Sabtu, 07 Agustus 2010

TRADISI & KOMUNIKASI

Studi atas Prosesi Topung Tawar pada Masyarakat Melayu di Nanga Jajang

Ibrahim MS
Makalah yang disampaikan pada Seminar Melayu Nusantara II, Malay Corner STAIN Pontianak, dan sudah diterbitkan dalam Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu, Editor Ibrahim MS, STAIN Press 2010




Pendahuluan
Bangsa kita, Indonesia adalah sebuah bangsa yang dikenal dengan berbagai kekayaan khazanah budaya hidup dan sosial masyarakatnya. Hal itu bersinergi dengan kekayaan bangsa ini akan pluralitas etnik, budaya dan agama, dimana setiap etnik, budaya dan agama yang berbeda akan memberikan arahan, tuntunan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan sosial masyarakatnya. Realitas itu tidak terkecuali juga wujud di bumi Kalimantan Barat ini, dimana dari sisi agama misalnya, di Kalbar terdapat masyarakat yang bergama Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Budha, Konghu Chu, dan bahkan aliran kepercayaan (BPS, 2008). Dari sisi etnik, di Kalbar terdapat etnik Melayu, Dayak, Madura, China, Jawa, Bugis, Minang, dan sebagainya (BPS, 2008).
Sebagai salah satu komunitas terbesar di Kalimantan (Nieuwenhuis, 1894; Enthoven, 1903; King, 1993), masyarakat Melayu memiliki sejarah panjang dalam kehidupan sosial etnik di Kalimantan Barat. Sejarah panjang kehidupan masyarakat Melayu dari pesisir hingga ke pelosok daerah Ulu Kapuas, telah turut memberikan warna tersendiri dalam membangun tatanan sosial dan keselarasan alam hayati. Dengan kata lain, masyarakat Melayu telah turut memelihara dan menjaga kelestarian alam dan kehidupan sosial di Kalimantan Barat umumnya dan Kapuas Hulu khususnya, tak terkecuali dalam konteks ini adalah masyarakat Melayu di Nanga Jajang Kapuas Hulu.

Deskripsi Kawasan Kajian
Nanga Jajang sebagai sebuah kawasan kajian dalam tulisan ini adalah nama sebuah kampung kecil setingkat dusun. Penamaan kampung ini dengan Nanga Jajang sebenarnya dinisbahkan kepada nama salah satu sungai besar yang melintasi dan bermuara di sekitar perkampungan ini, yakni Sungai Jajang.
Kebiasaan memberi nama daerah dengan nama sungai atau nama muara seperti itu, sudah sejak lama dipraktekkan oleh masyarakat di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat. Di daerah Kabupaten Pontianak misalnya, ada banyak tempat yang menggunakan kata sungai sebagai nama daerahnya seperti Sungai Nipah, Sungai Purun, Sungai Kunyit, dan Sungai Raya. Kecenderungan penamaan tempat dengan metode ini banyak terdapat di daerah hilir Sungai Kapuas. Di daerah hulu, penamaan tempat dan daerah banyak menggunakan kata nanga yang berarti muara . Nanga Jajang adalah salah satu dari sekian banyak pemukiman yang menggunakan cara tersebut. Ini berarti bahwa Dusun Nanga Jajang terletak di muara Sungai Jajang yang merupakan anak Sungai Pengkadan. Secara administrasi, Dusun Nanga Jajang merupakan bagian dari Desa Riam Panjang yang terletak di wilayah Kecamatan Pengkadan (dulu Batu Datu), Kabupaten Kapuas Hulu.
Secara geografis, Nanga Jajang berbatasan dengan Desa Riam Panjang di sebelah selatan, dengan Buak Limbang di sebelah utara, dengan Nanga Semelangit di sebelah barat, dengan Riam Mengelai di sebelah timur. Dusun ini juga berada diantara dua sungai, yaitu Sungai Pengkadan dan Sungai Jajang yang berujung di kaki Bukit Jajang, dan dikelilingi oleh kebun penduduk dengan berbagai jenis kebun termasuk Karet dan kebun atau ladang tradisional berisi pohon-pohon buah, dan lainnya seperti Tengkawang yang merupakan pohon khas daerah hutan pedalaman di hulu Sungai Kapuas. Dengan potensi kekayaan alam inilah penduduk Nanga Jajang yang berjumlah sekitar 360 jiwa ini membangun dan mengambangkan pemukiman Nanga Jajang menjadi daerah yang cukup maju dengan taraf ekonomi pendukuk yang lumayan baik. Sebagai Dusun kecil, Nanga Jajang didiami oleh mayoritas etnik Melayu. Berikut keadaan penduduk di Dusun Nanga Jajang ditampilkan dalam bentuk tebel.

Tabel
Jumlah penduduk Dusun Nanga Jajang berdasarkan suku

Melayu Dayak Jawa Batak Jumlah
345 orang 3 orang 9 orang 3 orang 360 jiwa

Sumber: Dokumen Administrasi Dusun Nanga Jajang tahun 2009
Kondisi pemukiman Dusun Nanga Jajang telah didukung oleh banyak fasilitas umum yang memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan produktifitas kerja dan aktifitas lainnya. Diantara fasilitas umum tersebut adalah listrik negara (PLN) yang sudah masuk sekitar tahun 1992/1993. Air bersih yang berasal dari sumber mata air dari gunung yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) telah dinikmati warga sejak tahun 1995. Jalan Raya Lintas-Putussibau hadir sebagai lambang perubahan dusun pada tahun 1987. Jalan kampung dan jembatan yang merupakan infrastruktur penting telah pula dibagun dan menjadi aset penting bagi warga. Sarana ibadah berupa Masjid Syuhada yang dapat menampung sekitar 200an lebih jamaah warga Nanga Jajang sudah berdiri sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Sarana pendidikan berupa satu buah Madrasah Ibtidaiyah Syuhada dengan sekitar 50 murid dan 8 orang guru guru juga masih aktif dan beroperasi dengan baik sampai saat ini.
Kondisi sarana informasi yang sudah maju dengan indikasi masuknya jaringan handphone sejak tahun 2005 dan TV parabola mulai tahun 1992 adalah salah satu tanda ke-modern-an Dusun Nanga Jajang. Tidak hanya itu, sarana olah raga yang cukup memadai dengan satu lapangan bola, satu lapangan voley ball, dan satu lapangan bulu tangkis menambah aset dusun yang didukung oleh toko-toko yang menyediakan barang kebutuhan masyarakat dari kebutuhan sehari-hari sampai kebutuhan sekunder seperti toko handphone dan meuble serta toko yang menjual sarana olah raga. Semuanya menjadi pelengkap kemudahan kehidupan masyarakat modern yang pada kenyataannya terletak jauh di pelosok pedalaman yang berjarak sekitar 680 km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat.

Latar Belakang Kajian
Pada dasarnya, setiap orang dan kelompok sosial mempunyai karakteristik tersendiri yang unik dan khas dalam hidup dan kehidupannya. Karakteristik itulah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya, atau sekelompok orang dengan kelompok yang lainnya. Kekhasan itu dapat meliputi gaya hidup, bahasa, tradisi sosial dan sebagainya. Dengan kata lain, perbedaan dalam hal gaya hidup, bahasa, tradisi sosial dan lain-lain adalah sesuatu yang lumrah dan sunnatullah (Ibrahim MS, 2005). Karena itu, perbedaan tersebut mesti selalu dipahami sebagai bentukan sosial yang tak terelakkan, dan pastinya juga merupakan suatu bentuk komunikasi dalam masyarakat pemiliknya.
Sebagai suatu bentuk komunikasi, karakteristik-karakteristik sosial dan budaya tersebut tentunya mempunyai makna yang senantiasa dipertukarkan dalam masyarakat. Meskipun dalam banyak hal, tampak simbol-simbol budaya dan tradisi sosial yang hidup dalam suatu masyarakat hanya sekedar ritual belaka. Hal ini pulalah yang berlaku pada realitas sosial dan komunikasi masyarakat Melayu Nanga Jajang dalam bentuk tradisi topung tawar.
Sebagai seorang generasi muda yang awam akan makna tradisi sosial dalam masyarakat, selalunya muncul pertanyaan dalam hati ketika melihat prosesi topung tawar ini dilakukan. Mengapa tradisi ini ada? Untuk apa tradisi ini dilakukan? Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam tradisi ini? Mengapa harus dilakukan tradisi dan prosesi seperti ini? Itulah diantara pertanyaan yang selalu muncul dalam benak penulis.
Sebagai seorang pengkaji ilmu komunikasi, keyakinan bahwa adanya pesan-pesan tertentu yang selalu dikomunikasikan melalui tradisi topung tawar itu menjadikan ketertarikan dan rasa penasaran yang semakin besar. Karena itulah penelitian dan kajian lebih intens dilakukan, yang meskipun belum secara mendalam dan sungguh-sungguh, artikel ini adalah salah satu hasil kajianya.
Batasan Kajian
Sebagai suatu ritual adat dan budaya yang hidup dalam masyarakat, tradisi topung tawar mempunyai makna penting bagi kehidupan sosial mereka, sebab tradisi itu juga merupakan satu bentuk komunikasi sosial dan budaya yang hidup dan dipelihara dalam tradisi mereka.
Sebagai satu bentuk komunikasi, tentunya banyak perspektif yang dapat digunakan untuk melihat, mengkaji dan memahami tradisi ini, baik dari aspek sosial, budaya, hingga hukum dan agama. Kajian ini hanya akan melihat tradisi topung tawar sebagai satu bentuk komunikasi dalam tradisi adat dan budaya masyarakat Melayu Nanga Jajang. Dengan kata lain, perspektif kajian ini murni pada nilai-nilai komunikasi dari tradisi topung tawar itu (pure communication of values). Karena itu pula yang dicari dari kajian ini adalah seputar makna-makna atau pesan-pesan tertentu yang terkandung dalam setiap prosesi topung tawar itu.
Sebaliknya, kajian ini tidak akan melihat tradisi topung tawar itu dari perspektif hukum dan agama. Meskipun kenyataannya orang Melayu di Nanga Jajang sama dengan umumnya orang Melayu di Nusantara ini, yakni beragama Islam (muslim). Selain untuk memfokuskan kajian dari perspektif komunikasi, keengganan penulis mengkaji tradisi ini dari sisi hukum dan agama ada dikarenakan kemungkinan debateble nya kajian ini. Sebab, ada banyak pendapat dan rujukan yang saling berbeda dalam melihat tradisi topung tawar ini dari perspektif hukum dan agama (lihat Rusli Hasbi, 2009).

Tradisi Topung Tawar dalam Masyarakat
Sebagai suatu tradisi, topung tawar menjadi identitas masyarakat Melayu di nusantara, hal itu disebabkan hampir semua daerah yang memiliki budaya Melayu, pasti mengetahui tentang adat tepung tawar, hanya mungkin agak beda masing-masing daerah satu dengan daerah lainnya, baik menyangkut tata cara pelaksanaan maupun fungsinya (Tengku Ryo, 2008).
Salah satu fungsi dari upaca adat tepung tawar dalam masyarakat Melayu adalah bermakna pemberian restu dan do`a dari orang tua kepada calon pengantin atau yang dido`akan (Ariawijaya, 2008), atau untuk melepaskan gangguan tertentu dalam kekuatan manusia (Andi Amd, 2009), atau untuk buang sial (Iqbal Fadhil, 2006). Apapun yang dimaksudkan oleh masyarakat dengan tradisi ini, yang pasti adalah, adanya nilai-nilai komunikasi dalam setiap prosesi dan ritual adat topung tawar ini. Dengan tidak berkeinginan melibatkan diri dalam perdebatan tersebut, apalagi harus mengambil posisi dalam perdebatan yang ada, hanya pada nilai-nilai komunikasi lah kajian ini dilakukan atas tradisi topung tawar masyarakat Melayu di Nanga Jajang.

Seputar Defenisi Istilah
Secara sederhana, di banyak tempat, di mana terdapatnya masyarakat Melayu yang mengamalkan tradisi ini, selalu mereka sebutkan dengan nama tepung tawar. Apakah itu untuk selamatan dan syukuran, maupun untuk tolak bala dan buang sial (Andi Amd, 2009; Ariawijaya, 2008; Iqbal Fadhil, 2006). Pada masyarakat Melayu Aceh, tradisi topung tawar ini dikenal dengan sebutan peusijuek (Rusli Hasbi, 2009).
Pada masyarakat Melayu Nanga Jajang, tradisi tepung tawar ini disebut dengan vokal yang sedikit berbeda, mengikuti khas varian bahasa Melayu setempat, yakni topung tawar. Istilah topung tawar yang hidup dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang adalah bermakna sebagai berikut: Topung bermakna tepung. Topung dengan sebutan o (t-o-pung) merupakan ciri umum bahasa Melayu di Nanga Jajang dan sekitarnya (Ibrahim MS, 2009), yang berbeda sebutannya dengan Melayu di daerah lain seperti Melayu Pontianak dan Sambas yang menggunakan e (t-e-pung). Perbedaan sebutan huruf vokal tersebut merupakan varian mendasar bagi orang Melayu di Ulu Kapuas, bahkan menjadi identitas kawasan dan asal daerah (Yusriadi, 2008; Ibrahim 2009). Jika mengacu pada varian yang dipetakan oleh Yusriadi (2008) ataupun Ibrahim (2009a), jelas bahwa masyarakat Melayu Nanga Jajang menggunakan varian bahasa yang sama atau mirip dengan varian Embau Hilir (o=t-o-pung), bukannya t--pung (varian Selimbau), atau t--pung (varian Suhaid dan Putussibau) dan bukan pula t-e-pung (varian umum). Sebagai satu ciri umum dari bahasa orang Melayu di Nanga Jajang, berikut ini dapat dibandingkan beberapa perkataan yang khas dalam varian bahasa Melayu Nanga Jajang: kemana-kemona, siapa-sopa, harga-roga, ronyung, sodung dan sebagainya. Untuk analisis varian bahasa Melayu di Ulu Kapuas sila lihat Yusriadi, 2008; Ibrahim MS, 2009b.
Sementara topung itu sendiri bermakna tepung yang terbuat dari beras dengan cara ditumbuk sampai halus menjadi tepung. Tawar sendiri paling tidak mempunyai dua makna; pertama bermakna tabar dan tiada rasa apa-apa (tidak manis, asin, asam, pahit dan sebagainya). Itulah makna asal dari topung tawar itu. Kedua, bermakna sebagai obat atau penangkal dari suatu penyakit, bencana dan racun. Itulah yang selanjutnya lahir dalam bentuk istilah tawar racun, tawar kolera, tawar bisa dan lain-lain.
Dengan demikian, topung tawar itu adalah tepung yang terbuat dari beras yang sudah ditumbuk, yang tidak mempunyai rasa apa-apa, dan diperuntukkan menawar, mengobati, menangkal dan mendo`akan seseorang supaya terhindar dari penyakit dan bala bencana. Dalam konteks kajian ini, kedua-dua makna istilah ini mungkin saja relevan dan digunakan bersamaan, sebagaimana hal itu akan terlihat dalam kajian ini lebih lanjut.
Tujuan dari tradisi
Berdasarkan tujuannya, jelas bahwa tradisi topung tawar ini dilakukan untuk tujuan mendo`akan seseorang agar selamat, bahagia dan terhindar dari segala penyakit, bala dan bencana dalam hidupnya. Hal ini tampak dari makna simbol-simbol (perlengkapan) ritual tradisi dan lapadz-lapadz do`a ketika prosesi ini dilakukan. Kedua bentuk makna tersebut akan dikaji pada bagian lain dalam tulisan ini.
Tujuan lainnya dari tradisi ini tentu saja adalah untuk memelihara warisan hidup dan budaya orang Melayu, karenanya tradisi ini diwarisi secara turun temurun dari generasi ke generasi. Hal ini merupakan ciri umum dari bangsa Melayu itu sendiri yang dikenal dengan ketinggian budayanya.

