Studi Komunikasi antar Etnik Iban dan Melayu
di Badau, Kapuas Hulu
Oleh: Ibrahim MS[1]
Abstrak
Dalam beberapa dekade terakhir, persoalan etnik menjadi isu yang ramai
dibincangkan, terutama menyangkut permasalahan hubungan sosial dan konflik yang
kerap terjadi di banyak wilayah di tanah air, tak terkecuali di Kalimantan
Barat. Di pedalaman Kapuas Hulu, tepatnya di Badau, wujud masyarakat etnik yang
boleh hidup berdampingan dalam damai dan penuh keharmonian, yakni etnik Iban
dan etnik Melayu. Sejarah sosial menunjukkan bahawa tiada sebarang konflik yang
berarti pernah berlaku diantara kedua etnik tersebut. Hal ini seakan menjadi
pengecualian terhadap beberapa kasus konflik antara etnik yang pernah terjadi
di Kalimantan Barat. Kajian di lapangan mendapati beberapa faktor yang menjadi
alasan terbinanya hubungan yang baik dan harmoni antar kedua-dua etnik Iban dan
Melayu di Badau. Dari aspek politik misalnya wujudnya kebersamaan dan kerjasama
politik yang baik dalam bentuk ”sharing power”. Dari aspek persepsi sosial wujudnya
pandangan yang positif antar etnik. Dari sisi budaya wujudnya nilai-nilai akomodasi
dan akulturasi budaya yang saling memahami, menghargai dan mengisi satu sama
lain. Dari sisi pengalaman interaksi sosial keduanya juga wujud satu bentuk hubungan
sosial yang dilandasi pada semangat kebersamaan, toleransi dan saling mendukung
terciptanya satu hubungan sosial yang damai dan harmoni antar etnik di Badau.
Kata
kunci: Hubungan sosial, etnik, keharmonian.
ETHNIC RELATION IN BADAU
Communication Studies of inter-ethnic Iban and Malay in Badau, Kapuas Hulu
Abstract
In recent decades, ethnic issues to be dealt a lively issue, especially
with regard to issues of social relationships and conflicts that often occur in
many regions of the country. No exception of in West Kalimantan. In land Kapuas
Hulu, precisely in Badau, a form of ethnic communities can live side by side in
peace and harmony, the ethnic Iban and Malays. Social history indicates that
there is no any significant conflict aver applies between the two ethnics. This
as though be the exception to a few case of ethnic conflict between ever
happened in West Kalimantan. Filed study found several factors that the reason
maintaining good relations and harmony between both the Iban and Malay ethnic
in Badau. Form the political aspect of the establishment of political unity and
coorporation in the form of ”sharing power”. His from aspect of social
perception of a positive outlook among ethnic. In term of ethnic culture also
awakened the values of accomodation an acculturation that mutual understanding,
appreciate and complement each other. From the experience of social interaction
is also the realization of a form of ethnic social relations based on a spirit
of togetherness, tolerance and mutual support the creation of a feaceful and
harmonious of sosial relations between ethnic groups in Badau.
Keywords:
social relation, ethnic, harmony
PENGENALAN
Hubungan Etnik di Badau,
merupakan satu artikel yang disarikan daripada sebahagian isi Disertasi Penulis
di ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia. Artikel ini menampilkan perbincangan
mengenai komunikasi dan hubungan antara etnik Iban dan Melayu di Badau, Kapuas
Hulu. Tajuk ini menjadi isu yang sangat menarik diperbincangkan di tengah realiti
hubungan sosial dan komunikasi antar etnik di Kalimantan Barat yang rentan
terhadap persoalan dan konflik, sebagaimana di Sambas (1999) dan Sanggau Ledo
(1997). Sebagai sebuah artikel yang disarikan dari kajian Disertasi, tulisan
ini hanya menyajikan secara singkat dan serba ringkas mengenai Badau dan
Etnisitas dalam konteks hubungan etnik.
BADAU DAN ETNISITI DALAM KAJIAN INI
Badau adalah nama sebuah kawasan di
pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, yang bersempadan
dengan Sarawak, Malaysia. Sebagai sebuah kawasan yang jauh di pedalaman, sememangnya tidak banyak
ilmuwan yang mengkaji kawasan ini secara terperinci (Ibrahim, 2013). Beberapa
kajian terdahulu terhadap masyarakat etnik dalam konteks se-alam Melayu hingga
persebarannya di pedalaman Borneo dan Kalimantan Barat dapat dijumpai dalam
Grinten (1862), Bouman (1924), King (1974, 1985), Rousseau (1980), Freeman
(1958, 1970) dan Sellato (2002).
Kajian yang secara
langsung (meskipun belum betul-betul terperinci) menyebutkan Badau dan kawasan-kawasan
di sekitarnya dapat ditemukan pada Enthoven[3]
(1903), Gerlach[4]
(1981), Bos (1917) dan Van der Putten[5]
(1917). Dan baru-baru ini Eilenberg (2005), Wadley dan Eilenberg (2006), Wadley
(1997a, 1997b, 1999, 2001, 2005), dan Ibrahim (2013).
Berdasarkan
beberapa kajian di atas dapat difahami bahawa Badau pernah menjadi kawasan yang
menarik bagi para pengkaji terdahulu, terutama pegawai kolonial Belanda dalam misi gereja. Kajian tersebut
menunjukkan adanya sebuah model hubungan sosial yang terbangun antar etnik,
terutama Iban dan Melayu yang memiliki bilangan terbesar di kawasan itu. Karena
itulah perbincangan berikutnya dalam tulisan ini difokuskan kepada komunikasi
dalam hubungan etnik di Badau.
HUBUNGAN ETNIK DI BADAU
Untuk menganalisi mengenai hubungan etnik di Badau digunakan lima aspek tinjauan, yakni
berdasarkan politik (kekuasaan), berdasarkan persepsi sosial, berdasarkan
kebudayaan (akomodasi dan akulturasi) dan berdasarkan pengalaman dalam
interaksi sosial etnik. Analisis hubungan berdasarkan kekuasaan (aspek politik)
digunakan teori Pelly (1989). Untuk aspek budaya digunakan teori Shamsul
(2007). Untuk aspek pengalaman interaksi sosial digunakan teori Syed Husen Ali
(2008).
1.
