Selasa, 27 Oktober 2009

Persoalan Parkir di Kota Pontianak

PERSOALAN PARKIR: WUJUD KETIDAK-WIBAWAAN PERDA

Parkir kendaraan sebenarnya adalah hal yang sederhana. Setiap pengemudi kendaraan pada prinsipnya pasti dapat menempatkan kendaraannya berhenti dengan baik. Tinggal yang diperlukan dalam pekerjaan yang sederhana ini adalah aturan dan petunjuknya saja. Dengan aturan dan petunjuk yang baik dan ditegakan secara konsisten itu, mungkin juga tidak mesti menggunakan jasa tukang parkir seperti yang banyak kita jumpai di kota Pontianak ini. Contohnya di negara tetangga, di Malaysia hampir tidak pernah kita menemukan juru parkir bersibuk seperti yang ada di daerah kita. Tetapi mereka dapat meletakkan kendaraannya berhenti dengan baik dan tersusun rapi pada tempat yang telah ditentukan. Di sana cukup hanya diberikan garis yang menggambarkan posisi kendaraan harus diparkir, dimana semua pengemudi memahami dan mematuhi rambu-rambu itu dengan baik. Menyalahi atau melanggar garis parkir yang sudah ditentukan akan dikenakan sanksi tilang atau saman. Dan itu betul-betul ditegakkan, bukan sekedar ancaman hukum saja.
Sementara di tempat kita (Kota Pontianak), parkir selalu menjadi persoalan, selalu mendapat sorotan dan kritikan dari masyarakat. Baik dari penempatan kawasan parkir yang terkesan sembarangan hingga pungutan biaya parkir yang tidak jelas menambah amburadulnya pengelolan pekerjaan yang satu ini. Belum lagi bicara mengenai keamanan kendaraan yang diparkir, sebagaimana yang kita ketahui, tidak sedikit kasus kehilangan motor di halaman parkir. Lantas siapa yang mesti bertanggung jawab dengan kejadian yang demikian? Lalu apa yang dibuat oleh tukang parkir? Apakah hanya memungut ongkos parkir saja? Dari sekian banyak persoalan mengenai perparkiran di kota ini, penulis hanya ingin mengangkat satu persoalan saja, yakni besaran tarip parkir kendararaan bermotor saja.
Setiap orang sebenarnya mengetahui bahwa tarip parkir kendaraan bermotor tidak lebih dari 500 rupiah, itulah ketentuan yang digariskan melalui peraturan daerah (Perda) mengenai perparkiran. Namun pada kenyataannya, aturan tersebut tidak mampu direalisasikan dengan baik di lapangan. Di banyak tempat parkir masih sering ditemukan pungutan biaya yang melebihi ketentuan tersebut. Bahkan hampir tidak pernah lagi dijumpai tukang parkir yang mengambil pungutan biaya parkir sesuai ketentuan perda. Hal ini terlihat ketika pemilik kendaraan membayar parkir dengan uang seribu rupiah misalnya, tidak pernah lagi dikembalikan sisanya oleh tukang parkir. Bagi sebagian orang mungkin uang 1000 rupiah memang tidak seberapa. Akan tetapi menjadi persoalan bagi sebagian yang lain, apalagi jika harus berulang-ulang atau pada tempat lain yang berbeda. Satu-satunya cara membayar parkir dalam kondisi demikian adalah dengan memberikan uang pas pecahan 500 rupiah. Meskipun tidak jarang tukang parkir masih meminta ongkos lebih dari itu. Sekilas mungkin wajar jika banyak orang yang rela membayar ongkos parkir sampai 1000 rupiah, akan tetapi perilaku itu akan memanjakan juru parkir untuk tidak mematuhi ketentuan perda. Jika itu yang terjadi, maka masyarakat sendiri yang dirugikan. Bahkan penulis sendiri pernah menemukan praktek pengelolaan parkir yang lebih gila lagi, dan itu melibatkan salah satu organisasi penting milik pemerintah. Dimana atas nama induk organisasi tersebut (tertera di kartu parkir) memungut biaya parkir kendaraan bermotor sampai 2000 rupiah (sama dengan ongkos parkir mobil). Penulis sempat mempertanyakan hal itu, dengan santai juru parkir itu menjawab, sama jak mobil dengan motor, parkirnya 2000. itulah ketentuan (dari organisasi milik pemerintah itu) katanya.
Berbicara mengenai besaran tarif, tentu saja bukan sekedar melihat keberatan atau tidak, akan tetapi juga menyangkut kewibawaan hukum dan peraturan yang telah dibuat. Sebab ketika hukum dan peraturan tidak lagi dijalankan, maka sebenarnya peraturan itu sudah diabaikan. Ketidak-wibawaan hukum dan peraturan inilah yang sebenarnya yang mendasari berbagai pelanggaran dan manipulasi. Jika dengan parkir saja masyarakat sudah dibiasakan dengan manipulasi dan korupsi, bagaimana dengan persoalan yang lebih besar lagi..?
Protes sering dilontarkan, keberatan masyarakat selalu terdengar atas persoalan tersebut, akan tetapi aparat terkait paling-paling hanya bisa menghimbau agar masyarakat tidak mau membayar ongkos parkir yang melebihi ketentuan perda. Juru parkir dihimbau untuk tidak memungut biaya parkir melebihi tarif yang telah ditentukan dalam perda, dsb. Apa sebenarnya yang terjadi dengan persoalan parkir di kota ini? Mengapa ketentuan biaya parkir yang sudah diperdakan hanya berlaku di atas kertas saja? Sementara realisasi di lapangan tidak demikian? Menurut penulis ada beberapa paktor yang menyebabkan pengelolaan perparkiran di kota ini semraut:
Pertama, pihak berwenang (pemerintah) belum pernah secara serius dan sungguh-sungguh mengatur persoalan perparkiran ini. Perda yang telah dibuat hanya untuk memenuhi kewajiban konstitusional sebagai pemerintah saja, sebab pada kenyataannya pelaksanaan perda di lapangan tidak pernah dikawal dan diawasi dengan baik dan benar.
Kedua, sebagian dari pihak berwenang (pemerintah) tidak memberikan contoh yang baik untuk menegakkan Perda perparkiran ini. Sebagai contoh, justru organisasi milik pemerintah daerah yang memungut biaya parkir kendaraan bermotor hingga 2000 rupiah.
Ketiga, perlu adanya pengawasan dan penegakan hukum yang sungguh-sungguh terhadap pelaksanaan perda perparkiran di kota ini, jika perlu berikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melanggar ketentuan perda tersebut. Termasuk pada instansi/organisasi milik pemerintah sendiri.
Keempat, perlu adanya ketentuan pemerintah yang mengatur dan mendata para juru parkir menjadi petugas yang legal, sehingga dapat dituntut tanggung jawab kerja yang lebih besar. Ini penting untuk keamanan kendaraan dan efektivitas hasil retribusi parkir menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah daerah.
Ketika beberapa hal di atas dapat disikapi dengan bijak dan arif oleh pemerintah, kita berharap tidak akan ada lagi persoalan perparkiran, tidak akan ada lagi instansi/organisasi yang menetapkan tarif parkir semaunya, tidak akan ada lagi juru parkir yang mengatakan parkir mobil dan motor sama saja besarnya. Atau mungkinkah persoalan perparkiran ini akan terus terjadi dalam kesemrautan? Mungkinkah itu semua wujud dari ketidak-wibawaan perda tentang perparkiran?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar