Selasa, 27 Oktober 2009

Persoalan Parkir di Kota Pontianak

PERSOALAN PARKIR: WUJUD KETIDAK-WIBAWAAN PERDA

Parkir kendaraan sebenarnya adalah hal yang sederhana. Setiap pengemudi kendaraan pada prinsipnya pasti dapat menempatkan kendaraannya berhenti dengan baik. Tinggal yang diperlukan dalam pekerjaan yang sederhana ini adalah aturan dan petunjuknya saja. Dengan aturan dan petunjuk yang baik dan ditegakan secara konsisten itu, mungkin juga tidak mesti menggunakan jasa tukang parkir seperti yang banyak kita jumpai di kota Pontianak ini. Contohnya di negara tetangga, di Malaysia hampir tidak pernah kita menemukan juru parkir bersibuk seperti yang ada di daerah kita. Tetapi mereka dapat meletakkan kendaraannya berhenti dengan baik dan tersusun rapi pada tempat yang telah ditentukan. Di sana cukup hanya diberikan garis yang menggambarkan posisi kendaraan harus diparkir, dimana semua pengemudi memahami dan mematuhi rambu-rambu itu dengan baik. Menyalahi atau melanggar garis parkir yang sudah ditentukan akan dikenakan sanksi tilang atau saman. Dan itu betul-betul ditegakkan, bukan sekedar ancaman hukum saja.
Sementara di tempat kita (Kota Pontianak), parkir selalu menjadi persoalan, selalu mendapat sorotan dan kritikan dari masyarakat. Baik dari penempatan kawasan parkir yang terkesan sembarangan hingga pungutan biaya parkir yang tidak jelas menambah amburadulnya pengelolan pekerjaan yang satu ini. Belum lagi bicara mengenai keamanan kendaraan yang diparkir, sebagaimana yang kita ketahui, tidak sedikit kasus kehilangan motor di halaman parkir. Lantas siapa yang mesti bertanggung jawab dengan kejadian yang demikian? Lalu apa yang dibuat oleh tukang parkir? Apakah hanya memungut ongkos parkir saja? Dari sekian banyak persoalan mengenai perparkiran di kota ini, penulis hanya ingin mengangkat satu persoalan saja, yakni besaran tarip parkir kendararaan bermotor saja.
Setiap orang sebenarnya mengetahui bahwa tarip parkir kendaraan bermotor tidak lebih dari 500 rupiah, itulah ketentuan yang digariskan melalui peraturan daerah (Perda) mengenai perparkiran. Namun pada kenyataannya, aturan tersebut tidak mampu direalisasikan dengan baik di lapangan. Di banyak tempat parkir masih sering ditemukan pungutan biaya yang melebihi ketentuan tersebut. Bahkan hampir tidak pernah lagi dijumpai tukang parkir yang mengambil pungutan biaya parkir sesuai ketentuan perda. Hal ini terlihat ketika pemilik kendaraan membayar parkir dengan uang seribu rupiah misalnya, tidak pernah lagi dikembalikan sisanya oleh tukang parkir. Bagi sebagian orang mungkin uang 1000 rupiah memang tidak seberapa. Akan tetapi menjadi persoalan bagi sebagian yang lain, apalagi jika harus berulang-ulang atau pada tempat lain yang berbeda. Satu-satunya cara membayar parkir dalam kondisi demikian adalah dengan memberikan uang pas pecahan 500 rupiah. Meskipun tidak jarang tukang parkir masih meminta ongkos lebih dari itu. Sekilas mungkin wajar jika banyak orang yang rela membayar ongkos parkir sampai 1000 rupiah, akan tetapi perilaku itu akan memanjakan juru parkir untuk tidak mematuhi ketentuan perda. Jika itu yang terjadi, maka masyarakat sendiri yang dirugikan. Bahkan penulis sendiri pernah menemukan praktek pengelolaan parkir yang lebih gila lagi, dan itu melibatkan salah satu organisasi penting milik pemerintah. Dimana atas nama induk organisasi tersebut (tertera di kartu parkir) memungut biaya parkir kendaraan bermotor sampai 2000 rupiah (sama dengan ongkos parkir mobil). Penulis sempat mempertanyakan hal itu, dengan santai juru parkir itu menjawab, sama jak mobil dengan motor, parkirnya 2000. itulah ketentuan (dari organisasi milik pemerintah itu) katanya.
Berbicara mengenai besaran tarif, tentu saja bukan sekedar melihat keberatan atau tidak, akan tetapi juga menyangkut kewibawaan hukum dan peraturan yang telah dibuat. Sebab ketika hukum dan peraturan tidak lagi dijalankan, maka sebenarnya peraturan itu sudah diabaikan. Ketidak-wibawaan hukum dan peraturan inilah yang sebenarnya yang mendasari berbagai pelanggaran dan manipulasi. Jika dengan parkir saja masyarakat sudah dibiasakan dengan manipulasi dan korupsi, bagaimana dengan persoalan yang lebih besar lagi..?
Protes sering dilontarkan, keberatan masyarakat selalu terdengar atas persoalan tersebut, akan tetapi aparat terkait paling-paling hanya bisa menghimbau agar masyarakat tidak mau membayar ongkos parkir yang melebihi ketentuan perda. Juru parkir dihimbau untuk tidak memungut biaya parkir melebihi tarif yang telah ditentukan dalam perda, dsb. Apa sebenarnya yang terjadi dengan persoalan parkir di kota ini? Mengapa ketentuan biaya parkir yang sudah diperdakan hanya berlaku di atas kertas saja? Sementara realisasi di lapangan tidak demikian? Menurut penulis ada beberapa paktor yang menyebabkan pengelolaan perparkiran di kota ini semraut:
Pertama, pihak berwenang (pemerintah) belum pernah secara serius dan sungguh-sungguh mengatur persoalan perparkiran ini. Perda yang telah dibuat hanya untuk memenuhi kewajiban konstitusional sebagai pemerintah saja, sebab pada kenyataannya pelaksanaan perda di lapangan tidak pernah dikawal dan diawasi dengan baik dan benar.
Kedua, sebagian dari pihak berwenang (pemerintah) tidak memberikan contoh yang baik untuk menegakkan Perda perparkiran ini. Sebagai contoh, justru organisasi milik pemerintah daerah yang memungut biaya parkir kendaraan bermotor hingga 2000 rupiah.
Ketiga, perlu adanya pengawasan dan penegakan hukum yang sungguh-sungguh terhadap pelaksanaan perda perparkiran di kota ini, jika perlu berikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melanggar ketentuan perda tersebut. Termasuk pada instansi/organisasi milik pemerintah sendiri.
Keempat, perlu adanya ketentuan pemerintah yang mengatur dan mendata para juru parkir menjadi petugas yang legal, sehingga dapat dituntut tanggung jawab kerja yang lebih besar. Ini penting untuk keamanan kendaraan dan efektivitas hasil retribusi parkir menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah daerah.
Ketika beberapa hal di atas dapat disikapi dengan bijak dan arif oleh pemerintah, kita berharap tidak akan ada lagi persoalan perparkiran, tidak akan ada lagi instansi/organisasi yang menetapkan tarif parkir semaunya, tidak akan ada lagi juru parkir yang mengatakan parkir mobil dan motor sama saja besarnya. Atau mungkinkah persoalan perparkiran ini akan terus terjadi dalam kesemrautan? Mungkinkah itu semua wujud dari ketidak-wibawaan perda tentang perparkiran?

Sabtu, 24 Oktober 2009

Seri buku: Hidup & Komunikasi

KONTEKS BUDAYA DALAM KOMUNIKASI

Pengenalan
Konteks adalah segala situasi dan kondisi yang menyertai suatu proses. Dalam komunikasi, konteks itu bermakna segala situasi dan kondisi yang melingkupi dalam segenap proses komunikasi. Baik situasi dan kondisi komunikator, situasi dan kondisi komunikan, maupun ruang dan waktu tatkala komunikasi itu dilansungkan. Konteks inilah sebenarnya yang menentukan suatu makna dari komunikasi yang dilansungkan. Dalam realitas inilah para ahli komunikasi sepakat dengan pernyataan bahwa komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan konteksnya. Apalagi ketika konteks yang dimaksudkan menyangkut budaya hidup sesorang, itu akan semakin rumit untuk dipahami dalam komunikasi. Padahal pemahaman terhadap perbedaan itu mutlak diperlukan untuk memperoleh hasil komunikasi yang efektif. Sebab konteks itulah sebenarnya yang menentukan makna dari komunikasi yang dilansungkan.
Karena itu, tulisan bagian ini hendak mendiskusikan tentang konteks budaya dalam komunikasi.

Pengertian Konteks Budaya dalam Komunikasi
Secara sederhana konteks itu bermakna situasi dan kondisi. Konteks dalam komunikasi adalah situasi dan kondisi yang menyertai proses komunikasi yang dilansungkan. Dengan demikian, konteks adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dilupakan dalam komunikasi. Bahkan konteks itu sendirilah yang memberikan arti dalam sebuah komunikasi yang dilakukan.
Pentingnya memahami konteks dalam setiap komunikasi sama dengan pentingnya memahami apa tujuan dari komunikasi yang dibangun itu sendiri. Sebab kontekslah sebenarnya yang melahirkan komunikasi. Sebagai contoh, ungkapan “saya mencintaimu” tidak akan pernah bermakna sebagai benar-benar cinta ketika perkataan itu diungkapkan dalam keadaan seseorang yang tidak sadar, dalam tidur atau oleh orang gila. Berbeda jika “saya mencintaimu” diungkapkan oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan yang sedang dilanda mabuk cinta.
Contoh sederhana di atas dapat dianalisis dari segi symbol (verbal) dan makna (pesan) dalam satu konteks yang berbeda. Symbol (verbal) yang digunakan dalam kedua konteks tersebut sama saja, “saya mencintaimu”. Akan tetapi konteks yang menyertai proses komunikasi itu telah membawa makna (pesan) yang saling berbeda diantara kedua contoh tersebut. Konteks pertama lebih memberikan makna ketidak-sungguhan, tidak mewakili perasaan yang sebenarnya atau bukan ungkapan yang sadar. Akan tetapi pada kontek kedua adalah ungkapan secara sadar dan memang dimaksudkan untuk makna tersebut.
Contoh lain dapat dikemukakan, misalnya perkataan “anakku sayang, sini dong, mama ingin sekali memelukmu”. Perkataan tersebut akan memiliki makna yang berbeda jika diungkapkan oleh seorang Ibu tiri dengan seorang Ibu kandung. Pada konteks seorang ibu tiri, perkataan tersebut mungkin akan bermakna sebagai pemanis bibir saja. Akan tetapi pada konteks ibu kandung, perkataan tersebut lebih mungkin bermakna sebagai ungkapan perasaan yang benar-benar sayang kepada anaknya.
Jika konteks ini dimaknai bersamaan dengan budaya, maka konteks budaya pada dasarnya situasi dan kondisi budaya yang menyertai proses komunikasi yang dilakukan oleh seseorang. Konteks budaya ini tidak sekedar pilihan verbal yang khas dalam budaya, akan tetapi juga pikiran, perasaan, harapan, dan berbagai karakteristik suatu budaya tertentu yang mempengaruhi cara berkomunikasi seseorang. Setiap kebudayaan mengajarkan cara-cara tertentu untuk memproses informasi yang masuk dan keluar dari atau ke lingkungan sekeliling mereka, misalnya mengatur bagaimana setiap anggota budaya memahami cara mengemas informasi kemudian melakukan pertukaran informasi (Liliweri, 2003: 154). Artinya bahwa ada budaya yang mengajarkan cara-cara yang praktis dan lebih mudah dalam memproses informasi yang disebut low contect culture, akan tetapi ada pula budaya yang mengajarkan cara-cara memproses informasi yang lebih detil, rinci dan lebih sukar yang disebut high contect culture (Rogers dan Stienfatt, 1999: 90).

Kontek Budaya dan Komunikasi Antarbudaya
Edward T. Hall, pakar komunikasi dan antropologi budaya membagi konteks budaya dalam komunikasi kepada dua, yakni budaya konteks tinggi atau high contect culture dan budaya konteks rendah atau low contect culture (Rogers dan Stienfatt, 1999:90). Konteks budaya ini akan menentukan cara seseorang membangun komunikasi dengan orang lain. Dengan kata lain, setiap orang memiliki konteks budaya tertentu, dan dengan konteks budaya tersebut setiap orang memiliki karakter tersendiri dalam membangun komunikasi.
Ada orang yang menginginkan orang lain berlaku tertentu kepadanya, karena itu ia juga akan melakukan hal yang sama dengan orang lain. Orang yang terbuka dalam berkomunikasi lebih menginginkan keterbukaan yang sama dari lawan komunikasinya. Disinilah setiap diri kita selalu mengukur dan mengharapkan orang lain dengan ukuran dan harapan yang kita miliki. Padahal, mungkin saja setiap orang memiliki ukuran dan harapan yang tidak sama. Kesadaran inilah yang mengharuskan kita untuk belajar menyadari dan memahami siapa diri kita dan orang lain, bagaimana cara kita berkomunikasi dan bagaimana pula cara komunikasi orang lain. Apa yang kita harapkan, dan apa pula harapan pada orang lain.
Menurut Edward T. Hall, perbedaan kontek budaya itu akan menentukan apa harapan, keinginan dan pola komunikasi yang dibangun dalam hubungan sosial. Karena itulah menurutnya, penting bagi setiap kita memahami konteks budaya ini dalam berkomunikasi.

Budaya Konteks Tinggi
High contect culture atau budaya konteks tinggi adalah kebiasaan komunikasi yang dilakukan dengan penuh seni, halus dan terkadang bertele-tele demi alasan kesopanan dan kesantunan. Cara berkomunikasi orang dari budaya konteks tinggi ini cendrung tidak langsung pada sesuatu yang dimaksudkan alias tidak berterus terang dalam mengatakan apa yang diinginkan sebenarnya.
Budaya konteks tinggi ini dalam komunikasi tidaklah serta merta bermakna tidak baik. Budaya komunikasi seperti ini adalah bentuk komunikasi umumnya orang-orang asia, termasuk Indonesia (Rogers dan Stienfatt, 1999). Ada beberapa contoh budaya konteks tinggi yang bisa disebutkan dalam komunikasi orang Indonesia, masyarakat kita misalnya ketika diminta komentar oleh tetangga yang mengantar makanan tadi malam, kecendrungan kita akan mengatakan “enak makanannya, saya suka sekali”. Meskipun sebenarnya menurut dia makanan tersebut sangat tidak enak. Jika tidak dikatakan tidak jujur, jawaban tersebut lebih disebabkan rasa tidak enak untuk mengatakan yang sebenarnya. Karena itu kita selalu lebih cendrung mengatakan yang tidak sebenarnya, supaya tidak membuat seseorang kecewa dengan mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Cara komunikasi yang penuh dengan basa basi inilah yang oleh Edward T. Hall disebut dengan budaya konteks tinggi (high contect culture).

Budaya Konteks Rendah
Berbeda dengan budaya konteks tinggi, low contect culture atau budaya konteks rendah merupakan kebalikannya. Orang yang memiliki budaya konteks rendah dalam komunikasi lebih to the point, mengatakan apa adanya bahkan cendrung blak-blakan. Bagi orang yang memiliki budaya konteks rendah ini, berbicara sejujurnya dan apa adanya adalah pilihan cara komunikasinya. Mereka tidak melakukan komunikasi dengan berbunga-bunga, bertele-tele dan terkadang kurang jelas maksud yang sesungguhnya.
Komunikasi konteks rendah ini merupakan ciri komunikasi umumnya orang-orang Erofa. Bagi mereka sesuatu yang tidak baik mesti dikatakan sebagai tidak baik. Jadi berbeda dengan orang Indonesia yang mungkin saja mengatakan sesuatu yang tidak baik itu sebagai baik demi alasan ketidak-nyamanan untuk berterus terang.
Sama dengan konteks tinggi, budaya konteks rendah ini juga tidak bermakna sebagai kekurangan dalam komunikasi. Komunikasi pada orang yang memiliki budaya konteks rendah lebih mementingkan kejujuran dan keterus-terangan dalam berkomunikasi. Karena itu pada sebagian orang yang menganut budaya konteks tinggi, kejujuran orang dari budaya konteks rendah untuk mengatakan yang sebenarnya ini melahirkan satu image atau penilaian kepada orang Erofa sebagai kurang sopan, atau kurang bisa menghargai orang lain.

Karakteristik Konteks Budaya dalam Komunikasi
Sememangnya budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah dalam komunikasi mempunyai karakteristik yang khas, yang membedakan keduanya. Secara sederhana telah disebutkan di atas bahwa LCC lebih menuntut proses komunikasi yang praktis, singkat, to the point dan mudah saja. Sedangkan HCC lebih menginginkan proses komunikasi yang detil, rinci sehingga cendrung lebih sukar.
Menurut Liliweri (2003: 157-158), anggota budaya LCC lebih mengutamakan informasi tentang individu, aspek-aspek dari individu itu harus lengkap, mereka tidak mengutamakan pertimbangan latar belakang individu keanggotaan (sosial, budaya, etnik, agama). Bagi orang LCC, ia lebih menginginkan sebuah prediksi tentang siapa individu itu, bukan kelompoknya. Sebaliknya masyarakat dengan kebudayaan HCC lebih menekankan kehadiran seorang individu dengan dukungan faktor sosial, mereka tidak peduli siapa dia, apa pekerjaannya dan sebagainya. Hal ini dikarenakan HCC lebih mendengarkan loyalitas kelompoknya dibandingkan individu.
Berikut perbandingan persepsi budaya komunikasi pada HCC dan LCC ditampilkan.