Berdasarkan
Kekuasaan
Kekuasaan (power)
merupakan salah satu faktor utama yang boleh digunakan untuk mengkaji hubungan
antar etnik, sebagaimana dilakukan oleh Pelly ketika mengkaji mengenai hubungan
antara kelompok etnik di Kota Medan (Pelly, 1989: 1). Menurutnya, umumnya kelompok
etnik yang memegang kekuasan itu adalah kelompok dominan (dominan-group), dimana kelompok ini lebih banyak menentukan aturan permainan
dalam masyarakat, termasuk dalam hubungan sosial.
Lebih
lanjut menurut Pelly, kekuasaan (power)
kelompok dominan yang dimaksudkan di sini merupakan kombinasi dari beberapa
kelebihannya daripada kelompok lain yang lebih kecil, yakni kekuatan material,
kekuatan ideologi dan kekuatan hak historis[6]
(Pelly, 1989: 1).
Sementara
menurut Burner, terdapat tiga faktor yang dijadikan sebagai penanda suatu etnik
sebagai kelompok dominan atau tidak dalam masyarakat multi-etnik; yakni faktor demografis,
faktor politik dan faktor budaya (dalam Pelly, 1989: 2). Kajian Burner di Kota
Bandung mendapati bahwa etnik Sunda menjadi kelompok dominan disebabkan secara
kombinasi orang Sunda memiliki keunggulan dalam ketiga-tiga aspek kekuasaan di
atas berbanding kelompok lainnya.
Untuk
konteks hubungan etnik di Badau, tampaknya faktor dominasi kekuasaan (power) tidak terlalu signifikan
peranannya, sebab Iban dan Melayu di Badau mempunyai bilangan penduduknya yang
hampir sama (tidak ada yang terlalu dominan), termasuk dalam hal kekuatan
material, kekuatan ideologi dan kekuatan hak historis.
Dari sisi kekuatan material tidak didapati satu dominasi
yang kentara antara etnik di Badau, dimana masih wujudnya hubungan yang saling
memerlukan. Sebagai petani yang menjual hasil kebunnya memerlukan konsumen yang
membelinya. Begitupun dengan bilangan penduduk kedua-duanya, termasuk persoalan
etnik dan agama.
Begitupun
dengan kekuatan ideologi budaya hidup pada etnik Iban mahupun etnik Melayu juga
tidak menunjukkan adanya dominasi. Hal ini tampak pada masing-masing
budaya hidup, yang dilakukan dalam ranah dan komuniti tersendiri dan berbeza. Budaya
hidup orang Iban menjadi identiti masyarakat Iban di rumah panjang (Wadley,
1997a). Begitupun dengan budaya hidup orang Melayu yang lebih banyak
dipengaruhi oleh kepercayaan agama Islam juga wujud dalam komuniti Melayu (Mohd
Aris Haji Othman, 1985). Kondisi ini lebih mirip dengan kondisi etnik di Kota
Medan sebagaimana dilaporkan oleh Pelly (1989:2), dimana ada puluhan kelompok
etnik yang hidup di sana, tetapi tidak ada satupun yang secara kombinasi
memiliki keunggulan (dominan) di bidang demografis, politis dan budaya lokal.
Wujudnya
kebersamaan dalam konteks budaya (bukti ketiadaan dominasi) juga tampak ketika
adanya upacara tertentu antara etnik Iban dan Melayu di Badau, seperti
perasmian pejabat imigresen. Dalam upacara tersebut, budaya adat Iban dan
Melayu dijalankan secara bersamaan, sesuai dengan konteks dan maksudnya
masing-masing. Dapatan ini memberikan pengertian bahawa budaya sebagai satu
aspek ideologi etnik berlaku dalam domainnya masing-masing. Budaya Iban menjadi
ideologi yang lebih (kuasa) apabila di rumah panjang. Sebaliknya, budaya Melayu
juga menjadi ideologi yang lebih (kuasa) di perkampungan Melayu. Dalam domain
sosial (hubungan antara kedua-dua etnik), budaya Iban dan Melayu menempati
kedudukan (kekuatan) yang sama/setara.
Sementara
kekuatan hak historis yang menyangkut pengakuan status dan identiti suatu
kelompok sebagai penduduk asli dan tuan rumah (host pop) atau bukan, memberikan gambaran bahawa Iban dan Melayu di
Badau adalah sama-sama etnik pendatang di kawasan itu (Ibrahim, 2008a &
2013). Perbezaannya adalah mengenai masa dan cara kedua-dua etnik tersebut
datang dan mendiami kawasan itu[7].
Iban masuk dan mendiami kawasan Badau melalui peristiwa peperangan pada zaman ngayau (Wadley, 2001), sedangkan Melayu
masuk dan mendiami Badau dengan lebih diplomatik, terutama dalam bidang ekonomi
dan perniagaan (Ibrahim, 2008b & 2010). Dengan kondisi demikian, maka tidak
ada yang patut disebut sebagai ”mutlak” penduduk asli, pribumi atau bumiputra
yang memiliki hak historis yang lebih (dominan) berbanding kelompok etnik
lainnya.
Dalam aspek politik, dimana Iban dan
Melayu mengambil peranannya masing-masing, sama ada kerjasama dalam parti
politik, pentadbiran kampung mahupun kesempatan kerja sebagai kakitangan kerajaan
(Pegawai Negeri Sipil atau PNS). Dalam hal politik pula (pentadbiran kampung)
misalnya wujud kerjasama dalam bentuk pembagian kekuasaan (sharing power[8])
antara Iban dan Melayu. Sebagai contoh, Desa Sebindang diketuai oleh Janggu (Iban) yang memimpin dua dusun. Dusun
Mentari diketuai oleh Adeni (Melayu),
dan Dusun Sebindang diketuai oleh Anyon (Iban).
Pembagian kekuasaan seperti ini juga memberikan peluang bagi wujudnya
komunikasi dan interaksi yang lebih banyak diantara kedua-dua etnik.
Dalam konteks kekuasaan, hubungan
antara etnik Iban dan Melayu di Badau juga dapat dilihat dari struktur sosial
pada kedua-dua etnik tersebut, dimana struktur tersebut mempunyai peranan yang
cukup besar dalam membangun komunikasi, sosialisasi dan kerjasama antara etnik,
sama ada Temenggung dan Patih pada
masyarakat Iban (Ngadi, 1998), maupun Pengawa[9],
Penghulu[10],
Imam dan Ustaz[11]
pada masyarakat Melayu (Mohd. Aris Haji
Othman, 1985).
Rajah 1. Struktur Sosial Iban dan
Melayu dalam Hubungan Antara Etnik berdasarkan kekuasaan (Power).
