Sabtu, 21 September 2013

HUBUNGAN ETNIK DI BADAU



Studi Komunikasi antar Etnik Iban dan Melayu di Badau, Kapuas Hulu

Oleh: Ibrahim MS[1]


Abstrak
Dalam beberapa dekade terakhir, persoalan etnik menjadi isu yang ramai dibincangkan, terutama menyangkut permasalahan hubungan sosial dan konflik yang kerap terjadi di banyak wilayah di tanah air, tak terkecuali di Kalimantan Barat. Di pedalaman Kapuas Hulu, tepatnya di Badau, wujud masyarakat etnik yang boleh hidup berdampingan dalam damai dan penuh keharmonian, yakni etnik Iban dan etnik Melayu. Sejarah sosial menunjukkan bahawa tiada sebarang konflik yang berarti pernah berlaku diantara kedua etnik tersebut. Hal ini seakan menjadi pengecualian terhadap beberapa kasus konflik antara etnik yang pernah terjadi di Kalimantan Barat. Kajian di lapangan mendapati beberapa faktor yang menjadi alasan terbinanya hubungan yang baik dan harmoni antar kedua-dua etnik Iban dan Melayu di Badau. Dari aspek politik misalnya wujudnya kebersamaan dan kerjasama politik yang baik dalam bentuk ”sharing power”. Dari aspek persepsi sosial wujudnya pandangan yang positif antar etnik. Dari sisi budaya wujudnya nilai-nilai akomodasi dan akulturasi budaya yang saling memahami, menghargai dan mengisi satu sama lain. Dari sisi pengalaman interaksi sosial keduanya juga wujud satu bentuk hubungan sosial yang dilandasi pada semangat kebersamaan, toleransi dan saling mendukung terciptanya satu hubungan sosial yang damai dan harmoni antar etnik di Badau.   

Kata kunci: Hubungan sosial, etnik, keharmonian.


ETHNIC RELATION IN BADAU
Communication Studies of inter-ethnic Iban and Malay in Badau, Kapuas Hulu

By.  Ibrahim MS


Abstract
In recent decades, ethnic issues to be dealt a lively issue, especially with regard to issues of social relationships and conflicts that often occur in many regions of the country. No exception of in West Kalimantan. In land Kapuas Hulu, precisely in Badau, a form of ethnic communities can live side by side in peace and harmony, the ethnic Iban and Malays. Social history indicates that there is no any significant conflict aver applies between the two ethnics. This as though be the exception to a few case of ethnic conflict between ever happened in West Kalimantan. Filed study found several factors that the reason maintaining good relations and harmony between both the Iban and Malay ethnic in Badau. Form the political aspect of the establishment of political unity and coorporation in the form of ”sharing power”. His from aspect of social perception of a positive outlook among ethnic. In term of ethnic culture also awakened the values of accomodation an acculturation that mutual understanding, appreciate and complement each other. From the experience of social interaction is also the realization of a form of ethnic social relations based on a spirit of togetherness, tolerance and mutual support the creation of a feaceful and harmonious of sosial relations between ethnic groups in Badau.


Keywords: social relation, ethnic, harmony


PENGENALAN
Hubungan Etnik di Badau, merupakan satu artikel yang disarikan daripada sebahagian isi Disertasi Penulis di ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia. Artikel ini menampilkan perbincangan mengenai komunikasi dan hubungan antara etnik Iban dan Melayu di Badau, Kapuas Hulu. Tajuk ini menjadi isu yang sangat menarik diperbincangkan di tengah realiti hubungan sosial dan komunikasi antar etnik di Kalimantan Barat yang rentan terhadap persoalan dan konflik, sebagaimana di Sambas (1999) dan Sanggau Ledo (1997). Sebagai sebuah artikel yang disarikan dari kajian Disertasi, tulisan ini hanya menyajikan secara singkat dan serba ringkas mengenai Badau dan Etnisitas dalam konteks hubungan etnik.  

BADAU DAN ETNISITI DALAM KAJIAN INI
Badau adalah nama sebuah kawasan di pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, yang bersempadan dengan Sarawak, Malaysia. Sebagai sebuah kawasan yang jauh di pedalaman, sememangnya tidak banyak ilmuwan yang mengkaji kawasan ini secara terperinci (Ibrahim, 2013). Beberapa kajian terdahulu terhadap masyarakat etnik dalam konteks se-alam Melayu hingga persebarannya di pedalaman Borneo dan Kalimantan Barat dapat dijumpai dalam Grinten (1862), Bouman (1924), King (1974, 1985), Rousseau (1980), Freeman (1958, 1970) dan Sellato (2002).
Kajian yang secara langsung (meskipun belum betul-betul terperinci) menyebutkan Badau dan kawasan-kawasan di sekitarnya dapat ditemukan pada Enthoven[3] (1903), Gerlach[4] (1981), Bos (1917) dan Van der Putten[5] (1917). Dan baru-baru ini Eilenberg (2005), Wadley dan Eilenberg (2006), Wadley (1997a, 1997b, 1999, 2001, 2005), dan Ibrahim (2013).
Berdasarkan beberapa kajian di atas dapat difahami bahawa Badau pernah menjadi kawasan yang menarik bagi para pengkaji terdahulu, terutama pegawai  kolonial Belanda dalam misi gereja. Kajian tersebut menunjukkan adanya sebuah model hubungan sosial yang terbangun antar etnik, terutama Iban dan Melayu yang memiliki bilangan terbesar di kawasan itu. Karena itulah perbincangan berikutnya dalam tulisan ini difokuskan kepada komunikasi dalam hubungan etnik di Badau.

