Rabu, 27 Agustus 2014

Satu Dekade dalam Satu Karya: Sebuah Pengantar

Pengantar buku "Satu Dekade dalam Satu Karya", tulisan para dosen penerima Satyalancana Karyasetia 10 tahun, di IAIN Pontianak



Awal 2014, kami para Dosen angkatan 2003 ditawari untuk melengkapi beberapa berkas oleh bagian kepegawaian STAIN Pontianak. Konon, berkas tersebut diperlukan guna pengusulan untuk mendapatkan penghargaan Satyalencana karya 10 tahun. Kami, beberapa orang dosen angkatan 2003 memang sudah menginjak masa satu dekade sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di STAIN Pontianak.
Singkat cerita, beberapa dari kami dosen angkatan 2003 mulai berkomunikasi dan berkoordinasi dengan tawaran tersebut. Sebagian besar kami menyambut tawaran tersebut dengan semangat. Maklum sudah satu decade sebagai PNS, yang karenanya berhak mengusulkan penghargaan Satyalencana karya 10 tahun. Beberapa dari kamipun segera mengisi dan melengkapinya. Kecuali satu dua orang yang tidak menanggapi tawaran tersebut dengan serius, yang tentunya punya alasan tersendiri.
Perbedaan sikap dalam menanggapi tawaran tersebut memunculkan diskusi mengenai apa sesungguhnya yang penting disadari sebagai PNS dibalik sebuah penghargaan yang akan diusulkan. Adakah sebuah penghargaan Satyalancana seperti itu bersinergi dengan karya nyata yang sudah dapat diberikan oleh kita para abdi negara? Atau, jangan-jangan penghargaan tersebut hanya bermula dan berakhir di atas satu lembar kertas, yang sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi kinerja seorang abdi negara?
Dialektika sikap itulah yang akhirnya melahirkan sebuah kesepakatan para dosen angkatan 2003 untuk berbagi pengelaman, pengetahuan dan wawasan dalam bentuk tulisan refleksi dalam karya ini. Sepuluh tahun sudah menyandang status sebagai abdi negara (PNS), selama itu pula suka dan duka dunia kerja sudah dilalui. Ada berbagai pengalaman, perjuangan dan pahit getir dialami.
Jika hari ini (setelah satu decade) orang melihat kita sebagai abdi negara dengan pandangan begini, akan berbeda cerita jika melihatnya sepuluh tahun yang lalu. Tidak sedikit orang yang terpesona, kagum dan bangga dengan keberhasilan hidup seseorang hari ini, tetapi sedikit orang yang mau (sadar untuk) mengetahui bagaimana beratnya perjuangan dan suka duka yang dilaluinya. Karena itu, apa yang harus dipelajari pada setiap orang bukanlah cerita kesuksesan hidupnyanya, melainkan bagaimana perjuangan dan suka duka yang dilaluinya hingga kahirnya meraih kesuksesan itu.
Tulisan ini, bukanlah sebuah cerita kesuksesan itu. Tulisan ini hanyalah sebuah refleksi diri para dosen mengenai sejarah hidup, pengalaman dan perjuangannya hingga menapaki sejarah dan cerita hidup hari ini. Catatan sejarah yang menempatkan kami semua dalam perjalanan satu decade pengabdian sebagai PNS di lingkungan IAIN Pontianak. Kami para dosen angkatan 2003 yang terdiri dari Juniawati, Hesty Nurrahmi, Fitri Sukmawati, Ita Nurchalifah, Syarifah Aminah, Syarifah Fatimah, Sri Hidayati, Ibrahim MS, dan Udi Yuliarto hanya ingin berbagi sedikit cerita, bertukar pengalaman dan kisah hidup saja. Mungkin cerita dan pengalaman ini tidak menarik bagi orang lain, tetapi setidaknya tulisan ini menjadi kenangan diri dalam rangka refleksi hidup selama 10 tahun menjadi PNS di lingkungan IAIN Pontianak. Sebuah tulisan reflektif yang bias menjadi inspirasi dan semangat diri untuk bekerja lebih baik lagi demi pengabdian yang tulus untuk bangsa dan agama. Karena itulah kami bersepakat untuk membuat tulisan ini, satu kumpulan tulisan pengalaman yang kami beri judul Satu Dekade dalam Satu Karya.

SATU DEKADE DALAM SATU KARYA: SEBUAH CATATAN REFLEKTIF



Oleh: Ibrahim MS
(Doktor dalam bidang Ilmu Komunikasi Antarbudaya-Mengajar di IAIN Pontianak)

Pendahuluan
Tahun 2003 adalah tahun bersejarah bagi saya dan beberapa orang teman Dosen di IAIN Pontianak. Sebab, tahun itulah saya diterima dan diangkatkan sebagai abdi negara (CPNS) di lingkungan IAIN Pontianak (STAIN Pontianak ketika itu). Hari ini, tahun 2014, tak terasa sudah 10 tahun dilalui dalam aktivitas dan kapasitas diri sebagai abdi negara (PNS). Lazimnya di dunia PNS, pengabdian sepuluh tahun (satu decade) selalunya ditandai dengan pemberian penghargaan satyalencana karya, yang karenanya kami pun diberikan tawaran untuk melengkapi beberapa berkas untuk mendapatkan penghargaan tersebut.
Saya sendiri dengan yakin menolak untuk melengkapi berkas tersebut, dan tidak berkenan untuk mendapatkannya. Setidaknya ada dua pertimbangan dengan sikap tersebut; pertama, sudah sepuluh tahun sebagai abdi negara sesungguhnya belum banyak yang dapat saya  berikan untuk bangsa ini; kedua, daripada sekedar menerima penghargaan di atas selembar kertas yang disebut piagam satyalencana karya, saya lebih memilih untuk menulis setiap pengalaman dan perjalanan hidup saya dari kampung, kuliah, hingga menjadi abdi negara (PNS) di IAIN Pontianak. Inilah karya reflektif tersebut yang saya tulis dalam tema Kisah Pengabdian Seorang Anak Kampung.

Sejarah Perantauan Anak Kampung
Tahun 1996, adalah untuk pertama kali sejarah perantauan seorang anak kampung dimulai. Ya, tahun itulah pertama kali saya menginjakkan kaki ke Kota Pontianak untuk sebuah perantauan dalam rangka menuntut ilmu di Perguruan Tinggi (kuliah). Masa-masa itu, tidak mudah bagi seorang anak kampung dari pedalaman ulu Kapuas seperti saya untuk sampai ke kota dan kuliah. Di kampung saya saja, rasanya, sayalah orang pertama yang memulai misi ini, merantau dan kuliah di Kota Pontianak. Kendala ini bukan saja karena letak geografis yang jauh di pedalaman, namun juga faktor ekonomi keluarga yang jauh dari kata layak. Oleh karena itu, sebelum selesainya ujian nasional SMA (Aliyah), sama sekali saya tidak pernah berani berbicara soal kuliah, termasuk ketika datangnya tawaran PMDK (penerimaan mahasiswa dengan kekhususan) Untan ketika itu, saya tidak berani mengambilnya, meskipun secara nilai saya  selalu berada di rangking satu dan dua.
Dengan keluarga pun demikian. Kepada emak dan saudara yang lain, saya tidak pernah berani bicara soal kuliah, karena saya sadar dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan. Satu-satunya cara yang dapat saya lakukan ketika itu adalah secara diam-diam menyiapkan diri, dengan cara menyisihkan sebagian uang bekal sekolah untuk tabungan kuliah.
Dengan tabungan diam-diam itu, ditambah semangat diri yang kuat, hasilnya cukup untuk saya berangkat daftar kuliah ke Pontianak tahun 1996. Alhamdulillah pula Allah Swt menyertai niat baik itu. Saya mendaftar di STAIN Pontianak (Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidyatullah Pontianak namanya ketika itu). Saya tes, dan dinyatakan diterima kuliah. Jadilah seorang anak kampung yang hari-harinya bermain dengan lebatnya hutan rimba, menoreh getah, dan bekerja ladang, sejak itu berubah menjadi seorang anak kuliahan yang hidup di kota. Sejarah hidup baru, yang menuntut komitmen dan perjuangan hidup yang lebih besar lagi sebagai perantau yang sebatang kara.

Perjuangan Kuliah
Kuliah bagi orang seperti saya bukanlah sebuah kesempatan untuk bersenang-senang, atau karena keadaan yang serba tersedia dan mendukung, terutama dalam hal ekonomi. Kuliah bagi saya adalah perjuangan yang luar biasa, baik dari sisi kesungguhan dalam belajar maupun paktor ekonomi pembiayaan kuliah. Jika anak-anak yang lain mungkin hanya perlu memikirkan bagaimana belajar yang giat, untuk memperoleh nilai yang baik. Bagi saya ketika itu, memastikan diri bisa bertahan hidup di Pontianak dan meneruskan kuliah adalah dua hal yang sama penting. Hanya sebuah prinsip “pantang mundur sebelum berhasil” itulah yang menjadi penguat semangat mengawali perjuangan masa-masa awal kuliah.
Alhamdulillah, usaha yang gigih, yang lahir dari semangat dan tekad yang kuat dapat mengalahkan segala kendala yang dihadapi selama kuliah, terutama kekurangan dari sisi ekonomi. Sampailah tahun 2001 secara resmi saya menyelesaikan kuliah S.1 dan dinyatakan lulus sebagai sarjana di STAIN Pontianak.

Pengalaman Pertama Mengajar di Perguruan Tinggi
Selesai kuliah tahun 2001, saya dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, segera kembali ke kampung, mengabdikan ilmu yang didapat untuk mengajar sebagaimana niat awal ketika berangkat dari kampung 5 tahun sebelumnya. Kedua, menerima tawaran mengajar di perguruan tinggi, sebagai assisten dosen.
Pilihan pertama sempat dijalani dengan mengikuti tes CPNS di Kementerian Agama Kabupaten Kapuas Hulu. Namun dibalik pilihan pribadi saya, Allah Swt punya rencana yang lebih baik untuk kehidupan seseorang. Saya dinyatakan tidak lulus. Ya, Allah tidak berkehendak untuk saya lulus CPNS di kampung dan mengabdikan diri di sana. Saya menerima dengan ikhlash dan lapang dada dengan ketentuan-Nya.
Akhirnya saya menjalani pilihan kedua dengan beberapa pertimbangan. Antara lain, tingginya kecintaan saya terhadap aktivitas akademis dan pengembangan ilmu pengetahuan, dimana dunia perguruan tinggi menjadi wadah yang paling memungkinkan dibandingkan kembali ke kampung dan mengabdi di tingkat sekolahan.  Dibalik itu, tantangan dan perjuangan lebih berat lagi mesti siap dihadapi jika dunia perguruan tinggi menjadi pilihan ketika itu. Maklum, kebijakan pengembangan pendidikan mengharuskan untuk seorang dosen minimal berpendidikan master (S.2). Artinya, untuk benar-benar menjadi seorang dosen saya harus memikirkan kuliah lagi. Begitulah pertimbangan yang harus diperhitungkan saat itu.
Singkat cerita, saya pun menerima tawaran menjadi assisten dosen ketika itu. Sebuah pilihan hidup yang sesungguhnya tidak pernah terbayangkan jauh hari sebelum berangkat dari kampung dan memulai perjuangan perantauan mencari ilmu. Saya menjadi assisten pak Haitami mengajar di STAIN dan Universitas Panca Bhakti (UPB). Di STAIN saya membantu pak Haitami mengajar mata kuliah Metodologi Pengajaran Agama Islam. Sedangkan di UPB kami mengajar mata kuliah Agama Islam.
Pengalaman mengajar untuk pertama kali di Perguruan Tinggi ini bukan saja menambahkan pengetahuan saya mengenai teknik-teknik pengajaran (sebagaimana kompetensi yang diharapkan pada lulusan Tarbiyah seperti saya), akan tetapi menambah semangat diri saya untuk terus menimba ilmu, mengabdikan diri dan membangun karir akademis di Perguruan Tinggi. Keterampilan mengajar di perguruan tinggi yang dipadukan dengan seni komunikasi yang diperlihatkan pak Haitami kepada saya selama membimbing saya mengajar ketika itu memberikan makna penting dalam hidup saya, terutama tonggak awal karir akademis saya. Saya jadi semakin termotivasi untuk berkarir di dunia kampus dan mengembangkan kapasitas akademis diri.
STAIN yang ketika itu baru berusia 4 tahun, juga menjadi pertimbangan soal pengabdian dan peluang karir akademis saya. Jurusan Dakwah yang merupakan salah satu jurusan terbaru ketika itu, masih kekurangan banyak tenaga pengajar, baik dari sisi disiplin ilmu (konsentrasi) maupun jenjang pendidikan master. Sebagai contoh, untuk Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Jurusan Dakwah belum memiliki dosen di bidang itu yang bergelar master. Atas semua itu, saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah lagi (S.2) tahun 2002 di UIN Jakarta, dengan konsentrasi Dakwah dan Komunikasi sebagai pilihan.
Proses kuliah S.2 saya pun dimulai tahun 2002 dalam status mahasiswa biasa. Biasa dalam pengertian sesuai dengan pilihan pribadi, dengan pembiayaan sepenuhnya juga pribadi. Sebab saya tidak terikat dengan siapapun, termasuk STAIN Pontianak. Sebagai alumni dan komitmen untuk mengabdikan diri ke almamater, tentu saja pilihan saya didukung oleh beberapa senior dan kolega di STAIN Pontianak. Ya, setidaknya dukungan moril dan semangat untuk terus berjuang mengejar cita-cita dan harapan ke depan. STAIN baru membuka Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, dan tentunya memerlukan tenaga pengajar (bergelar master) di bidang Dakwah dan Komunikasi. Itulah pertimbangannya. 
Alhamdulillah, dengan kekuatan semangat dan kebulatan tekad, semester demi semester kuliah saya jalani dengan lancar dan tanpa kendala apapun, termasuk soal biaya yang saya percayakan sepenuhnya pada rizki dari Allah Swt. Sebab saya yakin benar dengan janji-Nya yang tidak akan menelantarkan hamba-Nya yang berjihad. Belajar menuntut ilmu (kuliah) bagi saya adalah jihad. Meskipun terkadang harus bayar SPP dengan cicilan, saya dapat menyelesaikan kuliah S.2 dalam waktu 1 tahun 10 bulan (termasuk lima besar dari angkatan kuliah yang sama, yang dapat menyelesaikan kuliah dalam waktu tersebut)  

Seleksi  jadi CPNS STAIN
Awal tahun 2003, tepatnya pada semester tiga, saya mendapatkan kabar jika ada penerimaan CPNS Dosen di STAIN Pontianak. Salah satu tenaga yang dicari adalah Dosen Komunikasi Penyiaran Islam yang bergelar master atau calon master. Dengan adanya ketentuan yang membolehkan calon master, itulah yang menjadi peluang saya untuk mengikuti seleksi ketika itu. Artinya bahwa, keikutsertaan saya dalam seleksi ketika itu dapat dibenarkan jika tidak ada peserta seleksi yang sudah bergelar master untuk konsentrasi tersebut.
Saya sendiri sesungguhnya masih ragu untuk pulang dan mengikuti tes di STAIN, sebab kuliah semester 3 juga belum selesai, bahkan belum ujian. Saya meminta pendapat beberapa kolega, termasuk pak Andi Faisal Bhakti, salah satu dosen yang mengajarkan saya ilmu komunikasi di semester itu. Sungguh di luar dugaan saya, justru beliau memberikan dukungan penuh untuk saya kejar pulang dan mengikuti seleksi CPNS di STAIN Pontianak ketika itu.
Masih berpikir antara mengikuti tes CPNS atau menyelesaikan kuliah semester tiga, yang salah satunya mata kuliah pak Andi (Prof. Andi Faisal Bhakti). Ada dua mata kuliah dengan beliau ketika itu. Pertimbangannya, jika pulang ke Pontianak, maka saya tidak lagi bisa ikut kuliah pak Andi, sebab setelah itu beliau segera akan kembali ke Belanda dan mengajar di sana.
Ternyata pak Andi bukan hanya memberikan izin tidak ikut perkuliahannya hingga selesai untuk mendukung saya pulang, malah beliau menjanjikan kelulusan dua mata kuliah tersebut untuk saya. “Ibrahim, selama ini kamu masuk teruskan matakuliah saya? Tugas dan presentasi juga sudah kamu kerjakan semua kan? Ok, kalau gitu Ibrahim pulang saja. Ikuti tes CPNS itu. Soal kuliah, Ibrahim jangan khawatir. Ibrahim pasti lulus, hanya saja dengan angka berapa, nanti lah saya lihat. Tugasnya Ibrahim kirim saja ke email saya. Ibrahim pulang saja, ikuti tes itu. Atau, Ibrahim perlu rekomendasi saya untuk ikut seleksi CPNS?”  itulah diantara motivasi besar yang menguatkan saya untuk pulang dan mengikuti seleksi CPNS tahun 2003.
Dengan motivasi dan dukungan itu, setidaknya membuat saya lebih konsentrasi menghadapi tes CPNS. Saya tidak lagi khawatir akan tidak lulus mata kuliah dengan pak Andi, sebab beliau sudah menjaminnya. Dengan perasaan hati yang senang dan penuh semangat, saya mohon izin dengan beliau dan memohon do`anya agar saya lulus dalam seleksi CPNS yang akan diikuti.
Begitulah awal proses seleksi CPNS saya ikuti mulai dari pendaftaran, tes, hingga pengumuman hasil tes. Alhamdulillah, karena tidak ada pelamar yang sudah bergelar master, maka saya dianggap memenuhi syarat sebagai peserta CPNS. Tidak lama setelah tes, keluarlah pengumuman yang menyatakan saya lulus dan diterima sebagai CPNS Dosen di STAIN Pontianak. Sungguh sebuah anugrah, rahmah dan karunia terbesar dari Tuhan dalam hidupku. Sebuah hasil dari perjuangan panjang yang diamanahkan Tuhan untuk hidup saya menjadi seorang calon abdi negara (CPNS). Ada rasa bangga dan haru dalam diri saya ketika itu. Bangga atas anugrah Tuhan yang diamanahkan ke saya sebagai CPNS. Haru, sebab, status sebagai CPNS ini adalah yang pertama dalam keluarga saya (orang tua dan saudara saya). Apalagi menjadi abdi negara di sebuah perguruan tinggi sama sekali tak pernah terlintas sebelumnya di benak seorang anak perantauan dari kampung. Karenanya hanya puja puji pada Tuhan yang terus saya ungkapkan ketika itu. Ucapan terima kasih kepada Emak tercinta (semoga Allah merahmatinya) atas cinta dan do`a tulusnya dalam menyertai setiap perjuangan dan perantauan saya.
Dengan perasaan lega atas kelulusan tersebut, saya segera kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan seluruh proses kuliah. Sebuah misi penyelesaian kuliah yang dipenuhi  oleh motivasi, semangat dan tekad yang berlipat ganda. Alhamdulillah awal semester 4 saya sudah menyelesaikan tesis, ujian dan dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan (A). Hanya saja saya tidak terkejar untuk ikut wisuda periode Juni. Saya baru bisa wisuda pada periode Oktober 2003, yang menjadikan saya tercatat mampu menyelesaikan kuliah dalam waktu 1 tahun 10 bulan. 