Tabel I
Persepsi Budaya dalam Komunikasi

High Contect Culture (HCC) Low Contect Culture (LCC)
Prosedur pengalihan informasi lebih sukar Prosedur pengalihan informasi menjadi lebih gampang
Persepsi terhadap isu dan orang yang menyebarkan isu
Tidak memisahkan isu dan orang yang mengkomunikasikan isu Memisahkan isu dan orang yang menyampaikan isu tersebut
Persepsi terhadap tugas dan relasi
• Mengutamakan relasi sosial dalam melaksanakan tugas.
• Social oriented.
• Personal relations • Relasi antarmanusia dalam tugas berdasarkan relasi tugas.
• Task oriented.
• Impersonal relations
Persepsi terhadap kelogisan informasi
• Tidak menyukai informasi yang rasional.
• Mengutamakan emosi.
• Mengutamakan basa basi • Menyukai informasi yang rasional.
• Menjauhi sikap emosi
• Tidak mengutamakan basa basi
Persepsi terhadap gaya komunikasi
• Memakai gaya komunikasi tidak langsung.
• Mengutamakan pertukaran informasi secara nonverbal
• Mengutamakan suasana komunikasi yang informal • Memakai gaya komunikasi langsung.
• Mengutamakan pertukaran informasi secara verbal.
• Mengutamakan suasana komunikasi yang formal
Persepsi terhadap pola komunikasi
• Mengutamakan perundingan melalui human relations.
• Pilihan komunikasi meliputi perasaan dan intuisi.
• Mengutamakan hati daripada otak • Mengutamakan perundingan melalui bargaining.
• Pilihan komunikasi meliputi pertimbangan rasional.
• Mengutamakan otak daripada hati
Persepsi terhadap informasi tentang individu
• Mengutamakan individu dengan mempertimbangkan dukungan faktor sosial.
• Mempertimbangkan loyalitas individu kepada kelompok • Mengutamakan kafasitas individu tampa memperhatikan faktor sosial.
• Tidak mengutamakan pertimbangan loyalitas individu kepada kelompok
Bentuk pesan/informasi
Sebagian besar pesan tersembunyi atau implisit Sebagian pesan jelas tampak atau eksplisit
Reaksi terhadap sesuatu
Reaksi terhadap sesuatu tidak selalu tanpak Reaksi terhadap sesuatu selalu tampak
Memandang in group dan out group
Selalu luwes dalam melihat perbedaan in group dengan out group Selalu memisahkan kepentingan in group dengan out group
Sifat pertalian antarpribadi
Pertalian antarpribadi sangat kuat Pertalian antarpribadi sangat lemah
Konsep waktu
Konsep terhadap waktu sangat terbuka dan luwes Konsep terhadap waktu yang sangat terorganisir

Sumber: Liliweri, 2003: 158-159


Pengaruh Konteks Budaya dalam Komunikasi
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa konteks budaya yang beda akan melahirkan bentuk komunikasi yang berbeda pula. Orang yang memiliki konteks budaya yang rendah (LCC) berbeda cara berkomunikasi dengan orang yang memiliki konteks budaya yang tinggi (HCC). Orang dari konteks budaya rendah lebih berterus terang dalam perkataan, lebih jujur untuk mengatakan perasaan dan keinginannya. Orang dari budaya ini lebih mengharapkan orang lain mudah mengerti dengan apa yang diungkapkan dengan apa yang diharapkannya.
Orang yang datang dari budaya konteks rendah ini adalah orang yang mempunyai karakter komunikasi yang lebih terbuka. Mereka siap mengungkap keadaan diri yang sebenarnya, sebagaimana ia juga mengharapkan orang lain bisa terbuka terhadap dirinya. Sikap keterbukaan dalam komunikasi ini jika dilansungkan kepada orang yang mempunyai karakteristik yang sama, tentu saja akan sangat baik dalam proses komunikasi antarpribadi. Tapi tidak sama baiknya jika komunikasi terbuka ini berhadapan dengan karakteristik komunikasi yang tertutup pada orang dari budaya konteks tinggi.
Sedangkan orang dari budaya konteks tinggi lebih senang berbunga-bunga dalam pembicaraan, bertele-tele dalam berkata dan tidak mengatakan apa yang dirasakan dan diinginkan. Orang dari budaya ini lebih pandai bersindiran tentang apa yang dimaksudkan/dikatakan. Dia lebih mengharapkan orang lain bisa memahami dengan apa yang diinginkan sebenarnya dari apa yang diucapkan.
Orang yang datang dari budaya konteks tinggi ini adalah orang yang mempunyai karakteristik komunikasi yang cendrung lebih tertutup. Mereka tidak mau buka-bukaan tentang diri sendiri sebagaimana mereka juga menghargai orang lain dengan tidak mengatakan sejujurnya dan apa adanya. Bahkan dengan alasan kesopan-santunan, mereka ini cendrung tidak berkata jujur, tidak to the point dan terkesan bertele-tele dalam komunikasi.
Sikap komunikasi seperti ini jika dilansungkan kepada orang yang sama-sama dari budaya konteks tinggi tentu tidak ada masalah. Akan tetapi tidak demikian jika komunikasi kelompok ini berhadapan dengan orang dari budaya konteks rendah. Inilah sebenarnya yang lebih menarik, bahkan menjadi persoalan dalam komunikasi, bagaimana ketika komunikasi berlansung di antara orang yang memiliki perbedaan konteks budaya dalam komunikasi.

Penutup
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan beberapa hal utama mengenai konteks budaya dalam komunikasi, yakni:
Pertama, budaya dan komunikasi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena sesungguhnya orang berkomunikasi senantiasa mengikuti aturan budaya yang dimilikinya, dan sebaliknya budaya menjadi lestari melalui proses komunikasi yang dilakukan secara terus menerus. Disinilah ungkapan Edward T. Hall menjadi signifikan, Culture is communication and communication is culture.
Kedua, sebagai proses yang dinamis, komunikasi yang dilangsungkan senantiasa mengikuti situasi dan kondisi yang mengitarinya, yang disebut dengan konteks. Konteks inilah sebenarnya yang menentukan makna pesan yang dipertukarkan dalam proses komunikasi yang dilansungkan.
Ketiga, bagaimana cara berkomunikasi dan menafsirkan pesan yang disampaikan sangat bergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang dalam hidupnya, inilah yang disebut dengan konteks budaya. Karena itu konteks budaya ini mesti dipahami dalam setiap proses komunikasi yang dilansungkan, apalagi dalam konteks komunikasi antarbudaya.
Perbedaan konteks budaya memang berjalan seiring dengan polarisasi komunikasi yang terbangun dalam hubungan sosial manusia. Karena itu orang akan membangun komunikasi sesuai dengan apa yang diajarkan oleh budaya dan konteks budaya yang dilalui dalam hidupnya. Singkat kata, begitulah realitas hidup dan komunikasi yang sesungguhnya, senantiasa dinamis dan kontekstual. Wallhu a`lamu bish shawab.

Seri buku: Hidup & Komunikasi

DINAMIKA HIDUP & KOMUNIKASI

Hidup dan Komunikasi itu laksana aliran air di sungai
Dimana setiap kali melintasi, adalah air yang baru
Meskipun pada tempat lintasan yang sama
(Dedy Mulyana, 2001)


Hidup dan Komunikasi
Hidup itu dinamis. Setiap saat orang akan dihadapkan dengan berbagai situasi dan kondisi dalam hidupnya yang senantiasa berubah. Ada orang yang hari ini merasakan kebahagiaan dalam hidupnya setelah beberapa hari yang lalu mengalami musibah dan kekecewaan. Ada orang yang jatuh miskin setelah usahanya bangkrut setahun lalu. Realitas hidup yang dinamis dan selalu berubah itu layaknya perkembangan fisik dan mental seorang anak manusia dari bayi hingga menjadi dewasa, dari tidak mengerti apa-apa hingga menjadi seorang ilmuan dan sebagainya. Bahkan tidak jarang dinamika hidup itu layaknya sebuah roda kehidupan yang setiap orang akan bergantian menempati posisi yang berbeda dalam sejarah hidupnya. Meski berbeda dengan perputaran roda yang hanya akan menempati posisi yang sama dalam setiap lingkaran. Komunikasi senantiasa berubah, berputar dan berproses tanpa henti. Roda pasti berputar kata pepatah memberikan makna bahwa manusia senantiasa mengalami pengalaman hidup yang berubah-ubah.
Sebagaimana hidup yang sangat dinamis, komunikasi juga berlangsung dalam dinamikanya tersendiri. Bahkan tidak ada komunikasi yang terjadi bak hujan yang begitu saja jatuh dari langit, atau lemparan batu. Komunikasi terjadi dalam proses yang dinamis, layaknya dinamika sebuah kehidupan. Inilah yang selalu penulis contohkan kepada mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, bahwa seseorang menolak diajak mendugem, bukan semata-mata karena ia tidak mau melakukan perbuatan itu, melainkan karena ia sudah kapok dengan pengalaman mendugemnya 5 tahun yang lalu, yang hampir membinasakan jiwanya.
Dinamika hidup dan komunikasi juga dapat digambarkan dalam sejarah hidup manusia dan hubungan sosialnya. Tidak selamanya hubungan sosial itu berlangsung dalam keakraban, melainkan ada kemungkinan suatu ketika terjadi konplik dan sebagainya. Atau dengan kata lain, hubungan sosial yang damai, penuh keakraban dan saling pengertian hari ini mungkin terbangun setelah sebelumnya bersusah payah mencairkan kebekuan dan persoalan dalam komunikasi. Begitulah sesungguhnya dinamika dalam hidup dan komunikasi. Karena itu, jangan pernah mundur dari problem hidup dan komunikasi. Berupayalah untuk membangun hidup dan komunikasi menjadi lebih baik. Biarkan pengalaman yang kurang baik dan tidak menyenangkan dalam hidup dan komunikasi menjadi pelajaran untuk membangun masa depan hidup dan komunikasi yang lebih baik. Dengan begitulah kehidupan ini akan terasa nikmat, komunikasi akan terasa penting dalam membangun hubungan sosial dan kehidupan manusia.
Semakin banyak pengalaman yang dilalui sesorang dalam hidupnya, semakin cerdaslah dia dalam menghadapi hidup dan problematika yang dihadapinya. Pengalaman-pengalaman itulah yang akhirnya membantu seseorang meraih kebahagiaan dalam hidupnya. Begitupun dalam komunikasi, hanya orang yang mempunyai pengalaman yang banyak dalam hubungan sosial-lah yang akan mampu membangun komunikasi yang baik dan efektif itu. Selain pengetahuan (frame of reference) pengalaman-lah yang mengajarkan setiap orang membangun relasi dan hubungan yang baik antar sesama. Bahkan pengalaman (frame of ekperience) itulah yang membimbing komunikasi manusia dalam hidupnya. Pengalamanlah yang mengajarkan bagaimana seharusnya manusia bersikap dan bertindak dalam berbagai situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Dinamika hidup dan komunikasi sebagaimana di atas sesungguhnya dialami oleh banyak orang, terutama mereka yang saat ini tergolong sukses hidupnya, baik dari sisi ekonomi, karier, politik dan sebagainya. Kebanyakan mereka yang ”sukses” hidupnya hari ini bukanlah didapat dengan mudah, melainkan berbagai rintangan, hambatan dan mungkin juga kegagalan yang dilaluinya. Karena itu belajarlah tentang pengalaman gagal mereka, rintangan dan hambatan yang dihadapinya sehingga mereka mampu bangkit dan meraih kesuksesan. Pengalaman gagal inilah sebenarnya yang menarik untuk dikaji guna melihat kesuksesan yang didapatkan oleh seseorang hari ini.

Komunikasi melibatkan Kemampuan dan Kemauan
Berkomunikasi yang baik memang memerlukan keterampilan dan latihan. Atau mungkin juga melalui bentukan pengalaman yang memadai dalam hubungan sosial. Dengan kata lain, hubungan sosial yang baik baru dapat dibangun jika seseorang itu memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Kemampuan membangun komunikasi yang baik akan menentukan tingkatan hubungan sosial yang baik pula dalam hubungan manusia. Kemampuan komunikasi yang baik antar manusia akan melahirkan relasi sosial yang harmonis dan saling merasa manfaatnya. Inilah yang melahirkan ilmu komunikasi dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti komunikasi politik dalam bidang politik; komunikasi bisnis dalam bidang ekonomi dan bisnis; komunikasi sosial antarbudaya dalam bidang sosial budaya dan sebagainya.
Semua orang sepakat bahwa kemampuan berkomunikasi yang baik itu sangat penting, karena ia akan sangat menentukan dalam membangun hubungan sosial yang baik dan kebersamaan dalam relasi sosial kehidupan manusia. Akan tetapi ada yang luput dari perhatian banyak orang bahwa selain kemampuan, sebuah komunikasi yang baik juga memerlukan kemauan yang tulus dari seseorang untuk melakukannya. Ini bermakna bahwa mungkin saja seseorang memiliki kemampuan (pengetahuan dan pengalaman) yang memadai untuk membangun hubungan sosial yang baik, akan tetapi dia tidak punya kemauan untuk melakukan itu.
Sebaliknya, banyak orang yang punya kemauan untuk membangun hubungan sosial dan komunikasi yang baik, akan tetapi keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang membuatnya tidak punya kemampuan untuk mewujudkan kemauannya itu. Dan kelompok inilah yang paling dominan dalam kehidupan manusia. Karena itu kemampuan dan kemauan mesti dimiliki oleh setiap orang dalam membangun komunikasi dan hubungan sosial yang baik. Hanya dengan kemauan tentu saja tidak cukup untuk membangun sebuah hubungan sosial dan komunikasi yang baik, meskipun bekal kemauan sangat penting untuk memperbaiki kemampuan komunikasi. Sebaliknya kemampuan komunikasi yang baik juga belum tentu dapat membangun hubungan sosial yang baik dan harmonis jika tidak didukung oleh adanya kemauan mewujudkan hubungan yang baik tersebut. Ini juga merupakan realitas hidup dan komunikasi yang dinamis itu.

Konplik sebagai satu bentuk Komunikasi
Umumnya orang menganggap bahwa konplik terjadi disebabkan ketidakmampuan mewujudkan apa yang menjadi harapan bersama. Atau karena ada sebagian pihak yang merasa dirugikan dari proses komunikasi yang berlangsung. Dalam bentuk sederhana, konplik tersebut terjadi dalam bentuk ketidak-pahaman, ketidak-saling pengertian antara partisipan mengenai apa yang dikomunikasikan. Inilah yang memunculkan apa yang diistilahkan dalam komunikasi sebagai miscomunication, misunderstanding dan semacamnya.
Di lain pihak, seringkali konplik itu sengaja dibangun sebagai bagian dari strategi komunikasi. Ini dapat dilihat dalam berbagai kasus politik, termasuk politik negosiasi dan propaganda. Komunikasi bentuk inilah yang melahirkan propaganda komunikasi, atau komunikasi adu domba, dan semacamnya. Inilah yang jarang dipahami oleh kebanyakan orang sebagai bentuk komunikasi itu sendiri.
Sebagai sebuah strategi komunikasi, konplik dibangun bukanlah untuk tujuan akhir komunikasi, melainkan hanya sebagai strategi antara yang digunakan untuk mewujudkan harapan dan tujuan lebih lanjut. Dengan kata lain, konplik sebagai strategi komunikasi dibangun hanyalah untuk tahapan mencapai tujuan dan harapan yang lebih besar, yakni keberhasilan komunikasi. Akan tetapi mesti diingat bahwa menjadikan konplik sebagai strategi komunikasi bukanlah pilihan yang mudah dan tanpa resiko. Pilihan tersebut sangat sulit dan memiliki banyak resiko. Karena itu pertimbangkan dengan baik segala sesuatunya yang mesti disiapkan untuk mengawal proses komunikasi dari konplik menjadi keharmonisan dan kesepahaman. Dengan kata lain, konplik sebagai strategi komunikasi perlu dikelola dengan baik dan sadar untuk mencapai tujuan komunikasi yang lebih besar. Inilah salah satu alasan yang melahirkan kajian ”managemen konplik” dalam komunikasi.
Mungkinkah konplik dapat diperbaiki menjadi hubungan yang baik dan harmonis dalam komunikasi sosial kita? Jawabannya bisa iya dan juga bisa tidak.
Jawaban iya, apabila adanya kemampuan dan kemauan untuk merubah konplik menjadi keharmonisan. Apalagi jika konplik itu sengaja dibangun untuk sebuah taktik dan strategi komunikasi. Hanya saja prosesnya perlu dikawal dengan baik, dikelola dengan benar, untuk selanjutnya dicairkan menjadi hubungan sosial yang baik dan harmonis. Jika strategi ”konplik” (managemen konplik) dijalankan dengan baik dan berhasil, biasanya akan melahirkan satu hubungan sosial, kesepahaman dan saling pengertian yang sangat kuat diantara partisipan. Hal ini disebabkan adanya proses yang dilalui bersama sehingga memunculkan kesadaran diri masing-masing partisipan untuk mewujudkan keharmonisan dalam hubungan sosial dan komunikasi bersama.
Jawaban tidak, jika konplik yang mestinya sebagai strategi antara berubah menjadi akhir dari proses komunikasi, atau akibat dari sebuah proses komunikasi yang dibangun. Lantas, bagaimana mengelola konplik untuk kepentingan komunikasi itu? Paling tidak beberapa petunjuk berikut mesti diperhatikan dalam menjadikan konplik sebagai suatu strategi dalam mewujudkan tujuan komunikasi yang lebih besar.
Pertama, pastikan hanya ada satu isu yang dijadikan persoalan dan konplik. Sebab dengan demikian konplik tersebut mudah dikawal dan dikelola dengan baik. Meskipun kenyataannya konplik cendrung merambah kemana-mana, melibatkan berbagai isu lainnya. Jika kecendrungan itu terjadi, maka jangan diteruskan sebagai strategi dalam komunikasi. Segeralah untuk kembali hanya kepada satu isu saja yang dipersoalkan.
Kedua, pastikan sisi kemanusiaan dan hubungan sosial lainnya tetap terjaga dan terbangun dengan baik. Dengan kata lain, untuk suatu kepentingan praktis terjadi konplik, akan tetapi hubungan sosial dan kemanusiaan tetap terbangun dengan baik dan saling pengertian. Pada langkah ini, kita dituntut untuk mampu menempatkan diri dan sikap komunikasi pada tempat yang sewajarnya. Bukan semuanya sama rata, dan semuanya menjadi persoalan dan konplik.
Ketiga, jangan menjaga jarak komunikasi yang terlampau jauh, atau membiarkan konplik berlangsung dalam waktu yang panjang (lama). Bangunlah terus komunikasi. Jadikan konplik sebagai alasan membangun komunikasi yang lebih erat, intensif dan semakin tak berjarak. Begitulah sampai hubungan yang beku dan konplik berubah menjadi cair dan hubungan yang harmonis.
Keempat, jangan biarkan pihak-pihak lain mencampuri proses komunikasi dan konplik yang sedang dibangun. Sebab itu akan memperkeruh suasana dan akan merusak strategi yang sudah direncanakan.
Kelima, persiapkan diri dengan kesabaran yang tinggi, sebab strategi komunikasi dalam bentuk ini terkadang memerlukan proses yang panjang dan lama. Bahkan terkadang sangat sulit, sebab selain memerlukan kesabaran, juga diperlukan kecerdasan dan kebijaksanaan dalam mengambil sikap dalam komunikasi ini. Sebab, hidup dan komunikasi itu adalah dinamis. Karena alasan itulah apapun masih mungkin terjadi, termasuk konplik dan komunikasi itu sendiri. Wallahu a`lamu bish shawab.