HUBUNGAN ETNIK DI BADAU
Untuk menganalisi mengenai hubungan etnik di Badau digunakan lima aspek tinjauan, yakni berdasarkan politik (kekuasaan), berdasarkan persepsi sosial, berdasarkan kebudayaan (akomodasi dan akulturasi) dan berdasarkan pengalaman dalam interaksi sosial etnik. Analisis hubungan berdasarkan kekuasaan (aspek politik) digunakan teori Pelly (1989). Untuk aspek budaya digunakan teori Shamsul (2007). Untuk aspek pengalaman interaksi sosial digunakan teori Syed Husen Ali (2008).
1.      Berdasarkan Kekuasaan
Kekuasaan (power) merupakan salah satu faktor utama yang boleh digunakan untuk mengkaji hubungan antar etnik, sebagaimana dilakukan oleh Pelly ketika mengkaji mengenai hubungan antara kelompok etnik di Kota Medan (Pelly, 1989: 1). Menurutnya, umumnya kelompok etnik yang memegang kekuasan itu adalah kelompok dominan (dominan-group), dimana kelompok ini lebih banyak menentukan aturan permainan dalam masyarakat, termasuk dalam hubungan sosial.
Lebih lanjut menurut Pelly, kekuasaan (power) kelompok dominan yang dimaksudkan di sini merupakan kombinasi dari beberapa kelebihannya daripada kelompok lain yang lebih kecil, yakni kekuatan material, kekuatan ideologi dan kekuatan hak historis[6] (Pelly, 1989: 1).
Sementara menurut Burner, terdapat tiga faktor yang dijadikan sebagai penanda suatu etnik sebagai kelompok dominan atau tidak dalam masyarakat multi-etnik; yakni faktor demografis, faktor politik dan faktor budaya (dalam Pelly, 1989: 2). Kajian Burner di Kota Bandung mendapati bahwa etnik Sunda menjadi kelompok dominan disebabkan secara kombinasi orang Sunda memiliki keunggulan dalam ketiga-tiga aspek kekuasaan di atas berbanding kelompok lainnya.
Untuk konteks hubungan etnik di Badau, tampaknya faktor dominasi kekuasaan (power) tidak terlalu signifikan peranannya, sebab Iban dan Melayu di Badau mempunyai bilangan penduduknya yang hampir sama (tidak ada yang terlalu dominan), termasuk dalam hal kekuatan material, kekuatan ideologi dan kekuatan hak historis.
Dari sisi kekuatan material tidak didapati satu dominasi yang kentara antara etnik di Badau, dimana masih wujudnya hubungan yang saling memerlukan. Sebagai petani yang menjual hasil kebunnya memerlukan konsumen yang membelinya. Begitupun dengan bilangan penduduk kedua-duanya, termasuk persoalan etnik dan agama.
Begitupun dengan kekuatan ideologi budaya hidup pada etnik Iban mahupun etnik Melayu juga tidak menunjukkan adanya dominasi. Hal ini tampak pada masing-masing budaya hidup, yang dilakukan dalam ranah dan komuniti tersendiri dan berbeza. Budaya hidup orang Iban menjadi identiti masyarakat Iban di rumah panjang (Wadley, 1997a). Begitupun dengan budaya hidup orang Melayu yang lebih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan agama Islam juga wujud dalam komuniti Melayu (Mohd Aris Haji Othman, 1985). Kondisi ini lebih mirip dengan kondisi etnik di Kota Medan sebagaimana dilaporkan oleh Pelly (1989:2), dimana ada puluhan kelompok etnik yang hidup di sana, tetapi tidak ada satupun yang secara kombinasi memiliki keunggulan (dominan) di bidang demografis, politis dan budaya lokal.
Wujudnya kebersamaan dalam konteks budaya (bukti ketiadaan dominasi) juga tampak ketika adanya upacara tertentu antara etnik Iban dan Melayu di Badau, seperti perasmian pejabat imigresen. Dalam upacara tersebut, budaya adat Iban dan Melayu dijalankan secara bersamaan, sesuai dengan konteks dan maksudnya masing-masing. Dapatan ini memberikan pengertian bahawa budaya sebagai satu aspek ideologi etnik berlaku dalam domainnya masing-masing. Budaya Iban menjadi ideologi yang lebih (kuasa) apabila di rumah panjang. Sebaliknya, budaya Melayu juga menjadi ideologi yang lebih (kuasa) di perkampungan Melayu. Dalam domain sosial (hubungan antara kedua-dua etnik), budaya Iban dan Melayu menempati kedudukan (kekuatan) yang sama/setara.
Sementara kekuatan hak historis yang menyangkut pengakuan status dan identiti suatu kelompok sebagai penduduk asli dan tuan rumah (host pop) atau bukan, memberikan gambaran bahawa Iban dan Melayu di Badau adalah sama-sama etnik pendatang di kawasan itu (Ibrahim, 2008a & 2013). Perbezaannya adalah mengenai masa dan cara kedua-dua etnik tersebut datang dan mendiami kawasan itu[7]. Iban masuk dan mendiami kawasan Badau melalui peristiwa peperangan pada zaman ngayau (Wadley, 2001), sedangkan Melayu masuk dan mendiami Badau dengan lebih diplomatik, terutama dalam bidang ekonomi dan perniagaan (Ibrahim, 2008b & 2010). Dengan kondisi demikian, maka tidak ada yang patut disebut sebagai ”mutlak” penduduk asli, pribumi atau bumiputra yang memiliki hak historis yang lebih (dominan) berbanding kelompok etnik lainnya.
Dalam aspek politik, dimana Iban dan Melayu mengambil peranannya masing-masing, sama ada kerjasama dalam parti politik, pentadbiran kampung mahupun kesempatan kerja sebagai kakitangan kerajaan (Pegawai Negeri Sipil atau PNS). Dalam hal politik pula (pentadbiran kampung) misalnya wujud kerjasama dalam bentuk pembagian kekuasaan (sharing power[8]) antara Iban dan Melayu. Sebagai contoh, Desa Sebindang diketuai oleh Janggu (Iban) yang memimpin dua dusun. Dusun Mentari diketuai oleh Adeni (Melayu), dan Dusun Sebindang diketuai oleh Anyon (Iban). Pembagian kekuasaan seperti ini juga memberikan peluang bagi wujudnya komunikasi dan interaksi yang lebih banyak diantara kedua-dua etnik.
            Dalam konteks kekuasaan, hubungan antara etnik Iban dan Melayu di Badau juga dapat dilihat dari struktur sosial pada kedua-dua etnik tersebut, dimana struktur tersebut mempunyai peranan yang cukup besar dalam membangun komunikasi, sosialisasi dan kerjasama antara etnik, sama ada Temenggung dan Patih  pada masyarakat Iban (Ngadi, 1998), maupun Pengawa[9], Penghulu[10], Imam dan Ustaz[11]  pada masyarakat Melayu (Mohd. Aris Haji Othman, 1985).
Rajah 1. Struktur Sosial Iban dan Melayu dalam Hubungan Antara Etnik berdasarkan kekuasaan (Power).
A.    Struktur Sosial Iban                              B. Struktur Sosial Melayu
    
Sumber: Analisis data lapangan, 2013.
Rajah di atas secara internal menjelaskan hubungan antarawarga dalam struktur sosial Iban atau Melayu, dan secara eksternal memberikan penjelasan mengenai hubungan antarawarga lintas struktur sosial Iban dan Melayu.

1.      Berdasarkan Persepsi
Secara sederhana, persepsi mengandung makna sebagai suatu proses aktif dan kreatif manusia dalam mengkonstruk suatu gambar mengenai dunia, benda, situasi, peristiwa, diri dan orang lain di sekitarnya (Mulyana, 2001: 167). Kerana itu menurutnya, persepsi merupakan proses internal yang memungkinkan setiap orang memilih, mengorganisir dan menafsirkan rangsangan daripada lingkungan, dimana proses tersebut mempengaruhi setiap perilaku, ianya merupakan inti daripada komunikasi.
Dalam konteks hubungan etnik, persepsi tidak hanya berlangsung terhadap diri komunikator (persepsi terhadap diri), melainkan antara pembicara (komunikator/sender) dan lawan bicara (komunikan/reciever) dalam komunikasi (persepsi terhadap orang lain). Dalam hubungan sosial, persepsi terhadap orang lain sangat menentukan bentuk komunikasi yang dibangun di antara mereka (Liliweri, 2003). Bagaimana orang Iban mempersepsi orang Melayu, akan menjadi dasar komunikasi yang dibangun dalam hubungan sosial orang Iban dengan Melayu. Sebaliknya, persepsi orang Melayu terhadap orang Iban akan membentuk pola komunikasi dalam hubungan sosial orang Melayu dengan orang Iban di Badau (Ibrahim, 2013).
a. Orang Iban terhadap orang Melayu
Dalam pandangan orang Iban di Badau, orang Melayu merupakan saudara tua mereka. Hal ini didasari pada sejarah kekerabatan yang sudah dibangun sejak dahulu lagi di antara kedua-dua etnik tersebut di Badau. Kerana itu, orang Melayu dalam pandangan orang Iban di Badau bukanlah orang lain, sebab secara sosiokultural mereka sentiasa terikat dalam sejarah sosial. Orang Melayu dengan orang Iban memang berbeza dalam hal budaya, agama, adat istiadat dan sebagainya. Akan tetapi perbezaan tersebut bukan penghalang bagi orang Iban membangun hubungan yang baik dengan orang Melayu. Hal ini diakui oleh banyak informan Iban di lapangan, a.l. Dw (34) tahun. Menurutnya,  hubungan antara Iban dan Melayu di Badau berjalan dengan baik dan penuh dengan kekeluargaan. Mereka boleh saling membantu dan bekerjasama dalam banyak hal, termasuk bersama-sama menjadi pengerusi parti politik[12].
Pandangan serupa juga dinyatakan oleh Jaguh (45 th), seorang warga Iban di Rumah Panjang Kekurak. Menurutnya tidak ada perbezaan antara orang Iban dan orang Melayu di Badau. Sebab, kedua-dua masyarakat ini menurutnya, dapat saling menghargai dan memahami dalam hubungan sosial.
Pandangan tersebut dikuatkan dengan observasi yang dilakukan di lapangan, dimana ramainya anak-anak muda Melayu yang bekerja menoreh getah dengan orang Iban, kemudian diakui sebagai anak angkat oleh orang tua Iban di rumah panjang[13]. Wujudnya pengakuan saudara angkat antara etnik Iban dan Melayu terus terpelihara dalam hubungan sosial etnik hingga ke masa ini, sampai ke anak keturunannya sebagai punya kekerabatan (meskipun setakat kerabat angkat)[14].
Pada pendapat orang Iban, orang Melayu merupakan komuniti yang secara sosial pandai menghargai orang lain, dapat hidup bersama dengan siapapun[15]. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahawa hubungan sosial orang Iban dengan orang Melayu sudah pun terbangun sejak dahulu lagi (sebagaimana dinyatakan oleh  Enthoven, 1903)[16]. Tahun 1980 –an misalnya, seringkali orang Iban dari kampung Jantin Badau[17] datang ke daerah Pengkadan (Melayu) untuk berburu babi hutan dan labi-labi. Mereka membangun pondok kecil di sebelah hilir perkampungan, tinggal di situ selama 1 sampai 2 bulan hingga mereka mendapatkan hasil yang cukup banyak, barulah mereka pulang[18].
Pandangan yang demikian terhadap orang Melayu membuat orang Iban di Badau mampu membangun hubungan sosial dan komunikasi yang baik pula di antara mereka. Hal ini terbukti dalam sejarah sosial antara kedua-duanya yang sentiasa harmoni dan tiada pernah berlaku sebarang permasalahan dan konflik yang bererti. Dengan modal ini pulalah komunikasi dalam hubungan sosial dapat dibangun dengan lebih khas hingga penguasaan dua bahasa (bilingualisme) dalam komunikasi orang Iban dan orang Melayu, yakni Bahasa Iban dan Bahasa Melayu.  
b. Orang Melayu terhadap orang Iban
Bagaimana orang Melayu memandang orang Iban, seperti itulah komunikasi yang mereka bangun dalam hubungan sosial orang Melayu dengan orang Iban. Sebab dalam komunikasi, kita akan cenderung memperlakukan orang seperti apa pandangan kita terhadap orang itu (Dedy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, 2001).
Menurut pengakuan Adeni (49 th), orang Melayu dapat membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan orang Iban kerana orang Melayu mengerti dengan sifat orang Iban. Berdasarkan pengertian itulah orang Melayu membangun komunikasi dan hubungan sosial dengan orang Iban di Badau (lihat dalam Ibrahim, 2013).
Suatu pandangan yang baik dan benar terhadap orang lain akan menentukan keberhasilan dalam sesebuah komunikasi, dan kekeliruan dalam mempersepsi orang lain juga akan mempengaruhi efektifiti komunikasi yang dibangun (Gudykunts, 1996; Devito, 1997). Begitupun persepsi orang Melayu terhadap orang Iban turut menyokong bagi hubungan sosial dan komunikasi antara kedua-duanya di Badau. Kondisi ini semakin memperkuat sejarah ikatan kekerabatan di antara kedua-duanya, sebagaimana wujud dalam konsep ”menyadik” pada orang Iban atau ”satu turunan” pada orang Melayu.
Sama dengan persepsi Iban terhadap Melayu yang berwujud pada pengakuan anak angkat, saudara angkat atau orang tua angkat, pada orang Melayu Badau juga ada yang melakukan hal yang sama terhadap orang Iban. Satu contoh yang dapat peneliti sebutkan adalah keluarga Adeni (Melayu) yang mengangkat Kujam sebagai saudara angkatnya. Ketika peneliti berkunjung ke rumahnya tahun 2009, seorang keponakan daripada Kujam yang bernama Mitha juga tinggal di rumah keluarga Adeni untuk bersekolah di Badau (Observasi, 08/2009). Kondisi seperti ini yang menurut peneliti membuat hubungan antaretnik Iban dan Melayu di Badau semakin baik dan penuh kekeluargaan hingga ke masa ini.

