut dengan “nugal”, dimana benih padi ditaburkan pada lubang-lubang (tugal) yang telah dibuatkan. Biasanya yang laki-laki bertugas untuk “menugal” atau membuat lubang yang tersusun dengan cukup rapi dalam setiap gontang (petak kecil), dan perempuan yang bertugas memasukkan benihnya. Baik penugal (yang membuat lubang) maupun pemonih (yang memasukkan benih) tidak menggunakan ukuran dan takaran tertentu, akan tetapi mereka sangat terampil dalam menentukan jarak lubang dan jumlah benih yang ditaburkan pada masing-masing lubang benih. Sebab menurut mereka, jarak yang terlalu dekat atau terlalu jauh antara lubang benih tidak baik untuk pertumbuhan padi. Begitupan dengan jumlah benih yang ditaburkan, jika terlalu banyak atau terlampau sedikit juga tidak baik untuk pertumbuhan padi. Lagi-lagi ini menunjukkan betapa masyarakat Nanga Jajang memiliki kearifan dalam menata peladangan mereka.

Tradisi menunggu padi berbuah

Setelah benih padi ditanamkan, dan sementara menunggu berbuah, ada beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat, antaranya “mabau”, yaitu aktivitas membuang tumbuhan lain (rumput) yang hidup di sekitar tanaman padi. Umumnya aktivitas “mabau” ini dilakukan dengan cara tradisional, yakni mencabut rumput-rumput tersebut dengan tangan atau dengan bantuan pisau kecil. Pada sebagian yang lain “mabau” ini juga bisa dilakukan dengan menggunakan semprot rumput, dengan cara menyemprotkan racun rumput. Meski cara ini lebih cepat, akan tetapi cara ini biasa beresiko pada daun-daun padi yang terkena percikan air racun semprot juga akan ikut mati.

Untuk uma sawah (lokan atau payak), masa ini selain digunakan untuk mabau, juga dilakukan kegiatan “nyulat padi”, yaitu menanam kembali padi pada tempat-tempat yang padinya tidak tumbuh pada penanaman pertama. Padi-padi untuk nyulat tersebut diambil dari tempat penyemaian yang disebut mereka dengan “bata” (pembibitan padi).

Pada masa ini kesibukan masyarakat agak berkurang, kecuali pada ladang masyarakat yang ditumbuhi oleh banyak rumput (berumput).

Tradisi ngompin dan ngotam

Hasil panen yang melimpah adalah cita-cita para petani, termasuk para peladang Melayu di Nanga Jajang, terutama panen akhir ketika padi sudah betul-betul masak. Sebab di jajang ada tradisi panen padi muda. Panen padi muda ini khusus pada padi ketan (pulut). Inilah yang oleh masyarakat setempat disebut “ngompin”, yakni padi muda yang ditumbuk dan dimakan dalam bentuk emping. Panen ini biasanya dilakukan dengan cukup meriah oleh masyarakat, bahkan tidak jarang hasilnya digunakan untuk mengundang banyak orang dalam upacara selamatan dan sukuran atas rezeki padi yang melimpah.

Sementara ngotam adalah menuai padi ketika secara keseluruhan padinya sudah betul-betul masak. Ngotam atau matah buah padi ini menurut Umak Ngah (KP: 20/11/08) dilakukan sedikit saja pada 1 sampai dengan 3 hari pertama, cukup sebagai syarat saja. Kemudiaan matah buah padi harus dihentikan/diistirahatkan beberapa hari untuk menghormati “inik anan”[4]. Setelah itu barulah aktivitas ngotam ini dilanjutkan hingga padi selesai diambil.

Ngotam dalam masyarakat Melayu Jajang biasa dilakukan oleh anggota keluarga itu sendiri yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya. Akan tetapi biasa juga dilakukan dengan cara “bami` ari” (gotong royong secara bergiliran) dengan petani yang lain. Begitulah seterusnya hingga padi berhasil panen dan dibawa pulang kerumah. Sesampai di rumah padi dijemur sejenak agar biji padinya mudah dilepaskan dari tangkainya yang disebut “ngirit” atau “diirit”.

Begitu selesai ngotam dan ngirit, padi disimpan dalam karung atau boleh juga dalam “kujuk”, tempat yang dibuat khusus untuk menyimpan padi. Masa ini para peladang Melayu di jajang mulai menghitung hasil humanya, apakah sampai nisab[5] atau tidak. Bagi yang mencapai nisab dimaksud, maka mereka akan mengeluarkan zakat dari hasil ladangnya tersebut, terutama dalam bentuk penyelenggarakan upacara selamatan, mengundang makan masyarakat sekampung sebagai rasa syukur atas rezeki yang dilimpahkan oleh yang Maha Kuasa. Begitulah diantara prosesi peladangan dan tradisi yang berlangsung dalam masyarakat Melayu di dusun Nanga Jajang.

Pantang Larang dan Kearifan dalam tradisi Peladangan

Ada beberapa pantang larang yang melekat dalam tradisi peladangan masyarakat Melayu Nanga Jajang, baik pada saat buka lahan, nugal maupun ketika ngotam. Pantang larang tersebut dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan alam dalam keseluruhan prosesi peladangan yang dipercayai dalam masyarakat.

Larangan meletak batu asah langsung di atas tanah. Pantang larang ini memiliki pesan bahwa batu bisa menghambat tumbuhnya tanaman dan menyebabkan ketidak-suburan. Karena itu batu harus diletakkan di atas empalang kayu yang disusun rapi. Kearifan dari tradisi ini memberikan pesan bahwa kesuburan tanah mesti selalu dipelihara dan dijaga untuk kelangsungan alam dan masa depan peladangan mereka. Penghormatan dan kecintaan terhadap kesuburan tanah merupakan sikap pada petani dimanapun dan kapanpun, karena tanah bagi mereka adalah simbol status yang memberi makna bagi kehidupan mereka, dan menjadikan mereka bagian integral dengan lingkungannya (lihat penjelasanya dalam M Yamin Sani & Nurhaedar, 2007)

Larangan menanam padi tampa terlebih dahulu membuat empalang bonih. Pantang larang ini dimaksudkan untuk memberikan penghormatan kepada padi. Meskipun padi bisa hidup di atas tanah dimana saja, akan tetapi padi harus diatur dengan baik agar dapat tumbuh subur. Karena itulah empalang bonih dibuat untuk menyimbolkan bintang padi, yang disitu ditempatkan benih-benih padi yang akan ditanam. Mengatur pertumbuhan padi yang baik menjadi simbol pada pemeliharaan dan pengaturan tumbuh-tumbuhan lainnya di alam.

Larangan makan rebung, pakuk, umbut dan ikan tapah ketika sedang nugal padi. Pantang larang ini memiliki makna tersendiri dalam masyarakat. Larangan makan umbut, rebung dan pakuk (pakis) dimaksudkan agar padi terbebas dari hama penyakit yang bisa menyebabkan tidak subur, mati pucuk dan sebagainya. Ini dianalogikan pada umbut, robung dan pakuk yang biasa mudah mati pucuk. Larangan itu juga dimaksudkan supaya padi tidak menyakitkan para petani sebagaimana rebung dan umbut yang bisa membuat orang gatal karena miyangnya (“miyang amak” dalam istilah masyarakat). Sementara larangan makan ikan tapah dimaksudkan supaya padi tidak terserang oleh hama ulat dan sebagainya. Larangan ini dianalogikan pada ikan tapah yang senang memakan ulat. Bahkan bagi orang yang baru makan ikan tapah dilarang untuk “nongah uma” atau masuk berjalan di tengah lahan tanaman padi.

