Sabtu, 14 Februari 2009

Kearifan Lokal dalam Komunikasi

Seri tulisan Catatan FGD
Penelitian Promosi Perdamaian di Kalimantan Barat

Kesimpulan lengkap dari hasil penelitian ini sudah diterbitkan dalam Alpha Amirrachman (ed).2007. "Revitaslisasi Kearifan Lokal" yang diterbitkan oleh ICIP dan EU, Jakarta.

Pendahuluan
Meskipun diperlukan pengkajian yang lebih baik untuk memberikan penafsiran dan pemaknaan yang tepat dengan istilah kearifan lokal (local wisdom), namun dapat dipastikan bahwa istilah tersebut menggambarkan pada sesuatu yang dianggap baik, di sepakati sebagai nilai – nilai luhur dan dijadikan aturan dan norma dalam masyarakat lokal. Oleh karenanya batasan wilayah, masyarakat, agama, adat dan etnis dengan sendirinya menjadi batasan nilai – nilai kebajikan yang disebut kearifan lokal (local wisdom) itu.
Dengan kata lain, setiap komunitas (etnis, agama, daerah) tersebut pasti memiliki nilai – nilai luhur tertentu yang dipandang baik, dijadikan aturan dan norma sosial, minimal dalam komunitas itu sendiri. Nilai – nilai inilah yang mengikat masyarakat dalam komunitas tertentu dengan damai, harmonis, bersahabat, saling menghargai dan menghormati, saling membantu satu sama lain, bahkan turut menciptakan peradaban dalam sejarah komunikasi sosial manusia. Kenyataan ini mesti disadari sebagai salah satu kekuatan alamiah yang tumbuh dari dan untuk masyarakat itu sendiri. Karenanya, kekuatan ini sangat baik dan penting untuk diperkuat kembali posisinya dalam rangka mewujudkan kedamaian dalam hubungan sosial, di samping penegakan hukum positif dan managemen penyelenggaraan pemerintahan nasional.
Upaya menggali kearifan lokal dalam masyarakat untuk membangun harmonisasi dalam komunikasi dan hubungan sosial mendapat sambutan yang antusias dari berbagai elemen masyarakat etnis dan agama. Ini terlihat dari kesepahaman mereka dalam melihat kearifan lokal untuk kedamaian dalam masyarakat, yang sesungguhnya ada dalam setiap etnis, berikut kesimpulan pernyataan :
“Setiap etnis memiliki kearifan lokal, baik dalam bentuk pantun, pepatah, pribahasa, ungkapan, adat istiadat dsb (Yusriadi, Suriyanto, Hermansyah & Albertus). Sebagai contoh etnis melayu (umumnya) mempunyai pepatah “di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung” . ungkapan ini sangat populer dalam masyarakat Melayu Kalimantan Barat sebagai keharusan untuk menghormati tata krama, adat istiadat, nilai – nilai anutan dan budaya setempat. Dalam etnis Tionghoa Kalbar juga dikenal ungkapan – pepetah – pribahasa “ jip kang sui suan, jip koi sui nyak” yang artinya kira – kira “ jika masuk sungai harus sesuai belokannya, masuk kampung harus sesuai adat setempat” (Suriyanto). Ungkapan ini juga mengandung pilosofi komunikasi yang saling menghargai, menghormati dan menjunjung perbedaan dalam masyarakat”.

Bagian dari kearifan lokal yang harus dipahami oleh setiap kita dalam menciptakan dan memelihara kedamaian dalam komunikasi dan hubungan sosial adalah kemampuan untuk memahami diri kita sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada yang dilebihkan satu dengan yang lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah adat, baik dalam bentuk kebiasaan yang ada dalam masyarakat maupun sebagai hukum yang dipatuhi. Sebagai sebuah kebiasaan, ia senantiasa hidup dalam diri dan hubungan sosial masyarakat adat, akan tetapi sebagai hukum yang dipatuhi, adat merupakan kesepakatan yang ditegakkan melalui lembaga adat. Karenanya adat suatu masyarakat (etnis, agama dll) mungkin saja – bahkan pasti memiliki perbedaan dengan masyarakat (etnis, agama) lainnya. Di sinilah kita mesti kembali ke konsep dasar manusia dan fitrah sosialnya. Pernyataan ini dapat dilihat dalam ungkapan salah satu narasumber diskusi yang berasal dari etnis Tionghoa (Suryanto) :
“Saya kira saya akan memulai dengan pendapat saya bahwa kita ini harus meluruskan pandangan kita dulu terhadap sesama. Bagi saya, kita perlu menekankan bahwa kita harus memandang orang lain sebagai ciptaan, atau sebagai manusia. Pandanglah orang lain itu sebagai manusia. Toleransi adalah yang penting, pandangan parsial itu harus disigkirkan. Kalau ini bisa dimasyarakatkan pada setiap orang di sekitar kita, saya yakin konflik tidak akan berlarut larut dan akan cepat diselesaikan.
Mengenai kearifan lokal, sebaiknya kita merangsang para pemimpn kita, baik di lingkungan pemerintah maupun di ligkungan kelompok masyarakat kita untuk memulai memberikan contoh dan memulai untuk mempraktekannya agar masyarakat meniru. Dengan dimulai dari contoh para pemimpin itu, maka masyarakat akan segera meniru mereka untuk hal-hal yang positif. Dalam tradisi masyarakat Tionghoa ada juga semboyan hidup yang hampir sama maknanya dengan yang dimiliki oleh orang Melayu, dimana bumi dipijak, disitu langit dijujung. Begini bahasa Cinanya, ini dalam bahasa Cina Tou Chu, Jip Kang Sui Swan, Jip Koi Sui Nyak. Artinya dalam Bahasa Indonesia adalah: Masuk ke sungai harus mengikuti arah belokan sungai itu, masuk kampong harus mengikuti adat yang berlaku disitu. Ini saya kira bisa berlaku untuk siapa saja, kalau seseorang bisa melakukan ini, saya yakin masyarakat kita akan selalu berdamai. Dalam kata lain, prinsip hidup ini dapat diadopsi di manapun kita berada dan oleh siapapun.
Berbicara mengenai konflik, di Kalbar ini konflik yang terjadi adalah karena kepentingan kepentingan tertentu. Masalah kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan itu kemudian dibesar-besarkan dan menjadi alat kepentingan yang melebar mejadi luas. Kepentingan tertentu inilah yang membuat konflik menjadi besar dan melibatkan orang banyak. Kalau saja semua masyarakat kalbar melaksanakan dengan benar pepatah kita tadi, pasti konflik itu segera bisa diatasi dan tidak menjadi besar”.

Yang menjadi persoalan lebih lanjut, hukum adat tidak hanya tidak di tegakkan secara benar, bahkan dimanipulasi oleh berbagai kepentingan, termasuk oleh elit komunitas itu sendiri. Sehingga jadilah seakan –akan hukum adat tidak baik, tidak adil, dan mesti dihilangkan. Di sisi lain, hukum positif sebagai bagian dari konsekuensi sebuah negara berdaulat juga tidak bisa di jalankan dengan baik dan benar, penegakan hukum lemah, tidak jarang hukum diterapkan dengan pandang bulu. Sementara itu dengan alasan hukum positif, hukum adat dibatasi bahkan tidak diakui otoritas. Akibatnya adalah masyarakat krisis hukum, mereka kehilangan otoritas nilai – nilai yang dijadikan anutan, pedoman bahkan pandangan hidup dan regulasi sosial. Jadilah masyarakat hidup dalam krisis hukum, kepercayaan, yang berujung pada upaya menciptakan hukum dan aturan sendiri, main hakim sendiri, dan menyelesaikan persoalan dengan cara sendiri pula. Oleh karenanya hukum adat sebagai salah satu kearifan lokal patut untuk diperhatikan dan diangkat kembali dalam upaya membangun dan memelihara kedamaian dan mencegah konflik. Ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh salah satu narasumber dari etnis Melayu (Hermansyah) berikut ini :
“Pemberlakuan hukum adat menurut saya juga sebuah solusi yang tepat, karena hukum adat terdapat di setiap daerah. Jika setiap daerah memberlalukan itu dengan benar, maka pelanggaran-pelanggaran yang merupakan sebab terjadinya konflik bisa dipangkas segera. Hukum adat harus ditegakkan dan diundangkan sebagai hukum yang mengikat. Paling tidak, hukum adat sangat tepat untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran sosial dan mencegah terjadinya konflik berkepanjangan.
Pertanyaan yang muncul adalah, hukum adat sekarang tidak bisa ditegakkan karena tidak dipatuhi oleh masyarakatnya. Ini mesti dicari jawabannya, mengapa? Salah satu sebabnya adalah bahwa hukum adat dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia pernah tidak diakui sebagai hukum yang berlaku. Nah ini lah yang membuat hukum adat tidak dipatuhi oleh masyarakat dalam beberapa kurun waktu. Kalau pada masa terjadinya konflik, hukum positif juga tidak mampu menyelesaikan persoalan, maka bagaimana masyarakat akan merasa aman dengan hukum positif. Pangkal pemicu konflik justru ada pada kelemahan hukum positif kita dalam menangani kasus konflik kecil itu. Nah kalau hukum adat bisa ditegakkan dan dapat mengikat para anggota masyarakatnya, maka kasus-kasus perselisihan akan dapat diselesaikan cepat, dan tidak akan mengarah pada konflik masal”.

Begitu pentingnya peran kearifan lokal yang ada dalam masyarakat kita untuk membangun kedamaian dan mencegah konflik sosial dalam masyarakat sebagaimana dalam pengalaman sosial di kalbar, juga diungkapkan oleh seorang ilmuan dan aktivis Dayak Kalbar (Albertus) sebagai berikut :
“Sebagai sebuah alternatif, saya sangat senang ketika diskusi ini mengangkat masalah kearifan lokal. Saya justru benar-benar tersentak ketika memikirkan bahwa kearifan lokal yang kita miliki ini saya pikir dapat berfungsi dengan baik. Ini sebuah potensi positif. Hukum Adat menurut saya menjadi sebuah alternatif untuk ini. Inti persoalan kita sebenarnya adalah masyarakat kita menghendaki keadilan dalam semua hal. Mereka juga menghendaki perdamaian dan hidup tenang. Hukum positif pada saat konflik tidak mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul karena tidak ditegakkan. Hukum adat ini jika ditegakkan akan mampu menjawab dan memberikan keadilan bagi masyarakatnnya. Mengapa? Karena Hukum adat itu sendiri mengikat pada masyarakat adatnya untuk mematuhinya. Hukum adat ini juga bisa mengatasi perselisihan dan memberikan keadilan dalam pembagian aset sumberdaya alam yang menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat kita. Hukum adat ditegakkan dan diundangkan sebagai hukum yang berlaku di wilayah sesuai dengan daerah wilayah adatnya akan menjadi sebuah solusi yang paling menarik”.

Persoalan lainnya yang juga penting dilihat dalam kontek pemberdayaan hukum adat sebagai kearifan lokal yang dipandang mampu mengawali proses mewujudkan kedamaian dalam hubungan sosial dan komunikasi antar masyarakat adalah pada wilayah pemberlakuannya, selain penegakan hukum itu sendiri. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh salah satu tim lapangan (Juani) berikut ini :
”Saya baru pulang dari kampung dan bertemu tokoh adat Dayak. Ada beberapa hal yang pelu saya sampaikan disini. Sebenarnya Adat Dayak dikampung itu hanya untuk orang Dayak saja dan kalau orang lain datang di kampung ini maka mereka harus mengikuti adat di sini. Sebenarnya hukum adat Dayak itu sangat perlu diterapkan di sini, tapi hukum adat yang benar. Masalahnya sekarang adat itu bisa diperjual-belikan. Ada orang kampung yang semaunya saja mengatas-namakan adat untuk mencari uang. Inilah yang merusak adat itu sendiri. Orang Dayak sendiri sangat tidak suka dengan konflik. Maka mereka menginginkan berlakunya hukum adat Dayak dengan benar agar tidak ada konflik. Inilah sebenarnya yang merak inginkan. Mengenai mangkok merah dan Tariu, ini saya dapatkan langsung dari kepala adat di kampung saya tadi. Mangkok merah itu menjadi simbol persatuan orang Dayak. Kalau mereka sudah melihat Mangkok merah, maka mereka harus bersatu dan siap melawan musuh. Mangkok merah itu terdiri dari mangkok, bulu, dan abu. Maknanya mangkok merah sebagai sebuah wadah untuk bersiap-siap melawan musuh, bulu ayam melambangkan agar pesan itu disampaikan kepada seluruh orang Dayak secepat mungkin, dan bara api itu artinya untuk penerangan. Tali kepuak sebagai pengikat semua bahan tadi sebagai simbol persatuan seluruh orang Dayak”.


Hal senada juga diungkapkan oleh narasumber lainnya (Subro), yang menyebutkan bahwa Madura sebagaimana etnis lainnya di Kalbar juga memiliki kearifan lokal yang mengandung nilai–nilai/pesan–pesan damai, menyejukkan dan penuh keramahan. Kalau dalam etnis Melayu ada kearifan lokal pantun, etnis Madura juga memiliki lagu–lagu/nyanyian–nyanyian yang mengandung pesan damai, berikutnya pernyataannya :
”Dalam menyikapi kondisi ini, saya kira kearifan lokal yang sudah disebut tadi sangat menarik untuk difungsikan kembali. Saya melihat tradisi pantun oleh orang Melayu itu sebagai tradisi sebagai rumpun. Dalam masyarakat kami yang keturunan Madura itu juga memiliki lagu-lagu yang kalau kita kaji berfungsi seperti pantun dalam masyarakat Melayu. Ini sangat baik untuk membantu memahami budaya lain dan meningkatkan hubungan antar kelompok masyarakat. Ini bisa juga untuk menangkal ”ketamakan“ yang mungkin tadi disebut sebagai kapitalisme. Saya yakin benar bahwa konflik yang terjadi di kalbar ini adalah karena ketamakan-ketamakan itu. Kalau kita belajar dari kehidupan orang-orang keturunan Madura yang hidup berdampingan dengan damai bersama orang Dayak di daerah Korek & Retok di Sungai Ambawang dan sekitarnya itu, sebenarnya kita tidak perlu khawatir dengan konflik lagi kedepan. Justru isu etnis yang sekarang marak itu digunakan orang dan mampu untuk meningkatkan bargaining position dalam perpolitikan mereka. Sebagai contoh saja banyak elite dari tokoh etnis Dayak, Madura, dan Melayu yang menggunakannya dalam pilkada, mereka bisa menghakimi bahwa sesuatu itu karena etnis tertentu, atau mereka masih memiliki budaya superioritas sehingga memperjuangkan etnisnya-lah yang harus memimpin daerah ini. Saya kira Gerry Van Klinken (Peneliti) sudah membuat pemetaan elite etnis yang tepat dalam kancah perpolitikan Kalbar ini. Konflik-konflik itu pada hakikatnya adalah konflik yang disimbolkan, konflik yang melibatkan orang yang pakai clurit dan pakai mandau maka disebutlah konflik Dayak dan Madura. Padahal sesungguhnya konflik itu hanya konflik antara seorang Madura dan Seorang Dayak. Stereotip terhadap Suku dan etnis ini juga yang menjadi sebab meluasnya konflik menjadi besar” .

Di antara kearifan lokal lainnya yang menarik untuk dikaji adalah tradisi tutur atau cerita pada masyarakat pedalaman Kalbar. Dimana dalam tradisi tutur dan cerita tersebut banyak sekali terkandung nilai–nilai/pesan–pesan kedamaian, keindahan dan harmonisasi hubungan sosial. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang narasumber FGD yang berasal dari etnis Melayu dan peneliti pada Pusat Bahasa Kalimantan Barat. Beliau (Dedi Ari Aspar) memberi pandangan sebagai berikut :
”Konflik terjadi di Kalbar ini juga karena hukum memberi ruang kepada konflik untuk terjadi, dalam arti hukum tidak ditegakkan sehingga masalah kecil bisa menjadi masalah besar. Ini saya kira sudah dibicarakan teman-teman semua.
Satu hal lagi yang menjadi masalah dalam kepemimpinan daerah ini adalah bahwa ketokohan, atau leadhership kita sangat lemah. Tradisi ketokohan kita telah merosot karena selama orde baru tokoh-tokoh politik didominasi oleh militer dan dipilih oleh pemerintah. Kanyataan ini menimbulkan pengaruh pada tokoh-tokoh kita saat ini. Mereka itu ada yang benar-benar tokoh, tapi banyak juga yang menokohkan diri sehingga tidak berbasis pada masyarakat. Saya kira kita punya masalah serius dalam leadhership ini. Pemberlakuan adat akan efektif kalau didukung oleh ketokohan yang berbasis pada masyarakat adat itu. Saya kira karifan lokal atau local leadhership ini yang perlu dikuatkan kembali.
Kearifan lokal lainnya yang sangat menarik untuk dikembangkan adalah tradisi tutur atau cerita di kalangan masyarakat Kalbar. Tradisi ini sangat penting dan efektif dalam pembelajaran masyarakat yang tidak hanya pada sejarah, budaya, dan tradisi mereka, tetapi juga etika dan prilaku sehari-hari dalam berhubungan dengan orang lain, dan masyarakat umum. Bagaimana menghargai dan menghormati orang lain sangat ditekankan dalam tradisi tutur ini. Dalam penelitian saya, tradisi tutur ini bertujuan untuk mendidik anak, dan masyarakat untuk belajar menciptakan kedamaian dalam kehidupan mereka. Masalahnya sekarang adalah bahwa tradisi lisan itu sudah mulai pudar digantikan oleh tradisi baru menonton TV. Pengaruh TV ini sekarang mendominasi tradisi cerita itu. Cerita sudah tidak lagi lewat lisan, tetapi sudah divisualisasi. Pengaruh Modernisasi dan budaya global menjadi sulit dihindarkan. Tetapi saya yakin budaya lisan pun sangat efektif jika difungsikan lagi dengan bentuk yang disesuaikan dengan kondisinya“ .

