Sabtu, 09 Oktober 2010

ISLAM DAN TRADISI DI NANGA JAJANG

Kajian ke atas Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Sosial Masyarakat

Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Antarabangsa Islam Borneo (KAIB) III, STAIN Pontianak, 4 s/d 5 Oktober 2010

Oleh: Ibrahim MS (Dosen STAIN Pontianak, Direktur Malay Corner)

Abstrak

Islam sesungguhnya membawa nilai-nilai yang luhur dalam menata hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah), satu hubungan yang mengisyaratkan bahwa hanya Allah lah satu-satunya penolong yang patut disembah. Dengan keluhuran nilai inilah Islam mengajarkan tata cara manusia menyembah Tuhannya. Sementara tradisi yang merupakan ritual adat dan kebiasaan suatu masyarakat dalam melakukan sesuatu, juga merupakan satu upaya membangun hubungan dengan sesuatu yang lain di luar diri manusia. Hubungan yang dibangun dalam tradisi cenderung menjadikan kekuatan ghaib sebagai penolong dalam kehidupan manusia. Dengan kondisi demikian, jelas bahwa Islam dan tradisi hadir dalam perilaku masyarakat dengan membawa nilai-nilai tertentu dan jelas berbeda.
Pada masyarakat Melayu Nanga Jajang, Islam sebagai agama dan ritual keagamaan tidak dapat dipisahkan dengan penyelenggaraan ritual tradisi. Bahkan hampir tidak terlihat batasan yang jelas dan tegas antara tradisi dan ritual keagamaan dalam prakteknya, sebagaimana yang berlaku dalam acara gunting rambut, sunatan, barobat kampung dan sebagainya. Dimana dalam satu tradisi sosial, amalan-amalan agama juga dijalankan secara bersamaan seperti membaca al-qur`an dan selawat kepada nabi. Sebaliknya, amalan-amalan keagamaan juga dilakukan dengan memasukan beberapa tradisi tempatan seperti sunnah potong rambut bagi bayi, khitanan dan lain-lain yang dilakukan dengan seperangkat bahan yang dipercayai dalam tradisi sosial. Sebagai suatu amalan dengan membawa nilai-nilai yang berbeda, kenyataannya telah berlaku akomodasi nilai dalam prakteknya pada masyarakat. Inilah yang menjadi kekhasan kajian Islam dan Tradisi di Nanga Jajang dalam tulisan ini.

Kata Kunci: Islam, tradisi, akomodasi nilai.















Pengenalan.

Tulisan ini merupakan suatu kajian pendahuluan terhadap Islam dan Tradisi di Nanga Jajang. Sebagai kajian pendahuluan, tentu saja tulisan ini belum mampu menghadirkan data dan analisis yang konprehensif dan memadai sebagaimana kajian yang mendalam. Namun demikian, penulis berharap kajian sederhana ini dapat memancing semangat untuk melakukan kajian sesungguhnya yang lebih mendalam dan komprehensif, terutama bagi penulis sendiri. Dengan segala keterbatasan data dan kedalaman kajian, makalah ini hanya akan mendiskusi mengenai Islam dan Tradisi di Nanga Jajang dalam konteks ma`asyiral farhdu jum`at, prosesi tepung tawar dan bacaan doa dalam berobat kampung.

