Kamis, 03 Oktober 2013

METASTUDI ISLAM: SEBUAH IJTIHAD DALAM BERAGAMA



Artikel Pendahuluan untuk buku kumpulan tulisan Mahasiswa S.2 IAIN Pontianak 
dalam matakuliah Metodologi Studi Islam

Oleh: Ibrahim MS

Agama & Studi Agama
Bicara agama sesungguhnya merupakan tema diskursus yang tidak pernah tuntas dalam sejarah manusia. Hal ini bersinergi dengan kedudukan agama dalam kehidupan manusia pada satu sisi, dan sikap manusia terhadap agama pada sisi lain. Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai kedudukan yang penting, bahkan sakral. Apakah itu agama samawi (berdasarkan wahyu) ataupun agama ardhi (berdasarkan budaya), agama selalu menempati kedudukan yang penting dalam kehidupan manusia. Bukan saja sebagai sumber rujukan nilai (pedoman hidup), namun juga menjadi juru pengadil terhadap apa yang disebut “kebenaran” itu. Dalam konteks inilah agama mempunyai kekuatan memaksa terhadap penganutnya mengenai apa yang harus dipercayai dan diamalkan.
Sementara itu, sikap manusia terhadap agama senantiasa mengikuti perkembangan sejarah keberagamaannya, terhadap agama apapun. Yang pasti, ada dua implikasi yang mungkin didapatkan dari sikap manusia terhadap agamanya. Pertama, agama akan menjadi penyelamat sebagaimana misi dan tujuan setiap agama. Kedua, agama bisa menjadi kekuatan “pembunuh” yang kejam dan maha dahsyat, jika disikapi dengan keliru. Atau dengan kata lain disalah-gunakan oleh pemikiran yang picik dan dangkal terhadap substansi beragama.
Untuk kemungkinan pertama, agama dipandang sebagai tuntunan hidup manusia yang mampu memberikan arah dan tujuan hidup manusia (hudan). Dalam konteks ini, agama akan menjadi sumber nilai yang memberikan keselamatan hidup manusia, dan menghindarkan manusia dari kesesatan dan kebinasaan. Agama menjadi sarana membangun komunikasi antara Sang Pencipta dengan yang diciptakan, serta antara sesama makhluk ciptaan-Nya. Inilah sesungguhnya misi agama yang paling penting dan diakui oleh seluruh ummat sebagai penyelamat dan penuntun menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Kemungkinan implikasi sikap terhadap agama yang kedua, menarik dilihat pernyataan yang dikemukakan oleh Kimbal dalam bukunya When Religion becames Evil (Sumanto Al Qurtuby, 2005: 86). Menurutnya, agama bisa menjadi kekuatan “pembinasa” (destruktif) jika diwujudkan dalam lima perilaku keagamaan berikut ini; pertama, jika terjadi saling klaim terhadap agama sendiri sebagai satu-satunya kebenaran mutlak; kedua, ketika adanya ketaatan buta terhadap pemimpin agama; ketiga,  ketika agama mengarah pada kecendrungan merindukan “zaman ideal” atau apa yang lebih dikenal dengan istilah sindrom negara agama atau negara teokratis; keempat, ketika agama dijadikan sebagai pembenaran untuk mencapai tujuan dengan segala cara; kelima, ketika semangat membela agama lahir dalam jargon perang suci agama.
Dari kutipan di atas, ada beberapa hal yang mesti dipahami oleh setiap umat beragama dalam konteks keberagamaan. Pertama, agama adalah ketentuan normatif yang menjadi penunjuk arah dan tuntunan hidup ummat, karenanya ia harus dapat dipahami dengan baik dan benar sebagai sebuah misi penyelamatan hidup manusia; kedua, kebenaran yang dibawakan oleh agama (norma-norma agama) sesungguhnya bersifat sangat terbuka bagi upaya pemahaman dan penafsiran umatnya, sebab dengan begitulah agama mampu bertahan dalam sejarah keberagamaan manusia hingga saat ini; ketiga, agama yang menjadi sumber pemahaman dan tafsiran umat tidaklah sama dengan agama yang dihasilkan dari proses pemahaman dan tafsiran tersebut. Jika agama yang menjadi sumber merupakan kebenaran mutlak berdasarkan kehendak Tuhan semata, maka agama yang kita pahami (hasil tafsiran-ijtihad) adalah kebenaran subjektif (intersubjektif); keempat, agama sebagai tuntunan yang datang/diturunkan oleh Sang Pencipta (Allah Swt) melalui perantaraan wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulnya (Muhammad Saw), dan dijadikan sebagai pedoman (hudan) bagi manusia adalah bersifat komunikatif.
Sebagai sebuah bentuk komunikasi, agama (dengan perantaraan wahyu) terbuka peluang dan kemungkinan pada setiap orang untuk memberikan pemahaman dan tafsiran masing-masing. Karena itu pulalah sepatutnya tidak ada klaim bahwa pemahaman dan tafsiran agama tertentu sebagai satu-satunya yang paling benar. Sebab kebenaran yang sesungguhnya (kebenaran multak) itu hanya ada pada Allah sebagai sang komunikator pertama dan utama, dan pembuat sumber norma agama tersebut. Sedangkan kebenaran yang lain (hasil tafsiran manusia) adalah kebenaran subjektif, yang selanjutnya menjadi kebenaran-kebenaran intersubjektif.
Berangkat dari argumentasi di atas lahirlah satu kesadaran akan pentingnya studi agama untuk terus dilakukan. Dimana munculnya beragam metode dalam memahami agama yang harus dikenal sebagai sebuah upaya (ijtihad) dalam beragama (Atho`, 1998; Abuddin Nata, 1998; Didin Saifuddin, 2005; serta Atang & Mubarok, 2006). Upaya-upaya inilah yang hari ini melahirkan disiplin ilmu Metodologi Studi Agama atau Metodologi Studi Islam dalam dunia akademis (ilmiah).

Kebenaran dalam Studi Agama
Apapun pemahaman keagamaan yang dihasilkan dari sebuah Metodologi Studi Agama tidak akan pernah sampai pada satu kebenaran yang mutlak, sebab kebenaran mutlak itu ada pada Allah Swt sebagai komunikator utama dan pertama yang merupakan hakikat kebenaran itu sendiri. Kebenaran inilah yang kita percayai berdasarkan wahyu yang dibawa oleh Jibril, kemudian diterima oleh Muhammad (rasul) yang berwujud dalam bahasa manusia, bahasa arab/al-qur`an. Kebenaran inilah yang berusaha dicari dan dipahami oleh manusia melalui studi-studi agama. Karena itu, apapun hasil dari studi agama mesti dipahami sebagai satu kebenaran yang terbatas. Kebenaran yang didasarkan pada satu cara kerja penafsiran dan pemahaman keagamaan tertentu yang bersifat relatif dan sangat subjektif. Artinya bahwa pemahaman keagamaan dengan metodologi studi tertentu tidak mesti terbukti benar dengan metodologi studi yang lainnya. Setiap orang mempunyai hak untuk mencari “kebenaran subjektif” dari pemahaman keagamaan sesuai dengan metodologi studi agama yang digunakan.
Kaitan dengan proses studi agama ini, ada pernyataan menarik yang diungkapkan oleh KH. M. Tolhah Hasan dalam sebuah pengantar bukunya Islam dalam Perspektif Sisiokultural. Menurutnya, sebagai sebuah produk dari studi terhadap norma agama, “apa yang dihasilkannya dalam tulisan (karyanya) tersebut hanyalah setitik kecil dari upaya memahami Islam di tengah perubahan masyarakat yang terus berkembang”.
Pernyataan tersebut memberikan sebuah penegasan yang sadar dari beliau bahwasanya kebenaran yang dihasilkan dari satu studi terhadap agama tidak pernah sampai pada kebenaran yang menyeluruh (mutlak) dan tuntas, melainkan kebenaran yang terbatas dan berdasarkan subjektifitas penulis yang terbatas pula. Pernyataan sadar ini juga memberikan pemahaman bahwa kebenaran dalam agama selalu terbuka untuk dikaji dan dilakukan studi, kapanpun dan dimanapun, termasuk dengan berbagai pendekatan dan metodologi studi yang terus berkembang hingga saat ini.

Realitas Studi Agama dalam Diskursus
Sebagai sebuah agama samawi yang dipercayai membawa nilai-nilai kesempurnaan dan rahmatan lil`alamin, Islam merupakan agama yang kaya akan nilai-nilai kerisalahan dan kerahmatan, kaya akan nilai-nilai yang bersifat responshibility terhadap persoalan zaman dan tempat. Hal ini disebabkan Islam dengan norma dasar al-Qur`an dan Hadits sangat terbuka untuk dipahami dan dikaji oleh siapapun, di dunia manapun dan kapanpun.
Secara normatif, teks al-qur`an (wahyu) dan hadits  (sunnah) secara tegas (qath`i) dipercayai sebagai teks yang final dari Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw. Artinya bahwa umat Islam sepakat bahwa tidak akan ada perubahan (pengurangan maupun penambahan) terhadap teks-teks wahyu dan as-sunnah tersebut. Sebaliknya, Islam memberikan keleluasaan bagi ummat untuk melakukan kajian dan studi terhadap teks tersebut dalam upaya memahami pesan-pesan agama (Islam). Berangkat dari realitas inilah munculnya berbagai studi terhadap agama yang bersinergi dengan lahirnya berbagai metodologi studi yang digunakan dari metode klasik hingga metode ilmiah modern.
Metode klasik dalam realitas studi agama setidaknya melingkupi empat katagorisasi (Harun Nasution, 1993; Nurchalis Madjid, 2000; dll) yang meliputi:
1.      Perbincangan tentang Tuhan dan segala derivasinya yang melahirkan satu pendekatan studi agama yang dikenal dengan Ilmu Kalam.
2.      Kajian mengenai tata peribadatan formal dan hukum yang bersifat lahiriah-eksoterik yang dikenal dengan Ilmu Fiqih.
3.      Kajian terhadap penghayatan dan pengamalan agama yang bersifat bathiniyah-esoterik yang dikenal dengan Ilmu Tasawuf.
4.      Kajian yang mengandalkan fungsi akal atau perenungan spekulatif tentang hidup dan ruang lingkupnya yang dikenal dengan Ilmu Filsafat.   
Dari aspek pendekatan studi inilah kita mendapati beberapa produk studi Islam klasik dalam bidang Fiqih dan ilmu fiqih, dalam bidang Kalam, Tasawuf dan Filsafat Islam. Dari sisi historis perkembangan studi Islam klasik ini pula ditandai dengan berbagai penggalan sejarah sosial ummat dari masa para sahabat salaf, tabi`ut tabi`in, hingga perkembangan dinasti Islamiyah seperti Abbasiyah dan Muawiyah, khawarij, dan sebagainya. Dari sisi produk dan metodologi studi kita mengenal adanya kelompok yang berfahamkan bahwa kehendak mutlak Allah Swt itulah yang dijalankan oleh manusia dalam hidupnya yang dikenal dengan pemikiran Jabariyah. Sebaliknya ada juga kelompok yang berfahamkan bahwa akal manusia mempunyai kemampuan dan bertanggung jawab dalam kehidupan manusia yang dikenal dengan kaum Qadariyah. Begitulah seterusnya kita mengenal kelompok pemikiran Mu`tazilah, Ahlussunnah Waljamaah, dan sebagainya.
Selain metode klasik, studi Islam terus mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan bukan saja oleh para ilmuan muslim, melainkan juga para ilmuan nosmuslim (orientalis). Islam dengan dasar normatif (al-qur`an dan hadits) yang dipercayai sebagai sudah final pada satu sisi, dan dihadapkan dengan persoalan sosial kemasyarakatan yang terus berkembang, mengharuskan adanya upaya kajian terus menerus dan up to date. Apalagi jika mengacu pada pernyataan keagamaan yang mempercayai bahwa Islam adalah agama rahmatan lil`alamin yang sesuai untuk segala waktu dan tempat, lagi-lagi menjadi ruh (semangat) untuk perkembangan studi Islam. Inilah setidaknya yang melandasi munculnya beragam studi Islam modern yang bukan saja mendasarkan kajian pada aspek Fiqih, Kalam, Tasawuf dan Filsafat, melainkan berbagai metodologi ilmiah modern seperti Pendekatan Sosiologi, Psikologi, Fenomenologi, Feminimisme, Filosofis dan Antropologi (Peter Connoly, 2002), termasuk metodologi tafsir tekstual yang bergerak dari tafsir teks (bil ayah), tafsir birra`yi, tafsir tematik (maudhu`i), hingga tafsir modern dan kontekstual semacam Hermeneutik (Amin Abdullah, 1996; Komaruddin Hidayat, 1996 dll).

Pendekatan Studi dalam Kuliah Metodologi Studi Islam.
Sebagai satu mata kuliah yang membahas tentang berbagai metode dalam memahami Islam (metodologi studi Islam), maka pendekatan studi literature menjadi pilihan dalam kuliah MSI ini. Dengan pendekatan tersebut, perkuliahan ini dilakukan dalam bentuk membuat analisis dan kajian kritis terhadap literatur-literatur yang terkait dengan studi Islam. Artinya bahwa, melalui mata kuliah ini mahasiswa diajak untuk mengkaji Islam dan aspek-aspeknya sebagai produk (hasil) metodologi studi Islam melalui literatur-literatur pilihan.
Karena itu, dalam proses perkuliahan masing-masing mahasiswa diberi tugas untuk mengkaji satu literatur (buku), kemudian lakukan kajian dan analisis terhadap literatur tersebut dengan perspektif metodologi studi Islam. Kajian tersebut ditulis dalam bentuk makalah dan didiskusikan di kelas.  
Sebagai output (hasil) dari proses perkuliahan ini adalah terbitnya sebuah buku kumpulan dari makalah yang ditulis oleh mahasiswa peserta kelas MSI dari analisis terhadap buku-buku literatur yang merupakan produk (hasil) studi Islam, sebagaimana dalam lampiran. Sebagai sebuah analisis terhadap hasil kajian (tafsiran), kajian ini mungkin dapat dikatagorikan sebagai metastudi atau studi terhadap produk studi Islam. Sebagai satu bentuk karya metastudi, kami sadar bahwa tulisan yang ditampilkan dalam komfilasi ini adalah pandangan yang sangat terbatas dan subjektif, sesuai dengan kapasitas ilmu pengetahuan para penulisnya, apalagi karya ini dalam konteks kuliah Metodologi Studi Islam. Karena itu, segala kelemahan dan kekurangannya mesti dapat dipahami dan ditempatkan sebagai pandangan yang bersifat subjektif pula. Wallahu a`lamu bis shawab_Ramadhan 1434 H

Daftar Bacaan
Abuddin Nata. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Amin Abdullah. 1996. Studi Agama: Normativitas & Historisitas. Jogjakarta: LKiS

Atang & Mubarok. 2006. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Atho` Muzhar. 1998. Pendekatan Studi Islam: Teori & Praktek. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Didin Saifuddin Buchari. 2005. Metodologi Studi Islam. Bogor: Granada Sarana Pustaka

Harun Nasution. 1993. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1 & 2. Jakarta: UI Press.

Kamarudin Hidayat. 1996. Memahami bahasa Agama: sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina.

M. Tholchah Hasan. 2000. Islam dalam Perspektif Sosiokultural. Jakarta: Lantabora Press.

Nurchalis Madjid. 2000. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Peter Connolly (ed.). 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama. Jogjakarta: LKiS

Sumanto Al-Qurtuby. 2005. Lubang Hitam Agama. Jogjakarta: Penerbit RumahKata.