A. Struktur
Sosial Iban B. Struktur Sosial Melayu
Sumber:
Analisis data lapangan, 2013.
Rajah
di atas secara internal menjelaskan hubungan antarawarga dalam struktur sosial
Iban atau Melayu, dan secara eksternal memberikan penjelasan mengenai hubungan
antarawarga lintas struktur sosial Iban dan Melayu.
1.
Berdasarkan
Persepsi
Secara
sederhana, persepsi mengandung makna sebagai suatu proses aktif dan kreatif
manusia dalam mengkonstruk suatu gambar mengenai dunia, benda, situasi,
peristiwa, diri dan orang lain di sekitarnya (Mulyana, 2001: 167). Kerana itu
menurutnya, persepsi merupakan proses internal yang memungkinkan setiap orang
memilih, mengorganisir dan menafsirkan rangsangan daripada lingkungan, dimana
proses tersebut mempengaruhi setiap perilaku, ianya merupakan inti daripada
komunikasi.
Dalam konteks hubungan etnik, persepsi tidak hanya berlangsung terhadap
diri komunikator (persepsi terhadap diri), melainkan antara pembicara (komunikator/sender)
dan lawan bicara (komunikan/reciever) dalam komunikasi (persepsi
terhadap orang lain). Dalam hubungan sosial, persepsi terhadap orang lain
sangat menentukan bentuk komunikasi yang dibangun di antara mereka (Liliweri,
2003). Bagaimana orang Iban mempersepsi orang Melayu, akan menjadi dasar
komunikasi yang dibangun dalam hubungan sosial orang Iban dengan Melayu. Sebaliknya,
persepsi orang Melayu terhadap orang Iban akan membentuk pola komunikasi dalam
hubungan sosial orang Melayu dengan orang Iban di Badau (Ibrahim, 2013).
a. Orang Iban terhadap orang Melayu
Dalam pandangan
orang Iban di Badau, orang Melayu merupakan saudara tua mereka. Hal ini
didasari pada sejarah kekerabatan yang sudah dibangun sejak dahulu lagi di
antara kedua-dua etnik tersebut di Badau. Kerana itu, orang Melayu dalam
pandangan orang Iban di Badau bukanlah orang lain, sebab secara sosiokultural
mereka sentiasa terikat dalam sejarah sosial. Orang Melayu dengan orang Iban
memang berbeza dalam hal budaya, agama, adat istiadat dan sebagainya. Akan
tetapi perbezaan tersebut bukan penghalang bagi orang Iban membangun hubungan yang
baik dengan orang Melayu. Hal ini diakui oleh banyak informan Iban di lapangan,
a.l. Dw (34) tahun. Menurutnya, hubungan
antara Iban dan Melayu di Badau berjalan dengan baik dan penuh dengan
kekeluargaan. Mereka boleh saling membantu dan bekerjasama dalam banyak hal,
termasuk bersama-sama menjadi pengerusi parti politik[12].
Pandangan
serupa juga dinyatakan oleh Jaguh (45 th), seorang warga Iban di Rumah Panjang
Kekurak. Menurutnya tidak ada perbezaan antara orang Iban dan orang Melayu di
Badau. Sebab, kedua-dua masyarakat ini menurutnya, dapat saling menghargai dan
memahami dalam hubungan sosial.
Pandangan
tersebut dikuatkan dengan observasi yang dilakukan di lapangan, dimana ramainya
anak-anak muda Melayu yang bekerja menoreh getah dengan orang Iban, kemudian
diakui sebagai anak angkat oleh orang tua Iban di rumah panjang[13]. Wujudnya pengakuan saudara angkat
antara etnik Iban dan Melayu terus terpelihara dalam hubungan sosial etnik
hingga ke masa ini, sampai ke anak keturunannya sebagai punya kekerabatan
(meskipun setakat kerabat angkat)[14].
Pada
pendapat orang Iban, orang Melayu merupakan komuniti yang secara sosial pandai
menghargai orang lain, dapat hidup bersama dengan siapapun[15].
Hal ini sejalan dengan kenyataan bahawa hubungan sosial orang Iban dengan orang
Melayu sudah pun terbangun sejak dahulu lagi (sebagaimana dinyatakan oleh Enthoven, 1903)[16].
Tahun 1980 –an misalnya, seringkali orang Iban dari kampung Jantin Badau[17]
datang ke daerah Pengkadan (Melayu) untuk berburu babi hutan dan labi-labi.
Mereka membangun pondok kecil di sebelah hilir perkampungan, tinggal di situ
selama 1 sampai 2 bulan hingga mereka mendapatkan hasil yang cukup banyak,
barulah mereka pulang[18].
Pandangan
yang demikian terhadap orang Melayu membuat orang Iban di Badau mampu membangun
hubungan sosial dan komunikasi yang baik pula di antara mereka. Hal ini
terbukti dalam sejarah sosial antara kedua-duanya yang sentiasa harmoni dan
tiada pernah berlaku sebarang permasalahan dan konflik yang bererti. Dengan
modal ini pulalah komunikasi dalam hubungan sosial dapat dibangun dengan lebih
khas hingga penguasaan dua bahasa (bilingualisme)
dalam komunikasi orang Iban dan orang Melayu, yakni Bahasa Iban dan Bahasa
Melayu.
b. Orang Melayu terhadap orang Iban
Bagaimana orang Melayu
memandang orang Iban, seperti itulah komunikasi yang mereka bangun dalam
hubungan sosial orang Melayu dengan orang Iban. Sebab dalam komunikasi, kita
akan cenderung memperlakukan orang seperti apa pandangan kita terhadap orang
itu (Dedy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, 2001).
Menurut
pengakuan Adeni (49 th), orang Melayu dapat membangun komunikasi dan hubungan
yang baik dengan orang Iban kerana orang Melayu mengerti dengan sifat orang
Iban. Berdasarkan pengertian itulah orang Melayu membangun komunikasi dan
hubungan sosial dengan orang Iban di Badau (lihat dalam Ibrahim, 2013).
Suatu
pandangan yang baik dan benar terhadap orang lain akan menentukan keberhasilan
dalam sesebuah komunikasi, dan kekeliruan dalam mempersepsi orang lain juga
akan mempengaruhi efektifiti komunikasi yang dibangun (Gudykunts, 1996; Devito,
1997). Begitupun persepsi orang Melayu terhadap orang Iban turut menyokong bagi
hubungan sosial dan komunikasi antara kedua-duanya di Badau. Kondisi ini
semakin memperkuat sejarah ikatan kekerabatan di antara kedua-duanya,
sebagaimana wujud dalam konsep ”menyadik” pada orang Iban atau ”satu turunan”
pada orang Melayu.
