Artikel Pendahuluan untuk buku kumpulan tulisan Mahasiswa S.2 IAIN Pontianak
dalam matakuliah Metodologi Studi Islam
Oleh: Ibrahim MS
Agama &
Studi Agama
Bicara agama sesungguhnya merupakan tema diskursus yang tidak
pernah tuntas dalam sejarah manusia. Hal ini bersinergi dengan kedudukan agama
dalam kehidupan manusia pada satu sisi, dan sikap manusia terhadap agama pada
sisi lain. Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai kedudukan yang penting,
bahkan sakral. Apakah itu agama samawi (berdasarkan wahyu) ataupun agama
ardhi (berdasarkan budaya), agama selalu menempati kedudukan yang
penting dalam kehidupan manusia. Bukan saja sebagai sumber rujukan nilai
(pedoman hidup), namun juga menjadi juru pengadil terhadap apa yang disebut
“kebenaran” itu. Dalam konteks inilah agama mempunyai kekuatan memaksa terhadap
penganutnya mengenai apa yang harus dipercayai dan diamalkan.
Sementara itu, sikap manusia terhadap agama senantiasa mengikuti
perkembangan sejarah keberagamaannya, terhadap agama apapun. Yang pasti, ada
dua implikasi yang mungkin didapatkan dari sikap manusia terhadap agamanya. Pertama,
agama akan menjadi penyelamat sebagaimana misi dan tujuan setiap agama. Kedua,
agama bisa menjadi kekuatan “pembunuh” yang kejam dan maha dahsyat, jika
disikapi dengan keliru. Atau dengan kata lain disalah-gunakan oleh pemikiran
yang picik dan dangkal terhadap substansi beragama.
Untuk kemungkinan pertama, agama dipandang sebagai tuntunan hidup
manusia yang mampu memberikan arah dan tujuan hidup manusia (hudan).
Dalam konteks ini, agama akan menjadi sumber nilai yang memberikan keselamatan
hidup manusia, dan menghindarkan manusia dari kesesatan dan kebinasaan. Agama
menjadi sarana membangun komunikasi antara Sang Pencipta dengan yang
diciptakan, serta antara sesama makhluk ciptaan-Nya. Inilah sesungguhnya misi
agama yang paling penting dan diakui oleh seluruh ummat sebagai penyelamat dan
penuntun menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Kemungkinan implikasi sikap terhadap agama yang kedua, menarik dilihat
pernyataan yang dikemukakan oleh Kimbal dalam bukunya When Religion becames
Evil (Sumanto Al Qurtuby, 2005: 86). Menurutnya, agama bisa menjadi
kekuatan “pembinasa” (destruktif) jika diwujudkan dalam lima perilaku
keagamaan berikut ini; pertama, jika terjadi saling klaim terhadap agama
sendiri sebagai satu-satunya kebenaran mutlak; kedua, ketika adanya ketaatan
buta terhadap pemimpin agama; ketiga, ketika agama mengarah pada kecendrungan
merindukan “zaman ideal” atau apa yang lebih dikenal dengan istilah sindrom
negara agama atau negara teokratis; keempat, ketika agama dijadikan
sebagai pembenaran untuk mencapai tujuan dengan segala cara; kelima, ketika
semangat membela agama lahir dalam jargon perang suci agama.
Dari kutipan di atas, ada beberapa hal yang mesti dipahami oleh
setiap umat beragama dalam konteks keberagamaan. Pertama, agama adalah
ketentuan normatif yang menjadi penunjuk arah dan tuntunan hidup ummat,
karenanya ia harus dapat dipahami dengan baik dan benar sebagai sebuah misi penyelamatan
hidup manusia; kedua, kebenaran yang dibawakan oleh agama (norma-norma
agama) sesungguhnya bersifat sangat terbuka bagi upaya pemahaman dan penafsiran
umatnya, sebab dengan begitulah agama mampu bertahan dalam sejarah keberagamaan
manusia hingga saat ini; ketiga, agama yang menjadi sumber pemahaman dan
tafsiran umat tidaklah sama dengan agama yang dihasilkan dari proses pemahaman
dan tafsiran tersebut. Jika agama yang menjadi sumber merupakan kebenaran
mutlak berdasarkan kehendak Tuhan semata, maka agama yang kita pahami (hasil
tafsiran-ijtihad) adalah kebenaran subjektif (intersubjektif); keempat,
agama sebagai tuntunan yang datang/diturunkan oleh Sang Pencipta (Allah Swt)
melalui perantaraan wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulnya
(Muhammad Saw), dan dijadikan sebagai pedoman (hudan) bagi manusia
adalah bersifat komunikatif.
Sebagai sebuah bentuk komunikasi, agama (dengan perantaraan wahyu) terbuka
peluang dan kemungkinan pada setiap orang untuk memberikan pemahaman dan tafsiran
masing-masing. Karena itu pulalah sepatutnya tidak ada klaim bahwa pemahaman
dan tafsiran agama tertentu sebagai satu-satunya yang paling benar. Sebab
kebenaran yang sesungguhnya (kebenaran multak) itu hanya ada pada Allah sebagai
sang komunikator pertama dan utama, dan pembuat sumber norma agama tersebut.
Sedangkan kebenaran yang lain (hasil tafsiran manusia) adalah kebenaran
subjektif, yang selanjutnya menjadi kebenaran-kebenaran intersubjektif.
Berangkat dari argumentasi di atas lahirlah satu kesadaran akan pentingnya
studi agama untuk terus dilakukan. Dimana munculnya beragam metode dalam
memahami agama yang harus dikenal sebagai sebuah upaya (ijtihad) dalam beragama
(Atho`, 1998; Abuddin Nata, 1998; Didin Saifuddin, 2005; serta Atang &
Mubarok, 2006). Upaya-upaya inilah yang hari ini melahirkan disiplin ilmu
Metodologi Studi Agama atau Metodologi Studi Islam dalam dunia akademis
(ilmiah).
Kebenaran dalam Studi Agama
Apapun pemahaman keagamaan yang dihasilkan dari sebuah Metodologi Studi
Agama tidak akan pernah sampai pada satu kebenaran yang mutlak, sebab kebenaran
mutlak itu ada pada Allah Swt sebagai komunikator utama dan pertama yang
merupakan hakikat kebenaran itu sendiri. Kebenaran inilah yang kita percayai
berdasarkan wahyu yang dibawa oleh Jibril, kemudian diterima oleh Muhammad
(rasul) yang berwujud dalam bahasa manusia, bahasa arab/al-qur`an. Kebenaran
inilah yang berusaha dicari dan dipahami oleh manusia melalui studi-studi
agama. Karena itu, apapun hasil dari studi agama mesti dipahami sebagai satu
kebenaran yang terbatas. Kebenaran yang didasarkan pada satu cara kerja
penafsiran dan pemahaman keagamaan tertentu yang bersifat relatif dan sangat subjektif.
Artinya bahwa pemahaman keagamaan dengan metodologi studi tertentu tidak mesti
terbukti benar dengan metodologi studi yang lainnya. Setiap orang mempunyai hak
untuk mencari “kebenaran subjektif” dari pemahaman keagamaan sesuai dengan
metodologi studi agama yang digunakan.
Kaitan dengan proses studi agama ini, ada pernyataan menarik yang
diungkapkan oleh KH. M. Tolhah Hasan dalam sebuah pengantar bukunya Islam
dalam Perspektif Sisiokultural. Menurutnya, sebagai sebuah produk dari
studi terhadap norma agama, “apa yang dihasilkannya dalam tulisan (karyanya)
tersebut hanyalah setitik kecil dari upaya memahami Islam di tengah perubahan
masyarakat yang terus berkembang”.
Pernyataan tersebut memberikan sebuah penegasan yang sadar dari
beliau bahwasanya kebenaran yang dihasilkan dari satu studi terhadap agama
tidak pernah sampai pada kebenaran yang menyeluruh (mutlak) dan tuntas,
melainkan kebenaran yang terbatas dan berdasarkan subjektifitas penulis yang
terbatas pula. Pernyataan sadar ini juga memberikan pemahaman bahwa kebenaran
dalam agama selalu terbuka untuk dikaji dan dilakukan studi, kapanpun dan
dimanapun, termasuk dengan berbagai pendekatan dan metodologi studi yang terus
berkembang hingga saat ini.
Realitas Studi Agama dalam Diskursus
Sebagai sebuah agama samawi yang dipercayai membawa nilai-nilai
kesempurnaan dan rahmatan lil`alamin, Islam merupakan agama yang kaya
akan nilai-nilai kerisalahan dan kerahmatan, kaya akan
nilai-nilai yang bersifat responshibility terhadap persoalan zaman dan tempat.
Hal ini disebabkan Islam dengan norma dasar al-Qur`an dan Hadits sangat terbuka
untuk dipahami dan dikaji oleh siapapun, di dunia manapun dan kapanpun.
Secara normatif, teks al-qur`an (wahyu) dan hadits (sunnah) secara tegas (qath`i)
dipercayai sebagai teks yang final dari Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw.
Artinya bahwa umat Islam sepakat bahwa tidak akan ada perubahan (pengurangan
maupun penambahan) terhadap teks-teks wahyu dan as-sunnah tersebut. Sebaliknya,
Islam memberikan keleluasaan bagi ummat untuk melakukan kajian dan studi
terhadap teks tersebut dalam upaya memahami pesan-pesan agama (Islam).
Berangkat dari realitas inilah munculnya berbagai studi terhadap agama yang
bersinergi dengan lahirnya berbagai metodologi studi yang digunakan dari metode
klasik hingga metode ilmiah modern.
Metode klasik dalam realitas studi agama setidaknya melingkupi
empat katagorisasi (Harun Nasution, 1993; Nurchalis Madjid, 2000; dll) yang
meliputi:
1.
Perbincangan
tentang Tuhan dan segala derivasinya yang melahirkan satu pendekatan studi
agama yang dikenal dengan Ilmu Kalam.
2.
Kajian
mengenai tata peribadatan formal dan hukum yang bersifat lahiriah-eksoterik
yang dikenal dengan Ilmu Fiqih.
3.
Kajian
terhadap penghayatan dan pengamalan agama yang bersifat bathiniyah-esoterik
yang dikenal dengan Ilmu Tasawuf.
4.
Kajian
yang mengandalkan fungsi akal atau perenungan spekulatif tentang hidup dan
ruang lingkupnya yang dikenal dengan Ilmu Filsafat.
Dari aspek pendekatan studi inilah kita mendapati beberapa produk
studi Islam klasik dalam bidang Fiqih dan ilmu fiqih, dalam bidang Kalam,
Tasawuf dan Filsafat Islam. Dari sisi historis perkembangan studi Islam klasik
ini pula ditandai dengan berbagai penggalan sejarah sosial ummat dari masa para
sahabat salaf, tabi`ut tabi`in, hingga perkembangan dinasti Islamiyah seperti
Abbasiyah dan Muawiyah, khawarij, dan sebagainya. Dari sisi produk dan
metodologi studi kita mengenal adanya kelompok yang berfahamkan bahwa kehendak mutlak
Allah Swt itulah yang dijalankan oleh manusia dalam hidupnya yang dikenal
dengan pemikiran Jabariyah. Sebaliknya ada juga kelompok yang berfahamkan bahwa
akal manusia mempunyai kemampuan dan bertanggung jawab dalam kehidupan manusia
yang dikenal dengan kaum Qadariyah. Begitulah seterusnya kita mengenal kelompok
pemikiran Mu`tazilah, Ahlussunnah Waljamaah, dan sebagainya.
Selain metode klasik, studi Islam terus mengalami perkembangan yang
signifikan, bahkan bukan saja oleh para ilmuan muslim, melainkan juga para
ilmuan nosmuslim (orientalis). Islam dengan dasar normatif (al-qur`an
dan hadits) yang dipercayai sebagai sudah final pada satu sisi, dan dihadapkan
dengan persoalan sosial kemasyarakatan yang terus berkembang, mengharuskan
adanya upaya kajian terus menerus dan up to date. Apalagi jika mengacu
pada pernyataan keagamaan yang mempercayai bahwa Islam adalah agama rahmatan
lil`alamin yang sesuai untuk segala waktu dan tempat, lagi-lagi menjadi ruh
(semangat) untuk perkembangan studi Islam. Inilah setidaknya yang melandasi
munculnya beragam studi Islam modern yang bukan saja mendasarkan kajian pada
aspek Fiqih, Kalam, Tasawuf dan Filsafat, melainkan berbagai metodologi ilmiah
modern seperti Pendekatan Sosiologi, Psikologi, Fenomenologi, Feminimisme, Filosofis
dan Antropologi (Peter Connoly, 2002), termasuk metodologi tafsir tekstual yang
bergerak dari tafsir teks (bil ayah), tafsir birra`yi, tafsir
tematik (maudhu`i), hingga tafsir modern dan kontekstual semacam
Hermeneutik (Amin Abdullah, 1996; Komaruddin Hidayat, 1996 dll).
Pendekatan Studi dalam Kuliah Metodologi Studi Islam.
Sebagai satu mata kuliah yang membahas tentang berbagai metode
dalam memahami Islam (metodologi studi Islam), maka pendekatan studi literature
menjadi pilihan dalam kuliah MSI ini. Dengan pendekatan tersebut, perkuliahan
ini dilakukan dalam bentuk membuat analisis dan kajian kritis terhadap literatur-literatur
yang terkait dengan studi Islam. Artinya bahwa, melalui mata kuliah ini
mahasiswa diajak untuk mengkaji Islam dan aspek-aspeknya sebagai produk (hasil)
metodologi studi Islam melalui literatur-literatur pilihan.
Karena itu, dalam proses perkuliahan masing-masing mahasiswa diberi
tugas untuk mengkaji satu literatur (buku), kemudian lakukan kajian dan
analisis terhadap literatur tersebut dengan perspektif metodologi studi Islam.
Kajian tersebut ditulis dalam bentuk makalah dan didiskusikan di kelas.
Sebagai output
(hasil) dari proses perkuliahan ini adalah terbitnya sebuah buku kumpulan dari
makalah yang ditulis oleh mahasiswa peserta kelas MSI dari analisis terhadap
buku-buku literatur yang merupakan produk (hasil) studi Islam, sebagaimana
dalam lampiran. Sebagai sebuah analisis terhadap hasil kajian
(tafsiran), kajian ini mungkin dapat dikatagorikan sebagai metastudi
atau studi terhadap produk studi Islam. Sebagai satu bentuk karya metastudi,
kami sadar bahwa tulisan yang ditampilkan dalam komfilasi ini adalah pandangan
yang sangat terbatas dan subjektif, sesuai dengan kapasitas ilmu pengetahuan
para penulisnya, apalagi karya ini dalam konteks kuliah Metodologi Studi Islam.
Karena itu, segala kelemahan dan kekurangannya mesti dapat dipahami dan
ditempatkan sebagai pandangan yang bersifat subjektif pula. Wallahu a`lamu
bis shawab_Ramadhan 1434 H
Daftar Bacaan
Abuddin Nata. 1998. Metodologi
Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Amin Abdullah. 1996. Studi
Agama: Normativitas & Historisitas. Jogjakarta: LKiS
Atang & Mubarok. 2006. Metodologi
Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Atho` Muzhar. 1998. Pendekatan
Studi Islam: Teori & Praktek. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Didin Saifuddin Buchari. 2005. Metodologi
Studi Islam. Bogor: Granada Sarana Pustaka
Harun Nasution. 1993. Islam
ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1 & 2. Jakarta: UI Press.
Kamarudin Hidayat. 1996. Memahami
bahasa Agama: sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina.
M. Tholchah Hasan. 2000. Islam dalam Perspektif Sosiokultural.
Jakarta: Lantabora Press.
Nurchalis Madjid. 2000. Islam:
Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Peter Connolly (ed.). 2002. Aneka
Pendekatan Studi Agama. Jogjakarta: LKiS
Sumanto Al-Qurtuby. 2005. Lubang Hitam Agama. Jogjakarta:
Penerbit RumahKata.