Minggu, 24 Januari 2010

Seri Artikel Komunikasi

“MAKNA” DALAM KOMUNIKASI
Oleh: Ibrahim MS, M.A

Abstrak:



Sebagai makhluk sosial, setiap manusia sememangnya mempunyai kemampuan dasar berkomunikasi antar sesama. Akan tetapi setiap manusia akan senantiasa memiliki perbedaan kemampuan komunikasi, terutama menyangkut bahasa sebagai pilihan symbol, dan makna yang hendak dipertukarkan melalui symbol-simbol komunikasi. Hal ini menyebabkan tidak semua komunikasi yang dibangun memperoleh hasil yang sama efektif. Dalam banyak contoh, kita gagal membangun komunikasi dengan baik, sesuai harapan dan maksud yang diinginkan. Bahkan tidak jarang kita terjebak dalam perangkap perbedaan symbol/lambang komunikasinya saja, substansi yang hendak dipertukarkan justru terlupakan. Substansi inilah sebenarnya yang disebut dengan makna (mean-meaning). Itulah yang dicari sebagai “makna” dalam komunikasi.

Kata Kunci: bahasa, symbol komunikasi, makna.

PENGENALAN
Makalah ini merupakan suatu kajian teoritis mengenai aktivitas komunikasi, dimana setiap hari, setiap waktu dari bangun tidur hingga tidur lagi aktivitas ini senantiasa dilakukan oleh manusia. Sebagai suatu aktivitas rutinitas dalam hidup dan kehidupan manusia, komunikasi mungkin dapat ditempatkan pada dua posisi yang saling berlainan. Satu sisi komunikasi yang dipahami sebagai suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk membangun relasi dan pemahaman bersama. Dengan posisi ini, maka aktivitas komunikasi yang dilakukan akan senantiasa mengalami kemajuan dan perkembangan kemampuan yang semakin baik.
Pada sisi lain, komunikasi ditempatkan sebagai aktivitas keseharian dalam rutinitas hidup manusia sebagai makhluk sosial, dimana setiap manusia telah dibekali kemampuan dasar untuk aktivitas ini. Dengan posisi ini, maka komunikasi itu tidak lain adalah hidup dan kehidupan sosial manusia itu sendiri (Ibrahim, 2009b). Karena itu, komunikasi dalam posisi ini dapat dilakukan secara sadar dan terrencana (Gerald L. Miller) maupun tidak disengaja atau tidak direncanakan (Alek Gode) untuk membangun relasi sosial dan pemahaman bersama (dikutif dalam Dedi Mulyana, 2002).
Penempatan komunikasi kedalam dua posisi inilah yang memunculkan berbagai perdebatan dalam sejarah ilmu komunikasi, terutama menyangkut pertanyaan ”apa sebenarnya yang disebut ”makna” sebagai substansi dari komunikasi”, bagaimana ”makna” itu dikomunikasikan”, ”apa yang membentuk ”makna” dalam komunikasi”, ”apa yang harus dipahami untuk menemukan ”makna” dalam komunikasi”. Itulah beberapa pertanyaan penting yang akan didiskusikan dalam tulisan ini lebih lanjut.

KONSEPSI DASAR MENGENAI KOMUNIKASI
Ketika mendengar kata komunikasi, secara sederhana kita memahami bahwa ada aktivitas pertukaran informasi, gagasan, ide, pemikiran, kehendak, harapan dan sebagainya (Devito, 1997; Dedy Mulyana, 2002; Liliweri, 2003; Litte John, 1992). Hal itu tampak dengan beberapa istilah yang kerap digunakan kita dalam hubungan sosial seperti, ”hendaklah kamu komunikasikan dengan baik mengenai persoalan itu”; ”dia mampu berkomunikasi dalam dua bahasa”; ”agaknya anak itu mengalami masalah dalam komunikasi”, dan sebagainya.
Secara umum, ketika mendengar kata komunikasi, yang terbayangkan dalam benak banyak orang adalah aktivitas bicara, perbincangan bahasa verbal dan semacamnya. Karena itu, untuk komunikasi setiap kita mesti mampu berbicara dan berbahasa. Kecendrungan umum ini juga dapat kita buktikan dalam kebiasan hidup keseharian kita dimana ketika kita merasa tidak tertarik dengan sesorang maka kita menghindar dari komunikasi. Sebut saja ungkapan yang muncul misalnya, ”saya tidak mau menemuinya karena saya lagi malas berkomunikasi”.
Contoh lain misalnya, seorang pejabat negara yang sedang dikejar oleh wartawan untuk meminta komentarnya mengenai suatu kasus, pejabatn itu menghindar dengan tidak mengucapkan sepatah katapun. Sikap ini selalunya dianggap sebagai sedang tidak mau berkomunikasi. Benarkah? Apakah komunikasi itu harus bicara/dengan kata-kata? Bukankah diam itu juga adalah komunikasi dalam bentuk lain. Bukankah pada orang yang diam dan tidak berbicara sepatah katapun kita akan menemukan suatu makna komunikasi? Lalu, dimana bahasa dan makna dalam komunikasi itu sebenarnya? Mari diskusikan lebih lanjut.

BAHASA & MAKNA DALAM KOMUNIKASI
Bahasa dan Makna sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda, baik menyangkut istilah maupun substansi keduanya. Dalam komunikasi bahasa lebih dekat dengan kata-kata, baik yang bersipat lisan maupun nonlisan. Bahasa lisan inilah selanjutnya dalam kamus Yunani dikenal dengan verb, verbum, verbal (Ibrahim, 2005). Karena itu komunikasi dengan bahasa lisan ini dalam ilmu komunikasi disebut komunikasi verbal (verbal communication). Sementara bahasa non lisan merupakan bentuk komunikasi bahasa yang dilakukan melalui gerakan isyarat atau gesture dan bahasa tubuh atau body language (Cohen, 2009). Karena itu komunikasi bentuk ini selanjutnya lebih dikenal dengan komunikasi nonverbal (nonverbal communication).
Dalam hal substansi, bahasa hanyalah merupakan suatu simbol atau lambang yang digunakan dalam proses komunikasi. Sebagai sebuah simbol atau lambang, maka bahasa bersifat arbitrer, sangat sebarang, beragam, dan irreversibel (Ibrahim, 2005). Dengan kata lain, pilihan bahasa sangat ditentukan dengan apa yang ingin disimbolkan dengan bahasa tersebut. Dan untuk konteks ini, simbol dan yang disimbolkan merupakan rumusan sepadan yang dibuat konkret dalam proses komunikasi.
Lain halnya dengan bahasa yang bersifat kongkrit (simbol), ”makna” justru bersifat abstrak. Karena itu ”makna” nyaris tak terdefenisikan. Sebab, manfsirkan ”makna” pada dasarnya hanyalah bahasa yang bersifat kongkrit itu. Dalam proses komunikasi bahasa dan makna merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya senantiasa ada. Persoalannya yang selalu muncul adalah, tidak jarang dalam komunikasi kita hanya mampu memahami bahasa (simbol) nya saja, sementara makna justru tak didapatkan. Atau, kalaupun didapatkan, itu adalah makna yang baru, bahkan berbeda. Disinilah komunikasi yang dibangun tidak jarang mengalami masalah, kebuntuan dan kesalah-pengertian. Dengan kata lain, bahasa hanyalah sebuah simbol atau lambang yang digunakan untuk membawa makna tertentu dalam proses komunikasi. Karena itu, substansi yang dipertukarkan dalam komunikasi sesungguhnya bukanlah bahasa (simbol, lambang) nya, malainkan makna dibalik simbol/lambang tersebut.

MAKNA SEBAGAI SUBSTANSI KOMUNIKASI
Jika ”makna” merupakan substansi dalam komunikasi, maka maknalah yang harus diperoleh dari proses komunikasi yang kita lalukan. Karena itu, untuk keberhasilan komunikasi yang kita bangun, kita mesti memahami beberapa pertanyaan dalam kajian berikut ini.

Dimana letak “Makna” dalam komunikasi
Word don`t mean people`s means, demikian adagium komunikasi yang diungkapkan untuk mengingatkan kita mengenai bahasa dan makna dalam komunikasi (Ibrahim, 2005; Ibrahim, 2009b). Adagium di atas mengingatkan kita bahwa kata-kata (bahasa) sesungguhnya tidak mempunyai makna, manusia atau oranglah yang memberikan makna terhadap bahasa/kata-kata yang dibunyikan (Devito, 1997:490). Dengan demikian, ketika komunikasi dilangsungkan paling tidak ada dua orang yang memberikan makna dalam komunikasi, yakni sender/komunikator/pengirim pesan dan reciever/komunikan/penerima pesan.
Menyadari letak makna yang bukan lagi pada bahasa atau kata–kata,melainkan pada siapa yang menggunakan bahasa atau kata-kata itu, baik sebagai pengirim maupun penerima, maka sepatutnya kita mampu memilih bahasa atau kata-kata yang paling dekat dengan pemaknaan bersama. Sebab setiap orang pada prinsipnya dilahirkan dalam perbedaan pengatahuan dan pengalamannya. Dan setiap perbedaan ini senantiasa berpengaruh dalam manfsirkan sesuatu, termasuk memberikan makna dengan suatu bahasa atau kata-kata yang diucapkan.
Beberapa istilah yang selalu saya contohkan kepada mahasiswa ketika perkuliahan di kelas mengenai perbedaan bahasa dan makna ini, kata ”jemput” misalnya. Ketika kata ”jemput” didengarkan kepada umumnya orang Indonesia, maka ia akan memaknai kata itu dengan aktivitas mengambil sampai ke tempatnya. Sementara ketika ”jemput’ didengarkan kepada orang Melayu Malaysia, maka yang akan dipahaminya sebagai makna kata itu adalah mengundang atau undangan. Kesalahan memberikan makna pada satu simbol/bahasa yang sama ini bisa berakibat patal terhadap sebuah perilaku dan sikap komunikasi kita.
Contoh lain misalnya adalah penyebutan meja dengan ”meja”, ”mejo”, ”meje”, ”maktab”, ”table”, atau apapun sebutannya pada dasarnya sah-sah saja, dan tidak ada yang salah. Persoalannya adalah sebutan mana yang menjadi kesepakatan bersama antar partisipan. Seberapa mampu simbol/lambang bahasa tersebut mewakili pikiriran, perasaan dan maksud untuk kemudian memunculkan makna yang sama pada masing-masing orang yang berbeda. Lagi-lagi, pengetahuan dan pengalaman masing-masing itulah yang sebenarnya memberikan makna terhadap semua simbol/lambang tersebut. Inilah yang disebut dengan frame of reference (kerangka pengetahuan yang menjadi rujukan) dan field of eksperience (latar belakang pengalaman dalam hidupnya) yang memberikan panduan dalam memaknai suatu symbol/lambang dalam komunikasi (Ibrahim, 2009a; Liliweri, 2003).
Dengan demikian jelas bahwa, makna bukan terletak pada bahasa atau kata-kata yang diungkapkan dalam proses komunikasi, melainkan pada orang atau manusia yang menggunakan bahasa atau kata-kata tersebut. Karena itu, sikap yang harus dilakukan adalah; pertama, pilihlah bahasa atau kata-kata yang sama-sama dimengerti berdasarkan pengetahuan dan pengalaman budaya partisipan yang terlibat dalam komunikasi; kedua, jangan abaikan perbedaan latar belakang pengetahuan dan pengalaman setiap individu partisipan dalam memilih bahasa atau kata sebagai simbol atau lambang berkomunikasi; ketiga, sadarilah bahwa yang dipertukarkan dalam komunikasi kita sesungguhnya bukanlah bahasa atau kata-kata, melainkan makna yang ada di kepala masing-masing partisipan. Kerana substansi bahasa atau kata-kata hanya untuk mendekatkan makna yang hendak dipertukarkan diantara partisipan komunikasi.

Bagaimana “makna” dikomunikasi
Pertanyaan bagaimana ”makna’ dikomunikasikan mengingatkan saya pada pengalaman komunikasi yang sering terjadi dalam realitas sosial kita. Sebagai contoh, seringkali ketika kita ada masalah komunikasi dimana terjadinya ketidak-pahaman bahkan ketersinggungan dengan apa yang kita ucapkan. Pernyataan itu antara lain: ”sungguh saya tidak bermaksud demikian”, ”bukan itu yang saya maksudkan dengan...” dan seterusnya.
Realitasnya memang, seringkali kita tidak memaksudkan sesuatu yang orang lain pahami dari bahasa/perkataan kita. Sebaliknya juga tidak jarang kita tidak mampu membahasakan/mengatakan dengan baik apa yang kita maksudkan. Ungkapan ini biasa kita dengar dengan kata ”maksudku bukan demikian”, ”yang saya maksudkan bukan seperti itu”, dan sebagainya.
Pada realitas pertama, pilihan bahasa/kata-kata yang digunakan dalam komunikasi memungkinkan pada setiap orang partisipan memberikan makna lebih dari satu alias samar. Ini mungkin disebabkan kosa katanya yang ambigu atau mungkin juga ketidak-tahuan kita dengan latar belakang partisipan dan bahasa komunikasinya, sehingga munculnya pemberian makna yang lain, yang membuat seseorang tersinggung dan sebagainya.
Sementara pada realitas kedua, kita tidak mampu memilih bahasa/kata-kata yang dapat mewakili makna yang ingin disampaikan kepada orang lain, sehingga reduksi makna terjadi begitu besar, bahkan menghilangkan sama sekali makna dari pilihan bahasa/kata-kata yang dijadikan simbolnya.
Terhadap persoalan dalam dua realitas komunikasi di atas, ada beberapa sikap yang penting diperhatikan; pertama, perluas wawasan, pengetahuan dan pengalaman lintas budaya patisipan, baik menyangkut perbedaan antaretnik, antaragama, antarras, antargolongan, antarprofesi dan sebagainya. Sebeb setiap orang senantiasa hidup dan berkomunikasi sesuai dengan apa yang diajarkan oleh lingkungan dan budayanya, terutama pengetahuan dan pengalamannya (Ibrahim, 2009a); kedua, perbaiki sekecil apapun kesahalan dalam hal bahasa dan penggunaannya. Dan jika diperlukan, jangan pernah sungkan untuk bertanya apakah bahasa yang kita gunakan dipahami dengan baik dan secara sama oleh lawan komunikasi kita; ketiga, tidak ada makna tafsiran tunggal dalam bahasa/kata-kata, kecuali perspektif mana yang hendak digunakan bersama dalam menafsirkan dan memberikan makna bersama dalam komunikasi itu; keempat, melalui keseluruhan proses itulah makna akan terus dipertukarkan dalam aktivitas komunikasi sosial manusia (makna dikomunikasikan).

Apa yang membentuk “makna” dalam Komunikasi
Pada bagian dimuka telah sedikit penulis diskusikan bahwa makna bukan terletak pada bahasa atau kata-kata yang ucapkan, melainkan pada orang atau siapa yang mengucapkan/mendengarkannya. Karena itu, jika ditanyakan apa yang membentuk makna dalam komunikasi? Maka jawabannya ada pada keseluruhan latar belakang partisipan yang terlibat dalam komunikasi itu, baik latar belakang pengetahuan (frame of reference) maupun latar belakang pengalaman (field of eksperience).
Dalam kajian komunikasi, latar belakang pengetahuan (frame of reference) adalah segala bentuk pengetahuan kognitif yang dimiliki oleh seseorang selama hidupnya yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi. Secara sederhana ini adalah proses penambahan ilmu pengetahuan dan wawasan manusia dari sejak pertama kali dilahirkan ke dunia hingga ia kembali meninggalkan dunia. Bentuk ini layaknya proses seorang anak bayi yang baru dilahirkan, dari hari ke hari, bulan ke bulan hingga tahun ke tahun ia memperolah pengetahuan, tambahan kosa kata bahasa misalnya, hingga ia menjadi dewasa, berpendidikan dan kaya akan pengetahuan (bahasa) komunikasi.
Perbedaan latar belakang pengetahuan kognitif itulah yang kita lihat pada perbedaan cara dan kemampuan komunikasi anak-anak, kalangan remaja, dewasa, orang tua, kelompok bermain, profesional, gender dan sebagainya.
Sementara itu, latar belakang pengalaman (field of eksperience) adalah kemampuan komunikasi yang diperoleh seseorang melalui sejarah hidup dan interaksinya dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar. Setiap orang yang hidup dalam lingkungan sosial, budaya dan lingkungan yang berbeda senantiasa mempunyai cara/kemampuan komunikasi yang berbuda pula satu dengan lainnya. Budayalah yang mengajarkan kepada setiap orang mengenai apa yang baik dan tidak baik, apa yang patut dan tidak patut, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, budayalah yang mempengaruhi cara hidup dan komunikasi manusia. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Edward T. Hall ketika mendefenisikan mengenai budaya dan komunikasi. Menurutnya, The Culture is a the total way of life of a people, composed of their learned and shared behavior patterns, values, norms, and material objeks.
Pentingnya budaya dalam membentuk cara komunikasi seseorang, maka dapat dipastikan bahwa orang yang kurang pengalaman dalam sejarah hidupnya, atau hanya mempunyai pengalaman berkomunikasi dengan kelompok sosial budaya yang sama atau persis sama akan mengamali persoalan ketika berkomunikasi dengan kelompok lain yang berbeda jauh latar belakang sosial budaya. Orang yang demikian tidak jauh beda dengan apa yang diistilahkan ’bagai katak dalam tempurung”, yang hanya tau dengan dunianya sendiri, sehingga ia menjadi gagap budaya (culture sock) ketika keluar melihat dunia/budaya hidup orang lain. Karena itu, mempelajari berbagai cara hidup orang lain tentu akan sangat membantu kita dalam membangun komunikasi yang baik.

Beberapa prasyarat memahami “makna” dalam Komunikasi
Dari berbagai uraian yang telah didiskusikan dalam tulisan di muka, kini saatnya untuk kita melihat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat memahami makna dalam komunikasi. Prasyarat itu adalah:
Pertama, bangunlah kesadaran bahwa berkomunikasi itu bukan hanya sekedar keterampilan alamiah sebagai makhluk sosial, melainkan suatu keterampilan yang harus selalu ditingkatkan, diperbaiki dan dibangun sebagai suatu konsekuensi logis yang dinamis. Apalagi dalam konteks sosial budaya yang majemuk dan plural, yang memungkinkan setiap orang berbeda dalam berkomunikasi dan memberikan maknanya.
Kedua, terbukalah terhadap kemungkinan pemberian makna yang berbeda dari partisipan terhadap simbol/lambang yang digunakan dalam berkomunikasi-meskipun kita harus berupaya segenap kemampuan untuk mampu melahirkan makna yang sama dalam berkomunikasi. Sebaliknya, kita juga mesti memberikan peluang kepada orang lain memberikan makna tertentu berdasarkan perspektif sosial dan budaya yang dimilikinya, sebagaimana kita juga pasti selalu memberikan makna tertentu pada simbol/lambang komunikasi berdasarkan perspektif yang kita punyai.
Ketiga, sadarilah bahwa makna bukan terletak pada kata-kata, melainkan pada siapa yang menggunakan kata-kata itu (word don`t mean people means). Karena itu jangan terjebak hanya dengan dan pada perbedaan bahasa atau kata-kata. Tempatkan bahasa dan kata-kata yang berbeda betul-betul hanya sebagai simbol atau lambang yang digunakan untuk mendekatkan makna dalam komunikasi yang dibangun. Dimana makna itulah sebenarnya yang hendak kita pertukarkan dan komunikasikan melalui pilihan simbol bahasa atau kata-kata itu.
Keempat, teori komunikasi mempercayai bahwa segala sesuatu tidak ada yang bebas konteks (Ibrahim, 2009b), termasuk makna. Karena itu, untuk menemukan makna sebenar yang diinginkan dari proses komunikasi yang dilangsungkan, kita mutlak perlu memahami konteksnya. Mengenai konteks komunikasi, sila baca kembali dalam Ibrahim, 2009a & 2009b.
Kelima, apapun bentuk dan tingkat komunikasi yang dibangun, yang mesti dicari adalah makna bersama atau makna KITA, bukan makna saya atau makna anda. Jika masih makna saya atau makna anda yang diinginkan, maka yakinlah bahwa komunikasi tersebut tidak akan kuat, karena tidak melahirkan wadah kesepahaman bersama dalam konsep KITA (www.keluargabahagia.com). Demi wadah KITA ini, setiap partisipan mesti rela keluar dari wadah sendiri (yang ekslusif) menuju wadah baru yang dibangun bersama, dengan makna bersama dan untuk kepentingan bersama. Disinilah substansi komunikasi sesungguhnya yang efektif dan dapat menjadi perekat hubungan sosial yang harmonis (Ibrahim MS, 2009b).

PENUTUP
Makna memang tidak tunggal, sebagaimana bahasa juga sangat varian dan beragam. Akan tetapi sebuah komunikasi yang baik dan efektif sangat ditentukan oleh kemampuan melahirkan makna yang sama diantara partisipan, meskipun dengan bahasa yang tidak persis sama bahkan berbeda. Untuk konteks inilah diperlukan pemahaman yang baik mengenai hakikat bahasa dan makna dalam komunikasi. Apa fungsi bahasa dan dimana sesungguhnya letak makna dalam bahasa dan komunikasi yang kita bangun.
Dengan mengetahui beberapa hal di atas diharapkan kita memiliki sedikit pengetahuan untuk memperbaiki perilaku, kualitas dan kemampuan komunikasi sosial yang dibangun dalam hidup dan kehidupan kita. Wallahu a`lamu bish shawab.







DAFTAR BACAAN


Cohen, David. 2009. Body Language….

Devito, A. Joseph. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Edisi Terjemahan. Jakarta: Prefessional Books.

Ibrahim MS. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Ibrahim MS. 2009a. Komunikasi Antarbudaya. Edisi Revisi (dalam proses Terbit) Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Ibrahim MS. 2009b. Hidup dan Komunikasi. Pontianak: STAIN Pontianak Press. (dalam proses terbit)

Dedy Mulyana. 2002. Ilmu Komunikasi: Suatu pengantar. Bandung: Rosdakarya.

Liliweri. 2003a. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Pustaka Pelajar; Jogjakarta.

Liliweri. 2003b. Makna Budaya dalam Komunikasi antarbudaya. LKIS; Jogjakarta.

Stephen W Little John. 1992 : Theories of human Communication,Wadsworth Publishing Campany Belmont Calofornia,Fourth edition,USA.

www.keluargabahagia.com, Bahagia dalam Relasi Sosial; Diakses tanggal 10 Agustus 2009.