2.      Berdasarkan  Akomodasi
Akomodasi merupakan satu teori yang memerhatikan perilaku komunikasi dengan tindakan seseorang. Teori ini pertama kali dirumuskan oleh Howard Giles dan koleganya (Littlejohn dan Foss, 2009: 222). Dalam konteks hubungan antara etnik, akomodasi adalah satu sikap di mana setiap kumpulan etnik menyedari serta menghormati norma dan nilai kumpulan etnik lain dengan tetap mempertahankan budaya hidup masing-masing. Semua etnik hidup secara harmoni dan menghormati antara satu sama lain (Shamsul, 2007: 15).
Ada banyak hujah yang dapat dikemukakan menyangkut sikap akomodatif ini dalam hubungan sosial antara etnik Iban dan Melayu di Badau, diantaranya adalah keyakinan agama dan nilai-nilai kepercayaan. Bagi orang Iban yang beragama Katolik, minum tuak dan daging babi adalah amalan hidup mereka. Sementara bagi orang Melayu-agama Islam dengan tegas mengharamkan tuak dan daging babi (sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur`an Surah 2: 173, 5:3, 6: 145, dan 16: 115), termasuklah larangan memakan daging binatang yang tidak disembelih dengan benar sesuai dengan syari`at Islam. Terhadap persoalan ini, orang Iban sangat menghargai perbezaan keyakinan agama orang Melayu. Hal ini terbukti ketika orang Iban hendak menjemput orang Melayu pada jamuan acara tertentu, maka mereka akan menyiapkan makanan dan minuman yang halal dan dibenarkan untuk dimakan oleh orang Melayu. Mereka siapkan daging yang telah disembelih dengan benar oleh orang Melayu sendiri, dimasak oleh orang Melayu dan dengan peralatan masak yang khas juga untuk orang Melayu. Meskipun tempat makannya di rumah panjang, kepada orang Melayu (muslim) juga tidak dihidangkan minuman tuak. Sebab tuak hanya dihidangkan khusus pada mereka yang bukan Islam (Iban) sahaja[19].
Contoh lain dapat penulis paparkan dalam analisis ini adalah ketika masyarakat Badau mengadakan upacara selamatan[20] atas perasmian pejabat imigresen di sempadan Badau, mereka mengadakan upacara adat. Dalam upacara adat tersebut, dilakukan pemotongan babi sebagai prosesi adat orang Iban. Sementara pada masyarakat Melayu, mereka melakukan upacara perasmian dengan pembacaan doa dan sebagainya. Uniknya, proses adat yang dilakukan berbeza, akan tetapi untuk maksud yang sama (keselamatan dan perasmian), pada tempat yang sama (berdekatan) dan pada waktu yang sama pula. Sikap antara etnik inilah yang masih kuat diamalkan di Badau sebagai bentuk perhargaan, penghormatan dan kesaling-pengertian antara etnik yang berbeza agama dan budaya.
Daripada contoh di atas, tampak bahawa sikap yang akomodatif antara etnik Iban dan Melayu di Badau turut berperan bagi hubungan yang harmonis antara kedua-dua etnik ini di Badau.

3.      Berdasarkan Akulturasi
Akulturasi iaitu suatu proses penerimaan unsur kebudayaan dalam kalangan individu atau kelompok dari suatu kebudayaan lain yang berbeza (Shamsul, 2007: 15). Akulturasi merupakan suatu kelanjutan daripada sikap akomodatif di atas, dimana suatu sikap penerimaan dan seterusnya menjadikan sikap tersebut sebagai bagian daripada diri sendiri. Sikap demikian sentiasa bermula dari kesediaan menghargai dan menghormati perbezaan yang ada.
Dalam konteks hubungan etnik di Badau, kajian ini menunjukkan bahawa antara Iban dan Melayu memang mempunyai banyak sisi perbezaannya. Akan tetapi, itu tidak bermakna bahawa kedua-duanya tidak boleh membangun hubungan yang baik. Satu diantara hujah tersebut adalah, kedua-dua etnik tersebut juga mengalami proses akulturasi budaya dalam hubungan sosial mereka, utamanya dalam pola hidup dan budaya pemukiman[21].
Dalam pola hidup dan budaya pemukiman, memang ada perbezaan asas antara orang Iban dengan Melayu. Orang Iban lebih cenderung hidup di pedalaman, tradisional, bahkan jarang mengenakan baju, daun telinga lebar dengan untaian anting yang banyak, badannya bertato, dan tentunya juga jauh dari pembangunan dan pendidikan. Sejarah sosial memberikan label pada etnik ini sebagai komuniti yang keras, agresif dan nomad (Wadley, 2001)[22].  Daripada aspek pemukiman, orang Iban menyatu dalam satu rumah panjang. Sehingga dalam satu kampung hanya ada satu rumah panjang, dan di situlah berkumpul seluruh keluarga Iban sekampung.
Sebaliknya, orang Melayu majoriti hidup di pesisir sungai, lebih terbuka dengan perkembangan informasi, berpakaian rapi, badan dan gaya hidupnya ”bersih”, yang tentunya juga telah mengeyam hasil pembangunan dan pendidikan yang lebih baik. Sejarah sosial memberikan label kepada etnik ini sebagai komuniti yang santun, ramah, terbuka dan cenderung menetap (Tenas Effendi, 2006), atau komuniti yang ”pemalas” yang tidak memiliki semangat bekerja[23] (Alatas, 1977). Dari sisi pemukiman, orang Melayu membangun rumah tunggal di kampung-kampung, sehingga membentuk sebuah kampung yang semakin luas dan besar. Akan tetapi, perbezaan tersebut sedikit sebanyak telah turut mempengaruhi budaya hidup antara kedua-dua etnik tersebut.
Rajah 1
Proses Akulturasi Budaya Etnik di Badau.




Sumber: Diolah & disesuaikan dari analisis Ibrahim, 2013.
Rajah di atas menunjukkan bahawa telah berlakunya perubahan dalam budaya (dalam bentuk akulturasi budaya), sekaligus menjadi bukti bahawa Badau merupakan wadah komunikasi (melting pot) antara etnik dalam hubungan sosial, dalam hal ini etnik Iban dan Melayu. Bagaimana proses melting pot berlaku dalam komunikasi etnik, sila lihat kajiannya dalam Liliweri (2003) & Mulyana (2004).
Begitupun teori akulturasi dalam konteks hubungan antara etnik di Badau menunjukkan bahawa hubungan antara etnik Iban dan Melayu sudah terbangun dengan baik dalam sejarah sosial mereka, bahkan mengakar dan menjadi penyebab berhasilnya kedua-dua etnik tersebut dalam membangun komunikasi dalam hubungan sosial hingga ke masa ini.

4.      Berdasarkan Pengalaman Interaksi Sosial
Kajian ini mendapati sedikitnya dua paktor utama yang menjadi dasar hubungan etnik di Badau sepanjang sejarah etnik dan pengalaman interaksi sosial mereka, yakni dalam konteks perayaan upacara perkahwinan dan penyelesaian persoalan antarwarga.
Perayaan Upacara Perkahwinan.
Perayaan upacara perkahwinan merupakan salah satu ranah yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana hubungan antara etnik terbangun di Badau. Pada orang Melayu, perkahwinan bukan sahaja setakat ritual adat dan budaya sebagaimana pada orang Iban, melainkan termasuk perintah agama. Dalam konteks mengkaji hubungan antara etnik, perayaan upacara perkahwinan ternyata memberikan kekhasan hubungan antara etnik Iban dan Melayu di Badau.
Pengamatan di lapangan mendapati bahawa hampir setiap kali orang Iban mengadakan upacara perkahwinan di rumah panjang, mereka menjemput hadir orang Melayu. Sebaliknya, apabila orang Melayu menyelenggarakan upacara perkahwinan, mereka juga menjemput hadir orang Iban di sekitar wilayah kampung mereka. Hubungan yang demikian antaraetnik diakui oleh Ung (Iban, 54) dan Is (Melayu, 39).
Penglibatan orang Iban dalam jemputan jamuan perayaan perkahwinan orang Melayu mungkin tiada banyak masalah dari sisi adat, budaya dan agama. Akan tetapi agak berbeza apabila orang Melayu dijemput hadir dalam jamuan perayaan perkahwinan orang Iban di rumah panjang. Dalam hal pemakanan, orang Melayu mempunyai aturan yang jelas dan ketat oleh agama, dimana asasnya berbeza dengan kebiasaan pemakanan orang Iban.
Pengamatan di lapangan mendapati bahawa ketika orang Iban mengadakan upacara perayaan perkahwinan, kemudian mereka hendak menjemput orang Melayu, maka mereka akan mengaturnya secara khas. Dari segi waktu, mereka menjemput hadir orang Melayu lebih dahulu daripada jemputan lainnya. Dari sisi makanan, yang disediakan untuk tetamu jemputan Melayu adalah makanan yang halal sahaja, disediakan dengan cara Islam, sebab mereka meminta bantuan orang Melayu sendiri untuk memasaknya. Alat memasak dan sebagainya juga adalah tempat yang khas, yang hanya digunapakai untuk menyiapkan jamuan bagi orang Melayu sahaja. Dengan demikian, penyelenggaraan upacara perkahwinan pada etnik Iban sebenarnya juga melibatkan orang Melayu sendiri yang menyiapkan jamuan khas untuk tetamu Melayu.
Sementara pada waktu orang Melayu mengadakan upacara perayaan perkahwinan dan menjemput hadir orang Iban, maka biasanya tiada masalah menyangkut makanan dan minuman, sebab orang Iban juga boleh makan dan minum apa-apa makanan dan minuman yang disediakan oleh orang Melayu. Sedang orang Melayu sendiri juga tidak perlu menyediakan makanan dan minuman khas sebagaimana di rumah panjang.

Penyelesaian Persoalan Antarawarga.
Dinamika hubungan sosial juga berlaku dalam hubungan antara etnik Iban dan Melayu di Badau. Sejarah sosial etnik Iban dan Melayu menunjukkan bahawa komunikasi telah berlangsung lama antara kedua etnik ini (Enthoven, 1903). Sejarah sosial tersebut juga menunjukkan bahawa tiada sebarang persoalan, perselisihan dan konflik yang berarti pernah terjadi, yang boleh merosak hubungan sosial antara keduanya. Kemampuan mengawal dinamika dalam hubungan sosial inilah yang menjadikan salah satu bentuk (ke-khasan) hubungan sosial yang terbangun di antara etnik Iban dan Melayu di Badau hingga ke masa ini.
Sebagai contoh, tahun 2009 pengkaji pernah mengamati bagaimana masyarakat etnik Iban dan Melayu menyelesaikan persoalan yang terjadi di antara mereka, yakni kes lucah (asusila) antara seorang perempuan (warga tempatan) dengan seorang lelaki (pendatang) yang bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit. Perempuan tersebut hendak meminta tanggung jawab kepada lelaki yang telah menghamilinya. Namun, lelaki itu menolak dengan alasan perzinahan itu dilakukan dengan dasar suka sama suka dan jual beli. Kedua belah pihak tidak mendapat kesepakatan sehingga membawa persoalan ini menjadi perhatian orang ramai.
Kerana persoalan tersebut sudah diketahui ramai, dan tidak adanya kesepakatan penyelesaian secara kekeluargaan di antara kedua pihak, maka pengerusi adat lah yang memfasilitasi sidang kes tersebut dengan undang-undang adat sebagai dasar hukum penyelesaiannya. Hasilnya, kedua-dua belah pihak dapat menerima keputusan yang telah dikeluarkan oleh lembaga adat yang terdiri daripada pemuka adat Iban dan pemuka adat Melayu di Badau (lebih detil lihat dalam Ibrahim, 2013).
Akan tetapi, jika melalui lembaga adat juga tidak mampu menyelesaikan suatu persoalan atau kes dalam hubungan sosial, maka persoalan tersebut akan diteruskan kepada pihak kepolisian dan pengadilan (hukum konvensional). Hal ini didasari daripada pengakuan seorang informan Melayu (Un, 55 th) ketika bertemu bual dengan pengkaji.   
Hujah di atas cukup memberikan gambaran betapa hubungan antara etnik Iban dan Melayu di Badau dapat dibangun dan dipelihara dengan baik, dengan salah satu kearifan dalam pengalaman interaksi kedua-dua etnik tersebut menyelesaikan persoalan yang terjadi di antara mereka.

PENUTUP
Komunikasi yang terbangun antar etnik Iban dan Melayu di Badau memberikan sebuah gambaran wujudnya satu hubungan yang baik dan harmoni antar etnik, baik dalam konteks sosial, budaya, politik mahupun agama. Daripada aspek sosial dan budaya, pengalaman interaksi sosial yang saling memahami dan menerima perbezaan menjadi modal membangun hubungan yang baik dan harmoni antar etnik, baik dalam bentuk akomodasi mahupun akulturasi budayanya. Dalam hal politik juga didukung oleh kebijakan berbagi kekuasaan (sharing power) antar kedua-dua etnik. Begitupun dengan komunikasi yang telah dibangun dengan baik dalam hubungan etnik di Badau tumbuh dari wujudnya persepsi sosial yang baik antar etnik Iban dan Melayu, hingga melahirkan bentuk-bentuk hubungan sosial etnik yang khas seperti pengakuan saudara angkat dan sebagainya. Inilah bentuk keistiwemaan harmonisasi hubungan etnik di Badau yang tentunya tidak ditemukan dalam konteks hubungan etnik di tempat-tempat lain di tanah air.    


DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Hussien. 1977. The Myth of the Lazy Native. Singapore: Universiti of Singapore.
Enthoven, J.J.K. 1903. Borneo Wester-Afdeeling, Leiden, Boekhandel En Drukkerij voorheen E.J.Brill, Deel  I.

Ibrahim. 2007. Penggunaan Bahasa Iban di Badau. Dalam Chong Shin & Collins, Bahasa dan Masyarakat Ibanik di Borneo, ATMA UKM Press; Bangi, Kuala Lumpur.

Ibrahim. 2008a. Komunikasi Antarsuku di Badau: satu Kajian Awal. Artikel jurnal Al-Hikmah, Jurusan Dakwah STAIN Pontianak: Vol. 2, edidi 1 Jun 2008. Hal : 92-106.

Ibrahim. 2008b. Potret Keber-agamaan orang Melayu di Badau. Dalam Yusriadi dan Ambaryani. Islam dan Etnisitas di Kalbar. Pontianak: STAIN Press.

Ibrahim. 2010. Komuniti Iban dan Melayu di Badau: Satu Tinjauan dari Aspek Bilingualisme. Makalah yang diterbitkan dalam Jurnal Bahasa Dewan Bahasa dan Pustaka Negara Brunei Darussalam, Edisi Mai-Ogos Bil. 20. H. 1-11.

Ibrahim. 2013. Hubungan penutur bahasa-bahasa Melayik: Kes Suku Iban dan Melayu di Badau, Pulau Borneo. Disertasi ATMA, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Littlejohn, Stephen W & Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, edisi 9 (alih bahasa oleh M. Yusuf Hamdan).  Jakarta: Salemba Humanika.

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Jogjakarta: LKiS
Mohd Aris Haji Othman. 1985. Identiti Etnik Melayu. Petaling Jaya: Fajar Bakti

Muhammad Ali. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural. Jakarta: Kompas.

Mulyana, Dedy. 2001. Komunikai Antarbudaya. Bandung: Rosda Karya

Mulyana, Dedy dan Rahmat, Jalaludin. 2001. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Rosda Karya

Pelly, Usman. 1989. Hubungan Antar Kelompok Etnis: Beberapa Kerangka Teoritis dalam Kasus Kota Medan. Dalam Interaksi Antarsuku Bangsa dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: Departemen P & K.

Shamsul Amri Baharudin (ed.), 2007. Modul Hubungan Etnik. Kuala lumpur: Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia. 

Syed Husen Ali. 2008. Ethnic Relation in Malaysia: Harmony & Conflict. Selangor: SIRD.
Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Jogjakarta: Adicita Karya Nusa.
Wadley, Reed L. 1997. Circular Labor Migrations and Subsistence Agriculture: A Case of the Iban in West Kalimantan, Indonesia. Disertation Doctor of Philosophy Arizona State Universiti.

Wadley, Reed L. 2001. Frontiers of Death: Iban Expansion and Inter-Ethnic Relations in West Borneo. http://www/iias.nl/iiasn/24/theme/24T10.html , akses 2 Oktober 2007.

Dokumen Sejarah Perang Kantuk Gaduh di Empanang abad ke – 18, Naskah.
Dokumen Surat Kontroluer Van Felltehensen Nanga Badau, Naskah 28 Februari 1885.


[1] Dosen STAIN Pontianak. Meraih gelar Doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM)  dan Magister di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
[3] Menurutnya Nanga Badau merupakan salah satu pangkalan tentera Belanda apabila kawasan itu sudah berada dalam wilayah pemerintahan Onderafdeeling Boven Kapuas di Lanjak. Untuk memantapkan kedudukan Belanda di kawasan tersebut, maka dilantiklah ambtenaar di Nanga Badau yang masa itu sememangnya merupakan perkampungan Iban. Meskipun demikian, sebenarnya hubungan dengan orang Melayu sudah pun bermula masa itu. Ramai pedagang Melayu yang datang berjualan ke kampung-kampung Iban (Enthoven, 1903: 232).
[4] Menurutnya ketika Belanda berkuasa, Nanga Badau adalah salah satu tempat pangkalan  tentera darat (detachemen infantri) Belanda ketika itu dengan pegawai daerah (Kontroleur Boven Kapuas) bermarkas di Semitau (Gerlach,1981: 287).
[5] Menurutnya, Nanga Badau dan kawasan di sekitarnya merupakan kawasan yang dijadikan tujuan misionaris ketika itu, kerana masyarakatnya dianggap tidak memiliki peradaban, oleh itu penting diberikan peradaban baru melalui ajaran misi di kawasan tersebut (Bos dan Putten, 1917: 14).
[6] Kekuatan material adalah dominasi satu etnik dari etnik lainnya dari sisi ekonomi, kekuatan ideologi menyangkut nilai-nilai filosofi dan sosial pada suatu etnik yang lebih dihormati dan dijadikan sebagai acuan bagi etnik yang lain, sedangkan kekuatan hak historis lebih merupakan perasaan atau bahkan pengakuan bahwa satu etnik merupakan kelompok yang paling berhak terhadap tanah air dan wilayah hidup mereka dibandingkan kelompok etnik yang lain dalam label bumi putera/putra daerah/penduduk asal (lihat dalam Wadley, 1989; Ibrahim, 2013).

[7] Khas pada etnik Iban, Sandin (1956, 1957) dan Padoch (1982) telah memberikan banyak maklumat mengenai pergerakan migrasi suku ini daripada lembah kapuas (di wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan Barat-Indonesia) hingga ke Batang Aik dan pelbagai kawasan lain di Serawak Malaysia. Akan tetapi kajian tersebut tiada pernah memberikan maklumat mengenai pergerakan migrasi kembali orang Iban dari wilayah Serawak Malaysia ke wilayah Indonesia, terutama kawasan sempadan Badau dan sekitarnya. Menurut Ibrahim, perpindahan orang Iban dari lembah kapuas ke Serawak seperti dilaporkan Sandin dan Padoch adalah migrasi pertama suku ini. Sebab, nyatanya terjadi kepindahan kembali orang Iban daripada wilayah Batang Aik Sarawak ke kawasan sempadan (Badau) ratusan tahun berikutnya, dan itulah proses migrasi kedua suku ini. Lebih lanjut kajian ini, sila rujuk dalam Ibrahim (2007 & 2013).

[8] Istilah ini bukan hanya dikenal dalam kamus politik di Indonesia pasca digulirkannya reformasi yang berbuah pada kebijakan pemerintahan daerah yang otonom (otonomi daerah), akan tetapi pada prakteknya politik bagi-bagi kekuasan, atau bagi-bagi kedudukan politik (sharing power) ini telah menjadi kesepakatan bersama di antara etnik dalam panggung politik. Salah satu bentuk kesepakan tersebut antara lain, pencalonan kepala daerah suatu kabupaten (Bupati-Timbalannya) mesti refresentasi daripada dua etnik terbesar di wilayah tersebut. Jika wilayah tersebut majoritinya adalah Melayu dan Dayak, maka posisi Bupati-Timbalan Bupati mesti dikongsikan antara calon daripada orang Melayu dan orang Dayak. Begitulah seterusnya amalan majoriti dalam pelbagai tingkatan pemimpin politik daerah hingga ke masa ini.

Sharing power atau lebih dikenal dengan politik berkongsi kekuasaan merupakan satu kecenderungan politik di Indonesia, terutama di wilayah yang terdiri daripada masyarakat yang majmuk (secara etnik dan agama). Di antara tujuan kebijakan politik sharing power ini adalah; 1). sebagai satu bentuk keadilan dan kebersamaan terhadap hak warganegara dalam berpolitik; 2). Untuk menciptakan suatu hubungan yang baik dan harmonis antaraetnik melalui kebersamaan dalam politik dan pentadbiran negara (lihat M. Ali. 2000; Menggagas Indonesia Baru)
[9] Pengawa adalah gelar atau sebutan yang diberikan kepada orang yang dipercayai mengurus persoalan hukum dan adat istiadat dalam masyarakat Melayu. Meskipun tidak ada ketentuan tertulis menyangkut syarat dan kriteria menjadi seorang pengawa, akan tetapi dapat dipastikan siapa yang banyak mengurus tentang hukum dan adat istiadat di kampung, maka kepadanya masyarakat memberikan gelar/sebutan pengawa, baik secara formal menjadi pemimpin dewan adat mahupun tidak. Bahkan sebagai bagian daripada struktur sosial masyarakat, gelar/sebutan tersebut diberikan selamanya kepada seseorang.

[10] Sedang penghulu adalah gelar atau sebutan yang diberikan kepada orang yang mengurus prosesi perkahwinan dalam masyarakat Melayu. Penghulu ini adalah orang yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat untuk menikahkan. Dalam struktur pentadbiran negara, penghulu ini merupakan pelaksana tugas menikahkan yang merupakan tanggung jawab Kantor Urusan Agama Kementerian Agama tingkat kecamatan.

[11] Sementara Imam dan Ustaz adalah sebutan kepada orang yang lebih banyak pengetahuan agama, atau memahami persoalan agama. Imam biasanya adalah sebutan untuk seseorang yang mempunyai kemampuan memimpin shalat para masyarakat Melayu, atau lebih identik dengan pemimpin dalam shalat. Sedangkan ustaz adalah sebutan untuk orang yang banyak mengetahui persoalan agama dan mengajarkannya kepada orang lain, baik melalui pendidikan formal (sekolah) mahupun nonformal (pengajian di masjid, surau, di rumah-rumah dan sebagainya).
[12] Sebagai contoh kepengurusan Parti Golongan Karya: ketua penasihat parti (Luther- Iban), ketua  cawangan parti (Dewit- Iban), timbalan ketua cawangan (Samsani- Melayu), setiausaha parti (Suparno- Jawa) dan Bendahari (Adeni- Melayu).
 
[13] Pengakuan sebagai anak atau orang tua angkat ini menurut analisis pengkaji adalah semata untuk mendekatkan hubungan daripada seorang pekerja (Melayu) kepada pemilik kebun (Iban) di rumah panjang. Kerana itu, yang terjadi di lapangan adalah jika pekerja (Melayu penoreh getah) adalah orang yang sudah tua, maka dia akan mengikrarkan anak atau saudara angkat dengan anggota keluarga (pemilik kebun) di rumah panjang. Akan tetapi jika pekerja (Melayu penoreh getah) itu masih muda, maka dia akan mengikrarkan saudara atau orang tua angkat dengan pemilik kebun (keluarga Iban) di rumah panjang.

[14] Pengalaman ini terjadi diantara keluarga Adeni (Melayu) dengan Jawi (Iban). Dahulu, M. Nahar (ayah Adeni) berikrar sebagai bersaudara dengan Nunung (ayah Jawi). Sejak ikrar tersebut, kedua keluarga ini menjalin hubungan layaknya keluarga sebenar yang saling berkomunikasi, bersilaturahmi dan berkunjung. Hubungan tersebut masih terus dipelihara hingga ke generasi anak cucunya masa ini. Inilah pengakuan yang diberikan oleh Adeni (Melayu) dan Jawi (Iban) ketika temubual di lapangan.

[15] Bandingkan dengan pandangan sebahagian orang luar (terutama kolonialis Eropah) terhadap orang Melayu sebagai pemalas, tidak mempunyai semangat kerja dan semacamnya. Pandangan tersebut agaknya lebih didasari daripada perspektif kepentingan ekonomi kolonialis. Sebab, menurut Alatas, tiada hal yang konkrit dan empirik yang dapat dikemukakan untuk menggambarkan pandangan tersebut sebagai benar. Tidak ada bukti kuat bahawa orang Melayu kurang suka bekerja, kurang kegiatan. Yang benar, orang Melayu memang kurang senang bekerja dalam perkebunan kolonial Eropah (kuli penjajah). Lihat perbincangan lebih lanjut dalam Alatas (1977).  

[16] Menurut Enthoven (1903), hubungan Melayu dengan Iban di Badau sudah pun terbangun sejak dahulu lagi, dimana masa itu ramai daripada orang Melayu yang berdagang ke kampung-kampung Iban, mereka menukarkan garam, rempah dengan padi dan hasil ladang orang Iban.

[17] Jantin adalah salah satu kampung Iban yang ada di wilayah Badau. Kampung ini berada tidak jauh dari Badau Hilir, yang sebelumnya disebut Badau 1. Sementara kampung Sebindang (yang terdiri dari Dusun Sebindang dan Dusun Mentari) merupakan wilayah Badau Hulu yang sebelumnya disebut Badau 2. 

[18] Kawasan yang dimaksud adalah sekitar Nanga Jajang, di mana kawasan ini merupakan kampung asal peneliti. Peneliti menyaksikan betul peristiwa ini, ketika orang Iban datang dan bermukim beberapa lama di hilir perkampungan itu. Bahkan daripada anak-anak Iban itu (Inun, Odom dan Wira) merupakan teman bermain peneliti semasa masih kecil ketika itu. 
[19] Pengalaman tersebut pernah pengkaji alami ketika melakukan kunjungan di rumah panjang Sebindang pada akhir tahun 2008. Peneliti diminta untuk memotong ayam yang akan dijadikan jamuan kepada tetamu Melayu yang akan menghadiri mesyuwarat desa (kampung) di rumah panjang Iban malam harinya. Selain itu, peneliti juga dimaklumi bahawa para perempuan Melayu juga sudah dijemput datang ke rumah Panjang untuk memasak, menggunakan perlengkapan masak yang khas sesuai dengan yang dibenarkan dalam keyakinan orang Melayu

[20] Selamatan, adalah upacara yang dilakukan untuk memanjatkan doa agar Allah Swt sentiasa memberikan keselamatan dan kesejahteraan hidup bagi yang berhajat. Oleh itu, selamatan ini biasanya dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih di atas kesenangan, kebahagiaan, dan limpahan rizki yang telah didapatkan. Pada masyarakat Melayu, ada banyak upacara selamatan, sebagaimana dilaporkan oleh Haitami bahawa sedikitnya ada 10 adat Melayu Pontianak yang berkaitan dengan selamatan, yakni belenggang, ngantar tembunik, gunting rambut, naik ayun, khataman qur`an, khitanan, antar tande, perkahwinan, buang-buang, mandi-mandi dan tepung tawar (lihat Haitami, 2010: 48).
[21] Menurut Mohd. Aris Haji Othman, kependudukan dan pola-pola penempatan suatu masyarakat etnik di sesebuah pemukiman/perkampungan boleh memberikan satu identiti dalam hubungan sosial etnik. Kerana itu, menurutnya dengan melihat pola-pola tersebut kita dapat mengenalpasti taraf hubungan yang wujud antara etnik. (Lihat Mohd. Aris Haji Othman, 1985. Identiti Etnik Melayu). 

[22] Merujuk kepada Sellato (1994), orang Bukat dan Punan yang ada di Borneo juga mempunyai sejarah tradisi yang sama, yakni agresif, keras, berburu kepala, dan berpindah-pindah. Kondisi tersebut sama dengan tradisi yang ada pada orang Iban pada zaman ngayau hingga perubahannya pasca tradisi ngayau tersebut (Wadley, 1997b). Meskipun masa ini tradisi tersebut sudah tidak lagi diamalkan, namun image terhadap rumpun etnik ini sebagai komuniti yang keras dan agresif masih wujud pada sebahagian orang luar.

[23] Untuk pandangan yang terakhir ini sesungguhnya dibantah oleh banyak pengkaji sosial sama ada dari kalangan Melayu sendiri ataupun Eropah. Alatas sendiri langsung memberikan sanggahan bahawa pandangan Eropah yang menyebut Melayu malas sesungguhnya tak mendasar, sebab ianya hanya diukur berdasarkan kepentingan perusahaan perkebunan kolonial Eropah ketika itu. Pengkaji lain yang juga tidak sependapat dengan citra Melayu malas yang dikembangkan oleh kolonialis Eropah adalah Winstedt melalui artikelnya Malay and Its History. Beliau sendiri begitu memuji cara kerja orang Melayu yang menurutnya, ‘orang Melayu adalah seorang petani bebas yang tidak perlu menyewakan tenaganya (sebagai kuli)’. Lihat Alatas (1977)