Sabtu, 24 Oktober 2009

Seri buku: Hidup & Komunikasi

KONTEKS BUDAYA DALAM KOMUNIKASI

Pengenalan
Konteks adalah segala situasi dan kondisi yang menyertai suatu proses. Dalam komunikasi, konteks itu bermakna segala situasi dan kondisi yang melingkupi dalam segenap proses komunikasi. Baik situasi dan kondisi komunikator, situasi dan kondisi komunikan, maupun ruang dan waktu tatkala komunikasi itu dilansungkan. Konteks inilah sebenarnya yang menentukan suatu makna dari komunikasi yang dilansungkan. Dalam realitas inilah para ahli komunikasi sepakat dengan pernyataan bahwa komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan konteksnya. Apalagi ketika konteks yang dimaksudkan menyangkut budaya hidup sesorang, itu akan semakin rumit untuk dipahami dalam komunikasi. Padahal pemahaman terhadap perbedaan itu mutlak diperlukan untuk memperoleh hasil komunikasi yang efektif. Sebab konteks itulah sebenarnya yang menentukan makna dari komunikasi yang dilansungkan.
Karena itu, tulisan bagian ini hendak mendiskusikan tentang konteks budaya dalam komunikasi.

Pengertian Konteks Budaya dalam Komunikasi
Secara sederhana konteks itu bermakna situasi dan kondisi. Konteks dalam komunikasi adalah situasi dan kondisi yang menyertai proses komunikasi yang dilansungkan. Dengan demikian, konteks adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dilupakan dalam komunikasi. Bahkan konteks itu sendirilah yang memberikan arti dalam sebuah komunikasi yang dilakukan.
Pentingnya memahami konteks dalam setiap komunikasi sama dengan pentingnya memahami apa tujuan dari komunikasi yang dibangun itu sendiri. Sebab kontekslah sebenarnya yang melahirkan komunikasi. Sebagai contoh, ungkapan “saya mencintaimu” tidak akan pernah bermakna sebagai benar-benar cinta ketika perkataan itu diungkapkan dalam keadaan seseorang yang tidak sadar, dalam tidur atau oleh orang gila. Berbeda jika “saya mencintaimu” diungkapkan oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan yang sedang dilanda mabuk cinta.
Contoh sederhana di atas dapat dianalisis dari segi symbol (verbal) dan makna (pesan) dalam satu konteks yang berbeda. Symbol (verbal) yang digunakan dalam kedua konteks tersebut sama saja, “saya mencintaimu”. Akan tetapi konteks yang menyertai proses komunikasi itu telah membawa makna (pesan) yang saling berbeda diantara kedua contoh tersebut. Konteks pertama lebih memberikan makna ketidak-sungguhan, tidak mewakili perasaan yang sebenarnya atau bukan ungkapan yang sadar. Akan tetapi pada kontek kedua adalah ungkapan secara sadar dan memang dimaksudkan untuk makna tersebut.
Contoh lain dapat dikemukakan, misalnya perkataan “anakku sayang, sini dong, mama ingin sekali memelukmu”. Perkataan tersebut akan memiliki makna yang berbeda jika diungkapkan oleh seorang Ibu tiri dengan seorang Ibu kandung. Pada konteks seorang ibu tiri, perkataan tersebut mungkin akan bermakna sebagai pemanis bibir saja. Akan tetapi pada konteks ibu kandung, perkataan tersebut lebih mungkin bermakna sebagai ungkapan perasaan yang benar-benar sayang kepada anaknya.
Jika konteks ini dimaknai bersamaan dengan budaya, maka konteks budaya pada dasarnya situasi dan kondisi budaya yang menyertai proses komunikasi yang dilakukan oleh seseorang. Konteks budaya ini tidak sekedar pilihan verbal yang khas dalam budaya, akan tetapi juga pikiran, perasaan, harapan, dan berbagai karakteristik suatu budaya tertentu yang mempengaruhi cara berkomunikasi seseorang. Setiap kebudayaan mengajarkan cara-cara tertentu untuk memproses informasi yang masuk dan keluar dari atau ke lingkungan sekeliling mereka, misalnya mengatur bagaimana setiap anggota budaya memahami cara mengemas informasi kemudian melakukan pertukaran informasi (Liliweri, 2003: 154). Artinya bahwa ada budaya yang mengajarkan cara-cara yang praktis dan lebih mudah dalam memproses informasi yang disebut low contect culture, akan tetapi ada pula budaya yang mengajarkan cara-cara memproses informasi yang lebih detil, rinci dan lebih sukar yang disebut high contect culture (Rogers dan Stienfatt, 1999: 90).

Kontek Budaya dan Komunikasi Antarbudaya
Edward T. Hall, pakar komunikasi dan antropologi budaya membagi konteks budaya dalam komunikasi kepada dua, yakni budaya konteks tinggi atau high contect culture dan budaya konteks rendah atau low contect culture (Rogers dan Stienfatt, 1999:90). Konteks budaya ini akan menentukan cara seseorang membangun komunikasi dengan orang lain. Dengan kata lain, setiap orang memiliki konteks budaya tertentu, dan dengan konteks budaya tersebut setiap orang memiliki karakter tersendiri dalam membangun komunikasi.
Ada orang yang menginginkan orang lain berlaku tertentu kepadanya, karena itu ia juga akan melakukan hal yang sama dengan orang lain. Orang yang terbuka dalam berkomunikasi lebih menginginkan keterbukaan yang sama dari lawan komunikasinya. Disinilah setiap diri kita selalu mengukur dan mengharapkan orang lain dengan ukuran dan harapan yang kita miliki. Padahal, mungkin saja setiap orang memiliki ukuran dan harapan yang tidak sama. Kesadaran inilah yang mengharuskan kita untuk belajar menyadari dan memahami siapa diri kita dan orang lain, bagaimana cara kita berkomunikasi dan bagaimana pula cara komunikasi orang lain. Apa yang kita harapkan, dan apa pula harapan pada orang lain.
Menurut Edward T. Hall, perbedaan kontek budaya itu akan menentukan apa harapan, keinginan dan pola komunikasi yang dibangun dalam hubungan sosial. Karena itulah menurutnya, penting bagi setiap kita memahami konteks budaya ini dalam berkomunikasi.

Budaya Konteks Tinggi
High contect culture atau budaya konteks tinggi adalah kebiasaan komunikasi yang dilakukan dengan penuh seni, halus dan terkadang bertele-tele demi alasan kesopanan dan kesantunan. Cara berkomunikasi orang dari budaya konteks tinggi ini cendrung tidak langsung pada sesuatu yang dimaksudkan alias tidak berterus terang dalam mengatakan apa yang diinginkan sebenarnya.
Budaya konteks tinggi ini dalam komunikasi tidaklah serta merta bermakna tidak baik. Budaya komunikasi seperti ini adalah bentuk komunikasi umumnya orang-orang asia, termasuk Indonesia (Rogers dan Stienfatt, 1999). Ada beberapa contoh budaya konteks tinggi yang bisa disebutkan dalam komunikasi orang Indonesia, masyarakat kita misalnya ketika diminta komentar oleh tetangga yang mengantar makanan tadi malam, kecendrungan kita akan mengatakan “enak makanannya, saya suka sekali”. Meskipun sebenarnya menurut dia makanan tersebut sangat tidak enak. Jika tidak dikatakan tidak jujur, jawaban tersebut lebih disebabkan rasa tidak enak untuk mengatakan yang sebenarnya. Karena itu kita selalu lebih cendrung mengatakan yang tidak sebenarnya, supaya tidak membuat seseorang kecewa dengan mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Cara komunikasi yang penuh dengan basa basi inilah yang oleh Edward T. Hall disebut dengan budaya konteks tinggi (high contect culture).

Budaya Konteks Rendah
Berbeda dengan budaya konteks tinggi, low contect culture atau budaya konteks rendah merupakan kebalikannya. Orang yang memiliki budaya konteks rendah dalam komunikasi lebih to the point, mengatakan apa adanya bahkan cendrung blak-blakan. Bagi orang yang memiliki budaya konteks rendah ini, berbicara sejujurnya dan apa adanya adalah pilihan cara komunikasinya. Mereka tidak melakukan komunikasi dengan berbunga-bunga, bertele-tele dan terkadang kurang jelas maksud yang sesungguhnya.
Komunikasi konteks rendah ini merupakan ciri komunikasi umumnya orang-orang Erofa. Bagi mereka sesuatu yang tidak baik mesti dikatakan sebagai tidak baik. Jadi berbeda dengan orang Indonesia yang mungkin saja mengatakan sesuatu yang tidak baik itu sebagai baik demi alasan ketidak-nyamanan untuk berterus terang.
Sama dengan konteks tinggi, budaya konteks rendah ini juga tidak bermakna sebagai kekurangan dalam komunikasi. Komunikasi pada orang yang memiliki budaya konteks rendah lebih mementingkan kejujuran dan keterus-terangan dalam berkomunikasi. Karena itu pada sebagian orang yang menganut budaya konteks tinggi, kejujuran orang dari budaya konteks rendah untuk mengatakan yang sebenarnya ini melahirkan satu image atau penilaian kepada orang Erofa sebagai kurang sopan, atau kurang bisa menghargai orang lain.

Karakteristik Konteks Budaya dalam Komunikasi
Sememangnya budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah dalam komunikasi mempunyai karakteristik yang khas, yang membedakan keduanya. Secara sederhana telah disebutkan di atas bahwa LCC lebih menuntut proses komunikasi yang praktis, singkat, to the point dan mudah saja. Sedangkan HCC lebih menginginkan proses komunikasi yang detil, rinci sehingga cendrung lebih sukar.
Menurut Liliweri (2003: 157-158), anggota budaya LCC lebih mengutamakan informasi tentang individu, aspek-aspek dari individu itu harus lengkap, mereka tidak mengutamakan pertimbangan latar belakang individu keanggotaan (sosial, budaya, etnik, agama). Bagi orang LCC, ia lebih menginginkan sebuah prediksi tentang siapa individu itu, bukan kelompoknya. Sebaliknya masyarakat dengan kebudayaan HCC lebih menekankan kehadiran seorang individu dengan dukungan faktor sosial, mereka tidak peduli siapa dia, apa pekerjaannya dan sebagainya. Hal ini dikarenakan HCC lebih mendengarkan loyalitas kelompoknya dibandingkan individu.
Berikut perbandingan persepsi budaya komunikasi pada HCC dan LCC ditampilkan.

Tabel I
Persepsi Budaya dalam Komunikasi

High Contect Culture (HCC) Low Contect Culture (LCC)
Prosedur pengalihan informasi lebih sukar Prosedur pengalihan informasi menjadi lebih gampang
Persepsi terhadap isu dan orang yang menyebarkan isu
Tidak memisahkan isu dan orang yang mengkomunikasikan isu Memisahkan isu dan orang yang menyampaikan isu tersebut
Persepsi terhadap tugas dan relasi
• Mengutamakan relasi sosial dalam melaksanakan tugas.
• Social oriented.
• Personal relations • Relasi antarmanusia dalam tugas berdasarkan relasi tugas.
• Task oriented.
• Impersonal relations
Persepsi terhadap kelogisan informasi
• Tidak menyukai informasi yang rasional.
• Mengutamakan emosi.
• Mengutamakan basa basi • Menyukai informasi yang rasional.
• Menjauhi sikap emosi
• Tidak mengutamakan basa basi
Persepsi terhadap gaya komunikasi
• Memakai gaya komunikasi tidak langsung.
• Mengutamakan pertukaran informasi secara nonverbal
• Mengutamakan suasana komunikasi yang informal • Memakai gaya komunikasi langsung.
• Mengutamakan pertukaran informasi secara verbal.
• Mengutamakan suasana komunikasi yang formal
Persepsi terhadap pola komunikasi
• Mengutamakan perundingan melalui human relations.
• Pilihan komunikasi meliputi perasaan dan intuisi.
• Mengutamakan hati daripada otak • Mengutamakan perundingan melalui bargaining.
• Pilihan komunikasi meliputi pertimbangan rasional.
• Mengutamakan otak daripada hati
Persepsi terhadap informasi tentang individu
• Mengutamakan individu dengan mempertimbangkan dukungan faktor sosial.
• Mempertimbangkan loyalitas individu kepada kelompok • Mengutamakan kafasitas individu tampa memperhatikan faktor sosial.
• Tidak mengutamakan pertimbangan loyalitas individu kepada kelompok
Bentuk pesan/informasi
Sebagian besar pesan tersembunyi atau implisit Sebagian pesan jelas tampak atau eksplisit
Reaksi terhadap sesuatu
Reaksi terhadap sesuatu tidak selalu tanpak Reaksi terhadap sesuatu selalu tampak
Memandang in group dan out group
Selalu luwes dalam melihat perbedaan in group dengan out group Selalu memisahkan kepentingan in group dengan out group
Sifat pertalian antarpribadi
Pertalian antarpribadi sangat kuat Pertalian antarpribadi sangat lemah
Konsep waktu
Konsep terhadap waktu sangat terbuka dan luwes Konsep terhadap waktu yang sangat terorganisir

Sumber: Liliweri, 2003: 158-159


Pengaruh Konteks Budaya dalam Komunikasi
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa konteks budaya yang beda akan melahirkan bentuk komunikasi yang berbeda pula. Orang yang memiliki konteks budaya yang rendah (LCC) berbeda cara berkomunikasi dengan orang yang memiliki konteks budaya yang tinggi (HCC). Orang dari konteks budaya rendah lebih berterus terang dalam perkataan, lebih jujur untuk mengatakan perasaan dan keinginannya. Orang dari budaya ini lebih mengharapkan orang lain mudah mengerti dengan apa yang diungkapkan dengan apa yang diharapkannya.
Orang yang datang dari budaya konteks rendah ini adalah orang yang mempunyai karakter komunikasi yang lebih terbuka. Mereka siap mengungkap keadaan diri yang sebenarnya, sebagaimana ia juga mengharapkan orang lain bisa terbuka terhadap dirinya. Sikap keterbukaan dalam komunikasi ini jika dilansungkan kepada orang yang mempunyai karakteristik yang sama, tentu saja akan sangat baik dalam proses komunikasi antarpribadi. Tapi tidak sama baiknya jika komunikasi terbuka ini berhadapan dengan karakteristik komunikasi yang tertutup pada orang dari budaya konteks tinggi.
Sedangkan orang dari budaya konteks tinggi lebih senang berbunga-bunga dalam pembicaraan, bertele-tele dalam berkata dan tidak mengatakan apa yang dirasakan dan diinginkan. Orang dari budaya ini lebih pandai bersindiran tentang apa yang dimaksudkan/dikatakan. Dia lebih mengharapkan orang lain bisa memahami dengan apa yang diinginkan sebenarnya dari apa yang diucapkan.
Orang yang datang dari budaya konteks tinggi ini adalah orang yang mempunyai karakteristik komunikasi yang cendrung lebih tertutup. Mereka tidak mau buka-bukaan tentang diri sendiri sebagaimana mereka juga menghargai orang lain dengan tidak mengatakan sejujurnya dan apa adanya. Bahkan dengan alasan kesopan-santunan, mereka ini cendrung tidak berkata jujur, tidak to the point dan terkesan bertele-tele dalam komunikasi.
Sikap komunikasi seperti ini jika dilansungkan kepada orang yang sama-sama dari budaya konteks tinggi tentu tidak ada masalah. Akan tetapi tidak demikian jika komunikasi kelompok ini berhadapan dengan orang dari budaya konteks rendah. Inilah sebenarnya yang lebih menarik, bahkan menjadi persoalan dalam komunikasi, bagaimana ketika komunikasi berlansung di antara orang yang memiliki perbedaan konteks budaya dalam komunikasi.

Penutup
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan beberapa hal utama mengenai konteks budaya dalam komunikasi, yakni:
Pertama, budaya dan komunikasi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena sesungguhnya orang berkomunikasi senantiasa mengikuti aturan budaya yang dimilikinya, dan sebaliknya budaya menjadi lestari melalui proses komunikasi yang dilakukan secara terus menerus. Disinilah ungkapan Edward T. Hall menjadi signifikan, Culture is communication and communication is culture.
Kedua, sebagai proses yang dinamis, komunikasi yang dilangsungkan senantiasa mengikuti situasi dan kondisi yang mengitarinya, yang disebut dengan konteks. Konteks inilah sebenarnya yang menentukan makna pesan yang dipertukarkan dalam proses komunikasi yang dilansungkan.
Ketiga, bagaimana cara berkomunikasi dan menafsirkan pesan yang disampaikan sangat bergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang dalam hidupnya, inilah yang disebut dengan konteks budaya. Karena itu konteks budaya ini mesti dipahami dalam setiap proses komunikasi yang dilansungkan, apalagi dalam konteks komunikasi antarbudaya.
Perbedaan konteks budaya memang berjalan seiring dengan polarisasi komunikasi yang terbangun dalam hubungan sosial manusia. Karena itu orang akan membangun komunikasi sesuai dengan apa yang diajarkan oleh budaya dan konteks budaya yang dilalui dalam hidupnya. Singkat kata, begitulah realitas hidup dan komunikasi yang sesungguhnya, senantiasa dinamis dan kontekstual. Wallhu a`lamu bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar