Selasa, 31 Januari 2012

Mengapa Kita Mesti Belajar?

Oleh: Ibrahim MS (Editor Buku Karunia Tuhan di Parit Wa` Gattak)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang senantiasa berpikir (Q.S. 3: 190).
Kutipan ayat di atas memberikan peringatan bahwa alam raya dan segala isinya adalah sumber pelajaran yang mesti selalu kita kaji. Banyak hal dalam kehidupan ini sesungguhnya mengajarkan kepada kita tentang sesuatu. Bergantung kepada setiap kita, apakah kita mau belajar atau tidak dengan kehidupan ini.
Proses belajar dengan kehidupan sesungguhnya memberikan setiap kita pengalaman dalam menyikapi dan memperlakukan ala mini dengan baik dan bermanfaat. Dengan pengalaman, kita belajar memperbaiki diri. Dengan pengalaman pula kita menemukan banyak alternative dalam mengambil sikap dan prilaku hidup. Karena itulah, wajar ketika munculnya term “pengalaman adalah guru yang terbaik”.
Bicara pengalaman, tentu kita tidak bisa memberikan kaflingannya sebatas dunia kampus, atau jenjang pendidikan tertentu. Bicara pengalaman, juga kita tidak bisa menentukan sebagai milik seseorang atau sekelompok orang saja. “Pengalaman” ada dalam setiap denyut nadi kehidupan manusia. Pengalaman layaknya kehidupan yang terpancar dalam setiap perputaran siang dan malam, yang mengikuti pergantian waktu ketika pergantian siang dan malam. Pengalaman lah sesungguhnya pengetahuan itu, sebab dengan pengalaman suatu ilmu pengetahuan diciptakan. Dari dan kepada pengalamanlah teoritisasi ilmu pengetahuan sosial lahir dan dilandaskan. Karena itu, pengalaman (apapun) penting untuk didokumantasikan, di-sharing dan selanjutnya menjadi pelajaran bersama.
Membangun komunikasi, silaturahmi dan sosialisasi kepada suatu masyarakat merupakan bagian dari proses belajar terhadap pengalaman sosial mereka. Bagaimana mereka menjalani hidup di tengah situasi alam yang ada? Bagaimana mereka harus bertahan mencari nafkah untuk kebutuhan rumah tangga? Bagaimana mereka memelihara eksistensi diri dan kelompoknya di tengah pengaruh dan tantangan yang selalu menghadang mereka? Itulah antara pelajaran yang patut digali dari pengalaman hidup suatu masyarakat. Di sinilah proses belajar dalam konsep Participatory Action Research (PAR) mesti dimulai. Suatu proses belajar dengan dan terhadap pengalaman hidup bermasyarakat. Proses belajar yang berlandaskan pada pengakuan terhadap potensi setiap orang dengan pegalamannya mampu membangun diri menuju perubahan sosial yang lebih baik. Karena itu potensi dan pengalaman tersebut mesti digali dan terus dikembangkan dalam prinsip pendidikan orang dewasa, itulah kepercayaan dalam PAR yang diimplementasikan melalui proses kritis dan transpormasi sosial.

*****
Kunjungan lapangan yang singkat, hanya 3 – 4 jam tentu tidak memuaskan untuk sebuah ekspedisi ilmiah yang serius. Akan tetapi, untuk sebuah sharing pengalaman, belajar dengan kehidupan dan cara hidup suatu masyarakat, ada banyak catatan yang dapat disuguhkan. Bahkan dengan beragam perspektif juga dapat dimunculkan.
Catatan-catatan dari kunjungan lapangan dalam rangka pelatihan PAR angkatan ke 3 bagi Dosen STAIN Pontianak memberikan bukti luasnya pengetahuan sosial itu. dimana setiap kita dapat memahami dan memberikan pandangan yang saling berbeda sesuai dengan perspektif pengetahuan masing-masing. Adakah satu diantara perspektif kita yang benar atau salah? Atau semuanya benar dan atau salah? Tentu bukan itu pertanyaan yang patut kita buat. Dan tentu juga bukan itu persoalan yang harus kita jawab.
Apa yang kita perhatikan, kita pahami dan kita tafsirkan adalah ilmu pengetahuan dan pengalaman berdasarkan perspektif kita. Karena itu tidak ada term evaluative yang benar atau salah. Itulah paradigma yang mendasari keinginan mengumpulkan tulisan kisah perjalanan para dosen yang telah mengikuti pelatihan PAR 3 yang berkunjung ke Parit Wa` Gattak beberapa waktu lalu.
Hampir 30 orang dosen yang dilibatkan dalam kunjungan tersebut. Mereka disebarkan dalam beberapa kelompok yang semuanya berada di sekitar Dusun Parit Wa` Gattak. Apa yang menarik dari semua itu? Dari sekian banyak jumlah dosen yang turun lapangan dan menulis, juga manghasilkan sekian jumlah tulisan yang saling berbeda, beda fokus, beda alur cerita, bahkan beda informasi yang disampaikan. Sekali lagi, ini menunjukkan kayanya alam dan kehidupan ini untuk dikaji, luasnya pengalaman hidup dan kehidupan suatu masyarakat untuk dijamah oleh ilmu pengetahuan. Kerana itulah kita tidak pernah menemukan kata “final” dalam dunia ilmu pengetahuan, semuanya relatif dan semuanya akan berkembang dan berubah-ubah. Semuanya bergantung pada perspektif yang terbatas. Itulah realitas kita, realitas ilmu pengetahuan sosial yang sedang kita bangun.

*****
Keragaman pandangan dan perspektif yang digunakan oleh penulis telah memberikan keistimewaan terhadap isi tulisan kisah perjalanan yang ditampilkan dalam setiap tulisan di buku ini. Oleh karena itu, sengaja kami tidak memberikan pilahan atau katagorisasi kelompok tulisan ini sebagaimana biasanya.
Kami memberikan peluang kepada semua pembaca untuk memahami dan menilai masing-masing perspektif dalam setiap tulisan yang ada. Karena kami percaya bahwa semuanya mempunyai kelebihan dan kekuatannya baik dari alur cerita, maupun stressing point yang diceritakan dalam kisah perjalanannya.
Begitupun dari aspek isi tulisan, beragam informasi yang ditampilkan, baik dari sisi proses kunjungan, gambaran fisik alam dan lingkungan, kehidupan sosial, keagamaan, budaya, ekonomi dan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Termasuk hasil kebun langsat yang melimpah karena memang lagi musim-musimnya. Ini semua adalah informasi yang dengan mudah dapat dipahami dari tulisan-tulisan yang ada dalam buku ini.
Sebagai editor, tidak mudah bagi saya untuk memberikan judul pada buku ini, antara merumuskan judul yang dianggap mampu mewakili isi dari keseluruhan tulisan yang begitu warnai-warnai, atau memilih salah satu tulisan yang ada, yang juga pasti tidak mewakili kesemua tulisan yang masing-masing berbeda. Sementara itu, keadaan menuntut kami “harus” memberikan judul untuk buku ini. Karena itu, “Karunia Tuhan di Parit Wa` Gattak” menjadi satu-satunya pilihan yang dirasakan paling mewakili untuk judul buku ini.
Judul tersebut menurut kami merupakan inspirasi dari kebanyakan tulisan dalam buku ini yang mengungkapkan mengenai kekayaan alam dan hasil kebun masyarakat di Parit Wa` Gattak yang melimpah sebagai karunia dari Allah Swt. Buah langsat adalah antara hasil kebun yang paling banyak diungkapkan oleh para penulis sebagai Karunia Tuhan yang melimpah di sana, dimana semua peserta juga merasakan kenikmatannya ketika berkunjung di lapangan. Disamping itu, beberapa tulisan juga secara langsung dan khusus menempatkan keadaan ini dengan memberikan judul untuk tulisannya dengan ungkapan puji syukur atas karunia atau keberkahan Tuhan di Parit Wa` Gattak.
Akhirnya, kami harus mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang dengan semangat memenuhi permintaan kami untuk membuat tugas menulis kisah perjalanan ini sebagai rangkaian dari praktek lapangan pelatihan PAR tahun 2011. Sungguh suatu kebanggaan sekaligus semangat bagi kami untuk segera mengedit dan menerbitkan kumpulan tulisan ini ketika kami melihat begitu antusiasnya para peserta pelatihan untuk menyelesaikan tulisan yang diminta. Karena itu, ucapan selamat juga patut kami sampaikan kepada kita semua, para peserta pelatihan PAR 3 yang telah berpartisipasi menulis untuk kisah perjalanan ini.
Sebagai editor berharap, semangat ini terus dipelihara dan dikembangkan untuk terus menulis dan menerbitkan kisah perjalanan yang lainnya di kemudiaan hari. Kami percaya dengan pandangan hidup “setiap ada kemauan pasti ada jalan”, dan “setiap niat yang sudah diazamkan pasti disertai dengan kemauan juga kemampuan untuk melakukannya”. Itulah optimisme kami meminta dan mengajak para peserta pelatihan untuk menghasilkan karya ini. Selamat dan semoga bermanfaat, amin.

Sebuah refleksi dari menara ke-damai-an
Jum`at, 11/11/11

Editor

Keberkahan di Parit Wa` Gattak

Oleh: Ibrahim MS

satu catatan Kisah Perjalanan Participatory Action Research, 2011
dalam buku Karunia Tuhan di Parit Wa` Gattak
Terbit Desember 2011, Penerbit: STAIN Press. Editor: Ibrahim MS


Lebih kurang seminggu sebelum pelatihan dimulai, Mul (ketua panitia) menceritakan kepada saya tentang rencana untuk menyelenggarakan pelatihan PAR bagi para Dosen STAIN Pontianak. Mendengar informasi tersebut, saya dengan tegas menyatakan dukungan, sebab beberapa bulan sebelumnya saya sudah mendengarkan rencana tersebut dari Puket I. maklum sejak tahun 2005, Metodologi PAR sudah menjadi kebijakan lembaga untuk dikembangkan dalam kegiatan penelitian dan KKL mahasiswa. kebijakan ini tentu saja sejalan dengan arahan dan kebijakan kementeriaan agama terhadap pengembangan metodologi ini di perguruan tinggi agama, termasuk STAIN Pontianak.
Di ruang umum, saya dengan ketua panitia membincangkan mengenai pelatihan yang akan dilaksanakan, termasuk tentang praktek lapangan dan lokasi mana yang akan dipilih. Sebagaimana pelatihan PAR selama ini, selalunya ada praktek penerapan teknik-teknik PAR di lapangan, kepada suatu masyarakat yang dilpilih.
Kira-kira di mana lokasi untuk kita praktek pak Baim.
Tanya Mulyadi.
Sebagai seorang yang cukup memahami tentang PAR, saya tidak secara langsung mengusulkan nama kampong yang akan dikunjungi. Saya hanya memberikan beberapa kriteria perkampungan dan kehidupan sosial masyarakat yang sebaiknya dipilih.
Sebaiknya pilih kampung yang tidak terlalu jauh dijangkau,
Tapi jangan juga di dalam kota
Lebih baik di pinggiran kota
Kira-kira dapat kita kunjungi dengan sepeda motor masing-masing
Terserahlah kampong apa saja
Begitulah saran saya kepada ketua Panitia.
Ok lah kalau gitu pak Baim
kami panitia saja yang pilih tempatnya
Tanya Mul lagi.
Iya lah bang. Jawab saya
Oh ya, kalau bisa carilah kampong yang punya “nilai lebih” tambah saya lagi
Maksud, kata orang tua tu,
carilah tempat yang bisa nyelam sambil minum aek.
Saya mengakhiri perbincangan tersebut terus keluar dari ruang umum.

Selang beberapa waktu berikutnya, saya berjumpa dengan Didi, staf ahli Puket I yang juga anggota panitia pelatihan PAR ke – 3. Didi memberikan informasi ke saya kalau mereka (panitia, termasuk ketuanya Mulyadi) telah memilih satu lokasi perkampungan yang akan dikunjungi. Parit Wa` Gattak lah yang menjadi pilihan untuk lokasi praktek PAR, jelas Didi.
Ok tak masalah.
Biarpun tiga tahun yang lalu kita pernah mengunjungi kampung tersebut ketika pelatihan PAR 1. Jawabku.
Ya, tahun 2008, pelatihan PAR pertama bagi Dosen STAIN Pontianak, juga memilih parit Wa` Gattak sebagai salah satu lokasi yang dijadikan tempat praktek penerapan teknik analisis PAR bersama pak Mahmudi, pakar PAR yang diundang dari Jogjakarta.
Saya sendiri sebagai mitra diskusi bagi kawan-kawan Dosen sejak Pelatihan PAR 1, 2 saat itu, baru satu kali berkunjung ke Parit Wa` Gattak, yakni ketika memonitoring kelompok pelatihan yang ditempatkan di parit Wa` Gattak ketika pelatihan PAR 1 pada waktu itu. Setelah itu saya tidak pernah kembali ke Wa` Gattak.
Karena itu menurut saya, pasti sudah banyak perubahan di Parit Wa` Gattak dalam kurung waktu 3 tahun. Karena itu, saya meminta kepada panitia untuk meluaskan skop wilayah yang dikunjungi di Parit Wa` Gattak. Jika PAR satu hanya berlokasi di sekitar masjid (Parit Wa` Gattak 1), maka untuk kunjungi kali ini mesti masuk ke tempat-tempat lain di sekitar Wa` Gatak, seperti Parit Wa` Gattak 2 dan seterusnya.

*****
Jum`at tanggal 14 Oktober 2011 pelatihan PAR dimulai. Berdasarkan jadwal pelatihan yang telah disusun oleh panitia, saya dijadwalkan untuk mengisi materi pertama tentang dasar-sadar metodelogi PAR, yang meliputi sejarah, konsep, paradigm, prinsip, tipologi, orientasi, hingga desain penelitian PAR. Setelah itu baru dilanjutkan dengan sesi materi Ibu Fauziah dan pak Fahrul Razi. Sementara pak Yapandi dikabarkan tidak dapat membantu memberikan materi dalam pelatihan yang ke 3 ini, karena beliau sedang berada di Bandung.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, terutama waktu yang singkat, saya berusaha menyampaikan materi yang begitu banyak dalam waktu lebih kurang 1,5 – 2 jam saja. Saya menyadari bahawa tidak mudah menyampaikan materi dasar yang begitu banyak kepada peserta dalam waktu yang singkat. Sebab, saya sendiri biasa nya mengikuti pelatihan serupa minimal 2 minggu (di Makassar). Bahkan untuk penerapannya saya mesti mengikuti kegiatan pelatihan selama hampir satu bulan (di pedalaman Karang Anyar, Jawa Tengah). Padahal materi dasar ini adalah sangat penting dalam rangka memebrikan wawasan untuk penerapan PAR sebagai metodologi penelitian dan pengabdian, sebagaimana yang sudah mulai dikembangkan di lingkungan STAIN Pontianak.
Hari pertama (jum`at tanggal 14) pelatihan dilakukan dalam bentuk diskusi teoritis dalam ruangan. Kemudian sabtu pagi juga masih dilanjutkan dengan beberapa teori tentang teknik pelaksnaan PAR, terutama materi yang terkait langsung dengan praktek di lapangan. Saya dengan pak Fahrul yang mendampingi peserta pagi itu hingga persiapan ke lokasi.
Lebih kurang pukul 10.30 kami dan semua peserta pelatihan mulai berangkat ke parit Wak Gatak. Rombongan peserta diarahkan oleh panitia ke lokasi. Saya sendiri menyusul dari belakang.
Di ruang sekretariat, menuju ke tempat absensi Dosen, saya berjumpa dengan pak Rasmi, salah seorang peserta senior dalam pelatihan ini.
Dah siap berangkat pak, Tanya saya.
Ya, mau langsung berangkat ni.
Ikut dengan mobil saya saja.
Demikian Pak Rasmi menawarkan saya.
Oh terima kasih pak,
Saya bawa motor saja, biar enak di lokasi,
Lagipun tampatnya dekat dengan rumah saya,
Saya coba memberikan alasan kepada pak Rasmi.
Pak Rasmi kembali ke Jurusan Dakwah, dimana di depannya sudah terparkir mobil pribadi beliau. Sementara saya menuju perpustakaan Malay Corner, sebab motor saya diparkir di sana.
Kami pun berangkat, berjalan menyusuri kota Baru. Maklum lokasi parit wak Gatak berada di ujung belokan Kota Baru. Rumah saya ada di daerah kota baru ujung. Jadi sebelum ke Parit Wa` Gattak, saya mampir dulu di rumah untuk menyimpan tas kantor, mengambil beberapa keperluan lapangan seperti jaket, topi dan sandal. Saya coba menyiapkan diri datang ke kampong sebagai orang kampung. Sebab dalam PAR, kita disarankan untuk menipiskan jarak social diri dengan masyarakat dalam membangun hubungan social dan komunikasi, termasuk penampilan dan cara berpakaian.
Go to people
Live among them
Learn from them
Plan with them
Work with them
Start with what they know
Build on what they have
Itulah antara prinsip membangun komunikasi dengan masyarakat dalam metodologi PAR, sebuah pendekatan menumbuhkan partisipasi masyarakat.
Karena saya harus mampir ke rumah. Jadinya menuju ke Parit Wa` Gattak saya sendirian.
Tak apalah, piker saya.
Rasanya-rasanya saya masih ingat jalan dan lokasi kampung tersebut.

*****
Sekitar jam 11.00 saya bertolak dari rumah menujuk lokasi praktek kawan-kawan. Saya terus berjalan, keluar meninggalkan Kota Baru menyusuri jalan menuju ke Punggur besar. Kira-kira 20 penit perjalanan (lebih kurang jam 11.20 siang), saya tiba di kawasan simpang empat Parit Wa` Gattak. Saya belok ke simpang kiri sampai ke masjid Parit wak Gatak. Saya tidak mendapat teman-teman di sana. Kemudian saya mampir ke rumah pak Kades. Di situ juga tidak saya jumpai kawan-kawan romobongan dari STAIN.
Kok sepi-sepi saja ni, bisik dalam hati saya.
Assalamu`alaikum
Saya mengucapkan salam sambil mengetuk pintu rumah pak Kades, tak ada juga yang menjawab dan keluar. Akhirnyanya saya coba menelpon Didi.
Hallo, Didi, ada dimana sekarang?
Saya sudah di rumah pak Kades ni, tapi tak ada orang.
Kalian dimana? tanyaku
O, kami di rumah Ishak.
Belokan yang ke kanan. Kami sudah ngumpul di sini
Didi menjelaskan.
Saya teringat bahwa rumah pak kades yang saya datangi berada masuk ke belokan sebelah kiri.
Okelah saya kesana.
Jawabku singkat sambil memutuskan telpon.
Aku menuju ke alamat dimaksud.
Di sana, rumah pertama sebelah kanan masuk saya melihat sudah ramai kawan-kawan berkumpul di sana dengan kegembiraan masing-masing. Saya melihat semuanya sudah disibukkan dengan hidangan buah langsat.
Subhanallah,
Saya mengucapkan rasa kagum melihat hidangan yang begitu istimewa didapatkan disini. Belum lagi pratek PAR, kawan-kawan sudah menikmati keberkahan yang laur biasa, hati saya bergumam.
Ya, saya sadar bahwa sekarang memang musim buah langsat.
Dan Parit Wa` Gattak adalah salah satu lokasi pensuplai buah langsat yang banyak dijual di emperan-emperan pasar buah di Kota Pontianak.
Sungguh buah yang segar. Tampak kalau buah langsat yang dihidangkan ke kami adalah buah yang baru dipetik dari pohonnya. Manis dan enak.
Ya, inilah maksudnya “sambil menyelam minum aek”. kata saya dalam hati.
Kami semua begitu menikmati suasana siang itu, dan tampaknya tak seorang pun yang mau melewati kesempatan yang luar biasa menikmati buah lansat segar, dihidangkan secara gratis lagi. Sebab kalau di Pontianak, untuk makan satu kilo setidaknya harus membeli seharga 5000 rupiah.
Canda, tawa, makan buah mengiringi silaturahmi kami dengan Ishak dan keluarga hingga menjelang waktu shalat zuhur. Sebagian kami sudah langsung menikmati makan siang yang memang sudah dibekali oleh panitia. Selesai makan, sebagian kami langsung bergegas ke Masjid untuk menunaikan shalat zuhur. Selesai shalat zuhur, para peserta dijadwalkan langsung berangkat menuju ke kelompok masing-masing sebagaimana telah diumumkan oleh panitia.

*****
Untuk praktek kali ini, peserta telah dibagi kepada 6 kelompok yang tersebar di kawasan Parit Wa` Gattak dan sekitarnya. Di kawasan masjid (sekitar rumah pak Kades) ada satu kelompok, yakni kelompok 3. Artinya di kawasan inilah yang dulunya (3 tahun lalu) kawan-kawan dosen pernah berkunjung untuk praktek pelatihan PAR 1. Lima kelompok yang lain adalah lokasi baru dan belum pernah dikunjungi untuk praktek PAR.
Sebagai instruktur, saya hanya akan melihat sekilas pekerjaan peserta di lapangan, karena itu saya harus berkunjung ke semua kelompok. Untuk itu saya memberikan kesempatan kepada setiap peserta di kelompok masing-masing untuk bekerja, membangun komunikasi dengan masyarakat dan melakukan teknik PAR.
Waktu–waktu awal siang itu saya gunakan untuk bersilaturahmi ke rumah pak Kades. Kebetulan beliau sudah ada di rumah. Saya mengenal betul pak Kades PAL IX ini. Beliau adalah Nurdin, alumni STKIP Pontianak. Beliau masih bujang. Kami berteman sejak masih sama-sama kuliah dahulu, kami juga sama-sama pernah menjadi pengurus PMII Kota Pontianak.
Silaturahmi kami berjalan dengan hangat, diiringi dengan suguhan air kopi panas dan buah langsat lagi. Saya menanyakan banyak hal kepada pak Kades, termasuk gambar beliau berpoto dengan Presiden SBY.
Mantap ente ni Din,
Dah megang tangan presiden SBY ya.
Saya coba memulai komunikasi siang itu dengan canda.
O ya, itulah.
Alhamdullah bang
Desa kita ni jadi pemenang lomba desa tingkat propinsi.
Kita dapat predikat desa percontohan.
Itulah acaranya, waktu saye menerima penghargaan dari presiden.
Pak Kades menjelaskan ke saya sambil menunjukk ke arah poto dimaksud.
Jadi waktu kami ke sini dulu,
Periode pertama ente kepala desa ya. Tanya saja lagi
Ya lah bang, sekarang sudah tiga tahun saya menjabat jawabnya.
Ya, saya melihat ada banyak perubahan di desa ini. 3 tahun yang lalu, jalan kampung ini masih tanah kuning. Nyaris kami tak bisa pulang setelah jalanan diguyur hujan ketika itu, becek dan licin jalannya. Tapi sekarang sudah disemen dengan baik.
Sementara itu, di hadapan kami, di meja, buah langsat kembali memenuhi baskom. Sebab baru diisi lagi oleh adeknya pak Kades. Pak Kades terus menyilakan kami makan.
Ya, dasar nafsu manusia, sudah terasa kenyang, tapi tetap saja masih mau mengambil buah langsat-makan. Maklumlah, makan langsat itu tak pandai berenti, kata orang. Mau terus.
Banyak masih buah ni Din
Buah sendiri kah?
Tanya saya.
Alhamdulillah,
Ada lah untuk makan.
Jawab Nurdin.
Dari balik kaca jendela saya melihat di belakang rumah-rumah warga tampak kebun langsat dengan buah-buah yang sudah menguning. Sebagiannya saya lihat masih ada yang hijau. Ini menandakan bahwa musim langsat ini masih panjang, pikirku. Sebab habis buah yang kuning (masak sekarang), akan disambung lagi masak buah yang hijau itu.

*****
Tak terasa mengobrol, makan buah langsat dan disuguhi minum kopi, saya teringat dengan kelompok – kelompok yang lain yang harus saya kunjungi. Saya ditemani bang Mul (ketua panitia) melanjutkan perjalanan ke kelompok 1 dan 2. Di sana saya mendapati kawan sedang bersilaturahmi di rumah pak Karim (pak RW). Disini juga saya mendapati hidangan langsat. Di depan rumah sudah bertumpuk buah langsat di dalam keranjang. Bahkan di sepanjang jalan yang kami lalui, di depan rumah-rumah warga saya melihat tumpukan keranjang buah langsat. Di persimpangan jalan di depan, telah menunggu sebuah terak pengumpul buah langsat. Kemudian di dalam gang juga tampak beberapa mobil fick up yang masuk mengumpulkan buah langsat yang telah disiapkan oleh warga di depan rumah mereka. Sebagian mereka juga tampak sedang memetik buah di pohon.
Dari sini saya coba menggali informasi mengenai teknik pemasaran buah langsat di kampung ini.
Informasi yang saya dapatkan bahwa buah-buah tersebut dikumpulkan oleh agen, untuk dijual ke Kota Pontianak sebagiannya, dan sebagian lagi dikirim ke daerah, bahkan ke Jawa dan Kuching, Malaysia.
Ini buah mau dibawa ke mana pak?
Saya coba bertanya kepada salah seorang warga yang sedang mengemas keranjang buah langsat di depan rumahnya.
Mau dikirim pak,
Dijual di Pontianak juga, jawabnya singkat.
Berapa harga jualnya pak? Tanyaku lagi
Kalau di kota dijual 6 000,
Disini hanya dibeli 4 000.
Ketika di Kota harga jual 5000, disini hanya dibeli 3 000 rupiah saja.
Jawabnya dengan aksen Madura.
Di seberang parit batas tanah mereka, saya melihat beberapa orang yang sedang mengambil buah langsat. Saya ingin melihat lebih dekat pekerjaan mereka. Karena itu saya harus melompat menyebrangi parit.
Belum sempat saya menyebrang, seorang warga yang sedang mengumpulkan buah hasil petikan menawarkan saya.
Pak, silakan makan buah pak
Ke sini saja pak.
Oh ya, terima kasih.
Sudah banyak sekali makan buah ni pak, kenyang.
Jawab saya.
Nak pa-apa pak
Mumpung ada buahnya pak.
Lanjutnya sambil menyodorkan bakul pengumpul buahnya.

*****
Kemudiaan saya bersama Mul melanjutkan perjalanan ke kelompok 4, 5 dan 6. Sama seperti di kelompok sebelumnya. Di sini saya mendapati kawan-kawan yang sedang bersilaturahmi dengan warga di rumah, juga disuguhi dengan buah langsat yang melimpah. Pertanyaan dan wawancara terus dilakukan sambil menikmati suguhan buah langsat dari warga. Bahkan disamping tempat duduk kawan sudah ada beberapa kantong plastik yang berisi buah langsat.
E..eh, sudah sempat ngantong ni
Saya coba menggurau kawan-kawan.
Bahkan fail map pelatihan yang semula untuk menyimpan booknote juga sudah beralih isinya menjadi buah langsat.
Tak apa lah, bagian dari kesuksesan nge-PAR
Kesuksesan membangun komunikasi sosial dengan warga.
Saya coba memberikan semangat buat kawan-kawan peserta.
Saya coba untuk berjalan-jalan di sekitar rumah warga. Dari kejauhan tampak ada beberapa orang warga perempaun yang sedang mengambil buah. Ternyata mereka adalah anak-anak gadis (remaja). Seingat saya dua orang yang menunggu di bawah, sementara dua orang yang memanjat mengambil buah.
Ih, bapak ni, jangan tengok kame`,
Kame` pakai kain ni.
Teriak salah seorang gadis yang sedang mengambil buah di ujung pohon langsat.
Ok, jangan khawatir. Saya tadak tengok ke atas.
Jawab saya untuk menghormati pripasi mereka.
Saya gunakan waktu untuk mengobrol dengan mereka yang menunggu di bawah. Mereka juga bertanya tentang saya dan tujuan kedatangan rombongan.
Saya coba menjelaskan dengan apa adanya (ingin prinsip membangun komunikasi PAR). Dari bincang tersebut, saya mengetahui kalau mereka ini adalah mahasiswa. ada yang kuliah di STKIP, ada juga yang di AKUB Pontianak. Bahkan yang sedang manjat ambil buah langsat itu pernah diterima (lulus) sebagai mahasiswa STAIN jurusan bahasa arab.
Kenapa tak jadi kuliah?
Tanya saya dengan penuh perhatian.
Tak tau lah pak, saya tak suka kuliah di bahasa Arab, jawabnya.
Kenapa milih bahasa arab dahulu, Tanya saya lagi.
Ndak lah pak.
Saya tidak milih bahasa Arab
Saya pilih PAI, tapi lulus di bahasa Arab.
Jawabnya dengan tersenyum.
Saya melihat ada sedikit kecewa dari nada bicaranya. Saya jadi teringat dengan kondisi di kampus, dimana sebagian calon mahasiswa yang memilih PAI dan tidak lulus, kemudiaan “diluluskan” di bahasa Arab. Mungkin anak ini salah satu contohnya.
Saya berupaya memberikan sengat untunya, agar mau kuliah, dimanapun nantinya. Yang penting kuliah. Anak ini ternyata adalah anak dari bapak ibu yang menerima kawan-kawan bersilaturahmi di rumahnya.
Begitulah seterusnya perjalanan kami saat itu, dari kelompok ke kelompok, dari warga ke warga, kami mendapati suguhan yang luar biasa, terutama buah langsat. Buah yang memang sedang “banjir” di Parit Wa` Gattak. Meski tergolong murah harganya, masyarakat begitu menikmati hasil perkembunan ini, sebab jumlah panennya banyak. Setiap rumah memiliki kebun, dan setiap kebun ada panen buahnya. Sungguh keberkabahn yang luar biasa bagi mereka tahun ini. Buah melimpah, bukan hanya untuk dimakan, tetapi juga mereka jual, untuk dinikmati oleh masyarakat Pontianak dan Kalbar yang tidak memiliki kebun langsat ini.
Terima kasih untuk masyarakat Parit Wa` Gattak yang telah mensuplai buah langsat untuk kita semua di Kota Pontianak dan Kalbar. Keberkahan warga dengan buah langsat yang melimpah, juga dirasakan oleh kawan dosen yang berkunjung untuk kegiatan praktek lapangan PAR, 2011. Sungguh merupakan keberkahan yang luar biasa atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya melalui kebun langsat warga di Parit Wa` Gattak. Keberkahan yang mesti selalui disyukuri, “Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan”.


***Musim Langsat 2011***