Suntingan (1 bagian) dari buku Pantang Larang Melayu Kalimantan Barat
Ditulis oleh: Ibrahim MS, Yusriadi dan Zaenuddin
Diterbitkan oleh STAIN Press Januari 2012
Pendahuluan
Pada bagian ini penulis akan
paparkan mengenai kearifan komunikasi dalam pantang larang masyarakat Melayu
Nanga Jajang. Apa dan bagaimana sesungguhnya makna atau pesan yang
dimaksudkan dalam pantang latang itu. Adakah pantang larang betul-betul
memberikan makna sebagaimana dalam tekstualnya, atau hanya merupakan sarana dan
strategi dalam membangun komunikasi sosial dalam masyarakat Melayu di Nanga
Jajang.
Selain persoalan makna, pada bagian ini juga akan dipaparkan
beberapa hasil analisis mengenai beberapa hal yang terkait dengan pantang
larang itu, seperti sejarah sosial dalam pantang larang, asal usul pantang
larang, kekuatan pantang larang untuk dipatuhi, ranah keberlakukan pantang
larang, serta dinamika sosial dan komunikasi masyarakat terhadap pantang
larang.
Pantang Larang dalam
Masyarakat
Asal Usul Lahirnya Pantang Larang
Secara jelas memang tidak ditemukan data mengenai asal usul lahirnya
pantang larang dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Hal ini disebabkan kebanyakan
masyarakat saat ini menerima begitu saja pantang larang dari orang-orang tua
mereka.
Mereka lebih banyak hanya
sebagai pewaris dari tradisi pantang larang yang ada. Karena itu ketika
peneliti melakukan kajian di lapangan, dan menanyakan kepada beberapa informan
mengenai asal usul pantang larang itu sebenarnya? Mereka hanya bisa menjawab
bahwa itulah yang mereka dapatkan dari orang-orang tua mereka. ”iyak mih joguk urang tua kami dulu madah,
jadi kami ngimai magang pituk, kami pun na tau apa roti sebonar pantang larang
iyak”
Untuk
menjelaskan pandangan mereka dengan pantang larang yang mereka warisi,
paling-paling masyarakat mencoba untuk selalu menghubungkan antara pantangan dengan
peristiwa hidup yang mereka lalui. Dengan kata lain, apa yang dianggap
masyarakat sebagai akibat dari pantang larang itu mereka yakini dari peristiwa
hidup yang dialami oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
data yang demikian, maka dapat dijelaskan bahwa pantang larang yang hidup dalam
tradisi sosial masyarakat Melayu Nanga Jajang umumnya berasal dari budaya dan
tradisi sosial masyarakat Melayu setempat. Sebagai masyarakat yang memiliki
sejarah kuat dengan kedatangan Islam, bahkan identik sekali dengan Islam,
banyak hal dari kehidupan orang Melayu yang dipengaruhi oleh Islam, di antaranya
termasuk pantang larang. Beberapa bentuk budaya hidup dan tradisi sosial pada
masyarakat Melayu di Nanga Jajang yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama dan
moral seperti larangan melangkahi al-Qur`an, larangan melewati di depan orang
yang sedang shalat, dan sebagainya. Begitupun pengaruh moral dan akhlak sosial yang
banyak dijumpai dalam pantang larang orang Melayu di Nanga Jajang seperti `tidak boleh makan sambil berjalan`, `tidak
boleh duduk di depan pintu`, `tidak boleh bersiul di malam hari` dan
sebagainya.
Bagaimana
Pantang Larang tersebut dipelihara dalam tradisi Masyarakat Melayu Nanga
Jajang? Hasil wawancara di lapangan mendapatkan bahwa umumnya pantang larang
diwirisi secara turun temurun dari orang-orang tua mereka. Meskipun pada
sebagian informan mengakui bahwa pantang larang yang diketahuinya didapatkan
dari kampung lain, Azmi (KP: 3 Oktober 2009) misalnya menyebutkan pantangan
dalam `menugal padi di uma na tau
betangkup, tapi harus ada lubang penyawa``.
Ada juga yang mengakui mendapatkan pantang larang dari buku yang didapatkannya
di kampung lain, Ali (KP: 4 Oktober 2009) misalnya menyebutkan pantangan tentang
hari-hari yang baik untuk melakukan sesuatu dalam kehidupan.
Dengan
demikian jelas bahwa pantang larang yang hidup dalam masyarakat Melayu Nanga
Jajang umumnya berasal dari tradisi budaya yang diwarisi secara turun temurun
dari orang-orang tua mereka. Meskipun sebagian kecil lainnya mempercayai pantang
larang yang mereka dapatkan di kampung-kampung Melayu lainnya, dan bahkan dari
bacaan-bacaan buku.
Selain itu,
ketentuan agama Islam seperti juga turut menjadi awal bagi kemunculan pantang
larang Melayu di Nanga Jajang, sebagai contoh adalah pantang larang yang
terkait dengan etika-etika beragama, seperti al-qur`an yang harus dijaga dan
dipelihara, orang sedang shalat harus dihormati. Dari sini lahirlah setidaknya
dua pantang larang. Mengenai al-qur`an lahir pantang larang ”tidak boleh
melangkahi al-qur`an, takut perut kembang”. ”tidak boleh melintasi di depan
orang yang sedang shalat, kelak dijilat api neraka”.
Dalam
ketentuan Islam kedua pekerjaan ini memang tidak boleh dilakukan. Karena itu,
orang-orang tua memperkuat larangan tersebut dengan menambahkan hal-hal yang
menakutkan jika larangan tersebut dilanggar, dengan `kembang perut` (bagi yang
melangkah al-qur`an) dan `dijilat api neraka` (bagi yang melintasi di hadapan
orang yang sedang shalat). Dengan itu tampak bahwa ketentuan-ketentuan agamalah
yang mendasari lahirnya pantang larang tersebut.
Klasifikasi
Pantang Larang: Fungsi dan Kedudukannya
Pada bab sebelumnya telah
dideskripsikan secara lengkap dan apa adanya dari pantang larang yang ada dalam
masyarakat Melayu Nanga Jajang. Dari deskripsi tersebut tampak bahwa pantang larang
yang hidup dalam tradisi sosial masyarakat itu beragam. Bahkan hampir semua aspek kehidupan masyarakat
Melayu ada pantang larangnya. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa betapa pantang
larang (pada prinsipnya) merupakan suatu tuntunan hidup dan kehidupan bagi
orang Melayu di Nanga Jajang. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya, pemaknaan,
fungsi dan kekuatan pantang larang telah mengalami reduksi bahkan eksistensinya
yang luar biasa itu sampai ke hari ini mulai dipertanyakan.