Seri buku: Hidup & Komunikasi

HIDUP ADALAH KOMUNIKASI


Hidup adalah komunikasi
Tidak ada ruang yang hampa dengan komunikasi
Bahkan kita tidak bisa mengelak dari berkomunikasi
Karena itu, Perbaiki kemampuan dan kemauan untuk berkomunikasi
(Ibrahim, 2008)


Keniscayaan Berkomunikasi

We can,t not to communication, demikian uangkapan para ahli dalam memberikan pandangan betapa komunikasi itu merupakan sesuatu yang tidak bisa tidak. Dari bangun tidur hingga tidur lagi adalah proses komunikasi yang kita lakukan. Karena itu, kita tidak mungkin menghindarkan diri dari berkomunikasi, sebab komunikasi itu adalah kehidupan.
Satu contoh dalam kehidupan sosial, ada seorang ayah yang sedang dilanda masalah dalam keluarganya, kemudiaan ia menyendiri dan menyepi di suatu tempat yang tidak ada satu orang pun bersamanya, dan ia tidak berbicara sepatah katapun dengan keluarga dan anak-anaknya di tempat itu. Pada saat bersamaan, sang anak bertanya dan mencari dimana ayahnya. Oleh ibunya dipahamkan bahwa ayah sedang menenangkan diri, menyendiri dan tidak mau diganggu. Jadi biarkan ayah sendiri, dan jangan menemuninya dulu, ibu mengingatkan pada anaknya.
Sekilas contoh di atas memberikan pemahaman bahwa sang ayah sedang tidak mau berkomunikasi dengan keluarganya. Akan tetapi sebenarnya prilaku sang ayah tersebut tidak lain juga adalah komunikasi dalam bentuk tersendiri. Contoh tersebut menunjukkan apa yang dilakukan oleh seorang ayah yang menyendiri dan menyepi, dapat dipahami oleh isteri dan anaknya sebagai bentuk penenangan diri dan perasaan duka sang ayah, karena itu mereka membiarkannya dan tidak menemui sang ayah pada saat itu. Bukankah kesepahaman tersebut merupakan proses komunikasi yang sudah berlangsung diantara sang ayah dengan keluarga? Meskipun komunikasi tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan lambang, bahasa dan kata-kata, atau mungkin tidak dimaksudkan (secara sengaja) sebagai berkomunikasi.
Contoh lain misalnya, ada seorang lelaki yang lewat di depan anda dengan pakaian yang rapi, berjas dan berdasi, di tangannya tertenteng sebuah tas kecil warna hitam sambil menuju ke mobilnya di halaman parkir. Dia tidak berbicara sedikitpun, seperti halnya anda juga tidak menyapa sepatah katapun kepadanya. Akan tetapi dalam perasaan anda terlintas penilaian terhadap orang tersebut sebagai pemuda yang ganteng, sepertinya dia itu seorang eksekutif muda, atau apa saja. Pada saat itulah komunikasi sebenarnya sudah berlangsung diantara seorang lelaki itu dengan anda yang melihatnya. Disinilah komunikasi mesti dipahami sebagai perilaku yang terjadi bukan saja karena adanya tujuan yang terencana dan kesengajaan (Gerard L. Miller), melainkan apa saja yang bisa menimbulkan pengertian dan pemahaman diantara partisipan, meskipun tanpa rencana dan disengaja (Alek Gode).
Sebagai sebuah perilaku yang di sengaja dan terencana, komunikasi mungkin akan dapat berlangsung dengan baik diantara para partisipannya. Sebab semua aspek komunikasi sudah dipertimbangkan terlebih dahulu sebelumnya. Kepada siapa komunikasi itu dilangsungkan, apa yang akan dibicarakan, bagaimana cara membicarakannya, media apa saja yang dipilih untuk digunakan, apa tujuannya dan lain sebagainya. Meski komunikasi dalam bentuk ini cendrung struktural dan kaku, akan tetapi dia berlangsung dalam bingkai tertentu yang sudah direncanakan oleh komunikan. Dan tentunya, ada pengaruh yang akan muncul dari perilaku komunikasi tersebut dengan prediksi yang dibuat dalam merencanakan komunikasi itu sebelumnya.
Persoalannya adalah pada perilaku komunikasi yang tidak terencana dan tidak disengaja, akan tetapi ia berlangsung ketika adanya pihak yang menafsirkan, memahami dan menilai terhadap suatu perilaku, simbol dan isyarat yang muncul sebagaimana digambarkan dalam beberapa contoh di atas. Dalam bentuk ini, komunikasi lebih bermakna melalui ekpresi, penampilan dan isyarat, bukan melalui kata-kata verbal.
Sebagai satu bentuk perilaku komunikasi yang tidak direncanakan dan tidak disengaja, tidak jarang kita mengabaikannya. Akibatnya adalah terjadinya miskomunikasi diantara pastisipan. Atau paling tidak, terjadinya pemahaman yang keliru terhadap paket simbol, isyarat dan penampilan pisik yang ditampakkan. Padahal komunikasi dalam bentuk ini justru lebih banyak terjadi dalam hubungan sosial kemanusiaan dan lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan komunikasi dengan kata-kata (verbalistik).

Kebiasaan hidup juga paket komunikasi
Kita masih teringat betul dengan beberapa streotip antar kelompok budaya masyarakat etnis di Kalimantan Barat yang berkaitan langsung dengan perilaku hidup dan kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkan. Pada sebagian masyarakat kita yang gemar membawa celurit dipahami oleh sebagian yang lain sebagai perilaku yang dekat dengan kekerasan. Padahal mungkin saja karena kehidupannya memang akrab dengan celurit itu, karena kebiasaannya mesti mencari rumput setiap hari untuk makan ternak, dan sebagainya.
Begitupun halnya ketika kita berjalan di pasar misalnya, di sana kita melihat ada beberapa orang pemuda berambut panjang, berkulit hitam dengan tato di badan. Mereka memang tidak menyapa kita, akan tetapi dengan seketika kita mudah memberikan penilaian dan pemahaman terhadap sekelompok pemuda tersebut sebagai preman pasar, atau kelompok yang mesti dihindari. Padahal mungkin saja penampilan tersebut adalah sebuah perilaku yang biasa-biasa saja dalam komunitas sosial mereka, apalagi di tengah kehidupan pasar yang keras dan kejam.
Lantas, apakah salah jika kita memberikan penilaian awal dalam proses komunikasi tersebut? Apakah mesti ada proses komunikasi yang demikian? Bagaimana sikap komunikasi yang mesti dilakukan? Penilaian awal (prediksi dan persepsi) pasti akan selalu ada dalam setiap komunikasi. Persoalannya adalah prediksi dan persepsi tersebut tidak cukup untuk memberikan konsepsi apalagi justifikasi yang utuh dan final terhadap seseorang dalam proses komunikasi. Karena itu untuk memperoleh konsepsi dan justifikasi yang benar terhadap seseorang, prediksi dan persepsi awal komunikasi mesti dibuktikan (dilanjutkan) dalam proses komunikasi yang baik. Di sinilah kemungkinan persepsi awal akan dibenarkan atau bahkan mungkin berubah karena proses komunikasi.
Jika ditanya di mana kesalahan komunikasi yang berhenti pada persepsi dan konsepsi awal? Yang salah dalam komunikasi itu ialah pengetahuan (frame of reference) dan pengalaman (field of eksperience) diri kita yang menjadi dasar pemahaman sepihak untuk menilai satu perilaku tertentu sebagai tidak baik dan salah, tampa mampu melihat latar belakang sosial dan pertimbangan dari orang lain yang memiliki kebiasaan tersebut. Karena itu sikap yang mesti diambil adalah, berangkatlah menilai satu perilaku dan kebiasaan orang lain dari latar belakang sosial mereka dan petimbangan-pertimbangan yang menyebabkan mereka itu melakukannya, dan bukan hanya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman kita yang dangkal terhadap orang lain.
Dengan kata lain, kita selalu menilai bahkan menghakimi orang lain dengan perspektif hukum kita. Padahal mereka juga mempunyai perpektif hukum dan penilaian tersendiri dan berbeda dengan kita. Sebab mungkin perilaku kita juga akan tidak baik jika dinilai dari perspektif hukum mereka. Disinilah komunikasi mesti dibangun dengan proporsional dan adil. Sebab hanya dengan cara inilah kita bisa menempatkan perilaku komunikasi (khususnya yang tak terencana dan tak disengaja) pada tempat yang sebenarnya. Dan dengan cara ini pula kita mesti menyadari bahwa tidak ada kehidupan dan kebiasaan hidup kita yang bebas dari komunikasi, karena itu kehidupan dan kebiasaan tersebut mesti sadari dan dipahami maknanya.

Gagal & Sukses karena Komunikasi

Tidak sedikit orang di dunia ini yang berhasil menikmati kejayaan hidupnya karena komunikasi. Akan tetapi juga banyak orang di dunia ini yang gagal dan prustasi hidupnya karena komunikasi. Mengapa? Dan bagaimana itu bisa terjadi?
Jika kita kembali pada makna komunikasi yang sebenarnya adalah sebagai bentuk menghubungkan pesan, harapan dan maksud diantara para partisipan, maka keberhasilan proses inilah yang akan menghantarkan seseorang pada kesuksesan atau kegagalan. Jika pesan, harapan dan maksud yang diinginkan berhasil didapatkan dengan komunikasi yang dibangunnya, maka tentu saja kesuksesan yang akan diraih oleh seseorang itu. Sebaliknya, jika ia tidak memperoleh apa yang diharapkan dengan proses komunikasi yang dilangsungkan maka, kegagalanlah yang didapatkannya. Atau lebih ekstrim lagi adalah proses komunikasi itulah yang menyebabkan bencana dan petaka pada seseorang sebagaimana yang terjadi dalam rangkaian komunikasi pasukan Jepang dan pasukan Sekutu pada saat peperangan dunia kedua. Sekutu keliru dalam memahami istilah “makusatsu” sebagai pembangkangan Jepang untuk menyerah kepada Sekutu dalam perang dunia kedua (lihat ceritanya dalam Ibrahim, 2005).
Banyak bukti yang bisa ditunjukkan untuk menggambarkan betapa komunikasi yang baik telah menjadikan banyak orang sukses dalam hidupnya. Sebut saja dalam dunia politik misalnya, komunikasi yang baik dan efektif akan menjadi penentu karir seseorang sebagai pemimpin politik. Hanya orang yang bisa membangun komunikasi yang baik dengan masyarakatlah yang akan memegang tampuk kepemimpinan politik.
Kaitannya dengan kegagalan dan kesuksesan dalam hidup seseorang, tidak ada satu orangpun yang dapat memutuskannya, melainkan itu merupakan upaya sendiri yang dibangun dan terus diperjuangkan. Untuk mewujudkan inilah diperlukan strategi mengerahkan semua potensi pribadi yang dimilikinya. Salah satu upaya yang mungkin dilakukan untuk mengerahkan potensi tersebut adalah dengan komunikasi. Bangunlah kemampuan komunikasi pribadi yang baik, satu bentuk komunikasi yang mampu menghadirkan harapan, maksud dan keinginan dari proses sosial yang dilakukan.
Orang-orang yang sukses dalam hidupnya, selalu dimulai dari kesuksesannya membangun sebuah komunikasi. Dalam dunia akademis misalnya, komunikasi yang baik (baik verbal maupun non verbal) akan menentukan penguasaan seseorang dengan keilmuannya, dan pada akhirnya menjadikan seseorang itu dapat bersaing dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Begitupun dalam bidang politik, hanya dengan kemampuan komunikasi politik yang baiklah yang bisa menghantarkan seseorang pada kedudukan politik yang strategis. Apalagi dalam sistem politik demokrasi yang melibatkan banyak massa dalam pengambilan keputusan. Meskipun dalam banyak contoh, komunikasi politik yang dibangun oleh para elit bangsa ini lebih pada manuver politik semu dan palsu, namun itu menunjukkan bahwa komunikasi memiliki peran penting dalam semua itu.
Begitupun sebaliknya, beberapa tokoh politik yang gagal meraih simpatik masyarakat pemilih untuk menduduki satu posisi penting dalam pemerintahan dikarenakan mereka gagal membangun komunikasi politik yang baik. Komar (anggota DPPR RI) misalnya yang gagal meraih kursi Bupati Tuban pada tahun 2003 lalu mengakui bahwa kegagalannya disebabkan kurangnya waktu untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat pemilih (Sumber: apa kabar Indonesia pagi TVone, 9 Agustus 2008 ). Atau Yuli Nursanto, mantan calon Bupati Ponorogo yang gagal dalam pemilu tahun 2006 lalu (TVone, 9 Agustus 2008). Kegagalannya menjadi Bupati bukanlah proses yang terjadi begitu saja, melainkan disebabkan ia telah gagal membangun komunikasi politik dengan massa pemilih. Ia juga gagal memahami kecendrungan masa pemilihnya sebagai komunikan politik. Dengan komunikasi yang keliru, Yuli rela mengeluarkan banyak biaya, menggadaikan kekayaan dan perusahannya, bahkan berhutang miliaran rupiah demi keinginannya berkuasa di dunia politik. Namun ia gagal dan akibatnya adalah stress berat yang dialaminya hingga mengharuskan ia menjadi penghuni setia rumah sakit jiwa.
Kegagalan dan kesuksesan dengan komunikasi sesungguhnya terjadi dalam setiap aspek kehidupan. Tidak seorangpun yang sukses dalam hidupnya tampa didukung oleh kemampuannya dalam berkomunikasi. Sebaliknya tidak sedikit orang yang potensial namun gagal dalam hidupnya disebabkan ketidak-mampuannya membangun komunikasi yang baik. Percaya atau tidak, kita semua bisa mencari bukti dari semua ini.

