Selasa, 09 November 2010

KISAH MENGESANKAN DI KAMPUNG MELATI

Oleh: Ibrahim MS (Direktur Malay Corner STAIN Pontianak)

Satu catatan kisah perjalanan melakukan Riset Wisata di Kampung Melati, Parit Banjar, Kakap. Sabtu - Minggu, 30 - 31 Oktober 2010.


Kunjungan ke Dusun Melati desa Kalimas kec. Sei. Kakap merupakan program Riset Wisata (RW) kedua yang dilakukan oleh Malay Corner (MC). Sebelumnya tahun 2009, MC sudah menyelenggarakan riset wisata ke kampung durian, pemukiman baru warga Madura yang berasal dari sambas.
Lokasi yang akan dikunjungi untuk program RW tahun 2010 ini merupakan perkampungan orang Bugis di Parit Banjar, Dusun Melati, Desa Kalimas, Kec. Sungai Kakap.
“Agaknya kita perlu melengkapi koleksi data riset kita.
Kalau tahun lalu kita mengkaji Madura, maka sekarang kita mengkaji Bugis”,
begitulah informasi dan saran yang diberikan bang Yus ketika mengusulkan kampung ini sebagai lokasi yang akan dikunjungi.

Saya sendiri dapat memaklumi bahwa bang Yus sudah cukup mengenal kampung ini, karena tahun ini dia juga sedang melakukan kajian mengenai orang Bugis, dimana dusun ini meruPakan salah satu sampelnya. Dugaan saya.

Selain itu, lokasinya yang cukup dekat dan mudah dijangkau, makanya saya langsung setuju saja dengan usulan tersebut. Sejak itulah kami mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk pelaksanaan program ini.

***
Sabtu - Minggu, tanggal 30-31 oktober adalah waktu yang telah kami tentukan melalui rapat pengurus MC untuk pelaksanaan program RW ini.
Karena itu, pagi-pagi sabtu, saya dengan Didi sudah belanja ke pasar flamboyan untuk membeli segala keperluan logistik keberangkatan, maklum tradisi kegiatan RW di MC, logistik selalu dibawa sendiri oleh peserta.
Kita berpikir bahwa, sebisa mungkin program RW ini tidak boleh membebani masyarakat atau tuan rumah. Sudah diterima berkunjung dan diizinkan nginap saja sudah lebih dari cukup bagi MC, karena itu untuk urusan logistik harus disiapkan sendiri oleh peserta.
Alhamdulillah sebelum tengah hari, semua logistik untuk bekal kawan-kawan sudah siap di sekretariat MC.

Setiap kelompok sudah disiapkan logistiknya dalam kotak masing-masing. Karena rencananya peserta kunjungan belajar (begitu istilah yang selalu saya gunakan kepada masyarakat) di lapangan akan dibagi dalam enam kelompok, maka ada 6 kotak logistik yang sudah kami persiapkan pagi itu.
Sementara keberangkatan kami dijadwalkan ba`da ashar atau jam 15.30 sore itu. Dimana untuk keberangkatan ini, seperti biasa kami selalu berkumpul di sekretariat MC terlebih dahulu, di situlah kami berkoordinasi sampai kami berangkat ke lokasi dengan kendaraan motor masing-masing.

Ba`da zuhur saya pulang ke rumah. Dan rencananya jam 14.30 saya sudah akan berangkat ke MC untuk menunggu kawan-kawan kumpul di sana.
Di luar dugaan, kondisi cuaca siang itu mulai gelap. Tidak lama kemudian hujan turun dengan lebatnya, bahkan disertai dengan angin kencang. Saya tidak bisa tidur karena khawatir kalau-kalau hujan terus sampai sore atau malam, bisa-bisa gagal total rencana keberangkatan kami sore itu. Begitulah persaan saya kala itu, sambil beberapa kali bolak balik menjenguk ke luar rumah untuk melihat tanda-tanda hujan akan reda atau tidak.
Sampai jam 15.00 hujan belum juga berhenti, meski sudah agak reda. Sampai hampir jam setengah empat, saya keluar dan melihat masih ada gerimis kecil, karena itu saya putuskan untuk berangkat saja ke kampus. Tidak enak kalau justru saya yang terlambat datang di kampus, begitulah pribadiku.

Jam setengah empat lewat saya tiba di kampus (MC), saya mendapati sudah ada beberapa orang peserta yang menunggu di pendopo depan secretariat MC.
Saya langsung naik dan masuk ke ruang MC. Sementara beberapa orang peserta masih tetap menunggu peserta lainnya di bawah.
Lebih kurang 15 menit kemudian, saya melihat sudah cukup ramai peserta yang datang, termasuk bang zul yang selalu koordinasi dengan saya mengenai keberangkatan dengan cuaca sedemikian. Karena itu saya meminta kawan-kawan untuk naik dan koordinasi di ruang MC.
“ayo naik, kita kumpul di atas untuk ngecek kehadiran kawan-kawan”.
Begitulah alasan saya meminta semuanya naik.
Saya memanggil satu-satu persatu nama mereka yang sudah terdata dalam kelompok masing-masing, dan masing-masing kelompok saya serahkan persilakan mengambil satu dus logistic yang sudah disiapkan untuk dibawa langsung ke lokasi.
“sepertinya cuaca sudah semakin membaik, dan kita agaknya sudah bisa jalan”, begitulah kira-kira ajakan saya kepada kawan-kawan sore itu.
Dari peserta, saya melihat sudah hampir semuanya yang hadir kecuali Cici.
Kami pun turun ke bawah untuk siap-siap berangkat.

“Im, cici minta ditunggu, dia sudah jalan sekarang”,
begitu kata jun meminta saya menunggunya.
Meski agak keberatan, karena memang waktunya sudah sore (sudah lewat dari jadwal semula lagi), saya harus menunggu anggota saya.

Sementara itu, kawan-kawan yang sudah siap dengan motor masing-masing saya izinkan untuk berangkat duluan.

“Kawan-kawan yang sudah siap, silakan berangkat duluan, ikuti Mahmud.
Mahmud saya minta untuk memimpin keberangkatan kawan-kawan karena ia sangat mengenal dusun Melati, dia pernah tinggal beberapa lama dengan neneknya di kampung tersebut.
“Mud, kamu berangkat duluan bersama dengan teman-teman ya”,
sementara saya masih menunggu teman kita yang belum datang nih”,
pinta saya dengan Mahmud. “Saya masih harus menunggu yang belum datang ni, biar saya mengawal teman-teman belakangan”.
Jelas saya dengan Mahmud.

“Jun, sedang di mana Cici?” Tanyaku agak kurang sabar.
“Dia sudah jalan sekarang”. Jawab Jun.
Jun pun terus berusaha untuk koordinasi dengan Cici. Bersama saya dengan Jun, juga masih ada Didi yang setia menunggu kedatangan Cici.

“Im, cici menunggu di depan Pelni katanya, kita lewat kota baru kan?”
Tanya jun.
“Ya, kalau gitu kita berangkat saja sekalian jemput Cici”,
ajak saya.
Kami pun berangkat. Sampai di dekat Pelni saya sudah melihat Cici di seberang jalan. Cici diantar oleh baPaknya. Karena kami menuju Kota Baru, maka cici harus menyebrang. Sementara itu saya dengan Didi terus jalan, pelan.
Dugaan saya, Jun dengan cici terus menyusul kami jalan di belakang.
Sampailah di daerah kota Baru, ternyata masih ada bang Mail dan motornya kak Ifit dan Eva. Jadinya kami berjalan berbarengan.

Kami berbelok ke jalan Ampera, karena harus ikut jalan Kakap, maklum kondisi cuaca habis hujan. Kalau jalan kering, sebenarnya lebih dekat lewat jalan punggur ujung kota baru.
Lagi-lagi di sini, saya menduga Jun dan Cici masih bisa menyusul di belakang kami, mereka tau kalau ke lokasi lewat jalan Kakap, pikirku.

Kami 4 buah motor (mail, didi, ifit bonceng eva dan saya sendiri) terus berjalan. Ketika mulai masuk jalan kakap saya pun berhenti untuk memastikan rongbongan ikut semuanya di belakang. Ternyata Jun dan Cici tidak tampak. Saya dan Didi sempat menunggu beberapa saat.
Kemudian dengan perlahan kami lanjutkan perjalanan, belum juga tampak Jun dan Cici.
“Ah, Jun tau bah jalan kakap, pasti dia juga akan menyusul”, yakinku.
Belum sampai ke simpang kakap Jun telp.,
“Hallo Im, dimana kita` ni?”
Saya sendiri tidak langsung menjawab, tapi malah menanyakan posisi Jun.
“Kamu sendiri di mana Jun, kenapa lama sekali?” tanyaku.
“Saya di jalan punggur ni, ujung kota baru”, jawab Jun.
Mendengar jawaban itu, saya pun sadar kalau Jun dan Cici nyasar jalannya.
“Jun, bukan lewat situ, kita lewat jalan kakap”, jelasku setengah kesal.
“O ya kah, ya lah kami balek lagi ke situ”.
Jawab jun di telefon.
“Cepatlah, kami tunggu di simpang punggur, kakap”, jawabku.
Hampir setengah jam kami menunggu barulah Jun dan Cici datang.
Kami melanjutkan perjalanan ke dusun Melati. Hampir berkumandang azan magrib kami masuk wilayah dusun tersebut.

***
Motor Ifit dan Eva berhenti di depan sebuah rumah yang di situ telah parkir motor kawan-kawan rombongan yang berangkat duluan tadi. Di situ adalah rumahnya kakek si Mahmud.
Saya pun berhenti. Saya tidak sempat masuk ke dalam karena sudah hampir azan maghrib.
Saya memanggil Mahmud, dan saya meminta Mahmud untuk mengajak kawan-kawan menuju masjid.
“Kita janji kumpul di masjid, di masjid lah kita akan koordinasi dengan Pak RW (Pak Udin), termasuk penentuan posko menginap dan sebagainya”. Begitulah alasan ku meminta Mahmud mengkoordinir kawan-kawan untuk langsung menuju Masjid.
Kawan-kawan pun berangkat menujun masjid. Saya sendiri harus mampir terlebih dahulu ke rumah Pak Rusni, ketua RT 12, salah seorang yang saya temui untuk koordinasi kunjungan ini sebelumnya.
Rumah Pak Rusni ada di seberang parit, untuk ke rumahnya saya harus melalui jembatan yang sudah banyak berlobang, dan harus berhati-hati karena sebagian kayu jembatannya sudah patah. Kemudian di seberang pun masih harus melewati jembatan parit kecil yang sudah terapung karena banjir.

Saya perlu berhati-hati supaya tidak tercebur ke dalam parit, bisikku sambil menginjak perlahan jembatan yang sudah sedikit terapung di atas air.
Saya naik ke teras rumah Pak Rusni, belum sempat mengucap salam dan mengetuk pintu, dari balik jendela saya melihat Pak Rusni sedang shalat magrib berjama`ah dengan isterinya.
“Wah, ini bakalan lama saya menunggu selesai shalat”, pikirku. Semula saya berpikir untuk langsung ke Masjid. Tapi tak enak pula tak ada komfirmasi lagi dengan kedatangan rombongan, pikirku lagi. Terpaksa saya harus menunggu.

Sementara itu, di rumah sebelahnya saya melihat ada beberapa orang sedang ngumpul.
“Ah, bagus saya kesitu saja, sambil menunggu”, pikirku.

“Assalamu `alaikum”, aku menyapa mereka.
“Alaikum salam, sila naik pak, sambut dari tuan rumah”.
Beliau pun tampak sibuk mengambil bajunya, membukakan pintu dan menyilakan saya ke dalam. Sebelumnya saya melihat mereka hanya ngobrol di teras luar, makanya tidak mau diajak masuk dan ngobrol di dalam, saya minta duduk di luar saja.
Sambil bersalaman saya pun mengenalkan diri, menyampaikan mengenai tujuan kedatangan rombongan.
“Saya mau jumpa Pak Rusni, tapi beliau lagi shalat”, jelasku.
Obrolan kami pun berlangsung beberapa saat. Kemudian saya mohon diri untuk kembali ke rumah Pak Rusni, perkiraan saya shalatnya sudah mau selesai.
Setibanya di teras, ternyata Pak Rusni masih berzikir dan berdo`a, terpaksa aku menunggu lagi.
Begitu shalat nya selesai, aku segera mengucapkan salam dan mengetuk pintu.

“Assalamu`alaikum”, salamku pada Pak Rusni.
“Alaikum salam”, jawab Pak Rusni sambil membuka pintu.
“Eh, bapak, silakan masuk Pak”. Sapa Pak Rusni.
“Udah, disini saja Pak, sebentar saja, saya hanya mau komfirmasi bahwa rombongan saya sudah datang, dan sekarang sudah di Masjid,
biar nanti kita koordinasikan semuanya di Masjid saja”,
aku meminta kesepakatan dengan Pak Rusni.

“Saya duluan pak”, pamit ku.
“Ya, nanti saya menyusul pak”, jawab Pak Rusni.
Saya bertolak dari rumah Pak Rusni dan langsung menuju masjid sore itu.
***
Sampai di masjid, saya langsung menuju tempat wudu`, saya segera wudu` karena saya melihat jama`ah shalat maghrib sudah hampir selesai.
Begitu saya masuk ke dalam masjid, ternyata jama`ah benar-benar sudah selesai shalatnya. Saya mendapati Didi belum shalat. Rupanya Didi sengaja menunggu saya untuk shalat berjama`ah. Saya pun shalah berjama`ah dengan Didi.
Selesai shalat, saya bersalaman dengan beberapa orang jama`ah di belakang. Salah satunya yang saya salami tersenyum, sepertinya ia kenal dengan saya. Saya sendiri merasakan tidak asing dengan wajahnya. Saya pun bertanya namanya.
“siapa ni?” tanyaku.
Saya Hamadi pak (belakangan saya tau nama benarnya adalah Ahmadi),
“saya mahasiswa STAIN, Tarbiyah.
Saya belum selesai, karena saya pernah cuti”. Jelasnya.
Saya pun ngobrol beberapa hal singkat dengan Hamadi, karena saya harus mengurus posko kawan-kawan.

Saya mencari Pak Udin (Pak RW), orang yang selama ini saya hubungi untuk program kunjungan ini. Saya pun pergi ke rumah Pak Udin, untuk memberitahukan kalau rombongan sudah kumpul di masjid.
Sampai di rumah Pak Udin, ternyata Pak Rusni juga sudah ada di sana, tepatnya di rumah warungnya.
Akhirnya kami bertiga sepakat untuk mengatur semuanya di masjid.
Saya, Pak Udin dan Pak Rusni menuju masjid.
Saya, Pak Udin dan Pak Rusni mengambil posisi di teras sebelah kanan masjid. Rencananya kami ingin membicarakan soal posko kawan-kawan.
Belum sempat duduk tenang di masjid, saya, Pak Udin dan Pak Rusni langsung dikerumuni oleh kawan-kawan. Berbagai pertanyaan pun langsung disampaikan oleh kawan-kawan ke Pak Udin dan Pak Rusni. Mereka seakan-akan tidak ingin melewatkan sedikitpun kesempatan untuk bertanya mencari data dan informasi malam itu.

Saya sendiri, yang tadinya ingin menggenahkan soal posko dengan Pak Udin dan Pak Rusni, terPaksa harus menundanya.

Kawan-kawan tarus wawancara dengan Pak Udin. Beberapa lagi menghadap Pak Rusni dan mewawancarainya, sampailah azan isya berkumandang dari dalam masjid.

Azan sudah hampir selesai, masih saja teman-teman wawancara dengan Pak Udin dan Pak Rusni. Mau tidak mau saya harus menyelanya.
“Ok, sekarang kita shalat isya saja dulu, nanti lanjutkan”. Kilah ku.
Kamipun beranjak dari tempat duduk di teras dan masuk ke masjid untuk melakukan shalat isya malam itu.
Saya tidak mau disalib kawan-kawan lagi. Selesai shalat saya langsung meminta Pak Udin dan Pak Rusni bicarakan tentang posko nginap kawan-kawan.
Alhamdulillah, dari 6 kelompok semula yang artinya juga perlu 6 rumah untuk nginap, ternyata hanya 5 rumah yang dapat diusahakan Pak Udin dan Pak Rusni.
Pak Udin sebenarnya masih mau berusaha mencari 1 rumah lagi, tapi saya mencegahnya. Saya tak ingin Pak Udin repot lagi mencari 1 rumah malam itu juga.
“Tak apa-apa pak, 5 juga sudah cukup, biar satu kelompok saya gabungkan”, maklum ku. Akupun menentukan tempat nginap masing-masing kelompok. Untuk mengantar kawan-kawan ke posko dimaksud saya ditemani oleh Pak Rusni dan Pak Udin. Singkat cerita, kawan-kawan sudah dapat tempat nginap malam itu. Dan kami pun berpencar di kelompok posko masing-masing, mencari data dan informasi, serta silaturrahmi dengan warga yang mungkin dilakukan selama berada di lokasi.

***
Saya sendiri masuk kelompok 4. Posko kami di rumah ibu Fatmawati (atau biasa dipanggil ibu Wati). Sebagai ketua rombongan, sebenarnya saya bisa memilih dimana saja mau masuk kelompok dan posko. Sebelumnya koordinasi saya selalu dengan Pak Udin, dimana di rumah beliau juga ada 1 kelompok. Saya tidak memilih untuk masuk kelompok di rumah Pak Udin, tapi saya memilih di rumah ibu Wati.

Bagi saya, Pak Udin saya sudah pernah ketemu beliau dan ngobrol dengan beliau sejak dari survey pertama. Sementara ibu Wati tidak.
“Menantu ibu Wati itu alumni STAIN.
Dulu tu, dia KKN disini, itulah dapat anak bu Wati”.
Begitulah cerita Pak Udin ke saya tentang ibu Wati. Itulah yang membuat saya tertarik untuk memilih gabung dengan kelompok ini.

Hapir jam 8 malam saya baru sampai di rumah ibu Wati, tempat kelompok kami menginap. Saya memang terlambat dari kawan-kawan kelompok, karena saya harus mengantarkan kawan-kawan kelompok 1 ke poskonya. Sementara kawan-kawan kelompok saya sudah terlebih dahulu ditunjukkan oleh Mahmud tempat nginapnya.

“Assalamu`alaikum”
Itulah sapaan pertama saya akan masuk ke rumah ibu Wati.
“Alaikum salam” jawab dari seorang lelaki kisaran usia 25 –an tahun yang menyambut kedatangan saya di depan pintu.

“Apa kabar bang?” tanyaku.
“Saya Ibrahim”, saya coba mengenal diri sebagai basa basi awal.
“Alhamdulillah baik, silakan masuk”, beliau menyilakan saya masuk.
Di ruang dalam saya melihat kawan-kawan sedang beramah tamah dengan seorang Ibu dan 2 orang perempuan muda. Saya pun langsung menyalami mereka satu persatu sambil mengenalkan diri. Mereka itu adalah Ibu Wati dan dua putrinya.

Sementara yang menerima kedatangan saya di depan pintu tadi adalah menantunya ibu Wati, namanya Ahmad Junaidi.
Kedatangan kami sepertinya memang sudah ditunggu di rumah itu, sebab begitu saya masuk, kami sudah langsung disuguhkan dengan minuman teh hangat dan beberapa kue naga sari. Kami pun segera menikmati sambil berkenalan dan silaturahmi.

“Ada berapa orang rombongan Pak?”
Tanya ibu Wati singkat.
“Kita ada 31 orang bu, yang terbagi kepada 5 kelompok dan 5 rumah nginap. Sementara kami rencananya mau numpang nginap disini”. Basa basiku.
“O silakan, inilah tempat kami”, jawab bu Wati dengan penuh ramah.
“Kalau saya sengaja pilih tempat ini bu, karena saya dengar ada sejarah tersendiri rumah ini.
Ibu dapat menantu alumni STAIN kah bu?”
Begitu sapa basa yang saya lontarkan pertama kali.

Ibu wati tersenyum, terus menjawab,
“iya.
Itu Jamiat, dulu kan dia KKN disini.
Eh tau-tau, ada niat nak serius dengan anak saya, rohani.
Itulah jadinya.
Sekarang mereka tinggal di Pontianak”.

Saya sendiri sudah mendengarkan cerita ini dari Pak Yapandi 2 minggu sebelumnya, ketika saya mengajak Pak Yapandi ikut kegiatan RW di dusun Melati.
“O ya, disitu adalah alumni kita yang jadi dengan orang situ.
Dapatnya waktu kami KKN dulu lah”, jelas Pak Yapandi.

Kunjungan kali ini membuat saya tau bahwa ternyata di kampung itu sudah 2 kali KKL STAIN, yakni tahun 1985 dan 1990.

Jamiat dapat isteri anak ibu Wati adalah KKN tahun 1990. Termasuk KKN masa itu adalah Pak Yapandi. Dokumentasinya masih tampak di ruang tamu bu Wati. Saya melihat dengan jelas satu foto besar anggota kelompok KKL tahun 1990 (ada Pak Yapandi, Jamiat dan kawan-kawannya) yang masih di pajang di ruang tamu rumah bu Wati. Di situ juga masih tampak jelas foto Almarhum H. Yahya Natsir, pembimbing KKL ketika itu.

Saya juga mendengar, kalau sebelumnya tahun 1985 juga sudah ada KKN dari STAIN. Bahkan yang menarik dari sejarah itu, mahasiswa KKN STAIN tahun 1985 itulah yang pertama kali memberikan nama kampung ini menjadi kampung Melati (dusun Melati).

Informasi ini memberikan aku satu pengertian bahwa sebenarnya STAIN mempunyai tempat di hati masyarakat dusun Melati. Bahkan mereka selalu bandingkan kunjungan STAIN yang lebih diharapkan oleh mereka dibandingkan dengan kunjungan dari kampus yang lain. Tapi sayang, sudah 20 tahun STAIN tidak pernah lagi membawa program serupa ke kampung ini, hingga pada kesempatan ini baru ada kegiatan rombongan riset wisata masuk dan bersilaturahmi.

***
Silaturahmi malam itu, hingga menjelang tidur di rumah ibu Wati memberiku banyak pengetahuan tentang masyarakat Bugis, diantaranya adalah masih dipraktekkan beberapa adat budaya yang menjadi identitas masyarakan bugis. Adat tersebut antara lain, lesuji, mandre sepulung, makan dalam kelambu, keleleng, naik tojang, penok-penok dan sebagainya.

Saya merasa senang sekali memulai pemburuan data di kampung ini. Saya merasa bahwa saya pasti dapat informasi yang banyak mengenai adat orang Bugis yang selama ini kurang saya pahami. Karena itu, semula saya berharap dapat mengetahui secara baik dan mendalam mengenai adat-adat tersebut, terutama menyangkut pesan-pesan adatnya. Akan tetapi ketika saya mulai menanyakan lebih jauh ke Ibu Wati, anak dan menantunya malam itu, mereka hanya bisa menjelaskan secara singkat saja dari ada tersebut.

Salah satu adat yang saya tanyakan adalah Makan dalam kelambu, yang menurut mereka adalah adat memberi makan bayang-bayang kita sendiri.
“apa tujuan dari adat itu?” saya mulai bertanya mendalami.
“Tujuannya adalah untuk meminta keselamatan
Supaya orang yang akan menikah itu dihindarkan dari bala bencana” itulah jawaban mereka.
“mengapa harus dalam kelambu?”
Mengapa harus dengan makan? Dan dalam kelambu lagi?” tanyaku lebih lanjut.
“Nah, kalau itu tak tau lah kita”
“Kami hanya tau begitu saja adat dari orang tua dulu ”, jawab mereka singkat.

Begitupun dengan adat-adat yang lain, mereka hanya bisa menjawab bahwa adat itu dilakukan untuk tujuan meminta keselamatan dan memohon dihindarkan dari bala bencana.
Menyangkut pertanyaan, mengapa harus demikian, apa makna dari setiap perlengkapan yang digunakan, mereka tidak dapat memberikan jawaban yang pasti, kecuali untuk alasan keselamatan dan tolak bala.

“Ada kah orang yang mengerti banyak tentang adat ini? Tanyaku penasaran.
“disini ada dukunnya” kecuali dia lah yang lebih tau”, jawab bu Wati.
“itu mak ya, wak Syukur tu kan”
anak bu Wati menimpali memberikan informasi ke saya.
Saya pun meminta informasi mengenai wak syukur, alamat rumah dan kemungkinan untuk menemuinya.

Sejak malam itu, saya berencana untuk bersilaturahmi ke rumah wak Syukur keesokan paginya. Meski ada rada pesimis bisa ketemu, sebab informasi yang saya dengar wak Syukur itu bekerja sebagai petani ladang, yang biasanya subuh-subuh sudah turun dari rumah.

“ya saya harus ketemu wak syukur atau penua di kampong ini besok”
Mudah-mudahan dengan mereka saya dapat banyak pengetahuan yang lebih jauh mengenai adat orang bugis” begitulah niat hati yang saya bawa sampai istirahat tidur malam itu.

***

Allahu akbar Allahu akbar, Asyhadu alla ila ha Illallah
Suara azan subuh berkumandang di masjid membangunkan ku. Aku sadar waktu sudah pagi, waktu shalat subuh sudah masuk. Cuaca malam hari yang agak dingin karena turun hujan, ditambah dengan rasa capek di perjalanan membuat istirahat malam itu cukup pulas. Lantai keramik yang dingin terasa tersentuh ujung kakiku, aku berusaha untuk segera bangun dan menunaikan shalat subuh. Aku duduk sambil mengusap mata, aku belum melihat seorang pun yang terbangun, baik tuan rumah maupun kawan-kawan peserta. Kemudian aku bangun dan keluar mengambil wudhu untuk shalat subuh.
Kondisi cuaca di luar masih sedikit gerimis sehingga aku tidak pergi ke masjid subuh itu.

Tidak berapa lama kemudian barulah bang Zul dan Mahmud bangun, dan shalat subuh juga. Begitupun dengan tuan rumah dan kawan-kawan perempuan yang tidur di kamar dalam.
Selesai shalat subuh, kami duduk-dukuk di ruang tamu. Saya menjamah sedikit kue yang masih terhidang di meja sambil berbincang dengan Mahmud yang memulai membuka laptopnya.
“Mud, pagi ini kita jalan-jalan ya” ajak ku.
“Kemana Pak?”, Tanya Mahmud.
“Kita ke tempat wak Syukur ja`” ajakku.
Begitu hari betul-betul sudah terang pagi itu, dan tampak gerimis juga sedah berhenti, Mahmud mengingatkan ku.
“jadikah Pak kita jalan?, ayolah ke wak Syukur” ajak Mahmud.
“Ayo lah, bang Zuk ikut?” aku mengajak bang Zul yang juga sedang duduk-duduk di ruang tamu tempat kami menginap.
Kami bertiga pun jalan pagi itu.

Perjalan kami sampi di sebuah jembatan persimpangan ke arah parit gadoh, kami berhenti dan ngobrol disitu sembari mengamati situasi pagi itu.
Ada tiga orang anak (usia SD) pun bergabung dengan kami, satu diantaranya pakai sepeda. Saya bertanya kepada mereka dimana rumah wak syukur. Mereka menunjukkan ke saya rumah wak syukur. Dari tempat kami kira-kira sekita 50 meterlah rumah wak syukur, atau rumah ke 4 dari rumah di hadapan kami.
Aku langsung jalan ke situ dengan Mahmud. Disitu aku melihat ada seorang ibu yang keluar. “Ibu, numpang tanya, betulkan ini rumah wak syukur?”
“Betul”. Jawabnya.
“Adakah beliau ibu?” Tanyaku lebih lanjut.
“Wah, beliau sudah pergi ke ladang, ada apa pak?”, tanyanya lebih lanjut.
“Ngak, cuma mau silaturahmi saja rencananya”. Saya pun menjelaskan sedikit tentang kami dan tujuan kunjungannya.

Aku pun pamit, karena tidak ketemu dengan wak Syukur. Disitulah aku bertanya kepada Mahmud tentang siapa orang tua yang lain yang banyak tau dengan adat. Dan Mahmud merekomendasikan kepadaku nama tok Baka. Rumah beliau ada di hilir sana dekat sekolah, jelas Mahmud.

“Bapak mau ke rumah tok Baka?”
Tanya Mahmud yang sebenarnya juga mengajakku ke sana.
“Ayo lah”, jawabku singkat.
Kami pun kembali ke posko untuk mengambil motor, maklum tempatnya agak jauh. Kami mengeluarkan motor untuk rencana pergi ke sana. Belum jauh jalan, kami ketemu dengan Nindwi, Ica dan Erika yang baru selesai wawancara dengan tok Nyetong nampaknya. Mahmud nawarkan,
“ikut ke rumah tok Baka?”.
“Mau, mau. Kami ikutlah”. Jawab mereka.
Nindwi mengambil motornya, kami berlima pergi ke sana.
Kami sampai di sebuah rumah tua,
“itulah rumah tok Baka”, kata Mahmud.
Rumah masih tertutup rapat pintu dan jendelanya. Tiada suara apa –apa dalam rumah itu, saya menduga tidak ada orang di rumah itu. Mahmud naik dan mengucapkan salam. Lagi-lagi tak ada suara menjawab. Mahmud ke pintu dapur, mengucapkan salam sambil mengedur pintu.
“Tak ada kali mud”, kataku.
Mahmud tak putus asa, terus mengucapkan salam dan mengetuk pintu.
Ternyata ada suara di dalam (bagian dapur). Pintu dapur terbuka, di situlah Mahmud menyampaikan maksud untuk silaturahmi, dan kami pun diterima masuk.
Sebelum kami masuk, Mahmud sempat berpesan,
“ngomong harus kuat Pak, beliau sudah kurang mendengar”, Mahmud mengingatkan aku.
Pintu depan terbuka, di dalam rumah saya melihat seorang kakek tua dengan senyumnya yang ramah, raut wajahnya yag sejuk, suaranya yang halus dan lembut manyapa dan menyilakan kami masuk. Beliau begitu terlihat ramah, meski langkah kakinya yang agak lemah, beliau sibuk mengatur kursi tamu. Aku memintanya untuk membiarkan kami saja yang mengambil dan menyusun beberapa kursi tersebut.
“Silakan duduk”, beliau menyilakan kami dengan senyum dan raut wajahnya yang sejuk dipandang.
“Beliau ini tok Baka”, Mahmud mengenalkan kepada ku.
Aku mengacungkan tangan bersalaman, sambil mengenalkan nama.
“Saya Ibrahim tok”.
“kami dari Pontianak” Sapa basa ku singkat.
Semula saya ingin bertanya beberapa hal sambil menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan.
Sebagai peneliti (orang yang belajar), kami ingin kenal lebih jauh dengan tok Baka, termasuk namanya.
“Siapa nama atok?
Nama atok benar siapa?” Tanya Mahmud setengah berteriak.
“Abu bakar, Abu Bakar bin haji Muhammad”, jawabnya.
“Umur berapa? Umur datok berapa?” Tanya Mahmud mengulangi.
“Sembilan puluh, sembilan puluh tahun”, jawabnya.
Di rumah itu, tok Baka ditemani oleh satu orang anak dan menantunya. Kedua-duanya sedang bekerja di ladang pagi itu. Anak sulungnya tinggal di kalimas. Wak acong namanya. Anak sulung itulah yang katanya banyak mewarisi pengetahuan beliau sebagai dukun.
Kendatipun beliau sendiri tidak mau disebut dukun.
“Saya bukan dukun, saya hanya tau dan bantu orang saja.
Saya tidak pernah dibayar untuk bantu orang, melakukan acara adat bantu orang”, katanya.
Kami bertanya banyak hal kepada tok Baka,
“Kapan atok pindah kesini? Tanya kami.
“Saya lahir disini, dulu orang tua saya pindah ke sini setelah pulang dari Mekah. Waktu di Mekah, kata orang tua saya, ada orang kasih tau kalau di sini ada tanah dijual, murah lagi katanya. Makanya dari Mekah (mengerjakan haji) orang tua saya langsung ke sini”. Jelasnya.
“Mengapa ini dinamakan parit banjar tok? Tanya kami lagi.
“Karena orang banjar lah yang pertama kali membuka kampung ini. Tapi sekarang mereka tidak ada lagi di sini, mereka sudah pindah”, jelas tok baka.
Mahmud yang duduk di samping beliau menjadi juru bicara kami untuk bertanya sesuatu.
Bahkan terkadang harus dengan nada sedikit berteriak, Mahmud mewakili kami menyakan banyak hal, termasuk adat masyarakat Bugis.
“Makan dalam kelambu, apa tujuannya tok?” Tanya Mahmud
“Makan dalam kelambu tujuannya supaya kita selamat, kita berdoa untuk keselamatan orang yang melakukan adat itu”. Jelasnya dengan singkat.
Sama seperti yang lainnya, dengan tok Baka pun saya tak mendapat jawaban yang lebih detil mengenai adat istiadat makan dalam kelambu. Karena itu saya menduga bahwa adat makan dalam kelambu –sebagaimana adat yang lainnya- dilakukan murni sekedar ritual belaka. Masyarakat tidak begitu mengerti lagi dengan pesan-pesan tertentu dari adat tersebut. Karena itu wajar jika adat tersebut dan beberapa adat lainnya sudah mulai banyak dilupakan/ditinggalkan oleh masyarakat Bugis dusun Melati.
Beberapa saat kami bersilaturahmi, datang juga rombongan Ifit, Jun dan beberapa orang lainnya. Penuh ruang tamu tok baka, kursi tamu tak cukup.
Tok baka pun langsung turun dan duduk melantai, meskipun kami memintanya tetap duduk di kursi. Dengan itu kami semua menyingkirkan kursi dan jadinya duduk melantai dengan tok Baka.
Sambil mendengarkan cerita tot baka, mata kawan kawan –kawan melihat ke berbagai sudut ruang tamu rumah tok Baka. Kami melihat foto beliau masih muda yang tampak gagah dan berwibawa. Kemudian ada satu foto besar yang saya tak kenal betul orangnya.
“Eh, itu Ismail Mundu, foto Ismail Mundu”, kata jun.
Jun meminta saya menanyakan perihal foto tersebut kepada tok Baka.
Mahmud, yang tampil sebagai juru bicara kami bertanya kepada tok Baka.
“Itu foto siapa tok? Mahmud bertanya sambil menujukkan foto dimaksud.
“Itu Ismail Mundu, Ismail Mundu itu guru saya”, jawab beliau.
“Saya lama belajar dengan Ismail Mundu. Macam-macam lah ilmu agama, tarekat juga lah”, jelas tok Baka kepada kami.
Ifit menyodorkan 2 bungkus kue kepada tok Baka sebagai oleh-oleh dan ucapan terima kasih, ada permen juga nampaknya.
“apa ini? Tak usah lah” tok Baka agak tidak enak nampaknya. Demi menghargai beliau tetap mengucapkan terima kasih.
Banyak hal kami dengarkan informasi dari tok Baka pagi itu, sampai akhirnya kami mohon diri untuk pamit dan pulang.
Sebelum pulang pun mata kawan-kawan masih tertuju kepada satu benda yang digantung di atas pintu rumah beliau (di bagian dalam dan luar).
Di bagian dalam tampak ada selembar kertas ditempel, bertulisan arab yang menyerupai wafak. Kemudian di sebelah luar digantung benda yang terdiri dari bulu dan ijuk.
Jun tak kuasa menahan rasa ingin tahunya dan bertanya,
“Untuk apa benda ni tok?
“itu untuk menangkal pencuri” jawabnya singkat.
Dengan ucapan terima kasih dan rasa suka cita, kami meninggalkan rumah tok Baka karena mendapatkan banyak informasi pagi itu, sebagiannya sibuk dengan dokumentasi di rumah tok Baka.

***
Jam 10 pagi adalah jadwal kepulangan yang telah ditentukan. Meskipun beberapa diantara kami yang sudah pamit pulang lebih awal karena adanya kepentingan tersendiri.
Sebagai ketua rombongan, saya meminta kawan-kawan bersiap untuk pulang, karena sudah hampir jam 10. Saya melihat, sebagian kawan-awan masih bersemangat mengumpulkan data, Nindwi dan Mahmud masih silaturahmi ke rumah warga. Nindwi belum lagi sempat sarapan, padahal jadwalnya sudah mau pulang pagi itu. Begitupun di kelompok 3, Fitriani masih sibuk nak makan kelapa muda.
Banyak memang buah kelapa muda yang sudah diambil dan ditaroh di halaman depan rumah posko mereka. Kalau tak malu dan keburu dah harus pulang, rasanya mau juga menjamah buah kelapa muda itu.

“Ok lah, cepat sikit sarapan, makan kelapa cepat sikit, kita mau pulang, kami tunggu di masjid”.
Aku mengingatkan Fitriani dan Mardian yang nginap di rumah Pak Usman.
Sebagian besar kami sudah kumpul di masjid, tapi beberapa orang belum tampak. Yanti dan Jun lagi wawancara katanya Ambar memberitahu saya. Saya meminta Ambar untuk SMS mereka berdua, kita harus pulang.

Jam 10 lewat barulah kami semua kumpul di masjid.
Sebelum pulang, kawan-kawan mengajak berfoto bersama di depan masjid. Disitulah saya sampaikan beberapa pengumuman kepada kawan-kawan sebelum bubaran pulang. Tepat pukul 10.40 kami bertolak dari masjid dusun Melati dan pulang ke Pontianak dalam keadaan cuaca yang mendung, gelap dan mulai turun hujan.

Meskipun singkat, kunjungan belajar ke Dusun Melati memberikan banyak kisah yang berkesan buat saya, dari sejarah kedekatan STAIN dengan kampung ini 20 – 25 tahun silam, adat istiadat masyarakat yang mulai kehilangan identitas dan daya magisnya, hingga sosok (tok Baka) murid Ismail Mundu yang sepuh, bersahaja, ramah dan sejuk menerima kunjungan silaturahmi kami.

Dengan kesan dan kenangan tersendiri, kami pun beranjak pulang meninggalkan kampung Melati dalam suasana cuaca yang mulai gelap. Belum lagi rombongan kami sempat keluar dari jalan bebatuan bercampur tanah, hujan mulai turun, terpaksa kami harus mengeluarkan mantel hujan. Dan ternyata, perjalanan kami sampai datang ke rumah terus diguyur hujan pada pagi menjelang siang minggu itu. Itulah kisah perjalanan kami dalam kegiatan riset wisata hari itu.

Sabtu, 09 Oktober 2010

ISLAM DAN TRADISI DI NANGA JAJANG

Kajian ke atas Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Sosial Masyarakat

Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Antarabangsa Islam Borneo (KAIB) III, STAIN Pontianak, 4 s/d 5 Oktober 2010

Oleh: Ibrahim MS (Dosen STAIN Pontianak, Direktur Malay Corner)

Abstrak

Islam sesungguhnya membawa nilai-nilai yang luhur dalam menata hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah), satu hubungan yang mengisyaratkan bahwa hanya Allah lah satu-satunya penolong yang patut disembah. Dengan keluhuran nilai inilah Islam mengajarkan tata cara manusia menyembah Tuhannya. Sementara tradisi yang merupakan ritual adat dan kebiasaan suatu masyarakat dalam melakukan sesuatu, juga merupakan satu upaya membangun hubungan dengan sesuatu yang lain di luar diri manusia. Hubungan yang dibangun dalam tradisi cenderung menjadikan kekuatan ghaib sebagai penolong dalam kehidupan manusia. Dengan kondisi demikian, jelas bahwa Islam dan tradisi hadir dalam perilaku masyarakat dengan membawa nilai-nilai tertentu dan jelas berbeda.
Pada masyarakat Melayu Nanga Jajang, Islam sebagai agama dan ritual keagamaan tidak dapat dipisahkan dengan penyelenggaraan ritual tradisi. Bahkan hampir tidak terlihat batasan yang jelas dan tegas antara tradisi dan ritual keagamaan dalam prakteknya, sebagaimana yang berlaku dalam acara gunting rambut, sunatan, barobat kampung dan sebagainya. Dimana dalam satu tradisi sosial, amalan-amalan agama juga dijalankan secara bersamaan seperti membaca al-qur`an dan selawat kepada nabi. Sebaliknya, amalan-amalan keagamaan juga dilakukan dengan memasukan beberapa tradisi tempatan seperti sunnah potong rambut bagi bayi, khitanan dan lain-lain yang dilakukan dengan seperangkat bahan yang dipercayai dalam tradisi sosial. Sebagai suatu amalan dengan membawa nilai-nilai yang berbeda, kenyataannya telah berlaku akomodasi nilai dalam prakteknya pada masyarakat. Inilah yang menjadi kekhasan kajian Islam dan Tradisi di Nanga Jajang dalam tulisan ini.

Kata Kunci: Islam, tradisi, akomodasi nilai.















Pengenalan.

Tulisan ini merupakan suatu kajian pendahuluan terhadap Islam dan Tradisi di Nanga Jajang. Sebagai kajian pendahuluan, tentu saja tulisan ini belum mampu menghadirkan data dan analisis yang konprehensif dan memadai sebagaimana kajian yang mendalam. Namun demikian, penulis berharap kajian sederhana ini dapat memancing semangat untuk melakukan kajian sesungguhnya yang lebih mendalam dan komprehensif, terutama bagi penulis sendiri. Dengan segala keterbatasan data dan kedalaman kajian, makalah ini hanya akan mendiskusi mengenai Islam dan Tradisi di Nanga Jajang dalam konteks ma`asyiral farhdu jum`at, prosesi tepung tawar dan bacaan doa dalam berobat kampung.

Nanga Jajang dalam Konteks Kajian ini
Nanga Jajang, adalah nama sebuah perkampungan kecil setingkat dusun, yang terletak di pedalaman Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Kampung ini berada persis di pesisir Jalan Lintas Selatan menuju Kota Putussibau. Jarak kampung Nanga Jajang dengan Kota Pontianak sekitar 650 KM. Sementara dengan kota Putussibau sekitar 30 KM. Dengan kemudahan transportasi saat ini, tidak lah terlalu sukar untuk berkunjung ke kampung ini, sebab ia berada di lintasan jalan utama yang menghubungi Pontianak dengan Putussibau.
Pemberian nama kampung ini dengan Nanga Jajang tentu saja tidak dapat dilepaskan daripada tradisi dan kebiasaan masyarakat Kapuas Hulu khususnya dan Kalimantan Barat umumnya yang senang menisbahkannya dengan nama sungai atau muara sungai (Ibrahim, Yusriadi & Zaenudin, 2009). Nanga dalam bahasa Melayu setempat bermakna muara atau tempat bermuara sebuah sungai. Jadi Nanga Jajang itu bermakna muara atau tempat bermuaranya sungai Jajang.
Apabila mengamati secara geografis perkampungan ini, jelas bahwa semula kampung Nanga Jajang memang berada di sekitar muara sungai Jajang. Kemudiaan apabila pembangunan Jalan Raya Lintas Selatan bermula tahun 1987 (Ibrahim, Yusriadi & Zaenudin, 2009), pemukiman warga sedikit bergeser dari pesisir sungai dan muara ke tepi jalan raya tersebut. Jika dahulunya perkampungan Nanga Jajang mengikuti bentuk aliran sungai Jajang dan sungai Pengkadan tempat bermuaranya sungai tersebut, maka saat ini pemukiman warga sudah mengikuti jalur Jalan Raya Lintas Selatan. Perubahan pemukiman seperti ini memang lazim berlaku di Kapuas Hulu, terutama pada setiap perkampungan yang dilintasi oleh jalan raya. Bahkan perkampungan lama betul-betul ditinggalkan, kerana masyarakat membangun pemukiman baru di pesisir jalan raya (perkampungan baru).
Nanga Jajang merupakan salah satu kampung Melayu tertua di pedalaman Kapuas Hulu. Karena itu Islam pun tumbuh dan berkembang dengan cukup kuat di perkampungan ini. Sebab itu, umumnya masyarakat yang berdiam di kampung Nanga Jajang adalah Muslim. Mengacu kepada dua aliran besar keagamaan Islam di Indonesia, maka Islam di Nanga Jajang merupakan penganut Islam Ahlussunnah waljama`ah (sunni), atau Nahdlatul Ulama, satu paham keagamaan yang masih sangat kental dengan tradisi. Bahkan paham kegamaan ini juga sering disebut sebagai Islam tradisional (Barthon, 1999). Pada masa itu, boleh dikata bahwa masyarakat Nanga Jajang keseluruhannya adalah Melayu dan Muslim.
Pada tahun 1990 –an program pemerintahan orde baru berupa transmigrasi mulai masuk ke sekitar wilayah tersebut. Sejak itu Nanga Jajang juga mendapat imbasnya dengan datangnya beberapa warga dari suku Jawa dan Sunda, yang kemudiaan bermukim dan menjadi warga kampung Nanga Jajang melalui perkawinan salah satunya. Sejak itu Nanga Jajang menjadi semakin terbuka dengan keragaman masyarakat.
Di tengah realitas sosial dan keagamaan seperti inilah, Nanga Jajang berkembang dalam sejarah sosialnya, baik pada aspek keagamaan, pendidikan, hingga pengaruh sosial dan budaya yang salah satu disebabkan perkembangan pembangunan jalan dan kemudahan global lainnya.

Islam di Nanga Jajang
Sebagaimana telah disinggung seimbas lalu di atas, bahwa Islam dianut oleh masyarakat Mulsim di Nanga Jajang adalah berfahamkan Ahlussunnah Waljama`ah atau Islam Sunni. Paham Islam Sunni itu mengacu pada suatu kepercayaan agama yang menjadikan Sunnah atau kebiasaan-kebiasaan hidup Nabi Saw sebagai dasar hukum dan pedoman hidup beragama, selain ketentuan langsung dari Al-qur`an. Dalam organisasi sosial keagamaan di Indoensia, Islam Sunni ini merupakan semangat keagamaan yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagai penganut Islam Sunni, maka paham Islam Ahlussunnah menjadi ciri keberagamaan masyarakat Muslim di Nanga Jajang. Inilah setidaknya yang mewarnai dalam perilaku keberagamaan masyarakat, termasuk dalam pola berpikir, berperilaku dan beribadah. Dalam berpikir dan berperilaku misalnya, masyarakat Muslim di Nanga Jajang mempercayai bahwa Sunnah (kebiasaan-kebiasaan yang baik yang pernah dilakukan oleh Nabi) menjadi dasar hukum yang kuat dan harus diikuti dalam beragama. Begitupun dalam hal beribadah, cara-cara yang biasa dicontohkan oleh Nabi (sunnah) merupakan pedoman utama dalam menjalankan perintah agama. Karena itu dapat dilihat dari cara masyarakat melakukan ritual perintah agama seperti shalat jum`at yang masih menggunakan ma`asyiral, tahlilan dalam ritual ruwahan, potong rambut yang diiringi dengan syarakalan dan berzanji dan sebagainya.
Beberapa bentuk amalan keagamaan seperti ini menjadi ciri dekatnya hubungan antara agama (perintah syara`) dengan tradisi dalam keberagamaan masyarakat di Nanga Jajang. Bahkan secara umum, karakteristik keagamaan yang demikian menjadi identitas beragama Muslim Sunni (Ahlussunnah), yang di Indonesia selalu dilihat berhadapan dengan ritual beragama Islam modern (Muhammadiyah).
Dengan warna Islam Sunni inilah masyarakat Nanga Jajang menjalankan kewajiban agamanya. Karena itu dengan mudah kita mendapati beberapa rutial keagamaan yang khas ala sunni yang dilakukan oleh masyarakat Nanga Jajang seperti Khutbah Jum`at yang masih menggunakan ma`asyiral, adanya ritual doa tahlilan yang mengiringi kematian, adanya amalan bacaan al-barzanji dan syarakalan yang mengiringi potong rambut anak bayi. Tradisi amaliah seperti ini tentu tidak akan ditemukan pada masyarakat muslim yang berfahamkan Islam modern (Muhammadiyah), meskipun agaknya dalam banyak hal melihat perbedaan faham Islam tradisional dengan Islam modern dari sisi amaliah tersebut tidak begitu tepat lagi digunakan untuk melabelkan suatu masyarakat sebagai muslim sunni atau muhammadiyah. Tetapi paling tidak untuk kasus di Nanga Jajang, ciri keberislaman yang sedemikian (tradisional) masih signifikan untuk memberikan identitas keberagamaan mereka sebagai muslim Sunni (Ahlussunnah). Sebab, cara keber-Islaman yang seperti inilah yang memungkinkan bagi eksisnya tradisi sosial masyarakat dalam perilaku hidup dan beragama di Nanga Jajang.

Tradisi dalam Masyarakat Nanga Jajang
Jika pada bagian di atas kita sudah mendiskusikan mengenai agama dan ritual keagamaan, maka pada bagian ini kita akan mendiskusikan mengenai tradisi sosial pada masyarakat Nanga Jajang. Untuk itu, tentunya kita harus mampu memilah antara ritual kegamaan dengan tradisi, sebab agama berbeda dengan tradisi. Sebaliknya tradisi bukanlah agama itu sendiri.
Sebagai sesuatu yang terpisah dan sememangnya berbeda, tapi pada kenyataannya tidak mudah bagi kita untuk melihat batasan antara ritual tradisi dan ritual agama yang telah dilakukan bertahun-tahun dalam sejarah hidup masyarakat. Namun demikian, kita tidak lantas begitu saja menyama-ratakan antara keduanya. Kita mesti selalu berupaya secara sungguh-sungguh dan sadar untuk melihat mana yang merupakan perintah agama dan mana yang merupakan ritual tradisi dari amalan yang biasa dilakukan dalam masyarakat. Sebab, hanya dengan inilah kita dapat menjamin terpeliharanya nilai-nilai agama dari campur aduk nilai-nilai lainnya.
Membincangkan mengenai tradisi sosial dalam masyarakat Nanga Jajang berarti mendiskusikan mengenai beberapa amaliah sosial yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Dalam konteks kajian ini, tradisi yang dimaksukan adalah ritual-ritual masyarakat yang menyertai pelaksanaan perintah agama seperti khutbah Jum`at, potong rambut, berobat kampung, membangun rumah, berladang, termasuk pantang larang dan sebagainya.
Ibadah jum`at misalnya, Shalat 2 raka`at dan membaca Khutbah sesungguhnya merupakan perintah Allah yang sangat jelas dalam Al-qur`an dan Hadits. Akan tetapi bagaimana cara yang dilakukan oleh masyarakat agama dalam mengiringi perintah tersebut itulah yang saya sebut sebagai tradisi. Satu diantaranya adalah ma`asyiral . Berdasarkan beberapa sumber, termasuk hadits Nabi, ma`asyiral itu semula adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh Nabi saw, berupa pidato pengantar kepada para jama`ah untuk dapat melaksanakan kewajiban jum`at dengan benar dan khusuk. Tidak cukup di situ, khatib pun ketika akan naik ke mimbar juga diberikan sebuah tongkat besi dan satu jubah/kain sal sebagai penanda pemberian amanah untuk berkhutbah. Tradisi tersebut (terutama tongkat) mungkin juga dilakukan oleh Nabi saw dahulunya, dengan makna tertentu. Akan tetapi dengan kondisi sekarang, agaknya praktek-praktek tersebut betul-betul hanya sebatas tradisi yang tidak lagi diketahui maknanya secara jelas. Meskipun pada kenyataannya, tradisi tersebut tetap saja dipelihara oleh masyarakat.
Potong rambut juga merupakan perintah yang tegas oleh Rasulullah Saw melalui hadistnya. Akan tetapi kemestian membaca al-barzanji dan syarakalan untuk menyertai amalan tersebut tentu saja datang belakangan (setelah rasul tiada). Lantas, apakah tradisi tersebut salah dan dilarang agama? Paham Islam Sunni justru memberikan ruang terhadap berkembangnya tradisi ini, sebab ia merupakan pelestraian dari tradisi Nabi Saw. Karena itu lantunan puji-pujian dan selawat kepada Nabi menjadi ciri pokok ritual tradisi yang satu ini.
Begitupun dengan berobat kampung. Islam hanya memerintahkan kepada ummatnya untuk tidak mudah berputus asa terhadap rahmat dan pertolongan Allah, termasuk dalam hal penyakit. Bahkan Al-qur`an memberikan jamiman bahwa penyakit itu adalah bagian ciptaan Allah, dan Allah jugalah yang telah menciptakan obatnya. Karena itu manusia disuruh meminta (berdoa) kepada-Nya. Namun, bagaimana praktek meminta/berdoa tersebut? Disinilah lahirnya kreasi masyarakat yang akhirnya mentradisi dalam berobat kampung.
Di Nanga Jajang, berobat kampung masih menjadi satu pilihan penting dalam masyarakat. Dengan berobat kampung mereka percaya bahwa kesembuhan akan didapatkan, karena itulah tumbuhnya tradisi ini dalam sejarah hidup mereka. Dalam tradisi ini, paling tidak ada dua model yang berlaku di masyarakat; pertama, berobat kampung berupa perantara lantunan doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah untuk kesembuhan si sakit. Pada model ini, biasanya perlengkapan ritualnya sangat sederhana seperti air putih atau sekedar di usap saja pada dahi, perut atau bagian yang sakit. Kedua, berobat kampung berupa perantaraan jampi-jampi atau tawar tertentu yang dipercayai dapat memberikan kesembuhan. Pada bentuk ini ada banyak perlengkapan ritualnya, dari ramuan-ramuan alam hingga benda-benda yang sukar difahami relevansinya secara akal biasa. Tradisi ini juga wujud di Nanga Jajang, meskipun sudah agak berkurang seiring dengan mulai bergesernya keyakinan masyarakat dengan kekuatan supranatural kepada kekuatan medis (dokter dan mantri) .
Tradisi lainnya yang hidup dalam masyarakat muslim di Nanga Jajang juga dapat ditemukan pada saat mereka membangun rumah, membuka ladang bahkan dalam banyak pantang larang masyarakat. Lantas pertanyaannya adalah, adakah tradisi yang mereka praktek itu menyalahi ketentuan agama? Atau adakah nilai-nilai agama melekat dalam tradisi sosial masyarakat? Itulah yang akan dihuraikan lebih lanjut pada bagian berikut.


Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Masyarakat

Berbibaca mengenai nilai-nilai Islam mununtut kita untuk memahami terlebih dahulu dengan beberapa ketentuan dasar Islam sebagai agama, dalam hal ini adalah ketauhidan. Tauhid dalam Islam difahami sebagai peng-Esaan Tuhan dalam segala Zat dan sifat-Nya. Dengan Tauhid ini, Islam menuntut setiap umat menyadari dan mengakui bahwa Allah sebagai satu-satunya tempat asal dan kembalinya manusia. Karena itu kepada Allah sajalah segala sesuatu digantungkan (Iyya ka na`budu wa Iyya ka nasta`in). Allah tempat semua makhluk akan kembali (Inna lillahi wa inna Ilaihi raji`un), Sang Penguasa hari pembalasan (Al Malikul Mulk, Maliki yaumiddin), sebab Allah lah yang memiliki semuanya. Tauhid ini merupakan dasar dari ajaran Islam, karena itu seseorang diakui sebagai beragama Islam apabila sudah mengikrarkan ketuhidannya (dua kalimah syahadah).
Sementara itu, Melayu di Nanga Jajang memiliki sejarah keagamaan seperti umumnya umat Islam di pedalaman Kalimantan, yang oleh King (1993) disebut sebagai orang non Melayu yang kemudian menjadi Melayu karena memeluk Islam. Meskipun tidak diketahui secara jelas kapan proses ini terjadi di Nanga Jajang, namun dapat dipastikan bahwa proses ini memang berlaku pada masyarakat Melayu Nanga Jajang, sebab adanya sejarah penyebaran Islam hingga ke pedalaman Kalimantan Barat. Kita juga tidak bisa memastikan nama kelompok masyarakat Nanga Jajang ini sebelum menjadi Melayu karena memeluk Islam.
Sebagai masyarakat lokal (sebelum masuknya Islam), tentu saja banyak kebiasaan hidup yang diamalkan oleh masyarakat saat itu, dan sebagiannya mungkin masih dipelihara secara turun temurun hingga generasi Melayu saat ini. Masih wujudnya beberapa tradisi lokal pada masyarakat Melayu kemungkinan disebabkan oleh beberapa paktor, antara lain; pertama, Islam yang masuk kemudian membawa nilai-nilai yang akomodatif antara ajaran ke-Islaman dengan tradisi lokal, dengan falsafat ”menerima kebaikan dari sesuatu yang baru, dan memelihara yang baik dari sesuatu yang lama”. Dengan pandangan demikian, maka Islam datang tidak dengan serta merta menghapus semua tradisi (yang baik) dalam masyarakat. Islam datang justru memanfaatkan tradisi (yang baik) itu untuk mempermudah dalam proses dakwah sebagaimana banyak dilakukan oleh Wali Songo yang menggunakan tradisi wayang sebagai metode berdakwah (Azra, 2002).
Kedua, Islam diterima oleh masyarakat Indonesia lebih merupakan satu bentuk Adhesi menurut istilah Nock dimaknai sebagai proses penerimaan Islam sebagai agama dengan tampa meninggalkan kepercayaan dan praktik kebudayaan yang lama (Azra, 2002).
Ketiga, berikutnya Islam datang dengan perlahan-lahan mempengaruhi cara hidup masyarakat menjadi lebih baik (lebih Islami), sebagaimana makna profetik Islam yang menuntut kepatuhan dan komitmen sebagai satu-satunya jalan keselamatan (Azra, 2002). Meskipun kenyataannya, Islam datang tidak dengan begitu saja memberikan larangan dan perintah tertentu, melainkan berdasarkan pemahaman dan kesadaran yang semakin baik (bertahap). Contohnya adalah tradisi magic yang sangat kental dalam masyarakat Melayu Kapuas Hulu (Hermansyah, 2010).
Berikut ini beberapa contoh bacaan dalam ilmu magic yang menampakkan adanya proses Islamisasi atau akomodatif antara nilai-nilai tradisi lokal (sebelumnya) dengan nilai-nilai ajaran Islam (yang datang belakangan).


Contoh: Tawar ular

Urat pusat mamang kunin
Raja mungkar dalam tanah
Menyengkung seperti akar
Berdiri seperti kayu
Mati yang kunin
Idup yang putih
Tabar bisa nait tawar
Berkat doa la ila ha illlallah
Berkat muhammad rasulullah

Sumber: Hermansyah, 2010 : 151.

Tawar Mpisa`

Tikar tujuh bolah
Kasah tujuh lobuh
Popa` antu mpisa`
Mpisa` balang tumuh
Berkat doa la ila ha illallah
Berkat muhammad rasulullah.

Sumber: Hermansyah, 2010: 153.


Tawar asal Tekonak

Bis millahirrahmanirrahim
Cuka apa cuka itu
Cuka ada dalam pasu
Luka apa luka itu
Luka pantap utan semolih antu
Berkat doa la ila ha illallah
Berkat muhammad rasulullah

Sumber: Hermansyah, 2010: 154.


Tawar Sumpit

Bismillah
Pinang tumuh di bukit
Aku menyanar antu menyumpit
Aku punya tawar bismillah pik tawar
Bisa tawr aku tabar mulut antu
Bismillah pik tawar

Sumber: Hermansyah, 2010: 146.


Beberapa contoh di atas menunjukkan adanya akomodatif nilai dari ajaran Islam dengan tradisi lokal masyarakat. Islam tidak dengan begitu saja menghapus magic pada tradisi masyarakat, melainkan memodifikasi dan mempengaruhinya dengan nilai-nilai Islam. Baik dari sekedar menambahkan satu atau dua kata dalam istilah keagamaan Islam seperti Allah & bismillah, maupun dengan bacaan penutup do`a yang lebih sempurna menyebutkan syahadat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Di bawah ini adalah contoh yang lain dari bacaan-bacaan yang masih diamalkan oleh orang Melayu di Nanga Jajang, yang sudah lebih banyak mengakomodir nilai-nilai Islami.

Do`a Pelias bejalan

Allah payung ku
Jibril kota ku
Malaikat empat puluh empat pagar ku
Aku berjalan dengan kuasa Allah
Aku melenggang dengan lenggang Muhammad
Bukan kata ku
Kata Allah
Berkat do`a la ilaha illallah
Berkat Muhammadurrasulullah

Sumber: Ust. Saleh Kamaruddin (Alm)

Selain dalam bentuk penyempurnaan beberapa perkataan dalam do`a dengan nama Allah atau berkat do`a La Ilaha Illallah, Muhammad rasul lullah, akomodasi nilai dalam tradisi masyarakat Melayu Nanga Jajang juga terlihat dalam bentuk pantun syair. Berikut ini adalah sekedar contoh bacaan ketika memberkan do`a topung tawar.

Do`a Topung tawar

topung tawar si topung jati,
topung asal mula menjadi,
amay-amay pucuk mali-mali
limau purut si limau lelang
tegak dengan limau melaka
air surut penyakit ilang
tegak dengan sial celaka
(dibaca ketika menyiram air topung tawar)

Kuu.. semongat rezeki murah
apa dicinta lalu ada
apa diniat lalu didapat
manis muka senang hati
(dibacakan ketika menaburkan beras kuning)

kuu... semongat
korin bosi korin semongat
panyang aik panyang penyawak
tinggi tayak tinggi tuah
baka tanah na tau susur
baka batu na tau pupur
(dibacakan ketika orang yang dido`akan mengecap besi)

Sumber: Uju Unui, Nov. 2009

Disamping dalam bentuk di atas, ternyata masih ditemukan beberapa bentuk tradisi pengobatan (dari sisi lapadz bacaan) yang tidak jelas muatan nilai-nilai ke-Islaman. Dengan kata lain, kemungkinan bentuk tersebut lebih mendekati bentuk sesungguhnya pada tradisi lama dalam sejarah sosial orang Melayu. Berikut adalah contoh tradisi pembacaan do`a yang tidak jelas kaitanya dengan nilai-nilai Islam.


Tawar Perdora`

Mpurung sibang sibu
Ngelayang batang kepuas
Puki inai ikau bebulu
Butuh apang ikau pulas

Sumber: Hermansyah, 2010: 153


Dari contoh-contoh di atas, tampak adanya akomodasi nilai-nilai keislaman dalam tradisi pengobatan di kampung Nanga Jajang, baik dari bentuk yang masih sangat magic hingga yang bernuansa Islami, atau adanya unsur-unusr Islami dalam lapadz do`a yang dibacakan. Kondisi tersebut dapat memberikan pemahaman kepada sebagian orang bahwa Islam dan tradisi sama saja. Sementara pada sebagian yang lain tetap mampu melihat batasan-batasan antara nilai-nilai Islami dan tradisi lokal dalam beberapa bentuk lapadz doa dan pengobatan kampung pada masyarakat Melayu Nanga Jajang.


Penutup

Kajian di atas menunjukkan bahwa masih wujudnya amalan tradisi budaya dalam masyarakat muslim di Nanga Jajang. Bahkan pada sebagiannya, amalan tradisi yang menyertai amalan keagamaan (Ibadah) seakan-akan menjadi suatu yang mesti ada dalam beribadah, ma`asyiral fardhu jum`at adalah salah satu contohnya.
Pada sebagian yang lain, tradisi yang diamalkan oleh masyarakat muslim di Nanga Jajang ternyata sudah dipengaruhi (ada muatan) nilai-nilai Islam, dalam bentuk penambahan kata-kata bismillah, Allah dan berkat do`a La Ila ha Illallah, Muhammadur rasulullah.
Kajian di atas juga membuktikan bahwa Islam masuk dan diterima oleh masyarakat Nanga Jajang dengan sangat akomodatif, memelihara tradisi yang baik sembari terus menambahkan muatan nilai-nilai Islam dalam segenap praktek tradisi yang diamalkan oleh masyarakat Nanga Jajang.
Akhirnya, semoga kajian sederhana ini bermanfaat buat pembaca sekalian, amin.






















Daftar Bacaan

Azyumardi Azra. 2002. Islam Nusantara: Jaringan Global & Lokal. Bandung: Penerbit Mizan.

Barthon, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Paramadina

Hermansyah. 2010. Ilmu Ghaib di Kalimantan Barat, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

King, Victor T. 1993. The People of Borneo, Oxford, Blackwell Publishers

Ibrahim MS. 2010. Tradisi dan Komunikasi di Nanga Jajang. Dalam Ibrahim MS (ed.) Tradisi dan Komunikasi orang Melayu. Pontianak: STAIN Press
.
Ibrahim, Yusriadi & Zaenudin. 2009. Kearifan Komunikasi Pantang Larang pada Masyarakat Melayu Nanga Jajang. Laporan Penelitian Kompetitif. DIPA STAIN Pontianak.

Sabtu, 07 Agustus 2010

TRADISI & KOMUNIKASI

Studi atas Prosesi Topung Tawar pada Masyarakat Melayu di Nanga Jajang

Ibrahim MS
Makalah yang disampaikan pada Seminar Melayu Nusantara II, Malay Corner STAIN Pontianak, dan sudah diterbitkan dalam Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu, Editor Ibrahim MS, STAIN Press 2010




Pendahuluan
Bangsa kita, Indonesia adalah sebuah bangsa yang dikenal dengan berbagai kekayaan khazanah budaya hidup dan sosial masyarakatnya. Hal itu bersinergi dengan kekayaan bangsa ini akan pluralitas etnik, budaya dan agama, dimana setiap etnik, budaya dan agama yang berbeda akan memberikan arahan, tuntunan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan sosial masyarakatnya. Realitas itu tidak terkecuali juga wujud di bumi Kalimantan Barat ini, dimana dari sisi agama misalnya, di Kalbar terdapat masyarakat yang bergama Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Budha, Konghu Chu, dan bahkan aliran kepercayaan (BPS, 2008). Dari sisi etnik, di Kalbar terdapat etnik Melayu, Dayak, Madura, China, Jawa, Bugis, Minang, dan sebagainya (BPS, 2008).
Sebagai salah satu komunitas terbesar di Kalimantan (Nieuwenhuis, 1894; Enthoven, 1903; King, 1993), masyarakat Melayu memiliki sejarah panjang dalam kehidupan sosial etnik di Kalimantan Barat. Sejarah panjang kehidupan masyarakat Melayu dari pesisir hingga ke pelosok daerah Ulu Kapuas, telah turut memberikan warna tersendiri dalam membangun tatanan sosial dan keselarasan alam hayati. Dengan kata lain, masyarakat Melayu telah turut memelihara dan menjaga kelestarian alam dan kehidupan sosial di Kalimantan Barat umumnya dan Kapuas Hulu khususnya, tak terkecuali dalam konteks ini adalah masyarakat Melayu di Nanga Jajang Kapuas Hulu.

Deskripsi Kawasan Kajian
Nanga Jajang sebagai sebuah kawasan kajian dalam tulisan ini adalah nama sebuah kampung kecil setingkat dusun. Penamaan kampung ini dengan Nanga Jajang sebenarnya dinisbahkan kepada nama salah satu sungai besar yang melintasi dan bermuara di sekitar perkampungan ini, yakni Sungai Jajang.
Kebiasaan memberi nama daerah dengan nama sungai atau nama muara seperti itu, sudah sejak lama dipraktekkan oleh masyarakat di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat. Di daerah Kabupaten Pontianak misalnya, ada banyak tempat yang menggunakan kata sungai sebagai nama daerahnya seperti Sungai Nipah, Sungai Purun, Sungai Kunyit, dan Sungai Raya. Kecenderungan penamaan tempat dengan metode ini banyak terdapat di daerah hilir Sungai Kapuas. Di daerah hulu, penamaan tempat dan daerah banyak menggunakan kata nanga yang berarti muara . Nanga Jajang adalah salah satu dari sekian banyak pemukiman yang menggunakan cara tersebut. Ini berarti bahwa Dusun Nanga Jajang terletak di muara Sungai Jajang yang merupakan anak Sungai Pengkadan. Secara administrasi, Dusun Nanga Jajang merupakan bagian dari Desa Riam Panjang yang terletak di wilayah Kecamatan Pengkadan (dulu Batu Datu), Kabupaten Kapuas Hulu.
Secara geografis, Nanga Jajang berbatasan dengan Desa Riam Panjang di sebelah selatan, dengan Buak Limbang di sebelah utara, dengan Nanga Semelangit di sebelah barat, dengan Riam Mengelai di sebelah timur. Dusun ini juga berada diantara dua sungai, yaitu Sungai Pengkadan dan Sungai Jajang yang berujung di kaki Bukit Jajang, dan dikelilingi oleh kebun penduduk dengan berbagai jenis kebun termasuk Karet dan kebun atau ladang tradisional berisi pohon-pohon buah, dan lainnya seperti Tengkawang yang merupakan pohon khas daerah hutan pedalaman di hulu Sungai Kapuas. Dengan potensi kekayaan alam inilah penduduk Nanga Jajang yang berjumlah sekitar 360 jiwa ini membangun dan mengambangkan pemukiman Nanga Jajang menjadi daerah yang cukup maju dengan taraf ekonomi pendukuk yang lumayan baik. Sebagai Dusun kecil, Nanga Jajang didiami oleh mayoritas etnik Melayu. Berikut keadaan penduduk di Dusun Nanga Jajang ditampilkan dalam bentuk tebel.

Tabel
Jumlah penduduk Dusun Nanga Jajang berdasarkan suku

Melayu Dayak Jawa Batak Jumlah
345 orang 3 orang 9 orang 3 orang 360 jiwa

Sumber: Dokumen Administrasi Dusun Nanga Jajang tahun 2009
Kondisi pemukiman Dusun Nanga Jajang telah didukung oleh banyak fasilitas umum yang memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan produktifitas kerja dan aktifitas lainnya. Diantara fasilitas umum tersebut adalah listrik negara (PLN) yang sudah masuk sekitar tahun 1992/1993. Air bersih yang berasal dari sumber mata air dari gunung yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) telah dinikmati warga sejak tahun 1995. Jalan Raya Lintas-Putussibau hadir sebagai lambang perubahan dusun pada tahun 1987. Jalan kampung dan jembatan yang merupakan infrastruktur penting telah pula dibagun dan menjadi aset penting bagi warga. Sarana ibadah berupa Masjid Syuhada yang dapat menampung sekitar 200an lebih jamaah warga Nanga Jajang sudah berdiri sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Sarana pendidikan berupa satu buah Madrasah Ibtidaiyah Syuhada dengan sekitar 50 murid dan 8 orang guru guru juga masih aktif dan beroperasi dengan baik sampai saat ini.
Kondisi sarana informasi yang sudah maju dengan indikasi masuknya jaringan handphone sejak tahun 2005 dan TV parabola mulai tahun 1992 adalah salah satu tanda ke-modern-an Dusun Nanga Jajang. Tidak hanya itu, sarana olah raga yang cukup memadai dengan satu lapangan bola, satu lapangan voley ball, dan satu lapangan bulu tangkis menambah aset dusun yang didukung oleh toko-toko yang menyediakan barang kebutuhan masyarakat dari kebutuhan sehari-hari sampai kebutuhan sekunder seperti toko handphone dan meuble serta toko yang menjual sarana olah raga. Semuanya menjadi pelengkap kemudahan kehidupan masyarakat modern yang pada kenyataannya terletak jauh di pelosok pedalaman yang berjarak sekitar 680 km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat.

Latar Belakang Kajian
Pada dasarnya, setiap orang dan kelompok sosial mempunyai karakteristik tersendiri yang unik dan khas dalam hidup dan kehidupannya. Karakteristik itulah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya, atau sekelompok orang dengan kelompok yang lainnya. Kekhasan itu dapat meliputi gaya hidup, bahasa, tradisi sosial dan sebagainya. Dengan kata lain, perbedaan dalam hal gaya hidup, bahasa, tradisi sosial dan lain-lain adalah sesuatu yang lumrah dan sunnatullah (Ibrahim MS, 2005). Karena itu, perbedaan tersebut mesti selalu dipahami sebagai bentukan sosial yang tak terelakkan, dan pastinya juga merupakan suatu bentuk komunikasi dalam masyarakat pemiliknya.
Sebagai suatu bentuk komunikasi, karakteristik-karakteristik sosial dan budaya tersebut tentunya mempunyai makna yang senantiasa dipertukarkan dalam masyarakat. Meskipun dalam banyak hal, tampak simbol-simbol budaya dan tradisi sosial yang hidup dalam suatu masyarakat hanya sekedar ritual belaka. Hal ini pulalah yang berlaku pada realitas sosial dan komunikasi masyarakat Melayu Nanga Jajang dalam bentuk tradisi topung tawar.
Sebagai seorang generasi muda yang awam akan makna tradisi sosial dalam masyarakat, selalunya muncul pertanyaan dalam hati ketika melihat prosesi topung tawar ini dilakukan. Mengapa tradisi ini ada? Untuk apa tradisi ini dilakukan? Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam tradisi ini? Mengapa harus dilakukan tradisi dan prosesi seperti ini? Itulah diantara pertanyaan yang selalu muncul dalam benak penulis.
Sebagai seorang pengkaji ilmu komunikasi, keyakinan bahwa adanya pesan-pesan tertentu yang selalu dikomunikasikan melalui tradisi topung tawar itu menjadikan ketertarikan dan rasa penasaran yang semakin besar. Karena itulah penelitian dan kajian lebih intens dilakukan, yang meskipun belum secara mendalam dan sungguh-sungguh, artikel ini adalah salah satu hasil kajianya.
Batasan Kajian
Sebagai suatu ritual adat dan budaya yang hidup dalam masyarakat, tradisi topung tawar mempunyai makna penting bagi kehidupan sosial mereka, sebab tradisi itu juga merupakan satu bentuk komunikasi sosial dan budaya yang hidup dan dipelihara dalam tradisi mereka.
Sebagai satu bentuk komunikasi, tentunya banyak perspektif yang dapat digunakan untuk melihat, mengkaji dan memahami tradisi ini, baik dari aspek sosial, budaya, hingga hukum dan agama. Kajian ini hanya akan melihat tradisi topung tawar sebagai satu bentuk komunikasi dalam tradisi adat dan budaya masyarakat Melayu Nanga Jajang. Dengan kata lain, perspektif kajian ini murni pada nilai-nilai komunikasi dari tradisi topung tawar itu (pure communication of values). Karena itu pula yang dicari dari kajian ini adalah seputar makna-makna atau pesan-pesan tertentu yang terkandung dalam setiap prosesi topung tawar itu.
Sebaliknya, kajian ini tidak akan melihat tradisi topung tawar itu dari perspektif hukum dan agama. Meskipun kenyataannya orang Melayu di Nanga Jajang sama dengan umumnya orang Melayu di Nusantara ini, yakni beragama Islam (muslim). Selain untuk memfokuskan kajian dari perspektif komunikasi, keengganan penulis mengkaji tradisi ini dari sisi hukum dan agama ada dikarenakan kemungkinan debateble nya kajian ini. Sebab, ada banyak pendapat dan rujukan yang saling berbeda dalam melihat tradisi topung tawar ini dari perspektif hukum dan agama (lihat Rusli Hasbi, 2009).

Tradisi Topung Tawar dalam Masyarakat
Sebagai suatu tradisi, topung tawar menjadi identitas masyarakat Melayu di nusantara, hal itu disebabkan hampir semua daerah yang memiliki budaya Melayu, pasti mengetahui tentang adat tepung tawar, hanya mungkin agak beda masing-masing daerah satu dengan daerah lainnya, baik menyangkut tata cara pelaksanaan maupun fungsinya (Tengku Ryo, 2008).
Salah satu fungsi dari upaca adat tepung tawar dalam masyarakat Melayu adalah bermakna pemberian restu dan do`a dari orang tua kepada calon pengantin atau yang dido`akan (Ariawijaya, 2008), atau untuk melepaskan gangguan tertentu dalam kekuatan manusia (Andi Amd, 2009), atau untuk buang sial (Iqbal Fadhil, 2006). Apapun yang dimaksudkan oleh masyarakat dengan tradisi ini, yang pasti adalah, adanya nilai-nilai komunikasi dalam setiap prosesi dan ritual adat topung tawar ini. Dengan tidak berkeinginan melibatkan diri dalam perdebatan tersebut, apalagi harus mengambil posisi dalam perdebatan yang ada, hanya pada nilai-nilai komunikasi lah kajian ini dilakukan atas tradisi topung tawar masyarakat Melayu di Nanga Jajang.

Seputar Defenisi Istilah
Secara sederhana, di banyak tempat, di mana terdapatnya masyarakat Melayu yang mengamalkan tradisi ini, selalu mereka sebutkan dengan nama tepung tawar. Apakah itu untuk selamatan dan syukuran, maupun untuk tolak bala dan buang sial (Andi Amd, 2009; Ariawijaya, 2008; Iqbal Fadhil, 2006). Pada masyarakat Melayu Aceh, tradisi topung tawar ini dikenal dengan sebutan peusijuek (Rusli Hasbi, 2009).
Pada masyarakat Melayu Nanga Jajang, tradisi tepung tawar ini disebut dengan vokal yang sedikit berbeda, mengikuti khas varian bahasa Melayu setempat, yakni topung tawar. Istilah topung tawar yang hidup dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang adalah bermakna sebagai berikut: Topung bermakna tepung. Topung dengan sebutan o (t-o-pung) merupakan ciri umum bahasa Melayu di Nanga Jajang dan sekitarnya (Ibrahim MS, 2009), yang berbeda sebutannya dengan Melayu di daerah lain seperti Melayu Pontianak dan Sambas yang menggunakan e (t-e-pung). Perbedaan sebutan huruf vokal tersebut merupakan varian mendasar bagi orang Melayu di Ulu Kapuas, bahkan menjadi identitas kawasan dan asal daerah (Yusriadi, 2008; Ibrahim 2009). Jika mengacu pada varian yang dipetakan oleh Yusriadi (2008) ataupun Ibrahim (2009a), jelas bahwa masyarakat Melayu Nanga Jajang menggunakan varian bahasa yang sama atau mirip dengan varian Embau Hilir (o=t-o-pung), bukannya t--pung (varian Selimbau), atau t--pung (varian Suhaid dan Putussibau) dan bukan pula t-e-pung (varian umum). Sebagai satu ciri umum dari bahasa orang Melayu di Nanga Jajang, berikut ini dapat dibandingkan beberapa perkataan yang khas dalam varian bahasa Melayu Nanga Jajang: kemana-kemona, siapa-sopa, harga-roga, ronyung, sodung dan sebagainya. Untuk analisis varian bahasa Melayu di Ulu Kapuas sila lihat Yusriadi, 2008; Ibrahim MS, 2009b.
Sementara topung itu sendiri bermakna tepung yang terbuat dari beras dengan cara ditumbuk sampai halus menjadi tepung. Tawar sendiri paling tidak mempunyai dua makna; pertama bermakna tabar dan tiada rasa apa-apa (tidak manis, asin, asam, pahit dan sebagainya). Itulah makna asal dari topung tawar itu. Kedua, bermakna sebagai obat atau penangkal dari suatu penyakit, bencana dan racun. Itulah yang selanjutnya lahir dalam bentuk istilah tawar racun, tawar kolera, tawar bisa dan lain-lain.
Dengan demikian, topung tawar itu adalah tepung yang terbuat dari beras yang sudah ditumbuk, yang tidak mempunyai rasa apa-apa, dan diperuntukkan menawar, mengobati, menangkal dan mendo`akan seseorang supaya terhindar dari penyakit dan bala bencana. Dalam konteks kajian ini, kedua-dua makna istilah ini mungkin saja relevan dan digunakan bersamaan, sebagaimana hal itu akan terlihat dalam kajian ini lebih lanjut.
Tujuan dari tradisi
Berdasarkan tujuannya, jelas bahwa tradisi topung tawar ini dilakukan untuk tujuan mendo`akan seseorang agar selamat, bahagia dan terhindar dari segala penyakit, bala dan bencana dalam hidupnya. Hal ini tampak dari makna simbol-simbol (perlengkapan) ritual tradisi dan lapadz-lapadz do`a ketika prosesi ini dilakukan. Kedua bentuk makna tersebut akan dikaji pada bagian lain dalam tulisan ini.
Tujuan lainnya dari tradisi ini tentu saja adalah untuk memelihara warisan hidup dan budaya orang Melayu, karenanya tradisi ini diwarisi secara turun temurun dari generasi ke generasi. Hal ini merupakan ciri umum dari bangsa Melayu itu sendiri yang dikenal dengan ketinggian budayanya.

Perlengkapan-perlengkapan Tradisi Topung Tawar
Perlengkapan yang digunakan dalam tradisi ini sangat bergantung pada tujuannya, untuk apa tradisi ini dilakukan. Jika topung tawar ini dilakukan untuk mendo`akan kebahagiaan orang yang menikah, akan beda bahannya dengan topung tawar untuk orang selamatan tujuh bulanan, atau untuk potong rambut anak bayinya. Meskipun ada beberapa bahan (perlengkapan) dasarnya yang sama.
Beberapa perlengkapan dasar dalam tradisi topung tawar itu, meliputi: seikat daun sabang dan juaran, sedikit beras yang diaduk satu dengan kunyit yang sudah ditumbuk supaya membentuk beras kuning, sebilah pisau sikin atau sejenis besi, dan tepung dari beras itu sendiri yang sudah diaduk dengan sedikit air yang sudah ditawari atau dibacakan do`a. Itulah bahan dasar dari topung tawar yang ada dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang.
Jika topung tawar itu untuk nujuh bulanan, akan ada perlengkapan lain seperti hamparan beras yang disimpan di bawah tempat duduk orang yang dido`akan, dan seekor ayam (penyawak) untuk diambil tetesan darahnya secara langsung.
Jika topnung tawar untuk potong rambut, mesti ada seuntai daun sirih yang bertulang naik dan setara, biji buah kelapa muda yang dibuka dengan seni yang khas dan tentunya gunting untuk memotong rambut anak/bayi. Bahkan untuk tambahan, biasa disiapkan juga recehan uang logam untuk dihamburkan kepada anak-anak yang menyaksikan prosesi tersebut.
Itulah beberapa perlengkapan (bahan) yang ada dalam tradisi topung tawar orang Melayu di Nanga Jajang, dan masing-masing bahan tersebut sesungguhnya mempunyai makna dn maksud tertentu. Hal ini juga akan dikaji dalam bagian lain dari tulisan ini.

Prosesi Pelaksanaan Tradisi Topung Tawar
Sebagaimana telah didiskusikan di muka, bahwa prosesi pelaksanaan tradisi topung tawar dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang dilakukan dalam beberapa momentum, seperti momentum perkawinan, besunat (sunatan), gunting rambut, nujuh bulanan, nyongkak ayun (ayunan) bayi, pindah rumah dan sebagainya.
Berdasarkan apa yang penulis ketahui mengenai prosesi topung tawar ini, baik dari pengamatan yang penulis lakukan secara sengaja dalam bentuk penelitian, maupun keikutsertaan dalam adat kebiasaan sosial di tengah masyarakat, dapat diuraikan kepada beberapa langkah pelaksanaannya.
Pertama-tama, tentu saja menyiapkan bahan-bahan yang biasa digunakan dan mesti ada dalam upacara topung tawar. Bahan-bahan tersebut paling tidak terdiri dari tepung (topung) yang berasal dari beras yang sudah ditumbuk, kemudian diaduk dengan sedikit air yang sudah ditawari atau dido`akan. Selain itu juga ada beras putih dan kunyit yang juga sudah ditumbuk, untuk kemudian diaduk menjadi satu sehingga beras yang putih tadi berubah warnanya menjadi kuning, itulah yang disebut beras kuning. Ketika prosesi topung tawar, sebagian dari tepung dan beras ini nantinya akan ditaruhkan ke bagian tubuh orang yang dido`akan, sebagian lagi di lempar ke beberapa penjuru disekitar. Kesemua bahan ini diletakkan dalam satu wadah (biasanya piring/mangok).
Disampingnya juga disiapkan seikat daun-daunan yang terdiri dari daun Sabang, daun Juaran dan terkadang juga daun pandan wangi. Ikatan daun ini nantinya yang difungsikan untuk mengibaskan air ke wajah/badan orang yang dido`akan. Dalam tradisi Melayu Sambas, dedaunan ini akan digunakan untuk bepapas (Muin Karim, 2005)
Kemudian juga disediakan peralatan berupa sikin atau apapun benda-benda yang mempunyai sifat keras seperti besi. Benda ini nantinya akan dimintakan kepada orang yang dido`akan untuk digigit atau sekedar di sentuhkan ke gigi, dan atau bagian tertentu dari badan orang yang dido`akan.
Pada upacara gunting rambut, akan ada bahan lain seperti daun sirih (yang bertulang senaik-sama), ditempatkan pada buah kelapa muda yang sudah dipotong bagian kepalanya, dengan potongan yang khas dan menarik. Disitu juga disediakan gunting untuk memotong rambut sang bayi.
Itulah perlengkapan yang biasanya pasti ada dalam upacara topung tawar. Untuk menyiapkan bahan-bahan tersebut pun biasanya hanya orang-orang tertentu saja yang biasa diminta dan dianggap mengetahui sarat dan fungsinya. Meskipun dalam setiap momen topung tawar, ada kemungkinan bahan-bahannya berbeda, sesuai dengan tujuan untuk apa topung tawar itu dilakukan, seperti untuk perkawinan akan beda bahannya dengan untuk gunting rambut dan sebagainya.
Akan tetapi dari kesemuanya itu, hanya ada empat sampai lima bahan saja yang tidak bisa tidak, dan pasti ada dalam setiap acara topung tawar, yakni tepung yang sudah diadukkan dengan air yang sudah dido`akan, beras dan pati kunyit yang sudah disatukan menjadi beras kuning, seikat daun sabang dan juaran, serta besi sikin atau semacamnya.
Gambar: Topung Tawar Nujuh Bulanan

Sumber: Dokumentasi Pribadi, Ibrahim 2009

Gambar di atas menunjukkan bahwa bahan untuk acara topung tawar paling tidak adalah tepung yang dibuat dari beras yang sudah ditumbuk, kemudiaan air yang sduah dido`akan, beras dan pati kunyit yang sudah diaduk satu menjadi beras kuning, seikat daun sabang dan juaran yang digunakan untuk menyapu (bepapas) air topung tawar, serta sebilah sikin atau sejenisnya. Masing-masing bahan ini pada masyarakat Melayu Nanga Jajang mempunyai makna dan maksud tertentu dalam prosesi topung tawar.


Tradisi & Komunikasi dalam Topung Tawar
Paparan di atas menunjukan bahwa prosesi topung tawar yang hidup dalam tradisi adat dan budaya orang Melayu di Nanga Jajang bukan sekedar ritual belaka, melainkan juga mempunyai makna komunikasi yang khas dan jelas. Sebagai ritual tradisi yang memiliki makna komunikasi, pesan-pesan tersebut dapat dilihat dari bahan-bahan yang digunakan untuk topung tawar, termasuk lapadz-lapadz yang dibacakan pada saat prosesi dilakukan. Inilah yang penulis sebut dengan tradisi dan komunikasi dalam topung tawar.
Sekilas paparan dimuka telah menyebutkan bahwa bahan dasar topung tawar itu paling tidak ada 5 macam, yakni tepung yang berasal dari beras ditumbuk, beras biji, kunyit (saripatinya), dedaunan (biasanya daun sabang dan juaran) serta pisau sikin atau sejenis besi. Sebagai sebuah tradisi, bahan-bahan ini mesti ada dalam setiap topung tawar, untuk konteks apapun ia. Ketika topung tawar ini untuk mendo`akan orang yang menikah, maka tambahan bahannya akan beda lagi. Begitupun untuk topung tawar orang yang nujuh bulanan, gunting rambut bayi dan sebagainya, akan ada bahan tambahan yang masing-masing berbeda.

Gambar: Bahan topung tawar untuk Gunting Rambut








Sumber: Dokumentasi Pribadi, Ibrahim MS 2009
Sebagai satu tradisi dan komunikasi, bahan-bahan yang digunakan untuk topung tawar itu sesungguhnya mempunyai makna tersendiri yang khas, termasuk penamaan topung tawar itu sendiri. Dalam bahasa masyarakat Melayu setempat, topung itu bermakna tepung yang berasal dari beras yang sudah ditumbuk. Kemudian tawar itu bermakna tiada rasa apa-apa (tidak manis, tidak asam, tidak asin dan sebagainya) kecuali tawar. Bahasa lain yang banyak digunakan oleh masyarakat setempat dalam menyebutkan rasa tawar tersebut adalah tabar. Tabar itu sama dengan tawar atau tiada rasa. Jadi biasa juga sebagian masyarakatnya menyebut topung tabar.
Tawar dalam bahasa Melayu setempat sebenarnya juga mempunyai makna lain, yakni sebagai obat, do`a atau penangkal. Sebagai contoh mereka akan minta tolong seseorang mengobati suatu penyakit dengan ungkapan, `minta tolong tawar penyakit ini..`. `tolonglah ditawar anak ini`, `ini tawar sakit perut`, `ini tawar kolera`, `ini tawar racun’ dan sebagainya.
Dengan demikian, jelas bahwa topung tawar atau topung tabar sesungguhnya mengisayaratkan makna netralitas/azalinya semua yang hidup dan berasa. Dengan kata lain, netralitas sesuatu adalah sebagaimana rasa yang tawar/tabar itu. Karena itu, semua makhluk Tuhan yang diciptakan di muka bumi ini sesungguhnya bermula dari netralitas itu. Kemudiaan netralitas tersebut dibekali dengan potensi-potensi, baik positif maupun negative, sebagaimana halnya rasa menjadi tidak lagi netral jika sudah menjadi manis, asin dan sebagainya. Ketika potensi positif yang berpengaruh, maka kebaikan dan kebahagiaan lah yang akan didapatkan. Sebaliknya, ketika potensi negative yang berpengaruh, maka sesuatu itu akan menjadi petaka, bencana, penyakit dan berbagai ketidak-baikan dalam hidup manusia. Karena itu, potensi negatif itu harus diusir dan dibuang sehingga kembali kepada fitrah netralitas yang tawar/tabar itu. Begitulah makna komunikasi yang dipahami oleh masyarakat dalam tradisi topung tawar yang mereka lakukan.
Bahan beras juga bermakna sebagai sumber utama kehidupan manusia. Sebagai makanan pokok, beras dipercayai menjadi sumber utama membantu kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Karena itu untuk mendo`akan kehidupan seseorang menjadi lebih baik, terbebas dari kesengsaraan dan sebagainya harus dimulai dari sumber pokok kebutuhan hidup manusia (pangan), yakni beras itu sendiri.
Adapun bahan kunyit yang memberikan warna kuning pada beras mempunyai makna yang cukup sederhana sebagai lambang dan identitas kebesaran orang Melayu. Menurut masyarakat setempat, kuning adalah identitas kebesaran orang Melayu, dan pemahaman itu telah mereka warisi secara turun temurun. Hal ini penulis dapatkan langsung dari pengakuan seorang tokoh agama, ketika ditanya mengenai maksud dan makna dari bahan kunyit (kuning) ini. Karena itu, kunyit menjadi tanaman yang penting, yang hampir semua keluarga mempunyai/menanaminya. Selain itu, berdasarkan ilmu kesehatan (medis maupun tradisional), kunyit mempunyai zat yang luar biasa penting bagi tubuh dan kesehatan manusia. Karena itu tidak sedikit ramuan pengobatan (medis dan tradisional) yang bahannya berasal dari kunyit.
Bahan dedaunan (sabang dan juaran) ini bermakna sebagai simbol kehidupan atau yang hidup. Sebagai sesuatu yang senantiasa hidup dan berkembang, dedaunan ini juga dipercayai oleh masyarakat mempunyai kekuatan dalam mitosnya. Kedua daun tersebut dipercayai sebagai pedang yang paling ditakuti oleh makhluk halus dan semua pembawa penyakit. Karena itu dalam prosesi topung tawar, dedaunan inilah yang digunakan untuk mengibaskan/memercikkan air kepada orang yang dido`akan (bepapas).
Bahan pisau sikin atau sejenis besi dimakna sebagai simbol kekuatan, keteguhan kekebalan dan keras sebagaimana kerasnya besi. Menurut kepercayaan masyarakat, untuk hidup yang sehat dan bahagia diperlukan semangat yang kuat dan keras. Karena itu kekuatan dan semangat mesti dimiliki untuk memperoleh kehidupan yang baik dan bahagia, terjauh dari segala bala bencana dan penyakit. Karena itu penggunaan bahan ini dalam prosesi topung tawar diiringi dengan do`a-do`a dan lapadz panggilan terhadap semangat, ”kusemongat” dan semacamnya.
Dalam prosesi adat topung tawar, penggunaan bahan-bahan tersebut juga diiringi dengan lapadz-lapadz do`a yang khas, dan itu adalah pesan lain dari komunikasi dalam tradisi topung tawar. Berikut penulis paparkan beberapa lapadz do`a dan bacaan ketika prosesi topung tawar dilakukan berdasarkan urutan prosesinya.
Pertama kali adalah memercikkan/menyiram air yang sudah dido`akan ke bagian tertentu dari badan orang yang dido`akan, baik untuk mendo`akan keselamatan (topung tawar selamatan), maupun untuk menjauhkan dari bala bencana (topung tawar untuk buang-buang). Ketika seseorang melakukan prosesi ini, adalah lapadz berikut yang akan dibacakan :
topung tawar si topung jati,
topung asal mula menjadi,
amay-amay pucuk mali-mali
limau purut si limau lelang
tegak dengan limau melaka
air surut penyakit ilang
tegak dengan sial celaka
Berikutnya adalah menaburkan beras kuning (beras putih yang sudah digaulkan dengan saripati kunyit sehingga berwarna kuning) ke bagian tertentu dari tubuh orang yang dido`akan (biasanya di dahi, kepala, di dada atas, ujung tangan dan ujung kaki) sambil melapadzkan do`a sebagai berikut:
Kuu.. semongat rezeki murah
apa dicinta lalu ada
apa diniat lalu didapat
manis muka senang hati
Terakhir adalah meminta orang yang dido`akan untuk mengecap atau menggigit besi pisau atau sikin dengan cara meletakkannya pada mulut mereka sambil melapadzkan do`a sebagai berikut:
kuu... semongat
korin bosi korin semongat
panyang aik panyang penyawak
tinggi tayak tinggi tuah
baka tanah na tau susur
baka batu na tau pupur
Begitulah setiap prosesi dilakukan dengan khidmat dan teratur oleh beberapa sesepuh atau para penua kampung secara bergiliran. Lapadz-lapadz do`a tersebut diakui oleh seorang tokoh agama sebagai warisan dari orang-orang tua mereka. Dan pada sebagian yang lain, terutama generasi baru tidak lagi menguasai lapadz seperti ini, mereka ikut mendo`akan dengan cara tersendiri seperti bacaan al-fatihah, selawat dan sebagainya. Dan menurutnya, itu baik dan boleh-boleh saja, sebab hakikat prosesi topung tawar itu sendiri adalah do`a yang kita berikan kepada orang yang sedang berhajat.
Dengan demikian jelas bahwa topung tawar yang hidup dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang bukan sekedar ritual tradisi adat dan budaya sosial, melainkan mempunyai makna komunikasi yang khas dan mendalam bagi kehidupan. Inilah sesungguhnya makna dari tradisi dan komunikasi topung tawar yang ada dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang.

Penutup
Dari kajian singkat di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa topung tawar dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang bukan sekedar bermakna sebagai tradisi sosial dan budaya belaka, melainkan mengandung pesan komunikasi yang khas dan mendalam bagi kehidupan manusia. Beberapa pesan komunikasi yang terkandung dalam tradisi topung tawar tersebut adalah:
Pertama, manusia mesti selalu sadar dan ingat akan kejadian asalnya yang tidak memiliki apa-apa, yang dalam tradisi disimbolkan dengan tawar atau topung tawar. Perjalanan hiduplah yang akhirnya membawa manusia kepada kondisi tertentu (kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau kesusahan, sehat atau sakit dan sebagainya). Semua makhluk hidup (selain manusia), pada dasarnya bermula dari kondisi yang netral ini. Oleh itu, jika kita dalam kesengsaraan, sakit dan dapat musibah mesti dikembalikan terlebih dahulu kepada kondisi semula (netralitas), yang bebas dari segala penyakit dan sebagainya. Barulah selanjutnya beralih ke kondisi yang sehat, bahagia dan penuh kesenangan, sebagaimana yang selalu dido`akan.
Kedua, untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, sehat dan jauh dari bala bencana sesungguhnya bukan hanya datang dari pengaruh luar diri manusia (seperti makhlus halus misalnya), melainkan telah ada dalam diri manusia itu sendiri berupa ”semangat”. Karenanya ”semangat” itu harus selalu dipelihara dan hidup. ”Semangat” itulah awal dari segala daya dan upaya untuk membentuk diri menjadi lebih baik, termasuk menangkal diri dari segala macam pengaruh yang tidak baik dari luar. ”Semangat” yang kuat dan tak pernah lemah itulah yang disimbolkan dengan besi dalam prosesi tersebut.
Itulah diantara makna komunikasi yang paling utama dari prosesi topung tawar yang hidup dalam tradisi masyarakat Melayu Nanga Jajang. Kiranya, tentu masih banyak lagi makna lain yang lebih spesifik dari prosesi tersebut, termasuk makna dan tujuan dari masing-masing bahan yang ada, sebagaimana telah dikemukakan dalam kajian di atas. Wallahu a`lamu bish shawab.


























Bibliography

A. Muin Karim. 2005. Tepung Tawar: Upacara Adat Melayu Sambas, dalam Dedy Ari Aspar, Yusriadi & Hermansyah, Budaya Melayu Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Press. Hal. 137 – 146.

Ariawijaya. 2008. Adat tepung tawar dalam Melayuonline.com/forum/viewtopic.php. diakses 17 Desember 2009.

Andi Amd. 2009. Tepung Tawar Masyarakat Sambas. wisatasambas.wordpress.com/2009/.../tepung-tawar-masyarakat-sambas/. Akses 17/12/2009.

Tengku Ryo. 2008. Adat Tepung Tawar Melayu dalam Melayuonline.com/forum/viewtopic.php. diakses 17 Desember 2009.

Ibrahim MS. 2008. Kearifan dalam tradisi Buma orang Melayu di Jajang. Makalah Seminar Regional yang disponsori oleh Flaght dan PSBMB.

Ibrahim MS. 2009a. Kearifan Komunikasi dalam Pantang Larang orang Melayu Nanga Jajang, makalah yang disampaikan dalam diskusi reguler dosen STAIN Pontianak.

Ibrahim MS. 2009b. Varian Bahasa Melayu di Badau, Jurnal Bahasa. Dewan Bahasa dan Pustaka Negara Brunei Darussalam, Bil. 18, hal. 93 – 104.

Ibrahim MS. 2010. Hidup dan Komunikasi. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Iqbal Fadhil. 2006. Buang Sial, Bupati Langkat Gelar Tepung Tawar untuk Raju
Detik News/detik.com

Ridwan, Zaenudin & Ibrahim. 2007. Merajut Damai di Kalimantan Barat, dalam Alpha Amirachman, Revitalisasi Kearifan Lokal. Jakarta: ICIP dan Eurupean Commition.
Rusli Hasbi. Tt. Upacara Tepung Tawar (Peusijuek) Boleh kah? Ruslihasbi. Wordpress.com/tanya jawab/merajut qalbun salim/. Diakses 17-12/2009.
Yusriadi, Ibrahim & Zaenudin. 2010. Kearifan Komunikasi dalam Pantang Larang Orang Melayu Nanga Jajang. Laporan Penelitian Kompetitif Kelompok. Proyek DIPA STAIN tahun 2009.

KOMUNIKASI SOSIAL DI KAMPUNG DURIAN

Studi atas Perjuangan Hidup Orang Madura

Artikel Riset Wisata Malay Corner STAIN Pontianak dan telah diterbitkan dalam Bunga Rampai "Menunggu di Tanah Harapan" Editor Yusriadi, 2009.

TETANG KAJIAN INI
Tulisan ini merupakan kajian singkat penulis di Kampung Durian, Kecamatan Kuala Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Kajian ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan program Riset Wisata yang diselenggarakan oleh Malay Corner STAIN Pontianak pada tanggal 21 s/d 22 Februari 2009.
Kajian ini diselenggarakan untuk memahami, mengenal dan meneliti kehidupan social masyarakat secara singkat. Hasil dari kajian ini selanjutnya akan dijadikan bahan diskusi dan menulis untuk keperluan pelatihan menulis kisah perjalanan dan makalah laporan hasil penelitian dalam seminar penelitian dan Lounching buku yang merupakan program lanjutan Malay Corner tahun 2009. Inilah hasilnya yang akan disajikan dalam diskusi seminar kali ini.

TENTANG KAMPUNG DURIAN

Masuk kira-kira 1 km dari jalan raya Ambawang, tepatnya disamping pondok Pesantren Nahdhatul Athfal ke arah barat menyusuri jalan Parit Adam terdapat sebuah kampung yang didiami oleh satu komunitas Madura. Mereka ini adalah eks Pengungsi korban kerusuhan antar etnis di Sambas tahun 1999. Jumlah penduduk yang mendiami kampong ini lebih kurang 28 Kepala Keluarga (KK).
Menurut para tokoh masyarakat setempat, Kampong ini baru dibuka pada tahun 2003. “sebelumnya kawasan ini adalah lahan kosong, kemudian dengan bantuan pemerintah kami disarankan untuk membeli lahan disini dan membuka usaha baru, jadilah seperti sekarang ini” jelas salah seorang tokoh masyarakat. Mereka (para pengungsi) diberikan bantuan oleh pemerintah untuk membeli lahan sebesar Rp. 5.000.000,- untuk masing-masing KK. setengah dari bantuan itu untuk membeli lahan, dan sisanya untuk membangun rumah dan usaha. Alhamdulillah masing-masing kami dapat tanah 1 kapling seluas 20 x 50, jelas salah satu warga yang lain. Kampong inilah yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Durian.
Walaupun baru dibuka dalam kurun waktu 5 tahunan ini, sekilas terlihat Kampung Durian ini adalah pemukiman yang sudah lama dibangun. Rumah-rumah warga sudah berdiri dengan megah, penataan pemukiman juga sudah cukup baik dan rapi. Jalan-jalan di tengah kampong juga sudah disemen dengan baik, meskipun dengan lebarnya hanya 1 meter saja. Perkembangan yang signifikan begitu tampak di perkampungan ini. 3 tahun yang lalu saya pernah berkunjung ke kampong ini, pada waktu itu jalan-jalan kampong masih tembok tanah saja (alias belum disemen), kondisi perkampungan masih sangat sederhana. Akan tetapi sekarang sudah terlihat begitu indah dan rapi.
Beberapa buah rumah warga dibangun dengan arsitektur dan desain yang modern layaknya perumahan di kota, seperti atap metal. Kondisi ini tidak menampakkan jika mereka ini sebenarnya adalah eks pengungsi yang baru mulai membangun pemukinan dalam sebuah perkampungan. Di sekeliling rumah dan di lahan-lahan sekitar kampong tampak dengan indah sawah dan kebun-kebun mereka. Kondisi ini seakan-akan memperjelas anggapan dan identitas masyarakat Madura sebagai orang yang gigih, ulet dan rajin dalam berusaha.
Selain identik dengan keuletan bertani, mereka juga rajin dalam beternak. Beberapa keluarga tampak masih memelihara sapi. Bahkan untuk makan sapi, mereka menanam rumput khusus di sekeliling jalan raya. Rumput-rumput ini persis seperti tanaman hias yang memagari jalan raya. Manfaat dan seni dipadukan dalam cara hidup masyarakat madura di kampong ini.
Meskipun mereka ini adalah eks pengungsi korban kerusuhan di Sambas, mereka mampu menempatkan diri secara baik dan bersahabat dengan siapapun. Termasuk dengan Melayu sambas sendiri, mereka tidak lagi menaruh dendam dan kebencian. Begitulah pengakuan beberapa orang warga ketika menceritakan keadaan mereka sendiri. Apalagi dengan suku Dayak, mereka begitu tulus membangun hubungan yang baik. Maklum di sebelah laut kampong Durian ini, kira-kira 500 meter terdapat sebuah kampong yang didiami oleh suku Dayak Ahe. Dan hubungan antara masyarakat Madura (Kampung Durian) dengan masyarakat Dayak (kampong Ahe) sangat baik dan berlangsung dengan harmonis. Mereka mampu bekerjasama dalam banyak persoalan sosial, saling memahami dan menjaga kepentingan bersama. Bahkan dalam kepengurusan desa, keduanya berada dalam satu RT yang sama.
Secara jujur, kita masih melihat klaim sejarah yang ”kurang baik” terhadap orang Madura, bahkan klaim-klaim tersebut telah melahirkan banyak sekali streotip, prejudice hingga deskriminasi yang turut mempengaruhi hubungan sosial dan komunikasi. Mengenai pandangan seperti itu terhadap orang Madura dapat dilihat dalam tulisan Munawar M. Saad (2003), Rusmin Tumanggor dkk (2002), Syarif Ibrahim (2003) dan sebagainya. Dalam perspektif kritik terhadap pandangan tersebut, dapat dilihat dalam tulisan Ibrahim (2004, 2005). Streotip yang diakibatkan klaim ”negatif” itu mengatakan bahwa orang madura itu arogan, keras, tidak bisa dipercaya, ekslusif dan sebagainya. Klaim dan streotip itulah yang dijadikan alasan pembenaran tindakan pembunuhan dan pembantaian oleh orang Melayu dan Dayak terhadap orang Madura dalam sejarah konplik sosial di Kalimantan Barat.
Masyarakat Madura yang hari ini menetap dan membuka pemukiman baru di Kampung Durian merupakan korban dan bukti dari klaim sejarah yang negatif itu. Akibatnya mereka terpaksa memulai hidup baru di tengah klaim negatif sejarah yang telah menghancurkan usaha dan kehidupan mereka dahulunya. Hari ini, di kampung Durian mereka membuka lahan kehidupan dan usahanya yang baru, membangun relasi dan hubungan sosial yang baru pula dengan siapapun, termasuk masyarakat Dayak Ahe di sebuah kampung bertetangga. Lima tahun sudah mereka menetap di Kampung Durian seakan-akan menjadi saksi dan bukti bahwa mereka tidak seburuk apa yang diklaim dalam sejarah, mereka adalah masyarakat yang ramah, dapat dipercaya, serta terbuka dengan siapapun. Pola komunikasi sosial yang dibangun oleh masyarakat Madura di Kampung Durian juga menunjukkan bahwa klaim negatif sejarah tidak tampak dalam kehidupan sosial mereka. Justru kesadaran sosial dalam bentuk hubungan dan komunikasi yang baik dan harmonis dengan siapapun semakin menguat. Itulah yang tampak dalam setiap prilaku komunikasi sosial mereka. Kajian di lapangan memperlihatkan dengan jelas bahwa klaim sejarahlah yang justru telah banyak merugikan mereka. Karena itu, demi sejarah Inilah masyarakat Madura di kampung Durian berupaya untuk Meretas Hidup menjadi lebih baik, yang akhirnya akan lahir sejarah baru bagi komunitas ini di Kampung Durian menjadi lebih baik dan lebih positif pula, Amin-Insya Allah.

METODOLOGI KAJIAN
Sebagaimana layaknya studi lapangan, metodologi kerja menjadi sesuatu yang dipentingkan dalam melakukan kajian. Baik kajian yang bersifat mendalam dan mendetail dalam bentuk penelitian sesungguhnya, maupun kajian singkat dan sederhana dalam bentuk pengamatan dan silaturahmi saja. Kajian ini yang merupakan hasil dari pengamatan sederhana dan silaturahmi yang dilakukan selama 1 hari semalam, juga dilangsungkan dalam kerangka kerja metodologi tersendiri.
Kajian ini dilakukan dengan cara berkunjung ke komunitas yang dikaji, mengamati kehidupan mereka, mendengarkan dan merasakan apa yang mereka alami, serta mengikuti sebagian rutinitas sosial dan keagamaan yang mereka lakukan seperti shalat jama`ah dan mengaji.
Kajian singkat ini juga mengelaborasi pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian participatory, yakni pemetaan wilayah (mapping area) dan penelurusan desa (transect). Dengan metode elaborasi ini, penulis dapat memahami, mengenali dan mengerti akan lingkungan fisik kehidupan mereka.
Kemudiaan untuk mengetahui bagaimana perasaan, pikiran dan pengetahuan masyarakat, wawancara juga dilakukan dengan beberapa orang warga, baik mereka yang ditempatkan sebagai tokoh masyarakat, maupun warga biasa.
Dengan cara kerja inilah penulis melakukan kajian di lapangan dan pada akhirnya menghasilkan tulisan sederhana ini.

DISKUSI KAJIAN
Pada bagian ini akan diuraikan beberap aspek komunikasi yang ada dalam masyarakat Madura kampung Durian. Uraian-uraian dimaksud merupakan diskusi kajian yang penulis dapat ketika melakukan pengamatan singkat di lapangan. Diskusi yang ditampilkan dalam tulisan berikut merupakan penjabaran dari apa yang penulis pahami dengan orang Madura di Kampung Durian yang terus berjuang demi masa depan hidupnya dan kalim negatif sejarah yang telah menjerumuskan masa lalu mereka. Kajian dalam diskusi berikut menjadi bukti bahwa klaim sejarah yang negatif terhadap orang Madura tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, terutama di Kampung Durian. Sebaliknya, semangat kerja, keuletan, kegigihan berusaha demi masa depan hidup yang lebih baik telah menjadi identitas sosial dan kehidupan pada masyarakata Madura di Kampung Durian ini. Berikut kajian dan diskusinya.

Pola Komunikasi yang dibangun
Banyak orang yang menilai bahwa masyarakat madura itu merupakan komunitas yang ekslusif dan tidak mau membuka diri untuk orang lain. Mereka membangun pemukiman sendiri, surau sendiri dan hanya menghormati sesepuh dari kalangan sendiri (Munawar, 2003, Syarif Ibrahim al-Qadri, 2003). Penilaian ini mungkin dapat dibenarkan, tapi mungkin juga perlu dipertegas wilayah kebenarannya (Ibrahim, 2004, 2005). Pada sebagian aspek, mungkin penilaian itu dapat dibenarkan. Akan tetapi pada sebagian yang lain, orang Madura sangat terbuka. Kampung durian menjadi bukti betapa masyarakat Madura terbuka dengan komunitas lain, mereka dapat hidup bersama, membangun komunikasi bersama dan berjuang untuk kepentingan bersama (Ibrahim, 2009).
Kajian di lapangan memberikan gambaran kehidupan komunitas Madura di Kampung Durian yang berdekatan dengan Komunitas Dayak Ahe di kampung sebelahnya. Jarak kedua kampung ini hanya sekita 500 meter saja. Karena itu dalam kepengurusan kampung, kampung Madura dengan kampung Dayak berada dalam satu administrasi desa, bahkan satu Rukun Tetangga (RT). Hal itu dapat dilihat pada RT yang dipimpin oleh Pak Katot yang merupakan orang Kampung Dayah Ahe.
Keterbukaan orang Madura di Kampung Durian ini dengan komunitas lain dapat dibuktikan dengan keberadaan pak Katot itu sendiri. Pak Katot yang saat ini merupakan ketua RT adalah orang Madura Asalnya. Beliau ini menikah dengan orang Dayak Ahe dan berpindah agama dari Islam ke Kristen (wawancara Ibu Jari & pak Buyar). Nama muslimnya adalah Romli, begitu masyarakat Madura Kampung durian menyebutkan. Pigur pak Romli yang merupakan orang Madura dan kemudiaan menjadi bagian dari komunitas Dayak Ahe semakin menjadi jembatan hubungan sosial dan komunikasi yang baik dan terbuka diantara komunitas ini.
Keterbukaan kedua komunitas ini dalam hubungan sosial dan kemasyarakatan di Kampung diakui oleh para tokoh Madura ketika kunjungan beberapa waktu lalu. Pak Buyar dan pak Adra`i misalnya mengakui bahwa hubungan sosial dan kerjasama dengan kampung Dayak Ahe sangat baik. Mereka secara bersama-sama bekerja membangun jalan kampung, maupun jalan yang menghubungkan kedua kampung mereka. Bahkan jika ada hajatan di kampung, kedua kampung itu saling mengundang dan sebagainya.
Berangkat dari realitas yang ada di lapangan, jelas bahwa pola komunikasi yang dibangun oleh orang Madura di Kampung Durian sangat terbuka. Dimana mereka mampu dan mau untuk terus berusaha mengerti, memahami, menghargai dan menerima siapapun yang berbeda dari komunitas mereka. Bahkan mereka sadar betul bahwa selain potensi sendiri yang harus dikembangkan secara maksimal, kemajuan masyarakat dan kampung mereka tidak bisa lepas dari kerjasama, bantuan dan dukungan dari orang lain.

Sistem lambang komunikasi sosial yang digunakan.
Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa memerlukan keberadaan orang lain. Tidak seorangpun yang dapat hidup sempurna, bahagia dan sejahtera tampa keterlibatan orang lain di sisinya, baik secara langsung maupun tidak, baik disadari maupun tidak. Seseorang dapat makan yang enak, bukan semata-mata faktor diri pribadi yang menghasilkan makanan yang enak itu. Makanan yang enak didapatkan karena ada orang lain yang menyediakan bahan makanan, memasak, ada orang yang menjual bumbu masak dan sebagainya.
Menyadari pentingnya keterlibatan orang lain dalam hidup itulah yang mengharuskan setiap orang berkomunikasi. Komunikasi itulah yang menjadi penyambung hidup manusia pada tataran yang paling sederhana. Termasuk menyangkut sejarah sosial dan perjuangan hidup manusia. Keberadaan orang lain adalah alasan wujudnya identitas diri dan pribadi itu, demikian pernyataan adagium komunikasi.
Untuk membangun komunikasi, manusia menggunakan lambang atau simbol tertentu. Dalam komunikasi, lambang atau simbol itu bisa berupa bahasa atau kata-kata, bisa juga dalam bentuk isyarat atau gerakan badan. Mendiskusikan lambang komunikasi inilah yang melahirkan istilah komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
Khusus untuk komunikasi verbal di Kampung Durian, dapat kita ketahui bahwa komunitas Madura di sana menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi sosial diantara mereka. Kecuali itu, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia apabila lawan bicara mereka adalah orang dari luar komunitas mereka, atau orang yang tidak mengerti bahasa Madura.
Ada hal yang paling mengesankan dan terasa istimewa dalam komunikasi sosial masyarakat Madura di Kampung Durian, yaitu tumbuhnya kebiasaan mengabadikan momentum-momentum tertentu dalam hidup mereka, dalam bentuk tulisan-tulisan di jalan, di dinding rumah maupun di tempat-tempat umum. Sebagai contoh, di jalan semen yang menghubungkan kampung Durian dengan Kampung Ahe, tertulis nama jalan dan suatu waktu yang diabadikan. Jl. Soeharto, tanggal 28 Januari 2008, begitulah tulisan itu dengan jelas dapat dibaca di atas jalan tersebut. Tulisan tersebut, membuat saya harus menduga tiga hal; pertama, jalan itu dibangun pada tanggal yang sama dengan kematian Soeharto. Kedua, merupakan bentuk penghormatan dan dedikasi mereka terhadap seorang Soeharto. Ketiga, tulisan tersebut menjadi bukti betapa tradisi komunikasi dalam bentuk sistem lambanng yang khas digunakan dalam masyarakat Madura di Kampung Durian. Tulisan itu memberikan makna bahwa pengerjaan jalan semen itu bersamaan dengan tanggal wafatnya Soeharto.
Begitupun di jalan semen di tengah-tengah kampung mereka tulis peringatan untuk tidak ngebut membawa kendaraan, mereka juga menulis hari dan tanggal yang dimaksudkan untuk mengingatkan waktu mereka membuat jalan tersebut. Tradisi komunikasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Madura di Kampung Durian begitu dekat dengan tradisi ilmu pengetahuan, terutama dunia tulis-menulis. Bahkan kondisi tersebut menjadi identitas dan modal sosial masyarakat yang melek hurup dan komunikatif tentunya.
Bukankah tradisi tulis-menulis ini yang melahirkan sejarah, dan menjadi pembeda era prasejarah kepada era sejarah? Jika demikian, maka masyarakat Madura di Kampung Durian sebenarnya adalah sumber daya sejarah yang luar biasa, yang harus dipelajari dan dicontohi untuk kelangsungan hidup dan peradaban manusia. Mungkin...

Surau sebagai Sarana Berkomunikasi.
Surau sebagaimana fungsi utamanya adalah tempat melakukan aktivitas keagamaan dan shalat. Dalam sejarah Islam Indonesia, surau memainkan peran penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam (Azra, 2003). Bahkan menurut Azra, Surau telah melahirkan banyak tokoh dan ulama besar di Indonesia.
Begitupun dalam masyarakat Madura, surau merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan menjadi identitas yang melekat dalam kehidupan sosial dan keagamaan mereka. Untuk konteks ini, kita sering mendengar ungkapan ”dimana ada rumah orang Madura selalunya di situ ada surau”. Pentingnya peran surau dalam kehidupan sosial dan keagamaan orang Madura tidak hanya sebagai tempat beribadah, shalat dan belajar agama. Surau bagi mereka merupakan sarana komunikasi dan silaturahmi yang paling dipentingkan. Di suraulah mereka saling berkomunikasi, berbagi cerita, pikiran dan pendapat hingga musyawarah.
Sebagai sarana komunikasi, surau betul-betul dimanfaatkan untuk membangun hubungan silaturahmi yang erat antar sesama jama`ah, antara sesama orang-orang tua, antara orang-orang tua dengan anak-anak dan remaja, termasuk antara sesama anak-anak dan remaja yang ada di kampung tersebut.
Surau juga menjadi sarana komunikasi pendidikan dan pembelajaran keagamaan yang epektif dalam masyarakat Madura. Melalui surau program-program pendidikan dan pembelajaran keagamaan dilakukan seperti belajar mengaji, belajar pengetahuan keagamaan, praktek ibadah dan sebagainya. Bagi mereka, surau selain sebagai pesantren kecil yang membentuk jiwa keagamaan dan ibadah masyarakat , juga merupakan sarana membangun komunikasi keagamaan antar jama`ah dan masyarakat.
Pentingnya peran surau dalam masyarakat Madura semakin terbukti dengan dibangunya kembali satu surau lagi di hujung kampung durian ini. Padahal dari sisi jarak bangunan surau yang lama dengan surau baru ini hanya lebih kurang 200 meter saja. Belum lagi dilihat dari sisi jumlah penduduknya yang hanya sekitar 28 kk. Tapi inilah bukti lebih lanjut mengenai pentingnya surau bagi masyarakat Madura untuk membangun komunikasi, silaturahmi, pendidikan dan pembinaan keagamaan bagi jama`ahnya, terutama anak-anak dengan pendidikan keagamaan, mengaji dan sebagainya.
Pentingnya surau bagi masyarakat Madura dalam membangun komunikasi pendidikan dan keagamaan tidak dapat dipungkiri lagi. Karena itu untuk membangun hubungan sosial yang akrab dan harmonis dengan komunitas ini, surau dapat dijadikan sebagai salah satu sarana utama dalam menjalin komunikasi dan silaturahmi ini.

Hajatan sebagai Momentum Komunikasi Sosial
Hajatan pada prinsipnya bukanlah suatu kewajiban agama, melainkan satu kemestian dari ritual sosial yang diwarisi sebagai tradisi, budaya dan adat kepercayaan. Dalam bahasa agama, hajatan (hajjatan, tahajjuj) mengandung makna sebagai “berkehendak, berkeinginan, atau mencita-citakan sesuatu”. Dengan demikian hajatan lebih dekat pemahamannya kepada upacara yang dilakukan sebagai do`a untuk memperoleh sesuatu, seperti untuk keselamatan dengan upacara “nyelamat”, do`a untuk memperoleh keberkahan hidup dan rezeki dengan upacara “syukuran”, do`a untuk dijauhkan dari bala dan bencana dengan upacara “tolak bala”, do`a untuk penghormatan pada sang Nabi dengan upacara “salawatan atau mauludan”, do`a untuk keselamatan kandungan dengan upacara “nujuh bulanan” dan sebagainya.
Secara tradisi sosial, budaya dan adat istiadat, upacara hajatan ini selalunya dilakukan dengan melibatkan banyak orang (warga). Karena itu hajatan ini biasanya diselenggarakan dengan sedekah makanan (makan-makan) sebagai rasa syukur dan sebagainya. Disinilah, upacara hajatan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Madura untuk berkumpul dan bersua bersama. Dengan demikian jadilah momentum ini sebagai ajang mereka berkomunikasi, bersilaturahmi dan berbagi, apapun persoalannya. Hasilnya adalah munculnya rasa kebersamaan, kesepahaman dan saling berbagi dari jalinan komunikasi yang terbangun melalui upacara hajatan yang ada dalam tradisi masyarakat. Sebagai contoh, minggu tanggal 22 Pebruari 2009, ketika penulis beserta rombongan riset wisata sedang berada di kampong Durian, masyarakat Madura di sana menyelenggarakan upacara “nujuh bulanan”. Hampir semua masyarakat berkumpul mengikuti upacara tersebut. Sebagai bentuk dari rasa kebersamaan, umumnya warga yang datang membawa sumbangan seadanya kepada pemilik hajatan. Pola seperti ini sebenarnya tidak pernah ditetapkan secara jelas sebagai ketentuan agama dan sosial, apalagi dalam bentuk tertulis. Akan tetapi semua warga memahaminya dengan kesadaran bersama. Inilah kiranya buah dari jalinan komunikasi dan silaturahmi yang telah terbangun dalam masyarakat Madura selama ini melalui upacara hajatan.

System Ekonomi sebagai Ranah Komunikasi Sosial.
Ada banyak anggapan (umumnya streotip) terhadap orang Madura yang tidak hanya bersifat positif, akan tetapi juga banyak yang negative. Orang madura dipandang sebagai berwatak keras (Munawar, 2003; Syarif Ibrahim al-Qadri, 2003 & Rusmin Tumaggor dkk, 2004), tidaklah semata bermakna negative sebagai kasar, ugal-ugalan dan sebagainya (Ibrahim, 2004). Makna positif dari watak keras orang madura dapat dilihat dari sisi ekonominya. Mereka adalah pekerja keras yang rajin, tangguh dan ulet (Ibrahim, 2005). Hampir tidak kita temukan di sekitar perkampungan orang Madura ada lokasi tanah yang terbiar kosong dan tak dimanfaatkan. Bagi masyarakat Madura, setiap lahan itu mempunyai makna ekonomi yang dapat dihitung setiap saat. Karena itu mereka sangat bisa memanfaatkan lahan–lahan yang ada untuk bertani, berkebun dan aktivitas pemanfaatan lahan lainnya.
Perhargaan yang tinggi terhadap lahan untuk kepentingan ekonomi tradisional orang Madura juga dapat ditemukan pada masyarakat Madura di kampung Durian. Masyarakat Madura di kampong ini umumnya bekerja sebagai petani sawah dan kebun. Mereka menanam padi pada setiap musim bertanam setahun sekali. Disamping itu mereka juga menanam ubi kayu dan kacang panjang di kebun sebagai aktivitas sampingan. Meski tidak banyak hasil yang didapatkan untuk dapat dijual, akan tetapi hasil pertanian dan kebun mereka bisa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga mereka. Karena itu dengan mudah kita menemukan gumbukan padi di setiap rumah-rumah warga di sana. Dengan siklus ekonomi seperti ini mereka tidak perlu tergantung pada pasar, sebab mereka tidak lagi perlu membeli beras dan sayur mayur ke pasar. Mereka mempunyai persediaan masing-masing untuk kebutuhan hidup seperti ini.
Selain itu, pada lahan-lahan tertentu yang tidak diolah dengan siklus ekonomi tahunan, mereka tanami dengan lada (sahang), termasuk baru mulai beberapa orang menanam cengkeh. Untuk kedua jenis tanaman yang terakhir ini tentu saja menjadi penopang ekonomi keluarga yang lebih besar dan lebih luas. Sebab, tidak mungkin mereka akan menggunakan secara langsung hasil dari pertanian ini.
System perekonomian ini dianut oleh mayoritas masyarakat Madura di kampung durian secara sadar dan terencana sebagai satu ciri ekonomi tradisional yang kuat dan mapan dengan kemandirian. Melalui siklus ekonomi tradisional ini, mereka mampu mengkomunikasikan kesejahteraan hidup dalam masyarakat secara baik dan merata. Meskipun bukan satu-satunya paktor, komunikasi yang baik mengenai siklus ekonomi antarwarga masyarakat dapat dibuktikan dengan kemampuan mereka membangun rumah yang baik. Bahkan beberapa diantaranya terkesan megah dan mewah, padahal mereka hidup di komunitas masyarakat kampung, yang baru dibuka dalam kurun waktu tidak lebih dari 5-6 tahun ini. Secara jujur hati saya berkata dan memuji sistem ekonomi yang mereka anut, saya merasa rindu melihat rumah-rumah mereka yang dibangun dari kayu-kayu yang bagus dan kuat, meskipun tidak semua nampak megak dilihat dari luar. Begitulah cara orang Madura membangun hidup dan kehidupannya dengan bertahap hingga menjadi lebih baik.

Gotong-royong dan Kebersamaan sebagai Model Komunikasi Sosial
Sebagaimana pada masyarakat lainnya, pada masyarakat Madura juga ada berbagai kelebihan dan kekurangannya. Karena itu tidaklah tepat jika membandingkan kelebihan dan kekurangan satu komunitas dengan komunitas lainnya, sebab itu bisa menjadi konflik baru antar komunitas. Meskipun demikian, dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa kelebihan sebagai potensi dalam komunitas Madura, seperti kegotong-royongan dan rasa kebersamaan yang tinggi.
Tingginya rasa kegotong-royongan dan kebersamaan dalam masyarakat Madura menjadikan komunitas ini solid dan kuat. Meskipun mereka ini adalah orang baru yang hidup dan membangun komunitas tersendiri di daerah itu paska konplik sambas, kekompakan dan kebersamaan menjadi modal utama mereka. Hal itu dapat didengar dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat di sana. Pak Buyar misalnya yang selalu memotivasi warganya dengan mengatakan bahwa orang Madura mesti bersatu padu, bekerjasama dan saling mendukung untuk mewujudkan kemajuan bersama. Dengan kebersamaan itulah orang Madura dapat melupakan trauma dan pengalaman pahit masa lalu. Dengan kebersamaan itulah orang Madura dapat membangun diri dan masyarakatnya menjadi lebih maju. Begitulah kira-kira motivasi yang selalu diucapkan oleh pak Buyar untuk memberikan semangat kepada warganya. Motivasi itu berkali-kali diucapkannya dihadapan penulis ketika kunjungan penelitian lapangan beberapa waktu lalu.

PENUTUP
Setiap manusia dilahirkan di muka bumi ini senantiasa dibekali dengan berbagai pontensi, baik yang akan menghantarkannya pada kebaikan (potensi baik), maupun yang dapat merusak dirinya (potensi tidak baik). Setiap orang mempunyai kesempatan untuk menjadi yang terbaik, sebagaimana sebaliknya juga setiap orang mungkin melakukan seauatu yang tidak baik. Begitulah realitas manusia yang telah Allah ciptakan. Karena itu klaim sejarah terhadap seseorang atau sekelompok orang yang hanya dapat melakukan kejahatan, atau tidak memiliki sesuatu yang baik merupakan pengingkaran terhadap realitas penciptaan Allah itu sendiri.
Apa yang penulis gambarkan dengan komunitas Madura di Kampung Durian, baik menyangkut sejarah sosial mereka dengan berbagai klaim negatif, hingga upaya komunikatif yang mereka bangun untuk masa depan mereka adalah satu perspektif akademis penulis yang bersifat subjektif. Sebuah perspektif yang masih sangat sederhana dan dangkal, karena memang berdasarkan kajian singkat dan satu perspektif sebagai orang luar yang berkunjung dan bertamu selama 24 jam saja.
Akan tetapi yang harus dipahami bahwa apa yang dihasilkan dari kajian ini adalah ihktiar akademis penulis untuk mengkaji sejarah sosial yang sesunguhnya dalam kehidupan komunitas Madura di Kampung Durian, menyangkut klaim sejarah hingga terwujudnya sejarah baru dalam bangunan pola komunikasi yang khas dalam kehidupan sosial yang mereka lalui. Wallahu a`lam.

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra. 2003. Pendidikan Islam Tradisional dalam Tradisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos.

Ibrahim MS. 2004. Problematika Komunikasi Antarbudaya: Kajian Kritik terhadap Konflik Etnis di Sambas. Tesis Magister Dakwah dan Komunikasi, UIN Jakarta.

Ibrahim MS. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Ibrahim MS. 2009. Nostalgia. Dalam Yusriadi (ed). Menunggu di Tanah Harapan: Kumpulan catatan perjalanan ke Kampung Durian. Pontianak: Stain Pontianak Press.

Syarif Ibrahim Al-Qadri. 2003. Faktor Penyebab Konflik Etnis, Identitas dan Kesadaran Etnis, dalam Konplik Komunal di Tanah Air. Jakarta: INIS Leiden & PBB UIN Syarif Hidayatullah.

Munawar M. Saad. 2003. Sejarah Konplik Etnis di Sambas. Pontianak; STAIN Pontianak Press.

Rusmin Tumanggor dkk (Eds). 2004. Konplik dan Modal Kedamaian dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat Tanah Air. Lemlit dan LPM UIN Jakarta bekerjasama dengan Balatbangsos Depsos RI.