Pentingnya
kedudukan dan fungsi pantang larang dalam sejarah sosial dan kehidupan
masyarakat Melayu Nanga Jajang dapat dilihat dari kompleksitas aspek yang
dikenai dengan pantang larang tersebut. Deskripsi dan klasifikasi pantang larang
di atas yang meliputi hampir seluruh aspek hidup, menjadi bukti yang tak
terbantahkan dengan kedudukan dan fungsi pantang larang ini pada masyarakat
Melayu Nanga Jajang.
Dalam hal
tuntunan etika sosial kemanusiaan dan akhlak dalam keluarga juga dapat
ditemukan dalam beberapa pantang larang seperti `larangan duduk di depan pintu`
sesungguhnya mempunyai makna tuntunan
akhlak dan sopan santun yang tinggi. Sebab duduk di depan pintu itu dapat
mengganggu bagi orang lain keluar masuk rumah pada satu sisi, pada sisi lain
tentu saja kurang elok dipandang bagi seorang anak gadis yang duduk-duduk di
depan pintu. Tuntunan akhlak sedemikian lebih dapat dibuktikan dibandingkan
dengan ancaman tekstual sebagai `balang tunang`, sebab substansi duduk di depan
pintu berbeda jauh dengan balang tunang. Meskipun bagi orang-orang Melayu
dahulu, persoalan akhlak dan sopan santun sangat diperhitungkan dalam memilih
seorang pasangan hidup yang baik. Jika hendak dicari hubungan makna tekstual
dengan kontekstual dalam pantang larang tersebut, maka pernyataan terakhir
mungkin lebih memiliki relevansinya, bahwa larangan duduk di depan pintu
sebagai satu penilaian terhadap seorang perempuan yang berakhlak baik, yang
patut dijadikan isteri atau tidak.
Dalam hal
usaha, ekonomi dan ikhtiar juga ditemukan tuntunan yang jelas dalam pantang larang
yang ada seperti tidak boleh `melopus` ketika akan berangkat memancing atau
berburu. `Melopus` itu dimaknai sebagai simbol dalam menikmati sesuatu dengan
tidak sungguh-sungguh atau bukan sebenarnya. Jika berburu dan memancing tidak
dilakukan dengan sungguh-sungguh atau tidak dengan usaha sebenarnya
dikhawatirkan tidak akan mendapatkan apa-apa alias `pelopusah`.
Tuntunan
lainnya adalah `tidak boleh melangkahi juran pancing` atau `melangkahi
senapang, kujur (tombak), seropang (trisula) dan alat sejenisnya untuk berburu`.
Pantangan ini mengajarkan paling tidak dua hal; pertama, melangkahi benda-benda tersebut menandakan bahwa orang
tersebut tidak sedang sungguh-sungguh dalam keadaan siap berburu atau menangkap
sesuatu. Kedua, melangkahi
benda-benda tersebut bisa berakibat rusaknya alat-alat berburu itu, atau malah
membahayakan diri kita sendiri. Makna yang manapun terjadi, maka tetap saja
akibatnya adalah kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari usaha memancing atau
berburu itu.
Pertanian
atau ladang huma yang merupakan sumber penghasilan utama masyarakat juga mempunyai
tuntunan yang sangat banyak dalam pantang larang. Bahkan untuk persoalan yang
satu ini, pantang larang sudah ada sejak dari aktivitas memilih lahan hingga
panen dan pasca panen. Untuk konteks ini sila lihat kembali klasifikasi pantang
larang dalam peladangan/huma pada bab sebelumnya (lihat juga Ibrahim MS, 2008).
Pesan dalam Pantang Larang
Berdasarkan data dan
komunikasi pribadi penulis dengan beberapa narasumber di lapangan didapati
bahwa ada banyak pesan yang hendak disampaikan melalui pantang larang, baik
secara langsung dan sederhana maupun secara tidak langsung dan mendalam.
Secara
langsung dan sederhana pantang larang dibuat untuk menyampaikan pesan tekstual,
sebagaimana dibunyikan dalam teks pantangan dan larangan. `tidak boleh memanjat
batang pisang, takut kemaluannya bengkak`. pantang larang dalam konteks makna
tersebut adalah sebatas larangan memanjat pokok pisang, karena dikhawatirkan
dapat membuat kemaluan orang yang memanjatnya menjadi bengkak.
Contoh lain misalnya `tidak boleh memandang orang yang
sedang buang air, takut matanya tumbir (sakit)`. Secara tekstual dan sederhana,
kita tidak dibenarkan melihat orang yang sedang buang air karena dikhawatirkan
akan berakibat mata kita menjadi sakit (tumbir).
Begitupun pada contoh pantang larang `tidak boleh melangkahi
pisau yang terlentang`. Secara tekstual, masyarakat Melayu akan memaknai
pantangan ini sebagai satu larangan saja bahwa kita tidak boleh melangkahi
pisau yang sedang terlentang (mata pisaunya menghadap ke atas).
Semua pantang larang yang ada dalam masyarakat Melayu
Nanga Jajang memiliki makna tekstual seperti itu, meskipun pada sebagian pantang
larang, agak sukar mencari keterkaitan secara langsung dan meyakinkan antara
teks pantang larangnya dengan ancaman dan akibat yang didapatkan ketika
melanggarnya. Karena itu, sebagiannya menganggap teks pantang larang itu hanya
sebagai bentuk menakut-nakuti atau mengancam saja, bukanlah sesungguhnya makna
yang ingin disampaikan. Hal ini tampak dalam pernyataan salah satu narasumber
di lapangan “
kebanyakan pantang larang iya` hanya untuk ngidui
magang, banyak pantang larang yang na` dimai agik ge urang kinih, kerna banyak
nebiyak kita yang na takut lagi dengan didui magang”
(Uju Unui, 29 November 2009).
Secara tidak langsung, semua pantang larang yang ada
dalam masyarakat mempunyai makna terdalam, yang melebihi dari sekedar makna
tekstual di atas. Dan makna itulah sebenarnya yang harus didapatkan oleh setiap
orang yang dikenai pantangan dan larangan tersebut, sebab makna terdalam inilah
substansi dari komunikasi pantang larang yang ada. Makna terdalam inilah
sebenarnya yang mengandung banyak bimbingan dan tuntunan hidup bagi orang
Melayu. Makna terdalam ini pulalah yang sesungguhnya mempunyai rasionalitas
terhadap realitas hidup masyarakat hingga saat ini.
Hilangnya pemahaman akan pesan terdalam dari pantang larang
yang ada diduga menjadi alasan hilangnya kekuatan pantang larang dalam
memberikan bimbingan dan tuntunan hidup pada masyarakat Melayu saat ini, sebab
dengan hanya menangkap makna teks, maka rasionalitas dan pembuktiannya tidak
selalu dapat ditemukan dalam pantang larang yang ada.
Kembali ke contoh di muka, `tidak boleh memanjat batang
pisang, takut kemaluannya bengkak`, bukanlah sekedar menyampaikan pesan
tekstual sebagaimana di atas, melainkan adanya makna terdalam di balik itu yang
lebih rasional dan logis. Makna tersebut adalah, realitas pokok pisang yang
lemah dan tidak kuat untuk dipanjat, sebab kemungkinan pokok pisang akan patah
atau tumbang jika dipanjat. Jika itu yang terjadi maka dia dapat menyebabkan
bahaya pada orang yang memanjatnya. Makna lainnya yang mungkin cocok dengan
pantang larang tersebut adalah, kenyataan pokok pisang itu merupakan tumbuhan
yang lembab dan mengandung banyak air, batangnya yang semak dengan kulit
dahannya kemungkinan menjadi tempat bersarang semut, ulat dan semacamnya. jika
yang demikian terkena pada kemaluan orang yang memanjatnya, tentu dapat
menyebabkan kemaluannya gatal dan bengkak-bengkak. Karena itu pantang larang
tersebut menganalogikan (menakuti-nakuti) memanjat pisang itu dengan bengkaknya
kemaluan. Kemaluan yang merupakan privasi setiap orang, tentu akan dijaga
dengan sekuat tenaga oleh setiap orang dari persialan `kebengkakan` tadi. Adanya
makna terdalam ini dapat dibuktikan dengan realitas bahwa ada orang yang memanjat
pokok pisang tapi tidak mengalami pembengkakan kemaluannya, sebagaimana dalam
makna tekstual pantang larang yang ada.
Begitupun pada contoh lain `tidak boleh memandang orang
yang sedang buang air, takut matanya tumbir (sakit)` dan `tidak boleh
melangkahi pisau yang terlentang`. Pada pantang larang pertama makna
terdalamnya adalah tuntunan etika dan moral; dimana seseorang dianggap tidak
beretika dan bermoral jika dengan sengaja melihat orang lain yang sedang buang
air. Apabila dianalisis dari sisi agama juga jelas bahwa melihat aurat adalah suatu perbuatan dosa
dan karenanya dilarang. Untuk kita semua pahami bahwa orang Melayu adalah
termasuk salah satu komunitas yang paling pertama menerima dan memeluk Islam,
karena itu wajar jika persoalan Aurat menjadi bimbingan norma yang dipentingkan
dalam realitas sosial mereka. Itulah salah satu makna penting dari pantang
larang tersebut. Demikian pula pada pantang larang kedua, makna terdalamnya adalah
kekhawatiran akan bahaya terluka, sebab posisi pisau terlentang adalah mata
pisaunya sudah mengahap ke atas. Jika terinjak atau kita terjatuh menimpa pisau
tersebut maka akan sangat membahayakan.
Itulah
beberapa makna pesan yang ingin disampaikan dalam pantang larang yang dalam
masyarakat Melayu Nanga Jajang, baik pesan tekstual (yang dipantang dan
dilarang) maupun makna tekstual yang terdalam (bimbingan dan tuntunan hidup).
Kekuatan Pantang Larang dalam Menuntun Hidup
Pantang larang akan terus hidup
ketika masyarakat meyakini kebenaran dari peristiwa yang mereka alami dalam
pengalaman hidup mereka ada kaitannya dengan pantangan dan larangan yang mereka
patuhi. Dalam konteks ini, pantang larang akan semakin kuat apabila dalam
kehidupan sehari-hari mereka menemukan keterkaitan suatu peristiwa dengan
pantang larang yang ada. Sebaliknya,
pada pantang larang yang tidak mereka temui akibat jika melanggarnya, maka ada
kecenderungan, bahkan sebagian besarnya mulai mengabaikannya. Kecuali itu,
pantang larang dalam aktivitas pertanian dan perladangan masih banyak
dipercayai dan dipatuhi oleh masyarakat Melayu Nanga Jajang hingga hari ini.
Berikut akan diuraikan secara rinci keyakinan terhadap pantang larang dalam
kaitannya dengan peristiwa yang terjadi, dinamika kepercayaan terhadap pantang
larang dan kepercayaan yang berkenaan dengan pantang larang masyarakat.
Keyakinan terhadap Pantang Larang & Peristiwa yang terjadi.
Besarnya kepercayaan
masyarakat Melayu terhadap kebenaran pantang larang sangat erat kaitannya
dengan peristiwa tertentu yang terjadi dalam pengalaman mereka. Peristiwa
itulah yang mereka yakini berkaitan atau menjadi akibat dari ketidak-patuhan
terhadap pantang larang yang ada. Kaitan antara keyakinan terhadap pantang
larang dalam hubungannya dengan
peristiwa yang terjadi dapat disebutkan beberapa contoh berikut:
Keluarga Didi
(36 tahun) yang `berpantang menanam jolik jujur (sejenis tanaman padi jagung)
di tengah ladang`, menceritakan suatu peristiwa pernah terjadi ketika mereka
berladang bedonay
dengan orang lain, dan ternyata tampa sepengetahuannya orang tersebut menanam
jolik jujur di tengah (batas/antara) ladang mereka. Akibatnya anak kandung Didi
sakit-sakitan, hingga akhirnya meninggal dunia (KP: Uju Unui, 29 November
2009). Oleh Didi dan keluarga, sakit anaknya hingga meninggal itu adalah
disebabkan ditanamnya jolik jujur di tengah ladang mereka. Karena itulah peristiwa
serupa terus mereka percayai sehingga semakin menguatkan eksistensi pantang larang
tersebut bagi diri mereka. Mereka terus mempercayai bahwa karena terlanggar
pantang larang ”menanam jolik jujur” di ladang mereka itulah anaknya jatuh
sakit hingga meninggal dunia.
Keluarga Sahdi (30 tahun) yang pernah
melanggar pantangan `tidak boleh keluar rumah terlalu jauh (seperti masuk
hutan) bagi orang tua yang baru dapat anak bayi, sebelum bayi itu diselamatkan`.
Akibatnya justru anak bayinya yang meninggal. ”jadi hari ketiga ya`, ukan ia ka` ngamik aku nyelamat anak ya, tapi
beruwah” (Mak
Ngah: KP, 2 Oktober 2009). Kronologi peristiwa ini adalah; beberapa hari
setelah kelahiran anaknya, Sahdi pergi ke hutan, sementara anak bayinya belum
diselamatkan (dilakukan prosesi pembacaan doa selamat). Akibat setelah itu,
Sahdi bukan lagi mengundang kehadiran orang-orang (termasuk Bidan kampung tadi)
untuk acara selamatan anak bayi, melainkan untuk membacakan doa tahlil dan
arwah bagi anak bayi yang baru saja meninggal.
Pengalaman
yang lain diungkapkan oleh Ali (55 tahun). Katanya, dahulu ketika isterinya
sedang hamil, dia pernah membunuh trenggiling (sejenis hewan liar yang bersisik
keras dan berkuku tajam) dan memotong jari tangannya. Kemudian begitu isterinya
melahirkan, dia mendapatkan anaknya lahir dengan kondisi buntung jari
tangannya. Buntungnya jari tangan anak bayinya yang baru lahir itu dipercayai
sebagai akibat (kenawak/karma) dari buntungnya jari tangan hewan (teringgiling)
yang dipotongnya dahulu. Peristiwa inilah yang dipercayainya sebagai akibat
dari pelanggaran atas pantangan tersebut, dimana kita `tidak boleh melakukan
hal-hal yang aneh ketika isteri sedang hamil` (KP: 4 Oktober 2009).
Pengalaman
terhadap peristiwa tersebut merupakan gambaran dari sebagian kecil pantang
larang dan bukti yang dijadikan penguat kepercayaan masyarakat Melayu Nanga
Jajang terhadap pantang larang yang ada. Pada sebagian besar pantang larang
lainnya, justru jarang dapat dibuktikan kebenarannya. Karena itu hanya sedikit
dari masyarakat Melayu yang benar-benar mempercayai kekuatan pantang larang
itu, kecuali yang berkaitan dengan perladangan yang masih banyak dipatuhi
(lihat deskripsi pantang larang dalam perladangan. Lihat juga Ibrahim MS, 2008).
Dinamika Kepercayaan terhadap Pantang Larang
Sebagai suatu produk budaya
yang lahir dari sejarah hidup dan kehidupan dalam pengalaman sosial suatu
masyarakat, pantang larang hidup dalam dinamikanya tersendiri. Dinamika
dimaksud bisa dalam bentuk perubahan bentuk pantang larang hingga kekuatannya
untuk dipercayai dan dipatuhi dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam
masyarakat Melayu Nanga Jajang, pantang larang yang ada juga tumbuh dan
berkembang dalam dinamikanya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal
menyangkut bentuk pantang larang dan kekuatannya untuk dipatuhi dalam
masyarakat.
Dalam hal
bentuk, perjalanan sejarah masyarakat Melayu pada satu sisi, dan wilayah
geografis yang menjadi tempat hidup komunitas Melayu pada sisi lain telah
menjadikan perubahan dan perbedaan pantang larang. Hal ini dapat dilihat dari
perbedaan bentuk pantang larang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang-Kapuas
Hulu dengan Melayu Sintang, Melayu Sambas, Melayu Pontianak, Melayu Riau,
Melayu Semenanjung dan sebagainya.
Dalam hal
kekuatannya untuk dipatuhi, tampak jelas bahwa perjalanan waktu pada satu sisi
dan tantangan pengaruh sosial di sisi lain telah memberikan dinamika tersendiri
dan luar biasa terhadap pantang larang Melayu. ”Dulu` pantang larang memang paling di patuhi urang, nesik berani urang
melangar pantang, kerna kalau melangar pantang pasti terjadi sesuatu, iyak mih
kepercayaan urang tua dulu`”, begitulah pernyataan seorang informan
di lapangan ketika diminta pendapatnya mengenai pantang larang itu. Dengan
sikap yang demikian, maka jelas bahwa pantang larang pada masyarakat Melayu
dahulu betul-betul menjadi penuntun hidup mereka, baik dalam hubungan sosial
sesama manusia, manusia dengan kekuatan ghaib maupun hubungan manusia terhadap
lingkungan dan alam.
Hal senada
juga ditemukan dari informan lain di lapangan, sebagaimana yang dilaporkan oleh
Yusriadi dalam catatan lapangannya. Menurut masyarakat Melayu Nanga Jajang, ”Pantang
larang dipakai, dilanjutkan, sebagai cara untuk mengingat-ingat agar anak tidak
dianggap durhaka (deraka) kepada orangtua. Kita hidup, dan tahu tentang
kehidupan dari orangtua. Kita dilahirkan menjadi anak-anak. Dahulu, kalau orangtua
sudah mengatakan pantang, sebagai anak tidak pernah berani membantah. Ikut
saja. Kalau dahulu, percaya saja
langsung”.
Dengan
demikian jelas bahwa kepatuhan masyarakat Melayu terhadap pantang larang bukan
saja karena makna dan tuntunan yang disampaikan dalam bunyi pantang larang,
melainkan juga kepatuhan terhadap orangtua yang mengingatkan pantang larang
itu. Dalam kajian komunikasi antarpribadi (interpersonal
of communication), pola inilah yang disebut dengan dimensi isi dan dimensi
hubungan dalam komunikasi (Devito, 1997; Ibrahim MS, 2009b).
Efektivitas
komunikasi dalam dimensi isi diukur dari tingkat penerimaan isi pesan yang
disampaikan. Semakin baik penerimaan pesan hingga perubahan sikap dan perilaku,
semakin berhasillah komunikasi antarpribadi. Sementara efektivitas komunikasi
dalam dimensi hubungan bukanlah semata-mata diukur dari penerimaan isi pesan,
melainkan faktor penyebab menerima pesan dan cara menerima pesan itu, dimana
sebuah pesan akan diterima lebih disebabkan karena hubungan tertentu antara
komunikator dengan komunikan.
Kaitannya
dengan kajian ini, maka dimensi isi dalam komunikasi pantang larang itu
menyangkut makna teks dan konteks dari pantang larang yang ada. Sedangkan dimensi
hubungan dalam pantang larang itu menyangkut kepatuhan terhadap siapa yang
mengingatkan pantang larang itu. Itulah kepatuhan dan penerimaan apa adanya
dari pantangan dan larangan yang ditetapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya
dahulu.
Bagaimana
dengan realitas sosial masyarakat Melayu Nanga Jajang dengan pantang larang
yang ada. Pengakuan beberapa narasumber di lapangan menunjukkan adanya perbedaan
kepatuhan antara orang-orang tua dahulu dengan kondisi sosial masyarakat Melayu
saat ini, di mana telah terjadinya pergeseran budaya dan cara hidup yang cukup
signifikan. Jika pada masyarakat Melayu dahulu, pantang larang masih memiliki
kekuatan tuntutan atas perilaku hidup masyarakat, maka sekarang pantang larang
oleh sebagian besar generasi muda Melayu tidak lebih sekedar cerita pengalaman
sejarah yang tidak lagi dihiraukan.
Mengapa degradasi
kekuatan pantang larang sebagai tuntutan hidup terjadi dalam masyarakat Melayu Nanga
Jajang? Untuk menjawab itu paling tidak ada tiga hal penting yang dapat
dikemukakan:
Pertama, Perkembangan ilmu pengetahuan dan tingkat pemikiran masyarakat Melayu,
khusus generasi mudanya, sehingga ada kecenderungan bagi mereka untuk mencari
rasionalisasi (logika berpikir yang baik, sistematis dan argumentatif) terhadap
sesuatu, termasuk pantang larang. Dalam konteks ini, banyak dari pantang larang yang sukar ditemukan
rasionalisasinya menurut mereka. Bahkan bagi generasi ini, peristiwa yang
selama ini diyakini oleh orang-orang tua sebagai berkaitan dengan pantangan dan
larangan sesungguhnya suatu kebetulan saja, atau dikait-kaitkan begitu saja.
Karena itu, generasi ini mulai berpikir kritis dan cendrung tidak mempercayai
pantang larang dan akibatnya sebagaimana diyakini oleh generasi tua.
Kedua, Pengaruh budaya global yang ditandai dengan keterbukaan informasi dan
komunikasi telah turut membuka wawasan, pengalaman dan cakrawala berpikir masyarakat. Dengan
kondisi ini, sadar ataupun tidak, perlahan namun pasti mereka mulai
mengkritisi, mengevaluasi dan selanjutnya menentukan pilihan-pilihan cara hidup
mereka, termasuk dalam menata hubungan sosial kemanusiaan, lingkungan dan alam.
Ketiga, Jika pantang larang dapat disebut sebagai warisan budaya, maka
sesungguhnya telah terjadi reduksi makna yang sangat besar dalam pewarisan
nilai budaya pantang larang itu dari generasi tua ke generasi muda saat ini. Dari
generasi pertama yang menciptakan pantang larang sebagai media komunikasi
(mendidik dan membimbing hidup anak-anak) kepada generasi menengah yang
mewarisi secara turun temurun (apa adanya dari pantang larang itu) hingga
generasi muda saat ini yang mulai berpikir kritis, rasional dan realistis.
Pantangan dan
larangan yang dibuat sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral dan tuntunan
cara hidup yang baik kepada masyarakat (oleh generasi pertama), justru hanya
dipahami dan diwarisi kulitnya (apa yang dipantang dan dilarang) oleh generasi
menengah. Sementara maksud atau makna sesungguhnya di balik pantangan dan
larangan (analogi) itu tidak terwarisi, sehingga menimbulkan sikap penafian dan
pengabaian eksistensinya pada generasi muda saat ini.
Alasan ketiga
inilah sesungguhnya yang merupakan substansi dari persoalan melemahnya kekuatan
pantang larang dalam menuntun cara hidup masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Hal
ini dapat dibuktikan dari pernyataan seorang narasumber di lapangan ketika ditanya
mengenai kekuatan pantang larang dalam menuntun hidup masyarakat. ”kebanyakan
pantang larang iya` hanya untuk ngidui magang, banyak pantang larang
yang na` dimai agik oleh urang kinih, kerna banyak nebiyak kita yang na takut
lagi dengan didui magang”
(Uju Unui Salim, 29 Novemver 2009).
Kepercayaan yang berkenaan dengan
Pantang Larang
Zainudin Isman (2001) pernah
menulis tentang Kepercayaan dan Agama Masyarakat Melayu Pedalaman, dalam hal
ini adalah Melayu di Kampung Temuyuk. Menurutnya, orang Melayu Temuyuk masih
mempercayai adanya hantu, keramat, penunggu, jin, dewa, semangat, dukun dan pantang
larang, meskipun secara agama mereka semua adalah pemeluk agama Islam.
Merujuk kepada kajian Isman, maka dapat dipastikan bahwa
kondisi serupa juga terjadi pada masyarakat Melayu Nanga Jajang. Bahkan dapat
dipastikan bahwa semua kepercayaan itu terkandung dalam pantang larang yang ada
(sila lihat deskripsi pantang larang pada bab sebelumnya). Dalam konteks ini,
penulis hanya akan membahas kepercayaan masyarakat Melayu dengan ”semongat”
dalam kaitannya dengan pantang larang.
Secara sederhana `semongat` itu adalah semangat,
kekuatan, roh atau jiwa sesuatu. Karena itu semongat menjadi sesuatu yang
paling menentukan dan harus selalu ada dalam hidup dan kehidupan. `Semongat` itu
ada dalam jiwa seseorang, dalam padi, beras, rezki, dan sebagainya
. Semongat
itu tidak boleh hilang. Sebaliknya semongat itu harus selalu dijaga,
dipelihara, dipanggil dan dilayani dengan baik. Sebab semongat dalam
kepercayaan mereka bisa lari dan berpindah jika tidak dilayani dengan baik
(Amat Johari Maoin dalam Isman, 2001). Dengan kepercayaan tersebut maka
lahirkan tradisi `ngumai semongat`
pada masyarakat Melayu Nanga Jajang.
Kaitannya dengan pantangan `tidak boleh makan semerayan`
atau `tidak boleh sebarang matah buah padi`, `tidak boleh nobak royung monih`
dan sebagainya
. Hal
ini disebabkan masyarakat Melayu percaya bahwa nasi dan padi ada semongatnya. Jika
beberapa pantangan terkait hal di atas terpaksa atau tidak sengaja terjadi,
maka harus segera memanggil semongatnya. `ku semongat nasi`, `ku semongat
padi`, `ku semongat inik anan` dan semacamnya
.
Begitupun jika pantang larang
menyangkut keselamatan jiwa seseorang. Tiba-tiba, misalnya, didapati pisau yang
terletak dalam posisi terlentang, dimana mereka berpantangan `tidak boleh
melangkahi pisau yang terlentang`. Maka segeralah memperbaiki posisi pisau
tersebut sambil mengucapkan `ku semongat`. Itulah sekelumit gambaran
kepercayaan dengan `semongat` dalam kaitannya dengan tradisi pantang larang yang
ada dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang.
Kearifan Komunikasi dalam Pantang Larang
Sebagaimana telah disinggung
dalam kajian di muka bahwa sesungguhnya pantang larang itu dimaksudkan untuk
menuntun cara hidup masyarakat Melayu, baik dalam hubungannya dengan kekuatan
ghaib, hubungan sesama manusia, maupun hubungan manusia dengan lingkungan dan
alam sekitar.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa setiap pantang larang memiliki makna/maksud
tertentu sesuai konteks (ruang dan waktu) berlakunya. Makna dan konteks inilah sebenarnya
unsur komunikasi yang penting untuk dipahami dalam pantang larang, selain tentu
saja, apa yang dipantang dan dilarang dalam pantang larang yang ada. Untuk
melihat semua itu, kajian berikut ini akan dibingkai dalam diskusi mengenai
ranah keberlakukan pantang larang, dinamika sosial dan komunikasi dalam
masyarakat terhadap pantang larang dan diskusi mengenai pantang larang yang
dilihat sebagai suatu strategi komunikasi dalam masyarakat Melayu.
Ranah
Keberlakukan Pantang Larang
Bicara ranah berarti
membincangkan mengenai wilayah, tempat dan lokasi. Apa yang dimaksudkan dengan
ranah keberlakukan pantang larang dalam konteks ini adalah wilayah, tempat dan
lokasi berlakunya pantang larang yang ada.
Pantang larang
dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang umumnya berlaku dalam ranah tersendiri dan
bersifat khusus dan konteks tertentu. Dengan kata lain, umumnya pantang larang
tidak berlaku dalam semua konteks dan untuk semua orang. Ada sebagian orang yang
pantang terhadap sesuatu, tapi ada juga sebagian yang lain tidak pantangan.
Begitupun menyangkut waktu, ada orang yang berpantang pada waktu tertentu, tapi
pada waktu yang lain tidak berpantang apa-apa.
Berkenaan
dengan ranah keberlakuan pantang larang ini, beberapa contoh dapat disebutkan seperti:
`tidak boleh mengucapkan kata melopus
ketika hendak pergi berburu atau memancing, takut benar-benar tidak dapat apa-apa
dari buruan/pancingannya`. Pantang larang tersebut hanya berlaku ketika akan
bepergian berburu atau memancing. Ketika bepergian biasa misalnya, kemudiaan
ada sesuatu niat (makan atau minum) yang lupa dilakukan (dijamah), maka boleh
mengucapkan kata pelopusah. Bahkan
dalam konteks terakhir ini, lebih baik (mendekati keharusan) untuk mengucapkan pelopusah, supaya terjauh dari bahaya kempunan
dan semacamnya.
Contoh lain adalah pantang larang menanam jolik jujur di tengah huma (ladang).
Pantang larang tersebut hanya berlaku pada keluarga yang mempercayainya. Pada
masyarakat Melayu lain yang tidak mempercayai pantangan tersebut, maka tidak
masalah baginya untuk menanam jolik jujur itu di tengah ladangnya. Pada
kelompok pertama, menanam jolik jujur
di tengah huma (dipercayai) dapat mendatangkan bencana begi keluarganya. Tapi
pada kelompok kedua, melakukan hal tersebut tak ada masalah.
Disamping itu, hampir semua pantang larang yang ada
hanya diperuntukkan bagi masyarakat Melayu setempat, dipercayai dan digunakan
untuk dan kepada sesama Melayu setempat. Dengan kata lain, hampir tidak ada pantang
larang orang Melayu Nanga Jajang yang digunakan untuk memaksa orang lain di
luar kampung itu untuk mempercayai/mematuhinya. Walaupun kenyataannya, sesama
komunitas Melayu juga memiliki pantangan dan larangan yang serupa atau hampir
sama.
Dinamika
Sosial & Komunikasi terhadap Pantang Larang
Perubahan pola pikir, cara
hidup dan kehidupan adalah suatu realitas dinamis yang tak terbantahkan dalam
sejarah sosial manusia. Dengan realitas dinamis itulah manusia mengalami
perubahan hidup yang mendasar dalam sejarahnya, dari pra sejarah, sejarah dan
pasca sejarah, dari purba hingga modern. Dalam realitas dinamis tersebut,
perubahan juga akan terjadi dalam berbagai hal, seperti cara hidup, berpakaian,
berbahasa hingga piranti-piranti sosial lainnya, termasuk nilai tradisi, sosial
dan budaya yang lahir dan hidup dalam masyarakat dalam bentuk pantang larang.
Di atas telah
dikemukakan bahwa pantang larang dahulu memiliki peran sosial dan komunikasi
yang sangat penting dalam masyarakat Melayu. Akan tetapi perjalanan sejarah
yang panjang, yang dilalui dengan berbagai tantangan dan pengaruh (baik dari
luar maupun dari dalam) telah turut merubah realitas ini. Perubahan yang
mendasar dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu Nanga Jajang (lihat bab 4), ditambah dengan pola pewarisan
yang keliru (terdistorsi) terhadap nilai-nilai tradisi dalam pantang larang
menjadikan alasan utama penurunan eksistensi pantang larang dalam masyarakat Melayu
saat ini. Dinamika sosial dan komunikasi inilah yang menyebabkan pantang larang
kehilangan kekuatan dan eksistensi dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu
Nanga Jajang saat ini.
Pantang
Larang sebagai suatu Strategi Komunikasi
Berdasarkan analisis dan
kajian yang ada, jelas bahwa pantang larang mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Dalam kajian komunikasi, maksud dan tujuan inilah yang dikenal dengan
`makna`. Karena setiap pantang larang mempunyai makna, maka pantang larang itu
sendiri sebenarnya adalah satu bentuk komunikasi yang dilakukan dalam tradisi
sosial dan budaya masyarakat Melayu (Ibrahim MS, 2009a & 2010). Dengan
persepektif tersebut, dapat dipastikan bahwa pantang larang tidak muncul begitu
saja tampa makna yang ingin disampaikan. Pantang larang diciptakan adalah untuk
membawa pesan-pesan tertentu. Dan pesan-pesan itulah sesungguhnya inti atau
substansi dari makna komunikasi pantang larang yang ada.
Sebagaimana
umumnya dimaknai, komunikasi itu adalah proses pertukaran informasi, gagasan
dan pikiran antara dua orang atau lebih ( Devito, 1997; Liliweri, 2003) hingga
proses membangun kesepahaman untuk pemenuhan harapan dan perubahan tingkah laku
(Rogers & Hovland, 1948; Dedy Mulyana, 2001).
Kaitannya
dengan kajian ini, maka sesungguhnya pantang larang dalam masyarakat Melayu itu
tidak lain juga adalah proses komunikasi itu sendiri. Melalui pantang larang
itulah berbagai pesan sosial kemanusiaan, akhlak, kesusilaan, dan sebagainya
disampaikan dari generasi ke generasi dalam masyarakat Melayu. Dengan pantangan
dan larangan ini pulalah sebenarnya tuntunan hidup diwarisi secara turun
temurun dalam tradisi sosial dan budaya masyarakat Melayu Nanga Jajang.
Realitas ini paling tidak memancing diskusi kita kepada tiga persoalan penting;
apakah pantang larang itu secara jelas memberikan tuntunan hidup bagi
masyarakat? Adakah pesan/makna terdalam dari setiap pantang larang yang hidup dalam
masyarakat Melayu sehingga penting untuk terus dipahami? Mengapa harus pantang larang
yang digunakan dalam transformasi komunikasi orang Melayu?
Pertama, secara jujur harus diakui bahwa sebagian besar pantang larang dalam
masyarakat Melayu Nanga Jajang tidak memberikan tuntunan dan bimbingan hidup
secara jelas dalam bentuk teks. Sebaliknya, teks pantang larang pada umumnya
menyampaikan sesuatu yang menakutkan atau ancaman. Contoh pantang larang `tidak
boleh duduk di depan pintu, nanti balang tunang`. `Tidak boleh duduk di depan
pintu` merupakan pantangan dan larangan, sedangkan `balang tunang` adalah
ancaman. Berikut beberapa contoh lainnya ditampilkan dalam bentuk tabel.
Tabel
Analisis Teks Pantang Larang
PANTANG LARANG
|
PANTANGAN
|
ANCAMAN
|
Tidak boleh memotong kuku pada waktu malam, karena itu mendoakan kematian
orang tua
|
Memotong kuku waktu malam
|
Kematian orang tua
|
Anak kecil tidak boleh makan kerak nasi, takut tumbuh jadi anak yang
bodoh/tidak cerdas
|
Makan kerak nasi
|
Jadi anak yang bodoh/ tidak cerdas
|
Tidak boleh mengasah pisau malam hari, sebab mengundang kedatangan hantu
|
Mengasah pisau malam hari
|
Kedatangan hantu
|
Tidak boleh memanjat pokok pisang, bisa menyebabkan kemaluan membengkak
(burut)
|
Memanjat pokok pisang
|
Kemaluan membengkak (burut)
|
Tidak boleh melewati depan orang yang lagi shalat, sebab sama dengan
melintasi depan api neraka
|
Melewati di depan orang shalat
|
Panas melintasi api neraka
|
Dari pemetaan
di atas, tampak bahwa secara tekstual pantang larang hanya menampilkan apa yang
dipantang dan dilarang (pantangan & larangan) dengan akibat yang akan
terjadi jika melanggarnya (ancaman). Artinya, secara tekstual hampir tidak
didapatkan pesan-pesan atau makna-makna terdalam dari pantang larang yang ada. Bahkan, nyaris tidak ada kaitan yang
rasional dan argumentatif antara pantangan dan larangan yang disebut secara
tekstual. Karena itu ada makna atau pesan yang harus ditemukan dari pantang
larang tersebut. Bukankah makna atau pesan itu sendiri yang menjadi substansi
komunikasi dalam pantang larang yang ada.
Kedua, jika kita sepakat bahwa pantang larang adalah satu bentuk komunikasi dan
proses memberikan tuntunan hidup dalam masyarakat Melayu, maka kita mesti
percaya adanya makna atau pesan terdalam yang sesungguhnya dibawa dalam pantang
larang itu. Sikap tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa analisis sederhana
terhadap pantang larang yang ada. Pantang larang `tidak boleh memandang orang
yang sedang buang air, nanti matanya tumbir (sakit-bengkak)` misalnya, secara
teks sama sekali tidak ada hubungan antara keduanya. Sebab, melihat orang yang
sedang buang air adalah satu hal, dan sakit mata (tumbir) merupakan hal yang lain lagi. Lantas apa sebenarnya makna
atau pesan yang hendak disampaikan dari pantang larang tersebut? Secara sosial
dan budaya, pekerjaan tersebut memang tidak beretika. Secara agama, pekerjaan
demikian termasuk dosa, karena melanggar norma agama di mana kita dilarang
memandang aurat seseorang. Dalam beberapa kasus memang terjadi suatu peristiwa
yang mirip dan berkaitan dengan apa yang dibunyikan dalam teks pantang larang
itu, akan tetapi tentu saja tidak ada dasar yang dapat dijadikan bukti
keterkaitan yang jelas antara pantangan dengan peristiwa yang terjadi.
Ketiga, digunakannya pantang larang sebagai media komunikasi dan transpormasi pesan
bagi tuntunan hidup dalam masyarakat Melayu, sepertinya sangat terkait dengan
budaya hidup yang mendasar dalam tradisi sosial masyarakat Melayu. Tuntunan
hidup melalui pantang larang merupakan satu strategi membentuk perilaku dengan
cara mengancam dan menakuti-nakuti apabila tidak diperhatikan/melanggar. Dengan
kata lain, pantang larang itu hanya untuk menakut-nakuti agar tidak melakukan
sesuatu/melanggar ketentuan tertentu. Inilah setidaknya yang diakui oleh
beberapa tokoh Melayu di Nanga Jajang seperti Uju Unui Salim (29 November
2009).
Jika semua
analisis ini benar adanya, maka dapat dipastikan bahwa pantang larang dalam
masyarakat Melayu Nanga Jajang tidak lain adalah satu bentuk strategi komunikasi
yang sengaja dibangun oleh generasi tua Melayu dalam memberikan bimbingan dan
tuntunan dalam hidup. Dengan demikian maka, strategi komunikasi tersebut, yang
lahir puluhan bahkan ratusan tahun yang silam telah lebih jauh mendahului
kehadiran teori dan strategi komunikasi modern, dalam hal ini adalah teori two step flow of communication dan multi step flow of communication (Burhan
Bungin, 2008; Sutaryo, 2005; Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala, 2004).
Membandingkan
dengan teori komunikasi modern tersebut, jelas bahwa pantang larang dalam masyarakat
Melayu menggunakan dua tahap komunikasi (two
step flow) dan banyak tahap (multi
step flow) komunikasi. Generasi tua (pembuat pantangan dan larangan)
sebagai komunikator, teks pantang larang (ancaman) sebagai tahapannya, dan kepatuhan
untuk mengikuti atau tidak melanggar ketentuan sebagai makna atau substansi pesan
komunikasi yang disampaikan kepada generasi muda sebagai komunikannya. Jika mengacu kepada teori tahapan, maka gambarannya adalah sebagai berikut:
Bagan Dua Tahap Komunikasi
A = Gererasi tua/orang yang membuat pantang larang
untuk memberikan tuntunan dan bimbingan hidup kepada generasi mudanya.
B = Teks pantang larang yang digunakan sebagai tahapan (sarana/media untuk
menakut-nakuti atau mengancam).
C = Generasi muda/orang yang dikenakan pantangan
dan larangan, yang merupakan sasaran komunikasi (tujuan dan maksud sesungguhnya)
berupa kepatuhan untuk mengikuti sesuatu atau tidak melanggar sesuatu.
Sumber: dikutif dari Tahapan
Komunikasi dalam Ibrahim MS, 2010
Pertanyaan
lebih lanjut dari analisis tersebut adalah; mengapa pantang larang dijadikan
strategi komunikasi bagi orang-orang tua Melayu dalam memberikan tuntunan dan
bimbingan hidup secara turun temurun? Kajian di lapangan memang tidak menemukan
jawaban yang pasti atas pertanyaan ini, sebab kebanyakan mereka mewarisi
pantang larang tersebut secara apa adanya dan turun temurun. Karena itu tidak
heran jika sampai saat ini telah terjadi banyak reduksi bahkan in-eksistensi
peran pantang larang dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu hari ini. Akan tetapi
dari kajian ini, penulis dapat membuat beberapa asumsi yang patut diungkapkan
untuk konteks ini; Pertama, Makna sesungguhnya dalam pantang larang
bukanlah makna tekstual (seperti apa yang dipantang dan dilarang itu) melainkan
makna kontekstualnya (tersimpan di balik teks pantang larang itu). Karena itu
makna kontekstual itulah yang harus dicari, dipahami, dan dijadikan pengajaran,
karena itulah inti dari komunikasi pantang larang.
Kedua, Masyarakat sendiri sudah mulai kritis dan sadar bahwa secara tekstual,
apa yang disebutkan dalam pantangan dan larangan itu sama sekali tidak ada
hubungan langsung yang berarti. Paling-paling karena terlanjur diyakini,
sehingga ketika terjadi suatu peristiwa selalu dikaitkan dengan pantang larang
yang ada. Secara tekstual, pantang larang itu adalah untuk
menakut-nakuti/mengancam saja.
Ketiga, terjadinya reduksi pemahaman dan keyakinan yang berimbas pada
keberlangsungan eksistensi pantang larang dalam masyarakat disebabkan pola pewarisan
yang keliru terhadap tradisi ini. Di mana pesan kontekstual (makna
terdalam) tak terwarisi sebagaimana pewarisan pesan tekstual itu sendiri.
Sementara pesan tekstual tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara nyata dalam
realitas sosial. Jika mengacu pada strategi komunikasi modern (dua tahap), maka
yang terwarisi dalam masyarakat Melayu saat ini adalah jalur komunikasi B (pantang
larang) kepada C (generasi muda), bukan A (pembuat pesan) kepada C (tujuan
pesan).
Keempat, sebagai sebuah strategi, komunikasi melalui
pantang larang terbukti lebih efektif dalam membimbing dan menuntun perilaku
hidup masyarakat Melayu dalam sejarah sosial mereka. Inilah bentuk strategi
komunikasi dua tahap dalam komunikasi (two
step flow of communication). Tujuan pesan supaya anak tumbuh sehat dan
cerdas (C) dapat diwujudkan (A) dengan pantangan memakan makanan yang tidak
baik, kurang karbohidrat dan justru rawan bagi endapan kotoran besi, pasir dan
sebagainya (B) melalui pantang larang `tidak boleh memakan kerak nasi bagi
anak-anak`.
Kelima,
sebagai komunitas yang sangat dekat dengan Islam, tentu pengaruh Islam juga
sangat kental dalam tradisi sosial mereka, termasuk dalam pantang larang.
Asumsi ini dapat dilihat dengan jelas dari beberapa pantang larang yang
berkaitan dengan norma agama seperti `larangan melewati di depan orang yang
sedang shalat`, `larangan melangkah al-Qur`an` dan sebagainya.
Jika komunikasi pantang larang dilihat sebagai metode
bimbingan dan pendidikan akhlak, maka sebenarnya Islam juga telah mengajarkan
metodenya sebagaimana dalam berdakwah. Dalam dakwah Islam kita mengenal suatu
metode pemberian kabar gembira (tabsyir)
dan ancaman akan siksaan neraka (tandzir).
Tabsyir sebagai metode dakwah
dilakukan dengan cara mengajak orang untuk taat kepada Allah dengan memberikan
janji-janji pahala dan surga (segala sesuatu yang menggembirakan bagi
pelakunya). Sebaliknya tandzir
sebagai metode dakwah dilakukan dengan cara mengajak orang untuk tidak
melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dengan mengemukakan ancaman dan
siksa neraka bagi yang melanggarnya. Kaitannya dengan komunikasi pantang
larang, maka metode kedua inilah yang paling menjadi rujukan komunikasinya,
yakni pendekatan Indzar (Ibrahim MS, 2007), yakni berupa ancaman bahaya jika
melanggar pantangan atau tidak mematuhinya.