Komunikasi: berangkat dari Pengalaman
Setiap orang mempunyai pengalaman, dan setiap pegalaman itulah yang akan membedakan seseorang dengan orang lain. Dengan pengalaman inilah seseorang bisa memaknai apa saja, dan dengan pengalaman seseorang mampu mengenal orang lain. Dengan pengalaman seseorang mempunyai tatanan nilai yang dijadikan untuk melihat, mengenal dan menafsirkan sesuatu. Karena dengan pengalamanlah setiap orang dapat membuat persepsi dan konsepsi terhadap apa yang ia lihat, ia dengar dan ia hadapi. Pengalaman inilah yang dikenal dengan istilah field of eksperience dan frame of reference (Ibrahim, 2005).
Field of Eksperience merupakan satu bentuk pengetahuan manusia terhadap apa yang pernah dialaminya dalam hidup, baik dalam diri pribadi, lingkungan keluarga, maupun masyarakat. Pengetahuan yang dialaminya inilah yang selalu menjadi acuan setiap orang dalam menilai dan memberikan identitas terhadap sesuatu yang ditemuinya. Kita seringkali menilai suatu perbuatan itu tidak baik dikarenakan pengalaman hidup kita menyebutnya tidak baik. Sebaliknya, seringkali kita menilai sesuatu sebagai baik dan menarik, karena pengalaman kita mendapati hal itu baik dan menyenangkan.
Denis Berkhamm, mantan pemain sepak bola Internasional Belanda yang mengakhiri karirnya bersama Arsenal, lebih memilih mengendarai kendaraan mobil pribadinya dari Belanda ke Inggris dibandingkan dengan naik pesawat terbang. Hal ini disebabkan Berkhamm punya pengalaman yang mengerikan dengan kecelakaan pesawat yang membuat ia trauma untuk tidak lagi mau menaiki pesawat terbang. Padahal ia sendiri menyadari betapa tenaganya terkuras dan kecapean menghadapi pertandingan disebabkan perjalanannya yang jauh dan selalu menggunakan jalan darat. Pada sebagian besar orang, pesawat adalah pilihan transportasi yang paling elit dan prestise.
Sementara frame of reference merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang secara kognitif dalam hidupnya, baik melalui pendidikan formal, tuntunan nilai-nilai adat, budaya dan agama. Dengan pengetahuan itulah setiap orang akan melihat dan menilai sesuatu yang ditemui dalam hidupnya. Karena itu, semakin luas pengetahuan (kognitif) seseorang, maka akan semakin kaya pengetahuan yang dapat dipilihnya dalam menilai sesuatu.
Sebaliknya, pengetahuan yang sempit dan terbatas cendrung akan membuat seseorang kaku dalam berkomunikasi. Ia tidak mempunyai banyak pengetahuan untuk menyaring dan memilih cara dan informasi dalam berkomunikasi. Orang dalam kelompok ini akan lebih mudah tersinggung jika dihadapkan pada suasana baru dan jarang ditemui dalam proses komunikasi. Orang ini lebih dekat terjerumus dalam apa yang disebut dengan gagap budaya (culture shock).
Dengan kata lain field of eksperience dan frame of reference menjadi penentu karakter sebuah komunikasi yang akan dibangun oleh setiap kita. Disinilah sebenarnya pentingnya pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang baik sebagai titik berangkat dalam membangun komunikasi yang berlangsung dalam hubungan sosial kemanusiaan.

Komunikasi: Membangun wadah KITA
Berkomunikasi pada prinsipnya bukanlah pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti apa yang kita pikirkan, melainkan mendekatkan pikiran kita dengan pikiran orang lain (Ibrahim, 2005). Karena itu orang berkomunikasi senantiasa menggunakan berbagai media dan simbol yang dipandang mampu mewakili apa yang dipikirkan, dilihat dan dirasakan untuk dibagi kepada orang lain dalam satu proses interaksi. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, pilihan simbol dan lambang tertentu pada dasarnya bukanlah itu sesungguhnya yang dipertukarkan dalam proses komunikasi tersebut, melainkan maknalah yang dipertukarkan di antara partisipan. Simbol atau lambang yang sama mungkin saja mempunyai makna atau dimaknai secara berbeda oleh komunikator dan komunikan.
Sebaliknya, pemberian makna yang sama terhadap satu simbol atau lambang yang digunakan itulah yang diharapkan dalam setiap proses komunikasi yang dilangsungkan. Pertukaran makna seperti inilah yang disebut dengan proses komunikaksi yang efektif dan berhasil, ketika didapatkannya pemaknaan yang sama. Karena itu, pilihan simbol dan lambang dalam komunikasi menjadi bagian yang sangat penting dalam komunikasi. Apalagi dalam kontek antarbudaya, dimana setiap orang memiliki seperangkat pengalaman dan pengetahuan yang berbeda dalam melihat, memandang dan menafsirkan sesuatu, termasuk simbol dan lambang komunikasinya. Inilah yang melahirkan istilah word don`t mean peoples means, satu istilah yang mengingatkan kita bahwa kata (sebagai simbol & lambang komunikasi) tidak mempunyai makna apa-apa, melainkan manusia yang menggunakannya lah yang memberikan makna pada simbol/lambang tersebut dalam proses komunikasi.
Sebagai sebuah substansi komunikasi, pertukaran makna yang sama dari simbol-simbol yang digunakan dalam proses komunikasi, pada dasarnya komunikan sedang membangun satu wadah konsepsi dan pemahaman bersama. Simbol atau lambang yang digunakan pada mulanya memang ditentukan oleh seorang komunikator, kemudiaan lambang itu dipahami dan ditafsirkan oleh komunikan sebagai suatu pesan yang bermakna, dan makna itulah sesungguhnya wadah bersama antara pasrtisipan tersebut.
Dalam setiap proses komunikasi, wadah (pemaknaan) itu bukan lagi ada pada komunikator atau komunikan saja, melainkan kedua-duanya. Dengan kata lain, antara komunikator dan komunikan mesti bersedia untuk meninggalkan sarang (pemaknaannya) masing-masing menuju wadah baru yang diciptakan bersama dengan orang lain. Itulah yang disebut sebagai wadah KITA sebagaimana digambarkan dalam diagram proses komunikasi di bawah ini.

Diagram proses pertukaran makna dalam komunikasi
a1 a2 b2 b1
A:saya KITA anda:B

Analisis: Ibrahim, 2008.
Legenda: komunikasi sebagai proses membangun wadah kita (pemaknaan yang sama antara komunikator A dan komunikan B) jika penafsiran yang diciptakan keduanya mengambil posisi yang semakin mendekatkan antara posisi A dan B (a1. a2, atau b1 dan b2), maka semakin baiklah wadah bersama yang dibangun. Sebaliknya komunikasi yang baik bukanlah keharusan A yang mengikuti konsepsi B atau sebaliknya, melainkan keduanya harus bertemu di a1 atau a2 atau b1 atau b2. inilah yang disebut komunikasi membangun wadah kita.

Dari gambaran di atas jelas bahwa proses komunikasi yang baik mensyaratkan setiap partisipan bersedia untuk meninggalkan posisinya masing-masing menuju satu wadah kesepahaman dan pemaknaan yang diciptakan bersama. Kesepahaman dan pemaknaan baru yang diciptakan bersama itulah yang disebut dengan wadah KITA, bukan lagi wadah saya (A) atau wadah anda (B). Sebab, jika wadah saya (A) yang masih diandalkan, maka saya cendrung memaksakan anda untuk masuk dan mengikuti pikiran dan kehendak saya sendiri. Sebaliknya jika wadah anda (B) yang digunakan, maka anda juga mengharuskan saya untuk masuk dan mengikuti semua kehendak anda dengan tampa kompromi sedikitpun. Akan tetapi dengan wadah baru yang diciptakan bersama, disitulah terjadinya kompromi dan negosiasi makna diantara partisipan menjadi pemahaman bersama sebagai wadah KITA.
Terjadinya konflik dalam hubungan pribadi, sosial dan budaya sangat ditentukan dengan paktor ini, dimana setiap partisipan tidak mampu atau mungkin tidak mau untuk keluar dari wadah (sarang) nya untuk kemudiaan menciptakan wadah bersama, yang memang diciptakan bersama menjadi wadah KITA.

Komunikasi: Belajar untuk Menghargai
Sebagai sebuah proses pertukaran makna, maka komunikasi juga sebenarnya adalah proses negosiasi dan kompromistis antara partisipan tentang makna tertentu yang dikehendaki. Bedanya adalah negosiasi dan kompromi itu terjadi melalui pengalaman (field of eksperience) dan latar belakang pengetahuan (frame of reference) partisipan. Sebagai sebuah bentuk negosiasi dan kompromistis, mungkin saja terjadi perbedaan kehendak yang mendasar antarpartisipan, dimana keduanya mempunyai pemahaman dan pemaknaan yang sangat jauh berbeda, meskipun proses komunikasi yang baik sudah dijalankan. Karena itu komunikasi pada tahap ini juga mesti dipahami sebagai proses belajar untuk menghargai perbedaan tersebut.
Sikap yang tidak mau menghargai perbedaan itu merupakan ancaman bagi hubungan sosial dan komunikasi. Sikap inilah yang menumbuh-kembangkan rasa etnosentrisme dan deskriminatif yang puncaknya adalah konflik karena “alasan perbedaan”. Ekstrimnya, sikap ini menjadikan perbedaan sebagai persoalan baik buruk, benar salah, karena itu perbedaan mesti hindari atau bahkan dimusnahkan. Jika sikap ini yang muncul, maka komunikasi yang merupakan proses penghargaan terhadap perbedaan menjadi kehilangan substansinya. Komunikasi bukan lagi ditempatkan sebagaimana mestinya untuk membangun kesefamahan dan toleransi, melainkan pemberangusan terhadap perbedaan untuk mewujudkan keseragaman. Akibat lebih jauh adalah pecahnya konflik pisik terbuka sebagaimana dalam sejarah politik orde baru dan konflik etnis di beberapa daerah di Indonesia. Inilah beberapa hal menurut penulis yang mesti disadari dan dipahami secara baik oleh setiap kita dalam membangun proses komunikasi yang baik dan efektif dalam hubungan sosial dan kemanusiaan, khususnya di bumi Kalimantan Barat. Wallahu a`lamu bish shawab.

Jumat, 20 Maret 2009

KEARIFAN KOMUNIKASI

Pendahuluan
Mengawali tulisan ini, ada baiknya penulis kemukakan satu pernyataan Edward T. Hall mengenai hubungan budaya dengan komunikasi. Menurutnya “culture is communication, and communication is culture”. Budaya suatu masyarakat akan lestari dengan adanya komunikasi yang mewariskannya secara turun temurun, sebaliknya komunikasi yang dibangun dalam masyarakat sangat tergantung pada budaya yang mempengaruhinya. Perbedaan budaya akan melahirkan satu bentuk komunikasi yang khas dalam suatu masyarakat. Sementara itu dengan komunikasi, anak cucu dapat memelihara budaya hidup yang diwariskan dari orang-orang tua mereka.
Komunikasi dan budaya merupakan conditio sain quo non dalam sejarah social dan kehidupan manusia. Sebab komunikasi itu sendiri adalah kehidupan (Ibrahim, 2005), dan setiap manusia adalah hidup dalam lingkup komunikasi. Karena itu apa yang kita sebut sebagai budaya sebenarnya adalah the total way of life of a peoples (Hall, 1989).
Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pantang larang dalam masyarakat juga merupakan akulturasi dari budaya hidup dan komunikasi yang dilakukan dalam membangun tatanan sosial masyarakat. Disinilah pantang larang dipungsikan sebagai pengawal atas tatanan nilai dan aturan yang mengikat kelompok sosial dan budaya untuk mematuhinya guna mewujudkan keseimbangan dan keserasian hidup manusia dan alam. Pantang larang juga merupakan salah satu bentuk perhatian yang besar pada masyarakat Melayu Kapuas Hulu akan keserasian dan keseimbangan alam, sebagaimana hal itu wujud dalam tradisi peladangan (buma) mereka, ada banyak pantang larang yang harus dipatuhi (lihat Ibrahim, 2008). Sebagai perbandingannya, sila baca Marisa (2008) yang menulis tentang Pantang Larang dalam Budaya Sambas.
Pada masyarakat Melayu Kapuas Hulu, pantang larang ini juga dipungsikan sebagai sarana memberikan bimbingan, tunjuk ajar dan komunikasi. Bagaimana sesungguhnya nilai-nilai bimbingan, tunjuk ajar dan komunikasi yang terkandung dalam pantang larang masyarakat Melayu Kapuas Hulu, itulah kajian dan diskusi yang ingin penulis paparkan dalam makalah sederhana ini.

Pantang Larang dalam Masyarakat Melayu
Selain suku Dayak, Melayu adalah salah satu komunitas terbesar yang berdiam di pulau Kalimantan (Nieuwenhuis, 1894; Enthoven, 1903; King, 1993). Di Kalimantan Barat, komunitas Melayu tersebar dari kawasan pesisir hingga ke pedalaman, dari komunitas (asal) pendatang yang masuk bersamaan dengan kedatangan Islam, hingga mereka yang pindah dari suku Dayak menjadi suku Melayu karena telah memeluk Islam, yang seterusnya dikenal dengan Melayu (King, 1993).
Sejarah panjang kehidupan masyarakat Melayu di Kalimantan Barat hingga ke pelosok daerah Ulu Kapuas, telah turut memberikan warna tersendiri dalam membangun tatanan sosial dan keselarasan alam hayati. Dengan kata lain, masyarakat Melayu telah turut memelihara dan menjaga kelestarian alam dan kehidupan sosial di Kalimantan Barat umumnya dan Kapuas Hulu khususnya. Salah satu bentuk tatanan sosial yang dipungsikan sebagai pemelihara keseimbangan dan kelestarian alam mereka adalah wujudnya berbagai pantang larang dalam masyarakat .
Pantang larang merupakan satu tradisi yang tumbuh dan terus berkembang dalam masyarakat. Pantang larang ini pada dasarnya mempunyai tujuan dan maksud tertentu, terutama menyangkut upaya memelihara keseimbangan dan kelestarian di alam. Pantang larang telah tumbuh dan berkembang dengan sangat suburnya dalam tradisi sosial dan budaya masyarakat tradisional. Bahkan dengan pantang larang, kelestarian dan keseimbangan alam lebih terjamin adanya.
Pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang, pantang larang masih mempunyai tempat yang cukup signifikan guna mengawal keseimbangan system sosial dan alam. Banyak dari masyarakat tradisional yang mempercayai pantang larang sebagai sesuatu yang pasti akan terjadi. Karena itu mereka mesti mematuhi segala pantang larang yang ada. Sebaliknya, kebanyakan masyarakat tidak berani meninggalkan pantang larang yang ada karena takut akan terjadinya bencana dan mala petaka pada mereka.
Sebagai suatu tradisi sosial dan budaya yang lahir dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, tentu saja pantangan tersebut bukan hanya larangan yang tanpa nilai, melainkan ada banyak pesan penting yang terkandung dalam setiap pantang larang itu. Bahkan nilai inilah yang sesungguhnya menjadi kandungan dalam setiap pantang larang yang ada. Penakutan dengan suatu bencana dan petaka tertentu hanya sebuah sarana atau strategy dalam memperkuat larangan yang ada dalam setiap pantang larang.
Wujudnya pantang larang dalam masyarakat mesti dilihat dan dinilai sebagai tatanan sosial dan etika yang mengatur kehidupan manusia dan alam sekitar, dalam komunitas masyarakat manapun itu, terutama pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang, Kapuas Hulu.

Beberapa bentuk Pantang Larang dalam Masyarakat
Ada banyak pantang larang yang hidup dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang, baik yang sepenuhnya masih diamalkan oleh mayoritas masyarakat, maupun yang sudah mulai diabaikan oleh generasi muda saat ini . Beberapa pantang larang tersebut dapat dilaporkan dalam bentuk tabel berikut:

No Pantang Larang Akibat apabila melanggarnya
1 Anak gadis tidak baik duduk di depan pintu menyebabkan balang tunangan.
2 Tidak boleh memotong kuku pada waktu malam Itu bermakna mendo`akan kematian orang tuanya.
3 Anak kecil tidak boleh makan kerak nasi menyebabkan anak itu akan tumbuh jadi orang yang bodoh/tidak cerdas.
4 Tidak boleh mengasah pisau waktu malam Sebab akan mengundang kedatangan hantu

5 Tidak boleh bersiul dalam rumah/diwaktu malam Sebab itu mengundang kehadiran hantu

6 Tidak boleh tidur memakai baju terbalik Sebab akan membuat tidur bermimpi buruk
7 Tidak boleh memanjat pokok pisang Sebab bisa menyebabkan kemaluannya membesar
8 Tidak boleh menatap pelangi dan mengacungkan telunjuk Sebab bisa membuat tangan buntung
9 Tidak boleh makan sambil berjalan Bisa menyebabkan sulit dapat rezeki
10 Tidak boleh melangkah al-qur`an Sebab dapat menyebabkan kembang perut pelakunya
11 Tidak boleh melewati di depan orang yang lagi shalat Sebab itu sama dengan melintasi api neraka
12 Tidak boleh kencing di sungai yang airnya tak mengalir Takut dimarah hantu
13 Tidak boleh kencing di batang pokok Sebab batang pokok itu tempat hantu berdiam
14 Tidak boleh meletakkan batu asah di atas tanah Bisa menyebabkan pekerjaan tak kunjung selesai
15 Tidak boleh memandang seseorang yang sedang buang air Nanti matanya tumbir (mengembang)
16 Tidak boleh mencampurkan telur ayam dengan ikan dalam satu masakan Bisa menimbulkan gatal-gatal pada orang yang memakannya
17 Tidak boleh menancap parang di atas tunggul (kayu) Bisa menyebabkan anak gagap bicara (kokah)
18 Tak boleh makan berbaring Mendo`akan orang tua meninggal
19 Tak boleh makan berjalan Takut isteri diambil orang
20 Tak boleh pergi pada saat orang lain sedang makan Sebab itu sama dengan menolak rezeki
21 Tak boleh baring telentang di tanah lapang Itu artinya mendo`akan diri cepat meninggal
22 Tak boleh baring/duduk di kelilingi orang-orang Mendo`akan diri cepat meninggal
23 Tak boleh menyapu/menyuci malam jum`at Membuat sukar dapat rezeki

24 Tak boleh memakaikan baju pada binatang Takut disambar petir
25 Tak boleh tertawa dengan binatang Takut kena sambar petir
26 Perempuan hamil dilarang mencela kekurangan orang lain Bisa berakibat jelek dengan bayinya (kenawa`)
27 Perempuan hamil tidak boleh memancing ikan Takut anaknya lahir sumbing (kenawa`)
28 Tidak boleh melangkah makam Bisa menyebabkan kembang perut

Sumber: Diskusi bersama anak-anak Ulu di Malay Corner, 18-03-2009.


Pesan Komunikasi dalam Pantang Larang
Secara umum, pesan yang ingin disampaikan dalam pantang larang masyarakat Melayu Kapuas Hulu bukanlah sebagaimana yang disebutkan langsung dalam pantang larang tersebut. Akibat yang disebutkan dalam pantang larang itu hanyalah untuk menimbulkan rasa takut untuk melanggar pantangan itu. Sebab umumnya masyarakat akan berusaha menghindarkan diri dari bala dan bencana yang mengancam. Substansi pesan yang sesungguhnya diinginkan dari komunikasi pantang larang itu adalah, apa yang ada dibalik pantangan tersebut. Atau sesuatu yang tidak disebutkan secara jelas dalam pantang larang itu.
Apa sebenarnya pesan komunikasi dalam pantang larang masyarakat, berikut ini uraian singkat berdasarkan senarai pantang larang yang berhasil dikumpulkan dalam tulisan ini.
Pantangan duduk di depan pintu pada anak gadis sebenarnya tidak ada kaitannya dengan balang tunang, melainkan perbuatan duduk di depan pintu itu sendiri memang tidak baik, kurang sopan, dan pastinya akan mengganggu bagi sesiapa saja yang mau keluar masuk rumah. Karena itu, untuk melarang anak gadis duduk di depan pintu maka diancamlah mereka dengan balang tunang.
Tidak boleh memotong kuku pada waktu malam juga tidak ada hubungannya dengan kematian orang tuanya. Larangan memotong kuku di waktu malam karena dikhawatirkan akan membahayakan diri sendiri. Suasana malam yang gelap di kampung, dikhawatirkan akan terluka dan sebagainya. Makanya lebih baik motong kuku pada waktu siang saja yang terang dan sebagainya. Itulah inti pesan dari larangan ini.
Anak-anak tidak boleh makan kerak nasi juga tidak ada hubungan langsung dengan kebodohan dan kecerdasannya. Meskipun secara tidak langsung mungkin saja paktor makanan yang baik dan bergizi akan berpengaruh terhadap perkembangan jasmani seorang anak, dan larangan tersebut sebagiannya ada kaitan dengan pantangan ini. Akan tetapi yang pasti, kerak nasi itu sangat enak rasanya, karena itu kebanyakan orang-orang yang lebih tua senang memakannya. Supaya tidak direbut oleh anak-anak, maka pantang larang seperti ini diingatkan terus kepada mereka (anak-anak).
Pantangan mengasah pisau waktu malam sebenarnya mengandung pesan bahwa mengasah pisau diwaktu malam dapat membuat si pengasah itu terluka, maklum malam itu gelap dan waktunya orang istirahat. Karena itu mengasah pisau diwaktu malam itu dilarang dengan ditakut-takuti akan ancaman kedatangan hantu. Begitupun bersiul dalam rumah/di malam hari memang tidak baik dan mengganggu orang-orang yang sedang beristirahat. Pesan dari pantang larang tersebut lebih bersifat etika dan akhlak terhadap orang lain yang mau bersitirahat. Hampir sama dengan pantangan itu adalah larangan tidur memakai baju terbalik. Pantang larang ini lebih merupakan sarana komunikasi yang membawa pesan etika dan kepatutan seseorang dalam berpakaian.
Kemudian pantang larang memanjat pokok pisang yang dapat menyebabkan kemaluannya membesar sebenarnya tidak ada kaitannya secara langsung. Pantangan ini hanya untuk menakut-nakuti saja untuk memanjat pokok pisang. Pisang itu merupakan pokok yang lemah batangnya dan mudah tumbang/patah. Karena itu memanjat pokok pisang sangat berbahaya, karena ia tidak kuat dipanjat. Untuk itulah ancamannya adalah kembangnya kemaluan, yang semua orang pasti tidak mau terjadinya kondisi ini.
Tidak boleh menatap pelangi dan mengacungkan telunjuk, sebab bisa membuat tangan buntung. Pantang larang ini lebih banyak membawa pesan kesehatan. Dimana menatap sinar terang secara langsung yang dikuatkan dengan simbul menunjuk dapat membahayakan kesehatan mata dan sebagainya.
Tidak boleh makan sambil berjalan, bisa menyebabkan sulit dapat rezeki juga lebih bermakna supaya kita bisa menghargai rezeki yang telah diberikan oleh Allah Swt. Jadi pantang larang ini mengandung pesan etika dan akhlak makan yang baik, yang seharusnya duduk, diam dan dinikmati secara seksama.
Tidak boleh melangkah al-qur`an, sebab dapat menyebabkan kembang perut pelakunya. Larangan ini pada pokoknya mengandung pesan untuk menghormati al-qur`an sebagai kitab suci umat Islam. Karena itu al-qur`an tidak sepatutnya dilangkah, untuk itulah akibat yang berat diancam kepada orang yang tidak menghargai al-qur`an dengan baik. Pantangan ini hampir sama dengan larangan melewati di depan orang yang lagi shalat, sebab itu sama dengan melintasi api neraka. Larangan ini lebih banyak membawa pesan etika dan penghormatan kepada orang yang sedang beribadah menghadap Allah melalui shalatnya. Karena itu harus dihormati.
Sementara itu larangan kencing di sungai yang airnya tak mengalir dan di batang pokok lebih bermakna perhormatan dan etika terhadap alam. Sebab mungkin saja di dalam air yang tidak mengalir atau di batang pokok ada makhluk lain yang hidup yang akan terganggu dengan air kencing itu. Apalagi jika air tergenang yang sudah dikencingi lalu diminum oleh binatang atau bahkan manusia lain, akan menjadi penyakit dan tentu saja tidak sehat. Penghormatan terhadap alam juga dapat dipahami dalam pantang larang meletakkan batu asah di atas tanah sebab dapat menyebabkan pekerjaan tak kunjung selesai. Batu yang diletakkan langsung di atas tanah sebenarnya dapat menghambat pertumbuhan dan kesuburan tanaman. Karena itu perilaku ini dilarang. Dan untuk keefektipan larangan ini, diingatkanlah ancaman seperti itu. Itulah beberapa makna pesan yang sebenarnya terkandung dalam pantang larang masyarakat Melayu.
Untuk lebih jelasnya melihat pesan komunikasi yang terkandung dalam semua pantang larang yang ada dalam masyarakat Melayu di Kapuas Hulu, berikut akan ditampilkan dalam bentuk senarai tabel.

No Pantang Larang Kandungan Pesan
1 Anak gadis pantang duduk di depan pintu
sebab bisa menyebabkan balang tunang Etika dan akhlak dalam rumah tangga
2 Tidak boleh memotong kuku pada waktu malam
Sebab itu mendo`akan orang tua mati Khawatir bahaya dan terluka
3 Anak kecil tidak boleh makan kerak nasi
Takut anak akan tumbuh jadi orang bodoh Kesehatan dan strategy komunikasi
4 Tidak boleh mengasah pisau waktu malam
Sebab akan mengundang kedatangan hantu Khawatir bahaya dan terluka
5 Tidak boleh bersiul dalam rumah/diwaktu malam
Sebab akan mengundang kedatangan hantu Etika dan penghormatan kepada sesame
6 Tidak boleh tidur memakai baju terbalik
Sebab akan membuat tidur bermimpi buruk Etika dan kepatutan
7 Tidak boleh memanjat pokok pisang
Dapat menyebabkan kemaluan kembang Khawatir bahaya
8 Tidak boleh menatap pelangi dan mengacungkan telunjuk, bisa membuat tangan buntung Kesehatan mata untuk tidak menatap cahaya terang
9 Tidak boleh makan sambil berjalan, bisa menyebabkan sulit dapat rezeki Akhlak dalam rumah tangga
10 Tidak boleh melangkah al-qur`an
sebab bisa menyebabkan kembang perut Penghargaan terhadap kitab suci
11 Tidak boleh melewati di depan orang yang lagi shalat, sama dengan melangkah api neraka Menghormati orang yang sedang beribadah
12 Tidak boleh kencing di sungai yang airnya tak mengalir, sebab hantu akan marah Etika dan penghormatan terhadap alam
13 Tidak boleh kencing di batang pokok, sebab pokok batang itu tempat hantu berdiam Etika dan penghormatan terhadap alam
14 Tidak boleh meletakkan batu asah di atas tanah, bisa menyebabkan pekerjaan tak kunjung selesai Etika dan penghormatan terhadap alam
15 Tidak boleh memandang seseorang yang sedang buang air, nanti matanya tumbir (mengembang) Untuk kesopanan dan memelihara pandangan
16 Tidak boleh mencampurkan telur ayam dengan ikan dalam satu masakan, bisa menimbulkan gatal-gatal Untuk kesehatan makanan
17 Tidak boleh menancap parang di atas tunggul
Bisa menyebabkan anak gagap bicara (kokah) Menghindari kemungkinan bahaya/terluka
18 Tak boleh makan berbaring
Mendo`akan orang tua meninggal Etika atau akhlak makan
19 Tak boleh makan berjalan
Takut isteri diambil orang Etika atau akhlak makan
21 Tak boleh pergi pada saat orang lain sedang makan
Sebab itu sama dengan menolak rezeki Etika penghormatan dan penghargaan sesame
22 Tak boleh baring terlentang di tanah lapang
Mendo`akan diri cepat meninggal Kesehatan dan etika hidup
23 Tak boleh baring/duduk di kelilingi orang-orang
Mendo`akan diri cepat meninggal Etika sosial dalam kehidupan
24 Tak boleh menyapu/menyuci malam jum`at
Membuat sukar rezeki Penghargaan terhadap malam sayyidul ayyam
25 Tak boleh memakaikan baju pada binatang
Takut disambar petir Etika dan kepatutan
26 Tak boleh tertawa dengan binatang
Takut kena sambar petir Etika dan kepatutan
27 Perempuan hamil dilarang mencela kekurangan orang lain, bisa berakibat jelek dengan bayinya Empati dan perhargaan sesame
28 Perempuan hamil tidak boleh memancing ikan
Takut anaknya lahir sumbing Menjaga diri dan kandungan dengan baik
29 Tidak boleh melangkah makam
Bisa menyebabkan kembang perut Penghormatan kepada ahli kubur (sesame muslim)

Sumber: Diskusi anak-anak Ulu di Malay Corner, 18-03-2009.

Kearifan Komunikasi yang dibangun
Istilah kearifan komunikasi (wisdom of communication) sejujurnya tidak ditemukan dalam kajian komunikasi umum. Dalam komunikasi umum hanya dikenal istilah keefektifan komunikasi atau efectively of communication (Dedy Mulyana, 2003) atau komunikasi yang saling dipahami atau understood of communicate (Devito, 1997). Istilah kearifan komunikasi digunakan untuk menunjukkan bahwa sebuah komunikasi yang baik tidak hanya diukur dari keberhasilan menyampaikan pesan dengan baik hingga menimbulkan pemahaman yang sama diantara partisipan, melainkan juga mesti melihat proses yang dijalankan. Kearifan komunikasi coba menampilkan hasil dan proses secara bersamaan. Bahkan dalam konteks komunikasi pantang larang, proses telah menjadi kekuatan untuk mengantarkan pada keberhasilan penyampaian pesan komunikasi itu sendiri.
Pantang larang dalam masyarakat Melayu, sebagaimana digambarkan di atas jelas menunjukkan bahwa bukan apa yang dipantang dan apa yang dilarang itu sebagai pokok pesan yang diinginkan, melainkan ada pesan lainnya yang lebih penting dan mendalam yang diharapkan dengan pantang larang tersebut. Disinilah komunikasi yang dibangun oleh orang-orang tua begitu arif terhadap anak-anaknya. Mereka dapat melakukan sesuatu dengan cara menakutinya dengan sesuatu yang lain.
Menakutkan dengan ancaman bencana dan petaka apabila melakukan sesuatu yang dipantang dan dilarang sebenarnya hanya untuk sarana dan strategy komunikasi saja. Sebab umumnya manusia lebih mudah dilarang melakukan sesuatu dengan cara ditakuti terlebih dahulu. Sebagai contoh pantang larang yang tidak membolehkan anak gadis duduk di depan pintu, takut balang tunang. Dalam pantang larang tersebut, sebenarnya dapat kita pahami bahwa tidak ada kaitan antara duduk di depan pintu dengan balang tunang. Duduk di depan pintu adalah satu hal, dan balang tunang merupakan hal lain lagi dan berbeda. Penakutan itu ditradisikan sebab umumnya manusia tidak mau balang tunang. Semua orang berharap tunangannya akan berlangsung ke pernikahan dan tidak berhenti di tengah jalan (balang). Karena itu diharapkan setiap orang takut untuk duduk-duduk di depan pintu.
Apa makna sebenarnya yang ingin disampaikan dalam pantang larang yang demikian. Duduk di depan pintu adalah sesuatu yang mengganggu. Ia bisa menghambat dan menggangu sesiapa yang mau keluar masuk rumah. Karena itu duduk di depan pintu itu tidak dibenarkan untuk dilakukan. Melarang dengan cara langsung kepada anak-anak untuk tidak duduk di depan pintu dikhawatirkan tidak didengarkan dan dipatuhi, makanya disampaikan ancaman dan penakutan tersebut, supaya anak-anak tidak lagi duduk di depan pintu. Disinilah tampak betapa arif dan bijaksananya para orang-orang tua dalam memberikan pelajaran, bimbingan dan etika kepada anak-anaknya melalui pantang larang yang mereka buat sendiri, dan akhirnya mentradisi dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang.
Begitulah seterusnya dalam setiap pantang larang yang ada dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang, pasti memiliki pesan terdalam yang lebih penting dari sekedar apa yang disebutkan dalam pantang larang itu. Kemampuan menyampaikan pesan bimbingan dan pendidikan inilah yang merupakan satu kearifan komunikasi yang telah dibangun oleh masyarakat Melayu di Nanga Jajang hingga hari ini.

Penutup
Akhirnya, kemampuan menciptakan strategy dan melakukan inovasi dalam menyampaikan pesan komunikasi akan menjadi penentu bagi keberhasilan dari seluruh proses komunikasi yang dilangsungkan. Pantang Larang yang hidup dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang merupakan satu bentuk strategy dan inovasi untuk mencapai keberhasilan terhadap pesan apa yang diinginkan dari komunikasi yang dilakukan. Sebab dengan pantang larang ini secara sadar ataupun tidak, telah turut mempengaruhi perilaku seseorang untuk mengikuti apa yang diinginkan dari proses komunikai itu sendiri. Disinilah terlihat bahwa adanya kearifan masyarakat Melayu dalam membangun komunikasi guna memelihara, melestarikan dan menjaga kesimbangan hubungan social dan alam kehidupan mereka. Kearifan komunikasi seperti itu menjadi semakin penting dilakukan dalam membangun hubungan sosial dan komunikasi generasi bangsa yang lebih cendrung kepada trend globalisasi dan liberalisasi saat ini. Wallahu a`lam.












Bibliography

Dedy Mulyana. 2003. Komunikasi Efektif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Devito, Yoseph.D. 1997. Komunikasi Antarmanusia. (terjemahan), Jakarta: Professional Books.

Enthoven, J.J.K. 1903. Borneo Wester-Afdeeling, Leiden, Boekhandel En Drukkerij voorheen E.J.Brill, Deel I.

Ibrahim MS. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya. Pontianak: STAIN Press.

Ibrahim MS. 2008. Kearifan dalam Tradisi Buma. Makalah Seminar Kearifan Lokal dalam Pemelihara Alam yang disponsori Fleghty dan PSBMB Kalimantan Barat. Lihat dalam Blog: baimstain.blogspot.com.

King, Victor.T. 1993. The Peoples of Borneo. United Kingdom: Blakwell Published.

Marisa. 2008. Pantang Larang dalam Budaya Sambas. Makalah Seminar Kearifan Lokal dalam Pemelihara Alam yang disponsori Fleghty dan PSBMB Kalimantan Barat.

Nieuwenhuis. 1894. Di Pedalaman Borneo. Edisi Terjemahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Borneo Research Council Indonesia.

Stienfatt dan Rogers. 1989. Intercultural Communication. Waveland Press: USA

Senin, 09 Maret 2009

SEMINAR PEMERKASAAN ISLAM

sebuah catatan perjalanan mengikuti Seminar Serantau Perkembangan Islam di Borneo.