Dari sisi yang sedikit berbeda Direktur Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB) Dr. Yusriadi melihat bahwa pada dasarnya setiap kita memiliki kearifan lokal masing–masing, hanya saja persoalannya kita tidak saling tahu dan mengenal kearifan lokal tersebut. Akibatnya tentu saja tidak mampu untuk saling memahami dan menghormatinya sebagai tata aturan hidup dan hubungan sosial yang damai dan harmonis. Karena itu diperlukan komunikasi yang intensif antarkomunitas untuk saling memahamkan kearifan lokal tersebut. Dalam hal ini media masa bisa difungsikan sebagai sosialisasi dan komunikasi kearifan lokal tersebut. Berikut petikan pernyataannya :
“Saya yakin bahwa kita memang memiliki kerifan lokal, bahkan banyak. Tapi yang penting sekarang adalah bagaimana mengkaji itu dengan baik, dan mempublikasikan atau mengkomunikasikannya. Maka media harus difungsikan untuk tujuan ini. Media harus bisa diperankan sebagai alat untuk menunjukkan dengan benar kearifan lokal ini. Sebagai contoh kearifan lokal mengayau. Media harus bisa menjelaskan apa dan bagaimana mengayau itu sehingga orang tau dan bisa mengambil kesimpulan yang benar. Saya kira media membutuhkan para peneliti untuk itu dalam fungsinya untuk memperkenalkan dan menjelaskan kearifan lokal yang kita miliki“.

Bagian dari hal yang harus dipahami dalam rangka mengangkat kearifan lokal dalam upaya menciptakan dan memelihara kedamaian dalam hubungan sosial masyarakat adalah perbaikan konsepsi dalam memandang manusia itu sendiri. Sekretaris Majlis Agama Konghuchu Indonesia (TAMAKIN) mengungkapkan hal itu dalam diskusi penelitian:
“Saya ingin menegaskan kembali bahwa kita perlu kembali pada penciptaan manusia. Ini sangat penting karena kita perlu mimikirkan bahwa kita memang tidak pernah bisa meminta dimana kita akan diciptakan. Saya tidak pernah minta untuk lahir sebagai orang Tionghoa. Dan saya yakin saudara sekalian juga demikian. Poin saya adalah bagaimana kita bisa bersatu dalam perbedaan. Bahwa perbedaan itu adalah memang sebuah takdir Tuhan. Kita tidak mungkin bisa menghilangkan perbedaan itu. Maka bersatu dalam perbedaan adalah sesuatu yang harus dilakukan.
Mengenai hukum adat, saya setuju bahwa adat itu untuk diterapkan. Adat itu mengikat pada masyarakat yang bersangkutan. Adat pasti baik dan dijalankan dengan baik, jangan menyimpang dari yang ada. Hukum adat dalam sejarahnya telah menyumbangkan banyak sekali dalam pembuatan hukum positif. Sumbangan itu sangat penting. Oleh karena itu yang penting adalah menegakkan hukum yang setegas-tegasnya. Tujuan adat itu kan mengembalikan kepada semula, dengan sanksi-sanksinya itu. Jadi, jika seseorang melanggar adat maka dia harus diadat supaya dia kembali semula dan menjadi baik. Untuk itu, saya percaya bahwa jika pelaksaan adat istiadat ini dicontohkan oleh para pemimpin kita, di mana saja, dari suku apa saja, dan dari agama apa saja, maka ini akan berhasil. Dan contoh teladan dari pimpinan ini akan ditiru oleh masyarakat. Saya yakin ini akan sangat baik dan efektif dalam membantu meningkatkan ketentraman dan perdamaian antara anggota masyaraat Kalimantan Barat ini.
Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa untuk memulai itu semua, kita harus mulai dari diri sendiri. Kita harus menjalankan adat kita sendiri yang baik. Jika kita sudah memandang orang lain dan memperlakukan orang lain sebagai manusia, dimulai dari diri sendiri, maka ini akan ditiru oleh masyarakat”.

Kedepan, pemberlakuan hukum adat sebagai bentuk kearifan lokal yang cukup efektif dalam mengawal kedamaian dalam hubungan masyarakat mesti disesuaikan dengan konteks dan wilayah keberlakuannya sehingga tidak dikhawatirkan justru menjadi pemicu konflik baru. Harapan ini paling tidak terungkap dari pernyataan dua orang narasumber (Hermansyah dan Subro) berikut ini :
”Saya kira pelaksanaan adat itu sangat baik. Tadi yang menjadi masalah adalah mengapa adat tidak efektif itu karena adat tidak diperlakukan pada konteksnya. Menurut saya adat itu sangat baik untuk solusi ini, tapi harus diberlakukan pada konteksnya. Adat yang dijalankan tidak pada konteksnya itulah yang akan menjadi masalah dan konflik. Ini misalnya terjadi atas kesewenang-wenangan oknum tertentu dalam melaksanakan adat itu sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang adat. Ini yang harus dihindari. Dan ini bisa dipecahkan dengan mengundangkan hukum adat itu. Jadi hukum adat itu punya teritori sendiri dan hanya mengikat pada wilayah adat itu. Mengacu pada dalil yang ada dalam Islam bahwa adat itu hukum yang belum diundangkan, dan jika diundangkan menjadi syari’at maka itu harus dipatuhi. Jadi adat itu harus dihukumkan dulu” (Hermansyah).

”Tentang Adat, saya setuju bahwa adat adalah salah satu kearifan lokal yang sangat tepat untuk membantu memecahkan masalah ini tetapi yang perlu ditekankan bahwa adat itu punya teritori masing-masing. Jadi pelaksanaanya sesuai dengan teritori dari wilayah hukum adat itu sendiri. Adat itu mengikat pada masyarakatnya, dan siapa yang datang pada wilayah adat itu. Dan ini sangat bagus saya kira. Nah, saya setuju dengan Bang Hermansyah tadi bahwa adat itu harus dihukumkan dulu untuk dipatuhi sebagai hukum. Dan saya mengakui bahwa adat telah mampu mencegah kerusuhan yang lebih parah di masa konflik dulu. Ini saya kira bisa menjadi alasan bahwa kearifan lokal (adat) ini telah terbukti mampu dan dapat menjadi sebuah alternatif untuk mencapai masyarakat multikultural di Kalbar ini” (Subro).

Beberapa kearifan dalam komunikasi masyarakat
Etnis Madura misalnya memiliki beberapa adat yang baik untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan damai seperti selamatan, acara perkawinan, sunnatan, muharraman dan lain–lain. Dalam hal kesenian juga ada yang namanya ronggeng. Kesemuanya ini terbuka bagi keterlibatan–keikutsertaan etnis–bahkan agama lain sekalipun. Ini terungkap dari hasil wawancara dengan salah satu narasumber etnis Madura, berikut petikan wawancaranya :
”Kalau kita orang Madura punya budaya selamatan. Jadi kita sering mengadakan selamatan pada acara-acara keagamaan, dan juga acara perkawinan, sunatan, atau juga yang lainnya. Kami mengundang tetangga, baik dekat maupun jauh, bahkan yang bukan Islam sekalipun. Jadi yang penting kita minta do`a dan berbagi rejeki begitulah. Saya kira ini juga untuk mempererat tali persaudaraan diantara kita.
Kalau dari segi kesenian, ada yang namanya Ronggeng. Kalau ada perkawinan atau ada acara syukuran lain, orang Madura juga sering menyelenggarakan ronggeng. Ini juga tempat berkumpulnya orang ramai. Jadi siapapun bisa datang dan menikmati hiburan ronggeng. Menurut saya ini juga bisa dikatakan sebagai kearifan lokalnya orang Madura untuk mengumpulkan orang dan memberikan hiburan pada orang banyak, tidak hanya untuk orang Madura saja. Moment seperti ini bisa menjadi tempat bertemunya orang banyak dan menjalin kedekatan juga saya kira”

Hal senada juga diungkapan oleh Ketua Umum GP ANSOR Kalbar yang juga berasal dari etnis Madura (Romawi Martin, SE), menurutnya ada banyak adat budaya yang baik pada etnis madura sebagai kearifan lokal yang bisa mempersatukan manusia dari berbagai latar belakang etnis dan agama, a.l : acara perkawinan, selamatan, ruwahan, muharraman, nisfu sya`ban, dan budaya ronggeng itu sendiri. Khusus budaya ronggeng, Romawi melihatnya lebih sebagai identitas kesombongan, dimana layaknya orang nyawer yang senantiasa bersaing harga sawernya untuk menunjukkan harga diri.
Di Kampung Jawa kecamatan Sanggau Ledo, masyarakat setempat yang notabene terdiri dari etnis Jawa, Melayu, Dayak, Bugis & Sunda masih memelihara adat bersama seperti selamatan kampung. Data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Kepala Kampung Jawa, kecamatan Sanggau Ledo. Berikut petikan wawancaranya :

Intervieuwer : Budaya apa yang mendukung perdamaian suku di daerah kita (intervieuwer)
Informan : Untuk saat ini yang saya ketahui ada 3.
Yang pertama selamatan kampung yakni upacara sukuran yang diadakan di tengah-tengah kampung dengan menghadirkan tokoh agama, tokoh adat dan suku-suku lain, nanti dipimpin seorang lebai (tokoh agama Islam) sebelum berdoa diberi penjelasan tentang makna selamatan kampung tanda syukur pada Allah dan dijauhkan segala bencana. Masyarakat diwajibkan membawa makanan dan membawa alat-alat untuk mencari nafkah misalnya arit, pisau, parang, cangkul dan lain-lain diadakan setiap tahun sekali di bulan Sapar, sedangkan fungsinya untuk mengingat apa yang diberikan Allah kepada kita semua. Tujuannya untuk mengumpulkan masyarakat kita jadi satu walau berbeda suku, agama tapi kita tetap satu.
Yang kedua, tolak balak adalah satu tradisi kampung suku Dayak untuk mengusir hama penyakit tanaman.
Sedangkan ketiga Rakik Saman yaitu mengelilingi kampung dengan membawa makanan (supaya kampung kita aman dari segala hal disini bermacam suku, agama boleh ikut untuk kepentingan kampung, fungsinya sama dengan tolak bala dalam budaya orang Melayu. Sedangkan tujuannya untuk menyatukan tiap-tiap suku yang ada di kampung kita ini supaya semangat kebersamaan itu tetap lestari.
Sementara itu bagi masyarakat Dayak dusun Jawa juga ada adat yang sangat mendukung terwujudnya kedamaian dalam masyarakat, baik dalam bentuk gawai adat, tahun baru padi, pantak, naik dangau, dau juang dan mangkok merah. Hal ini diungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat Dayak di dusun Jawa. Berikut kutipan wawancaranya :
J :Menurut bapak adakah lembaga adat Dayak yang mendukung terwujudnya dan pemeliharaan perdamaian ?
D :Ada. Tiap acara Dayak itu pasti banyak yang bukan orang Dayak, kita lihat saja dan beda agama, misalnya acara gawai. Gawai adalah suatu upacara setiap tahunnya pada tanggal 23 bulan April yang menyatukan masyarakat Dayak. Lewat gawai ditempatkan di rumah adat Dayak masing-masing daerah pasti ada panitia gawai, biasanya melalui acara ini pasti meriah.
J :Saya ingin tahu tentang budaya Dayak misalnya Tahun Baru Padi, Pantak, Naik Dango, Daun Juang, Mangkok Merah.
D :Tahun baru padi artinya satu kampung sudah selesai panen padi dan memberikan hasil yang memuaskan, maka diadakan tahun baru padi. Tahun baru padi adalah awal memulai untuk melakukan hidup baru dengan memakan beras baru, tahun baru padi sama juga dengan bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa hasil yang didapatnya terpenuhi. Acaranya makan-makan ada juga yang membakar lemang untuk dibawa pulang masing-masing, sedangkan fungsinya untuk menjaga keutuhan adat Dayak sedangkan tujuannya untuk persatuan semua suku, berbagi rasa senang terhadap orang lain.
J :Bagaimana fungsi gereja terhadap perdamaian yang Bapak ketahui?
D :Gereja saat ini mengajak kepada jemaahnya untuk tidak berbuat yang melanggar hukum agama makanya tiap minggu pasti pendeta atau pastor selalu menasehati jemaah untuk berbuat baik pada masyarakat lain atau agama lain, janganlah mengejek orang lain atau merendahkan orang lain.
J :Adakah tempat acara berkumpul masyarakat yang beda agama budaya, suku?
D :Pasti ada sering kita keluar ke rumah-rumah, di lapangan gedung dan lain-lainnya.
J :Menurut Bapak pantak itu seperti apa?
D :Pantak adalah sebuah bangunan yang didirikan untuk tempat penyimpanan tengkorak-tengkorak manusia dan hewan. Pantak juga menjadi tempat pemujaan suku kami yang belum tahu agama. Pantak dibuat dari kayu belian tiang tinggi besar. Besar seperti seorang tinggi tingkat sampai ke tingkat pertama kurang lebih tujuh meter tingkat kedua tingginya sampai kurang lebih sama dengan tiang tingkat pertama. Lantai pertama tempat penyangga dan lantai kedua tempat penyimpanan tengkorak.
J :Bagaimana acara naik dango menurut bapak?
D :Naik dango sama dengan upacara pembersihan benda-benda lama yang ada di rumah adat.
J :Mengapa tiap orang dayak pasti punya tanaman juang?
D :Karena ini adalah lambang pemersatu Dayak, barang siapa yang menanam daun juang tidak boleh melakukan tindakan yang melanggar hukum adat.
J :Mengapa peperangan Dayak disebut magkok merah?
D :Mengkok sebenarnya adalah wadah tempat sekelompok orang yang menyatakan tidak boleh membunuh orang Dayak. Sedangkan di dalamnya terdapat bara api yang artinya biar gelap harus berangkat mendengarkan informasi atau berita apa yang terjadi dengan suku kita. Bulu ayam untuk menyampaikan informasi atau berita kepada masyarakat Dayak, daun kajang biar petir hujan harus berangkat atau datang mendengarkan informasi. Jerenang warna merah memuat malam daerah dalam keadaan berbahaya maka terjadi peperangan antar suku, kalau satu tidak akan terjadi.

Bagi etnis Tionghoa juga ada beberapa adat budaya yang termasuk kearifan lokal dan menjadi ajang bagi komunikasi, interaksi dan kebersamaan masyarakat lintas etnis. Adat budaya tersebut a.l : Barongsai naga, perayaan cap go meh, imlek dan sebagainya. Dalam acara–acara tersebut, yang terlibat merayakannya tidak hanya etnis Tionghoa, tapi juga banyak dari etnis lain, baik Melayu, Dayak maupun yang lainnya. Apalagi yang tertarik sekedar menyaksikannya. Budaya seperti ini seakan–akan sekarang sudah menjadi hiburan banyak orang dari etnis dan agama apapun.
Kemudian beberapa adat budaya lain yang merupakan kearifan lokal masyarakat etnis Kalimantan Barat a. l. seperti Sape Base (etika bertegur sapa), Belaleh (kebiasaan bergotong royong), Pantun–pepatah, Upacara adat dan beberapa Pandangan Hidup lain dalam masyarakat masyarakat adat.

Bentuk-bentuk adat dalam komunikasi masyarakat
Bentuk-bentuk adat yang masih berlaku dalam komunikasi masyarakat Kalimantan Barat beraneka ragam, karena terdiri dari ragam suku atau kelompok etnis. Maka muncullah nilai-nilai luhur dan latar belakang kehidupan sosial budaya yang berbeda-beda. Walaupun dalam era globalisasi, tetapi masyarakat Kalimantan Barat masih teguh mengadakan upacara-upacara adat. Di bawah ini beberapa contoh upacara adat yang masih dirayakan :
1. Penghormatan kepada leluhur dalam lingkungan masyarakat
Masyarakat suku Dayak sangat menghormati arwah para leluhurnya pada saat keluarga atau keturunan leluhur tersebut akan mengadakan pesta, seperti perkawinan ataupun sunatan. Sebelum mengadakan upacara, mereka berziarah ke kuburan leluhur dengan membawa sesajian untuk tujuan meminta izin kepada leluhurnya.
Pada masyarakat suku Melayu juga melakukan ziarah ke makam sesepuh, hal ini biasanya dilakukan pada hari Selasa di akhir bulan Syafar-khususnya masyarakat Mempawah yang biasanya berziarah ke makam pendiri kerajaan Mempawah, menjelang bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya. Upacara di mulai dengan pembakaran beberapa batang setanggi dan bersamaan munculnya asap, pemimpin penziarah memulai membaca ayat-ayat al-Qur’an, berzikir, dan berdoa, kemudian menaburkan bunga. Jika ada penziarah yang mempunyai nazar, niatnya disampaikan dengan mengikat kain kuning ke pusaran makam sesepuhnya. Keluarga yang datang sambil membersihan makam dan menaburkan bunga.
Upacara ziarah biasanya diiringi dengan upacara kenduri yang dilaksanakan pada hari Rabu pukul 07.00 atau 08.00. Upacara kenduri dipimpn oleh seorang lebai atau dukun untuk membacakan doa selamat dan tolak bala. Upacara kenduri dapat dilakukan masing-masing gang ataupun RT.