Nanga Jajang dalam Konteks Kajian ini
Nanga Jajang, adalah nama sebuah perkampungan kecil setingkat dusun, yang terletak di pedalaman Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Kampung ini berada persis di pesisir Jalan Lintas Selatan menuju Kota Putussibau. Jarak kampung Nanga Jajang dengan Kota Pontianak sekitar 650 KM. Sementara dengan kota Putussibau sekitar 30 KM. Dengan kemudahan transportasi saat ini, tidak lah terlalu sukar untuk berkunjung ke kampung ini, sebab ia berada di lintasan jalan utama yang menghubungi Pontianak dengan Putussibau.
Pemberian nama kampung ini dengan Nanga Jajang tentu saja tidak dapat dilepaskan daripada tradisi dan kebiasaan masyarakat Kapuas Hulu khususnya dan Kalimantan Barat umumnya yang senang menisbahkannya dengan nama sungai atau muara sungai (Ibrahim, Yusriadi & Zaenudin, 2009). Nanga dalam bahasa Melayu setempat bermakna muara atau tempat bermuara sebuah sungai. Jadi Nanga Jajang itu bermakna muara atau tempat bermuaranya sungai Jajang.
Apabila mengamati secara geografis perkampungan ini, jelas bahwa semula kampung Nanga Jajang memang berada di sekitar muara sungai Jajang. Kemudiaan apabila pembangunan Jalan Raya Lintas Selatan bermula tahun 1987 (Ibrahim, Yusriadi & Zaenudin, 2009), pemukiman warga sedikit bergeser dari pesisir sungai dan muara ke tepi jalan raya tersebut. Jika dahulunya perkampungan Nanga Jajang mengikuti bentuk aliran sungai Jajang dan sungai Pengkadan tempat bermuaranya sungai tersebut, maka saat ini pemukiman warga sudah mengikuti jalur Jalan Raya Lintas Selatan. Perubahan pemukiman seperti ini memang lazim berlaku di Kapuas Hulu, terutama pada setiap perkampungan yang dilintasi oleh jalan raya. Bahkan perkampungan lama betul-betul ditinggalkan, kerana masyarakat membangun pemukiman baru di pesisir jalan raya (perkampungan baru).
Nanga Jajang merupakan salah satu kampung Melayu tertua di pedalaman Kapuas Hulu. Karena itu Islam pun tumbuh dan berkembang dengan cukup kuat di perkampungan ini. Sebab itu, umumnya masyarakat yang berdiam di kampung Nanga Jajang adalah Muslim. Mengacu kepada dua aliran besar keagamaan Islam di Indonesia, maka Islam di Nanga Jajang merupakan penganut Islam Ahlussunnah waljama`ah (sunni), atau Nahdlatul Ulama, satu paham keagamaan yang masih sangat kental dengan tradisi. Bahkan paham kegamaan ini juga sering disebut sebagai Islam tradisional (Barthon, 1999). Pada masa itu, boleh dikata bahwa masyarakat Nanga Jajang keseluruhannya adalah Melayu dan Muslim.
Pada tahun 1990 –an program pemerintahan orde baru berupa transmigrasi mulai masuk ke sekitar wilayah tersebut. Sejak itu Nanga Jajang juga mendapat imbasnya dengan datangnya beberapa warga dari suku Jawa dan Sunda, yang kemudiaan bermukim dan menjadi warga kampung Nanga Jajang melalui perkawinan salah satunya. Sejak itu Nanga Jajang menjadi semakin terbuka dengan keragaman masyarakat.
Di tengah realitas sosial dan keagamaan seperti inilah, Nanga Jajang berkembang dalam sejarah sosialnya, baik pada aspek keagamaan, pendidikan, hingga pengaruh sosial dan budaya yang salah satu disebabkan perkembangan pembangunan jalan dan kemudahan global lainnya.

Islam di Nanga Jajang
Sebagaimana telah disinggung seimbas lalu di atas, bahwa Islam dianut oleh masyarakat Mulsim di Nanga Jajang adalah berfahamkan Ahlussunnah Waljama`ah atau Islam Sunni. Paham Islam Sunni itu mengacu pada suatu kepercayaan agama yang menjadikan Sunnah atau kebiasaan-kebiasaan hidup Nabi Saw sebagai dasar hukum dan pedoman hidup beragama, selain ketentuan langsung dari Al-qur`an. Dalam organisasi sosial keagamaan di Indoensia, Islam Sunni ini merupakan semangat keagamaan yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagai penganut Islam Sunni, maka paham Islam Ahlussunnah menjadi ciri keberagamaan masyarakat Muslim di Nanga Jajang. Inilah setidaknya yang mewarnai dalam perilaku keberagamaan masyarakat, termasuk dalam pola berpikir, berperilaku dan beribadah. Dalam berpikir dan berperilaku misalnya, masyarakat Muslim di Nanga Jajang mempercayai bahwa Sunnah (kebiasaan-kebiasaan yang baik yang pernah dilakukan oleh Nabi) menjadi dasar hukum yang kuat dan harus diikuti dalam beragama. Begitupun dalam hal beribadah, cara-cara yang biasa dicontohkan oleh Nabi (sunnah) merupakan pedoman utama dalam menjalankan perintah agama. Karena itu dapat dilihat dari cara masyarakat melakukan ritual perintah agama seperti shalat jum`at yang masih menggunakan ma`asyiral, tahlilan dalam ritual ruwahan, potong rambut yang diiringi dengan syarakalan dan berzanji dan sebagainya.
Beberapa bentuk amalan keagamaan seperti ini menjadi ciri dekatnya hubungan antara agama (perintah syara`) dengan tradisi dalam keberagamaan masyarakat di Nanga Jajang. Bahkan secara umum, karakteristik keagamaan yang demikian menjadi identitas beragama Muslim Sunni (Ahlussunnah), yang di Indonesia selalu dilihat berhadapan dengan ritual beragama Islam modern (Muhammadiyah).
Dengan warna Islam Sunni inilah masyarakat Nanga Jajang menjalankan kewajiban agamanya. Karena itu dengan mudah kita mendapati beberapa rutial keagamaan yang khas ala sunni yang dilakukan oleh masyarakat Nanga Jajang seperti Khutbah Jum`at yang masih menggunakan ma`asyiral, adanya ritual doa tahlilan yang mengiringi kematian, adanya amalan bacaan al-barzanji dan syarakalan yang mengiringi potong rambut anak bayi. Tradisi amaliah seperti ini tentu tidak akan ditemukan pada masyarakat muslim yang berfahamkan Islam modern (Muhammadiyah), meskipun agaknya dalam banyak hal melihat perbedaan faham Islam tradisional dengan Islam modern dari sisi amaliah tersebut tidak begitu tepat lagi digunakan untuk melabelkan suatu masyarakat sebagai muslim sunni atau muhammadiyah. Tetapi paling tidak untuk kasus di Nanga Jajang, ciri keberislaman yang sedemikian (tradisional) masih signifikan untuk memberikan identitas keberagamaan mereka sebagai muslim Sunni (Ahlussunnah). Sebab, cara keber-Islaman yang seperti inilah yang memungkinkan bagi eksisnya tradisi sosial masyarakat dalam perilaku hidup dan beragama di Nanga Jajang.

Tradisi dalam Masyarakat Nanga Jajang
Jika pada bagian di atas kita sudah mendiskusikan mengenai agama dan ritual keagamaan, maka pada bagian ini kita akan mendiskusikan mengenai tradisi sosial pada masyarakat Nanga Jajang. Untuk itu, tentunya kita harus mampu memilah antara ritual kegamaan dengan tradisi, sebab agama berbeda dengan tradisi. Sebaliknya tradisi bukanlah agama itu sendiri.
Sebagai sesuatu yang terpisah dan sememangnya berbeda, tapi pada kenyataannya tidak mudah bagi kita untuk melihat batasan antara ritual tradisi dan ritual agama yang telah dilakukan bertahun-tahun dalam sejarah hidup masyarakat. Namun demikian, kita tidak lantas begitu saja menyama-ratakan antara keduanya. Kita mesti selalu berupaya secara sungguh-sungguh dan sadar untuk melihat mana yang merupakan perintah agama dan mana yang merupakan ritual tradisi dari amalan yang biasa dilakukan dalam masyarakat. Sebab, hanya dengan inilah kita dapat menjamin terpeliharanya nilai-nilai agama dari campur aduk nilai-nilai lainnya.
Membincangkan mengenai tradisi sosial dalam masyarakat Nanga Jajang berarti mendiskusikan mengenai beberapa amaliah sosial yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Dalam konteks kajian ini, tradisi yang dimaksukan adalah ritual-ritual masyarakat yang menyertai pelaksanaan perintah agama seperti khutbah Jum`at, potong rambut, berobat kampung, membangun rumah, berladang, termasuk pantang larang dan sebagainya.
Ibadah jum`at misalnya, Shalat 2 raka`at dan membaca Khutbah sesungguhnya merupakan perintah Allah yang sangat jelas dalam Al-qur`an dan Hadits. Akan tetapi bagaimana cara yang dilakukan oleh masyarakat agama dalam mengiringi perintah tersebut itulah yang saya sebut sebagai tradisi. Satu diantaranya adalah ma`asyiral . Berdasarkan beberapa sumber, termasuk hadits Nabi, ma`asyiral itu semula adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh Nabi saw, berupa pidato pengantar kepada para jama`ah untuk dapat melaksanakan kewajiban jum`at dengan benar dan khusuk. Tidak cukup di situ, khatib pun ketika akan naik ke mimbar juga diberikan sebuah tongkat besi dan satu jubah/kain sal sebagai penanda pemberian amanah untuk berkhutbah. Tradisi tersebut (terutama tongkat) mungkin juga dilakukan oleh Nabi saw dahulunya, dengan makna tertentu. Akan tetapi dengan kondisi sekarang, agaknya praktek-praktek tersebut betul-betul hanya sebatas tradisi yang tidak lagi diketahui maknanya secara jelas. Meskipun pada kenyataannya, tradisi tersebut tetap saja dipelihara oleh masyarakat.
Potong rambut juga merupakan perintah yang tegas oleh Rasulullah Saw melalui hadistnya. Akan tetapi kemestian membaca al-barzanji dan syarakalan untuk menyertai amalan tersebut tentu saja datang belakangan (setelah rasul tiada). Lantas, apakah tradisi tersebut salah dan dilarang agama? Paham Islam Sunni justru memberikan ruang terhadap berkembangnya tradisi ini, sebab ia merupakan pelestraian dari tradisi Nabi Saw. Karena itu lantunan puji-pujian dan selawat kepada Nabi menjadi ciri pokok ritual tradisi yang satu ini.
Begitupun dengan berobat kampung. Islam hanya memerintahkan kepada ummatnya untuk tidak mudah berputus asa terhadap rahmat dan pertolongan Allah, termasuk dalam hal penyakit. Bahkan Al-qur`an memberikan jamiman bahwa penyakit itu adalah bagian ciptaan Allah, dan Allah jugalah yang telah menciptakan obatnya. Karena itu manusia disuruh meminta (berdoa) kepada-Nya. Namun, bagaimana praktek meminta/berdoa tersebut? Disinilah lahirnya kreasi masyarakat yang akhirnya mentradisi dalam berobat kampung.
Di Nanga Jajang, berobat kampung masih menjadi satu pilihan penting dalam masyarakat. Dengan berobat kampung mereka percaya bahwa kesembuhan akan didapatkan, karena itulah tumbuhnya tradisi ini dalam sejarah hidup mereka. Dalam tradisi ini, paling tidak ada dua model yang berlaku di masyarakat; pertama, berobat kampung berupa perantara lantunan doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah untuk kesembuhan si sakit. Pada model ini, biasanya perlengkapan ritualnya sangat sederhana seperti air putih atau sekedar di usap saja pada dahi, perut atau bagian yang sakit. Kedua, berobat kampung berupa perantaraan jampi-jampi atau tawar tertentu yang dipercayai dapat memberikan kesembuhan. Pada bentuk ini ada banyak perlengkapan ritualnya, dari ramuan-ramuan alam hingga benda-benda yang sukar difahami relevansinya secara akal biasa. Tradisi ini juga wujud di Nanga Jajang, meskipun sudah agak berkurang seiring dengan mulai bergesernya keyakinan masyarakat dengan kekuatan supranatural kepada kekuatan medis (dokter dan mantri) .
Tradisi lainnya yang hidup dalam masyarakat muslim di Nanga Jajang juga dapat ditemukan pada saat mereka membangun rumah, membuka ladang bahkan dalam banyak pantang larang masyarakat. Lantas pertanyaannya adalah, adakah tradisi yang mereka praktek itu menyalahi ketentuan agama? Atau adakah nilai-nilai agama melekat dalam tradisi sosial masyarakat? Itulah yang akan dihuraikan lebih lanjut pada bagian berikut.


Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Masyarakat

Berbibaca mengenai nilai-nilai Islam mununtut kita untuk memahami terlebih dahulu dengan beberapa ketentuan dasar Islam sebagai agama, dalam hal ini adalah ketauhidan. Tauhid dalam Islam difahami sebagai peng-Esaan Tuhan dalam segala Zat dan sifat-Nya. Dengan Tauhid ini, Islam menuntut setiap umat menyadari dan mengakui bahwa Allah sebagai satu-satunya tempat asal dan kembalinya manusia. Karena itu kepada Allah sajalah segala sesuatu digantungkan (Iyya ka na`budu wa Iyya ka nasta`in). Allah tempat semua makhluk akan kembali (Inna lillahi wa inna Ilaihi raji`un), Sang Penguasa hari pembalasan (Al Malikul Mulk, Maliki yaumiddin), sebab Allah lah yang memiliki semuanya. Tauhid ini merupakan dasar dari ajaran Islam, karena itu seseorang diakui sebagai beragama Islam apabila sudah mengikrarkan ketuhidannya (dua kalimah syahadah).
Sementara itu, Melayu di Nanga Jajang memiliki sejarah keagamaan seperti umumnya umat Islam di pedalaman Kalimantan, yang oleh King (1993) disebut sebagai orang non Melayu yang kemudian menjadi Melayu karena memeluk Islam. Meskipun tidak diketahui secara jelas kapan proses ini terjadi di Nanga Jajang, namun dapat dipastikan bahwa proses ini memang berlaku pada masyarakat Melayu Nanga Jajang, sebab adanya sejarah penyebaran Islam hingga ke pedalaman Kalimantan Barat. Kita juga tidak bisa memastikan nama kelompok masyarakat Nanga Jajang ini sebelum menjadi Melayu karena memeluk Islam.
Sebagai masyarakat lokal (sebelum masuknya Islam), tentu saja banyak kebiasaan hidup yang diamalkan oleh masyarakat saat itu, dan sebagiannya mungkin masih dipelihara secara turun temurun hingga generasi Melayu saat ini. Masih wujudnya beberapa tradisi lokal pada masyarakat Melayu kemungkinan disebabkan oleh beberapa paktor, antara lain; pertama, Islam yang masuk kemudian membawa nilai-nilai yang akomodatif antara ajaran ke-Islaman dengan tradisi lokal, dengan falsafat ”menerima kebaikan dari sesuatu yang baru, dan memelihara yang baik dari sesuatu yang lama”. Dengan pandangan demikian, maka Islam datang tidak dengan serta merta menghapus semua tradisi (yang baik) dalam masyarakat. Islam datang justru memanfaatkan tradisi (yang baik) itu untuk mempermudah dalam proses dakwah sebagaimana banyak dilakukan oleh Wali Songo yang menggunakan tradisi wayang sebagai metode berdakwah (Azra, 2002).
Kedua, Islam diterima oleh masyarakat Indonesia lebih merupakan satu bentuk Adhesi menurut istilah Nock dimaknai sebagai proses penerimaan Islam sebagai agama dengan tampa meninggalkan kepercayaan dan praktik kebudayaan yang lama (Azra, 2002).
Ketiga, berikutnya Islam datang dengan perlahan-lahan mempengaruhi cara hidup masyarakat menjadi lebih baik (lebih Islami), sebagaimana makna profetik Islam yang menuntut kepatuhan dan komitmen sebagai satu-satunya jalan keselamatan (Azra, 2002). Meskipun kenyataannya, Islam datang tidak dengan begitu saja memberikan larangan dan perintah tertentu, melainkan berdasarkan pemahaman dan kesadaran yang semakin baik (bertahap). Contohnya adalah tradisi magic yang sangat kental dalam masyarakat Melayu Kapuas Hulu (Hermansyah, 2010).
Berikut ini beberapa contoh bacaan dalam ilmu magic yang menampakkan adanya proses Islamisasi atau akomodatif antara nilai-nilai tradisi lokal (sebelumnya) dengan nilai-nilai ajaran Islam (yang datang belakangan).


Contoh: Tawar ular

Urat pusat mamang kunin
Raja mungkar dalam tanah
Menyengkung seperti akar
Berdiri seperti kayu
Mati yang kunin
Idup yang putih
Tabar bisa nait tawar
Berkat doa la ila ha illlallah
Berkat muhammad rasulullah

Sumber: Hermansyah, 2010 : 151.

Tawar Mpisa`

Tikar tujuh bolah
Kasah tujuh lobuh
Popa` antu mpisa`
Mpisa` balang tumuh
Berkat doa la ila ha illallah
Berkat muhammad rasulullah.

Sumber: Hermansyah, 2010: 153.


Tawar asal Tekonak

Bis millahirrahmanirrahim
Cuka apa cuka itu
Cuka ada dalam pasu
Luka apa luka itu
Luka pantap utan semolih antu
Berkat doa la ila ha illallah
Berkat muhammad rasulullah

Sumber: Hermansyah, 2010: 154.


Tawar Sumpit

Bismillah
Pinang tumuh di bukit
Aku menyanar antu menyumpit
Aku punya tawar bismillah pik tawar
Bisa tawr aku tabar mulut antu
Bismillah pik tawar

Sumber: Hermansyah, 2010: 146.


Beberapa contoh di atas menunjukkan adanya akomodatif nilai dari ajaran Islam dengan tradisi lokal masyarakat. Islam tidak dengan begitu saja menghapus magic pada tradisi masyarakat, melainkan memodifikasi dan mempengaruhinya dengan nilai-nilai Islam. Baik dari sekedar menambahkan satu atau dua kata dalam istilah keagamaan Islam seperti Allah & bismillah, maupun dengan bacaan penutup do`a yang lebih sempurna menyebutkan syahadat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Di bawah ini adalah contoh yang lain dari bacaan-bacaan yang masih diamalkan oleh orang Melayu di Nanga Jajang, yang sudah lebih banyak mengakomodir nilai-nilai Islami.

Do`a Pelias bejalan

Allah payung ku
Jibril kota ku
Malaikat empat puluh empat pagar ku
Aku berjalan dengan kuasa Allah
Aku melenggang dengan lenggang Muhammad
Bukan kata ku
Kata Allah
Berkat do`a la ilaha illallah
Berkat Muhammadurrasulullah

Sumber: Ust. Saleh Kamaruddin (Alm)

Selain dalam bentuk penyempurnaan beberapa perkataan dalam do`a dengan nama Allah atau berkat do`a La Ilaha Illallah, Muhammad rasul lullah, akomodasi nilai dalam tradisi masyarakat Melayu Nanga Jajang juga terlihat dalam bentuk pantun syair. Berikut ini adalah sekedar contoh bacaan ketika memberkan do`a topung tawar.

Do`a Topung tawar

topung tawar si topung jati,
topung asal mula menjadi,
amay-amay pucuk mali-mali
limau purut si limau lelang
tegak dengan limau melaka
air surut penyakit ilang
tegak dengan sial celaka
(dibaca ketika menyiram air topung tawar)

Kuu.. semongat rezeki murah
apa dicinta lalu ada
apa diniat lalu didapat
manis muka senang hati
(dibacakan ketika menaburkan beras kuning)

kuu... semongat
korin bosi korin semongat
panyang aik panyang penyawak
tinggi tayak tinggi tuah
baka tanah na tau susur
baka batu na tau pupur
(dibacakan ketika orang yang dido`akan mengecap besi)

Sumber: Uju Unui, Nov. 2009

Disamping dalam bentuk di atas, ternyata masih ditemukan beberapa bentuk tradisi pengobatan (dari sisi lapadz bacaan) yang tidak jelas muatan nilai-nilai ke-Islaman. Dengan kata lain, kemungkinan bentuk tersebut lebih mendekati bentuk sesungguhnya pada tradisi lama dalam sejarah sosial orang Melayu. Berikut adalah contoh tradisi pembacaan do`a yang tidak jelas kaitanya dengan nilai-nilai Islam.


Tawar Perdora`

Mpurung sibang sibu
Ngelayang batang kepuas
Puki inai ikau bebulu
Butuh apang ikau pulas

Sumber: Hermansyah, 2010: 153


Dari contoh-contoh di atas, tampak adanya akomodasi nilai-nilai keislaman dalam tradisi pengobatan di kampung Nanga Jajang, baik dari bentuk yang masih sangat magic hingga yang bernuansa Islami, atau adanya unsur-unusr Islami dalam lapadz do`a yang dibacakan. Kondisi tersebut dapat memberikan pemahaman kepada sebagian orang bahwa Islam dan tradisi sama saja. Sementara pada sebagian yang lain tetap mampu melihat batasan-batasan antara nilai-nilai Islami dan tradisi lokal dalam beberapa bentuk lapadz doa dan pengobatan kampung pada masyarakat Melayu Nanga Jajang.


Penutup

Kajian di atas menunjukkan bahwa masih wujudnya amalan tradisi budaya dalam masyarakat muslim di Nanga Jajang. Bahkan pada sebagiannya, amalan tradisi yang menyertai amalan keagamaan (Ibadah) seakan-akan menjadi suatu yang mesti ada dalam beribadah, ma`asyiral fardhu jum`at adalah salah satu contohnya.
Pada sebagian yang lain, tradisi yang diamalkan oleh masyarakat muslim di Nanga Jajang ternyata sudah dipengaruhi (ada muatan) nilai-nilai Islam, dalam bentuk penambahan kata-kata bismillah, Allah dan berkat do`a La Ila ha Illallah, Muhammadur rasulullah.
Kajian di atas juga membuktikan bahwa Islam masuk dan diterima oleh masyarakat Nanga Jajang dengan sangat akomodatif, memelihara tradisi yang baik sembari terus menambahkan muatan nilai-nilai Islam dalam segenap praktek tradisi yang diamalkan oleh masyarakat Nanga Jajang.
Akhirnya, semoga kajian sederhana ini bermanfaat buat pembaca sekalian, amin.






















Daftar Bacaan

Azyumardi Azra. 2002. Islam Nusantara: Jaringan Global & Lokal. Bandung: Penerbit Mizan.

Barthon, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Paramadina

Hermansyah. 2010. Ilmu Ghaib di Kalimantan Barat, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

King, Victor T. 1993. The People of Borneo, Oxford, Blackwell Publishers

Ibrahim MS. 2010. Tradisi dan Komunikasi di Nanga Jajang. Dalam Ibrahim MS (ed.) Tradisi dan Komunikasi orang Melayu. Pontianak: STAIN Press
.
Ibrahim, Yusriadi & Zaenudin. 2009. Kearifan Komunikasi Pantang Larang pada Masyarakat Melayu Nanga Jajang. Laporan Penelitian Kompetitif. DIPA STAIN Pontianak.