CPNS, Masa Adaptasi dan Persoalan TP
Sebagai CPNS baru, sebenarnya saya sudah dipanggil untuk mulai bekerja tidak lama setelah pengumuman kelulusan. Akan tetapi, karena saya sedang dalam proses penyelesaian akhir studi, saya langsung dinyatakan dalam status sedang izin belajar ketika itu. Saya baru bisa memulai tugas masuk kerja sebagai CPNS pada bulan November 2003, sepulang dari kuliah di Jakarta. Sebagaimana lazimnya CPNS, saya harus segera mengikuti prajabatan. Saya tidak ingat persis angkatan ke berapa prajabatan yang saya ikuti pada bulan November itu. Yang pasti, itu angkatan prajabatan kami semua CPNS dosen STAIN Pontianak angkatan tahun 2003. 
Lulus dari prajabatan itulah dihitung sebagai periode pertama status Calon Pegawai Negeri Sipil resmi saya sandang. Karena itu Desember 2003 (10 tahun silam) adalah terhitung masa tugas (TMT) pertama saya dan teman-teman se-angkatan sebagai CPNS di STAIN Pontianak.
Memulai tugas sebagai abdi negara, dengan status baru sebagai CPNS tentu saja memerlukan beberapa waktu untuk beradaptasi. Akan tetapi setidaknya masa-masa itu ada sebuah semangat dan motivasi yang tinggi untuk bekerja. Apalagi sebagai CPNS, masa-masa awal hanya diberikan tanggung jawab mengerjakan tugas-tugas administratif, meskipun formasi status pegawai adalah calon dosen.
Selain status CPNS untuk pegawai pemula, masa-masa itu juga masih ada jenjang status sebagai Tenaga Pengajar (TP) yang harus dilalui. Dalam status itu, kami juga tidak dibolehkan untuk mengajar dan mengampu matakuliah sendiri, kecuali mengikuti dosen senior dalam bentuk assistensi. Alasannya, TP adalah masa pembinaan untuk menjadi dosen. Dengan ketentuan tersebut, setidaknya diperlukan 1 sampai 2 tahun CPNS baru boleh menjadi dosen dan mengajar. Ya, begitulah aturannya, kata salah satu pejabat ketika itu. Setiap CPNS dosen, termasuk kami hanya bisa mengikuti saja aturan masa-masa itu.
Saya sendiri merasa heran dengan ketentuan tersebut, yang menurut pandangan pribadi saya ada kejanggalan yang jelas. Kondisi ini mengharuskan saya untuk menelusuri aturan-aturan yang digunakan. Saya cari buku-buku terkait dengan ketentuan perundang-undangan pegawai negara, termasuk keputusan Meskowasbangpan, dimana tidak satupun aturan menyentuh soal TP. Saya bertanya kepada pimpinan,  termasuk kabag. Administrasi ketika itu mengenai dasar hukum dan ketentuan TP itu. Namun, yang mengejutkan saya adalah, ternyata aturan yang digunakan untuk menetapkan masa TP bagi calon dosen justru tidak jelas. Tidak ada undang-undang yang bisa dirujuk. Konon, katanya ada surat edaran dari Jakarta (IAIN Syahid Jakarta ketika masih menaungi Fakultas Tarbiyah Pontianak) ketika itu yang menjadi dasar hukumnya. Dan itupun tidak ada satu lembarpun ketentuan aturan tersebut yang dipegang untuk melanggengkan status TP itu.
Kondisi ini semakin menguatkan saya untuk meminta pimpinan melakukan evaluasi terhadap ketentuan TP bagi CPNS dosen. Sebab, menurut saya aturan TP itu hanya akan menghambat perkembangan status dan karir akademis seorang CPNS calon dosen. Dengan TP ini, seorang CPNS calon dosen harus melewati masa satu tahun CPNS murni, satu tahun berikutnya TP, dan tahun ketiga baru bisa menjadi Dosen. Termasuk saya yang saat itu sudah master, dan sudah dibenarkan undang-undang untuk menjadi seorang dosen dari sisi pendidikan, namun tidak boleh mengajar dan mengampu matakuliah sendiri dengan alasan masih status TP.
Alhamdulillah, proses evaluasi dan kritik konstruktif yang dilakukan ketika itu dapat menggugah hati para pimpinan STAIN, yang akhinya bersepakat untuk menghapus kebijakan TP bagi setiap CPNS calon dosen. Terutama untuk CPNS setelah angkatan kami tahun 2003. Kondisi ini semakin membuat saya bersemangat mengemban tugas sebagai abdi negara, sehingga proses adaptasi di awal-awan tugas saya tidak mengalami kesulitan yang berarti.

Bulan Madu Kehidupan Akademis
Awal-awal menyandang status sebagai seorang pegawai negeri (CPNS), tentu merupakan masa-masa yang paling mengembirakan, apalagi sebagai calon dosen di sebuah perguruan tinggi agama Islam satu-satunya yang berplat merah di provinsi ini. Karena itu, ada sebuah kebanggaan dan rasa syukur yang luar biasa yang saya rasakan ketika itu.
Pekerjaan sebagai seorang abdi negara, khususnya pengajar (guru dan dosen) menurut saya adalah pekerjaan yang sangat mulia. Sebab pekerjaan ini terkait dengan tugas dan tanggung jawab membina seorang anak manusia, mendidik dan mengajarkannya. Bahkan, mulianya tugas ini dapat dibuktikan bahwa dari proses inilah akan lahir seorang pemimpin bangsa, ilmuan dan atau ahli apapun dan di bidang manapun. Karenanya, meskipun secara langsung seorang guru atau dosen tidak mendapatkan keuntungan besar dalam hal materi (selain gaji yang pas-pasan), akan tetapi ada kebanggaan dan kepuasan bathin yang luar biasa ketika mampu mengantarkan anak didiknya menjadi seorang yang berhasil dalam hidupnya. Karena itulah, pada akhirnya dengan penuh kesadaran saya merasa bangga dengan profesi saya sebagai seorang dosen. Ada kepuasan bathin dan ketenangan jiwa saya menjalani profesi akademis yang saya tekuni saat ini. Profesi di mana kejujuran (mental akademis) dikedepankan, pengabdian (yang tulus) dijadikan landasan, professionalitas dijunjung tinggi, dan pastinya jauh dari intrik dan kepalsuan sebagaimana dunia politik praktis.
Karena itu, masa-masa itu bagi saya bagaikan periode bulan madu sebagai seorang abdi negara, seorang calon dosen yang akan melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan prinsip profesionalitas, kejujuran, dan ketulusan. Yang dengan ini semua, kepuasan bathin begitu dapat saya rasakan sebagai abdi negara.

P3M Unit Pengabdian Pertama
Saya adalah satu-satunya CPNS angkatan tahun 2003 yang ditempat-tugaskan di unit P3M (Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat), sebuah unit yang konon mengalami metamorposa dalam sejarahnya.  “Dahulu, P3M adalah sebuah unit yang biasa-biasa saja, atau bahkan unit buangan”. Begitulah guyonan seorang pejabat teras STAIN yang masih saya ingat betul ucapannya ketika itu. Akan tetapi sekarang menjadi unit yang cukup disegani karena perkembangan positif di dalamnya.
Ditempatkan di sebuah unit yang notabene aktivitasnya di bidang penelitian, pengabdian masyarakat dan berbagai pengembangan keilmuan di dalamnya, justru membuat saya sangat bersyukur. Melalui unit ini saya dapat mengembangkan ide dan semangat akademis saya, terutama penelitian dan pengembangan ilmu. Bahkan dapat dikatakan bahwa, tiada hari yang kami lakukan di unit ini selain pengembangan aktivitas akademis tersebut. Karena itulah saya dipercayakan untuk mengkoordinir bidang penelitian di unit itu.
Dalam rangka mendukung tugas koordinator penelitian di unit P3M, saya dipercayakan untuk menimba pengetahuan dan pengalaman, diantaranya pengembangan metodologi Participatory Action Research (PAR). Saya menjadi salah satu orang yang dipercayakan untuk mendalami metodologi ini. PAR yang merupakan kecendrungan metodologi riset dan pengabdian yang dikembangkan oleh Kementerian Agama ketika itu. Tahun 2005 saya dipercayakan untuk mengikuti pelatihan Pengembangan Metodologi PAR tingkat nasional di Universitas Negeri Makasar selama 2 minggu. Kemudian tahun 2008 saya juga dipercayakan untuk mengikuti Workshop Nasional Intensif Metodologi PAR di Wonokeling, Solo selama 4 minggu.
Pengetahuan dan pengalaman yang saya peroleh, terutama metodologi PAR itulah selanjutnya yang mendasari kebijakan pengembangan PAR di lingkungan STAIN Pontianak, baik dalam bidang penelitian (berbasis PAR) maupun Kuliah Kerja Lapangan (KKL) PAR yang merupakan maskot hingga tahun-tahun berikutnya. Saya menjadi salah satu dari tim PAR STAIN Pontianak yang dikukuhkan melalui Surat Keputusan (SK) Ketua STAIN ketika itu.
Selain itu, saya juga pernah dipercayakan untuk mengikuti Workshop Nasional Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah untuk Jurnal Nasional dan Internasional di Universitas Negeri Malang (UM) pada tahun 2006. Dengan pengetahuan itu saya bersama teman-teman di P3M memperkuat upaya penerbitan jurnal ilmiah dan menyempurnakan pengelolaannya sebagaimana kaedah jurnal yang sesuai standarisasi nasional.
Ditempatkan di unit P3M ketika itu juga memberikan banyak peluang bagi saya untuk mengembangkan kafasitas akademis diri, yang bukan saja sebagai pekerja administratif, melainkan juga aktivitas intelektual dan akademis seperti menulis artikel jurnal, menerbitkan buku dan mendirikan forum diskusi ilmiah dosen.   
Untuk peluang menulis artikel jurnal setidaknya ada lima jurnal yang tersedia ketika itu. Yang langsung dikelola P3M ada Jurnal Khatulistiwa (jurnal tertua yang didirikan sebelum saya bergabung di P3M). Kemudiaan lahirnya jurnal Al-Albab yang dibidani oleh unit P3M ketika itu, dengan ibu Laili sebagai perintisnya, karena beliau kepala P3M ketika itu. Di Jurusan-jurusan juga lahir jurnal ilmiah pada masa itu, seperti At-Turats untuk Tarbiyah, Al-Mau`izatul Hasanah untuk Dakwah (sekarang berubah menjadi Al-Hikmah), dan Al-Maslahah untuk Jurusan Syari`ah.
Untuk penerbitan buku, masa-masa di P3M merupakan pengalaman pertama kali saya menulis dan menerbitkan buku sendiri yang saya beri judul Problematika Komunikasi Antarbudaya, diterbitkan tahun 2005. Sebuah karya ilmiah buku yang pertama saya hasilkan dari modifikasi tesis master di Universitas Islam Negeri Jakarta. Meskipun hanya sebuah karya yang sangat sederhana, namun terbitan buku itu menjadi inspirasi dan motivasi bagi saya untuk menulis dan melahirkan karya-karya akademis lainnya, termasuk karya-karya kompilasi seperti hasil diskusi ilmiah dosen melalui forum studi Akademia yang saya dirikan ketika itu.

Akademia yang Menggairahkan
Akademia adalah nama sebuah forum diskusi ilmiah dosen yang saya bentuk ketika masih bergabung di unit P3M. Forum ini lahir karena kecintaan saya terhadap pengembangan akademis dan keilmuan di kampus pada satu sisi, pada sisi lain saya ingin mengisi waktu-waktu kosong bagi komunitas akademis, khususnya para dosen, dari miskinnya wahana pengembangan keilmuan akademis yang saya lihat.
Akademia, adalah sinonim yang saya ambil dari makna Ajang Kreatifitas Akademis Insan Kampus sesungguhnya lahir untuk memfasilitas pengembangan diri dan keilmuan para dosen. Melalui forum ini saya dapat memfasilitasi para dosen untuk menulis, membuat makalah ilmiah dan mendiskusikannya. Saya bangga dan bergairah mengelola forum ini, karena besarnya partisipasi dari teman-teman dosen, termasuk yang lebih senior dan sepuh. Begitu saya menawarkan tema-tema dalam silabus tahunan yang saya siapkan untuk forum diskusi ini, hampir sebagian besar dosen dapat berpartisipasi membuat makalah dan mempresentasikannya dalam diskusi. Keberhasilan ini dapat dibuktikan dengan terbitnya sebuah buku kompilasi dari makalah-makalah hasil diskusi yang saya beri judul Islam dan Peradaban Global yang diterbitkan tahun 2005.
Perjalanan forum Akademia tahun 2005 ini sungguh sangat penting dan menghidupkan gairah akademis di kampus ketika itu. Secara keseluruhan saya dapat mengatakan bahwa program diskusi Akademia berjalan dengan sukses untuk tahun pertama itu, mulai dari pembuatan silabus materi, partisipasi dosen dalam menulis dan diskusi, hingga proses penerbitan buku kompilasinya.
Periode kedua, tahun 2006 Akademia mengalami beberapa hambatan dalam perjalanannya, diantaranya, dan paling utama adalah keberangkatan saya untuk melanjutkan pendidikan S.3 di Malaysia. Perhatian saya sudah mulai terbagi dengan persiapan kuliah. Sementara mereka yang diberikan kepercayaan untuk melanjutkan pengelolaan forum ini juga tidak mampu menunjukkan keseriusannya. Diskusi Akademia berjalan antara hidup dan mati, terkadang ada dan terkadang tidak. Beda dengan tahun 2005 ketika saya masih fokus mengelolanya, semua program berjalan dengan lancar sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Saya sendiri prihatin, karena saya mencintai forum ini. Akan tetapi berangkat kuliah S.3 juga harus segera saya siapkan. Meski dengan sangat berat hati, pilihan untuk kuliah S.3 mengharuskan saya melimpahkan pengelolaan forum diskusi Akademia ke teman-teman lain di P3M ketika itu. Termasuk jabatan Sekretaris unit P3M yang hanya sempat saya emban dalam beberapa bulan saja, dan harus saya lepaskan demi mengejar cita-cita kuliah S.3 ketika itu.
Begitulah realitas sebuah pilihan, selalu ada konsekuensinya. Tapi, apapun pilihan dan konsekuensinya, saya bangga dengan semua itu. Forum Akademia yang saya rintis ketika itu mampu membangkitkan gairah akademis yang luar biasa, setidaknya dalam kurun waktu tahun 2004-2005, hingga melahirkan karya fenomenal buku kompilasi hasil diskusi para dosen selama satu periode tahun 2005.
Periode ini merupakan akhir dari pengabdian saya secara langsung di unit P3M, sebab, sekembalinya dari Malaysia, tahun 2008 akhir, saya memilih untuk mengembangkan Malay Corner, sebuah unit non struktural yang dibentuk oleh Pak Haitami dan kawan-kawan, ketika beliau masih menjabat sebagai Ketua STAIN Pontianak.  

MC: Pengabdian dari Luar
Berbeda dengan P3M yang merupakan unit struktural di STAIN Pontianak. Malay Corner (MC) adalah sebuah unit non struktural di lingkungan STAIN Pontianak. Unit ini dibentuk sebagai wadah memfasilitasi sekaligus mempelopori studi-studi tentang masyarakat lokal Kalimantan Barat, khususnya Melayu. MC dibentuk tahun 2006 dengan pak Haitami sendiri sebagai direkturnya. Periode beliau berjalan hingga tahun 2009 dengan menghasilkan beberapa koleksi buku-buku sebagai sebuah perpustakaan penting mengenai Melayu. Kemudiaan tahun 2009, saya diamanahi tugas untuk mengelola unit ini, sekaligus menjadi alasan saya untuk meninggalkan P3M dan berkantor di MC.
Pada tahun pertama, saya tidak terlalu terkendala dengan status nonstruktural unit ini. Ya, meskipun kami tidak dibiayai oleh DIPA, karena memang tidak masuk dalam struktur (nonstructural). Namun setidaknya, pak Haitami sebagai ketua STAIN sekaligus orang yang membidani lahirnya unit ini memiliki cara tersendiri untuk mencarikan pembiayaan operasional unit ini. Karena itu, untuk menjalankan program, kami masih punya peluang, asal pandai dan jelas programnya.
Suasana kerja menjadi berubah ketika pergantian ketua STAIN dari pak Haitami kepada pak Hamka. Status non struktural MC benar-benar ditempatkan sebagai unit yang berada di luar lembaga. Jangankan untuk mendapat support (dukungan) pembiayaaan dengan bahasa-bahasa apapun, sekedar meminta kebutuhan administrasi dasar seperti ATK pun kami tidak bisa. Jika kami bisa melaksanakan beberapa program dan menghasilkan karya pada masa-masa itu adalah karena kejelian kami di unit ini membangun kerjasama kemitraan (termasuk pembiayaan) dengan pihak luar, atau menarik kontribusi dengan peserta. Lama-kelamaan, kondisi ini tentu cukup mempersulit ruang gerak kami di unit ini. Jangan kan dipandang sebelah mata, sekedar didengarkan mungkin juga tidak oleh pimpinan. Ya, lagi-lagi alasannya lembaga MC itu nonstruktural kata pimpinan pasca pak Haitami. Bukankah status ini sudah disadari sejak pendiriannya di masa kepemimpinan pak Haitami..? dan buktinya, pak Haitami bisa mencari jalan keluar yang tidak menyalahi ketentuan. Ya, persoalannya ada pada kemauan dan keberpihakan….
Sebagai sebuah unit non struktural, MC tidak dibiayai dari anggaran kampus (DIPA). MC hidup dengan biaya operasional dari pengelolaan kegiatan mandiri. Jika di masa kepemimpinan pak Haitami, MC dibiayai dari pos perpustakaan, sebab ia memiliki fungsi yang serupa dengan perpustakaan. Bahkan dengan alasan itulah MC saat itu ditempatkan di salah satu ruangan di gedung perpustakaan. Meskipun tidak mendapat pos biaya khusus dan jelas ketika itu, masa-masa pak Haitami memimpin STAIN ini MC masih dipandang sebagai bagian dari asset kampus, apalagi beliau yang membentuknya, tentu sangat mengerti tujuan dan maksudnya.
Sebagaimana fungsinya, selain mengeksplorasi buku-buku referensi mengenai masyarakat lokal sebagaimana dilakukan masa-masa pak Haitami direkturnya, MC juga berupaya melakukan kajian dan penelitian tentang masyarakat lokal, dalam hal ini Melayu utamanya. Karena itu, periode saya mengelola unit ini, MC dapat menghasilkan beberapa buku hasil penelitian, diskusi dan workshop yang terkait dengan masyarakat Melayu di Kalimantan Barat. Sebut saja misalnya Menunggu di Tanah Harapan, Jejak Bugis di Tanah Borneo, Karunia Tuhan di Parit Wa` Gattak. Ketiganya adalah karya hasil kegiatan Riset Wisata yang dikoordinir oleh MC. Kemudiaan ada lagi buku Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu, sebuah karya kompilasi makalah penelitian yang didiskusikan dalam kegiatan Seminar Melayu Nusantara di MC. Berikutnya, yang terbaru adalah empat judul buku karya fenomenal dari program Kampung Riset tahun 2013 yang diselenggarakan bersama P3M STAIN Pontianak.
Untuk program kampung riset dan terbitan empat judul buku darinya, mungkin tidak banyak yang mengetahui keterlibatan MC dalam program itu. Sebab, program kampung riset itu secara mutlak dilabelkan di bawah unit P3M STAIN Pontianak, unit resmi struktural yang menangani kegiatan penelitian dan pengabdian di lingkungan STAIN Pontianak, yang melalui anggaran DIPA dapat direalisasikan.
Banyak orang yang tidak mengetahui jika sesungguhnya program Kampung Riset itu adalah program yang diajukan oleh MC kepada PK 1 dua tahun sebelumnya. Program ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari program riset wisata yang telah dilakukan beberapa kali di MC. Dari sisi teknis pelaksanaan, kegiatan dan target outputnya pun sama antara riset wisata dan kampung riset. Sebagai satu pengembangan program, kampung riset direncanakan untuk skop yang lebih besar, dalam waktu yang lebih panjang, dan karenanya memerlukan pembiayaan yang lebih besar. Karena itulah program ini diajukan ke pimpinan STAIN. Namun, karena status MC yang nonstruktural, maka lembaga tidak dapat memasukkannya ke dalam rencana anggaran DIPA, begitulah alasannya. Karena itu, PK 1 memutuskan untuk menitipkan program tersebut melalui unit P3M STAIN Pontianak. 
Atas kompromi itulah, saya diminta terlibat aktif dalam pelaksanaan program tersebut. Dari sisi output program, nama dan logo MC masih dapat dimasukkan dalam karya monumental itu. Meskipun secara resmi dan formal administratif nama MC tidak pernah dimunculkan selama program tersebut. Ya, begitulah lika-liku perjuangan di MC, sebuah unit yang harus bertahan hidup secara mandiri. Tidak ada perhatian dan dukungan apapun dari pimpinan, termasuk kebijakan. 

SAMBUNGAN ARTIKEL INI ADA DALAM PERSI CETAK (BUKU SATU DEKADE DALAM SATU KARYA, DILAUNCHING, 17 AGUSTUS 2014_PENERBIT STAIN PRESS)