Sama
dengan persepsi Iban terhadap Melayu yang berwujud pada pengakuan anak angkat,
saudara angkat atau orang tua angkat, pada orang Melayu Badau juga ada yang
melakukan hal yang sama terhadap orang Iban. Satu contoh yang dapat peneliti
sebutkan adalah keluarga Adeni (Melayu) yang mengangkat Kujam sebagai saudara
angkatnya. Ketika peneliti berkunjung ke rumahnya tahun 2009, seorang keponakan
daripada Kujam yang bernama Mitha juga tinggal di rumah keluarga Adeni untuk
bersekolah di Badau (Observasi, 08/2009). Kondisi seperti ini yang menurut
peneliti membuat hubungan antaretnik Iban dan Melayu di Badau semakin baik dan
penuh kekeluargaan hingga ke masa ini.
2. Berdasarkan Akomodasi
Akomodasi
merupakan satu teori yang memerhatikan perilaku komunikasi dengan tindakan
seseorang. Teori ini pertama kali dirumuskan oleh Howard Giles dan koleganya
(Littlejohn dan Foss, 2009: 222). Dalam konteks hubungan antara etnik,
akomodasi adalah satu sikap
di mana setiap kumpulan etnik menyedari serta menghormati norma dan nilai
kumpulan etnik lain dengan tetap mempertahankan budaya hidup masing-masing. Semua etnik hidup secara harmoni dan
menghormati antara satu sama lain (Shamsul, 2007: 15).
Ada banyak
hujah yang dapat dikemukakan menyangkut sikap akomodatif ini dalam hubungan
sosial antara etnik Iban dan Melayu di Badau, diantaranya adalah keyakinan
agama dan nilai-nilai kepercayaan. Bagi orang Iban yang beragama Katolik, minum
tuak dan daging babi adalah amalan hidup mereka. Sementara bagi orang Melayu-agama
Islam dengan tegas mengharamkan tuak dan daging babi (sebagaimana ditegaskan
dalam al-Qur`an Surah 2: 173, 5:3, 6: 145, dan 16: 115), termasuklah larangan
memakan daging binatang yang tidak disembelih dengan benar sesuai dengan
syari`at Islam. Terhadap persoalan ini, orang Iban sangat menghargai perbezaan
keyakinan agama orang Melayu. Hal ini terbukti ketika orang Iban hendak
menjemput orang Melayu pada jamuan acara tertentu, maka mereka akan menyiapkan
makanan dan minuman yang halal dan dibenarkan untuk dimakan oleh orang Melayu.
Mereka siapkan daging yang telah disembelih dengan benar oleh orang Melayu
sendiri, dimasak oleh orang Melayu dan dengan peralatan masak yang khas juga
untuk orang Melayu. Meskipun tempat makannya di rumah panjang, kepada orang Melayu (muslim) juga tidak
dihidangkan minuman tuak. Sebab tuak hanya dihidangkan khusus pada mereka yang
bukan Islam (Iban) sahaja[19].
Contoh lain
dapat penulis paparkan dalam analisis ini adalah ketika masyarakat Badau
mengadakan upacara selamatan[20]
atas perasmian pejabat imigresen di sempadan Badau, mereka mengadakan upacara
adat. Dalam upacara adat tersebut, dilakukan pemotongan babi sebagai prosesi
adat orang Iban. Sementara pada masyarakat Melayu, mereka melakukan upacara
perasmian dengan pembacaan doa dan sebagainya. Uniknya, proses adat yang
dilakukan berbeza, akan tetapi untuk maksud yang sama (keselamatan dan
perasmian), pada tempat yang sama (berdekatan) dan pada waktu yang sama pula.
Sikap antara etnik inilah yang masih kuat diamalkan di Badau sebagai bentuk
perhargaan, penghormatan dan kesaling-pengertian antara etnik yang berbeza
agama dan budaya.
Daripada
contoh di atas, tampak bahawa sikap yang akomodatif antara etnik Iban dan
Melayu di Badau turut berperan bagi hubungan yang harmonis antara kedua-dua
etnik ini di Badau.
3.
Berdasarkan
Akulturasi
Akulturasi iaitu suatu proses
penerimaan unsur kebudayaan dalam kalangan individu atau kelompok dari suatu
kebudayaan lain yang berbeza (Shamsul, 2007: 15). Akulturasi merupakan suatu
kelanjutan daripada sikap akomodatif di atas, dimana suatu sikap penerimaan dan
seterusnya menjadikan sikap tersebut sebagai bagian daripada diri sendiri.
Sikap demikian sentiasa bermula dari kesediaan menghargai dan menghormati
perbezaan yang ada.
Dalam konteks
hubungan etnik di Badau, kajian ini menunjukkan bahawa antara Iban dan Melayu
memang mempunyai banyak sisi perbezaannya. Akan tetapi, itu tidak bermakna
bahawa kedua-duanya tidak boleh membangun hubungan yang baik. Satu diantara
hujah tersebut adalah, kedua-dua etnik tersebut juga mengalami proses
akulturasi budaya dalam hubungan sosial mereka, utamanya dalam pola hidup dan
budaya pemukiman[21].
Dalam pola
hidup dan budaya pemukiman, memang ada perbezaan asas antara orang Iban dengan
Melayu. Orang Iban lebih cenderung hidup di pedalaman, tradisional, bahkan
jarang mengenakan baju, daun telinga lebar dengan untaian anting yang banyak,
badannya bertato, dan tentunya juga jauh dari pembangunan dan pendidikan.
Sejarah sosial memberikan label pada etnik ini sebagai komuniti yang keras, agresif dan nomad (Wadley, 2001)[22]. Daripada aspek pemukiman, orang Iban menyatu dalam satu rumah panjang. Sehingga dalam satu kampung hanya ada satu
rumah panjang, dan di situlah berkumpul seluruh keluarga Iban sekampung.
Sebaliknya,
orang Melayu majoriti hidup di pesisir sungai, lebih terbuka dengan
perkembangan informasi, berpakaian rapi, badan dan gaya hidupnya ”bersih”, yang
tentunya juga telah mengeyam hasil pembangunan dan pendidikan yang lebih baik.