Larangan meneruskan ngotam setelah matah buah padi pada kali pertama. Pantang larang ini dimaksudkan untuk menghormati inik anan yang telah berbaik hati membawa keberkahan dan rejeki yang banyak berupa buah padi yang baik dan melimpah. Tradisi ini juga memberikan isyarat bahwa setiap manusia mesti bersyukur atas limpahan rejeki yang didapatkan dan tidak boleh berlebih-lebihan. Meskipun kepercayaan masyarakat terhadap adanya “inik anan” yang telah bermurah hati dengan hasil padi yang melimpah tidak bisa dijelaskan dengan rasional, apalagi dengan perspektif agama (Islam), akan tetapi ini menunjukkan adanya pengaruh kepercayaan animisme yang meyakini adanya dewa rezeki, dewi sri atau dewi padi dalam mitos Yunani. Kepercayaan serupa juga wujud pada petani bugis sebagaimana diungkapkan oleh M. Yamin Sani & Nurhaedar (2007). Bagi masyarakat Melayu di Nanga Jajang saat ini, ucapan terima kasih dan syukur atas hasil padi yang melimpah sudah diarahkan kepada pemberi rezeki yang sebenarnya, yakni Allah SWT dalam bentuk selamatan, dan mengeluarkan zakat jika hasil padinya mencapai nisab.

Kesemua pantang larang ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan alam dan tumbuhan yang ada di atasnya. Alam beserta isinya memang diciptakan untuk kehidupan manusia, akan tetapi keseimbangan dan kelestariannya juga mesti dijaga dengan baik. Dalam hal uma, pantang larang ini dimaksudkan untuk menangkal padi dari segala gangguan hama penyakit dan binatang. Orang Melayu di Jajang mempercayai bahwa melanggar pantang larang tersebut akan berakibat pada rendahnya hasil ladang yang disebabkan penyakit tanaman dan gangguan binatang. Karena itu kebanyakan masyarakat petani di Nanga Jajang selalu berupaya untuk menghindari apa yang menjadi pantangan tradisi selama masa ini.

Penutup

Sebagai satu tradisi yang lahir dalam sistem sosial dan kehidupan suatu masyarakat, tradisi peladangan dan pantang larang yang dipatuhi oleh masyarakat, mesti dilihat dari perspektif lokal sendiri, bukan dari perspektif orang luar, apalagi hukum dan agama. sebagai bentuk kearifan lokal tentu saja ada maksud tertentu yang terkandung dalam setiap tradisi dalam masyarakat. Maksud atau pesan inilah yang mesti dipelajari dan dikaji dari masyarakat pemilik kearifan tradisi tersebut, terutama dalam kaitannya dengan pemeliharaan alam dan keseimbangannya dalam kehidupan manusia.

Semoga kajian yang singkat dan masih dangkal mengenai tradisi peladangan masyarakat Melayu di Nanga Jajang ini mampu memberikan hazanah baru bagi perspektif akademis kita dalam melihat kearifan lokal masyarakat, terutama dalam kontek pemeliharaan alam dan keseimbangannya. Wallahu`alamu bish shawab.

Bahan Bacaan

Abdur Rozaki. 2004. Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal. Majalah Flamma, Edisi Khusus Masyarakat Adat, Oktober. Yogyakarta: Penerbit IRE.

Andi M. Akhmar (peny.). 2007. Mengungkap Kearifan Lokal Lingkungan Sulawesi Selatan. Jakarta: Kementrian Negara Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Masagema Press.

Agus Sriyanto. 2007. Penyelesaian Konflik berbasis Budaya Lokal. Jurnal IBDA STAIN Purwokerto. Vol.5 No. 2, Jul-Des. 2007. h. 286 – 301.

Alpha Amirrachman (ed). 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal. Jakarta: International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan European ssion.

Didi Darmadi. 2006. Mengenal “bung” dan “Bami` Ari” Orang Melayu Buyan. Dalam Harian Equator Pontianak. tanggal 19 Maret.

Rahmat Witoelar. Pengantar dalam Andi M. Akhmar (peny.). 2007. Mengungkap Kearifan Lokal Lingkungan Sulawesi Selatan. Jakarta: Kementrian Negara Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Masagema Press.

Ridwan Lubis (ed). 2005. Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi Nusantara. Jakarta: Litbang Agama dan Pusdiklat Keagamaan Departemen Agama RI

Manik, KES. 2007. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Djambatan.

M. Yamin Sani & Nurhaedar. Imperatif Sosial dalam Tradisi Pertanian Padi Sawah orang Bugis di Belawa Wajo, dalam Andi M. Akhmar (peny.). 2007. Mengungkap Kearifan Lokal Lingkungan Sulawesi Selatan. Jakarta: Kementrian Negara Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Masagema Press.

Sumber Data Lapangan:

Pengalaman Berpartisipasi (Participant of Eksperience)

Wawancara dengan Mak Ngak (Ibunda Siti Sya`adiyah) di Nanga Jajang, 20 November 2008.

Lampiran:

Daftar Istilah dalam Tradisi Uma/peladangan

pada Masyarakat Melayu di Nanga Jajang.

mancak: aktivitas memberikan tanda (pancak kayu) pada lahan sebagai tanda lahan tersebut akan digarap untuk uma/ladang.

Nelota? batu: ritual menaruh batu asah di atas lahan sebagai petanda dimulainya aktivtas menebas dan mengolah lahan uma/ ladang tersebut. Batu tersebut harus diletakkan di atas tujuh batang kayu sebagai alasnya.

poNkal/laNkaw uma: tempat berteduh sementara, meletakkan perbekalan dan keperluan selama aktivitas menebas lahan uma/ladang.

uma: Bentuk ritual yang dilakukan oleh masyarakat dalam menanam padi pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang.

buma: Aktivitas mengolah lahan untuk aktivitas menanam padi pada masyarakat Melayu Nanga Jajang.

uma Äema?: ritual menanam padi yang dibuka dengan cara menebas pada lahan yang ditumbuhi pohon-pohon besar.

uma bukit: ritual menanam padi pada lahan kering dan berada di dataran yang tinggi dan jauh dari permukaan air/sungai.

uma empalay: ritual menanam padi pada lahan yang sudah dikerjakan (ditanam padi) pada tahun sebelumnya. Penanaman padi pada tahun kedua.

uma Äanu?: ritual menanam padi pada lahan yang rendah dan sedikit lembah, yang biasanya berada di dekat tepian sungai, dan bukan lahan garap pemula.

uma lokan/paya?: ritual menanam padi pada lahan basah/berair. Ini sama dengan menanam padi sawah dalam tradisi pertanian modern.

bedonay: uma/ladang yang dikelola oleh dua atau lebih kepala keluarga dalam satu lokasi/lahan.

NeÄema?: aktivitas menebang dan membuka lahan hutan rindang untuk uma/ladang masyarakat.

emmuda?: lahan bekas uma/ladang yang baru ditinggalkan 1 atau dua tahun yang lalu.

empalay: lahan bekas uma/ladang yang sudah ditinggalkan lebih dari 2 tahun yang lalu.

Äanu?: lahan yang berada di dataran rendah dan lembah di tepian ungai, biasanya lahan itu sudah pernah dikelola pada 5 sampai puluhan tahun yang lalu.

lokan/paya?: lahan yang rendah, basah dan berair, yang biasa digunakan untuk menanam padi sawah.

nobas: aktivitas membersihkan lahan dengan cara menebas tumbuhan/pohon kecil di atas lahan yang akan dikerjakan.

nobaN: aktivitas membersihkan lahan dengan cara menebang pohon-pohon besar di atas lahan yang akan ditanami padi.

daÄat: lahan tanah kering

Äoba?: bekas-bekas tumbuhan dan pohon-pohon pada lahan dan siap untuk dibakar/dibersihkan.

noda?: aktivitas merapikan tumpukan pohon dan tumbuhan yang ada di atas lahan yang mau dibersihkan/dibakar.

nunuw: aktivitas membakar lahan

jelaNkit: musibah kebakaran yang meluas yang diakibatkan oleh aktivitas membakar lahan.

NeladaN: aktivitas membuat batas/jarak aman antara lahan yang akan dibakar dengan tetumbuhan atau pepohonan pada lahan di sekelilingnya yang tidak dikerjakan.

Nokas: aktivitas membersihkan sisa-sisa pembakaran yang ada di atas lahan.

gontaN: aktivitas memberikan petak-petak kayu di atas lahan sebagai tahapan kerja dan ukuran menanam padi pada lahan.

nugal: aktivitas membuat lubang untuk menaruh benih padi di atas lahan.

tugal: alat untuk membuat lubang benih padi.

monih: aktivitas menaruh padi pada setiap lubang yang sudah dibuat dengan ukuran-ukuran dan jarak tersendiri.

bonih: bibit/biji padi yang akan disemai/ditanam.

m:onih: alat atau wadah yang digunakan untuk menyimpan atau membawa benih padi pada saat menanam.

empalaN bonih: ritual adat yang menandakan atau bahkan menjadi syarat dimulainya aktivitas menanam padi.

mabaw: aktivitas membersihkan rumput dan tumbuhan liar diantara padi-padi masyarakat.

Nompin: aktivitas menuai hasil uma dalam bentuk padi (ketan/pulut) muda, yang dikerjakan dengan cara ditumbuk dan buat emping (ompin).

Notam: aktivitas menuai hasil uma secara keseluruhan ketika semua buah padi sudah matang/masak.

NiÄit: aktivitas memisahkan buah padi dari jerami/tangkainya dengan cara diinjak.

Noma?: aktivitas membawa/mengangkut padi hasil uma dari tengah lahan ke tempat penyimpanan sementara (langkau uma) maupun ke rumah.

toNkin: alat/wadah menyimpan padi sementara sewaktu memetiknya satu persatu dari tangkainya, dan ditenteng oleh petani saat menuai.

tayak: alat/wadah menyimpan padi yang dipindahkan dari tongkin-tongkin pada saat mereka ngotam. Tayak ini biasanya digunakan untuk mengangkut padi dari tengah lahan ke penyimpanan di langkau/dirumah.

ijin: alat/wadah menyimpan padi (dalam jumlah besar) dirumah, dan biasanya isinya tidak bisa dipikul oleh satu orang, karena wadah ini dibuat hanya untuk menyimpan saja.

kaÄuN goni: alat/wadah menyimpan padi yang terbuat dari karung-karung plastik dan sejenisnya.

kujuk: tempat menampung padi dalam jumlah besar (keseluruhannya) yang dibuat semacam petak/kamar persegi sesuai dengan keperluan muatannya.

bodil: alat yang dibuat dari ruas bambu untuk menyemprot air pada saat aktivitas membakar lahan, dengan tujuan supaya api tidak merambah (jelangkit) ke lahan di sekitarnya yang tidak digarap.

isau: alat tebas masyarakat.

kemaÄau tunuw: keadaan alam yang tidak turun hujan dalam waktu panjang setelah nobas-nobang, yang dipercayai oleh masyarakat sebagai masau kemarau untuk mereka membakar lahan (nunuw).



[1] “Bodil” atau bedil air yang biasa digunakan oleh masyarakat Melayu Nanga Jajang tersebut terbuat dari bambu yang dipotong sepanjang 1 ruas, dilubangi bagian bawah ruasnya, kemudian diberikan 1 batang kayu selosor yang diujungnya dipasang beberapa sobekan sebagai penarik dan pemompa air.

[2] Menyontang atau ngontang ini biasanya memanfaatkan sisa-sisa kayu yang tidak terbakar. Dengan kayu itu mereka membuat petak batasan kerja. selain itu cara ini dilakukan juga untuk mengatur penanaman padi menjadi lebih baik dan tersusun. Jika tidak ada kayu sisa bakaran tersebut, mereka bisa menggunakan batang bambu yang ditebang khusus untuk gontang ini.

[3] Untuk kajian ini lebih detil, sila rujuk pada Hermansyah (2006) Disertasi Ph.D pada Fakultas Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia.

[4] Inik anan dipercayai oleh orang Melayu Jajang sebagai tuah atau pembawa rezeki padi. Kebaikan inik anan bisa mendatangkan hasil padi yang melimpah. Karena itu mereka mesti menghormati inik anan ketika akan ngotam. Bahkan pada orang-orang tua dahulu penghormatan dengan inik anan ini ditandai dengan nyemolih manuk (motong ayam).

[5] Nisab adalah takaran atau ukuran jumlah tertentu yang ditetapkan dalam tradisi islam yang menunjukkan bahwa dari harta tersebut mesti dikeluarkan zakat. Untuk padi, nisab ini biasanya diukur sampai 800 kulak (kulah) padi, atau diperkirakan cukup/melebihi dari kebutuhan makan keluarga selama satu tahun. Jika padi hasil ladang mencapai 800 kulak maka orang tersebut disebut mencapai nisab, dan karenanya wajib mengeluarkan zakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar