Kamis, 06 Desember 2012

INIKAH POTRET PENDIDIKAN KITA


Oleh: Ibrahim MS (Satu catatan keprihatinan terhadap penyelenggaraan pendidikan)

Pendidikan pada asasnya merupakan ranah yang paling mulia dan menjadi cita-cita banyak orang, sebab dengan pendidikan kita akan menghasilkan manusia-manusia yang handal, cerdas nan berkualitas. Melalui pendidikan yang baik dan berkualitas kita akan mampu membangun pribadi, masyarakat dan bangsa ini menjadi lebih baik dan maju.
Tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pendidikan pada satu sisi, dengan kemunculan institusi pendidikan (terutama perguruan tinggi) yang semakin mengeliat pada sisi lain sesungguhnya memberikan harapan yang menggembirakan pada mulanya. Dimana kita melihat hampir di setiap kabupaten di Kalimantan Barat telah berdiri perguruan tinggi yang menawarkan berbagai disiplin keilmuannya. Bahkan dengan model pembelajarannya sendiri pendidikan tinggi tersebut sudah hadir hingga ke tingkat kecamatan-kecamatan.
Sungguh kondisi ini cukup memberikan harapan dan kemudahan bagi masyarakat kita untuk menimba ilmu hingga ke pendidikan tinggi, sebab mereka tidak perlu jauh-jauh lagi untuk kuliah, di dekat mereka, di hadapan mereka sudah banyak perguruan tinggi yang siap menampung keinginan mereka mengeyam pendidikan tinggi dan menjadi sarjana.
Ironisnya, kehadiran perguruan tinggi tersebut dengan berbagai kemudahan yang ada, terutama dari sisi jangkauannya, tidak dibarengi dengan jaminan kualitas pendidikan yang memadai sebagaimana diharapkan. Bahkan ada kesan bahwa pendidikan pada sebagian perguruan tinggi tersebut hanya bersifat formalitas semata guna mengejar gelar kesarjanaan dan lahan “bisnis yang berkedok pendidikan” oleh penyelenggara.
Jika sebelum ini dunia akademis diresahkan dengan adanya praktek jual beli gelar yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang tidak jelas, tampa perkuliahan dan proses belajar, tau-taunya sudah mendapat gelar kesarjanaan. Terhadap kasus ini, banyak dari kita yang berteriak bahwa itu adalah kejahatan akademis. Namun akhir-akhir ini kita jumpai kasus yang serupa meski tak sama, yakni adanya lembaga pendidikan (perguruan tinggi) yang jelas keberadaan dan sah pendiriannya secara hukum, akan tetapi ternyata dalam penyelenggarakan pendidikannya jauh dari prinsip-prinsip mengedepankan kualitas dan proses pendidikan yang baik. Bagaimana tidak, di luar etika akademis yang sepestinya, justru ada perguruan tinggi di sekitar kita yang secara resmi menawarkan paket pembuatan skripsi bagi mahasiswanya untuk menyelesaikan studi. Dengan tawaran ini mahasiswa tidak perlu repot meneliti, bahkan tidak perlu tau dengan skripsi akhir. Mereka hanya cukup menyetor bayaran sekian juta rupiah ke kampus (dengan tarif yang telah ditentukan), maka mereka akan terima jadi skripsinya dan menjadi sarjana. Subhanallah, percaya atau tidak, itulah kenyataan dan dapat dibuktikan di lapangan.
Sebagaimana kuliah umumnya, konon mereka ini juga akan melewati proses ujian skripsi di depan tim penguji, kemudian juga diwisuda. Karena itu mereka juga diminta sejumlah biaya untuk proses tersebut. “Ya, okelah. Untuk ujian dan wisuda memang sepantasnya ada. Tapi yang membuat saya bingung bagaimana ujian skripsi nanti? Skripsi sendiri saja saya tak tau karena tak pernah lihat. Skirpsi kami mereka yang buat. Apa yang mau diuji?” Keluh salah seorang mahasiswa di perguruan tinggi itu.
Sebuah keprihatinan yang mendalam dengan kondisi pendidikan yang seperti itu, ketika pendidikan diselenggarakan semata untuk kepentingan bisnis dan formalitas semata. Yang penting kuliah di perguruan tinggi resmi (sah), selesai dan mendapatkan gelar sarjana, cukup. Itulah agaknya yang terlintas dalam pikiran mereka. Bagi perguruan tinggi penyelenggara yang penting ramai mahasiswa, dan banyak pula sarjana yang dihasilkan. Lantas pertayaannya adalah, adakah kualitas yang didapatkan dengan proses pendidikan seperti itu. Pernahkah mereka berpikir bagaimana mempertanggungjawabkan gelar kesarjanaan mereka kelak? Jika mereka menjadi pendidik, mereka harus mengajar dengan kejujuran dan ilmu yang benar. Jika mereka PNS -menjadi guru dan dapat sertifikasi, mereka harus membuat penelitian dan karya untuk laporan beban kerja setiap semester?
Di sinilah mereka baru akan merasakan imbasnya. Mereka harus membuat semua itu. Mereka tidak mungkin lagi beralasan kalau mereka tidak mendapatkan pengalaman tersebut (meneliti & menulis) ketika kuliah dahulu. Ataukah mungkin pengalaman yang diajarkan dari kampus mereka dulu yang akan dijadikan pelajaran buat mereka, yakni membayar orang lagi untuk meneliti dan menulis karya atas nama mereka. Astaghfirullahal azhim dan mohon perlindungan Allah dari generasi pendidikan yang salah seperti ini. Generasi pendidik yang dicetak dan diwarisi oleh perguruan tinggi yang tidak berwibawa dan tidak berkualitas, bahkan perusak dunia akademis pendidikan kita.
Adakah itu gambaran pendidikan tinggi kita saat ini? Mungkin. Akan tetapi sesungguhnya masih banyak perguruan tinggi yang berjalan dalam koridor akademis yang baik dan benar, yang masih mengedepankan proses pendidikan yang berkualitas, menjunjung tinggi budaya akademis dan kejujuran ilmiah, yang dapat dipilih untuk pendidikan anak-anak dan generasi kita kedepan.
Oleh karena itu, jika penguasaan ilmu pengetahuan yang menjadi tujuan pendidikan tinggi anak-anak dan generasi kita, maka jauhkan mereka dari perguruan tinggi yang hanya mengedepankan praktek bisnis oriented dan formalitas belaka, yang justru merusak dunia akademis pendidikan kita. Wallahu a`lam.

BEGITULAH MEREKA MENCARI REZKI


Oleh: Ibrahim MS (Catatan di Bis Kuching-Pontianak)

“Mas, mau kemana? Ada yang jemput? Ayo langsung ke bandara 50 saja”. itulah sederet pertanyaan yang muncul dari seorang lelaki yang masuk ke dalam bis sore itu dan bertanya kepada salah satu penumpang. Suasana tersebut cukup  mengejutkan kami, maklum beberapa diantara penumpang masih tertidur dan dalam kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang dari Kuching, Malaysia.
Pengalaman ini saya alami beberapa hari yang lalu ketika saya pulang dari Malaysia dengan menumpang bis antar negara Kuching-Pontianak. Kira-kira pukul 4 sore bis kami sudah masuk kota Pontianak, dan diantara penumpang kami ada yang minta turun di Tanjung Raya 2. Belum sempat penumpang tersebut turun dari bis, begitu pintu terbuka tiba-tiba masuk 4 sampai 5 orang lelaki dan bertanya kepada penumpang satu persatu. Berbagai pertanyaan mereka ajukan seperti mau kemana? Siapa yang jemput? Ayo ikut dengan saya? Dan berbagai pertanyaan dan bujukan kepada penumpang untuk mau menggunakan jasa ojek mereka.
Kecuali saya dan teman di sebelah saya agak terlewati dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin karena sikap kami berdua yang santai dan cendrung cuek dengan kehadiran mereka.
Begitu penumpang tadi sudah turun, bis kami terus berjalan. Dan justru mereka-mereka itu tidak turun, mereka mengikuti bis kami sampai ke terminal (kantor agen). Di sepanjang jalan itulah mereka terus membujuk dan merayu kepada penumpang untuk mau menggunakan jasa ojek mereka ke tempat tujuan masing-masing.
Secara diam-diam saya mengamati situasi tersebut. Menurut saya, ada penumpang yang merasa senang dan diuntungkan dengan kehadiran mereka, apalagi kebetulan mereka saling mengenal, atau berasal dari komunitas yang sama. Atau mereka memang memerlukan jasa ojek tersebut. Akan tetapi ada juga yang tampak risih dan seperti merasa terganggu. Maklum saja, banyak cerita pengalaman yang tidak menyenangkan yang pernah dialami oleh penumpang seperti ditipu/ diakali oleh penawar jasa ojek seperti ini dengan meminta bayaran yang sangat mahal, bahkan dengan mata uang ringgit, karena mereka menganggap penumpang tersebut dari Malaysia, pasti punya banyak ringgit.
Atau mungkin juga tidak menyenangkan jika dihadapkan pada hak privasi setiap penumpang untuk merasakan kenyamanan dan ketenangan dalam kendaraan, dan itu semestinya adalah tanggung jawab yang mesti dijamin oleh pihak armada.
Kondisi ini mengingatkan saya pada suasana transportasi di Malaysia yang begitu nyaman, aman dan sangat menjamin privasi penumpangnya. Bukan untuk maksud membandingkan, tapi sejujurnya di Malaysia saya tidak pernah menemukan penawar jasa ojek yang berburu calon penumpangnya hingga masuk ke dalam kendaraan umum seperti di negara kita. Jika pun ada, itu juga oleh para warga negara kita yang ada di sana.
Saya berbisik dengan teman di sebelah saya, “inilah negara kita, begitulah cara sebagian warga kita mencari rezki untuk menopang hidup keluarga mereka. Mereka punya kreatifitas dalam mencari sumber penghidupan yang baik dan tentunya halal di tengah sukarnya mencari pekerjaan lainnya”. Dari lubuk hati yang dalam saya hanya bisa berdoa semoga mereka-mereka ini bisa menjalankan aktivitas mencari rezki seperti itu dengan benar, jujur dan utamanya menjunjung nilai kemanusiaan dan tolong menolong. Sebab pada substansinya, pemilik jasa ojek dan penumpangnya adalah saling membutuhkan. Yang penting jalani semua itu dengan baik dan benar, jangan sekali-kali memanfaatkan ketidaktahuan orang lain akan daerah kita dengan penipuan dan pemerasan untuk meraup keuntungan yang besar. Carilah rezki dengan cara halal, percayalah bahwa rezki Allah ada di mana-mana, dan setiap kita sesungguhnya sudah digariskan rezkinya masing-masing, termasuk para tukang ojek yang berburu rezki hingga ke dalam bis sore itu. Akhirnya dengan senyum saya berkata dengan teman yang duduk di sebelah saya “Ya, inilah negara kita, dan begitulah mereka mencari rezki”. ...!