Sejarah sosial memberikan label kepada etnik ini sebagai komuniti yang santun,
ramah, terbuka dan cenderung menetap (Tenas Effendi, 2006), atau komuniti yang
”pemalas” yang tidak memiliki semangat bekerja[23]
(Alatas, 1977). Dari sisi pemukiman, orang Melayu membangun rumah tunggal di
kampung-kampung, sehingga membentuk sebuah kampung yang semakin luas dan besar.
Akan tetapi, perbezaan tersebut sedikit sebanyak telah turut mempengaruhi
budaya hidup antara kedua-dua etnik tersebut.
Rajah 1
Proses Akulturasi Budaya Etnik di Badau.
Rajah di atas menunjukkan bahawa telah berlakunya perubahan
dalam budaya (dalam bentuk akulturasi budaya), sekaligus menjadi bukti bahawa
Badau merupakan wadah komunikasi (melting
pot) antara etnik dalam hubungan sosial, dalam hal ini etnik Iban dan
Melayu. Bagaimana proses melting pot
berlaku dalam komunikasi etnik, sila lihat kajiannya dalam Liliweri (2003)
& Mulyana (2004).
Begitupun teori akulturasi dalam konteks hubungan antara
etnik di Badau menunjukkan bahawa hubungan antara etnik Iban dan Melayu sudah
terbangun dengan baik dalam sejarah sosial mereka, bahkan mengakar dan menjadi
penyebab berhasilnya kedua-dua etnik tersebut dalam membangun komunikasi dalam
hubungan sosial hingga ke masa ini.
4.
Berdasarkan
Pengalaman Interaksi Sosial
Kajian
ini mendapati sedikitnya dua paktor utama yang menjadi dasar hubungan etnik di
Badau sepanjang sejarah etnik dan pengalaman interaksi sosial mereka, yakni
dalam konteks perayaan upacara perkahwinan dan penyelesaian persoalan
antarwarga.
Perayaan Upacara Perkahwinan.
Perayaan upacara perkahwinan
merupakan salah satu ranah yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana
hubungan antara etnik terbangun di Badau. Pada orang Melayu, perkahwinan bukan
sahaja setakat ritual adat dan budaya sebagaimana pada orang Iban, melainkan
termasuk perintah agama. Dalam konteks mengkaji hubungan antara etnik, perayaan
upacara perkahwinan ternyata memberikan kekhasan hubungan antara etnik Iban dan
Melayu di Badau.
Pengamatan di
lapangan mendapati bahawa hampir setiap kali orang Iban mengadakan upacara
perkahwinan di rumah panjang, mereka menjemput hadir orang Melayu. Sebaliknya,
apabila orang Melayu menyelenggarakan upacara perkahwinan, mereka juga
menjemput hadir orang Iban di sekitar wilayah kampung mereka. Hubungan yang
demikian antaraetnik diakui oleh Ung (Iban, 54) dan Is (Melayu, 39).
Penglibatan
orang Iban dalam jemputan jamuan perayaan perkahwinan orang Melayu mungkin
tiada banyak masalah dari sisi adat, budaya dan agama. Akan tetapi agak berbeza
apabila orang Melayu dijemput hadir dalam jamuan perayaan perkahwinan orang
Iban di rumah panjang. Dalam hal pemakanan, orang Melayu mempunyai aturan yang
jelas dan ketat oleh agama, dimana asasnya berbeza dengan kebiasaan pemakanan
orang Iban.
Pengamatan di
lapangan mendapati bahawa ketika orang Iban mengadakan upacara perayaan
perkahwinan, kemudian mereka hendak menjemput orang Melayu, maka mereka akan
mengaturnya secara khas. Dari segi waktu, mereka menjemput hadir orang Melayu
lebih dahulu daripada jemputan lainnya. Dari sisi makanan, yang disediakan
untuk tetamu jemputan Melayu adalah makanan yang halal sahaja, disediakan
dengan cara Islam, sebab mereka meminta bantuan orang Melayu sendiri untuk
memasaknya. Alat memasak dan sebagainya juga adalah tempat yang khas, yang
hanya digunapakai untuk menyiapkan jamuan bagi orang Melayu sahaja. Dengan
demikian, penyelenggaraan upacara perkahwinan pada etnik Iban sebenarnya juga
melibatkan orang Melayu sendiri yang menyiapkan jamuan khas untuk tetamu
Melayu.
Sementara
pada waktu orang Melayu mengadakan upacara perayaan perkahwinan dan menjemput
hadir orang Iban, maka biasanya tiada masalah menyangkut makanan dan minuman,
sebab orang Iban juga boleh makan dan minum apa-apa makanan dan minuman yang
disediakan oleh orang Melayu. Sedang orang Melayu sendiri juga tidak perlu
menyediakan makanan dan minuman khas sebagaimana di rumah panjang.
Penyelesaian Persoalan Antarawarga.
Dinamika hubungan
sosial juga berlaku dalam hubungan antara etnik Iban dan Melayu di Badau. Sejarah sosial etnik Iban dan
Melayu menunjukkan bahawa komunikasi telah berlangsung lama antara kedua etnik
ini (Enthoven, 1903). Sejarah sosial tersebut juga menunjukkan bahawa tiada
sebarang persoalan, perselisihan dan konflik yang berarti pernah terjadi, yang
boleh merosak hubungan sosial antara keduanya. Kemampuan mengawal dinamika
dalam hubungan sosial inilah yang menjadikan salah satu bentuk (ke-khasan)
hubungan sosial yang terbangun di antara etnik Iban dan Melayu di Badau hingga
ke masa ini.
Sebagai contoh, tahun 2009 pengkaji pernah mengamati bagaimana masyarakat
etnik Iban dan Melayu menyelesaikan persoalan yang terjadi di antara mereka,
yakni kes lucah (asusila) antara seorang perempuan (warga tempatan) dengan
seorang lelaki (pendatang) yang bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit. Perempuan
tersebut hendak meminta tanggung jawab kepada lelaki yang telah menghamilinya. Namun, lelaki itu menolak dengan
alasan perzinahan itu dilakukan dengan dasar suka sama suka dan jual beli.
Kedua belah pihak tidak mendapat kesepakatan sehingga membawa persoalan ini menjadi
perhatian orang ramai.
Kerana persoalan tersebut sudah diketahui ramai, dan tidak adanya
kesepakatan penyelesaian secara kekeluargaan di antara kedua pihak, maka
pengerusi adat lah yang memfasilitasi sidang kes tersebut dengan undang-undang adat sebagai
dasar hukum penyelesaiannya. Hasilnya, kedua-dua belah pihak dapat menerima
keputusan yang telah dikeluarkan oleh lembaga adat yang terdiri daripada pemuka
adat Iban dan pemuka adat Melayu di Badau (lebih detil lihat dalam Ibrahim,
2013).
Akan tetapi, jika melalui lembaga adat juga tidak mampu menyelesaikan suatu
persoalan atau kes dalam hubungan sosial, maka persoalan tersebut akan
diteruskan kepada pihak kepolisian dan pengadilan (hukum konvensional). Hal ini
didasari daripada pengakuan seorang informan Melayu (Un, 55 th) ketika bertemu
bual dengan pengkaji.
Hujah di atas
cukup memberikan gambaran betapa hubungan antara etnik Iban dan Melayu di Badau
dapat dibangun dan dipelihara dengan baik, dengan salah satu kearifan dalam
pengalaman interaksi kedua-dua etnik tersebut menyelesaikan persoalan yang
terjadi di antara mereka.
PENUTUP
Komunikasi yang terbangun antar etnik Iban dan Melayu di
Badau memberikan sebuah gambaran wujudnya satu hubungan yang baik dan harmoni
antar etnik, baik dalam konteks sosial, budaya, politik mahupun agama. Daripada
aspek sosial dan budaya, pengalaman interaksi sosial yang saling memahami dan
menerima perbezaan menjadi modal membangun hubungan yang baik dan harmoni antar
etnik, baik dalam bentuk akomodasi mahupun akulturasi budayanya. Dalam hal
politik juga didukung oleh kebijakan berbagi kekuasaan (sharing power) antar
kedua-dua etnik. Begitupun dengan komunikasi yang telah dibangun dengan baik
dalam hubungan etnik di Badau tumbuh dari wujudnya persepsi sosial yang baik
antar etnik Iban dan Melayu, hingga melahirkan bentuk-bentuk hubungan sosial
etnik yang khas seperti pengakuan saudara angkat dan sebagainya. Inilah bentuk
keistiwemaan harmonisasi hubungan etnik di Badau yang tentunya tidak ditemukan
dalam konteks hubungan etnik di tempat-tempat lain di tanah air.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Hussien. 1977. The Myth of the Lazy Native. Singapore: Universiti of Singapore.
Enthoven, J.J.K. 1903. Borneo
Wester-Afdeeling, Leiden, Boekhandel En Drukkerij voorheen E.J.Brill,
Deel I.
Ibrahim. 2007. Penggunaan Bahasa Iban di Badau. Dalam Chong Shin &
Collins, Bahasa dan Masyarakat Ibanik di Borneo, ATMA UKM Press; Bangi,
Kuala Lumpur.
Ibrahim. 2008a. Komunikasi Antarsuku di Badau: satu Kajian Awal.
Artikel jurnal Al-Hikmah, Jurusan
Dakwah STAIN Pontianak: Vol. 2, edidi 1 Jun 2008. Hal : 92-106.
Ibrahim.
2008b. Potret Keber-agamaan orang Melayu di Badau. Dalam Yusriadi dan
Ambaryani. Islam dan Etnisitas di Kalbar. Pontianak: STAIN Press.
Ibrahim. 2010. Komuniti
Iban dan Melayu di Badau: Satu Tinjauan dari Aspek Bilingualisme. Makalah yang
diterbitkan dalam Jurnal Bahasa Dewan
Bahasa dan Pustaka Negara Brunei Darussalam, Edisi Mai-Ogos Bil. 20. H. 1-11.
Ibrahim. 2013. Hubungan penutur bahasa-bahasa Melayik: Kes Suku Iban
dan Melayu di Badau, Pulau Borneo. Disertasi ATMA, Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Littlejohn, Stephen W & Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, edisi 9 (alih bahasa oleh M. Yusuf Hamdan). Jakarta: Salemba Humanika.
Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Jogjakarta: LKiS
Mohd Aris Haji Othman. 1985. Identiti Etnik Melayu. Petaling Jaya:
Fajar Bakti
Muhammad Ali. 2003. Teologi
Pluralis-Multikultural. Jakarta: Kompas.
Mulyana, Dedy. 2001. Komunikai Antarbudaya. Bandung: Rosda Karya
Mulyana, Dedy dan Rahmat, Jalaludin. 2001. Komunikasi Antarbudaya.
Bandung: Rosda Karya
Pelly, Usman. 1989. Hubungan
Antar Kelompok Etnis: Beberapa Kerangka Teoritis dalam Kasus Kota Medan. Dalam Interaksi Antarsuku Bangsa dalam Masyarakat
Majemuk. Jakarta: Departemen P & K.
Shamsul Amri Baharudin
(ed.), 2007. Modul
Hubungan Etnik. Kuala
lumpur: Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia.
Syed Husen Ali.
2008. Ethnic Relation in Malaysia: Harmony & Conflict. Selangor:
SIRD.
Tenas Effendy.
2006. Tunjuk Ajar Melayu. Jogjakarta:
Adicita Karya Nusa.
Wadley, Reed L. 1997. Circular Labor Migrations and Subsistence
Agriculture: A Case of the Iban in West Kalimantan,
Indonesia. Disertation Doctor of Philosophy Arizona
State Universiti.
Wadley, Reed L. 2001. Frontiers
of Death: Iban Expansion and Inter-Ethnic Relations in West Borneo. http://www/iias.nl/iiasn/24/theme/24T10.html , akses 2 Oktober 2007.
Dokumen Sejarah Perang Kantuk Gaduh di Empanang
abad ke – 18, Naskah.
Dokumen Surat Kontroluer Van Felltehensen Nanga
Badau, Naskah 28 Februari 1885.
[1]
Dosen STAIN Pontianak. Meraih gelar Doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia
(UKM) dan Magister di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
[3] Menurutnya Nanga Badau merupakan
salah satu pangkalan tentera Belanda apabila kawasan itu sudah berada dalam
wilayah pemerintahan Onderafdeeling Boven Kapuas di Lanjak. Untuk
memantapkan kedudukan Belanda di kawasan tersebut, maka dilantiklah ambtenaar
di Nanga Badau yang masa itu sememangnya merupakan perkampungan Iban. Meskipun demikian, sebenarnya hubungan
dengan orang Melayu sudah pun bermula masa itu. Ramai pedagang Melayu yang
datang berjualan ke kampung-kampung Iban (Enthoven, 1903: 232).
[4] Menurutnya ketika Belanda
berkuasa, Nanga Badau adalah salah satu tempat pangkalan tentera darat (detachemen infantri)
Belanda ketika itu dengan pegawai daerah (Kontroleur Boven Kapuas) bermarkas
di Semitau (Gerlach,1981: 287).
[5] Menurutnya, Nanga Badau dan kawasan
di sekitarnya merupakan kawasan yang dijadikan tujuan misionaris ketika itu, kerana
masyarakatnya dianggap tidak memiliki peradaban, oleh itu penting diberikan
peradaban baru melalui ajaran misi di kawasan tersebut (Bos dan Putten, 1917:
14).
[6] Kekuatan material adalah dominasi satu
etnik dari etnik lainnya dari sisi ekonomi, kekuatan ideologi menyangkut nilai-nilai
filosofi dan sosial pada suatu etnik yang lebih dihormati dan dijadikan sebagai
acuan bagi etnik yang lain, sedangkan kekuatan hak historis lebih merupakan
perasaan atau bahkan pengakuan bahwa satu etnik merupakan kelompok yang paling
berhak terhadap tanah air dan wilayah hidup mereka dibandingkan kelompok etnik
yang lain dalam label bumi putera/putra daerah/penduduk asal (lihat dalam
Wadley, 1989; Ibrahim, 2013).
[7] Khas pada etnik Iban, Sandin (1956, 1957)
dan Padoch (1982) telah memberikan banyak maklumat mengenai pergerakan migrasi
suku ini daripada lembah kapuas (di wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat-Indonesia) hingga ke Batang Aik dan pelbagai kawasan lain di Serawak
Malaysia. Akan tetapi kajian tersebut tiada pernah memberikan maklumat mengenai
pergerakan migrasi kembali orang Iban dari wilayah Serawak Malaysia ke wilayah
Indonesia, terutama kawasan sempadan Badau dan sekitarnya. Menurut Ibrahim,
perpindahan orang Iban dari lembah kapuas ke Serawak seperti dilaporkan Sandin
dan Padoch adalah migrasi pertama suku ini. Sebab, nyatanya terjadi kepindahan
kembali orang Iban daripada wilayah Batang Aik Sarawak ke kawasan sempadan
(Badau) ratusan tahun berikutnya, dan itulah proses migrasi kedua suku ini.
Lebih lanjut kajian ini, sila rujuk dalam Ibrahim (2007 & 2013).
[8] Istilah ini bukan hanya dikenal dalam
kamus politik di Indonesia pasca digulirkannya reformasi yang berbuah pada
kebijakan pemerintahan daerah yang otonom (otonomi daerah), akan tetapi pada
prakteknya politik bagi-bagi kekuasan, atau bagi-bagi kedudukan politik (sharing power) ini telah menjadi
kesepakatan bersama di antara etnik dalam panggung politik. Salah satu
bentuk kesepakan tersebut antara lain, pencalonan kepala daerah suatu kabupaten
(Bupati-Timbalannya) mesti refresentasi daripada dua etnik terbesar di wilayah
tersebut. Jika wilayah tersebut majoritinya adalah Melayu dan Dayak, maka
posisi Bupati-Timbalan Bupati mesti dikongsikan antara calon daripada orang
Melayu dan orang Dayak. Begitulah seterusnya amalan majoriti dalam pelbagai
tingkatan pemimpin politik daerah hingga ke masa ini.
Sharing power atau lebih dikenal dengan
politik berkongsi kekuasaan merupakan satu kecenderungan politik di Indonesia,
terutama di wilayah yang terdiri daripada masyarakat yang majmuk (secara etnik
dan agama). Di antara tujuan kebijakan politik sharing power ini adalah; 1). sebagai satu bentuk keadilan dan
kebersamaan terhadap hak warganegara dalam berpolitik; 2). Untuk menciptakan
suatu hubungan yang baik dan harmonis antaraetnik melalui kebersamaan dalam
politik dan pentadbiran negara (lihat M. Ali. 2000; Menggagas Indonesia Baru)
[9]
Pengawa adalah gelar atau sebutan yang diberikan kepada orang yang dipercayai
mengurus persoalan hukum dan adat istiadat dalam masyarakat Melayu. Meskipun
tidak ada ketentuan tertulis menyangkut syarat dan kriteria menjadi seorang
pengawa, akan tetapi dapat dipastikan siapa yang banyak mengurus tentang hukum
dan adat istiadat di kampung, maka kepadanya masyarakat memberikan
gelar/sebutan pengawa, baik secara formal menjadi pemimpin dewan adat mahupun
tidak. Bahkan sebagai bagian daripada struktur sosial masyarakat, gelar/sebutan
tersebut diberikan selamanya kepada seseorang.
[10]
Sedang penghulu adalah gelar atau sebutan yang diberikan kepada orang yang
mengurus prosesi perkahwinan dalam masyarakat Melayu. Penghulu ini adalah orang
yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat untuk menikahkan. Dalam struktur
pentadbiran negara, penghulu ini merupakan pelaksana tugas menikahkan yang
merupakan tanggung jawab Kantor Urusan Agama Kementerian Agama tingkat
kecamatan.
[11]
Sementara Imam dan Ustaz adalah sebutan kepada orang yang lebih banyak
pengetahuan agama, atau memahami persoalan agama. Imam biasanya adalah sebutan
untuk seseorang yang mempunyai kemampuan memimpin shalat para masyarakat
Melayu, atau lebih identik dengan pemimpin dalam shalat. Sedangkan ustaz adalah
sebutan untuk orang yang banyak mengetahui persoalan agama dan mengajarkannya
kepada orang lain, baik melalui pendidikan formal (sekolah) mahupun nonformal
(pengajian di masjid, surau, di rumah-rumah dan sebagainya).
[12]
Sebagai contoh kepengurusan Parti Golongan Karya: ketua penasihat parti
(Luther- Iban), ketua cawangan parti (Dewit- Iban), timbalan ketua cawangan (Samsani- Melayu), setiausaha parti (Suparno- Jawa) dan Bendahari (Adeni- Melayu).
[13]
Pengakuan sebagai anak atau orang tua angkat ini menurut analisis pengkaji
adalah semata untuk mendekatkan hubungan daripada seorang pekerja (Melayu)
kepada pemilik kebun (Iban) di rumah panjang. Kerana itu, yang terjadi di
lapangan adalah jika pekerja (Melayu penoreh getah) adalah orang yang sudah
tua, maka dia akan mengikrarkan anak atau saudara angkat dengan anggota
keluarga (pemilik kebun) di rumah panjang. Akan tetapi jika pekerja (Melayu
penoreh getah) itu masih muda, maka dia akan mengikrarkan saudara atau orang tua
angkat dengan pemilik kebun (keluarga Iban) di rumah panjang.
[14]
Pengalaman ini terjadi diantara keluarga Adeni (Melayu) dengan Jawi (Iban).
Dahulu, M. Nahar (ayah Adeni) berikrar sebagai bersaudara dengan Nunung (ayah
Jawi). Sejak ikrar tersebut, kedua keluarga ini menjalin hubungan layaknya
keluarga sebenar yang saling berkomunikasi, bersilaturahmi dan berkunjung.
Hubungan tersebut masih terus dipelihara hingga ke generasi anak cucunya masa
ini. Inilah pengakuan yang diberikan oleh Adeni (Melayu) dan Jawi (Iban) ketika
temubual di lapangan.
[15]
Bandingkan dengan pandangan sebahagian orang luar (terutama kolonialis Eropah)
terhadap orang Melayu sebagai pemalas, tidak mempunyai semangat kerja dan
semacamnya. Pandangan tersebut agaknya lebih didasari daripada perspektif
kepentingan ekonomi kolonialis. Sebab, menurut Alatas, tiada hal yang konkrit
dan empirik yang dapat dikemukakan untuk menggambarkan pandangan tersebut
sebagai benar. Tidak ada bukti kuat bahawa orang Melayu kurang suka bekerja,
kurang kegiatan. Yang benar, orang Melayu memang kurang senang bekerja dalam
perkebunan kolonial Eropah (kuli penjajah). Lihat perbincangan lebih lanjut
dalam Alatas (1977).
[16]
Menurut Enthoven (1903), hubungan Melayu dengan Iban di Badau sudah pun
terbangun sejak dahulu lagi, dimana masa itu ramai daripada orang Melayu yang
berdagang ke kampung-kampung Iban, mereka menukarkan garam, rempah dengan padi
dan hasil ladang orang Iban.
[17]
Jantin adalah salah satu kampung Iban yang ada di wilayah Badau. Kampung ini
berada tidak jauh dari Badau Hilir, yang sebelumnya disebut Badau 1. Sementara
kampung Sebindang (yang terdiri dari Dusun Sebindang dan Dusun Mentari)
merupakan wilayah Badau Hulu yang sebelumnya disebut Badau 2.
[18]
Kawasan yang dimaksud adalah sekitar Nanga Jajang, di mana kawasan ini
merupakan kampung asal peneliti. Peneliti menyaksikan betul peristiwa ini,
ketika orang Iban datang dan bermukim beberapa lama di hilir perkampungan itu.
Bahkan daripada anak-anak Iban itu (Inun, Odom dan Wira) merupakan teman bermain
peneliti semasa masih kecil ketika itu.
[19] Pengalaman tersebut pernah pengkaji alami
ketika melakukan kunjungan di rumah panjang Sebindang pada akhir tahun 2008.
Peneliti diminta untuk memotong ayam yang akan dijadikan jamuan kepada tetamu
Melayu yang akan menghadiri mesyuwarat desa (kampung) di rumah panjang Iban
malam harinya. Selain itu, peneliti juga dimaklumi bahawa para perempuan Melayu
juga sudah dijemput datang ke rumah Panjang untuk memasak, menggunakan
perlengkapan masak yang khas sesuai dengan yang dibenarkan dalam keyakinan
orang Melayu
[20] Selamatan, adalah upacara yang dilakukan untuk memanjatkan
doa agar Allah Swt sentiasa memberikan keselamatan dan kesejahteraan hidup bagi
yang berhajat. Oleh itu, selamatan ini biasanya dilakukan sebagai bentuk rasa
syukur dan terima kasih di atas kesenangan, kebahagiaan, dan limpahan rizki
yang telah didapatkan. Pada masyarakat Melayu, ada banyak upacara selamatan,
sebagaimana dilaporkan oleh Haitami bahawa sedikitnya ada 10 adat Melayu
Pontianak yang berkaitan dengan selamatan, yakni belenggang, ngantar tembunik, gunting rambut, naik ayun, khataman
qur`an, khitanan, antar tande, perkahwinan, buang-buang, mandi-mandi dan tepung
tawar (lihat Haitami, 2010: 48).
[21]
Menurut Mohd. Aris Haji Othman, kependudukan dan pola-pola penempatan suatu
masyarakat etnik di sesebuah pemukiman/perkampungan boleh memberikan satu
identiti dalam hubungan sosial etnik. Kerana itu, menurutnya dengan melihat
pola-pola tersebut kita dapat mengenalpasti taraf hubungan yang wujud antara
etnik. (Lihat Mohd. Aris Haji Othman, 1985. Identiti
Etnik Melayu).
[22]
Merujuk kepada Sellato (1994), orang Bukat dan Punan yang ada di Borneo juga
mempunyai sejarah tradisi yang sama, yakni agresif, keras, berburu kepala, dan
berpindah-pindah. Kondisi tersebut sama dengan tradisi yang ada pada orang Iban
pada zaman ngayau hingga perubahannya pasca tradisi ngayau tersebut (Wadley,
1997b). Meskipun masa ini tradisi tersebut sudah tidak lagi diamalkan, namun image terhadap rumpun etnik ini sebagai
komuniti yang keras dan agresif masih wujud pada sebahagian orang luar.
[23]
Untuk pandangan yang terakhir ini sesungguhnya dibantah oleh banyak pengkaji
sosial sama ada dari kalangan Melayu sendiri ataupun Eropah. Alatas sendiri
langsung memberikan sanggahan bahawa pandangan Eropah yang menyebut Melayu
malas sesungguhnya tak mendasar, sebab ianya hanya diukur berdasarkan
kepentingan perusahaan perkebunan kolonial Eropah ketika itu. Pengkaji lain
yang juga tidak sependapat dengan citra Melayu malas yang dikembangkan oleh
kolonialis Eropah adalah Winstedt melalui artikelnya Malay and Its History. Beliau sendiri begitu memuji cara kerja
orang Melayu yang menurutnya, ‘orang Melayu adalah seorang petani bebas yang
tidak perlu menyewakan tenaganya (sebagai kuli)’. Lihat Alatas (1977)