Perlengkapan-perlengkapan Tradisi Topung Tawar
Perlengkapan yang digunakan dalam tradisi ini sangat bergantung pada tujuannya, untuk apa tradisi ini dilakukan. Jika topung tawar ini dilakukan untuk mendo`akan kebahagiaan orang yang menikah, akan beda bahannya dengan topung tawar untuk orang selamatan tujuh bulanan, atau untuk potong rambut anak bayinya. Meskipun ada beberapa bahan (perlengkapan) dasarnya yang sama.
Beberapa perlengkapan dasar dalam tradisi topung tawar itu, meliputi: seikat daun sabang dan juaran, sedikit beras yang diaduk satu dengan kunyit yang sudah ditumbuk supaya membentuk beras kuning, sebilah pisau sikin atau sejenis besi, dan tepung dari beras itu sendiri yang sudah diaduk dengan sedikit air yang sudah ditawari atau dibacakan do`a. Itulah bahan dasar dari topung tawar yang ada dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang.
Jika topung tawar itu untuk nujuh bulanan, akan ada perlengkapan lain seperti hamparan beras yang disimpan di bawah tempat duduk orang yang dido`akan, dan seekor ayam (penyawak) untuk diambil tetesan darahnya secara langsung.
Jika topnung tawar untuk potong rambut, mesti ada seuntai daun sirih yang bertulang naik dan setara, biji buah kelapa muda yang dibuka dengan seni yang khas dan tentunya gunting untuk memotong rambut anak/bayi. Bahkan untuk tambahan, biasa disiapkan juga recehan uang logam untuk dihamburkan kepada anak-anak yang menyaksikan prosesi tersebut.
Itulah beberapa perlengkapan (bahan) yang ada dalam tradisi topung tawar orang Melayu di Nanga Jajang, dan masing-masing bahan tersebut sesungguhnya mempunyai makna dn maksud tertentu. Hal ini juga akan dikaji dalam bagian lain dari tulisan ini.

Prosesi Pelaksanaan Tradisi Topung Tawar
Sebagaimana telah didiskusikan di muka, bahwa prosesi pelaksanaan tradisi topung tawar dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang dilakukan dalam beberapa momentum, seperti momentum perkawinan, besunat (sunatan), gunting rambut, nujuh bulanan, nyongkak ayun (ayunan) bayi, pindah rumah dan sebagainya.
Berdasarkan apa yang penulis ketahui mengenai prosesi topung tawar ini, baik dari pengamatan yang penulis lakukan secara sengaja dalam bentuk penelitian, maupun keikutsertaan dalam adat kebiasaan sosial di tengah masyarakat, dapat diuraikan kepada beberapa langkah pelaksanaannya.
Pertama-tama, tentu saja menyiapkan bahan-bahan yang biasa digunakan dan mesti ada dalam upacara topung tawar. Bahan-bahan tersebut paling tidak terdiri dari tepung (topung) yang berasal dari beras yang sudah ditumbuk, kemudian diaduk dengan sedikit air yang sudah ditawari atau dido`akan. Selain itu juga ada beras putih dan kunyit yang juga sudah ditumbuk, untuk kemudian diaduk menjadi satu sehingga beras yang putih tadi berubah warnanya menjadi kuning, itulah yang disebut beras kuning. Ketika prosesi topung tawar, sebagian dari tepung dan beras ini nantinya akan ditaruhkan ke bagian tubuh orang yang dido`akan, sebagian lagi di lempar ke beberapa penjuru disekitar. Kesemua bahan ini diletakkan dalam satu wadah (biasanya piring/mangok).
Disampingnya juga disiapkan seikat daun-daunan yang terdiri dari daun Sabang, daun Juaran dan terkadang juga daun pandan wangi. Ikatan daun ini nantinya yang difungsikan untuk mengibaskan air ke wajah/badan orang yang dido`akan. Dalam tradisi Melayu Sambas, dedaunan ini akan digunakan untuk bepapas (Muin Karim, 2005)
Kemudian juga disediakan peralatan berupa sikin atau apapun benda-benda yang mempunyai sifat keras seperti besi. Benda ini nantinya akan dimintakan kepada orang yang dido`akan untuk digigit atau sekedar di sentuhkan ke gigi, dan atau bagian tertentu dari badan orang yang dido`akan.
Pada upacara gunting rambut, akan ada bahan lain seperti daun sirih (yang bertulang senaik-sama), ditempatkan pada buah kelapa muda yang sudah dipotong bagian kepalanya, dengan potongan yang khas dan menarik. Disitu juga disediakan gunting untuk memotong rambut sang bayi.
Itulah perlengkapan yang biasanya pasti ada dalam upacara topung tawar. Untuk menyiapkan bahan-bahan tersebut pun biasanya hanya orang-orang tertentu saja yang biasa diminta dan dianggap mengetahui sarat dan fungsinya. Meskipun dalam setiap momen topung tawar, ada kemungkinan bahan-bahannya berbeda, sesuai dengan tujuan untuk apa topung tawar itu dilakukan, seperti untuk perkawinan akan beda bahannya dengan untuk gunting rambut dan sebagainya.
Akan tetapi dari kesemuanya itu, hanya ada empat sampai lima bahan saja yang tidak bisa tidak, dan pasti ada dalam setiap acara topung tawar, yakni tepung yang sudah diadukkan dengan air yang sudah dido`akan, beras dan pati kunyit yang sudah disatukan menjadi beras kuning, seikat daun sabang dan juaran, serta besi sikin atau semacamnya.
Gambar: Topung Tawar Nujuh Bulanan

Sumber: Dokumentasi Pribadi, Ibrahim 2009

Gambar di atas menunjukkan bahwa bahan untuk acara topung tawar paling tidak adalah tepung yang dibuat dari beras yang sudah ditumbuk, kemudiaan air yang sduah dido`akan, beras dan pati kunyit yang sudah diaduk satu menjadi beras kuning, seikat daun sabang dan juaran yang digunakan untuk menyapu (bepapas) air topung tawar, serta sebilah sikin atau sejenisnya. Masing-masing bahan ini pada masyarakat Melayu Nanga Jajang mempunyai makna dan maksud tertentu dalam prosesi topung tawar.


Tradisi & Komunikasi dalam Topung Tawar
Paparan di atas menunjukan bahwa prosesi topung tawar yang hidup dalam tradisi adat dan budaya orang Melayu di Nanga Jajang bukan sekedar ritual belaka, melainkan juga mempunyai makna komunikasi yang khas dan jelas. Sebagai ritual tradisi yang memiliki makna komunikasi, pesan-pesan tersebut dapat dilihat dari bahan-bahan yang digunakan untuk topung tawar, termasuk lapadz-lapadz yang dibacakan pada saat prosesi dilakukan. Inilah yang penulis sebut dengan tradisi dan komunikasi dalam topung tawar.
Sekilas paparan dimuka telah menyebutkan bahwa bahan dasar topung tawar itu paling tidak ada 5 macam, yakni tepung yang berasal dari beras ditumbuk, beras biji, kunyit (saripatinya), dedaunan (biasanya daun sabang dan juaran) serta pisau sikin atau sejenis besi. Sebagai sebuah tradisi, bahan-bahan ini mesti ada dalam setiap topung tawar, untuk konteks apapun ia. Ketika topung tawar ini untuk mendo`akan orang yang menikah, maka tambahan bahannya akan beda lagi. Begitupun untuk topung tawar orang yang nujuh bulanan, gunting rambut bayi dan sebagainya, akan ada bahan tambahan yang masing-masing berbeda.

Gambar: Bahan topung tawar untuk Gunting Rambut








Sumber: Dokumentasi Pribadi, Ibrahim MS 2009
Sebagai satu tradisi dan komunikasi, bahan-bahan yang digunakan untuk topung tawar itu sesungguhnya mempunyai makna tersendiri yang khas, termasuk penamaan topung tawar itu sendiri. Dalam bahasa masyarakat Melayu setempat, topung itu bermakna tepung yang berasal dari beras yang sudah ditumbuk. Kemudian tawar itu bermakna tiada rasa apa-apa (tidak manis, tidak asam, tidak asin dan sebagainya) kecuali tawar. Bahasa lain yang banyak digunakan oleh masyarakat setempat dalam menyebutkan rasa tawar tersebut adalah tabar. Tabar itu sama dengan tawar atau tiada rasa. Jadi biasa juga sebagian masyarakatnya menyebut topung tabar.
Tawar dalam bahasa Melayu setempat sebenarnya juga mempunyai makna lain, yakni sebagai obat, do`a atau penangkal. Sebagai contoh mereka akan minta tolong seseorang mengobati suatu penyakit dengan ungkapan, `minta tolong tawar penyakit ini..`. `tolonglah ditawar anak ini`, `ini tawar sakit perut`, `ini tawar kolera`, `ini tawar racun’ dan sebagainya.
Dengan demikian, jelas bahwa topung tawar atau topung tabar sesungguhnya mengisayaratkan makna netralitas/azalinya semua yang hidup dan berasa. Dengan kata lain, netralitas sesuatu adalah sebagaimana rasa yang tawar/tabar itu. Karena itu, semua makhluk Tuhan yang diciptakan di muka bumi ini sesungguhnya bermula dari netralitas itu. Kemudiaan netralitas tersebut dibekali dengan potensi-potensi, baik positif maupun negative, sebagaimana halnya rasa menjadi tidak lagi netral jika sudah menjadi manis, asin dan sebagainya. Ketika potensi positif yang berpengaruh, maka kebaikan dan kebahagiaan lah yang akan didapatkan. Sebaliknya, ketika potensi negative yang berpengaruh, maka sesuatu itu akan menjadi petaka, bencana, penyakit dan berbagai ketidak-baikan dalam hidup manusia. Karena itu, potensi negatif itu harus diusir dan dibuang sehingga kembali kepada fitrah netralitas yang tawar/tabar itu. Begitulah makna komunikasi yang dipahami oleh masyarakat dalam tradisi topung tawar yang mereka lakukan.
Bahan beras juga bermakna sebagai sumber utama kehidupan manusia. Sebagai makanan pokok, beras dipercayai menjadi sumber utama membantu kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Karena itu untuk mendo`akan kehidupan seseorang menjadi lebih baik, terbebas dari kesengsaraan dan sebagainya harus dimulai dari sumber pokok kebutuhan hidup manusia (pangan), yakni beras itu sendiri.
Adapun bahan kunyit yang memberikan warna kuning pada beras mempunyai makna yang cukup sederhana sebagai lambang dan identitas kebesaran orang Melayu. Menurut masyarakat setempat, kuning adalah identitas kebesaran orang Melayu, dan pemahaman itu telah mereka warisi secara turun temurun. Hal ini penulis dapatkan langsung dari pengakuan seorang tokoh agama, ketika ditanya mengenai maksud dan makna dari bahan kunyit (kuning) ini. Karena itu, kunyit menjadi tanaman yang penting, yang hampir semua keluarga mempunyai/menanaminya. Selain itu, berdasarkan ilmu kesehatan (medis maupun tradisional), kunyit mempunyai zat yang luar biasa penting bagi tubuh dan kesehatan manusia. Karena itu tidak sedikit ramuan pengobatan (medis dan tradisional) yang bahannya berasal dari kunyit.
Bahan dedaunan (sabang dan juaran) ini bermakna sebagai simbol kehidupan atau yang hidup. Sebagai sesuatu yang senantiasa hidup dan berkembang, dedaunan ini juga dipercayai oleh masyarakat mempunyai kekuatan dalam mitosnya. Kedua daun tersebut dipercayai sebagai pedang yang paling ditakuti oleh makhluk halus dan semua pembawa penyakit. Karena itu dalam prosesi topung tawar, dedaunan inilah yang digunakan untuk mengibaskan/memercikkan air kepada orang yang dido`akan (bepapas).
Bahan pisau sikin atau sejenis besi dimakna sebagai simbol kekuatan, keteguhan kekebalan dan keras sebagaimana kerasnya besi. Menurut kepercayaan masyarakat, untuk hidup yang sehat dan bahagia diperlukan semangat yang kuat dan keras. Karena itu kekuatan dan semangat mesti dimiliki untuk memperoleh kehidupan yang baik dan bahagia, terjauh dari segala bala bencana dan penyakit. Karena itu penggunaan bahan ini dalam prosesi topung tawar diiringi dengan do`a-do`a dan lapadz panggilan terhadap semangat, ”kusemongat” dan semacamnya.
Dalam prosesi adat topung tawar, penggunaan bahan-bahan tersebut juga diiringi dengan lapadz-lapadz do`a yang khas, dan itu adalah pesan lain dari komunikasi dalam tradisi topung tawar. Berikut penulis paparkan beberapa lapadz do`a dan bacaan ketika prosesi topung tawar dilakukan berdasarkan urutan prosesinya.
Pertama kali adalah memercikkan/menyiram air yang sudah dido`akan ke bagian tertentu dari badan orang yang dido`akan, baik untuk mendo`akan keselamatan (topung tawar selamatan), maupun untuk menjauhkan dari bala bencana (topung tawar untuk buang-buang). Ketika seseorang melakukan prosesi ini, adalah lapadz berikut yang akan dibacakan :
topung tawar si topung jati,
topung asal mula menjadi,
amay-amay pucuk mali-mali
limau purut si limau lelang
tegak dengan limau melaka
air surut penyakit ilang
tegak dengan sial celaka
Berikutnya adalah menaburkan beras kuning (beras putih yang sudah digaulkan dengan saripati kunyit sehingga berwarna kuning) ke bagian tertentu dari tubuh orang yang dido`akan (biasanya di dahi, kepala, di dada atas, ujung tangan dan ujung kaki) sambil melapadzkan do`a sebagai berikut:
Kuu.. semongat rezeki murah
apa dicinta lalu ada
apa diniat lalu didapat
manis muka senang hati
Terakhir adalah meminta orang yang dido`akan untuk mengecap atau menggigit besi pisau atau sikin dengan cara meletakkannya pada mulut mereka sambil melapadzkan do`a sebagai berikut:
kuu... semongat
korin bosi korin semongat
panyang aik panyang penyawak
tinggi tayak tinggi tuah
baka tanah na tau susur
baka batu na tau pupur
Begitulah setiap prosesi dilakukan dengan khidmat dan teratur oleh beberapa sesepuh atau para penua kampung secara bergiliran. Lapadz-lapadz do`a tersebut diakui oleh seorang tokoh agama sebagai warisan dari orang-orang tua mereka. Dan pada sebagian yang lain, terutama generasi baru tidak lagi menguasai lapadz seperti ini, mereka ikut mendo`akan dengan cara tersendiri seperti bacaan al-fatihah, selawat dan sebagainya. Dan menurutnya, itu baik dan boleh-boleh saja, sebab hakikat prosesi topung tawar itu sendiri adalah do`a yang kita berikan kepada orang yang sedang berhajat.
Dengan demikian jelas bahwa topung tawar yang hidup dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang bukan sekedar ritual tradisi adat dan budaya sosial, melainkan mempunyai makna komunikasi yang khas dan mendalam bagi kehidupan. Inilah sesungguhnya makna dari tradisi dan komunikasi topung tawar yang ada dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang.

Penutup
Dari kajian singkat di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa topung tawar dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang bukan sekedar bermakna sebagai tradisi sosial dan budaya belaka, melainkan mengandung pesan komunikasi yang khas dan mendalam bagi kehidupan manusia. Beberapa pesan komunikasi yang terkandung dalam tradisi topung tawar tersebut adalah:
Pertama, manusia mesti selalu sadar dan ingat akan kejadian asalnya yang tidak memiliki apa-apa, yang dalam tradisi disimbolkan dengan tawar atau topung tawar. Perjalanan hiduplah yang akhirnya membawa manusia kepada kondisi tertentu (kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau kesusahan, sehat atau sakit dan sebagainya). Semua makhluk hidup (selain manusia), pada dasarnya bermula dari kondisi yang netral ini. Oleh itu, jika kita dalam kesengsaraan, sakit dan dapat musibah mesti dikembalikan terlebih dahulu kepada kondisi semula (netralitas), yang bebas dari segala penyakit dan sebagainya. Barulah selanjutnya beralih ke kondisi yang sehat, bahagia dan penuh kesenangan, sebagaimana yang selalu dido`akan.
Kedua, untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, sehat dan jauh dari bala bencana sesungguhnya bukan hanya datang dari pengaruh luar diri manusia (seperti makhlus halus misalnya), melainkan telah ada dalam diri manusia itu sendiri berupa ”semangat”. Karenanya ”semangat” itu harus selalu dipelihara dan hidup. ”Semangat” itulah awal dari segala daya dan upaya untuk membentuk diri menjadi lebih baik, termasuk menangkal diri dari segala macam pengaruh yang tidak baik dari luar. ”Semangat” yang kuat dan tak pernah lemah itulah yang disimbolkan dengan besi dalam prosesi tersebut.
Itulah diantara makna komunikasi yang paling utama dari prosesi topung tawar yang hidup dalam tradisi masyarakat Melayu Nanga Jajang. Kiranya, tentu masih banyak lagi makna lain yang lebih spesifik dari prosesi tersebut, termasuk makna dan tujuan dari masing-masing bahan yang ada, sebagaimana telah dikemukakan dalam kajian di atas. Wallahu a`lamu bish shawab.


























Bibliography

A. Muin Karim. 2005. Tepung Tawar: Upacara Adat Melayu Sambas, dalam Dedy Ari Aspar, Yusriadi & Hermansyah, Budaya Melayu Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Press. Hal. 137 – 146.

Ariawijaya. 2008. Adat tepung tawar dalam Melayuonline.com/forum/viewtopic.php. diakses 17 Desember 2009.

Andi Amd. 2009. Tepung Tawar Masyarakat Sambas. wisatasambas.wordpress.com/2009/.../tepung-tawar-masyarakat-sambas/. Akses 17/12/2009.

Tengku Ryo. 2008. Adat Tepung Tawar Melayu dalam Melayuonline.com/forum/viewtopic.php. diakses 17 Desember 2009.

Ibrahim MS. 2008. Kearifan dalam tradisi Buma orang Melayu di Jajang. Makalah Seminar Regional yang disponsori oleh Flaght dan PSBMB.

Ibrahim MS. 2009a. Kearifan Komunikasi dalam Pantang Larang orang Melayu Nanga Jajang, makalah yang disampaikan dalam diskusi reguler dosen STAIN Pontianak.

Ibrahim MS. 2009b. Varian Bahasa Melayu di Badau, Jurnal Bahasa. Dewan Bahasa dan Pustaka Negara Brunei Darussalam, Bil. 18, hal. 93 – 104.

Ibrahim MS. 2010. Hidup dan Komunikasi. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Iqbal Fadhil. 2006. Buang Sial, Bupati Langkat Gelar Tepung Tawar untuk Raju
Detik News/detik.com

Ridwan, Zaenudin & Ibrahim. 2007. Merajut Damai di Kalimantan Barat, dalam Alpha Amirachman, Revitalisasi Kearifan Lokal. Jakarta: ICIP dan Eurupean Commition.
Rusli Hasbi. Tt. Upacara Tepung Tawar (Peusijuek) Boleh kah? Ruslihasbi. Wordpress.com/tanya jawab/merajut qalbun salim/. Diakses 17-12/2009.
Yusriadi, Ibrahim & Zaenudin. 2010. Kearifan Komunikasi dalam Pantang Larang Orang Melayu Nanga Jajang. Laporan Penelitian Kompetitif Kelompok. Proyek DIPA STAIN tahun 2009.

KOMUNIKASI SOSIAL DI KAMPUNG DURIAN

Studi atas Perjuangan Hidup Orang Madura

Artikel Riset Wisata Malay Corner STAIN Pontianak dan telah diterbitkan dalam Bunga Rampai "Menunggu di Tanah Harapan" Editor Yusriadi, 2009.

TETANG KAJIAN INI
Tulisan ini merupakan kajian singkat penulis di Kampung Durian, Kecamatan Kuala Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Kajian ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan program Riset Wisata yang diselenggarakan oleh Malay Corner STAIN Pontianak pada tanggal 21 s/d 22 Februari 2009.
Kajian ini diselenggarakan untuk memahami, mengenal dan meneliti kehidupan social masyarakat secara singkat. Hasil dari kajian ini selanjutnya akan dijadikan bahan diskusi dan menulis untuk keperluan pelatihan menulis kisah perjalanan dan makalah laporan hasil penelitian dalam seminar penelitian dan Lounching buku yang merupakan program lanjutan Malay Corner tahun 2009. Inilah hasilnya yang akan disajikan dalam diskusi seminar kali ini.

TENTANG KAMPUNG DURIAN

Masuk kira-kira 1 km dari jalan raya Ambawang, tepatnya disamping pondok Pesantren Nahdhatul Athfal ke arah barat menyusuri jalan Parit Adam terdapat sebuah kampung yang didiami oleh satu komunitas Madura. Mereka ini adalah eks Pengungsi korban kerusuhan antar etnis di Sambas tahun 1999. Jumlah penduduk yang mendiami kampong ini lebih kurang 28 Kepala Keluarga (KK).
Menurut para tokoh masyarakat setempat, Kampong ini baru dibuka pada tahun 2003. “sebelumnya kawasan ini adalah lahan kosong, kemudian dengan bantuan pemerintah kami disarankan untuk membeli lahan disini dan membuka usaha baru, jadilah seperti sekarang ini” jelas salah seorang tokoh masyarakat. Mereka (para pengungsi) diberikan bantuan oleh pemerintah untuk membeli lahan sebesar Rp. 5.000.000,- untuk masing-masing KK. setengah dari bantuan itu untuk membeli lahan, dan sisanya untuk membangun rumah dan usaha. Alhamdulillah masing-masing kami dapat tanah 1 kapling seluas 20 x 50, jelas salah satu warga yang lain. Kampong inilah yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Durian.
Walaupun baru dibuka dalam kurun waktu 5 tahunan ini, sekilas terlihat Kampung Durian ini adalah pemukiman yang sudah lama dibangun. Rumah-rumah warga sudah berdiri dengan megah, penataan pemukiman juga sudah cukup baik dan rapi. Jalan-jalan di tengah kampong juga sudah disemen dengan baik, meskipun dengan lebarnya hanya 1 meter saja. Perkembangan yang signifikan begitu tampak di perkampungan ini. 3 tahun yang lalu saya pernah berkunjung ke kampong ini, pada waktu itu jalan-jalan kampong masih tembok tanah saja (alias belum disemen), kondisi perkampungan masih sangat sederhana. Akan tetapi sekarang sudah terlihat begitu indah dan rapi.
Beberapa buah rumah warga dibangun dengan arsitektur dan desain yang modern layaknya perumahan di kota, seperti atap metal. Kondisi ini tidak menampakkan jika mereka ini sebenarnya adalah eks pengungsi yang baru mulai membangun pemukinan dalam sebuah perkampungan. Di sekeliling rumah dan di lahan-lahan sekitar kampong tampak dengan indah sawah dan kebun-kebun mereka. Kondisi ini seakan-akan memperjelas anggapan dan identitas masyarakat Madura sebagai orang yang gigih, ulet dan rajin dalam berusaha.
Selain identik dengan keuletan bertani, mereka juga rajin dalam beternak. Beberapa keluarga tampak masih memelihara sapi. Bahkan untuk makan sapi, mereka menanam rumput khusus di sekeliling jalan raya. Rumput-rumput ini persis seperti tanaman hias yang memagari jalan raya. Manfaat dan seni dipadukan dalam cara hidup masyarakat madura di kampong ini.
Meskipun mereka ini adalah eks pengungsi korban kerusuhan di Sambas, mereka mampu menempatkan diri secara baik dan bersahabat dengan siapapun. Termasuk dengan Melayu sambas sendiri, mereka tidak lagi menaruh dendam dan kebencian. Begitulah pengakuan beberapa orang warga ketika menceritakan keadaan mereka sendiri. Apalagi dengan suku Dayak, mereka begitu tulus membangun hubungan yang baik. Maklum di sebelah laut kampong Durian ini, kira-kira 500 meter terdapat sebuah kampong yang didiami oleh suku Dayak Ahe. Dan hubungan antara masyarakat Madura (Kampung Durian) dengan masyarakat Dayak (kampong Ahe) sangat baik dan berlangsung dengan harmonis. Mereka mampu bekerjasama dalam banyak persoalan sosial, saling memahami dan menjaga kepentingan bersama. Bahkan dalam kepengurusan desa, keduanya berada dalam satu RT yang sama.
Secara jujur, kita masih melihat klaim sejarah yang ”kurang baik” terhadap orang Madura, bahkan klaim-klaim tersebut telah melahirkan banyak sekali streotip, prejudice hingga deskriminasi yang turut mempengaruhi hubungan sosial dan komunikasi. Mengenai pandangan seperti itu terhadap orang Madura dapat dilihat dalam tulisan Munawar M. Saad (2003), Rusmin Tumanggor dkk (2002), Syarif Ibrahim (2003) dan sebagainya. Dalam perspektif kritik terhadap pandangan tersebut, dapat dilihat dalam tulisan Ibrahim (2004, 2005). Streotip yang diakibatkan klaim ”negatif” itu mengatakan bahwa orang madura itu arogan, keras, tidak bisa dipercaya, ekslusif dan sebagainya. Klaim dan streotip itulah yang dijadikan alasan pembenaran tindakan pembunuhan dan pembantaian oleh orang Melayu dan Dayak terhadap orang Madura dalam sejarah konplik sosial di Kalimantan Barat.
Masyarakat Madura yang hari ini menetap dan membuka pemukiman baru di Kampung Durian merupakan korban dan bukti dari klaim sejarah yang negatif itu. Akibatnya mereka terpaksa memulai hidup baru di tengah klaim negatif sejarah yang telah menghancurkan usaha dan kehidupan mereka dahulunya. Hari ini, di kampung Durian mereka membuka lahan kehidupan dan usahanya yang baru, membangun relasi dan hubungan sosial yang baru pula dengan siapapun, termasuk masyarakat Dayak Ahe di sebuah kampung bertetangga. Lima tahun sudah mereka menetap di Kampung Durian seakan-akan menjadi saksi dan bukti bahwa mereka tidak seburuk apa yang diklaim dalam sejarah, mereka adalah masyarakat yang ramah, dapat dipercaya, serta terbuka dengan siapapun. Pola komunikasi sosial yang dibangun oleh masyarakat Madura di Kampung Durian juga menunjukkan bahwa klaim negatif sejarah tidak tampak dalam kehidupan sosial mereka. Justru kesadaran sosial dalam bentuk hubungan dan komunikasi yang baik dan harmonis dengan siapapun semakin menguat. Itulah yang tampak dalam setiap prilaku komunikasi sosial mereka. Kajian di lapangan memperlihatkan dengan jelas bahwa klaim sejarahlah yang justru telah banyak merugikan mereka. Karena itu, demi sejarah Inilah masyarakat Madura di kampung Durian berupaya untuk Meretas Hidup menjadi lebih baik, yang akhirnya akan lahir sejarah baru bagi komunitas ini di Kampung Durian menjadi lebih baik dan lebih positif pula, Amin-Insya Allah.

METODOLOGI KAJIAN
Sebagaimana layaknya studi lapangan, metodologi kerja menjadi sesuatu yang dipentingkan dalam melakukan kajian. Baik kajian yang bersifat mendalam dan mendetail dalam bentuk penelitian sesungguhnya, maupun kajian singkat dan sederhana dalam bentuk pengamatan dan silaturahmi saja. Kajian ini yang merupakan hasil dari pengamatan sederhana dan silaturahmi yang dilakukan selama 1 hari semalam, juga dilangsungkan dalam kerangka kerja metodologi tersendiri.
Kajian ini dilakukan dengan cara berkunjung ke komunitas yang dikaji, mengamati kehidupan mereka, mendengarkan dan merasakan apa yang mereka alami, serta mengikuti sebagian rutinitas sosial dan keagamaan yang mereka lakukan seperti shalat jama`ah dan mengaji.
Kajian singkat ini juga mengelaborasi pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian participatory, yakni pemetaan wilayah (mapping area) dan penelurusan desa (transect). Dengan metode elaborasi ini, penulis dapat memahami, mengenali dan mengerti akan lingkungan fisik kehidupan mereka.
Kemudiaan untuk mengetahui bagaimana perasaan, pikiran dan pengetahuan masyarakat, wawancara juga dilakukan dengan beberapa orang warga, baik mereka yang ditempatkan sebagai tokoh masyarakat, maupun warga biasa.
Dengan cara kerja inilah penulis melakukan kajian di lapangan dan pada akhirnya menghasilkan tulisan sederhana ini.

DISKUSI KAJIAN
Pada bagian ini akan diuraikan beberap aspek komunikasi yang ada dalam masyarakat Madura kampung Durian. Uraian-uraian dimaksud merupakan diskusi kajian yang penulis dapat ketika melakukan pengamatan singkat di lapangan. Diskusi yang ditampilkan dalam tulisan berikut merupakan penjabaran dari apa yang penulis pahami dengan orang Madura di Kampung Durian yang terus berjuang demi masa depan hidupnya dan kalim negatif sejarah yang telah menjerumuskan masa lalu mereka. Kajian dalam diskusi berikut menjadi bukti bahwa klaim sejarah yang negatif terhadap orang Madura tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, terutama di Kampung Durian. Sebaliknya, semangat kerja, keuletan, kegigihan berusaha demi masa depan hidup yang lebih baik telah menjadi identitas sosial dan kehidupan pada masyarakata Madura di Kampung Durian ini. Berikut kajian dan diskusinya.

Pola Komunikasi yang dibangun
Banyak orang yang menilai bahwa masyarakat madura itu merupakan komunitas yang ekslusif dan tidak mau membuka diri untuk orang lain. Mereka membangun pemukiman sendiri, surau sendiri dan hanya menghormati sesepuh dari kalangan sendiri (Munawar, 2003, Syarif Ibrahim al-Qadri, 2003). Penilaian ini mungkin dapat dibenarkan, tapi mungkin juga perlu dipertegas wilayah kebenarannya (Ibrahim, 2004, 2005). Pada sebagian aspek, mungkin penilaian itu dapat dibenarkan. Akan tetapi pada sebagian yang lain, orang Madura sangat terbuka. Kampung durian menjadi bukti betapa masyarakat Madura terbuka dengan komunitas lain, mereka dapat hidup bersama, membangun komunikasi bersama dan berjuang untuk kepentingan bersama (Ibrahim, 2009).
Kajian di lapangan memberikan gambaran kehidupan komunitas Madura di Kampung Durian yang berdekatan dengan Komunitas Dayak Ahe di kampung sebelahnya. Jarak kedua kampung ini hanya sekita 500 meter saja. Karena itu dalam kepengurusan kampung, kampung Madura dengan kampung Dayak berada dalam satu administrasi desa, bahkan satu Rukun Tetangga (RT). Hal itu dapat dilihat pada RT yang dipimpin oleh Pak Katot yang merupakan orang Kampung Dayah Ahe.
Keterbukaan orang Madura di Kampung Durian ini dengan komunitas lain dapat dibuktikan dengan keberadaan pak Katot itu sendiri. Pak Katot yang saat ini merupakan ketua RT adalah orang Madura Asalnya. Beliau ini menikah dengan orang Dayak Ahe dan berpindah agama dari Islam ke Kristen (wawancara Ibu Jari & pak Buyar). Nama muslimnya adalah Romli, begitu masyarakat Madura Kampung durian menyebutkan. Pigur pak Romli yang merupakan orang Madura dan kemudiaan menjadi bagian dari komunitas Dayak Ahe semakin menjadi jembatan hubungan sosial dan komunikasi yang baik dan terbuka diantara komunitas ini.
Keterbukaan kedua komunitas ini dalam hubungan sosial dan kemasyarakatan di Kampung diakui oleh para tokoh Madura ketika kunjungan beberapa waktu lalu. Pak Buyar dan pak Adra`i misalnya mengakui bahwa hubungan sosial dan kerjasama dengan kampung Dayak Ahe sangat baik. Mereka secara bersama-sama bekerja membangun jalan kampung, maupun jalan yang menghubungkan kedua kampung mereka. Bahkan jika ada hajatan di kampung, kedua kampung itu saling mengundang dan sebagainya.
Berangkat dari realitas yang ada di lapangan, jelas bahwa pola komunikasi yang dibangun oleh orang Madura di Kampung Durian sangat terbuka. Dimana mereka mampu dan mau untuk terus berusaha mengerti, memahami, menghargai dan menerima siapapun yang berbeda dari komunitas mereka. Bahkan mereka sadar betul bahwa selain potensi sendiri yang harus dikembangkan secara maksimal, kemajuan masyarakat dan kampung mereka tidak bisa lepas dari kerjasama, bantuan dan dukungan dari orang lain.

Sistem lambang komunikasi sosial yang digunakan.
Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa memerlukan keberadaan orang lain. Tidak seorangpun yang dapat hidup sempurna, bahagia dan sejahtera tampa keterlibatan orang lain di sisinya, baik secara langsung maupun tidak, baik disadari maupun tidak. Seseorang dapat makan yang enak, bukan semata-mata faktor diri pribadi yang menghasilkan makanan yang enak itu. Makanan yang enak didapatkan karena ada orang lain yang menyediakan bahan makanan, memasak, ada orang yang menjual bumbu masak dan sebagainya.
Menyadari pentingnya keterlibatan orang lain dalam hidup itulah yang mengharuskan setiap orang berkomunikasi. Komunikasi itulah yang menjadi penyambung hidup manusia pada tataran yang paling sederhana. Termasuk menyangkut sejarah sosial dan perjuangan hidup manusia. Keberadaan orang lain adalah alasan wujudnya identitas diri dan pribadi itu, demikian pernyataan adagium komunikasi.
Untuk membangun komunikasi, manusia menggunakan lambang atau simbol tertentu. Dalam komunikasi, lambang atau simbol itu bisa berupa bahasa atau kata-kata, bisa juga dalam bentuk isyarat atau gerakan badan. Mendiskusikan lambang komunikasi inilah yang melahirkan istilah komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
Khusus untuk komunikasi verbal di Kampung Durian, dapat kita ketahui bahwa komunitas Madura di sana menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi sosial diantara mereka. Kecuali itu, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia apabila lawan bicara mereka adalah orang dari luar komunitas mereka, atau orang yang tidak mengerti bahasa Madura.
Ada hal yang paling mengesankan dan terasa istimewa dalam komunikasi sosial masyarakat Madura di Kampung Durian, yaitu tumbuhnya kebiasaan mengabadikan momentum-momentum tertentu dalam hidup mereka, dalam bentuk tulisan-tulisan di jalan, di dinding rumah maupun di tempat-tempat umum. Sebagai contoh, di jalan semen yang menghubungkan kampung Durian dengan Kampung Ahe, tertulis nama jalan dan suatu waktu yang diabadikan. Jl. Soeharto, tanggal 28 Januari 2008, begitulah tulisan itu dengan jelas dapat dibaca di atas jalan tersebut. Tulisan tersebut, membuat saya harus menduga tiga hal; pertama, jalan itu dibangun pada tanggal yang sama dengan kematian Soeharto. Kedua, merupakan bentuk penghormatan dan dedikasi mereka terhadap seorang Soeharto. Ketiga, tulisan tersebut menjadi bukti betapa tradisi komunikasi dalam bentuk sistem lambanng yang khas digunakan dalam masyarakat Madura di Kampung Durian. Tulisan itu memberikan makna bahwa pengerjaan jalan semen itu bersamaan dengan tanggal wafatnya Soeharto.
Begitupun di jalan semen di tengah-tengah kampung mereka tulis peringatan untuk tidak ngebut membawa kendaraan, mereka juga menulis hari dan tanggal yang dimaksudkan untuk mengingatkan waktu mereka membuat jalan tersebut. Tradisi komunikasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Madura di Kampung Durian begitu dekat dengan tradisi ilmu pengetahuan, terutama dunia tulis-menulis. Bahkan kondisi tersebut menjadi identitas dan modal sosial masyarakat yang melek hurup dan komunikatif tentunya.
Bukankah tradisi tulis-menulis ini yang melahirkan sejarah, dan menjadi pembeda era prasejarah kepada era sejarah? Jika demikian, maka masyarakat Madura di Kampung Durian sebenarnya adalah sumber daya sejarah yang luar biasa, yang harus dipelajari dan dicontohi untuk kelangsungan hidup dan peradaban manusia. Mungkin...

Surau sebagai Sarana Berkomunikasi.
Surau sebagaimana fungsi utamanya adalah tempat melakukan aktivitas keagamaan dan shalat. Dalam sejarah Islam Indonesia, surau memainkan peran penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam (Azra, 2003). Bahkan menurut Azra, Surau telah melahirkan banyak tokoh dan ulama besar di Indonesia.
Begitupun dalam masyarakat Madura, surau merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan menjadi identitas yang melekat dalam kehidupan sosial dan keagamaan mereka. Untuk konteks ini, kita sering mendengar ungkapan ”dimana ada rumah orang Madura selalunya di situ ada surau”. Pentingnya peran surau dalam kehidupan sosial dan keagamaan orang Madura tidak hanya sebagai tempat beribadah, shalat dan belajar agama. Surau bagi mereka merupakan sarana komunikasi dan silaturahmi yang paling dipentingkan. Di suraulah mereka saling berkomunikasi, berbagi cerita, pikiran dan pendapat hingga musyawarah.
Sebagai sarana komunikasi, surau betul-betul dimanfaatkan untuk membangun hubungan silaturahmi yang erat antar sesama jama`ah, antara sesama orang-orang tua, antara orang-orang tua dengan anak-anak dan remaja, termasuk antara sesama anak-anak dan remaja yang ada di kampung tersebut.
Surau juga menjadi sarana komunikasi pendidikan dan pembelajaran keagamaan yang epektif dalam masyarakat Madura. Melalui surau program-program pendidikan dan pembelajaran keagamaan dilakukan seperti belajar mengaji, belajar pengetahuan keagamaan, praktek ibadah dan sebagainya. Bagi mereka, surau selain sebagai pesantren kecil yang membentuk jiwa keagamaan dan ibadah masyarakat , juga merupakan sarana membangun komunikasi keagamaan antar jama`ah dan masyarakat.
Pentingnya peran surau dalam masyarakat Madura semakin terbukti dengan dibangunya kembali satu surau lagi di hujung kampung durian ini. Padahal dari sisi jarak bangunan surau yang lama dengan surau baru ini hanya lebih kurang 200 meter saja. Belum lagi dilihat dari sisi jumlah penduduknya yang hanya sekitar 28 kk. Tapi inilah bukti lebih lanjut mengenai pentingnya surau bagi masyarakat Madura untuk membangun komunikasi, silaturahmi, pendidikan dan pembinaan keagamaan bagi jama`ahnya, terutama anak-anak dengan pendidikan keagamaan, mengaji dan sebagainya.
Pentingnya surau bagi masyarakat Madura dalam membangun komunikasi pendidikan dan keagamaan tidak dapat dipungkiri lagi. Karena itu untuk membangun hubungan sosial yang akrab dan harmonis dengan komunitas ini, surau dapat dijadikan sebagai salah satu sarana utama dalam menjalin komunikasi dan silaturahmi ini.

Hajatan sebagai Momentum Komunikasi Sosial
Hajatan pada prinsipnya bukanlah suatu kewajiban agama, melainkan satu kemestian dari ritual sosial yang diwarisi sebagai tradisi, budaya dan adat kepercayaan. Dalam bahasa agama, hajatan (hajjatan, tahajjuj) mengandung makna sebagai “berkehendak, berkeinginan, atau mencita-citakan sesuatu”. Dengan demikian hajatan lebih dekat pemahamannya kepada upacara yang dilakukan sebagai do`a untuk memperoleh sesuatu, seperti untuk keselamatan dengan upacara “nyelamat”, do`a untuk memperoleh keberkahan hidup dan rezeki dengan upacara “syukuran”, do`a untuk dijauhkan dari bala dan bencana dengan upacara “tolak bala”, do`a untuk penghormatan pada sang Nabi dengan upacara “salawatan atau mauludan”, do`a untuk keselamatan kandungan dengan upacara “nujuh bulanan” dan sebagainya.
Secara tradisi sosial, budaya dan adat istiadat, upacara hajatan ini selalunya dilakukan dengan melibatkan banyak orang (warga). Karena itu hajatan ini biasanya diselenggarakan dengan sedekah makanan (makan-makan) sebagai rasa syukur dan sebagainya. Disinilah, upacara hajatan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Madura untuk berkumpul dan bersua bersama. Dengan demikian jadilah momentum ini sebagai ajang mereka berkomunikasi, bersilaturahmi dan berbagi, apapun persoalannya. Hasilnya adalah munculnya rasa kebersamaan, kesepahaman dan saling berbagi dari jalinan komunikasi yang terbangun melalui upacara hajatan yang ada dalam tradisi masyarakat. Sebagai contoh, minggu tanggal 22 Pebruari 2009, ketika penulis beserta rombongan riset wisata sedang berada di kampong Durian, masyarakat Madura di sana menyelenggarakan upacara “nujuh bulanan”. Hampir semua masyarakat berkumpul mengikuti upacara tersebut. Sebagai bentuk dari rasa kebersamaan, umumnya warga yang datang membawa sumbangan seadanya kepada pemilik hajatan. Pola seperti ini sebenarnya tidak pernah ditetapkan secara jelas sebagai ketentuan agama dan sosial, apalagi dalam bentuk tertulis. Akan tetapi semua warga memahaminya dengan kesadaran bersama. Inilah kiranya buah dari jalinan komunikasi dan silaturahmi yang telah terbangun dalam masyarakat Madura selama ini melalui upacara hajatan.

System Ekonomi sebagai Ranah Komunikasi Sosial.
Ada banyak anggapan (umumnya streotip) terhadap orang Madura yang tidak hanya bersifat positif, akan tetapi juga banyak yang negative. Orang madura dipandang sebagai berwatak keras (Munawar, 2003; Syarif Ibrahim al-Qadri, 2003 & Rusmin Tumaggor dkk, 2004), tidaklah semata bermakna negative sebagai kasar, ugal-ugalan dan sebagainya (Ibrahim, 2004). Makna positif dari watak keras orang madura dapat dilihat dari sisi ekonominya. Mereka adalah pekerja keras yang rajin, tangguh dan ulet (Ibrahim, 2005). Hampir tidak kita temukan di sekitar perkampungan orang Madura ada lokasi tanah yang terbiar kosong dan tak dimanfaatkan. Bagi masyarakat Madura, setiap lahan itu mempunyai makna ekonomi yang dapat dihitung setiap saat. Karena itu mereka sangat bisa memanfaatkan lahan–lahan yang ada untuk bertani, berkebun dan aktivitas pemanfaatan lahan lainnya.
Perhargaan yang tinggi terhadap lahan untuk kepentingan ekonomi tradisional orang Madura juga dapat ditemukan pada masyarakat Madura di kampung Durian. Masyarakat Madura di kampong ini umumnya bekerja sebagai petani sawah dan kebun. Mereka menanam padi pada setiap musim bertanam setahun sekali. Disamping itu mereka juga menanam ubi kayu dan kacang panjang di kebun sebagai aktivitas sampingan. Meski tidak banyak hasil yang didapatkan untuk dapat dijual, akan tetapi hasil pertanian dan kebun mereka bisa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga mereka. Karena itu dengan mudah kita menemukan gumbukan padi di setiap rumah-rumah warga di sana. Dengan siklus ekonomi seperti ini mereka tidak perlu tergantung pada pasar, sebab mereka tidak lagi perlu membeli beras dan sayur mayur ke pasar. Mereka mempunyai persediaan masing-masing untuk kebutuhan hidup seperti ini.
Selain itu, pada lahan-lahan tertentu yang tidak diolah dengan siklus ekonomi tahunan, mereka tanami dengan lada (sahang), termasuk baru mulai beberapa orang menanam cengkeh. Untuk kedua jenis tanaman yang terakhir ini tentu saja menjadi penopang ekonomi keluarga yang lebih besar dan lebih luas. Sebab, tidak mungkin mereka akan menggunakan secara langsung hasil dari pertanian ini.
System perekonomian ini dianut oleh mayoritas masyarakat Madura di kampung durian secara sadar dan terencana sebagai satu ciri ekonomi tradisional yang kuat dan mapan dengan kemandirian. Melalui siklus ekonomi tradisional ini, mereka mampu mengkomunikasikan kesejahteraan hidup dalam masyarakat secara baik dan merata. Meskipun bukan satu-satunya paktor, komunikasi yang baik mengenai siklus ekonomi antarwarga masyarakat dapat dibuktikan dengan kemampuan mereka membangun rumah yang baik. Bahkan beberapa diantaranya terkesan megah dan mewah, padahal mereka hidup di komunitas masyarakat kampung, yang baru dibuka dalam kurun waktu tidak lebih dari 5-6 tahun ini. Secara jujur hati saya berkata dan memuji sistem ekonomi yang mereka anut, saya merasa rindu melihat rumah-rumah mereka yang dibangun dari kayu-kayu yang bagus dan kuat, meskipun tidak semua nampak megak dilihat dari luar. Begitulah cara orang Madura membangun hidup dan kehidupannya dengan bertahap hingga menjadi lebih baik.

Gotong-royong dan Kebersamaan sebagai Model Komunikasi Sosial
Sebagaimana pada masyarakat lainnya, pada masyarakat Madura juga ada berbagai kelebihan dan kekurangannya. Karena itu tidaklah tepat jika membandingkan kelebihan dan kekurangan satu komunitas dengan komunitas lainnya, sebab itu bisa menjadi konflik baru antar komunitas. Meskipun demikian, dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa kelebihan sebagai potensi dalam komunitas Madura, seperti kegotong-royongan dan rasa kebersamaan yang tinggi.
Tingginya rasa kegotong-royongan dan kebersamaan dalam masyarakat Madura menjadikan komunitas ini solid dan kuat. Meskipun mereka ini adalah orang baru yang hidup dan membangun komunitas tersendiri di daerah itu paska konplik sambas, kekompakan dan kebersamaan menjadi modal utama mereka. Hal itu dapat didengar dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat di sana. Pak Buyar misalnya yang selalu memotivasi warganya dengan mengatakan bahwa orang Madura mesti bersatu padu, bekerjasama dan saling mendukung untuk mewujudkan kemajuan bersama. Dengan kebersamaan itulah orang Madura dapat melupakan trauma dan pengalaman pahit masa lalu. Dengan kebersamaan itulah orang Madura dapat membangun diri dan masyarakatnya menjadi lebih maju. Begitulah kira-kira motivasi yang selalu diucapkan oleh pak Buyar untuk memberikan semangat kepada warganya. Motivasi itu berkali-kali diucapkannya dihadapan penulis ketika kunjungan penelitian lapangan beberapa waktu lalu.

PENUTUP
Setiap manusia dilahirkan di muka bumi ini senantiasa dibekali dengan berbagai pontensi, baik yang akan menghantarkannya pada kebaikan (potensi baik), maupun yang dapat merusak dirinya (potensi tidak baik). Setiap orang mempunyai kesempatan untuk menjadi yang terbaik, sebagaimana sebaliknya juga setiap orang mungkin melakukan seauatu yang tidak baik. Begitulah realitas manusia yang telah Allah ciptakan. Karena itu klaim sejarah terhadap seseorang atau sekelompok orang yang hanya dapat melakukan kejahatan, atau tidak memiliki sesuatu yang baik merupakan pengingkaran terhadap realitas penciptaan Allah itu sendiri.
Apa yang penulis gambarkan dengan komunitas Madura di Kampung Durian, baik menyangkut sejarah sosial mereka dengan berbagai klaim negatif, hingga upaya komunikatif yang mereka bangun untuk masa depan mereka adalah satu perspektif akademis penulis yang bersifat subjektif. Sebuah perspektif yang masih sangat sederhana dan dangkal, karena memang berdasarkan kajian singkat dan satu perspektif sebagai orang luar yang berkunjung dan bertamu selama 24 jam saja.
Akan tetapi yang harus dipahami bahwa apa yang dihasilkan dari kajian ini adalah ihktiar akademis penulis untuk mengkaji sejarah sosial yang sesunguhnya dalam kehidupan komunitas Madura di Kampung Durian, menyangkut klaim sejarah hingga terwujudnya sejarah baru dalam bangunan pola komunikasi yang khas dalam kehidupan sosial yang mereka lalui. Wallahu a`lam.

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra. 2003. Pendidikan Islam Tradisional dalam Tradisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos.

Ibrahim MS. 2004. Problematika Komunikasi Antarbudaya: Kajian Kritik terhadap Konflik Etnis di Sambas. Tesis Magister Dakwah dan Komunikasi, UIN Jakarta.

Ibrahim MS. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Ibrahim MS. 2009. Nostalgia. Dalam Yusriadi (ed). Menunggu di Tanah Harapan: Kumpulan catatan perjalanan ke Kampung Durian. Pontianak: Stain Pontianak Press.

Syarif Ibrahim Al-Qadri. 2003. Faktor Penyebab Konflik Etnis, Identitas dan Kesadaran Etnis, dalam Konplik Komunal di Tanah Air. Jakarta: INIS Leiden & PBB UIN Syarif Hidayatullah.

Munawar M. Saad. 2003. Sejarah Konplik Etnis di Sambas. Pontianak; STAIN Pontianak Press.

Rusmin Tumanggor dkk (Eds). 2004. Konplik dan Modal Kedamaian dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat Tanah Air. Lemlit dan LPM UIN Jakarta bekerjasama dengan Balatbangsos Depsos RI.

RELASI ETNIK IBAN DAN MELAYU DI BADAU

Oleh: Ibrahim MS

Resume Naskah Disertasi yang disampaikan dalam Kolokium ATMA, UKM, Kuala Lumpur, 14 s/d 15 mei 2010, Dengan Penyelia:Dr. Chong Shin & Prof. Teo Kok Seong


Abstrak

Iban dan Melayu di Badau memang memiliki sejarah sosial yang berbeza. Akan tetapi, justru sejarah itulah yang telah menjadikan kedua-duanya hidup dalam kawasan sosial yang sama. Di Badau, etnik Iban dan Melayu menjalani hidup secara berdampingan dan berkomunikasi dalam satu relasi social yang khas. Bagi mereka, perbezaan latar belakang sejarah, budaya, agama dan bahasa bukanlah sesuatu yang mesti menghalangi dalam hubungan sosial kemanusiaan, melainkan menuntut setiap orang untuk mampu mengkomunikasikan perbezaan itu dengan baik. Pandangan demikianlah yang menjadi asas terbinanya hubungan Iban dan Melayu dalam relasi sosial etnik di Badau hingga masa ini.

Keywords: Iban, Melayu, Relasi Sosial Etnik


1. PENGENALAN
Tulisan ini merupakan ringkasan dari sekelumit kajian Tesis penulis yang mengkaji mengenai Relasi Etnik Iban dan Melayu Di Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat-Indonesia.
Sebagai suatu ringkasan terhadap hasil kajian yang masih bersifat sementara (belum selesai), tentu saja hanya beberapa maklumat dan huraian pokok saja yang dapat penulis paparkan dalam naskah ini. Selain itu, tentu saja kajian ini juga belum sempurna sebagaimana layaknya ringkasan terhadap tesis yang memang sudah sepenuhnya selesai. Akan tetapi, sebagai satu bentuk progres report dan proses penyempurnaan kajian, maka tulisan untuk pembentangan ini menjadi penting dilakukan.

2. LATAR BELAKANG KAJIAN
Jauh di pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dikenal satu kawasan yang merupakan persebaran majoriti etnik Iban, yakni di bagian utara kabupaten itu. Selain itu, di kawasan yang berdekatan dengan sempadan negara itu juga berdiam etnik Melayu, meskipun tidak sebesar bilangan etnik Iban. Di sanalah kedua etnik ini hidup bersama, berkomunikasi dan membangun hubungan sosial. Kawasan itulah yang dikenal dengan Badau atau Nanga Badau.
Badau atau Nanga Badau memang pernah disebutkan oleh beberapa pengkaji terdahulu, terutama dalam konteks kajian masyarakat Dayak (Iban) dan persebarannya di pedalaman Borneo dan Kalimantan Barat, seperti Grinten (1862), Bouman (1924), King (1993), Rousseau (1990), Freeman (1958, 1970), Sellato (2002) dan Collins (2004, 2006). Penyebutan kawasan ini secara baik agaknya belum pernah ditemukan dalam banyak kajian, apalagi menyangkut relasi sosial etnik masyarakatnya.
Sedikit kajian yang secara langsung (meskipun belum betul-betul terperinci) pernah menyebutkan Badau dan kawasan-kawasan di sekitarnya dapat ditemukan pada Enthoven (1903), Gerlach (1981), Bos (1917) dan, Van der Putten (1917). Dan baru ini adalah kajian Wadley (1997a, 1997b, 1998, 1999, 2001, 2006a, 2006b), serta Wadley dan Eilenberg (2006) yang mengenalkan secara lebih terperinci mengenai kawasan Badau dan kehidupan masyarakat di sekitar sempadan Indonesia dengan Sarawak, Malaysia, itu.
Berdasarkan beberapa kajian di atas dapat difahami bahawa Badau pernah menjadi kawasan yang menarik bagi para pengkaji terdahulu, terutama pegawai kolonial Belanda demi gereja. Akan tetapi kajian tersebut juga menunjukan bahawa belum diadakan pembahasan yang secara terperinci dan memuaskan mengenai Nanga Badau, terutama kajiannya menyangkut hubungan sosial masyarakat tempatan (Iban dengan Melayu). Dalam konteks itulah kajian terkini mengenai Badau dan hubungan dalam masyarakatnya penting dilakukan.
2. FOKUS KAJIAN
Cukup banyak memang tulisan yang muncul mengenai kajian etnik Iban dan Melayu sebagai identiti komuniti yang berdiam di Pulau Kalimantan. Akan tetapi tulisan tersebut cendrung hanya menggambarkan alam dan kehidupan orang Iban yang terpisah dengan alam kehidupan orang Melayu. Kecuali itu Chong (2006) yang mengkaji bahasa Iban dan dialek Melayu di Sungai Saribas, yang secara singkat menggambarkan hubungan kedua suku ini dalam alam sosial yang sama.
Pada kenyataannya, identiti Iban dan Melayu sebagai golongan etnik yang senantiasa berkomunikasi, hidup berdampingan dalam satu wilayah, perkampungan dan desa tidak mendapat perhatian besar dari para peneliti. Padahal mereka juga hidup dalam ruang komunikasi yang penuh dengan nilai sosial, budaya, adat, dan anutan tertentu. Inilah yang mendasari pentingnya kajian relasi sosial etnik ini dilakukan.
Untuk kemudahan penyelidikan di lapangan, maka pengkajian ini akan diarahkan kepada tiga aspek masalah yang lebih teknis dan terfokus berikut ini: pertama, bagaimana gambaran mengenai suku Iban dan suku Melayu di Badau; kedua, bagaimana bahasa komunikasi dalam hubungan sosial komuniti Iban dan Melayu di Badau; ketiga, seperti apa persepsi sosial yang ada pada komuniti Iban dan Melayu di Badau, utamanya dalam relasi sosial keduanya. Dari sinilah akan didapati gambaran mengenai relasi sosial Iban dan Melayu di Badau, Kapuas Hulu.

3. PROSEDUR KAJIAN
Prosedur kajian yang diterapkan dalam penelitian ini meliputi pengkajian pendahuluan (preliminary research) dan penyelidikan lapangan (field research) yang dipadukan dengan analisis teori (theory analisys).
Kajian ini mula dilakukan sejak bulan Oktober 2005 (kajian pendahuluan) ketika pengkaji akan mengusulkan rancangan tesis ini. Selanjutnya kajian lapangan yang telah peneliti lakukan selama beberapa kali kunjungan, antaranya November–Disember 2006, November 2007, dan Juli-Agustus 2009. kajian ini dilakukan dengan cara peneliti berkunjung ke perkampungan Iban dan perkampungan Melayu, berdiam beberapa hari di sana untuk melakukan pengamatan, wawancara dan mendokumantasi peristiwa sosial dan komunikasi antar masyarakat Iban dan Melayu di Badau.
Peneliti juga mengumpulkan data dengan cara menemubual beberapa orang Iban dan orang Melayu Badau yang peneliti jumpai di Bandar Pontianak misalnya. Kepada mereka ini peneliti dapat memperoleh data mengenai pengalaman hubungan sosial antara orang Iban dengan orang Melayu, persepsi diantara mereka, serta utamanya pengumpulan daftar kata dalam bahasa Iban dan bahasa Melayu di Badau.
Sementara penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan kaedah sampel bertujuan-purposive sampling (Punch, 2001 :193), dimana jumlah sampel dibatasi ketika tujuan penggalian data yang diinginkan sudah didapati sepenuhnya.
Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam (depth intervieuw) mengenai suku Iban dan suku Melayu di Badau, ciri kedua-duanya, bahasa komunikasinya dan persepsi sosial antara mereka. Selain itu, untuk memperoleh data yang lengkap dalam kajian ini, peneliti juga menggunakan teknik observasi dan dokumentasi secara beriringan.
Untuk mendapatkan data yang baik dan terpercaya, pengkaji berupaya membangun komunikasi yang intens dengan orang Iban dan orang Melayu di Badau, termasuk diantaranya adalah berdiam, dan mengamati secara langsung kehidupan sosial dan komunikasi kedua suku tersebut, baik di kampung orang Iban maupun di kampung orang Melayu di Badau.

4. DESKRIPSI KAWASAN KAJIAN
Badau dalam kajian ini adalah nama sebuah kawasan yang terletak di bahagian utara wilayah Kapuas Hulu. Nanga Badau atau kota kecamatan ini berada pada jarak 120 KM arah utara dari ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu. Badau merupakan kawasan yang bersempadan langsung dengan negara tetangga Sarawak, Malaysia. Jarak antara Badau dengan Lubuk Antu hanya sekitar 10 km sahaja.
Berdasarkan data statistik tahun 2006, Kecamatan Badau memiliki luas wilayah 700.00 km2, dengan ketinggian 33 m dari permukaan laut. Dengan luas wilayah tersebut, setidaknya ada 7 kampung setingkat desa dan 20 kampung setingkat dusun di wilayah Kecamatan Badau. Dari jumlah tersebut hanya ada dua kampung saja yang merupakan persebaran majoriti etnik Melayu yakni Badau dan Pulau Majang. Selebihnya adalah persebaran dari etnik Iban.
Sebagai daerah sempadan, Badau merupakan tempat lalu lintas para pekerja, peniaga Indonesia – Malaysia. Meskipun Badau belum rasmi sebagai daerah lintas batas, kerana belum adanya kemudahan imigresen dan kastam , namun kedekatan sempadan yang menghubungkan antara Indonesia (Kapuas Hulu) dengan Sarawak Malaysia (Lubok Antu) menjadi salah satu penyebab ramainya kawasan ini daripada keluar masuk para perantau, pekerja dan peniaga antarbangsa.
Kawasan Badau menjadi semakin ramai apabila terbukanya jalur perhubungan darat yang boleh menghubungkan kawasan itu dengan Putussibau utamanya. Terbukanya jalur perhubungan darat tersebut ditandai dengan dibangunnya jalan Lintas Utara pada tahun 1992. Jalan ini bermula dari Putussibau (Sibau Hulu) terus melintasi kawasan pentadbiran kecamatan Batang Lupar di sekitar Lanjak, Kecamatan Benua Martinus di sekitar Embaloh Hulu hingga masuk kawasan Kecamatan Badau, dan berakhir sampai ke Nanga Kantuk di kawasan pentadbiran Kecamatan Empanang (Wadley, 1998).
Kondisi ini tentu saja turut memberikan pengaruh bagi kemajuan Badau dalam posisinya yang bersempadan dengan negara Malaysia. Hal ini sudah barang tentu juga berpengaruh bagi kehidupan masyarakat tempatan, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, politik dan pelbagai aspek lainnya.

5. ETNISITI DALAM RELASI SOSIAL DI BADAU
5.1. Etnik Iban
Banyak pengkaji telah menulis mengenai suku Iban, apakah itu menyangkut asal muasal dan sejarah migrasinya (seperti Sandin, 1956, 1967; Bambang & Cillins, 1985; Darke, 1982; Padoch, 1982; Freeman, 1955; Boyle, 1865; Asmah, 1993; Rahim, 2006; Chong dkk (eds), 2006, dan lain-lain); dari aspek sosial, budaya dan bahasa (Asmah, 1993; Rahim, 2006; Chong dkk (eds), 2006; Chong & Collins, 2001; Wadley, 2001, 2006, dan sebagainya)
Berdasarkan kajian lapangan didapati bahawa Iban di Badau mulanya adalah pendatang sebagaimana suku lainnya di kawasan itu. Sejarah sosial orang Iban di Badau sebagaimana didapati dari lapangan menyebutkan mereka berasal dari daerah Batang Aek Sarawak Malaysia yang menyerang orang Kantuk ketika itu . Peperangan tersebut dimenangkan oleh Iban sehingga orang Ibanlah yang berkuasa dan menempati daerah Badau. Oleh kerana itu suku Iban disebut juga dengan orang Batang Lupar, sebab diyakini mereka berasal dari kawasan sungai Batang Lupar di Sarawak Malaysia pada zaman Kayau–mengayau tersebut. Bahkan kawasan sempadan (termasuk Nanga Badau ) yang merupakan basis persebaran suku Iban masa ini, dahulunya merupakan wilayah pembunuhan atau pengayauan yang disebut oleh para pengkaji dari barat sebagai “pintu bunoh” atau the door of killing, “pintu kayau” atau the door of raiding (lihat Wadley, 2001). Kerana alasan ini pulalah agaknya suku kantuk menyebut orang Iban ini dengan orang Batarupar, suatu sebutan yang juga berasas pada asalmula daripada suku Iban itu datang, yakni Batang lupar.
Dari sini dapat difahami bahawa migrasi suku Iban telah terjadi paling tidak dua periodesasi (Ibrahim, 2007b, 2007c). Periodesasi pertama merupakan perpindahan besar-besaran suku Iban dari kawasan Kapuas–tepatnya persekitaran sungai Ketungau yang disebut-sebut sebagai asal daerah Iban ke wilayah Sarawak dan sekitarnya (lihat Sandin, 1967, 1968; Padoch, 1982; Freeman, 1955; Boyle, 1865).
Sementara periodesasi kedua merupakan migrasi kebalikannya, iaitu perpindahan kembali suku Iban dari daerah Batang Aek Sarawak Malaysia ke daerah sekitar sempadan Indonesia-Malaysia ratusan tahun sesudah migrasi pertama, atau tepatnya sekitar pertengahan abad ke 18 hingga 19 (Ibrahim, 2007b). Migrasi kedua itulah yang menghantarkan peralihan suku yang mendiami Badau dari sebelumnya didiami oleh suku Kantuk, dan beralih ke suku Iban manakala mereka memenangi perang suku masa itu. Inilah era bermulanya tonggak sejarah mula keberadaan suku Iban di sekitar wilayah sempadan, termasuk di Nanga Badau (Wadley, 2001).

5.2. Etnik Melayu
Berbeza dengan kedatangan Iban di Badau, kedatangan Melayu di kawasan ini sesungguhnya tiada dapat dipastikan waktu dan peristiwanya. Hal ini disebabkan kedatangan orang Melayu di kawasan ini tidak secara sekaligus dalam bilangan yang besar sebagaimana kedatangan Iban. Melayu masuk dan mendiami kawasan ini lebih disebabkan dua alasan; pertama, persebaran penduduk secara alamiah dari kawasan sekitar hingga memasuki kawasan Badau. Hal ini dapat difahami dimana Melayu merupakan penduduk majoriti di pesisir Sungai Kapuas yang berhampiran dengan kawasan Badau. Kedua, dinamika sosial dan ekonomi yang turut membawa sebagaian orang Melayu menempati kawasan tersebut yang sebelumnya sudah ditempati oleh orang Iban. Hal ini utamanya didorong oleh keadaan kawasan Badau yang bersempadan dengan Sarawak memberikan peluang ekonomi dan perniagaan yang maju dan menjanjikan di kawasan tersebut.
Meskipun pada mulanya Badau dan sekitarnya hanyalah merupakan perkampungan Iban, akan tetapi hubungan perdagangan dengan orang Melayu sudahpun terjalin sejak masa dahulu lagi (Enthoven, 1903). Bahkan menurutnya pedagang Melayu lah yang sentiasa membawa barang-barang keperluan sehari-hari dan dijual kepada orang Iban dari kampung ke kampung.
Jauh lagi sebelum kedatangan Iban di Badau, Melayu sebenarnya sudah memainkan peranan yang penting di Kalimantan Barat dengan beberapa kerajaan seperti kerajaan Melayu Sukadana di Ketapang, kerajaan Melayu Sambas, kerajaan Melayu Mempawah, kerajaan Melayu Pontianak, kerajaan Melayu Kubu, kerajaan Melayu Sintang hingga ke beberapa kerajaan kecil Melayu di Kapuas Hulu (Enthoven, 1903). Di Kapuas Hulu sendiri masa itu telah terdapat beberapa kerajaan Melayu seperti di Selimbau, Piasak, Jongkong, Bunut, dan Suhaid (Wadley, 2006a).
Sebagaimana kedatangan orang Iban di kawasan Badau dan sekitarya, kedatangan orang Melayu di kawasan tersebut, hingga terbuka kawasan Badau juga dimulai dengan beberapa periodesasi. Secara umum kedatangan orang Melayu sebagai salah satu komuniti yang mendiami Badau melalui dua periodesasi; kolonialisme dan kemerdekaan. Periode kolonialisme ditandai dengan peristiwa peperangan antara suku. Sementara periode kemerdekaan ditandai dengan maraknya perdagangan Semukil dan Illegal Loging.
Berbeza dengan suku Iban yang menempati sebagian besar wilayah kecamatan Badau, dan menyebar dengan membangun kampung-kampung tersendiri. Orang Melayu di Badau hanya menempati kawasan tertentu saja seperti kampung Badau dan pulau Majang. Kampung Badau merupakan pusat pemerintahan kecamatan atau pusat kota kecamatan masa ini. Sedangkan kampung Pulau Majang adalah sebuah desa yang terletak di bahagian barat kawasan itu dengan jarak lebih kurang 40 km ke bagian selatan.
Persebaran orang Melayu di Badau diduga ada hubungkaitnya dengan asal muasal suku ini sebagai pendatang belakangan di kawasan itu, dimana sebelumnya kawasan Badau sudah didiami oleh suku Iban. Kerana itu, orang Melayu hanya menempati kawasan Badau dan Pulau Majang. Khusus Pulau Majang sepertinya ada hubungkait letak kawasan tersebut dengan kecamatan lainnya yang memiliki persentasi orang Melayu lebih besar seperti Selimbau, Suhaid dan Jongkong .

6. RELASI SOSIAL ETNIK IBAN DAN MELAYU DI BADAU
Relasi sosial antaretnik dapat dimaknai sebagai jalinan komunikasi dan hubungan sosial yang terjadi di antara suku yang berbeza. Mengacu kepada konsep umum komunikasi, maka dapat difahami bahwa para anggota suku yang senantiasa menjalin hubungan sosial di antara mereka adalah merupakan komunikator sekaligus komunikannya. Dalam hal apa, dan untuk alasan apa relasi sosial itu terjalin merupakan konteks/pesan/tujuan komunikasi itu sendiri.



Bagaimana kedua etnik itu membangun relasi sosial dalam kehidupan mereka, dalam hal apa dan untuk maksud apa relasi tersebut dibangun, dengan pilihan bahasa tertentu dalam membangun komunikasi di antara mereka, serta kontek/pesan/tujuan dari komunikasi yang terbangun di antara kedua-dua etnik itulah yang menjadikan gambaran terhadap hasil kajian mengenai relasi sosial etnik Iban dan Melayu di Badau.

6.1. Konteks Relasi Sosial antaretnik
The communication context (particularly the relationships with the other individuals in the communication situation) plays an important part in the interpretation of a communication message, demikian Rogers & Stienfatt (1999: 90) menjelaskan mengenai konteks dalam komunikasi.
Dengan penjelasan tersebut dapat difahami bahwa konteks komunikasi itu menyangkut situasi apa dan bagaimana jalinan komunikasi itu dilangsungkan dalam satu hubungan sosial dan individu. Konteks inilah biasanya yang menentukan apa sesungguhnya pesan yang diinginkan dalam komunikasi tersebut. Perbedaan kontek akan memungkinkan perbedaan pesan yang ingin disampaikan dalam komunikasi, meskipun dengan menggunakan pilihan simbol/bahasa/verbal yang sama. Karena itu menurut Rogers & Stienfatt (1999), memahami konteks merupakan suatu hal yang paling penting dalam upaya memahami pesan komunikasi yang sebenarnya.
Dalam komuniasi antarsuku Iban dan suku Melayu di Badau, konteks komunikasi yang dimaksudkan paling tidak menyangkut waktu, tempat dan partisipan yang terlibat ketika komunikasi itu berlangsung. Masing-masing konteks ini juga akan menentukan pada pilihan bahasa apa yang akan digunakan dalam komunikasi tersebut.
Dari aspek waktu, konteks komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu berlangsung ditentukan dalam komunikasi formal dan tidak formal. Kontek ini berlangsung dalam komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu ketika adanya urusan formal dalam urusan pemerintahan, baik di tingkat kecamatan, maupun desa. Pada kontek tersebut, komunikasi antarsuku berlangsung umumnya menggunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Melayu (varian) Badau. Hanya sesekali saja bahasa Iban digunakan dalam kontek komunikasi formal.
Konteks nonformal, komunikasi antarsuku berlangsung dalam keseluruhan hubungan sosial dan kemasyarakatan, baik sebagai anggota masyarakat dalam satu desa mahupun sebagai anggota masyarakat antardesa. Hal ini dapat difahami ketika melihat persebaran masyarakat di Badau, khususnya di kampung Melayu yang juga ada anggotanya dari suku Iban. Akan tetapi secara keseluruhan, hubungan dan komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu sangat intens berlangsung. Pada kontek ini, bahasa Iban dan bahasa Melayu sama-sama selalu digunakan sesuai dengan kemauan dan kemampuan partisipan untuk menggunakannya.
Dari aspek tempat, konteks komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu berlangsung ditentukan oleh tempat komunikasi itu dilakukan. Beberapa tempat berlangsungnya komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu di Badau seperti di sekolah, pasar, pusat olah raga, lapangan kerja, organisasi sosial dan lembaga adat budaya. Pada konteks ini bahasa Iban dan bahasa Melayu sama-sama selalu digunakan dalam bentuk campur kod atau bilingualisme.


Dari aspek partisipan, bahasa yang digunakan dalam komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu sangat bergantung pada siapa yang berkomunikasi. Jika komunikasi berlangsung sesama suku Iban di Rumah Panjang, atau orang Melayu yang berkunjung ke Rumah Panjang, maka bahasa Iban yang digunakan. Sebaliknya jika sesama orang Melayu, atau orang Iban di kampung orang Melayu, maka bahasa Melayu menjadi pilihan utama bahasa komunikasi. Akan tetapi untuk kontek Badau, penggunaan bahasa komunikasi juga ditentukan oleh siapa yang pertama memulai komunikasi, dan dengan menggunakan bahasa apa. Jika yang pertama memulai komunikasi adalah orang Melayu akan tetapi menggunakan bahasa Iban, maka bahasa Iban yang dipakai seterusnya. Jika menggunakan bahasa Melayu, maka bahasa Melayu yang digunakan seterusnya, meskipun dengan orang Iban. Akan tetapi jika yang memulai orang Iban dengan menggunakan bahasa Iban, tetap saja bahasa Iban yang digunakan, kecuali orang Iban yang faham bahasa Melayu, dan orang Melayu yang tidak mengerti bahasa Iban, maka bahasa Melayu yang akan digunakan.
Kondisi kebahasaan dan konteks penggunaannya dalam komunikasi dan hubungan sosial antarsuku Iban dan suku Melayu seperti ini, menjadikan kedua suku ini di Badau sebagai penutur dua bahasa sekaligus (bilingualisme), bahasa Iban dan bahasa Melayu (Ibrahim, 2008a).

6.2. Relasi Sosial antaretnik dalam sejarah sosial di Badau
Layaknya sebuah hubungan sosial umumnya, komunikasi antarsuku di Badau dalam sejarah sosial etnik juga mengalami dinamika tersendiri, baik yang bersifat positif maupun yang negatif (Ibrahim, 2008c). Hubungan sosial komunikasi yang bersifat positif tentu saja sebuah jalinan hubungan dan komunikasi yang baik, penuh keterbukaan, toleransi dan persahabatan diantara anggota kelompok dan peribadi etnik. Sebaliknya yang bersifat negatif adalah hubungan sosial komunikasi yang mandeg, tidak saling mau terbuka, intoleran, bahkan konflik.
Untuk melihat realitas hubungan sosial Iban dan Melayu di Badau, tentu sejarah menjadi bagian yang penting untuk diperhatikan. Di atas telah dipaparkan bagaimana sejarah kedua suku ini masuk dan mendiami kawasan Badau. Iban yang memulainya melalui proses eksodus saat peperangan ngayau terjadi masa itu, karenanya mereka ini juga dikenal sebagai suku yang sangat agresif, kejam dan sadis untuk membunuh lawan-lawannya (lihat Wadley, 1997b, 2001; Ibrahim, 2007a, 2007b). Sebaliknya Melayu masuk dengan strategi yang lebih diplomatik, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan (lihat tulisan Enthoven, 1903; Gerlach, 1981; Bos 1917; Van der Putten, 1917; Wadley, 1997, 2001; Ibrahim, 2007a, 2008b.
Latar belakang sosial yang beda, terutama agresifitas Iban, ternyata tidak berpengaruh secara langsung dalam bentuk negatif ketika membangun hubungan dengan Melayu. Keduanya bisa memelihara hubungan yang damai, harmonis, dan komunikatif. Persoalan apapun yang terjadi diantara mereka selalu dapat diselesaikan dengan cara yang baik, sebuah penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua-duanya.
Salah satu paktor yang menyebabkan hubungan baik dapat dibangun diantara kedua suku ini adalah, mereka saling memahami apa yang menjadi prinsip hidup dan nilai-nilai sosial dalam falsafah hidup mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh seorang informan Melayu di lapangan.

”ua Iban palin menghagai ua ya udah sida pecaya. Pinsip sida ya pecaya pada ua ya dipanda udah bepengelaman, udah tua, udah lama idup. ua Iban palin kuat ngona jasa bait ua lain, sampai tuun temuun” (Ad. 42 tahun: 5 – 12 – 2006)

”Orang Iban paling menghargai orang yang sudah mereka percayai. Prinsip mereka adalah percaya pada orang yang lebih tua, sudah berpengalaman dalam hidup. Orang Iban paling kuat mengenang jasa orang lain, bahkan sampai turun temurun”

Perinsip hidup orang Iban di atas menjadi modal bagi orang Melayu untuk membangun hubungan dan komunikasi dengan orang Iban. Karena itu, kejujuran dan saling percaya menjadi falsafah keduanya dalam menjalin hubungan dan komunikasi sosial hingga saat ini.
Selain itu, untuk memelihara hubungan dan ketentraman bersama, dibentuklah satu lembaga adat yang terdiri dari tokoh-tokoh etnik yang ada di Badau. Jika ada persoalan menyangkut hubungan diantara anggota suku, maka melalui lembaga adat itulah dilakukan musyawarah dan penyelesaiannya. Sebelum persoalan masuk ke lembaga adat bersama ini, di tingkat internal suku sebenarnya juga sudah ada lembaga adat tersendiri. Lembaga adat inilah yang menyelesaikan persoalan yang terjadi di internal suku di Badau. Setelah kedua lembaga adat (Internal & bersama antarsuku) ini menemukan jalan buntu, barulah perkara tersebut dialihkan ke hukum negara (kepolisian dan pengadilan).
Beberapa kebijakan & kearifan lokal inilah yang menjadikan hubungan sosial dan komunikasi diantara suku Iban dengan suku Melayu dapat dibangun dengan baik dan harmonis sepanjang sejarah sosial keduanya.

6.3. Bahasa dalam Konteks Gurauan & Permainan
Sebagai peneliti komunikasi sosial, khususnya menyangkut bahasa yang digunakan dalam komunikasi, peneliti tidak hanya mengamati dan mengkajinya dalam konteks formal & sosial, melainkan juga dalam konteks gurauan dan permainan. Bahasa dalam konteks ini terkadang tampak keras, kasar, bernada cacian dan makian, namun sebenarnya dia punya makna lain dan khusus dalam konteks tersebut. Pengamatan di lapangan mendapati begitu banyak kekhasan bahasa yang muncul dan digunakan oleh masyarakat (Iban mahupun Melayu) dalam konteks ini. Berikut penulis tampilkan masing-masing konteks tersebut berdasarkan hasil pengamatan yang telah peneliti lakukan.

Pernyataan bahasa Konteks komunikasi
“Oi, orang gila, kemena yak” (A)
“Kati penyelap ih, dah na` mampu aku” (B)

Hai, orang gila, hendak kemana?
Gimana lah dinginnya, sudah tak kuat rasanya. Seorang lelaki menyapa seorang perempuan paruh baya yang hendak membeli sayur di pasar pagi. Perempuan itu nampak kedinginan dengan menggunakan jaket.
(Pasar Pagi)
”boh, bejalan dulu` (A)
”kemena, kak mati” (B)
“auk, ngamik kerenda tu`” (A)

Mari, jalan dulu
Kemana, mau mati
Ya, mau ambil kerenda (mayat) ini Percakapan antara dua orang lelaki di sekitar pasar pagi. Satu orang sedang duduk-duduk minum kpi di warung, yang satunya melintasi di depan warung tersebut.

(Pasar Pagi)
”Oi, bagi oi”

Woy, berbagi lah mainnya teriak seorang penjaga gawang kepada teman-temannya di tengah lapangan.
(Main Bola)
”bbawah tugak ngirin, kati mih”

Pemain bawah kok terlalu lama menguasai bola, gimana lah Komentar salah seorang pemain menyesali temannya yang hampir melakukan blunder menguasai bola.
(Main Bola)
”tarit sisi yak”

Operlah ke pemain sayap bolanya pinta/saran seorang pemain kepada rekan mainnya yang sedang membawa bola di tengah hadangan pemain bertahan lawannya. (Main Bola)
”makan nirik buah ya`”

Dimakan sendirilah bola nya Seorang pemain kesal/marah kepada seorang teman mainnya yang tidak membagi bola kepadanya (Main Bola).
“botis ujang bah timpuk”

Ditimpuk saja betis kaki si ujang Seorang penonton berteriak (gurau) kepada pemain di tengah lapangan.
(Main Bola)
Sumber: Catatan Pengamatan Lapangan, Juli-Agustus 2009.

Beberapa contoh pernyataan di atas menunjukkan bahwa panggilan `orang gila` tidaklah bermakna yang sebenarnya, melainkan suatu panggilan gurauan yang menunjukan adanya keakraban diantara partisipan komunikasi tersbut. Apalagi pangglan gurauan itu juga biasa ditanggapi dengan gurauan juga seperti pada contoh kedua dalam kontek komunikasi di pasar pagi.
Contoh lain terlihat jelas dalam konteks komunikasi di lapangan sepak bola, baik antara sesama pemain, maupun penonton dengan pemain. Beberapa kata seperti `makan nirik buah’ dan `timpuk` bukanlah bermakna sebenarnya, melainkan suatu ungkapan kekesalan antar pemain. Semua partisipan yang terlibat sadar betul dengan makna yang terkandung dalam komunikasi konteks ini. Karena itu perkataan yang keras, kasar dan bahkan makian juga ditanggapi dengan sikap komunikasi yang sama (konteks gurauan dan permainan).

6.4. Bilingualisme sebagai bentuk relasi sosial
Merujuk pada bentuk–bentuk penutur bilingualisme Appel & Musyken (1987), dan persyaratan pertuturan menurut Fishman (1968), dapat dijelaskan bahawa bilingualisme juga wujud dalam relasi sosial etnik di Badau, khususnya bilingualisme dua arah, dimana orang Iban dan orang Melayu dapat menguasai bahasa lawan bicara dan menggunakannya dalam komunikasi, selain dengan bahasa mereka sendiri. Begitupun aspek-spek bilingualisme yang dipersyaratkan Fishman pada suatu penutur bilingual, hampir semuanya wujud dalam komunikasi masyarakat Iban dan Melayu di Badau, kecuali aspek keempat (Ibrahim, 2008a).
Bagi masyarakat Iban, bahasa Iban merupakan lingua franca dalam komunikasi sosial mereka, terutama di Rumah Panjang dan interaksi sesama orang Iban. Begitupun masyarakat Melayu di Badau juga menjadikan bahasa Melayu sebagai sebagai lingua franca komunikasi dan interaksi sesama mereka. Akan tetapi kedua-dua masyarakat ini boleh menukar bahasanya dalam situasi tertentu bergantung kepada tempat, siapa partisipan dan kapan komunikasi itu berlangsung (Ibrahim, 2008b).
Pengamatan di lapangan mendapati bahawa orang Iban akan menggunakan bahasa Iban semasa mereka berbual sesama kaum sendiri, terutama di Rumah Panjang, akan tetapi apabila mereka berjumpa dengan orang Melayu, mereka juga boleh menggunakan bahasa Melayu (Ibrahim, 2007b). Perubahan itu mengikut situasi apabila suatu perbualan dimula. Ketika seseorang dari kaum Melayu memula pembualannya dengan bahasa Melayu, maka rakan Iban pun menyahutnya dengan bahasa Melayu. Akan tetapi apabila seseorang memula pembualannya dengan bahasa Iban, meskipun dia itu orang Melayu, maka bahasa Iban akan terus digunakan dalam perbualan tersebut.
Begitupun ketika seseorang dari kaum Iban memula pembicaraannya dengan bahasa Iban, maka umumnya Melayu di Badau dapat langsung menjawabnya dengan bahasa Iban. Akan tetapi apabila difahami bahawa orang Melayu tersebut tidak mahu atau tidak mengerti bahasa Iban, maka orang Iban tersebut segera merubah bahasa percakapannya dengan menggunakan bahasa Melayu .
Situasi lain yang juga menentukan bagi penggunaan bahasa dalam komunikasi sosial di Badau, baik menggunakan bahasa Iban ataupun bahasa Melayu adalah mengikuti tempat interaksi. Jika interaksi itu berlangsung di Rumah Panjang atau di kampung Iban, maka bahasa Iban merupakan bahasa pertama sebagai lingua franca. Akan tetapi jika interaksi itu terjadi di kantor pemerintahan, sekolah, pasar dan sebagainya, maka bahasa Melayu (dan Bahasa Indonesia) menjadi bahasa pertama sebagai lingua franca. Meskipun utnuk semua kontek ini bergantung pada kemauan partisipan untuk menggunakan salah satu atau kedua-dua bahasa dalam komunikasi mereka (Ibrahim, 2007b).
Dengan kondisi masyarakat yang bilingual inilah, kedua-dua bahasa, bahasa Iban dan bahasa Melayu begitu terpelihara sebagai lingua franca dalam masyarakat etnik di Badau. Dalam hal ini mayoritas masyarakat non Iban di Badau dapat memahami dan menguasai bahasa Iban, sebagaimana sebaliknya orang Iban di Badau juga boleh menguasai dan menuturkan dengan baik bahasa Melayu.

7. KESIMPULAN
Kajian di atas memberikan pemahaman bahwa Iban dengan Melayu di Badau memang memiliki sejarah sosial yang berbeza. Akan tetapi hubungan antara keduanya sungguh sudah lama terbangun dari sejak masa kolonialisme dahulu lagi. Kondisi itulah yang menjadikan relasi sosial etnik Iban dengan Melayu di Badau dapat berlangsung dengan baik dalam sejarah social mereka, kedua-duanya dapat saling memahami, menghargai dan berkomunikasi dengan baik dalam berbagai ranah kehidupan.
Dalam hal budaya hidup dan sosial, etnik Iban dengan Melayu juga saling berbeza, namun mereka dapat saling menghargai dan menghormati. Diantara perbezaan tersebut adalah bahasa. Etnik Iban dan Melayu memang memiliki bahasa yang berbeza, namun kedua-duanya dapat saling memahami bahasa komunikasi yang digunakan masing-masing, baik dalam bentuk pertukaran kode bahasa, mahupun bilingualisme. Khusus pada kemampuan berkomunikasi dalam bentuk bilingualisme ini pulalah yang turut mewarnai relasi sosial kedua-dua etnik ini di Badau. Wallahu a`lam.























BIBLIOGRAFY

Aman, Rahim. 2006. Perbandingan Fonologi dan Morfologi Bahasa Iban, Kantuk dan Mualang, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.

Bouman, M.A. 1924. Ethnografische aanteekeningen omtrent de Gouvernementslanden in de Boven-Kapoewas, Westerafdeeling van Borneo, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde.

Chong Shin, Karim Harun, & Yabit Alas (Eds). 2006. Reflections in Borneo Rivers, Pontianak, STAIN Pontianak Press.

Chong Shin. 2005. Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Multilingual: Minoriti China di Pekan Sekadau, Pulau Borneo. Disertasi Ph.D., Universiti Kebangsaan malaysia.

Collins, J.T. 2004. Ibanic Languages in Kalimantan Barat, Indonesia: Exploring Nomenclature, Distribution and Characteristics, dalam Borneo Research Bulletin, ol 35 tahun 2004

Collins, J.T. 2006. Homelands and the homeland of Malay. Dalam Borneo and the Homeland of the Malays. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Enthoven, J.J.K. 1903. Borneo Wester-Afdeeling, Leiden, Boekhandel En Drukkerij voorheen E.J.Brill, Deel I.

Gerlach, L.W.C. 1981. Reis Naar Het Meergebied Van Den Kapoeas in Borneos Westerafdeeling.

Grinten, H.V.D. 1862. Borneo: Een Bezoek op Dat Eiland. Nagelaten Handschrift. R. Univ. Bibliotheek Leiden.

Ibrahim MS. 2007a. Orang Iban di Badau. dalam Yusriadi, Chong Sin dan Dedy Ari Aspar (Eds). Kelompok Ibanik di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Ibrahim MS. 2007b. Penggunaan Bahasa Iban di Badau. Dalam Chong Sin & Collins, Bahasa dan masyarakat Ibanik di Borneo, ATMA UKM Press; Bangi, Kuala Lumpur.

Ibrahim MS. 2008a. Komuniti Iban dan Melayu di Badau: kajian daripada aspek Bilingualisme. Makalah yang dibentangkan dalam seminar dialek-dialek austronesia di Nusantara (SADDAN III),Universiti Brunei Darussalam 24 s/d 26 Januari.

Ibrahim MS. 2008b. Komunikasi Antarsuku di Badau: satu Kajian Awal. Artikel jurnal Al-Hikmah, Jurusan Dakwah STAIN Pontianak: Vol. 2 Edisi 1 Juni

Ibrahim MS. 2008c. Potret Keberagamaan orang Melayu di Badau. Dalam Yusriadi (ed) Islam dan Etnisitas di Kalbar. STAIN Pontianak Press; Pontianak.

King, Victor T. 1993. The People of Borneo, Oxford, Blackwell Publishers

Padoch, Cristian. 1982. Migration and Its Alternatives Among the Iban of Sarawak, Netherland, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Leiden.

Rousseau, Jerome. 1990. Central Borneo: Social Life in a Stratified Society, New York, Oxpord University Press.

Sandin, B. 1956. The Westward Migration of the Sea Dayaks, dalam The Sarawak Museum Journal Vol VII. Kuching, Museum Sarawak.

Sandin, B. 1967. The Sea Dayaks of Borneo Before White Rajah Rule, East Lansing: Michigan State Universiti Press.

Wadley, Reed L. 1997a. Circular Labor Migrations and Subsistence Agriculture: A Case of the Iban in West Kalimantan, Indonesia. Disertation Doctor of Philosophy Arizona State Universiti.

Wadley, Reed L. 1997b. Variant and Changing Tradition in Iban Land Tenure. Borneo Research Bulletin. Vol. 28: 98-108.

Wadley, Reed L. 1998. The Road to change in the Kapuas Hulu borderlands: Jalan Lintas Utara. Borneo Research Bulletin. Vol. 29: 71-94.

Wadley, Reed L. 1999. Nature resource use in native and colonial histories: The Iban of West Kalimantan, Indonesia. http://www.iias.nl/iiasn/18/regions/sel.html , akses 2 Oktober 2007.

Wadley, Reed L. 2001. Frontiers of death: Iban expansion and inter-ethnic relations in west Borneo. http://www/iias.nl/iiasn/24/theme/24T10.html , akses 2 Oktober 2007.

Wadley, Reed L. 2006a. Abang in the Middle an Upper Kapuas: Additional Evidence, Borneo Research Bulletin. Vol 37: 50-58

Wadley, Reed L. 2006b. Communiti Cooveratives, Illegal Logging and Regional Autonomy in the Borderlands of West Kalimantan. Http://apress.anu.edu.au/borneo_citation.html , akses 2 Oktober 2007.

Wadley, Reed L. & Eilenberg M. 2006. Vigilantes and Gangsters in the borderland of West Kalimantan, Indonesia. http://kyotoreviewsea.org/Wadley_eng.html , akses 15 Februari 2007.

MENCARI JATI DIRI YANG HILANG…?

Oleh: Ibrahim MS
Coretan wacana singkat untuk para sahabat-sahabat dan kader pergerakan dalam rangka Pelatihan Kader Dasar PMII Kota Pontianak yang dilaksanakan tanggal 20 s/d 21 Maret 2009.


Ketika pertama kali saya disodorkan dengan tema yang mesti disampaikan untuk kader baru dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), saya bertanya dengan apa yang dimaksudkan panitia dengan tema “antropologi kampus”. Selama ini yang saya tahu adalah antropologi sosial, antropologi budaya, antropologi agama, antropologi politik, antropologi komunikasi dan sebagainya. Penggunaan istilah tersebut merujuk pada makna dasar istilah antropologi itu sendiri sebagai “ilmu pengetahuan tentang manusia” (Kamus Istilah Populer: Lukman Hakim, tt), dengan demikian maka antropologi itu sesungguhnya adalah ilmu yang mengkaji tentang diri manusia dari berbagai sudut pandang. Jika melihat manusia dari sudut budaya maka lahirlah antropologi budaya; jika melihat manusia dari sudut bahasa, itulah yang disebut antropologi bahasa/linguistik; jika melihat manusia dari sudut komunikasi, itulah yang dikenal dengan antropologi komunikasi; jika melihat manusia dari sudut agama maka lahirlah antropologi agama, dan sebagainya.
Dengan kata lain, manusia adalah lahan kajian dalam bidang antropologi itu. Lantas bagaimana dengan tema yang dirumuskan oleh panitia, adakah kampus itu sama dengan manusia sehingga dapat disebutkan dengan istilah antropologi? Ataukah ada terminology baru yang dapat membenarkan istilah antropologi digunakan untuk ilmu pengetahuan diluar manusia? Temukan jawabannya dengan kemampuan analisis yang ada.
Bagi saya yang tidak begitu mengerti tentang antropologi, saya menduga bahwa sebenarnya ada kegundahan pada diri panitia PKD akan kehidupan di dunia kampus saat ini, sehingga merumuskan tema seperti ini. Dengan kemampuan yang saya miliki, perspektif komunikasi melihat bahwa adanya harapan yang besar dari sahabat-sahabat PMII untuk memperjelas jati diri kampus yang sebenarnya. Jati diri yang patut dibanggakan oleh civitas akademikanya, termasuk mahasiswa itu sendiri.
Berbicara mengenai jati diri kampus sebenarnya adalah melihat, menilai dan mendiskusikan apa dan bagaimana kehidupan akademis yang tumbuh di dunia kampus. Dan salah satu yang paling menentukan warna kehidupan dalam kampus adalah mahasiswanya. Mahasiswalah sebenarnya yang menjadi ruh bagi kehidupan kampus. Karena itu semua aktivitas yang berlangsung di dalam kampus adalah dalam rangka mendukung usaha mahasiswa menemukan jati diri pribadi, pengetahuan, professionalitas akademik untuk melanjutkan estapet pendidikan generasi bangsa. Karena itu hidupnya nuansa akademis di kampus juga sangat ditentukan oleh mahasiswanya. Disinilah diperlukan kesadaran akademis dari setiap mahasiswa untuk mampu memainkan peran penting melalui institusi kampus.
Sejarah bangsa ini memang telah mencatat betapa besarnya peran kampus dalam pembangunan bangsa, baik fisik maupun mental, baik moril maupun spiritual. Dan lagi-lagi mahasiswanya menjadi ujung tombak dalam setiap peran penting ini. Kita masih ingat betul dengan peristiwa lahirnya sumpah pemuda tahun 1928 yang dipelopori oleh Budi Utomo, yang sebenarnya juga adalah spirit dari seluruh elemen mahasiswa Indonesia di kampus. begitupun dengan bergulirnya tatanan sosial politik dan pemerintahan demokratis yang lebih dikenal dengan perjuangan reformasi tahun 1998 juga dikomandani oleh spirit perjuangan mahasiswa dari kampus.
Beberapa contoh di atas memang cukup membanggakan bagi dunia kampus, dalam hal ini mahasiswa yang selalu diharapkan untuk mampu memainkan peranan penting mempelopori dan mengawal proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Akan tetapi seiring dengan “uporia” atas keberhasilan mengantarkan bangsa ini ke gerbang demokratisasi dan reformasi pembangunan, terlihat ada sedikit persoalan yang terjadi di dunia kampus (mahasiswa maksudnya). Kebebasan berpendapat, mengkritik dan bersikap yang lahir dari tatanan demokratisasi dan reformasi sudah mulai kebablasan. Dengan dalih demokrasi dan kebebasan, tidak jarang etika, professionalitas dan proporsionalitas pun mulai diabaikan. Ini terlihat dari gerakan sebagian mahasiswa akhir-akhir ini. Padahal, selain sebagai agen pembaharuan dan perubahan, mahasiswa juga merupakan figur seorang pribadi yang bermoral dan beretika dalam gerak langkahnya. Jika kondisi ini tidak segera disadari dalam gerakan mahasiswa, bukan tidak mungkin ini akan menjadi bumerang bagi eksistensi diri dan perjuangan mahasiswa khususnya, dan kampus umumnya. Sebab warna jati diri mahasiswa yang sebenarnya sudah mulai berganti warna, karena itu mereka ingin mencarinya kembali hari ini-lagi-lagi jika saya tidak salah menduga.
Untuk konteks mencari warna jati diri gerakan mahasiswa ini, kita kembali bertanya dengan kondisi mahasiswa kita hari ini. Bagaimana peran mereka hari ini? Adakah peran besar mahasiswa sebagai agen pembaharuan dan perubahan yang lebih baik masih dapat dilakukan dari kampus? Karena pada saatnya nanti perubahan dan pembaharuan tersebut mesti dipindahkan ke ranah sosial yang lebih luas dan praktis, yakni masyarakat. Jika mahasiswa tidak lagi mampu memainkan peran pentingnya di kampus, maka patut diragukan mahasiswa mampu memainkan peran penting dalam masyarakat.
Apa yang saya ungkapkan di atas merupakan hasil pantauan dan pengamatan saya secara umum terhadap gerakan mahasiswa selama ini. Saya dapat memberikan penilaian dari pantauan tersebut dikarenakan saya sendiri juga pernah menjadi mahasiswa, aktif dalam berbagai aktivitas dan pergerakan, baik di kampus maupun di luar kampus. Saya sadar bahwa dunia dan segala persoalannya yang saya hadapi dahulunya tidak lagi sama dengan apa yang dihadapi mahasiswa hari ini. Akan tetapi saya yakin bahwa nilai-nilai etika, akhlak dan sopan santun dalam komunikasi tidak akan pernah berubah dari baik kepada tidak baik, dari penghargaan kepada penghinaan, dari penghormatan kepada caci maki dan sebagainya.
Apa yang saya maksudkan dengan pergeseran nilai-nilai tersebut tampak dari cara-cara komunikasi yang dibangun oleh mahasiswa dalam mengusung perjuangan dan aspirasinya. Komunitas akademis yang intelek, yang mesti mengedepankan rasionalitas, etika dan moral yang merupakan identitas mahasiswa, pada sebagian mahasiswa sudah mulai terkikis. Mereka lebih senang mengedepankan otot, kekerasan, anarkisme dan “brutalisasi” dalam menyampaikan aspirasi dan perjuangannya. Kondisi ini begitu mudah dijumpai dalam pemberitaan media, dimana tidak jarang mahasiswa bentrok dengan aparat ketika berdemonstrasi, mahasiswa menghancurkan gedung kampus sendiri karena protes terhadap kebijakan pimpinan, mahasiswa terlibat dalam tauran antar fakultas, dan sebagainya. Padahal, persoalan-persoalan tersebut bukanlah sesuatu yang khas dan baru terjadi. Persoalan serupa sebenarnya juga dihadapi oleh mahasiswa pada zaman dulu-dulunya. Akan tetapi bedanya adalah pada pilihan cara, strategy dan bentuk gerakan yang digunakan dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa. Pilihan yang tidak mengedepankan etika dan moral itulah yang menjadikan mahasiswa hari ini berada di jurang krisis jati diri yang semestinya. Oleh karena itu, kinilah saatnya untuk menggunakan kesempatan yang ada pada mahasiswa untuk kembali kepada jati diri yang sebenarnya, sebelum benar-benar terjerembab dalam jurang krisis moral dan jati diri pribadi yang goyah.
Apa langkah yang mesti diambil oleh mahasiswa dalam menemukan jati diri yang sebenarnya? Pertama, mahasiswa mesti kembali kepada apa yang menjadi tujuan sebenar keberadaannya di kampus. Dan tujuan ini mesti selalu menjadi pilihan yang pertama dan utama dalam keseluruhan aktivitas di dunia kampus. Dengan kata lain, pengembangan kepribadian diri dengan memperdalam pengetahuan, wawasan dan keilmuan akademis mesti menjadi pilihan utama yang tak boleh dikalahkan oleh aktivitas pendukung lainnya. Kedua, moralitas dan etika adalah nilai yang mutlak untuk dijadikan sebagai ruh dalam membangun komunikasi gerakan dan perjuangan mahasiswa. Dengan nilai ini maka, rasionalitas akan mengalahkan anarkisme dan “brutalisasi” dalam setiap pergerakan dan perjuangan aspirasi mahasiswa. Ketiga, meskipun mahasiswa itu adalah unsur utama dan menentukan bagi eksis tidaknya kehidupan kampus, akan tetapi mahasiswa bukanlah satu-satunya unsur yang hidup dan membangun kampus. Ada banyak pihak lain yang terlibat dalam mewujudkan harapan dan cita-cita kampus, seperti para dosen, pegawai, pemerintah dan juga masyarakat. Karena itu, membangun hubungan yang baik dan kerjasama diantara semua unsur ini adalah mutlak untuk dilakukan dalam kerangka menuju perubahan dan kemajuan yang lebih baik, dalam aspek apapun itu.
Keempat, perlunya penataan keorganisasian mahasiswa yang lebih baik, yang lebih singkron dan mendukung bagi program pengembangan kampus dan mahasiswanya, pembangunan daerah dan sumber daya mahasiswa yang professional dan berkualitas, yang mampu melahirkan pribadi yang khairunnasi man yanfa uhum linnas. Kelima, tempatkan aktivitas ekstrakurikuler dan organisasi sebagai pendukung keberhasilan kuliah (yang merupakan tujuan utama). Dengan kata lain, tidak ada lagi alasan karena kesibukan dalam kegiatan ekstra dan organisasi yang mengharuskan untuk mengabaikan kuliah, apalagi menjadi penghambat proses penyelesaian studi dengan cepat dan dengan hasil yang memuaskan. Wallahu a`lam.