Tanggal 4 s/d 5 maret yang lalu saya berkesempatan mengikuti Seminar Serantau Perkembangan Islam (SSPI) di Borneo yang dilaksanakan oleh Universiti Teknologi Mara (UiTM) Malaysia Sabah, berkerjasama dengan UiTM Malaysia Sarawak dan CITU Sarawak.
Pada seminar tersebut, saya bersama Ismail Ruslan dari STAIN Pontianak berkesempatan untuk untuk membentangkan makalah tentang Islam di Kalimantan Barat. kami berdua mendapat jadwal pembentangan pertama kali pada hari pertama. singkat kata saya dan Ismail menjadi pembicara pembuka pada seminra tersebut.
Layaknya sistem yang dikembangkan di Malaysia, seminar kami dibagikan dalam empat ruangan yang berbeda sesuai dengan tema kajian/makalah yang akan dibentangkan. saya mengkaji tentang Peranan Masjid dalam pembinaan Jama`ah berada pada ruangan yang berbeda dengan Ismail yang menulis tentang Ekonomi orang Melayu (kajian ekonomi Islam).
Sungguh terkejut ketika saya mendapati jadwal pembentangan yang pertama kali pagi itu. saya melihat ruangan sudah dipenuhi oleh peserta seminar. saya pun melaksanakan tugas untuk membentang makalah pagi itu. seperti biasa, selesai presentasi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. begitulah seterusnya kegiatan seminar kami berlangsung.
Pada malam harinya, sekali lagi saya bersama Islamil mendapatkan kehormatan untuk menghadiri undangan makan malam bersama Ketua Menteri Sabah (Gubernurnya di Indonesia). kami berdua diundang sebagai wakil dari Indonesia dalam seminar tersebut. bahkan sebagai wakil Indonesia, kami diminta memberikan kata sambutan bersamaan dengan wakil Brunei Darussalam (Pehin) dan Ketua Menteri (Tun) itu sendiri.
Momen Seminar kali ini betul-betul membuat saya merasa tersanjung. begitu besar penghargaan yang diberikan atas nama kajian Islam. bahkan karena kajian Islam ini kehadiran kami semua terasa sangat berarti dimata semuanya. ini dapat dipahami dengan besarnya perhatian saudara-saudara kita yang ada di Malaysia dan Brunei dengan Keislaman.
Seminar serantau (SSPI) ini sesungguhnya sudah dilaksanakan selama dua kali (sejak tahun 2008 di UiTM Malaysia Sarawak). untuk itu ada harapan besar dari inisiator program di Malaysia untuk menjadikan STAIN Pontianak (Indonesia) sebagai tuan rumah penyelenggaraan Seminar ini.
Kesempatan saya mengikuti dan membentang makalah pada seminar tersebut merupakan pengalaman paling berharga saya dalam melihat perkembangan Islam di Borneo, suatu kesempatan untuk berdiskusi dan berbagi informasi mengenai Islam bersama pengkaji, pemerhati, akademisi dan praktisi Islam di seluruh Borneo (yang terdiri dari Malaysia mayoritasnya, Indonesia dan Brunei Darussalam). hasil kajian dari seminar ini selanjutnya akan diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan kajian yang diberi judul ISLAM DI BORNEO. semoga persuadaraan umat Islam semakin kuat dengan momentum seperti ini, dan kejayaan Islam terus dapat diraih dan wudujkan dalam kehidupan nyata ummatnya dimanapun berada, khususnya di Borneo (Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam). wallahu a`lam.

Sabtu, 14 Februari 2009

Kearifan Lokal dalam Komunikasi

Seri tulisan Catatan FGD
Penelitian Promosi Perdamaian di Kalimantan Barat

Kesimpulan lengkap dari hasil penelitian ini sudah diterbitkan dalam Alpha Amirrachman (ed).2007. "Revitaslisasi Kearifan Lokal" yang diterbitkan oleh ICIP dan EU, Jakarta.

Pendahuluan
Meskipun diperlukan pengkajian yang lebih baik untuk memberikan penafsiran dan pemaknaan yang tepat dengan istilah kearifan lokal (local wisdom), namun dapat dipastikan bahwa istilah tersebut menggambarkan pada sesuatu yang dianggap baik, di sepakati sebagai nilai – nilai luhur dan dijadikan aturan dan norma dalam masyarakat lokal. Oleh karenanya batasan wilayah, masyarakat, agama, adat dan etnis dengan sendirinya menjadi batasan nilai – nilai kebajikan yang disebut kearifan lokal (local wisdom) itu.
Dengan kata lain, setiap komunitas (etnis, agama, daerah) tersebut pasti memiliki nilai – nilai luhur tertentu yang dipandang baik, dijadikan aturan dan norma sosial, minimal dalam komunitas itu sendiri. Nilai – nilai inilah yang mengikat masyarakat dalam komunitas tertentu dengan damai, harmonis, bersahabat, saling menghargai dan menghormati, saling membantu satu sama lain, bahkan turut menciptakan peradaban dalam sejarah komunikasi sosial manusia. Kenyataan ini mesti disadari sebagai salah satu kekuatan alamiah yang tumbuh dari dan untuk masyarakat itu sendiri. Karenanya, kekuatan ini sangat baik dan penting untuk diperkuat kembali posisinya dalam rangka mewujudkan kedamaian dalam hubungan sosial, di samping penegakan hukum positif dan managemen penyelenggaraan pemerintahan nasional.
Upaya menggali kearifan lokal dalam masyarakat untuk membangun harmonisasi dalam komunikasi dan hubungan sosial mendapat sambutan yang antusias dari berbagai elemen masyarakat etnis dan agama. Ini terlihat dari kesepahaman mereka dalam melihat kearifan lokal untuk kedamaian dalam masyarakat, yang sesungguhnya ada dalam setiap etnis, berikut kesimpulan pernyataan :
“Setiap etnis memiliki kearifan lokal, baik dalam bentuk pantun, pepatah, pribahasa, ungkapan, adat istiadat dsb (Yusriadi, Suriyanto, Hermansyah & Albertus). Sebagai contoh etnis melayu (umumnya) mempunyai pepatah “di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung” . ungkapan ini sangat populer dalam masyarakat Melayu Kalimantan Barat sebagai keharusan untuk menghormati tata krama, adat istiadat, nilai – nilai anutan dan budaya setempat. Dalam etnis Tionghoa Kalbar juga dikenal ungkapan – pepetah – pribahasa “ jip kang sui suan, jip koi sui nyak” yang artinya kira – kira “ jika masuk sungai harus sesuai belokannya, masuk kampung harus sesuai adat setempat” (Suriyanto). Ungkapan ini juga mengandung pilosofi komunikasi yang saling menghargai, menghormati dan menjunjung perbedaan dalam masyarakat”.

Bagian dari kearifan lokal yang harus dipahami oleh setiap kita dalam menciptakan dan memelihara kedamaian dalam komunikasi dan hubungan sosial adalah kemampuan untuk memahami diri kita sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada yang dilebihkan satu dengan yang lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah adat, baik dalam bentuk kebiasaan yang ada dalam masyarakat maupun sebagai hukum yang dipatuhi. Sebagai sebuah kebiasaan, ia senantiasa hidup dalam diri dan hubungan sosial masyarakat adat, akan tetapi sebagai hukum yang dipatuhi, adat merupakan kesepakatan yang ditegakkan melalui lembaga adat. Karenanya adat suatu masyarakat (etnis, agama dll) mungkin saja – bahkan pasti memiliki perbedaan dengan masyarakat (etnis, agama) lainnya. Di sinilah kita mesti kembali ke konsep dasar manusia dan fitrah sosialnya. Pernyataan ini dapat dilihat dalam ungkapan salah satu narasumber diskusi yang berasal dari etnis Tionghoa (Suryanto) :
“Saya kira saya akan memulai dengan pendapat saya bahwa kita ini harus meluruskan pandangan kita dulu terhadap sesama. Bagi saya, kita perlu menekankan bahwa kita harus memandang orang lain sebagai ciptaan, atau sebagai manusia. Pandanglah orang lain itu sebagai manusia. Toleransi adalah yang penting, pandangan parsial itu harus disigkirkan. Kalau ini bisa dimasyarakatkan pada setiap orang di sekitar kita, saya yakin konflik tidak akan berlarut larut dan akan cepat diselesaikan.
Mengenai kearifan lokal, sebaiknya kita merangsang para pemimpn kita, baik di lingkungan pemerintah maupun di ligkungan kelompok masyarakat kita untuk memulai memberikan contoh dan memulai untuk mempraktekannya agar masyarakat meniru. Dengan dimulai dari contoh para pemimpin itu, maka masyarakat akan segera meniru mereka untuk hal-hal yang positif. Dalam tradisi masyarakat Tionghoa ada juga semboyan hidup yang hampir sama maknanya dengan yang dimiliki oleh orang Melayu, dimana bumi dipijak, disitu langit dijujung. Begini bahasa Cinanya, ini dalam bahasa Cina Tou Chu, Jip Kang Sui Swan, Jip Koi Sui Nyak. Artinya dalam Bahasa Indonesia adalah: Masuk ke sungai harus mengikuti arah belokan sungai itu, masuk kampong harus mengikuti adat yang berlaku disitu. Ini saya kira bisa berlaku untuk siapa saja, kalau seseorang bisa melakukan ini, saya yakin masyarakat kita akan selalu berdamai. Dalam kata lain, prinsip hidup ini dapat diadopsi di manapun kita berada dan oleh siapapun.
Berbicara mengenai konflik, di Kalbar ini konflik yang terjadi adalah karena kepentingan kepentingan tertentu. Masalah kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan itu kemudian dibesar-besarkan dan menjadi alat kepentingan yang melebar mejadi luas. Kepentingan tertentu inilah yang membuat konflik menjadi besar dan melibatkan orang banyak. Kalau saja semua masyarakat kalbar melaksanakan dengan benar pepatah kita tadi, pasti konflik itu segera bisa diatasi dan tidak menjadi besar”.

Yang menjadi persoalan lebih lanjut, hukum adat tidak hanya tidak di tegakkan secara benar, bahkan dimanipulasi oleh berbagai kepentingan, termasuk oleh elit komunitas itu sendiri. Sehingga jadilah seakan –akan hukum adat tidak baik, tidak adil, dan mesti dihilangkan. Di sisi lain, hukum positif sebagai bagian dari konsekuensi sebuah negara berdaulat juga tidak bisa di jalankan dengan baik dan benar, penegakan hukum lemah, tidak jarang hukum diterapkan dengan pandang bulu. Sementara itu dengan alasan hukum positif, hukum adat dibatasi bahkan tidak diakui otoritas. Akibatnya adalah masyarakat krisis hukum, mereka kehilangan otoritas nilai – nilai yang dijadikan anutan, pedoman bahkan pandangan hidup dan regulasi sosial. Jadilah masyarakat hidup dalam krisis hukum, kepercayaan, yang berujung pada upaya menciptakan hukum dan aturan sendiri, main hakim sendiri, dan menyelesaikan persoalan dengan cara sendiri pula. Oleh karenanya hukum adat sebagai salah satu kearifan lokal patut untuk diperhatikan dan diangkat kembali dalam upaya membangun dan memelihara kedamaian dan mencegah konflik. Ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh salah satu narasumber dari etnis Melayu (Hermansyah) berikut ini :
“Pemberlakuan hukum adat menurut saya juga sebuah solusi yang tepat, karena hukum adat terdapat di setiap daerah. Jika setiap daerah memberlalukan itu dengan benar, maka pelanggaran-pelanggaran yang merupakan sebab terjadinya konflik bisa dipangkas segera. Hukum adat harus ditegakkan dan diundangkan sebagai hukum yang mengikat. Paling tidak, hukum adat sangat tepat untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran sosial dan mencegah terjadinya konflik berkepanjangan.
Pertanyaan yang muncul adalah, hukum adat sekarang tidak bisa ditegakkan karena tidak dipatuhi oleh masyarakatnya. Ini mesti dicari jawabannya, mengapa? Salah satu sebabnya adalah bahwa hukum adat dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia pernah tidak diakui sebagai hukum yang berlaku. Nah ini lah yang membuat hukum adat tidak dipatuhi oleh masyarakat dalam beberapa kurun waktu. Kalau pada masa terjadinya konflik, hukum positif juga tidak mampu menyelesaikan persoalan, maka bagaimana masyarakat akan merasa aman dengan hukum positif. Pangkal pemicu konflik justru ada pada kelemahan hukum positif kita dalam menangani kasus konflik kecil itu. Nah kalau hukum adat bisa ditegakkan dan dapat mengikat para anggota masyarakatnya, maka kasus-kasus perselisihan akan dapat diselesaikan cepat, dan tidak akan mengarah pada konflik masal”.

Begitu pentingnya peran kearifan lokal yang ada dalam masyarakat kita untuk membangun kedamaian dan mencegah konflik sosial dalam masyarakat sebagaimana dalam pengalaman sosial di kalbar, juga diungkapkan oleh seorang ilmuan dan aktivis Dayak Kalbar (Albertus) sebagai berikut :
“Sebagai sebuah alternatif, saya sangat senang ketika diskusi ini mengangkat masalah kearifan lokal. Saya justru benar-benar tersentak ketika memikirkan bahwa kearifan lokal yang kita miliki ini saya pikir dapat berfungsi dengan baik. Ini sebuah potensi positif. Hukum Adat menurut saya menjadi sebuah alternatif untuk ini. Inti persoalan kita sebenarnya adalah masyarakat kita menghendaki keadilan dalam semua hal. Mereka juga menghendaki perdamaian dan hidup tenang. Hukum positif pada saat konflik tidak mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul karena tidak ditegakkan. Hukum adat ini jika ditegakkan akan mampu menjawab dan memberikan keadilan bagi masyarakatnnya. Mengapa? Karena Hukum adat itu sendiri mengikat pada masyarakat adatnya untuk mematuhinya. Hukum adat ini juga bisa mengatasi perselisihan dan memberikan keadilan dalam pembagian aset sumberdaya alam yang menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat kita. Hukum adat ditegakkan dan diundangkan sebagai hukum yang berlaku di wilayah sesuai dengan daerah wilayah adatnya akan menjadi sebuah solusi yang paling menarik”.

Persoalan lainnya yang juga penting dilihat dalam kontek pemberdayaan hukum adat sebagai kearifan lokal yang dipandang mampu mengawali proses mewujudkan kedamaian dalam hubungan sosial dan komunikasi antar masyarakat adalah pada wilayah pemberlakuannya, selain penegakan hukum itu sendiri. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh salah satu tim lapangan (Juani) berikut ini :
”Saya baru pulang dari kampung dan bertemu tokoh adat Dayak. Ada beberapa hal yang pelu saya sampaikan disini. Sebenarnya Adat Dayak dikampung itu hanya untuk orang Dayak saja dan kalau orang lain datang di kampung ini maka mereka harus mengikuti adat di sini. Sebenarnya hukum adat Dayak itu sangat perlu diterapkan di sini, tapi hukum adat yang benar. Masalahnya sekarang adat itu bisa diperjual-belikan. Ada orang kampung yang semaunya saja mengatas-namakan adat untuk mencari uang. Inilah yang merusak adat itu sendiri. Orang Dayak sendiri sangat tidak suka dengan konflik. Maka mereka menginginkan berlakunya hukum adat Dayak dengan benar agar tidak ada konflik. Inilah sebenarnya yang merak inginkan. Mengenai mangkok merah dan Tariu, ini saya dapatkan langsung dari kepala adat di kampung saya tadi. Mangkok merah itu menjadi simbol persatuan orang Dayak. Kalau mereka sudah melihat Mangkok merah, maka mereka harus bersatu dan siap melawan musuh. Mangkok merah itu terdiri dari mangkok, bulu, dan abu. Maknanya mangkok merah sebagai sebuah wadah untuk bersiap-siap melawan musuh, bulu ayam melambangkan agar pesan itu disampaikan kepada seluruh orang Dayak secepat mungkin, dan bara api itu artinya untuk penerangan. Tali kepuak sebagai pengikat semua bahan tadi sebagai simbol persatuan seluruh orang Dayak”.


Hal senada juga diungkapkan oleh narasumber lainnya (Subro), yang menyebutkan bahwa Madura sebagaimana etnis lainnya di Kalbar juga memiliki kearifan lokal yang mengandung nilai–nilai/pesan–pesan damai, menyejukkan dan penuh keramahan. Kalau dalam etnis Melayu ada kearifan lokal pantun, etnis Madura juga memiliki lagu–lagu/nyanyian–nyanyian yang mengandung pesan damai, berikutnya pernyataannya :
”Dalam menyikapi kondisi ini, saya kira kearifan lokal yang sudah disebut tadi sangat menarik untuk difungsikan kembali. Saya melihat tradisi pantun oleh orang Melayu itu sebagai tradisi sebagai rumpun. Dalam masyarakat kami yang keturunan Madura itu juga memiliki lagu-lagu yang kalau kita kaji berfungsi seperti pantun dalam masyarakat Melayu. Ini sangat baik untuk membantu memahami budaya lain dan meningkatkan hubungan antar kelompok masyarakat. Ini bisa juga untuk menangkal ”ketamakan“ yang mungkin tadi disebut sebagai kapitalisme. Saya yakin benar bahwa konflik yang terjadi di kalbar ini adalah karena ketamakan-ketamakan itu. Kalau kita belajar dari kehidupan orang-orang keturunan Madura yang hidup berdampingan dengan damai bersama orang Dayak di daerah Korek & Retok di Sungai Ambawang dan sekitarnya itu, sebenarnya kita tidak perlu khawatir dengan konflik lagi kedepan. Justru isu etnis yang sekarang marak itu digunakan orang dan mampu untuk meningkatkan bargaining position dalam perpolitikan mereka. Sebagai contoh saja banyak elite dari tokoh etnis Dayak, Madura, dan Melayu yang menggunakannya dalam pilkada, mereka bisa menghakimi bahwa sesuatu itu karena etnis tertentu, atau mereka masih memiliki budaya superioritas sehingga memperjuangkan etnisnya-lah yang harus memimpin daerah ini. Saya kira Gerry Van Klinken (Peneliti) sudah membuat pemetaan elite etnis yang tepat dalam kancah perpolitikan Kalbar ini. Konflik-konflik itu pada hakikatnya adalah konflik yang disimbolkan, konflik yang melibatkan orang yang pakai clurit dan pakai mandau maka disebutlah konflik Dayak dan Madura. Padahal sesungguhnya konflik itu hanya konflik antara seorang Madura dan Seorang Dayak. Stereotip terhadap Suku dan etnis ini juga yang menjadi sebab meluasnya konflik menjadi besar” .

Di antara kearifan lokal lainnya yang menarik untuk dikaji adalah tradisi tutur atau cerita pada masyarakat pedalaman Kalbar. Dimana dalam tradisi tutur dan cerita tersebut banyak sekali terkandung nilai–nilai/pesan–pesan kedamaian, keindahan dan harmonisasi hubungan sosial. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang narasumber FGD yang berasal dari etnis Melayu dan peneliti pada Pusat Bahasa Kalimantan Barat. Beliau (Dedi Ari Aspar) memberi pandangan sebagai berikut :
”Konflik terjadi di Kalbar ini juga karena hukum memberi ruang kepada konflik untuk terjadi, dalam arti hukum tidak ditegakkan sehingga masalah kecil bisa menjadi masalah besar. Ini saya kira sudah dibicarakan teman-teman semua.
Satu hal lagi yang menjadi masalah dalam kepemimpinan daerah ini adalah bahwa ketokohan, atau leadhership kita sangat lemah. Tradisi ketokohan kita telah merosot karena selama orde baru tokoh-tokoh politik didominasi oleh militer dan dipilih oleh pemerintah. Kanyataan ini menimbulkan pengaruh pada tokoh-tokoh kita saat ini. Mereka itu ada yang benar-benar tokoh, tapi banyak juga yang menokohkan diri sehingga tidak berbasis pada masyarakat. Saya kira kita punya masalah serius dalam leadhership ini. Pemberlakuan adat akan efektif kalau didukung oleh ketokohan yang berbasis pada masyarakat adat itu. Saya kira karifan lokal atau local leadhership ini yang perlu dikuatkan kembali.
Kearifan lokal lainnya yang sangat menarik untuk dikembangkan adalah tradisi tutur atau cerita di kalangan masyarakat Kalbar. Tradisi ini sangat penting dan efektif dalam pembelajaran masyarakat yang tidak hanya pada sejarah, budaya, dan tradisi mereka, tetapi juga etika dan prilaku sehari-hari dalam berhubungan dengan orang lain, dan masyarakat umum. Bagaimana menghargai dan menghormati orang lain sangat ditekankan dalam tradisi tutur ini. Dalam penelitian saya, tradisi tutur ini bertujuan untuk mendidik anak, dan masyarakat untuk belajar menciptakan kedamaian dalam kehidupan mereka. Masalahnya sekarang adalah bahwa tradisi lisan itu sudah mulai pudar digantikan oleh tradisi baru menonton TV. Pengaruh TV ini sekarang mendominasi tradisi cerita itu. Cerita sudah tidak lagi lewat lisan, tetapi sudah divisualisasi. Pengaruh Modernisasi dan budaya global menjadi sulit dihindarkan. Tetapi saya yakin budaya lisan pun sangat efektif jika difungsikan lagi dengan bentuk yang disesuaikan dengan kondisinya“ .

Dari sisi yang sedikit berbeda Direktur Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB) Dr. Yusriadi melihat bahwa pada dasarnya setiap kita memiliki kearifan lokal masing–masing, hanya saja persoalannya kita tidak saling tahu dan mengenal kearifan lokal tersebut. Akibatnya tentu saja tidak mampu untuk saling memahami dan menghormatinya sebagai tata aturan hidup dan hubungan sosial yang damai dan harmonis. Karena itu diperlukan komunikasi yang intensif antarkomunitas untuk saling memahamkan kearifan lokal tersebut. Dalam hal ini media masa bisa difungsikan sebagai sosialisasi dan komunikasi kearifan lokal tersebut. Berikut petikan pernyataannya :
“Saya yakin bahwa kita memang memiliki kerifan lokal, bahkan banyak. Tapi yang penting sekarang adalah bagaimana mengkaji itu dengan baik, dan mempublikasikan atau mengkomunikasikannya. Maka media harus difungsikan untuk tujuan ini. Media harus bisa diperankan sebagai alat untuk menunjukkan dengan benar kearifan lokal ini. Sebagai contoh kearifan lokal mengayau. Media harus bisa menjelaskan apa dan bagaimana mengayau itu sehingga orang tau dan bisa mengambil kesimpulan yang benar. Saya kira media membutuhkan para peneliti untuk itu dalam fungsinya untuk memperkenalkan dan menjelaskan kearifan lokal yang kita miliki“.

Bagian dari hal yang harus dipahami dalam rangka mengangkat kearifan lokal dalam upaya menciptakan dan memelihara kedamaian dalam hubungan sosial masyarakat adalah perbaikan konsepsi dalam memandang manusia itu sendiri. Sekretaris Majlis Agama Konghuchu Indonesia (TAMAKIN) mengungkapkan hal itu dalam diskusi penelitian:
“Saya ingin menegaskan kembali bahwa kita perlu kembali pada penciptaan manusia. Ini sangat penting karena kita perlu mimikirkan bahwa kita memang tidak pernah bisa meminta dimana kita akan diciptakan. Saya tidak pernah minta untuk lahir sebagai orang Tionghoa. Dan saya yakin saudara sekalian juga demikian. Poin saya adalah bagaimana kita bisa bersatu dalam perbedaan. Bahwa perbedaan itu adalah memang sebuah takdir Tuhan. Kita tidak mungkin bisa menghilangkan perbedaan itu. Maka bersatu dalam perbedaan adalah sesuatu yang harus dilakukan.
Mengenai hukum adat, saya setuju bahwa adat itu untuk diterapkan. Adat itu mengikat pada masyarakat yang bersangkutan. Adat pasti baik dan dijalankan dengan baik, jangan menyimpang dari yang ada. Hukum adat dalam sejarahnya telah menyumbangkan banyak sekali dalam pembuatan hukum positif. Sumbangan itu sangat penting. Oleh karena itu yang penting adalah menegakkan hukum yang setegas-tegasnya. Tujuan adat itu kan mengembalikan kepada semula, dengan sanksi-sanksinya itu. Jadi, jika seseorang melanggar adat maka dia harus diadat supaya dia kembali semula dan menjadi baik. Untuk itu, saya percaya bahwa jika pelaksaan adat istiadat ini dicontohkan oleh para pemimpin kita, di mana saja, dari suku apa saja, dan dari agama apa saja, maka ini akan berhasil. Dan contoh teladan dari pimpinan ini akan ditiru oleh masyarakat. Saya yakin ini akan sangat baik dan efektif dalam membantu meningkatkan ketentraman dan perdamaian antara anggota masyaraat Kalimantan Barat ini.
Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa untuk memulai itu semua, kita harus mulai dari diri sendiri. Kita harus menjalankan adat kita sendiri yang baik. Jika kita sudah memandang orang lain dan memperlakukan orang lain sebagai manusia, dimulai dari diri sendiri, maka ini akan ditiru oleh masyarakat”.

Kedepan, pemberlakuan hukum adat sebagai bentuk kearifan lokal yang cukup efektif dalam mengawal kedamaian dalam hubungan masyarakat mesti disesuaikan dengan konteks dan wilayah keberlakuannya sehingga tidak dikhawatirkan justru menjadi pemicu konflik baru. Harapan ini paling tidak terungkap dari pernyataan dua orang narasumber (Hermansyah dan Subro) berikut ini :
”Saya kira pelaksanaan adat itu sangat baik. Tadi yang menjadi masalah adalah mengapa adat tidak efektif itu karena adat tidak diperlakukan pada konteksnya. Menurut saya adat itu sangat baik untuk solusi ini, tapi harus diberlakukan pada konteksnya. Adat yang dijalankan tidak pada konteksnya itulah yang akan menjadi masalah dan konflik. Ini misalnya terjadi atas kesewenang-wenangan oknum tertentu dalam melaksanakan adat itu sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang adat. Ini yang harus dihindari. Dan ini bisa dipecahkan dengan mengundangkan hukum adat itu. Jadi hukum adat itu punya teritori sendiri dan hanya mengikat pada wilayah adat itu. Mengacu pada dalil yang ada dalam Islam bahwa adat itu hukum yang belum diundangkan, dan jika diundangkan menjadi syari’at maka itu harus dipatuhi. Jadi adat itu harus dihukumkan dulu” (Hermansyah).

”Tentang Adat, saya setuju bahwa adat adalah salah satu kearifan lokal yang sangat tepat untuk membantu memecahkan masalah ini tetapi yang perlu ditekankan bahwa adat itu punya teritori masing-masing. Jadi pelaksanaanya sesuai dengan teritori dari wilayah hukum adat itu sendiri. Adat itu mengikat pada masyarakatnya, dan siapa yang datang pada wilayah adat itu. Dan ini sangat bagus saya kira. Nah, saya setuju dengan Bang Hermansyah tadi bahwa adat itu harus dihukumkan dulu untuk dipatuhi sebagai hukum. Dan saya mengakui bahwa adat telah mampu mencegah kerusuhan yang lebih parah di masa konflik dulu. Ini saya kira bisa menjadi alasan bahwa kearifan lokal (adat) ini telah terbukti mampu dan dapat menjadi sebuah alternatif untuk mencapai masyarakat multikultural di Kalbar ini” (Subro).

Beberapa kearifan dalam komunikasi masyarakat
Etnis Madura misalnya memiliki beberapa adat yang baik untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan damai seperti selamatan, acara perkawinan, sunnatan, muharraman dan lain–lain. Dalam hal kesenian juga ada yang namanya ronggeng. Kesemuanya ini terbuka bagi keterlibatan–keikutsertaan etnis–bahkan agama lain sekalipun. Ini terungkap dari hasil wawancara dengan salah satu narasumber etnis Madura, berikut petikan wawancaranya :
”Kalau kita orang Madura punya budaya selamatan. Jadi kita sering mengadakan selamatan pada acara-acara keagamaan, dan juga acara perkawinan, sunatan, atau juga yang lainnya. Kami mengundang tetangga, baik dekat maupun jauh, bahkan yang bukan Islam sekalipun. Jadi yang penting kita minta do`a dan berbagi rejeki begitulah. Saya kira ini juga untuk mempererat tali persaudaraan diantara kita.
Kalau dari segi kesenian, ada yang namanya Ronggeng. Kalau ada perkawinan atau ada acara syukuran lain, orang Madura juga sering menyelenggarakan ronggeng. Ini juga tempat berkumpulnya orang ramai. Jadi siapapun bisa datang dan menikmati hiburan ronggeng. Menurut saya ini juga bisa dikatakan sebagai kearifan lokalnya orang Madura untuk mengumpulkan orang dan memberikan hiburan pada orang banyak, tidak hanya untuk orang Madura saja. Moment seperti ini bisa menjadi tempat bertemunya orang banyak dan menjalin kedekatan juga saya kira”

Hal senada juga diungkapan oleh Ketua Umum GP ANSOR Kalbar yang juga berasal dari etnis Madura (Romawi Martin, SE), menurutnya ada banyak adat budaya yang baik pada etnis madura sebagai kearifan lokal yang bisa mempersatukan manusia dari berbagai latar belakang etnis dan agama, a.l : acara perkawinan, selamatan, ruwahan, muharraman, nisfu sya`ban, dan budaya ronggeng itu sendiri. Khusus budaya ronggeng, Romawi melihatnya lebih sebagai identitas kesombongan, dimana layaknya orang nyawer yang senantiasa bersaing harga sawernya untuk menunjukkan harga diri.
Di Kampung Jawa kecamatan Sanggau Ledo, masyarakat setempat yang notabene terdiri dari etnis Jawa, Melayu, Dayak, Bugis & Sunda masih memelihara adat bersama seperti selamatan kampung. Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Kepala Kampung Jawa, kecamatan Sanggau Ledo. Berikut petikan wawancaranya :

Intervieuwer : Budaya apa yang mendukung perdamaian suku di daerah kita (intervieuwer)
Informan : Untuk saat ini yang saya ketahui ada 3.
Yang pertama selamatan kampung yakni upacara sukuran yang diadakan di tengah-tengah kampung dengan menghadirkan tokoh agama, tokoh adat dan suku-suku lain, nanti dipimpin seorang lebai (tokoh agama Islam) sebelum berdoa diberi penjelasan tentang makna selamatan kampung tanda syukur pada Allah dan dijauhkan segala bencana. Masyarakat diwajibkan membawa makanan dan membawa alat-alat untuk mencari nafkah misalnya arit, pisau, parang, cangkul dan lain-lain diadakan setiap tahun sekali di bulan Sapar, sedangkan fungsinya untuk mengingat apa yang diberikan Allah kepada kita semua. Tujuannya untuk mengumpulkan masyarakat kita jadi satu walau berbeda suku, agama tapi kita tetap satu.
Yang kedua, tolak balak adalah satu tradisi kampung suku Dayak untuk mengusir hama penyakit tanaman.
Sedangkan ketiga Rakik Saman yaitu mengelilingi kampung dengan membawa makanan (supaya kampung kita aman dari segala hal disini bermacam suku, agama boleh ikut untuk kepentingan kampung, fungsinya sama dengan tolak bala dalam budaya orang Melayu. Sedangkan tujuannya untuk menyatukan tiap-tiap suku yang ada di kampung kita ini supaya semangat kebersamaan itu tetap lestari.
Sementara itu bagi masyarakat Dayak dusun Jawa juga ada adat yang sangat mendukung terwujudnya kedamaian dalam masyarakat, baik dalam bentuk gawai adat, tahun baru padi, pantak, naik dangau, dau juang dan mangkok merah. Hal ini diungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat Dayak di dusun Jawa. Berikut kutipan wawancaranya :
J :Menurut bapak adakah lembaga adat Dayak yang mendukung terwujudnya dan pemeliharaan perdamaian ?
D :Ada. Tiap acara Dayak itu pasti banyak yang bukan orang Dayak, kita lihat saja dan beda agama, misalnya acara gawai. Gawai adalah suatu upacara setiap tahunnya pada tanggal 23 bulan April yang menyatukan masyarakat Dayak. Lewat gawai ditempatkan di rumah adat Dayak masing-masing daerah pasti ada panitia gawai, biasanya melalui acara ini pasti meriah.
J :Saya ingin tahu tentang budaya Dayak misalnya Tahun Baru Padi, Pantak, Naik Dango, Daun Juang, Mangkok Merah.
D :Tahun baru padi artinya satu kampung sudah selesai panen padi dan memberikan hasil yang memuaskan, maka diadakan tahun baru padi. Tahun baru padi adalah awal memulai untuk melakukan hidup baru dengan memakan beras baru, tahun baru padi sama juga dengan bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa hasil yang didapatnya terpenuhi. Acaranya makan-makan ada juga yang membakar lemang untuk dibawa pulang masing-masing, sedangkan fungsinya untuk menjaga keutuhan adat Dayak sedangkan tujuannya untuk persatuan semua suku, berbagi rasa senang terhadap orang lain.
J :Bagaimana fungsi gereja terhadap perdamaian yang Bapak ketahui?
D :Gereja saat ini mengajak kepada jemaahnya untuk tidak berbuat yang melanggar hukum agama makanya tiap minggu pasti pendeta atau pastor selalu menasehati jemaah untuk berbuat baik pada masyarakat lain atau agama lain, janganlah mengejek orang lain atau merendahkan orang lain.
J :Adakah tempat acara berkumpul masyarakat yang beda agama budaya, suku?
D :Pasti ada sering kita keluar ke rumah-rumah, di lapangan gedung dan lain-lainnya.
J :Menurut Bapak pantak itu seperti apa?
D :Pantak adalah sebuah bangunan yang didirikan untuk tempat penyimpanan tengkorak-tengkorak manusia dan hewan. Pantak juga menjadi tempat pemujaan suku kami yang belum tahu agama. Pantak dibuat dari kayu belian tiang tinggi besar. Besar seperti seorang tinggi tingkat sampai ke tingkat pertama kurang lebih tujuh meter tingkat kedua tingginya sampai kurang lebih sama dengan tiang tingkat pertama. Lantai pertama tempat penyangga dan lantai kedua tempat penyimpanan tengkorak.
J :Bagaimana acara naik dango menurut bapak?
D :Naik dango sama dengan upacara pembersihan benda-benda lama yang ada di rumah adat.
J :Mengapa tiap orang dayak pasti punya tanaman juang?
D :Karena ini adalah lambang pemersatu Dayak, barang siapa yang menanam daun juang tidak boleh melakukan tindakan yang melanggar hukum adat.
J :Mengapa peperangan Dayak disebut magkok merah?
D :Mengkok sebenarnya adalah wadah tempat sekelompok orang yang menyatakan tidak boleh membunuh orang Dayak. Sedangkan di dalamnya terdapat bara api yang artinya biar gelap harus berangkat mendengarkan informasi atau berita apa yang terjadi dengan suku kita. Bulu ayam untuk menyampaikan informasi atau berita kepada masyarakat Dayak, daun kajang biar petir hujan harus berangkat atau datang mendengarkan informasi. Jerenang warna merah memuat malam daerah dalam keadaan berbahaya maka terjadi peperangan antar suku, kalau satu tidak akan terjadi.

Bagi etnis Tionghoa juga ada beberapa adat budaya yang termasuk kearifan lokal dan menjadi ajang bagi komunikasi, interaksi dan kebersamaan masyarakat lintas etnis. Adat budaya tersebut a.l : Barongsai naga, perayaan cap go meh, imlek dan sebagainya. Dalam acara–acara tersebut, yang terlibat merayakannya tidak hanya etnis Tionghoa, tapi juga banyak dari etnis lain, baik Melayu, Dayak maupun yang lainnya. Apalagi yang tertarik sekedar menyaksikannya. Budaya seperti ini seakan–akan sekarang sudah menjadi hiburan banyak orang dari etnis dan agama apapun.
Kemudian beberapa adat budaya lain yang merupakan kearifan lokal masyarakat etnis Kalimantan Barat a. l. seperti Sape Base (etika bertegur sapa), Belaleh (kebiasaan bergotong royong), Pantun–pepatah, Upacara adat dan beberapa Pandangan Hidup lain dalam masyarakat masyarakat adat.

Bentuk-bentuk adat dalam komunikasi masyarakat
Bentuk-bentuk adat yang masih berlaku dalam komunikasi masyarakat Kalimantan Barat beraneka ragam, karena terdiri dari ragam suku atau kelompok etnis. Maka muncullah nilai-nilai luhur dan latar belakang kehidupan sosial budaya yang berbeda-beda. Walaupun dalam era globalisasi, tetapi masyarakat Kalimantan Barat masih teguh mengadakan upacara-upacara adat. Di bawah ini beberapa contoh upacara adat yang masih dirayakan :
1. Penghormatan kepada leluhur dalam lingkungan masyarakat
Masyarakat suku Dayak sangat menghormati arwah para leluhurnya pada saat keluarga atau keturunan leluhur tersebut akan mengadakan pesta, seperti perkawinan ataupun sunatan. Sebelum mengadakan upacara, mereka berziarah ke kuburan leluhur dengan membawa sesajian untuk tujuan meminta izin kepada leluhurnya.
Pada masyarakat suku Melayu juga melakukan ziarah ke makam sesepuh, hal ini biasanya dilakukan pada hari Selasa di akhir bulan Syafar-khususnya masyarakat Mempawah yang biasanya berziarah ke makam pendiri kerajaan Mempawah, menjelang bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya. Upacara di mulai dengan pembakaran beberapa batang setanggi dan bersamaan munculnya asap, pemimpin penziarah memulai membaca ayat-ayat al-Qur’an, berzikir, dan berdoa, kemudian menaburkan bunga. Jika ada penziarah yang mempunyai nazar, niatnya disampaikan dengan mengikat kain kuning ke pusaran makam sesepuhnya. Keluarga yang datang sambil membersihan makam dan menaburkan bunga.
Upacara ziarah biasanya diiringi dengan upacara kenduri yang dilaksanakan pada hari Rabu pukul 07.00 atau 08.00. Upacara kenduri dipimpn oleh seorang lebai atau dukun untuk membacakan doa selamat dan tolak bala. Upacara kenduri dapat dilakukan masing-masing gang ataupun RT.

2. Perayaan Adat
Suku Dayak dan suku Melayu merupakan etnis mayoritas di Kalimantan Barat yang masing-masing memiliki tradisi yang khas yang berakar dari konsep keagamaan yang diwarisi turun temurun. Dalam perayaan adat istiadat mereka tetap berpijak pada kebiasaan para leluhur, baik dalam penggunaan perangkat, atribut sakral, maupun langkah-langkah dalam pelaksanaan upacara.

Perayaan adat sebagai bentuk komunikasi dalam masyarakat:
a. Selamatan Desa
Umumnya dilakukan oleh suku Dayak, khususnya Dayak Kanayatn. Selamatan desa dilakukan apabila desa mengalami gangguan, baik yang nyata (seperti wabah penyakit), maupun yang gaib (seperti mimpi yang diperoleh tetua kampung atau kepala suku, seperti kegagalan panen, dan sebagainya).

b. Pesta Panen
Biasanya dilakukan oleh masyarakat Dayak dan Melayu. Pada masyarakat Dayak dinamakan “Naik Dango“, sedangkan pada masyarakat Melayu dinamakan upacara “Robo-Robo“.
Pada acara penyambutan tamu di lingkungan masyarakat Kalimantan Barat pada umumnya memiliki kesamaan.

Penyambutan tamu pada masyarakat Dayak
a. Pantak Pemarang (Gunting Pita)
Jika mendatangi daerah ini selalu di dahului dengan pemberitahuan kepada kepala kampung atau kepala adatnya, melaui camat atau pemerintah setempat. Dengan demikian kampung yang akan didatangi akan bersiap-siap dengan segala upacara adat dan pakaian adatnya. Apabila tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, maka tidak akan mendapat sambutan, dan biasanya tamu dicegat belum boleh masuk kampung.
Kepala adat segera datang menjumpai seorang tamu dan melancarkan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Pertanyaannya antara lain dari mana kamu datang, apa maksud kamu datang, mengapa, kapan dan lain sebagainya. Jika pertanyaan terjawab tanpa gugup dan jelas, maka kepala adat menyerahkan sebuah mandau yang tajam. Di hadapan tamu telah diletakkan sebuah kayu atau bambu yang terhalang untuk dipotomg oleh tamu agung. Kepala Adat sangat mengharapkan agar tamu dapat memotong bambu atau kayu tersebut. Jika tidak tahu cara memotong pasti mandau akan melenting dan tidak akan dapat memotong. Tetapi jika tahu caranya pasti dengan sekali ayunan bambu atau kayu penghalang tersebut akan terpotong. Jika sudah terpotong, kepala adat akan menjabat tangan tamu dan mempersilakan masuk untuk beramah tamah.

b. Kunjungan ke Kampung Rarai Dayak Linoh (Sintang)
Jika ingin bertamu ke kampung Rarai Dayak Linoh, sekitar seratus meter dari perkampungan tertulis “sebelum para tamu masuk kekampung memberikan tanda tembakan tiga kali, kami akan membalas enam kali tembakan“. Apabila ada tembakan balasan berarti mereka siap menerima tamu.
Letak kampung Rarai Dayak linoh berada di seberang lembah kecil, di bukit seberang, sedangkan tamu ada di bukit lain, mereka berbaris rapi tampak daun kelapa yang masih muda dibelah menghiasi di pintu masuk kampung. Setibanya kita di pintu kampung, kita disambut oleh kepala adat dan keluarga kepala kampung. Saat berjabat tangan terdengar gong kecil dan besar berbunyi bertalu-talu, mengerikan, seperti bunyi alarm kebakaran. Ternyata itu sambutan hangat dari rakyat untuk tamu-tamu agung. Kita dipersilakan masuk kampung berjalan di antara barisan kehormatan sepanjang jalan sampai ke tangga rumah. Di muka tangga, tamu di taburi dengan beras kuning tanda sambutan hangat dan suatu kehormatan tertinggi bagi tamu agung. Ibu-ibu menaburi beras sambil berdoa dalam nyanyian, mereka berterima kasih atas kedatamgan tamu agung, kiranya kedatangan tamu membawa segala berkat, baik kesehatan, peternakan, dan berkat pertanian.
Tamu kemudian disambut oleh gadis-gadis dan digandeng dengan sopan diantar naik tangga. Tamu naik harus dilakukan tujuh kali. Kali ketujuh barulah diperbolehkan memasuki ruangan tamu. Untuk memasuki ruang tamu, kita harus melalui sekeping besi dan sebuah telur ayam yang sudah diletakkan di depan tangga pintu masuk. Telur dan sekerat besi harus diinjak oleh para tamu, telur diinjak tidak sampai pecah, di saat itu beras kuning diperkuat taburannya, makin nyaring pula mereka berdoa dalam nyanyian, memohon berkat dan berterima kasih atas kedatangan tamu yang bermaksud baik untuk ke kampungnya.
Tiap-tiap benda dan perlakuan mereka selalu mengandung arti menurut adat dan kepercayaan mereka. Besi benda keras menunjukkan bahwa mereka adalah orang kuat. Telur yang bulat putih itu melambangkan kebulatan dan putih hatinya menerima tamu yang baik hati. Setelah masuk ruangan tamu dipersilakan duduk di atas sebuah gong besar. Bunyi gong besar dan kecil bergemuruh nyaring melengking serta bunyi tambur bertalu-talu tak henti-hentinya mengiringi seluruh acara terima tamu.
Acara terus berjalan. Selagi tamu masih duduk di atas gong besar datang seorang pengacara membawa seekor ayam putih dikipas-kipaskan di atas kepala tamu kemudian diturunkan di hadapan tamu. Di depan tamu sudah tersedia mangkok dan sebilah pisau. Pengacara mengangkat pisau dan meletakkan ke leher ayam untuk disembelih, darahnya di tampung di mangkok.
Sehelai sayap dicabut dan ayam diantar ke dapur untuk direbus. Pengacara mencelupkan bulu sayap ayam ke arah darah ayam, diangkatnya dan mulai dicontengkan ke dahi, ke pipi kiri dan kanan masing-masing tamu. Tujuan mereka mengibaskan ayam di atas kepala tamu agar terhindar dari penyakit dan lelah akibat dari perjalanan menuju kampung. Sedangkan menconteng darah maksudnya agar roh halus atau setan tidak berani mengganggu, kemudian sebilah pisau diangkat pengacara, dilekatkan ke dahi, dimasukkan ke mulut, digigit melintang akhirnya dilekatkan lagi ke tengkuk, leher sambil membaca doa. Setelah acara selesai tamu didatangi penduduk untuk bersalaman.
Pada masyarakat Melayu acara penyambutan tamu biasanya dengan penaburan beras kuning diiringi dengan pengucapan shalawat Nabi Muhammad.

Peresmian Bangunan Adat
Peresmian bangunan adat pada masyarakat Dayak seperti halnya pindah rumah yang baru atau menempati bangunan baru. Untuk pindah rumah biasanya harus dilaksanakan sebelum matahari terbit/pagi hari dan barang yang pertama kali dibawa adalah bahan makanan pokok seperti beras, garam, gula, minyak, dan bumbu-bumbu masak yang lain. Kemudian disusul dengan barang perlengkapan rumah tangga yang lain. Di rumah yang baru ini penghuninya mengadakan upacara adat yang bertujuan untuk meminta keselamatan pada Tuhan agar penghuni yang bersangkutan selalu sehat di rumah tersebut dan mudah mendapatkan rizki.
Pada masyarakat Melayu peresmian rumah/bangunan baru selalu dirayakan dengan pembacaan al-Barzanji, Tepung Tawar pada setiap sisi rumah dengan doa-doa untuk memohon keselamatan, juga dibacakan doa tolak bala agar rumah dan penghuninya dijauhkan dari bala atau halangan-halangan.

Partisipasi Masyarakat
Pada saat akan dilaksanakan pesta adat biasanya dilakukan persiapan-persiapan untuk acara tersebut. Ada pesta yang hanya dilakukan di lingkungan keluarga saja, gang, atau ada juga yang melibatkan partisipasi masyarakat secara keseluruhan, se-kecamatan, atau bahkan se-kabupaten, seperti halnya pesta “Robo-Robo”. Pesta ini dilaksanakan masyarakat Melayu khususnya di Mempawah.
Pesta Robo-Robo dilaksanakan satu tahun sekali pada bulan Syafar, yaitu pada hari Rabu terakhir di bulan Syafar tahun Islam. Acara Robo-Robo biasanya juga disebut Syafaran. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bulan syafar merupakan bulan banyaknya turun bala dari yang Maha Kuasa, artinya bulan Syafar merupakan bulan yang paling naas atau penuh kesialan. Sejarah Nabi seperti terlepasnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun karena mukjizat terbelahnya air laut, diselamatkannya Nabi Ibrahim dari kobaran api untuk membakarnya, diselamatkannya Nabi Yunus dalam perut ikan, dan lain-lain.
Bagi penduduk daerah Kabupaten Pontianak di Mempawah, upacara ini bersifat sejarah karena upacara ini dikaitkan dengan peristiwa penting dalam sejarah kehidupan kerajaan Mempawah, antara lain pendaratan pertama Opu Daeng Menambun, putra bugis pendiri kerajaan Mempawah, dan kematian beliau sebagai panembahan pertama kerajaan itu. Upacara tersebut bersifat keagamaan yaitu permohonan/doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar seluruh masyarakat diselamatkan dari bala bencana yang dapat menimpa sewaktu-waktu.
Aktifitas yang dilakukan penduduk dalam penyelenggaraan upacara ini antara lain membuat kenduri, sesajian, turut serta dalam lomba sampan, atau menyelenggarakan hiburan-hiburan lain. Sementara penduduk di desa-desa turut membuat kue-kue khusus terutama ketupat untuk kenduri sekeluarga atau besama-sama tetangga.
Di kalangan keluarga bangsawan keterlibatan dalam acara Robo-Robo adalah melakukan ziarah ke makam para Panembahan Opu Daeng Menambun. Mereka berkumpul secara resmi di istana, berzikir, bertahlil, dan berkenduri serta melakukan ziarah.

Pesan Komunikasi dalam upacara Adat
Apakah dalam adat masyarakat Kalimantan Barat masih mengandung nilai-nilai komunikasi dan kebersamaan? Tentu saja ada. Misalnya di daerah Kendawangan, Kabupaten Ketapang, masyarakatnya menganggap nilai-nilai komunikasi yang terkandung dalam perayaan adat merupakan milik bersama (nilai kebersamaan).
Nilai tenggang rasa misalnya dalam menjalankan upacara adat di Kalimantan Barat yang terdiri dari tiga suku besar yaitu Dayak, Melayu, dan Cina, masing-masing masyarakat menghormati adat masing-masing.
Nilai rela berkorban pada upacara adat yang diselenggarakan seluruh warga masyarakat seperti Robo-Robo, warga masyarakat rela mengorbankan waktu, tempat, bahkan biaya untuk memeriahkan jalannya upacara. Contoh lain pada kegiatan gotong royong masyarakat setempat mempunyai kesadaran yang tinggi tentang pentingnya gotong royong. Contoh lain lagi misalnya pada acara perkawinan, saat pembuatan selasar atau teras masyarakat sekitarnya tidak perlu diperintah datang untuk membantu.

Kearifan lokal dalam bidang politik
Dalam hal Politik, beberapa kebijakan khusus pemerintah daerah yang dapat disebut kearifan lokal adalah Sharing Power (berbagi kekuasaan, terutama antara Melayu dan Dayak, Islam dan non Islam). Budaya politik Sharing Power ini menjadi ajang kerjasama dan pemersatu diantara dua etnis dan agamka tersebut. Pada sisi lain, sharing power dalam kekuasaan politik terbukti mampu meredam konflik antar masyarakat yang berbeda etnis dan agama, paling dari segi kepentingan politik lebih terakomodasi. Sharing power ini dalam politik direalisasikan dalam bentuk pembagian posisi kuasa. Misalkan jika Calon Bupati Melayu–Muslim, maka wakilnya mesti Dayak–Nonmuslim, atau sebaliknya. Kearifan ini telah menjadi nilai kesepakatan di seluruh wilayah pemerintahan di Kalbar. Sebagai contoh, Bupati Kapuas Hulu Melayu–Muslim, Wakilnya Dayak–nonmuslim, Sintang Bupatinya Dayak-nonmuslim, Wakilnya Melayu-Muslim, Melawi Bupatinya Dayak-Nonmuslim, Wakilnya Melayu-Muslim, Sekadau Bupatinya Dayak-nonmuslim, Wakilnya Melayu-Muslim, Sanggau Bupatinya Dayak-nonmuslim, Wakilnya Melayu – Muslim. Kecuali itu adalah pasangan Gubernur (Dayak-China).
Kearifan lokal politik di Kalbar seperti ini sepertinya telah memberikan pengaruh yang sangat positif dalam meredam konflik di satu sisi, dan di sisi lain mampu memelihara kedamaian dalam hubungan etnis dan agama di Kalbar.
Kearipan lokal lainnya yang menyangkut kebijakan pemerintah daerah adalam pengakuan terhadap eksistensi adat budaya masing – masing etnis yang ada di Kalbar. Realisasi kearifan lokal ini berupa pasilitasi intituionalisasi lembaga adat budaya seperti Majlis Adat Buaday Melayu (MABM), Majlis Adat Budaya Dayak (MABD), Majlis Adat Budaya Tionghoa (MABT) dan lai-lain.