2. Perayaan Adat
Suku Dayak dan suku Melayu merupakan etnis mayoritas di Kalimantan Barat yang masing-masing memiliki tradisi yang khas yang berakar dari konsep keagamaan yang diwarisi turun temurun. Dalam perayaan adat istiadat mereka tetap berpijak pada kebiasaan para leluhur, baik dalam penggunaan perangkat, atribut sakral, maupun langkah-langkah dalam pelaksanaan upacara.

Perayaan adat sebagai bentuk komunikasi dalam masyarakat:
a. Selamatan Desa
Umumnya dilakukan oleh suku Dayak, khususnya Dayak Kanayatn. Selamatan desa dilakukan apabila desa mengalami gangguan, baik yang nyata (seperti wabah penyakit), maupun yang gaib (seperti mimpi yang diperoleh tetua kampung atau kepala suku, seperti kegagalan panen, dan sebagainya).

b. Pesta Panen
Biasanya dilakukan oleh masyarakat Dayak dan Melayu. Pada masyarakat Dayak dinamakan “Naik Dango“, sedangkan pada masyarakat Melayu dinamakan upacara “Robo-Robo“.
Pada acara penyambutan tamu di lingkungan masyarakat Kalimantan Barat pada umumnya memiliki kesamaan.

Penyambutan tamu pada masyarakat Dayak
a. Pantak Pemarang (Gunting Pita)
Jika mendatangi daerah ini selalu di dahului dengan pemberitahuan kepada kepala kampung atau kepala adatnya, melaui camat atau pemerintah setempat. Dengan demikian kampung yang akan didatangi akan bersiap-siap dengan segala upacara adat dan pakaian adatnya. Apabila tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, maka tidak akan mendapat sambutan, dan biasanya tamu dicegat belum boleh masuk kampung.
Kepala adat segera datang menjumpai seorang tamu dan melancarkan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Pertanyaannya antara lain dari mana kamu datang, apa maksud kamu datang, mengapa, kapan dan lain sebagainya. Jika pertanyaan terjawab tanpa gugup dan jelas, maka kepala adat menyerahkan sebuah mandau yang tajam. Di hadapan tamu telah diletakkan sebuah kayu atau bambu yang terhalang untuk dipotomg oleh tamu agung. Kepala Adat sangat mengharapkan agar tamu dapat memotong bambu atau kayu tersebut. Jika tidak tahu cara memotong pasti mandau akan melenting dan tidak akan dapat memotong. Tetapi jika tahu caranya pasti dengan sekali ayunan bambu atau kayu penghalang tersebut akan terpotong. Jika sudah terpotong, kepala adat akan menjabat tangan tamu dan mempersilakan masuk untuk beramah tamah.

b. Kunjungan ke Kampung Rarai Dayak Linoh (Sintang)
Jika ingin bertamu ke kampung Rarai Dayak Linoh, sekitar seratus meter dari perkampungan tertulis “sebelum para tamu masuk kekampung memberikan tanda tembakan tiga kali, kami akan membalas enam kali tembakan“. Apabila ada tembakan balasan berarti mereka siap menerima tamu.
Letak kampung Rarai Dayak linoh berada di seberang lembah kecil, di bukit seberang, sedangkan tamu ada di bukit lain, mereka berbaris rapi tampak daun kelapa yang masih muda dibelah menghiasi di pintu masuk kampung. Setibanya kita di pintu kampung, kita disambut oleh kepala adat dan keluarga kepala kampung. Saat berjabat tangan terdengar gong kecil dan besar berbunyi bertalu-talu, mengerikan, seperti bunyi alarm kebakaran. Ternyata itu sambutan hangat dari rakyat untuk tamu-tamu agung. Kita dipersilakan masuk kampung berjalan di antara barisan kehormatan sepanjang jalan sampai ke tangga rumah. Di muka tangga, tamu di taburi dengan beras kuning tanda sambutan hangat dan suatu kehormatan tertinggi bagi tamu agung. Ibu-ibu menaburi beras sambil berdoa dalam nyanyian, mereka berterima kasih atas kedatamgan tamu agung, kiranya kedatangan tamu membawa segala berkat, baik kesehatan, peternakan, dan berkat pertanian.
Tamu kemudian disambut oleh gadis-gadis dan digandeng dengan sopan diantar naik tangga. Tamu naik harus dilakukan tujuh kali. Kali ketujuh barulah diperbolehkan memasuki ruangan tamu. Untuk memasuki ruang tamu, kita harus melalui sekeping besi dan sebuah telur ayam yang sudah diletakkan di depan tangga pintu masuk. Telur dan sekerat besi harus diinjak oleh para tamu, telur diinjak tidak sampai pecah, di saat itu beras kuning diperkuat taburannya, makin nyaring pula mereka berdoa dalam nyanyian, memohon berkat dan berterima kasih atas kedatangan tamu yang bermaksud baik untuk ke kampungnya.
Tiap-tiap benda dan perlakuan mereka selalu mengandung arti menurut adat dan kepercayaan mereka. Besi benda keras menunjukkan bahwa mereka adalah orang kuat. Telur yang bulat putih itu melambangkan kebulatan dan putih hatinya menerima tamu yang baik hati. Setelah masuk ruangan tamu dipersilakan duduk di atas sebuah gong besar. Bunyi gong besar dan kecil bergemuruh nyaring melengking serta bunyi tambur bertalu-talu tak henti-hentinya mengiringi seluruh acara terima tamu.
Acara terus berjalan. Selagi tamu masih duduk di atas gong besar datang seorang pengacara membawa seekor ayam putih dikipas-kipaskan di atas kepala tamu kemudian diturunkan di hadapan tamu. Di depan tamu sudah tersedia mangkok dan sebilah pisau. Pengacara mengangkat pisau dan meletakkan ke leher ayam untuk disembelih, darahnya di tampung di mangkok.
Sehelai sayap dicabut dan ayam diantar ke dapur untuk direbus. Pengacara mencelupkan bulu sayap ayam ke arah darah ayam, diangkatnya dan mulai dicontengkan ke dahi, ke pipi kiri dan kanan masing-masing tamu. Tujuan mereka mengibaskan ayam di atas kepala tamu agar terhindar dari penyakit dan lelah akibat dari perjalanan menuju kampung. Sedangkan menconteng darah maksudnya agar roh halus atau setan tidak berani mengganggu, kemudian sebilah pisau diangkat pengacara, dilekatkan ke dahi, dimasukkan ke mulut, digigit melintang akhirnya dilekatkan lagi ke tengkuk, leher sambil membaca doa. Setelah acara selesai tamu didatangi penduduk untuk bersalaman.
Pada masyarakat Melayu acara penyambutan tamu biasanya dengan penaburan beras kuning diiringi dengan pengucapan shalawat Nabi Muhammad.

Peresmian Bangunan Adat
Peresmian bangunan adat pada masyarakat Dayak seperti halnya pindah rumah yang baru atau menempati bangunan baru. Untuk pindah rumah biasanya harus dilaksanakan sebelum matahari terbit/pagi hari dan barang yang pertama kali dibawa adalah bahan makanan pokok seperti beras, garam, gula, minyak, dan bumbu-bumbu masak yang lain. Kemudian disusul dengan barang perlengkapan rumah tangga yang lain. Di rumah yang baru ini penghuninya mengadakan upacara adat yang bertujuan untuk meminta keselamatan pada Tuhan agar penghuni yang bersangkutan selalu sehat di rumah tersebut dan mudah mendapatkan rizki.
Pada masyarakat Melayu peresmian rumah/bangunan baru selalu dirayakan dengan pembacaan al-Barzanji, Tepung Tawar pada setiap sisi rumah dengan doa-doa untuk memohon keselamatan, juga dibacakan doa tolak bala agar rumah dan penghuninya dijauhkan dari bala atau halangan-halangan.

Partisipasi Masyarakat
Pada saat akan dilaksanakan pesta adat biasanya dilakukan persiapan-persiapan untuk acara tersebut. Ada pesta yang hanya dilakukan di lingkungan keluarga saja, gang, atau ada juga yang melibatkan partisipasi masyarakat secara keseluruhan, se-kecamatan, atau bahkan se-kabupaten, seperti halnya pesta “Robo-Robo”. Pesta ini dilaksanakan masyarakat Melayu khususnya di Mempawah.
Pesta Robo-Robo dilaksanakan satu tahun sekali pada bulan Syafar, yaitu pada hari Rabu terakhir di bulan Syafar tahun Islam. Acara Robo-Robo biasanya juga disebut Syafaran. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bulan syafar merupakan bulan banyaknya turun bala dari yang Maha Kuasa, artinya bulan Syafar merupakan bulan yang paling naas atau penuh kesialan. Sejarah Nabi seperti terlepasnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun karena mukjizat terbelahnya air laut, diselamatkannya Nabi Ibrahim dari kobaran api untuk membakarnya, diselamatkannya Nabi Yunus dalam perut ikan, dan lain-lain.
Bagi penduduk daerah Kabupaten Pontianak di Mempawah, upacara ini bersifat sejarah karena upacara ini dikaitkan dengan peristiwa penting dalam sejarah kehidupan kerajaan Mempawah, antara lain pendaratan pertama Opu Daeng Menambun, putra bugis pendiri kerajaan Mempawah, dan kematian beliau sebagai panembahan pertama kerajaan itu. Upacara tersebut bersifat keagamaan yaitu permohonan/doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar seluruh masyarakat diselamatkan dari bala bencana yang dapat menimpa sewaktu-waktu.
Aktifitas yang dilakukan penduduk dalam penyelenggaraan upacara ini antara lain membuat kenduri, sesajian, turut serta dalam lomba sampan, atau menyelenggarakan hiburan-hiburan lain. Sementara penduduk di desa-desa turut membuat kue-kue khusus terutama ketupat untuk kenduri sekeluarga atau besama-sama tetangga.
Di kalangan keluarga bangsawan keterlibatan dalam acara Robo-Robo adalah melakukan ziarah ke makam para Panembahan Opu Daeng Menambun. Mereka berkumpul secara resmi di istana, berzikir, bertahlil, dan berkenduri serta melakukan ziarah.

Pesan Komunikasi dalam upacara Adat
Apakah dalam adat masyarakat Kalimantan Barat masih mengandung nilai-nilai komunikasi dan kebersamaan? Tentu saja ada. Misalnya di daerah Kendawangan, Kabupaten Ketapang, masyarakatnya menganggap nilai-nilai komunikasi yang terkandung dalam perayaan adat merupakan milik bersama (nilai kebersamaan).
Nilai tenggang rasa misalnya dalam menjalankan upacara adat di Kalimantan Barat yang terdiri dari tiga suku besar yaitu Dayak, Melayu, dan Cina, masing-masing masyarakat menghormati adat masing-masing.
Nilai rela berkorban pada upacara adat yang diselenggarakan seluruh warga masyarakat seperti Robo-Robo, warga masyarakat rela mengorbankan waktu, tempat, bahkan biaya untuk memeriahkan jalannya upacara. Contoh lain pada kegiatan gotong royong masyarakat setempat mempunyai kesadaran yang tinggi tentang pentingnya gotong royong. Contoh lain lagi misalnya pada acara perkawinan, saat pembuatan selasar atau teras masyarakat sekitarnya tidak perlu diperintah datang untuk membantu.

Kearifan lokal dalam bidang politik
Dalam hal Politik, beberapa kebijakan khusus pemerintah daerah yang dapat disebut kearifan lokal adalah Sharing Power (berbagi kekuasaan, terutama antara Melayu dan Dayak, Islam dan non Islam). Budaya politik Sharing Power ini menjadi ajang kerjasama dan pemersatu diantara dua etnis dan agamka tersebut. Pada sisi lain, sharing power dalam kekuasaan politik terbukti mampu meredam konflik antar masyarakat yang berbeda etnis dan agama, paling dari segi kepentingan politik lebih terakomodasi. Sharing power ini dalam politik direalisasikan dalam bentuk pembagian posisi kuasa. Misalkan jika Calon Bupati Melayu–Muslim, maka wakilnya mesti Dayak–Nonmuslim, atau sebaliknya. Kearifan ini telah menjadi nilai kesepakatan di seluruh wilayah pemerintahan di Kalbar. Sebagai contoh, Bupati Kapuas Hulu Melayu–Muslim, Wakilnya Dayak–nonmuslim, Sintang Bupatinya Dayak-nonmuslim, Wakilnya Melayu-Muslim, Melawi Bupatinya Dayak-Nonmuslim, Wakilnya Melayu-Muslim, Sekadau Bupatinya Dayak-nonmuslim, Wakilnya Melayu-Muslim, Sanggau Bupatinya Dayak-nonmuslim, Wakilnya Melayu – Muslim. Kecuali itu adalah pasangan Gubernur (Dayak-China).
Kearifan lokal politik di Kalbar seperti ini sepertinya telah memberikan pengaruh yang sangat positif dalam meredam konflik di satu sisi, dan di sisi lain mampu memelihara kedamaian dalam hubungan etnis dan agama di Kalbar.
Kearipan lokal lainnya yang menyangkut kebijakan pemerintah daerah adalam pengakuan terhadap eksistensi adat budaya masing – masing etnis yang ada di Kalbar. Realisasi kearifan lokal ini berupa pasilitasi intituionalisasi lembaga adat budaya seperti Majlis Adat Buaday Melayu (MABM), Majlis Adat Budaya Dayak (MABD), Majlis Adat Budaya Tionghoa (MABT) dan lai-lain.

Seri Artikel Komunikasi

RAMBU-RAMBU
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Berkomunikasi pada dasarnya
hanyalah upaya untuk mendekatkan keinginan kita dengan orang lain,
bukan harus memaksakan keinginan tersebut
untuk diterima oleh orang lain

(Aksioma Komunikasi)

Artikel ini merupakan sebagian dari isi buku penulis "Probematika Komunikasi Antarbudaya di Kalbar", yang diterbitkan oleh STAIN Pontianak Press, tahun 2005. buku ini merupakan buku wajib bacaan bagi Mahasiswa jurusan Dakwah STAIN Pontianak Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (Pengantar khusus Penulis untuk blog ini).

Berkomunikasi, tidak lain adalah aktivitas pemenuhan harapan dan keinginan antar pribadi orang, kelompok dan subjek yang terlibat dalam proses tersebut, baik sebagai komunikator maupun komunikan. Baik pemenuhan harapan dan keinginan secara lisan (speech - verbal communication), isyarat anggota badan (nonverbal communicatin), maupun antar idea dan pemikiran (inter ideas and think communication).

Dalam bentuk apapun, komunikasi itu senantiasa melibatkan paling tidak dua subjek di dalamnya sebagai komunikator dan komunikan (termasuk intrapersonal communication). Karena itu ada beberapa – banyak - hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan komunikasi yang baik dan efektif antar subjek tersebut. Sebab setiap subjek senantiasa memiliki cara dan sikap hidup yang juga berbeda, setiap orang (dari kelompok budaya apapun, dan dari latar belakang manapun) senantiasa memilik frame of reference dan field of eksperience yang juga berbeda. Perbedaan ini juga, tentu saja akan membentuk pola dan cara komunikasi yang dibangun. Atas dasar itu maka, perbedaan pada masing – masing subjek (yang terlibat dalam komunikasi) – selain unsur lainnya dalam komunikasi semisal pesan, media, dan konteknya – mesti dipahami dengan baik dan benar, sehingga bisa disikapi secara baik, wajar dan apa adanya. Berikut beberapa rambu – rambu dalam komunikasi antarbudaya.

Pahami diri dan orang lain

Ada sebuah pertanyaan dilontarkan oleh seseorang dalam teka tekinya ; apa yang paling sulit dipahami oleh setiap manusia., Yang paling sulit dipamahi oleh manusia dalam komunikasi adalah memahami diri sendiri. Baru setelah itu memahami orang lain.

Pemahaman yang baik terhadap diri akan menentukan keberhasilan mengerahkan segala potensi komunikasi yang ada dalam diri seseorang. Kemampuan mengenal diri sendiri, juga merupakan kunci untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan yang ada dalam diri seseorang.

Dalam kajian komunikasi, pengenalan terhadap diri dan orang lain, biasa diistilahkan dengan persepsi dan konsepsi diri. Persepsi dan konsepsi yang baik dan fositif terhadap diri dan orang lain, akan membentuk komunikasi yang baik dan positif pula dalam membangun hubungan komunikasi dengan orang lain. Sebaliknya persepsi dan konsepsi yang jelek dan negatif terhadap diri dan orang lain, juga akan menjadikan komunikasi yang janggal, penuh curiga, ugal-ugalan dan meremehkan dalam hubungan antar manusia. Pantaslah ada ungkapan komunikasi yang menyatakan bahwa, “orang cendrung akan berkomunikasi sebagaimana persepsi dan konsepsi yang ia miliki terhadap komunikasi yang akan ia lakukan”.

Ungkapan tersebut, jika dilanjutkan akan berarti bahwa, tatkala anda merasa diri anda lebih hebat, lebih baik dan lebih pintar dari orang yang akan anda temui, maka tentu anda akan melakukan komunikasi dengan santai, penuh percaya diri, terkadang sembarangan dan sombong. Sebaliknya jika anda merasakan diri anda rendah, miskin, jelek, maka anda akan melakukan komunikasi dengan pelan, menunduk, malu, bahasa yang lemah lembut dan tidak percaya diri.

Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain juga berlaku sama. Contoh, ketika seseorang memandang bahwa yang akan ia hadapi adalah seorang Dosen, Intelektual, pintar dan berwibawa, maka ia akan melakukan komunikasi dengan penuh penghormatan, sistematis bahasanya, selektif omongannya, bahkan cendrung merendah dan malu-malu. Sebaliknya jika anda punya persepsi dan konsepsi bahwa yang akan anda temui adalah seorang pemulung, yang meminta-minta, maka kemungkinan anda akan melakukan komunikasi dengan kasar, arogan, ugal-ugalan, sembarangan, bahkan maki-makian.

Karena itu, kemampuan memahami diri dan orang lain sangat menentukan dalam membangun komunikasi yang baik, apa lagi dalam kajian komunikasi antarbudaya. Untuk itulah, ada baiknya kembali dilihat persepsi dan konsepsi dalam komunikasi, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

Persepsi dan konsepsi diri.

Secara sederhana persepsi adalah proses aktif dan kreatif manusia dalam mengkonstruk suatu gambar mengenai dunia, benda, situasi, persitiwa, diri dan orang lain disekitar kita. Ia adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisir dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita, bahkan ia adalah inti dari komunikasi .

Defenisi lain mengenai persepsi dapat dilihat pada Brian Fellows : sebagai proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi, atau Kennet A Sereno dan Bodaken : sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita, atau john R Wenburg dan W Wilmot : cara organisme memberi makna, atau J Cohen : interpretasi bermakna atas sensasi sebagai refresentasi objek eksternal – pengetahuan yang tampa mengenai apa yang ada di luar sana .

Persepsi pada akhirnya akan membentuk konsepsi tertentu terhadap apa yang dipersepsi. Karena itu persepsi dan konsepsi senantiasa pengaruh – mempengaruhi. Persepsi yang salah akan membuat kelirunya konsepsi. Sebaliknya konsepsi yang salah juga akan membuat persepsi yang tidak benar. Jika digambarkan dalam bagan, maka persepsi dan konsepsi bagaikan lingkaran komunikasi ayam dan telur ayam, yang tidak pernah tau mana yang lebih dahulu keduanya.

Terlepas dari itu, persepsi dan konsepsi terhadap diri akan menentukan pola dan bentuk komunikasi yang akan dilakukan. Ketika persepsi dan konsepsi terhadap diri baik dan benar, maka komunikasi yang dilangsungkan akan mungkin berjalan dengan baik, positif, penuh percaya diri dan maksimal. Sebaliknya jika persepsi dan konsepsi diri kurang baik dan keliru, maka komunikasi yang terbangun akan bersifat tidak maksimal dan kurang percaya diri.

Sebagai sebuah proses stimuli untuk memberi makna terhadap suatu objek yang dipersepsi dan dikonsepsi, ada beberapa katagori besar objek yang dapat dipersepsi.

Pertama, terhadap lingkungan pisik, kongkrit dan dapat diamati secara nyata.
Kedua, terhadap objek-objek dan kejadian social yang kita alami dan saksikan dalam lingkungan social kita. Persepsi social ini senantiasa dipengaruhi oleh pengalaman (field of eksperience) seseorang, bersifat selektif, bersifat dugaan karena mempersepsi juga adalah menduga makna dari suatu objek yang diamati, dipersepsi dan dikonsepsi. Persepsi juga bersifat evaluatif dan kontekstual.

Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain.

Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain pada dasarnya hampir sama dengan terhadap diri sendiri. Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain, selain referensi dari luar dirinya dalam memandang orang lain, ia juga dipengaruhi oleh frame of referense dan field of eksperience dalam diri seseorang. Karenanya ada beberapa prinsip yang berlaku dalam mempersepsi dan mengkonsepsi orang lain dalam komunikasi antarbudaya .

Pertama, adanya kemiripan, kedekatan dan kelengkapan pada struktur objek dan kejadian. Struktur dan kejadian dimaksud dalam mempersepsi dan mengkonsepsi orang lain tentu saja mereka yang berada diluar pribadi yang mempersepsi dan mengkonsepsinya.

Kedua, kita cendrung mempersepsi dan mengkonsepsi suatu ransangan atau kejadian yang terdiri dari objek dan latar belakangnya. Semakin mirip suatu ransangan dan kejadian dengan ojek dan latar belakangnya, maka semakin mudah dan semakin baiklah persepsi dan konsepsi yang diberikan terhadap orang lain. Meskipun harus ditegaskan bahwa, tidak ada persepsi yang objektif. Semua persepsi pada dasarnya adalah subjektif. Andrea L Rich telah mengomentari ini dengan pernyataannya “persepsi pada dasarnya mewakili keadaan fisik dan psikologis individu, alih-alih menunjukkan karakteristik dan kualitas mutlak objek yang dipersepsi .

Sebagaimana terhadap diri sendiri, persepsi dan konsepsi terhadap orang lain juga terikat dan dipengaruhi oleh budaya (culture bound). Bagaimana memaknai suatu pesan, objek, atau lingkungan bergantung pada sistem nilai dan budaya yang kita anut, termasuklah di sini agama, ideology, tingkat intelektualitas, ekonomi, profesi dan word view seseorang juga akan mempengaruhinya dalam mempersepsi dan mengkonsepsi objek dan orang lain dalam komunikasi.

Berkaitan hal tersebut, Larry A Samovar dan Richard E Forter mengemukan unsur-unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi dan konsepsi komunikasi, yakni : kepercayaan (beliefs), nilai (values), sikap (attitudes), pandangan dunia (worldview), organisasi social (social organization), tabiat manusia (human nature), orientasi kegiatan (activity orientation), persepsi tenteng diri dan orang lain (perception of self and others).

Persepsi dan konsepsi dalam komunikasi juga dipengaruhi (cendrung dirusak) oleh karena kesalahan atribusi (penyebab perilaku orang lain), efek hallo (penilaian menyeluruh terhadap suatu sifat tertentu pada orang lain), streotif (generalisasi yang tidak cukup informasi), prasangka dan gegar budaya .

Sikapi Perbedaan secara wajar

“Kematangan dalam budaya adalah kemampuan bertoleransi atas perbedaan, mengutuk orang lain karena perbedaan adalah tanda kebengalan dan kecongkakan”. Demikian statemen yang dilontarkan oleh para ahli komunikasi ketika menjelaskan perlunya sikap yang wajar terhadap perbedaan dalam komunikasi antarbudaya .

Jika meruntut akar perbedaan dalam diri manusia, maka semua orang akan sepakat bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan tak terelakkan (conditio sain quo non). Dalam islam, perbedaan manusia adalah sunnatullah yang telah ditentukan jauh sebelum manusia itu diciptakan, yang dikenal dengan takdir Tuhan.

Dalam al-qur`an misalnya dengan jelas Allah berkata bahwa perbedaan adalah kehendah-Nya, jikalau Allah menghendaki semua manusia adalah satu, maka itu bukan persoalan yang sulit (Q.S. : ). Akan tetapi Allah berkeinginan menciptakan manusia yang beragam suku, bangsa,laki-laki dan perempuan dengan maksud supaya manusia dapat saling melengkapi, mengenal satu sama lain, dan pada akhirnya berkompetisi dalam kebajikan dan taqwa (al-Hujarat : 13).

Hukum alam sebetulnya juga telah mengisyaratkan, betapa perbedaan adalah hukum alam yang menjadikan kehidupan ini lengkap dan sempurna. Air sebagai zat yang mencair tidak akan pernah eksis jikalau tanpa adanya api dan panas yang membakar. Panasnya matahari pada siang hari, juga tidak akan pernah dirasakan oleh alam ketika tidak adanya kesejukan dan dingin pada malam hari.

Orang kaya tidak akan pernah ada, jikalau tidak adanya orang lain yang miskin, profesi dosen tidak akan ada, manakala tidak adanya mahasiswa yang mengikuti kuliah. Mahasiswa tidak akan pernah ada jikalau dibawahnya tidak ada yang namanya mahasiswa, dan seterusnya.

Demikian pula komunikasi, hubungan antarmanusia tidak akan pernah terjadi tarik menarik ketika tidak adanya keinginan dan harapan yang sama dari subjek yang berbeda. Harapan terpenuhinya keinginan seseorang tidak akan pernah terjadi, jika orang tersebut tidak pernah merasakan membutuhkan dan memerlukan sesuatu itu.

Contoh-contoh di atas, cukup menggugah kita bahwa perbedaan adalah sesuatu yang mesti ada. Karena itu sikap yang mesti dibangun dalam diri komunikator antarbudaya adalah, sikap memahami orang lain secara wajar, dengan dan dalam segala perbedaannya, bukan menafikan keberadaan pihak lain hanya karena mereka berbeda. Disinilah mesti dipahami aksioma komunikasi yang menyatakan bahwa “berkomunikasi, bukanlah pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti (sama seperti) kita, melainkan mendekatkan pemahaman orang lain mengenai diri kita (yang berbeda)”.

Ketika perbedaan yang ada mampu disikapi dengan baik dan wajar sebagai realitas komunikasi, maka akan tumbuhlah kewajaran sikap untuk mau memahami, menjelaskan dan menghargai perbedaan yang ada. Asumsi yang dikembangkan dalam sikap ini, tentu saja penghargaan bahwa orang lain mungkin baik dan benar, sebagaimana kebaikan dan kemungkinan kebenaran yang kita yakini, dan kita mungkin salah dan keliru sebagaimana orang lain juga bisa salah dan keliru.

Akan tetapi dari semua itu, yang harus anda ketahui bahwa, tidak ada satu manusia-pun yang akan berpegang (mati-matian) pada suatu prinsip, cara hidup dan nilai yang ia tau betul bahwa itu tidak baik, salah dan maksiat. Setiap orang akan mempertahankan cara hidup, prinsip dan nilai yang ia tau betul, dan yaqin bahwa hal itu baik dan benar-minimal dalam perspektif diri pelakunya. Oleh karena itu, sikap yang mesti dibangun dalam komunikasi antar orang-orang yang berbeda budaya adalah, pelajari dan pahami mengapa mereka berbeda dengan kita, apa yang menjadi pertimbangan mereka mengambil sikap, cara hidup dan prisip yang berbeda dengan kita dan sebagainya. Ketika hal ini terjawab, maka akan terjawablah “kotak hitam budaya” yang ternyata, mereka bersikap seperti itu, melakoni cara hidup seperti itu, dengan prinsip yang begitu, adalah karena ini dan seterusnya. Dengan demikian maka, perbedaan tadi tidak lagi menjadi persoalan dan biang bagi tumbuhnya sikap antipati, melainkan sesuatu yang menyenangkan dan bisa saling melengkapi.

Sikap inilah yang harus ditumbuh-kembangkan dalam komunikasi antarbudaya, dimana terbukanya peluang untuk saling membuka diri, memahami dan menghargai perbedaan yang ada. Penulis optimis, jika sikap ini telah menjadi pegangan dan cara hidup kesemua pelaku komunikasi antarbudaya, maka tidak akan pernah terjadi lagi konflik social antaretnis dengan mengkambing-hitamkan perbedaan budaya.

Pelajari mengapa mereka berbeda

Pentanyan “mengapa mereka berbeda”, adalah kelanjutan dari sikap komunikasi budaya yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Dan merupakan kelanjutan dari kemampuan menyiakapi secara wajar perbedaan yang ada.

Selain karena sunnatullah, orang berbeda cara hidup, tutur kata dan bahasa, nilai-nilai anutan dan prinsip hidup adalah ditentukan oleh budaya dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Orang yang dilahirkan di desa terpencil, dan dibesarkan di tengah keluarga kampungan, makan rebung dan tempoyak, tentu saja akan berbeda cara komunikasinya dengan orang yang dilahirkan di tengah gemerlap kota dan dibesarkan dalam keluarga sehat sejahtera empat sehat lima sempurna.

Anak yang dididik dengan ketertekanan jiwa, broken home dan ketelantaran tanggung jawab keluarga, tentunya akan berbeda cara komunikasinya dengan anak yang dididik dengan penuh kegembiraan, kasih sayang dan perlindungan dari orang tuanya.

Pada contoh pertama akan ditemukan kemampuan berkomunikasi yang baik, cerdas, kritis, percaya diri dan cara yang positif lainnya. Sebaliknya pada contoh kedua, akan ditemukan kemampuan komunikasi yang kurang lancar, malu-malu, kaku dan tidak percaya diri.

Ada bebagai factor lain yang membuat karakteristik perbedaan masing-masing individu dalam komunikasi, antara lain adalah pendidikan yang didapatkan oleh anak manusia sejak mereka dalam rumah tangga. Berkaitan dengan hal ini Jalaludin Rahmat (2001) mengutif ungkapan :

CHILDREN LEARN WHAT THEY LIFE
Anak belajar dari kehidupannya

If a child lives with criticism, he learn to condemn
(jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki)
if a child lives with hostility, he learn ti fight
(jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi)
if a child lives with ridicule, he leran to be shy
(jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri)
if a child lives a shame, he leran to feel quilty
(jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri)
if a child lives with tolerance, he learn to be patient
(jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri)
if a child lives with encouregement, he learn to be confident
(jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri)
if a child learn to with praise, he learn to appreciated
(jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai)
if a child lives with fairness, he learn to justice
(jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan)
if a child lives with security, he lerans to have faith
(jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan)
if a child lives with approval, he lerans to likes himself
(jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri)
if a child lives with acceptance and friendshif, he learns to find love in the world
(jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan)

Pelajari mengapa mereka berbeda, juga mensyaratkan komunikasi yang mesti melihat kontek (ruang dan waktu) dimana, dan kapan komunikasi itu berlangsung. Komunikasi dalam kontek ini, akan menjelaskan perbedaan komunikasi yang dilakukan dalam percakapan formal dengan non formal dan informal. Perbedaan komunikasi dalam hubungan struktur kerja dengan komunikasi dalam hubungan sahabat dan pertemanan, komunikasi dengan sesama jenis kelamin dengan yang berbeda jenis kelamin dan lain sebagainya. Kontek komunikasi ini juga akan menjelaskan perbedaan komunikasi yang berlangsung dalam suasana suka ria dengan ketika suasana duka cita, suasana kesal, sedih dan baru putus cinta akan berbeda komunikasinya dengan ketika dalam suasana senang, puas, dan baru diterima cintanya dan lain sebagainya.

Nuansa komunikasi atasan yang kebetulan baru dipromosikan untuk sebuah jabatan yang lebih tinggi, akan berbeda dengan komunikasi yang berlangsung tatkala atasan mendapat teguran pimpinan karena kesalahan membuat laporan kerja unit dan sebagainya.

Oleh karena itu, jangan ceroboh untuk menghakimi sikap orang yang pemdiam dan tidak menyapa ketika anda lewat didepan ruangannya, hanya karena dalam frame of reference dan field of eksperience kita yang menganggap itu sebagai bentuk kesombongan dan ketidak-pedulian. Sebab, mungkin saja saat itu ia sedang berduka lantaran ada masalah di rumah, bertengkar dengan isteri atau anaknya lagi sakit kritis di rumah sakit.

Perbedaan sikap seperti ini akan sering sekali ditemukan dalam komunikasi antarbudaya, dan seringkali pula menimbulkan kesalahpahaman dan konflik antar pribadi dan komunitas budaya.

Hindari Evaluasi terhadap perbedaan

Rambu berikutnya adalah hindari evaluasi yang tergesa – gesa terhadap perbedaan sebagai suatu sikap yang salah dan keliru. Di atas telah dicontohkan sikap seseorang yang diam dan tidak menyapa tatkala anda lewat di depan ruangannya. Berikut akan dikemukan beberapa contoh kesalahan-pahaman komunikasi (misunderstanding-miscommunication) antarbudaya yang berujung pada konflik peribadi dan budaya.

“anda tentu masih teringat peristiwa jatuhnya dua bom raksasa pasukan sekutu yang meluluh lantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki Jepang. Peristiwa itu terjadi ketika pasukan sekutu AS (yang dipimpin oleh Jendral Mc Athur) menginstruksikan Jepang agar menyerah dalam perang dunia II. Oleh jepang, instruksi tersebut di jawab dalam isyarat – bahasa Jepang ”Mokusatsu” yang berarti ”kami akan mentaati ultimatum tuan tanpa komentar”. Jawaban itu dipahami oleh pasukan sekutu yang berada di pesawat udara dengan makna ”mengabaikan” atau ”Jangan memberi komentar sampai keputusan diambil”. Ini berarti isyarat pembangkangan dan penolakan untuk menyerah, maka dijatuhkanlah dua bom itu di dua kota terbesar di Jepang : Hiroshima dan Nagasaki. Akibatnya Jepang hancur dan mengalami kerugian Sumber daya dan material yang tak terhitung jumlahnya” .

“Pasangan muda-mudi pernah bertengkar sekembalinya dari sebuah restoran pada suatu malam. Pertengkaran itu bermula dengan ketersinggungan melihat tingkah laku sang pacar yang diam, tidak mau berbicara, bahkan berpaling membelakangi dirinya. Di matanya sang pacar lagi marah, dan tidak lagi mencintainya. akibat tak kuasa menahan amarah dan ketersinggungannya itu, iapun keluar meninggalkan pacarnya itu dengan kesal. Peristiwa itu berlalu hingga keduanya berjalan pulang. Dengan kesal ia mendengarkan penjelasan pacarnya bahwa ia diam karena di restoran itu ada paman dan bibinya yang juga sedang makan malam, duduk di kursi kedua bagian depannya lagi. Makanya aku tak berani bicara dan memalingkan hadapanku. Kamukan tau kalau paman dan bibi tidak senang dengan hubungan kita, kata si pacar menjelaskannya”

Anda dapat membayangkan betapa kondisi itu bisa menjadikan malapetaka bagi siapa saja ketika evaluasi terlampau ceroboh diberikan pada kedua contoh kasus diatas, yang secara lahiriah – manusiawi, memang memiliki makna pembangkangan, penolakan dan ketidak-cintaan. Akan tetapi ternyata isyarat tersebut mempunyai makna khusus karena situasi dan kondisi saat itu.

Oleh karenanya, komunikasi yang baik dan efektif, akan terbangun jika pribadi dan komunitas budaya tidak terlalu mudah memberikan evaluasi terhadap sikap budaya yang berbeda antar partisipan komunikasi. Baik itu evaluasi positif maupun negatif. Evaluasi positif yang keliru akan menjadikan komunikasi yang dibangun gagal. Apalagi terhadap evaluasi yang negative, tentu saja bisa menjadi petaka dan konplik komunikasi.

Mulailah dari yang terkecil

Mulailah dari yang terkecil : komunikasi antarbudaya yang baik dan efektif mensyaratkan sikap keterbukaan, toleransi dengan perbedaan, pemahaman dan penghargaan terhadap perspektif orang lain yang mungkin benar sebagaimana kemungkinan perspektif kita yang salah, mesti dilakukan oleh setiap peserta komunikasi antarbudaya. Baik dalam hubugan social antarbudaya, antar ras, antar agama, antar bangsa dan negara, antar profesi, antar etnis maupun antar pribadi dan intra pribadi.

Sebagai prasyarat terwujudnya komunikasi antarbudaya yang baik dan efektif, kesediaan membuka diri, dan kemampuan memahami perbedaan dan perspektif orang lain, mesti harus dimulai dari hubungan komunikasi yang paling kecil yakni hubungan dialogis ide, pemikiran dan pertimbangan dalam diri sebelum keputusan komunikasi itu dilakukan (intrapersonal communication). Ini berarti bahwa komunikator antarbudaya yang baik mesti mampu mengatasi gejolak ide, pertarungan pemikiran dan pertimbangan dalam diri ketika akan mengambil suatu sikap atau keputusan.

Sebagai contoh dalam kontek ini, anda dapat membayangkan betapa terkadang anda punya keraguan yang luar biasa, untuk menentukan sebuah sikap atau keputusan. Terkadang ide, pikiran dan pertimbangan anda cendrung mengambil sikap dan keputusan A, terkadang cendrung untuk keputusan B. terkadang pengalaman budaya (Frame of reference dan field of eksperience) kita menghendaki untuk mengambil sikap dan keputusan A, terkadang juga untuk keputusan B. perdebatan intra personal ini tidak jarang membawa pada sebuah kegagalan komunikasi budaya yang akan dilakukan, sebab semua komunikasi (dalam bentuk dan kontek apapun) senantiasa berlangsung melalui komunikasi intrapersonal. Karena itulah, keberhasilan komunikasi dalam kontek yang lebih luas dan besar, sangat ditentukan oleh keberhasilan mengatasi persoalan komunikasi dalam kontek kecil intrapersonal ini.

Mulailah dari yang terkecil, bermakna bahwa komunikasi antarbudaya yang baik mesti dimulai oleh setiap pribadi komunikator antarbudaya, dalam bentuk apapun dan kontek manapun, termasuk komunikasi dalam diri pribadi (intrapersonal communication). Seseorang yang tidak mampu mengatasi kejolak tarik-menarik dan pertimbangan yang baik dan akurat dalam dirinya, maka ia akan gagal dalam melakukan komunikasi ke luar dirinya (to out others). Seseorang yang ceroboh, latah dan ugal-ugalan dalam komunikasi, merupakan gambaran komunikator yang tidak mampu mengatasi gejolak intrapersonal dengan baik. Akibatnya tentu saja akan merusak komunikasi yang dibangun dengan orang lain diluar dirinya, termasuk komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) dan antarbudaya (intercultural communication).

Perbaiki sikap antarbudaya

Setiap manusia hidup dalam komunitas dan sistem social tertentu yang tak terbantahkan, karenanya ia juga mempunyai cara hidup dan tuntunan perilaku tersendiri pula yang membedakan satu dengan lainnya. Realitas ini menunjukan bahwa aksioma filsafat yang mengatakan manusia adalah hewan yang berfikir, maka aksioma tersebut juga membenarkan bahwa dengan berfikir maka manusia berbudaya.

Budaya dalam pengertian sederhana adalah cara hidup manusia yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh nilai, norma, sikap, agama, adat istiadat, objek material dan non material, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Edward T Hall memberikan defenisi budaya sebagai The total way of life of a people, composed of their learned and shared behavior patterns, values, norms, and material objeks (keseluruhan cara hidup manusia yang dipelajari dan dipertukarkan dalam membentuk tingkah laku, nilai-nilai, norma-norma, dan objek material lainnya).

Dengan demikian, setiap manusia yang terlibat dalam komunikasi sudah memiliki budaya (cara hidup dan berperilaku) tersendiri, karenanya komunikasi yang baik dan mesti dibangun bukanlah menafikan cara hidup dan budaya para pelakunya, melainkan mendekatkan kesamaan budaya diantara mereka. Pantaslah prinsip komunikasi antarbudaya salah satunya menyatakan bahwa “semakin mirip latar belakang social dan budaya antar pelaku komunikasi, akan menjadikan komunikasi itu lebih baik dan efektif. Sebaliknya semakin besar perbedaan latar belakang social dan budaya keduanya maka semakin sulitlah komunikasi dibangun antar komunitas budaya yang berbeda” .

Melihat kondisi ini jelas bahwa, sikap yang harus dibangun dalam komunikasi antarbudaya adalah sikap yang tulus untuk memahami, mempelajari dan menghargai setiap perbedaan yang ada antara kita dengan orang lain, sembari juga membuka diri untuk dikenali, dipelajari dan dipahami oleh orang lain, termasuk kelebihan dan kekurangan yang ada.

Sikap yang tulus antarbudaya, tentu saja juga berupa perasaan yang terbuka bagi siapapun yang mungkin berbeda dengan kita, kendatipun terhadap prinsip hidup tertentu. Bukan sebaliknya antipati dengan perbedaan. Menghakimi setiap mereka yang berbeda dengan cara hidup dan perspektif kita adalah salah, adalah anggapan – perolaku yang keliru. Karenanya harus diluruskan, jika perlu disingkirkan. Paradigma inilah yang dicela dalam membangun komunikasi yang baik antarbudaya dengan ungkapan kebengalan dan kecongkakan. Sebab orang yang matang dan dewasa dalam budaya adalah mereka yang dapat menghargai setiap perbedaan dalam diri manusia sebagai makhluk yang berkomunikasi dan berbudaya .

Perangkat komunikasi antarbudaya yang baik, sesungguhnya sudah ada dalam seperangkat hukum kita (negara dan agama). Hukum negara yang melandaskan kehidupan social kemanusiaan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika, bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam kesatuan – Negara Republik Indonesia.

Hukum agama juga menyatakan perbedaan adalah Sunnatullah, manusia dinilai bukan karena perbedaan ras, suku, jenis kelamin, orang arab dan non arab, dan sebagainya. Tetapi kenyataannya, bangsa kita hingga saat ini masih jauh dari sikap penghargaan terhadap budaya yang ada. Kebebasan mengekspresikan budaya di masa orde baru merupakan bukti nyata betapa perilaku antarbudaya yang tidak seimbang dilakukan oleh bangsa kita. Suatu komunitas bebas mengekspresikan budaya dan cara hidupnya, sementara komunitas tertentu lainnya dipasung kebebasan dan kesempatan untuk memperkenalkan budaya sendiri. Akibat lebih jauh dari sikap anatarbudaya seperti ini adalah, tabunya komunitas bangsa terhadap perbedaan budaya yang ada. Inilah yang mesti di perhatikan dalam membangun sikap antarbudaya yang baik dan kondusif, guna membangun komunikasi yang baik antarbudaya.

Seri Artikel Motivasi

URANG ULU: DULU SAMPAI KINIH
Oleh: Ibrahim MS

Ketertinggalan, keterbelakangan, tidak berpendidikan, miskin, lugu, polos, hidup jauh di pedalaman, hingga jauh dari kemajuan dan kemodernan, itulah identitas yang selalu diberikan oleh banyak orang kepada urang ulu. Bahkan pada sebagian orang ulu, penilian sedemikian diakui sebagai identitasnya sehingga menjadikan mereka tidak percaya diri ketika berhadapan dengan orang lain. Penilaian tersebut mungkin dapat dibenarkan jika yang dimaksudkan adalah urang ulu pada era 10, 20 atau lebih dari 30 tahun yang lalu.
Tahun 80 –an akhir, ketika penulis masih kecil, hanya ada satu buah tv di kampung, yang dijadikan sebagai sumber informasi, itupun yang tv hitam putih. Bisa menonton tv masa itu merupakan kebahagiaan yang luar biasa. Selain itu ada lah beberapa buah radio yang biasa didengarkan oleh masyarakat kampung di rumah-rumah. Masa itu, media informasi merupakan barang langka dan susah didapatkan.
Untuk transportasi yang menghubungkan antar kampung masih menggunakan jalan setapak di tengah hutan dan di bawah rindang pohon tengkawang. Untuk sekolah harus pergi berjalan kaki ke kampung lain, karena tidak setiap kampung ada sekolah. Hampir tidak ditemukan warga kampung yang menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat SMP atau SMA. Sekedar menamatkan pendidikan dasarpun hanya dapat dihitung beberapa orang saja pada masa itu.
Singkat cerita, masa-masa itu tidak sedikitpun gambaran tentang kota dengan kemajuannya terlintas dalam memory seorang anak kampung. Bagi orang kampung, pagi hari adalah waktu untuk kerja menores karet, berladang dan berbagai pekerjaan lainnya guna menopang kebutuhan hidup sehari-harinya hingga datang malam hari untuk istirahat. Listrik belum tersedia, sehingga begitu malam datang, semuanya hanyalah bersiap untuk tidur dan beristirahat untuk memulihkan tenaga agar dapat kembali berangkat kerja besok harinya. Begitulah waktu demi waktu dilalui oleh urang ulu dalam kehidupannya puluhan tahun yang silam.
Memasuki tahun 1990 –an awal, pembangunan inprastruktur jalan mulai masuk, transportasi antar kampung hingga antar daerah yang cukup jauh mulai terbuka. kehadiran “orang-orang kota” sebagai pekerja proyek jalan dari luar daerah membawa pengaruh tersendiri terhadap wawasan hidup urang ulu. Kondisi ini membuat ruang komunikasi masyarakat di kampung semakin terbuka dengan dunia luar. Sedikit demi sedikit urang ulu mulai mengenal “orang kota”, kemajuan di kota dan gaya hidup kota yang berbeda dengan apa yang selama ini dilihatnya. Keinginan untuk mengenal hidup “orang kota” dan kemajuannya mulai tumbuh, wawasan sedikit demi sedikit makin terbuka, kesadaran akan rendahnya pengetahuan mulai muncul hingga timbulnya semangat untuk bersekolah. Proses inilah yang menjadi tonggak kebangkitan dan kemajuan urang ulu. Hasilnya adalah, banyak dari generasi orang ulu yang saat ini berhasil mengenyam pendidikan tinggi hingga S.2 dan S.3, menduduki posisi penting di tingkat daerah, provinsi hingga di tingkat Pusat.
Dengan perkembangan dan kemajuan yang diraih oleh urang ulu saat ini, tentu saja tidak tepat lagi penilaian dan anggapan umum tadi sebagai keterbelakangan, tidak berpendidikan dan sebagainya. Karena itu urang ulu saat ini tidak lagi perlu malu atau kalah bersaing dengan siapapun, baik dari pola pikirnya, pendidikan hingga gaya hidup yang mengikuti perkembangan dan kemajuan modern. Bahkan dengan modal kehidupan yang bersumber dari alam, urang ulu mempunyai kecerdasan intelektual yang pasti mampu bersaing dengan siapapun dan di bidang apapun.
Di saat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membahana, orang ulu menjadi bagian dari komunitas yang tidak lagi asing dengan perkembangan tersebut. Bahkan eksistensi diri urang ulu bisa bertahan dengan kokoh ketika krisis ekonomi melanda bangsa ini. Tv yang dulunya hanya dimiliki oleh 1 atau 2 orang saja dalam sekampung, saat ini hampir setiap buah rumah sudah mempunyai tv dengan kelengkapan parabola digital dan sebagainya. Begitupun dengan teknologi komunikasi HP saat ini, hampir dapat digunakan oleh setiap orang. Dengan masuknya jaringan HP, kebun karet yang jauh di hutan tidak lagi menghalangi mereka berkomunikasi dengan keluarga atau kerabatnya di rumah. Penulis pernah menerima telepon dari salah seorang teman, ketika penulis tanya sedang dimana menelpon sekarang, dia menjawab sedang di kebun karet. Subhanallah, penulis termenung juga tersenyum membandingkan kehidupan orang ulu saat ini dengan urang ulu dulu. Urang ulu saat ini begitu bisa menikmati segala perkembangan dan kemajuan yang ada.
Dengan segala realitas perubahan dan perkembangan yang ada, masih pantaskah penilaian sebagai tertinggal, terbelakang, tidak berpendidikan, miskin, lugu, polos, hidup jauh di pedalaman, hingga jauh dari kemajuan dan kemodernan diberikan kepada urang ulu saat ini? Masih patutkah urang ulu merasa minder, tidak percaya diri, dan takut menunjukkan potensi diri dalam persaingan? Tentu saja “tidak” jawabannya. Dengan potensi yang dimiliki, urang ulu memiliki kemampuan untuk bersaing dalam segala bidang dengan siapapun dan di manapun. Itulah urang ulu: dulu hingga kinih. Begitulah urang ulu yang sebenarnya. Urang ulu memanglah tetap urang ulu, akan tetapi urang ulu tidaklah harus identik dengan keterbelakangan, urang ulu mesti menjadi penghulu dan pelopor untuk kemajuan dalam segala bidang. Boh, kita buktikan…

Kisah Perjalanan

PENGALAMAN BERKUNJUNG KE RUMAH IBAN
Oleh: Ibrahim MS

Orang Iban sebenarnya bukanlah komunitas yang asing di Kapuas Hulu. Orang Iban di kapuas Hulu merupakan masyarakat asli daerah yang sudah hidup sepanjang sejarah social masyarakat di hulu sungai kapuas. Bahkan oleh banyak ahli, lembah kapuas di Kapuas hulu merupakan tanah asal usul orang Iban (Sandin, 1957; Padoch, 1982 ). Bahkan menurut King (1993), orang Muslim yang ada di ulu Kapuas dahulunya juga adalah orang Iban (dayak) yang berubah identitas menjadi Melayu karena mereka memeluk Islam.
Dalam tradisi lisan masyarakat juga dipercayai bahwa Iban dengan Melayu dahulunya berasal dari keturunan nenek moyang yang sama. Perbedaan dalam memeluk agama lah yang memisahkan identitas keduanya dalam sejarah menjadi Iban dan Melayu. Karena itu keyakinan akan tradisi lisan ini membuat hubungan keduanya tetap harmonis dan peneuh kekeluargaan dalam sejarah social di Kapuas Hulu.
Seiring dengan masuknya pengaruh dari luar melalui pembangunan dan sebagainya, nostalgia hubungan Iban degan Melayu sudah mulai tidak dikenal oleh generasi muda dari kedua komunitas ini. Mereka menjadi orang yang seakan-akan terasing antara satu dengan yang lainnya, tidak lagi mampu saling mengenal, berkunjung dan berbagi kebahagian sebagaimana pada generasi kedua komunitas ini dulu-dulunya. Perasaan terasing seperti ini pernah penulis alami. Perbedaan budaya dan agama yang menyertai perkembangan psikologi penulis memunculkan banyak persepsi ketika akan melakukan kunjungan pertama kali ke rumah Iban.
Pada akhir tahun 2006, penulis berkesempatan untuk berkunjung ke rumah Iban Kekurak di Badau. Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka penelitian pendahuluan untuk Disertasi penulis tentang komunikasi etnik Iban dengan etnik Melayu di Badau. Dengan ditemani oleh abang Ipar, penulis mengendarai sepeda motor berangkat dari Badau ke desa Kekurak. Di desa itu terdapat satu rumah panjang Iban, rumah panjang Kekurak namanya. Dengan perasaan yang sedikit berdebar penulis masuk ke rumah panjang dan berkomunikasi dengan orang Iban di sana. Beruntung penulis datang bersama abang ipar yang sudah sangat dikenal oleh orang Iban di sana, bahkan kami langsung menemui salah seorang sesepuh di rumah panjang itu, apay nanung namanya. Beliau ini (sekarang sudah al-marhum) merupakan saudara angkat ayah dari abang yang mengantar penulis hari itu. Kami disambut dengan ramah, diajak masuk hingga ke ruangan paling belakang dalam struktur rumah panjang. Ruang tersebut layaknya dapu dalam rumah orang Melayu. Disitulah kami dijamu dengan kopi dan buah-buahan.
Layaknya kenalan dan kerabat dekat, obrolan antara abang ipar saya dengan apay Nanung sekeluarga begitu asyik dan berlangsung dengan hangat. Pada mulanya, mereka semua berbicara dengan bahasa Iban, termasuk abang Ipar saya. Akan tetapi setelah saya dikenalkan kepada mereka, mereka sesekali mengobrol dengan bahasa melayu, ini mungkin dikarenakan mereka paham bahwa saya tidak begitu mengerti dengan bahasa Iban. Dengan menggunakan bahasa Iban yang sesekali diikuti dengan bahasa Melayu obrolan kami dilangsungkan, terutama dengan abang ipar penulis. Berbagai hal yang dibicarakan kami dalam kesempatan sore itu, terutama abang Ipar saya dengan keluarga besar apay Nanung yang sudah mengelili kami bertamu sore itu. Sementara saya sendiri juga bertanya beberapa hal yang ingin saya ketahui mengenai kehidupan orang Iban di rumah panjang itu. Tidak terasa obrolan kami sudah berlangung panjang lebar, sudah hampir 2 jam kami berada di rumah panjang itu. Karena itu saya dengan abang Ipar saya memutuskan untuk pamit pulang dan mohon diri kepada apay Nanung sekeluarga.
Yang mengejutkan saya adalah sekarung buah Durian sudah mereka siapkan untuk dibawa kami pulang sore itu. Saat itu memang musim durian Iban. Sambil berjalan pulang penulis terus berpikir dengan sikap orang Iban yang begitu baik dan ramah. Tidak sedikitpun terlihat perangai yang kasar, seram dan menakutkan seperti yang dibayangka sebelumnya. Kunjungan ke rumah Iban sore itu betul-betul telah merubah image yang ada dalam diri penulis sebelumnya tentang orang Iban. Yang ada justru munculnya rasa salut dengan kebaikan hati, dan keramahan yang ditunjukkan orang Iban dalam menerima kami bertamu di rumah panjang.
Pengalaman ini menuntun saya, untuk terus membuka tabir pembatas yang menghalangi setiap kita untuk mengenali seseorang secara baik dan benar. Karena pengetahuan yang baik dan benar ini sangat diperlukan dalam membangun komunikasi dan hubungan social yang harmonis.

Senin, 09 Februari 2009

Komunikasi Antarbudaya

PROFIL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Oleh: Ibrahim M Shaleh


“Setiap manusia hidup dalam komunitas dan sistem sosial tertentu yang tak terbantahkan,
karenanya ia juga mempunyai cara hidup dan tuntunan perilaku tersendiri pula
yang membedakan satu dengan yang lainnya.
Sebuah komunikasi yang baik antarbudaya,
bukanlah pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti (sama seperti) kita,
melainkan mendekatkan pemahaman orang lain
mengenai diri kita (yang berbeda)”
Ibrahim, 2005


Pendahuluan
Sebagai bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai etnik, agama dan budaya, sudah sepantasnya bagi masyarakat kita untuk mau saling membuka diri bagi keberadaan siapapun, mengenalnya dan membangun komunikasi yang baik. Untuk itu, sikap hidup inklusif tentu saja menjadi pilihan utama dalam masyarakat majemuk. Sebab hanya dengan sikap inilah ruang komunikasi akan hidup dan dapat terbangun di antara keberbagaian etnik, agama dan budaya yang ada.
Badau yang didiami oleh mayoritas suku Iban dan suku Melayu, serta beberapa suku lainnya dalam jumlah kecil telah menunjukkan betapa komunikasi yang baik antaretnik telah dapat dibangun di sana. Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan, dinamika sosial juga terjadi dalam hubungan antaretnik di Badau. Akan tetapi semua itu dapat diatasi dengan baik dan menjadi modal bagi jalinan komunikasi yang lebih akrab bahkan intens dalam berbagai ranah/kontek sosial. Kemauan dan kemampuan menggunakan dua bahasa dalam bentuk bilingualisme dua arah menjadi bukti betapa terbangunnya komunikasi yang baik antara orang Iban dan orang Melayu di Badau. Beberapa aspek itulah yang akan dikaji lebih lanjut dalam makalah ini.

Deskripsi Kawasan Kajian
Badau merupakan nama sebuah kawasan di pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu provinsi Kalimantan Barat, dan berbatasan langsung dengan Sarawak Malaysia. Jarak Badau dengan ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu mencapai 120 km, dengan ibu kota provinsi Kalimantan Barat mencapai lebih kurang 1000 km. Sementara dengan Lubok Antu Sarawak Malaysia hanya berjarak 10 km saja.
Sebelum tahun 1990-an kawasan Badau hanya dapat dijangkau melalui angkutan sungai dengan waktu tempuh yang boleh memakan waktu berhari-hari mencapai kawasan itu. Akan tetapi sejak dibangunnya jalan Lintas Utara tahun 1992 (Wadley, 1998), Badau sudah dapat dijangkau melalui angkutan darat dengan masa tempuh hanya lebih kurang 5 – 6 jam.




Badau dan beberapa perkampungan di bagian utara Kapuas Hulu yang bersempadan dengan Sarawak Malaysia merupakan kawasan yang selalu menarik untuk di kaji, baik dalam aspek sosiologi, antropologi, mahupun budaya komuniti yang berdiam di sana. Hal itu terbukti dengan ramainya ilmuan yang mengkaji di sekitar kawasan tersebut. Beberapa nama dapat disebutkan Grinten (1862), Bouman (1924), King (1974, 1985), Rousseau (1980), Freeman (1958, 1970) dan Sellato (2002) yang mengkaji masyarakat Dayak (Iban) baik dalam kontek se-alam Melayu mahupun persebaran masyarakat di pedalaman Borneo dan Kalimantan Barat.
Nama lain dapat disebutkan misalnya Enthoven (1903), Gerlach (1981), Bos (1917) dan Van der Putten (1917), penulis pada masa kekuasaan kolonialisme dan misionaris kristian di kawasan tersebut. Begitupun Wadley (1997, 1998, 2001, 2005 & 2006,), Eilenberg (2005), Wadley dan Eilenberg (2006) yang mengenalkan secara lebih terperinci mengenai kawasan Badau dan kehidupan masyarakat Iban di sekitar perbatasan Indonesia dengan Sarawak Malaysia . Terakhir adalah Ibrahim (2006, 2007a, 2007b,2008a, 2008b) yang mengkaji mengenai komuniti Iban dan komuniiti Melayu, bahasa komunikasi yang digunakan dalam hubungan sosial di kawasan itu, terutama menyangkut hubungan Iban dengan Melayu .

Suku Iban dan Suku Melayu di Badau
Iban dan Melayu merupakan suku terbesar di Kecamatan Badau. Berdasarkan klasifikasi statistik daerah, dari jumlah 5000 lebih penduduk di Kecamatan Badau, dianggarkan suku Iban mencapai 3000 an orang (lebih kurang 60 %). Sementara suku Melayu berada pada jumlah terbesar kedua, sekitar 1800 an orang (31 %). Selebihnya (9 %) adalah suku-suku lain seperti Kantuk, Jawa, Minang, dan lain-lain (Ibrahim, 2007a).
Besarnya jumlah masyarakat Iban di Badau dapat dilihat dari wilayah persebarannya yang menempati 16 kampung dari 19 kampung yang ada di wilayah Kecamatan Badau. Sedangkan orang Melayu tersebar di empat kampung saja, yakni Badau 1, Badau 2, Raden Sura dan Pulau Majang

Suku Iban
Suku Iban pertama kali menempati kawasan Badau sejak ratusan tahun silam. Sebelumnya kawasan Badau merupakan persebaran suku Kantuk. Peralihan suku ini terjadi ketika tradisi ngayau masih eksis dalam budaya Dayak, khususnya Iban. Sekelompok Iban dalam jumlah besar datang dari Sarawak Malaysia menyerang suku Kantuk di Badau. Iban berhasil memenangi peperangan tersebut, mengusir orang Kantuk, hingga bermulalah mereka menetap sebagai penduduk di Badau masa itu. Karena itulah, saat ini suku Iban hanya terdapat di sekitar kawasan Badau, dan beberapa kawasan yang berdekatan dengan perbatasan tersebut seperti Batang Lupar dan Benua Martinus. Sementara itu suku Kantuk lari menjauhi perbatasan dan membuat pemukiman baru di sepanjang sungai Kantuk, di wilayah Kecamatan Empanang. Wilayah inilah sekarang yang menjadi basis suku ini, karena itu wilayah ini lebih dikenal dengan Nanga Kantuk.
Mengenai suku Iban dan asal usulnya dalam sejarah, masih agak kabur datanya (Rahim Aman, 2006). Banyak memang para ahli yang mempercayai bahawa suku ini sebenarnya adalah berasal dari lembah Kapuas di Kalimantan Barat, Indonesia (lihat misalnya Darke, 1982; Sandin, 1968; Padoch, 1982; Rousseau, 1990; Bambang & Collins, 1985; Collins, 2004; Chong, 2006). Akan tetapi saat ini, suku Iban justru merupakan populasi terbesar kedua di Malaysia, setelah Melayu (Rahim Aman, 2006: 2). Keadaan sedemikian tentu saja mesti dilihat beriringan dengan kontek sejarah asal usul dan persebaran suku ini.
Sejarah menulis bahwa pada mulanya, suku ini sebenarnya tidak memiliki nama khas sebagai identiti perkaumannya, karena lazimnya suku ini menisbahkan namanya dan identiti kaumnya kepada nama tempat mereka berdiam, oleh itu dahulunya mereka menamakan dirinya “kami undop”, “kami Sekrang”, “kami menoa” (Sandin, 1967). Orang Barat menyebut suku ini sebagai “sea Dayak” (Aman, 2006; King, 1993; Asmah, 1993).
Di Badau, meskipun tidak sepenuhnya menggantikan nama sukunya dengan nama daerah, akan tetapi mereka senantiasa menyebutkan diri mereka bersamaan dengan nama daerah asal/kampung mereka, seperti Iban Sungai Tembaga, Iban Tangit, Iban Jantin, atau Iban Badau. Identitas mereka yang paling kentara adalah adanya pemukiman rumah panjang. Mereka juga menggunakan bahasa Iban sebagai lingua franca. Meskipun dalam konteks tertentu mereka juga menjadi penutur bilingualisme (Ibrahim, 2008), termasuk dalam hubungan dan komunikasi dengan etnis Melayu di Badau.

Penggunaan Bahasa Iban dalam Komunikasi di Badau

Di Borneo Barat yang melingkup Sarawak (Malaysia) dan Kalimantan Barat (Indonesia) terdapat sekurang-kurangnya dua belas bahasa dan dialek nonmelayu (dayak), satu antaranya adalah bahasa Iban yang merupakan bahagian daripada varian Ibanik (Collins, 2007: 32-33). Di Badau, bahasa Iban memiliki karakteristik kebahasaan yang khas dan berbeza dengan bahasa suku-suku lain, hal ini semakin menguatkan daulat para pakar linguistik dunia bahawa Kalimantan Barat merupakan tanah asal prasejarah yang menunjukkan diversiti bahasa yang sangat tinggi (lihat Collins, 1995, 1998, 2002, 2006; Blust 2006). Bahasa Iban merupakan bahasa yang lazim dipakai dalam komunikasi hari-hari orang Iban di Badau, terutama di rumah panjang sesama Iban. Bahkan di tempat-tempat umum tertentu di pasar misalnya, atau ditempat kerja bahasa Iban begitu banyak digunakan.
Secara umum bahasa Iban memang berbeza dengan bahasa Melayu, baik kosa kata mahupun dialeknya (lihat perbandingannya dalam Chairil Effendy dkk, 2006; Rahim Aman, 2006). Namun beberapa hal ternyata ada kesamaan bahasa Iban dengan bahasa Melayu di Badau, perbezaan hanya pada bahagian tertentu saja dari vokal bahasa tersebut (sila lihat dalam senarai). Kerana itu wajar jika orang Melayu di Badau banyak yang dapat berkomunikasi dengan bahasa Iban, sebagaimana umumnya Iban juga mengerti dan dapat berkomunikasi dalam bahasa Melayu. Dalam hal kemampuan komunikasi bilingual ini, yang terlihat perbezaannya hanya logat (dialek) saja. Terutama logat Iban yang pasti terdengar walaupun dengan menggunakan bahasa Melayu .
Kemampuan menggunakan atau paling tidak memahami bahasa Iban pada orang Melayu, dan bahasa Melayu pada orang Iban di Badau membuat mudahnya membangun komunikasi sosial di antara mereka. Akomodasi kedua bahasa sekaligus (bahasa Iban dan bahasa Melayu) dalam komunikasi sosial orang Iban dengan suku lain di Badau sepertinya telah membentuk bahasa komunikasi tersendiri (bahasa Iban Melayu-Melayu Iban). Ini juga yang menjadi alasan kekeluargaan dan harmonisasi begitu dapat dibangun antara Iban dan suku Melayu di Badau (Ibrahim, 2006).

Ciri utama bahasa Iban di Badau

Perbincangan mengenai bahasa Iban di pulau Borneo, terutama menyangkut fonologi, sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para pakar linguistik, baik bahasa Iban di Sarawak mahupun di Kalimantan Barat. Beberapa nama tersebut dapat disebutkan antaranya Hudson (1970), Asmah (1981), Rahim Aman (1997), Collins (2004), Chong (2003, 2006), Dedy (2004) dan Chairil Efendi dkk (2006).
Untuk lebih jelasnya mengenai bahasa Iban di Badau, berikut ini akan dipaparkan beberapa ciri fonologi bahasa Iban Badau terutama menyangkut perubahan vokal akhir /ay/ yang berkorespondensi dengan /-n/, /-ng/, dan /-ar/.

Vokal akhir /ay/ yang berkorespondensi dan beraturan

bejalay berjalan
bukay bukan
makay (mpa) makan

datay datang
pulay pulang
paay panjang

bsay besar

Selain bentuk korenspondesi di atas, bentuk diftong /ay/ yang digunakan secara tak beraturan boleh dikata sebagai ciri yang kentara dalam bahasa Iban di Badau, ini dapat dilihat dari beberapa kata dalam senarai berikut.

Vokal akhir /ay/ yang tak beraturan

naday tidak ada
utay barang / benda
bekeay seperti itu
kemenay kemana
namay apa namanya
makay makan (aktiviti)
ay tidak mau (menolak)
uai bukay orang lain
ntkay prenggi (nama buah sayur)
apay bapak
inay ibu

Vokal akhir campuran /aw/

taw mengetam/menuai padi
banaw ngobrol (beramah tamah)
mansaw matang/masak
bdaw sudah

Vokal akhir campuran //

inu dara perempuan gadis/perawan
bejaku katanya
meadi saudara
ayi air

Menurut Collins (1983, 1987, 2004), ciri lain bahasa Iban adalah diftongisasi vokal tinggi pada akhir kata dan diikuti dengan geluncuran. Ciri tersebut juga ditemui dalam bahasa Iban di Badau, berikut senarainya.

nmuw dapat/tau/boleh
nunuw membakar
mauah banyak
manuak ayam
pucua pucuk
laua lauk
buru burung
ngau mengantar/dorong ke atas

Dalam komunikasi sosial masyarakat di Badau, bahasa Iban merupakan lingua pranca yang tidak hanya digunakan oleh sesama masyarakat Iban, akan tetapi juga digunakan oleh orang Melayu, terutama apabila mereka berkomunikasi dengan orang Iban. Sebaliknya orang Iban di Badau umumnya juga dapat menggunakan bahasa Melayu, terutama apabila mereka berkomunikasi dengan orang Melayu yang tidak memahami dengan baik bahasa Iban. Bilingualisme dua arah antara orang Iban dengan orang Melayu di Badau menjadikan kedua-dua bahasa ini sentiasa digunakan dalam komunikasi mereka. Hanya saja ada situasi tertentu, terutama menyangkut kemampuan partisipan komunikasi yang menjadi pertimbangan untuk menggunakan bahasa Iban atau bahasa Melayu dalam komunikasi meraka.

Masyarakat Iban dan penutur Bilingualisme

Sebagaimana didapati bahawa masyarakat Iban (juga orang Melayu) di Badau merupakan penutur bilingualisme, suatu komuniti yang mampu menggunakan dua bahasa dalam pertuturannya. Hal ini dapat dilihat dari kesemua aspek bilingualisme (Fishman, 1968: 555 dalam Chaer, 1990: 125), yang wujud dalam komuniti Iban dan juga Melayu di Badau, seperti:

1. Degree: adanya kemampuan dalam menggunakan kedua-dua bahasa pertuturan.
2. Function: kedua-dua bahasa sentiasa difungsikan dan dipergunakan dalam pertuturan.
3. Alternation: berlakukanya pengertian atau peralihan dari satu bahasa pertuturan ke bahasa pertuturan lainnya.
4. Interference: berlakunya pemakaian ciri-ciri kebahasaan semasa berbicara atau menulis dengan bahasa lain.

Kesemua aspek bilingualisme tersebut didapati dalam penutur bilingualisme di Badau, dimana selain menggunakan bahasa Iban sebagai lingua pranca dalam komunikasi dan interaksi sesama, orang Iban di Badau juga mampu memahami dan menuturkan bahasa Melayu dalam komunikasi mereka, terutama ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat Melayu. Begitupun sebaliknya pada orang Melayu yang juga mampu memamahi dan menuturkan bahasa Iban dalam komunikasi dan interaksi mereka dengan orang Iban. Sebagai contoh misalnya perbualan yang terjadi antara inay Iban dengan orang Melayu.

Suku Melayu
Berbeda dengan kedatangan suku Iban di Badau (lihat Ibrahim, 2007a, 2007b, 2008), kedatangan orang Melayu di kawasan ini sesungguhnya tiada dapat dipastikan waktu dan peristiwanya. Hal ini disebabkan kedatangan orang Melayu di kawasan ini tidak secara serentak dalam bilangan yang besar sebagaimana kedatangan orang Iban. Melayu masuk dan mendiami kawasan ini lebih disebabkan dua alasan utama; pertama, persebaran penduduk secara alamiah dari kawasan sekitar hingga memasuki kawasan Badau. Hal ini dapat difahami dimana Melayu merupakan penduduk mayoritas di pesisir Sungai Kapuas yang berhampiran dengan kawasan Badau. Kedua, dinamika sosial dan ekonomi yang turut membawa sebagian orang Melayu menempati kawasan tersebut yang sebelumnya sudah ditempati oleh orang Iban. Hal ini utamanya didorong oleh keadaan kawasan Badau yang berbatasan dengan Sarawak Malaysia, dan menyediakan peluang ekonomi dan perniagaan yang maju dan lebih prospektif (Ibrahim, 2008).
Meskipun pada mulanya Badau dan sekitarnya hanyalah merupakan perkampungan Iban, akan tetapi hubungan perdagangan dengan orang Melayu sudahpun terjalin sejak masa dahulu lagi (Ibrahim, 2007b). Bahkan menurut Enthoven (1903), pedagang Melayu lah yang senantiasa membawa barang-barang keperluan sehari-hari dan dijual kepada orang-orang Iban dari kampung ke kampung.
Jauh lagi sebelum kedatangan Iban di Badau, Melayu sebenarnya sudah memainkan peranan yang penting di Kalimantan Barat dengan beberapa kerajaan seperti kerajaan Melayu Sukadana di Ketapang, kerajaan Melayu Sambas, kerajaan Melayu Mempawah, kerajaan Melayu Pontianak, kerajaan Melayu Kubu, kerajaan Melayu Sintang hingga ke beberapa kerajaan kecil Melayu di Kapuas Hulu (Enthoven, 1903). Kedudukan dan peranan penting orang Melayu hingga masa pendudukan kolonial Belanda, memberi pengaruh yang berarti bagi persebaran orang Melayu di seluruh Kalimantan Barat, termasuk Kapuas Hulu dan Badau beberapa tahun berikutnya.
Untuk Kapuas Hulu sendiri masa itu sebenarnya telah terdapat beberapa kerajaan Melayu seperti di Selimbau, Piasak, Jongkong, Bunut, dan Suhaid. Sebagai petanda bahwa mereka itu adalah keturunan raja dan keluarga bangsawan Melayu, maka digunalah gelaran “Abang” “Pangeran”, “Panembahan”, “Sultan”, “Raden”, dan “Kiyai” (Wadley, 2006a). Kemudian pada sebagian kecil keturunan kerajaan atau kaum bangsaan Melayu ada juga yang menggunakan gelar “Ade”. Bagi kalangan perempuan digunakan gelaran “Dayang” dan “Dara” seperti Dara Juanti yang memerintah kerajaan Sintang (Wadley, 2006a).
Di Badau, memang tidak pernah ada kerajaan melayu sebagaimana dalam sejarah Melayu di Selimbau, Piasak, Jongkong, Bunut dan Suhaid. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa umumnya Melayu di Badau adalah pendatang yang berasal dari beberapa daerah/kampung Melayu di Kapuas Hulu, termasuk beberapa di antaranya berasal dari Sintang dan Pinoh.
Identitas pokok orang Melayu di Badau sama seperti Melayu pada umumnya, yakni beragama Islam, menggunakan bahasa Melayu (varian Melayu Ulu Kapuas) sebagai lingua franca (Ibrahim, 2007c; Yusriadi, 2008), dan tidak sedikit juga merupakan penutur bilingualisme (Ibrahim, 2008).

Ciri Utama & Varian Bahasa Melayu di Badau
Pengenalan
Sebagai bagian daripada alam Melayu yang begitu luas, yang dihuni oleh banyak kaum dan bahasa, para ahli linguistik mempercayai bahawa pulau borneo merupakan tanah asal bahasa Melayu (Collins, 1995, 1998, 2007). Jauh di pedalaman Kalimantan Barat, khususnya perbatasan utara Kabupaten Kapuas Hulu dengan Sarawak Malaysia yang merupakan persebaran majoriti orang Iban dan orang Kantuk, ternyata juga terdapat sebilangan orang Melayu yang cukup signifikan di Badau. Bahasa Melayu juga merupakan lingua franca dalam komunikasi sosial orang Melayu di Badau, bahkan terhadap orang Iban dalam bentuk bilingualisme (Ibrahim, 2008).
Sebagai orang Melayu yang menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca di tengah majoriti orang Iban, ternyata ada banyak varian bahasa yang dituturkan oleh orang Melayu di Badau. Merujuk pada klasifikasi yang diberikan oleh Yusriadi (2007, 2008) yang menyebutkan empat varian dialek Melayu Ulu Kapuas, yakni varian Selimbau, varian Semitau/Putussibau, varian Embau dan varian Embau Hulu, ternyata keempat-empat varian itu juga dituturkan oleh orang Melayu di Badau. Akan tetapi yang paling ramai penuturnya adalah varian Semintau/Putussibau dan varian Embau. Wujudnya keempat-empat varian tersebut dalam pertuturan bahasa Melayu di Badau disebabkan umumnya orang Melayu di Badau adalah berasal dari kawasan asal empat varian tersebut.

Ciri Utama Bahasa Melayu di Badau

Secara umum bahasa Melayu di Badau sama dengan bahasa Melayu dialek Ulu Kapuas yang mempunyai 6 vokal /i/,/e/,//,/a/,/u/,/o/, 3 diftong /ay/, /aw/ dan /uy/, dan 19 konsonan /p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, //, /h/, //, /m/, /n/, //, //, /c/, /j/, /s/, /l/, /w/, /y/. Kerana itu bahasa Melayu di Badau juga dapat dikenali dengan beberapa ciri utamanya, baik dalam aspek fonoloji maupun morfolojinya. Yusriadi (2008) melaporkan bahawa ciri utama bahasa Melayu Kapuas Hulu dapat dilihat dari aspek fonoloji dan morfoloji. Daripada aspek fonoloji, bahasa Melayu Ulu Kapuas ditandai dengan:

1. Adanya peninggian vokal belakang madya [o] menjadi vokal belakang tinggi [u].
/kutu/ - `kotor` /ua/ - `orang` /butul/ - `botol`

2. Alveolarisasi bunyi velar yang wujud setelah vokal depan tinggi seperti bunyi [ik], [it];[i], [in].

/baik/ /bait/ `baik`
/mudik/ /mudit/ `mudik`
/tarik/ /tarit/ `tarik`

/kuni/ /kunin/ `kuning`
/kanci/ /kancin/ `kancing`
/kambi/ /kamin/ `kambing`

3. Luluhnya bunyi nasal homorganik.
/timbul/ /timul/ `timbul`
/mandi/ /mani/ `mandi`
/paja/ /paa/ `panjang`

Sementara daripada aspek morfoloji yang merupakan ciri lain bahasa Melayu dialek Ulu Kapuas dapat dilihat dalam bentuk morfofonoloji yang ditandai dengan wujudnya pemanjangan konsonan sebagai bagian daripada variasi morfolojinya (Yusriadi, 2008), contohnya:

/b:unuh/ /dibunuh/ `dibunuh`
/b:ona/ /bonabona/ `benar-benar`
/t:awa/ /ketawa/ `tertawa`

Selain klasifikasi yang dikemukakan oleh Yusriadi (2008), sebenarnya masih ada satu lagi ciri bahasa Melayu Ulu Kapuas yang paling kentara, yakni hilangnya bunyi konsonan pada awal kata.

Contoh:
/ucin/ /kuci/ `kucing`
/idu/ /hidu/ `hidung`
/ulu/ /hulu/ `hulu`
/itam/ /hitam/ `hitam`

Varian Bahasa Melayu di Badau
Melayu di Badau merupakan sebahagian daripada orang Melayu di Kapuas Hulu yang menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Meskipun hidup dalam komuniti yang tidak terlalu besar dibandingkan suku Iban, orang Melayu di Badau masih dapat menempatkan bahasa Melayu sebagai identiti dan alat komunikasi sosial mereka. Kerana itu, bahasa Melayu yang dituturkan di Badau sebenarnya juga mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu yang dituturkan di Ulu Kapuas. Bahkan yang lebih menarik lagi, beberapa varian bahasa Melayu dialek Ulu Kapuas dituturkan di kawasan Badau. Merujuk kepada Yusriadi (2007, 2008) yang melaporkan bahawa ada empat varian bahasa Melayu Ulu Kapuas meliputi; varian Selimbau (v1), varian Suhaid dan Putussibau (v2), varian Embau (v3) dan varian Embau Hulu (v4), dimana keempat-empat varian tersebut wujud dalam pertuturan orang Melayu di Badau.
Jika dilihat dari letak geografis, masing-masing varian sebenarnya memiliki penutur di dalam kawasan yang berbeda dan terpisah di Ulu Kapuas. Varian Selimbau (v1) misalnya merupakan varian bahasa Melayu yang dituturkan di daerah asal Selimbau yang terletak di pesisir sungai Kapuas bahagian utara Kabupaten Kapuas Hulu. Varian Suhaid dan Putussibau (v2) dituturkan di daerah asal Nanga Suhaid (pesisir Kapuas Hilir) bahagian barat Kabupaten Kapuas Hulu) dan Putussibau sendiri yang merupakan ibu kota kabupaten. Varian Embau (v3) yang dituturkan di daerah asal Sungai Embau bagian hilir. Sementara varian Embau Hulu (v4) merupakan varian bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Melayu di hulu sungai Embau, atau di sekitar wilayah kecamatan Hulu Gurung.
Pengamatan di lapangan mendapati bahawa keempat-empat varian ini ternyata dituturkan di Badau. Padahal Badau merupakan sebuah kawasan di perbatasan utara Kabupaten Kapuas Hulu dengan Sarawak Malaysia, yang tentunya berbeda dan terpisah dari kawasan penutur asal empat varian di atas. Hal ini mungkin disebabkan umumnya orang Melayu di Badau memang berasal dari kawasan yang merupakan tempat asal varian tersebut dituturkan, yang kemudian berpindah dan menetap di Badau sejak puluhan tahun yang lalu (Ibrahim, 2006). Berikut ini sekilas senarai varian di maksud.

v1 v2 v3 v4
put put pout peut
bas bas boas beas
snit sni soni soni
mata mata mata mat
kmna kmna kemona kemon
Pengalaman penulis selama melakukan penyelidikan di lapangan mendapati ke empat-empat varian tersebut dituturkan oleh masyarakat Melayu di Badau, meskipun oleh personal yang berbeda dan dalam kontek pertuturan yang juga berbeda. Berikut masing-masing contohnya dalam bentuk kalimat .

Contoh :

v1: Penutur varian Selimbau yang berjual ikan dengan menggunakan sepeda motor dan menawarkan kepada orang Melayu di Badau supaya mau membeli ikan jualannya.

O: bu, na mli ikan kian, itu baak ikan bsa-bsa ay.
Oh Ibu, mau beli ikan ngak? Ini banyak ikannya, besar-besar lagi.

v2: Penutur varian Suhaid/Putussibau yang sudah lama hidup di Badau dan bekerja di Badau. Dialog ini berlangsung ketika mereka bertemu di rumah Kepala Dusun Mentari.

wai Andi, kemna di dii na kala keliat, aku ngiga dai kemai
Wahai Andi, kemana saja kamu ngak pernah tampak, saya mencarimu sejak dari kemaren.

v3: Penutur varian Embau memulai dialog ketika menerima tamu di rumahnya, yang ternyata adalah keluarganya yang sudah lama tidak bertemu.

aku kia sopa ga dii todi, bahim ga nadi
tadinya saya kira kamu ini siapa, Ibrahim ataukah Nadi.

v4: Penutur varian Embau Hulu ketika memarahi anak lelakinya yang berjalan terlalu lama pada suatu pagi dimana pemungutan suara pilihan raya Gubernur Kalimantan Barat akan segera dilangsungkan.

aba, kemon ga pelam, iy ua dah ka uck
Abang kemana saja pergi lama-lama, di sini orang-orang sudah mau mulai mencoblos.

Dari beberapa varian tersebut, varian Suhaid/Putussibau (v2) dan varian Embau (v3) merupakan varian bahasa Melayu yang paling ramai dituturkan di Badau, termasuk oleh orang Iban yang merupakan penutur bilingualisme di Badau. Lagi-lagi hal ini mungkin disebabkan umumnya Melayu di Badau adalah berasal dari Suhaid/Putussibau sekitarnya dan Embau sekitarnya.
Orang Melayu di Badau merupakan penduduk pendatang yang berasal dari beberapa perkampungan Melayu di Kapuas Hulu, dan menetap sebagai penduduk Melayu di Badau puluhan tahun yang silam. Kerana itu dalam banyak hal orang Melayu di Badau mempunyai kesamaan dengan umumnya Melayu di Kapuas Hulu, termasuk dalam aspek bahasanya. Yusriadi (2007, 2008) menyebutkan ada empat varian dialek melayu Ulu Kapuas yakni Varian Selimbau (v1), varian Semitau/Putussibau (v2), varian Embau (v3) dan varian Embau Hulu (v4). Di Badau, ke empat-empat varian tersebut ternyata dituturkan oleh orang Melayu, hal ini mungkin disebabkan kerana orang Melayu di Badau umumnya adalah berasal dari daerah varian keempat bahasa tersebut. Akan tetapi daripada varian-varian tersebut, varian Semitau/Putussibau (v2) dan varian Embau (v3) merupakan yang paling ramai dituturkan oleh orang Melayu di Badau.
Persoalan kapan suatu varian tertentu dituturkan, dan dalam kondisi mana varian-varian tersebut dapat ditemukan dalam pertuturan orang Melayu di Badau, merupakan aspek penting lainnya yang dapat dikaji dalam tulisan selanjutnya.

Komunikasi Antarsuku Iban dengan Suku Melayu di Badau
Komunikasi antarsuku
Komunikasi antarsuku dapat dimaknai sebagai jalinan komunikasi dan hubungan sosial yang terjadi di antara suku yang berbeda. Mengacu kepada konsep umum komunikasi, maka dapat difahami bahwa para anggota suku yang senantiasa menjalin komunikasi dan hubungan sosial di antara mereka adalah merupakan komunikator sekaligus komunikannya. Dalam hal apa, dan untuk alasan apa komunikasi itu terjalin merupakan konteks/pesan/tujuan komunikasi itu sendiri. Bahasa verbal dan nonverbal yang digunakan dalam komunikasi mereka hanyalah sekedar pilihan simbol/lambang dalam mengkomunikasikan suatu pesan tertentu. Karena itu, aksioma komunikasi selalu mengingatkan bahwa “world don`t means people means”. Kata-kata, bahasa dan verbalisme bukanlah sesungguhnya pesan komunikasi, ia hanyalah sebagai simbol/lambang yang digunakan untuk menghantarkan pesan. Sebab makna pesan sebenarnya ada pada manusia sebagai partisipannya.




Berdasarkan kepada konsep di atas, komunikasi antarsuku yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah jalinan komunikasi dan hubungan sosial yang berlangsung di antara suku Iban dan suku Melayu di Badau. Bagaimana kedua suku itu membangun komunikasi dalam hubungan sosial mereka, dalam hal apa dan untuk maksud apa komunikasi dan hubungan sosial dibangun di antara mereka, bagaimana dengan pilihan bahasa dalam membangun komunikasi di antara mereka, dan bagaimana kontek/pesan/tujuan komunikasi yang terbangun di antara suku Iban dan suku Melayu di Badau.

Kontek komunikasi antarsuku
The communication context (particularly the relationships with the other individuals in the communication situation) plays an important part in the interpretation of a communication message, demikian Rogers & Stienfatt (1999: 90) menjelaskan mengenai kontek dalam komunikasi.
Dengan penjelasan tersebut dapat difahami bahwa kontek komunikasi itu menyangkut situasi apa dan bagaimana jalinan komunikasi itu dilangsungkan dalam satu hubungan sosial dan individu. Kontek inilah biasanya yang menentukan apa sesungguhnya pesan yang diinginkan dalam komunikasi tersebut. Perbedaan kontek akan memungkinkan perbedaan pesan yang ingin disampaikan dalam komunikasi, meskipun dengan menggunakan pilihan simbol/bahasa/verbal yang sama. Begitupun komunikasi nonverbal, tidak selamanya orang senyum itu bermakna sebagai keakraban, sebab mungkin saja senyum itu bermakna keanehan, merendahkan dan seribu makna lainnya, tergantung apa konteknya (Ibrahim, 2005). Karena itu menurut Rogers & Stienfatt (1999), memahami kontek merupakan suatu hal yang paling penting dalam upaya memahami pesan komunikasi yang sebenarnya.
Dalam komuniasi antarsuku Iban dan suku Melayu di Badau, kontek komunikasi yang dimaksudkan paling tidak menyangkut waktu, tempat dan partisipan yang terlibat ketika komunikasi itu berlangsung. Masing-masing kontek ini juga akan menentukan pada pilihan bahasa apa yang akan digunakan dalam komunikasi tersebut.
Dari aspek waktu, kontek komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu berlangsung ditentukan dalam komunikasi formal dan tidak formal. Kontek ini berlangsung dalam komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu ketika adanya urusan formal dalam urusan pemerintahan, baik di tingkat kecamatan, maupun desa. Pada kontek tersebut, komunikasi antarsuku berlangsung umumnya menggunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Melayu (varian) Badau. Hanya sesekali saja bahasa Iban digunakan dalam kontek komunikasi formal.
Kontek nonformal, komunikasi antarsuku berlangsung dalam keseluruhan hubungan sosial dan kemasyarakatan, baik sebagai anggota masyarakat dalam satu desa maupun sebagai anggota masyarakat antardesa. Hal ini dapat difahami ketika melihat persebaran masyarakat di Badau, khususnya di kampung Melayu yang juga ada anggotanya dari suku Iban. Meskipun di kampung-kampung Iban hanya sedikit sekali yang ada anggotanya orang dari suku Melayu. Akan tetapi secara keseluruhan, hubungan dan komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu sangat intens berlangsung. Pada kontek ini, bahasa Iban dan bahasa Melayu sama-sama selalu digunakan sesuai dengan kemauan dan kemampuan partisipan untuk menggunakannya.
Dari aspek tempat, kontek komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu berlangsung ditentukan oleh tempat komunikasi itu dilakukan. Beberapa tempat berlangsungnya komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu di Badau seperti di sekolah, pasar, pusat olah raga, lapangan kerja, organisasi sosial dan lembaga adat budaya. Pada konteks ini bahasa Iban dan bahasa Melayu sama-sama selalu digunakan dalam bentuk campur kod atau bilingualisme.
Dari aspek partisipan, bahasa yang digunakan dalam komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu sangat bergantung pada siapa yang berkomunikasi. Jika komunikasi berlangsung sesama suku Iban di Rumah Panjang, atau orang Melayu yang berkunjung ke Rumah Panjang, maka bahasa Iban yang digunakan. Sebaliknya jika sesama orang Melayu, atau orang Iban di kampung orang Melayu, maka bahasa Melayu menjadi pilihan utama bahasa komunikasi. Akan tetapi untuk kontek Badau, penggunaan bahasa komunikasi juga ditentukan oleh siapa yang pertama memulai komunikasi, dan dengan menggunakan bahasa apa. Jika yang pertama memulai komunikasi adalah orang Melayu akan tetapi menggunakan bahasa Iban, maka bahasa Iban yang dipakai seterusnya. Jika menggunakan bahasa Melayu, maka bahasa Melayu yang digunakan seterusnya, meskipun dengan orang Iban. Akan tetapi jika yang memulai orang Iban dengan menggunakan bahasa Iban, tetap saja bahasa Iban yang digunakan, kecuali orang Iban yang faham bahasa Melayu, dan orang Melayu yang tidak mengerti bahasa Iban, maka bahasa Melayu yang akan digunakan.
Kondisi kebahasaan dan kontek penggunaannya dalam komunikasi dan hubungan sosial antarsuku Iban dan suku Melayu seperti ini, menjadikan kedua suku ini di Badau sebagai penutur dua bahasa sekaligus (bilingualisme), bahasa Iban dan bahasa Melayu (Ibrahim, 2008).

Komunikasi antarsuku dalam sejarah sosial di Badau
Layaknya sebuah hubungan sosial umumnya, komunikasi antarsuku di Badau dalam sejarah sosial etnik juga mengalami dinamika tersendiri, baik yang bersifat fositif maupun yang negatif. Hubungan sosial komunikasi yang bersifat positif tentu saja sebuah jalinan hubungan dan komunikasi yang baik, penuh keterbukaan, toleransi dan persahabatan diantara anggota kelompok dan peribadi etnik. Sebaliknya yang bersifat negatif adalah hubungan sosial komunikasi yang mandeg, tidak saling mau terbuka, intoleran, bahkan konflik.
Untuk melihat realitas hubungan sosial Iban dan Melayu di Badau, tentu sejarah menjadi bagian yang penting untuk diperhatikan. Di atas telah dipaparkan bagaimana sejarah kedua suku ini masuk dan mendiami kawasan Badau. Iban yang memulainya melalui proses eksodus saat peperangan ngayau terjadi masa itu, karenanya mereka ini juga dikenal sebagai suku yang sangat agresif, kejam dan sadis untuk membunuh lawan-lawannya (lihat Wadley, 1997, 2001; Ibrahim, 2007a, 2007b). Sebaliknya Melayu masuk dengan strategi yang lebih diplomatik, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan di kawasan itu. Bagaimana posisi para pedagang Melayu di tengah komunitas Iban dalam sejarah sosial hubungan kedua etnik ini dapat dilihat dalam beberapa tulisan antara lain Enthoven (1903), Gerlach (1981), Bos (1917), Van der Putten (1917), Wadley (1997, 2001), Ibrahim (2007a, 2008b)
Latar belakang sosial yang beda, terutama agresifitas Iban, ternyata tidak berpengaruh secara langsung dalam bentuk negatif ketika membangun hubungan dengan Melayu. Keduanya bisa memelihara hubungan yang damai, harmonis, dan komunikatif. Persoalan apapun yang terjadi diantara mereka selalu dapat diselesaikan dengan cara yang baik, sebuah penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua-duanya.
Salah satu paktor yang menyebabkan hubungan baik dapat dibangun diantara kedua suku ini adalah, mereka saling memahami apa yang menjadi perinsip hidup dan nilai-nilai sosial dalam falsafah hidup mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh seorang informan Melayu di lapangan.

”ua Iban palin menghagai ua ya udah sida pecaya. Pinsip sida ya pecaya pada ua ya dipanda udah bepengelaman, udah tua, udah lama idup. ua Iban palin kuat ngona jasa bait ua lain, sampai tuun temuun” (Ad. 42 tahun: 5 – 12 – 2006)

”Orang Iban paling menghargai orang yang sudah mereka percayai. Prinsip mereka adalah percaya pada orang yang lebih tua, sudah berpengalaman dalam hidup. Orang Iban paling kuat mengenang jasa orang lain, bahkan sampai turun temurun”

Perinsip hidup orang Iban di atas menjadi modal bagi orang Melayu untuk membangun hubungan dan komunikasi dengan orang Iban. Karena itu, kejujuran dan saling percaya menjadi falsafah keduanya dalam menjalin hubungan dan komunikasi sosial hingga saat ini.
Selain itu, untuk memelihara hubungan dan ketentraman bersama, dibentuklah satu lembaga adat yang terdiri dari tokoh-tokoh etnik yang ada di Badau. Jika ada persoalan menyangkut hubungan diantara anggota suku, maka melalui lembaga adat itulah dilakukan musyawarah dan penyelesaiannya (Junter, Unat, & Luther, 12-2006). Sebelum persoalan masuk ke lembaga adat bersama ini, di tingkat internal suku sebenarnya juga sudah ada lembaga adat tersendiri. Lembaga adat inilah yang menyelesaikan persoalan yang terjadi di internal suku di Badau. Setelah kedua lembaga adat (Internal & bersama antarsuku) ini menemukan jalan buntu, barulah perkara tersebut dialihkan ke hukum konvensional (kepolisian dan pengadilan).
Berikut ini pernyataan salah satu informan yang juga merupakan kedua dewan bersama.

”Hubungan ura Iban dengan suku lain baik, jadi kami bentuk kepala-kepala suku dari ura luar Kalbar (Jawa, Padang, Bugis, Batak, NTB-NTT) dan kepala suku adalah mereka ya sudah lama menetap di Badau, dibentuk masa pak Bubu (camat Badau). Apa gunanya, sebab di badau tahun 2000-an sampai sekara muncul banyak ura dari suku apa saja. Melalui kepala suku masi-masi ya akan bertangu jawab untuk menyelesaikan persoalan jika terjadi pada anak buah anggota sukunya. Jadi kami dewan adat hanya mengkoordinasikan dan memediasi persoalan suku-suku dan antara suku untuk diselesaikan masi-masi” (Lt. 55 tahun: 4-12-2006)

Beberapa kebijakan & kearifan lokal inilah yang menjadikan hubungan sosial dan komunikasi diantara suku Iban dengan suku Melayu dapat dibangun dengan baik dan harmonis sepanjang sejarah sosial keduanya.

Bilingualisme sebagai bentuk komunikasi antarsuku
Suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai penutur bilingual apabila terdapat suasana kebahasaan dimana dua atau lebih bahasa mampu digunakan dalam suatu suasana komunikasi (Appel & Musyken, 1987), atau adanya seseorang atau suatu komuniti yang mampu menggunakan dua bahasa dalam pertuturannya (Fishman, 1968). Merujuk pada pandangan tersebut, paling tidak ada tiga bentuk masyarakat penutur bilingualisme menurut Appel & Musyken (1987: 2); bentuk pertama, dimana dua kelompok bertemu dan masing-masing hanya menguasai bahasa sendiri; bentuk kedua, masing-masing menguasai bahasa sendiri dan bahasa lawan bicaranya atau lebih; dan bentuk ketiga, hanya satu kelompok yang menguasai dua bahasa, sedangkan kelompok yang lain hanya menguasai bahasa sendiri.
Begitupun menurut Fishman (1968), paling tidak ada beberapa aspek yang mesti wujud dalam suatu masyarakat penutur bilingual, yakni: adanya kemampuan dalam menggunakan kedua-dua bahasa pertuturan (degree); kedua-dua bahasa tersebut sentiasa difungsikan dan dipergunakan dalam pertuturan (function); berlakunya pengertian atau peralihan dari satu bahasa pertuturan ke bahasa pertuturan lainnya (alternation); dan, berlakunya pemakaian ciri-ciri kebahasaan semasa berbicara atau menulis dengan bahasa lain (interference).
Merujuk pada bentuk–bentuk penutur bilingualisme Appel & Musyken (1987) yang terdiri dari tiga bentuk, maka yang wujud di Badau adalah bentuk kedua, yakni bilingualisme dua arah, dimana orang Iban dan orang Melayu dapat menguasai bahasa lawan bicara dan menggunakannya dalam komunikasi, selain dengan bahasa mereka sendiri. Begitupun aspek-spek bilingualisme yang dipersyaratkan Fishman pada suatu penutur bilingual, hampir semuanya wujud dalam komunikasi masyarakat Iban dan Melayu di Badau, kecuali aspek keempat (Ibrahim, 2008a).
Bagi masyarakat Iban, bahasa Iban merupakan lingua franca dalam komunikasi sosial mereka, terutama di Rumah Panjang dan interaksi sesama orang Iban. Begitupun masyarakat Melayu di Badau juga menjadikan bahasa Melayu sebagai sebagai lingua franca komunikasi dan interaksi sesama mereka. Akan tetapi kedua-dua masyarakat ini boleh menukar bahasanya dalam situasi tertentu bergantung kepada tempat, siapa partisipan dan kapan komunikasi itu berlangsung (kontek komunikasi).
Pengamatan di lapangan mendapati bahawa orang Iban akan menggunakan bahasa Iban semasa mereka berbual sesama kaum sendiri, terutama di Rumah Panjang, akan tetapi apabila mereka berjumpa dengan orang Melayu, mereka juga boleh menggunakan bahasa Melayu (Ibrahim, 2007b). Perubahan itu mengikut situasi apabila suatu perbualan dimula. Ketika seseorang dari kaum Melayu memula pembualannya dengan bahasa Melayu, maka rakan Iban pun menyahutnya dengan bahasa Melayu. Akan tetapi apabila seseorang memula pembualannya dengan bahasa Iban, meskipun dia itu orang Melayu, maka bahasa Iban akan terus digunakan dalam perbualan tersebut.
Begitupun ketika seseorang dari kaum Iban memula pembicaraannya dengan bahasa Iban, maka umumnya Melayu di Badau dapat langsung menjawabnya dengan bahasa Iban. Akan tetapi apabila difahami bahawa orang Melayu tersebut tidak mahu atau tidak mengerti bahasa Iban, maka orang Iban tersebut segera merubah bahasa percakapannya dengan menggunakan bahasa Melayu .
Situasi lain yang juga menentukan bagi penggunaan bahasa dalam komunikasi sosial di Badau, baik menggunakan bahasa Iban ataupun bahasa Melayu adalah mengikuti tempat interaksi. Jika interaksi itu berlangsung di Rumah Panjang atau di kampung Iban, maka bahasa Iban merupakan bahasa pertama sebagai lingua franca. Akan tetapi jika interaksi itu terjadi di kantor pemerintahan, sekolah, pasar dan sebagainya, maka bahasa Melayu (dan Bahasa Indonesia) menjadi bahasa pertama sebagai lingua franca. Meskipun utnuk semua kontek ini bergantung pada kemauan partisipan untuk menggunakan salah satu atau kedua-dua bahasa dalam komunikasi mereka (Ibrahim, 2007b).
Dengan kondisi masyarakat yang bilingual inilah, kedua-dua bahasa, bahasa Iban dan bahasa Melayu begitu terpelihara sebagai lingua franca dalam masyarakat etnik di Badau. Dalam hal ini mayoritas masyarakat non Iban di Badau dapat memahami dan menguasai bahasa Iban, sebagaimana sebaliknya orang Iban di Badau juga boleh menguasai dan menuturkan dengan baik bahasa Melayu.

Penutup
Komunikasi yang baik dan efektif tentu saja mensyaratkan kesaling-pengertian dan kesaling-fahaman dalam berbagai aspek antara partisipan. Meskipun komunikasi itu bukan kemestian memaksa orang lain untuk mengikuti sama seperti kita, akan tetapi mendekatkan pemahaman dan pengertian antarpartisipan adalah suatu kemestian. Komunikasi antarsuku Iban dengan suku Melayu di Badau begitu dapat terbangun dengan baik. Kedua suku bisa saling memahami kontek dalam hubungan sosial dan komunikasi mereka, termasuk ketika harus memilih bahasa yang digunakan dalam komunikasi tersebut. Kondisi ini membawa kedua suku ini dapat hidup rukun, aman, damai dan penuh kekeluargaan dalam satu wilayah dan perkampungan. Hal ini dapat dibuktikan dengan wujudnya kedua suku ini sebagai penutur bilingual, bahasa Iban dan bahasa Melayu.


Daftar Bacaan

Abdul Chaer & Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. Edisi revisi.

Appel, R dan Peter Musyken. 1987. Language Contact and Bilingualism. London: Edward Arnold.

Alo Liliweri. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Pustaka Pelajar; Jogjakarta.

Alo Liliweri. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi antarbudaya. LKIS; Jogjakarta.


Collins, J.T. 2004. Ibanic Languages in Kalimantan Barat, Indonesia: Exploring Nomenclature, Distribution and Characteristics, dalam Borneo Research Bulletin, ol 35 tahun 2004

Dedy Mulyana dan Jalaludin Rahmat. 2001. Komunikasi Antarbudaya. Rosda Karya; Bandung.

Enthoven, J.J.K. 1903. Borneo Wester-Afdeeling, Leiden, Boekhandel En Drukkerij voorheen E.J.Brill, Deel I.

Ibrahim M Shaleh. 2008a. Komuniti Iban dan Melayu di Badau: kajian daripada aspek Bilingualisme. Makalah yang dibentangkan dalam seminar dialek-dialek austronesia di Nusantara (SADDAN III),Universiti Brunei Darussalam 24 s/d 26 Januari.

Ibrahim M Shaleh. 2008b. Varian Bahasa Melayu di Badau. Makalah yang diajukan untuk jurnal bahasa, pusat bahasa Brunei Darussalam.

Ibrahim M Shaleh. 2008c. Potret Keberagamaan orang Melayu di Badau. Dalam Yusriadi & Edi Kurnanto. Agama & Etnisitas di Kalbar. Sedang proses penerbitan.

Ibrahim M Shaleh. 2007a. Mengenal orang Iban di Badau. Dalam yusriadi dan Chong Sin, Kelompok Ibanik di Kalimantan Barat. STAIN Pontianak Press; Pontianak.

Ibrahim M Shaleh. 2007b. Penggunaan Bahasa Iban di Badau. Dalam Chong Sin & Collins, Bahasa dan masyarakat Ibanik di Borneo, ATMA UKM Press; Bangi, Kuala Lumpur.

Ibrahim M Shaleh. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya. STAIN Pontianak Press; Pontianak.

Rahim bin Aman. 2006. Perbandingan Fonologi dan Morfologi bahasa Iban, Kantuk dan Mualang, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.

Rogers & Stienfatt. 1999. Intercultural Communication. WavelanPress; Witted State of Amerika.

Sandin, B. 1967. The Sea Dayaks of Borneo Before White Rajah Rule, East Lansing: Michigan State Universiti Press.

Wadley, Reed L. 1997. Circular Labor Migrations and Subsistence Agriculture: A Case of the Iban in West Kalimantan, Indonesia. Disertation Doctor of Philosophy Arizona State Universiti.

Wadley, Reed L. 1998. The Road to change in the Kapuas Hulu borderlands: Jalan Lintas Utara. Borneo Research Bulletin. Vol. 29: 71-94.

Wadley, Reed L. 2001. Frointers of death: Iban expansion and inter-ethnic relations in west Borneo. http://www/iias.nl/iiasn/24/theme/24T10.html , akses 2 Oktober 2007.

Yusriadi. 2008. Varian bahasa Melayu ulu Kapuas. Makalah seminar antarabangsa Dialek-dialek Austronesia se-Nusantara (SADDAN III) di Universiti Brunei Darussalam, 24 s/d 26 januari.