Satu catatan perjalanan dalam Program Kampung Research IAIN Pontianak tahun 2013
di Dusun Besar, Pulau Maya, Kayong Utara.
Oleh: Ibrahim MS
Kamis,
17 Oktober adalah jadwal keberangkatan peserta program Kampung Riset 2013.
Untuk program ini, kami memilih daerah Pulau Maya dan Kepulauan Karimata
sebagai lokasi pelaksanaannya. Dimana kedua kawasan ini merupakan wilayah
administratif Kabupaten Kayong Utara.
Pulau Maya dan Kepulauan Karimata yang sebelumnya lebih dikenal
dengan Kepulauan Maya Karimata sesungguhnya bukanlah nama yang asing bagi saya.
Saya sudah sering mendengar nama ini. Meskipun saya sendiri baru beberapa tahun
mengenal nama kawasan ini. Tahun 2008 dan 2009 misalnya, saya mempunyai program
monitoring dan suvervising terhadap pembangunan dan penyelenggaraan sekolah
bantuan dari AIBEP (Australia – Indonesia Basic Education Program),
dimana wilayah Kepulauan Maya Karimata hingga ke Pulau Betok adalah salah satu
kawasan yang juga dikunjungi oleh tim saya di lapangan.
Sejak itu, saya mendapat bayangan bahwa kawasan ini sangat jauh
berada di pedalaman kepulauan. Dimana untuk sampai kesana memerlukan
perhitungan yang baik mengenai cuaca dan arah angin. Jika tidak, maka tidak
mudah bagi siapapun untuk dapat sampai ke sana. Bahkan tim lapangan yang
membantu saya untuk mendatangi sekolah AIBEP di kawasan Pulau Maya Karimata dan
Betok ketika itu, harus menyewa secara khusus alat transportasi kesana, dan
tentunya dengan biaya yang juga besar. Singkatnya, Pulau Maya dalam banyangan
saya ketika itu adalah kawasan yang jauh di sana dan sulit dijangkau.
***
Awal
tahun 2013, saya mendapatkan kabar jika usulan program Kampung Riset telah disetujui
dalam anggraan DIPA STAIN Pontianak tahun 2013, dimana alokasinya ada di P3M
(PPK Ketua 1 istilahnya). Saya merasa bangga, meskipun semula usulan tersebut
adalah dari Malay Corner. Karena tahun sebelumnya Malay Corner pernah
mengajukan program tersebut melalui Puket 1. Tapi, tak mengapalah, yang penting
program ini terrealisasi. Saya juga faham, bahwa P3M lah yang paling
memungkinkan untuk menaungi program ini secara resmi administratif dibanding
Malay Corner yang masih berstatus lembaga non struktural.
Awal april 2013, saya bersama Zaenudin diminta oleh Kepala P3M
untuk mengelola kegiatan Kampong Riset ini. Kamipun mulai merencanakan beberapa
alternatif lokasi untuk pelaksanaan program ini, satu diantaranya adalah daerah
Pulau Maya Kayong Utara, daerah yang lebih diidentikkan dengan daerah asalnya
pak Rustam, puket 1 yang merupakan pemegang kuasa anggara kegiatan ini.
Pertengahan Juli 2013 kamipun memulai kegiatan survey lokasi. Kami
beserta panitia inti melalukan perjalan survey ke Pulau Maya, sekaligus safari
ramadhan. Karena kebetulan bertepatan dengan awal ramadhan 1434 H. Kami memilih
Desa Dusun Besar dan Desa Pelapis sebagai alternatif utama pelaksanaan program Kampung
Riset 2013. Alhamdulillah, meski harus berjibaku dengan derasnya ombak
angin selatan, kami berhasil mendatangi kedua kawasan ini, dan memperoleh data
awal untuk pelaksanaan program Kampung Riset 2013. Dari hasil survey inilah
kami panitia menetapkan 5 lokasi penempatan mahasiswa dalam program Kampung Riset
ini, yakni 2 kelompok di Dusun Besar Kecamatan Pulau Maya, dan 3 kelompok di
Pulau Pelapis Kecamatan Kepulauan Maya Karimata. Dari informasi survey ini juga
kami mendapatkan masukan dari masyarakat setempat mengenai waktu yang tepat
untuk datang membawa rombongan, terutama pertimbangan gelombang laut (musim
angin dan musim teduh)
***
Jum`at
pagi tanggal 18 Oktober kami sampai di Dusun Besar, salah satu lokasi perkampungan
yang dipilih untuk program Kampung Riset ini. Saya sendiri sebagai panitia yang
bertanggung jawab untuk lokasi di Dusun Besar. Dimana ada 2 kelompok yang
ditempatkan di lokasi ini, yakni kelompok 1 dan 2. Masing-masing kelompok
terdiri dari 6 orang mahasiswa, 2 orang dosen pembimbing dan 2 orang panitia.
Tepat pukul 10.45 pagi kapal yang membawa rombongan kami merapat di
dermaga Dusun Besar. Kami kelompok 1 dan 2 yang ditempatkan di desa inipun
bersiap untuk turun dengan berbagai perlengkapan dan perbekalan yang telah
disiapkan.
Sebagai panitia, dan telah melakukan survey di desa itu, saya
segera melakukan koordinasi dan komunikasi mengenai tempat penginapan (posko)
rombongan, sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya dengan tokoh
masyarakat di desa ini. Benar sekali, begitu kapal merapat, saya turun ke
dermaga, disana sudah menunggu pak Malik. Tokoh masyarakat yang banyak membantu
kami dalam kunjungan lapangan, sejak survey. Beliaulah yang memilih posko
penginapan dan menghubungi pemiliknya untuk dijadikan sebagai tempat penginapan
rombongan.
Sementara itu, “kampung tengah” sudah terasa gelisah, maklum jadwal
makan siang sudah tiba. Jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 11.15 Wib.
Dari kejauhan (di masjid) suara ngaji sudah mulai terdengar, yang menandakan
beberapa saat lagi waktu shalat jum`at akan tiba. Jarak dermaga dengan rumah
tempat kami menginap juga cukup jauh, bahkan harus melewati masjid yang segera
akan melakukan ibadah shalat jum`at siang itu.
Sebagai panitia yang harus bertanggung jawab dengan rombongan, saya
putuskan untuk menunda shalat jum`at, sebab urusan kampung tengah para peserta
sudah mendesak untuk segera dipenuhi.
Tak mengapalah,
kan masih musafir.
Allah telah
memberikan keringanan (rukhsah) untuk para musafir.
Begitulah yang terlintas dalam pikiran sederhana saya sambil
bergegas menuju ke arah warung makan yang kebetulan searah dengan posko
penginapan kami. Dengan kondisi badan yang sedikit kelimpungan karena pengaruh
gelombang di kapal, kami semua membawa jinjingan masing-masing. Beberapa
diantaranya, terutama perbekalan yang berat-berat diangkut pak malik
menggunakan sepeda motornya.
Pukul 11.30 kami sudah stanby di rumah makan. Sebagian dari kami
langsung memesan air minum karena memang sudah sangat lapar dan haus. Bahkan Jul
(salah seorang peserta kelompok 2) terpaksa harus membantu tukang warung untuk
melayani kawan-kawan dan membuatkan minuman. Di tempat ini kami tidak lagi memikirkan
shalat jum`at yang sedang berlangsung di masjid. Kami hanya menunggu dengan sabar
tukang warung menyiapkan hidangan makan siang buat kami. Beberapa diantara kami
langsung menyantapnya dengan lahap. Dan, yang lainnya..?
Maaf, bapak
ibu, nasi habis, tunggu ya..
kita masakkan dulu nasinya, tak lama kok.
Begitulah ibu tukang warung memberitahukan kami sambil menyiapkan
segalanya dengan sigap. Kami terdiam. Perasaan kami sedikit kecewa. Tapi kami
tidak punya pilihan lain, kecuali pasrah dan menunggu.
Inilah satu-satunya warung makan di Desa Dusun Besar. saya bisa
memaklumi jika persedian masakan di warung itu memang sudah habis. Maklum baru diborong
untuk 30 orang peserta rombongan yang segera akan melanjutkan perjalanan ke
Pulau Pelapis. Karena itu kami mesti mendahului keperluan mereka, sebab kami
sudahpun sampai di lokasi.
Singkat cerita, jam di tangan menunjukkan sudah hampir jam 1 siang,
urusan “kampung tengah” kami sudah klar di warung itu. Karenanya kami pun
memulai perjalanan menuju ke rumah warga dimana kami akan menginap. Dengan
bawaan barang masing-masing kami menyusuri Desa Dusun Besar menuju posko yang
berjarak lebih kurang 500 meter dari warung makan itu. meski lelah dengan
barang bawaan, namun kaki kami terus melangkah menyusuri jalan tembok kampung
yang berada beriringan dengan sebuah parit besar diantara pemukiman warga.
Sesekali kami menyapa warga yang kebetulan berada di depan rumah mereka.
Alhamdulillah akhirnya
sampai juga kami di posko, dimana sudah ada tuan rumahnya yang menunggu.
Assalamu`
alaikum nenek, apa kabar?
Nenek sehat?
Begitulah saya menyapanya untuk pertama kali sore itu.
Alhamdulilllah sehat, silakan
lah, masuk. Jawab nenek itu dengan senyum ramah sambil mengajak kami ke dalam.
Nenek masih ingat saya? Tanya saya spontan.
Iya, tapi namanya lupa, jawab nenek sambil tersenyum menatap
kepadaku. Begitulah perbincangan ramah kami di awal waktu menempati posko itu.
saya sendiri sudah mengenal nenek itu, karena waktu survey dahulu kami juga
menginap di rumah itu. Rumahnya wak Dup atau Ladup, yang merupakan ibu mertua
dari bang Amri temannya pak Rustam.
Disinilah tempat saya bersama rombongan kelompok 1 menginap selama kegiatan
Kampung Riset di Dusun Besar.
Sementara kelompok 2 (Erwin dan rombongan), setelah istirahat
beberapa waktu di posko kami, mereka terus menuju ke penginapan posko 2 yang
berada lebih ke hulu lagi dari posko kami. Mereka menginap di rumahnya Tok
Loda`, ayah dari bang Ruslan yang merupakan alumni STAIN Pontianak. Itulah hari
pertama kami memulai aktivitas Kampung Riset di Desa Dusun Besar.
***
Ba`da
shalat isya, adalah jadwal saya bersama rombongan kelompok 1 bersilaturrahmi ke
rumah pak Kades yang berada hampir berhadapan dengan penginapan kami. Sebagai
tamu saya bersama rombongan datang untuk melaporkan diri, menyampaikan maksud
dan tujuan program yang dilakukan dan sekaligus memohon izin untuk tinggal
beberapa waktu di desa tersebut.
Dengan ramah, pak Kades yang masih muda itu menyambut kedatangan
kami. Beliau memberikan senyum kepada setiap rombongan yang saya perkenalkan
satu persatu malam itu. Bahkan ketika saya memperkenalkan satu persatu dan asal
daerah para peserta, beliau sempat menanyakan:
Ada yang
berasal dari sambas kah?
Isteri
saya dari sambas.
Begitulah keramahan yang beliau tunjukkan sambil tersenyum ke arah isterinya
yang berada di samping kanannya.
Setelah mendengar apa maksud dan tujuan kedatangan kami, pak Kades
memberikan banyak informasi awal mengenai desa itu. Mulai dari persoalan
pembangunan desa, sosial keagamaan dalam masyarakat, pendidikan dan sebagainya.
Momen itu juga digunakan beliau untuk menyampaikan beberapa program pembangunan
desa yang sedang dan akan dilakukannya sebagai kepala desa, salah satunya adalah
pembangunan madrasah ibtidaiyyah yang untuk sementara- dengan segala
keterbatasannya- masih dipimpinnya secara langsung sebagai kepala sekolah.
Begitupun dengan para peserta, kesempatan silaturrahmi malam itu
dimanfaatkan untuk memperolah beberapa data awal tentang desa, mulai dari
jumlah dusun, jumlah penduduk, fasilitas pendidikan, rumah ibadah dan
sebagainya. Tak terasa jam di tangan
sudah menunjukkan hampir pukul 9. Artinya sudah lebih 1 jam lebih kami bertamu
di rumah pak Kades. Kami pun mohon diri untuk pamit malam itu.
Pak kami pamit
dulu
Mohon waktunya
jika nanti adek-adek ini kembali menemui bapak
Mungkin ada beberapa hal yang ingin ditanyakan mengenai kampung
ini.
Basa basi saya sambil beranjak dari tempat duduk dan menyalami
beliau.
Oh, ya.
Silakan.
Mungkin perlu
ke kantor desa. Datang saja.
Begitulah akhir perbincangan silaturrahim kami dengan pak Kades malam
itu.
***
Desa
Dusun Besar yang kami tempati dalam program Kampung Riset ini didiami oleh
3.951 jiwa yang tersebar di 6 dusun, yakni Dusun Selja 1, Selja 2, Selja 3,
Budi Nelayan, Mulya Usaha dan Mulya Tani.
Dari keseluruhan jumlah jiwa yang ada di Desa Dusun Besar ini, mayoritasnya
adalah masyarakat Bugis dan beragama Islam. Hanya ada beberapa orang saja
masyarakat China dan non muslim, terutama para pedagang dan pengumpul hasil
tangkapan nelayan di kawasan tersebut.
Sebagai sebuah desa dengan wilayah yang cukup besar dan jumlah
penduduk yang ramai, ada beberapa fasilitas pembangunan yang ada di Desa Dusun
Besar ini. Fasilitas pendidikan misalnya ada 1 Sekolah Dasar, 1 Sekolah
Menengah Pertama, 1 Sekolah Menengah Atas dan 1 Madrasah Ibtidaiyyah Swasta.
Begitupun dengan fasilitas ibadah, ada 2 buah Masjid, dan 6 buah Surau yang
tersebar dari Dusun Parit Timur hingga ke Dusun Sungai Buaya.
Secara ekonomi, ada dua mata pencaharian utama masyarakat di Desa Dusun
Besar ini, yakni sebagai nelayan dan petani ladang. Sebagai nelayan, maka
melaut adalah rutinitas yang mereka geluti dari hari ke hari. Begitupun yang
bekerja sebagai petani, maka aktivitas bercocok tanam padi/sawah adalah
rutinitas yang mereka geluti, disamping perkebunan kelapa sebagai usaha
dampingan.
Selain kedua usaha tersebut, pengamatan di lapangan juga mendapati
bahwa beberapa warga Desa Dusun Besar yang menggeluti usaha penangkaran sarang
burung walet. Ini tampak dengan berdirinya beberapa bangunan sarang walet di
sepanjang perkampungan ini. Meski tidak sempat menghitung secara pasti, namun
diperkirakan jumlah rumah walet di Desa Dusun Besar ini mencapai hampir 20
rumah, termasuk di belakang posko kami (kelompok 1) yang sedang dibangun rumah
burung walet.
Banyaknya usaha penangkaran sarang burung walet ini disebabkan
banyaknya burung walet berkeliaran di sekitar perkampungan mereka. Hal ini
dapat dipahami karena kondisi perkampungan ini yang berada di dekat lautan pada
sisi barat dan selatan, sementara pada sisi timur dan utara berada di kaki
sebuah gunung besar yang oleh masyarakat setempat diberi nama Gunung
Dusun.
Namun yang menjadi ke-khasan dari Desa Dusun Besar ini bukanlah
pertanian, juga bukan waletnya. Melainkan udang dari hasil tangkapan para nelayan.
Udang inilah yang banyak diproduksi menjadi kerupuk udang dusun yang dikenal
banyak orang dan dipasarkan hingga ke Kota Pontianak. Karena itulah tidak
sedikit orang yang nyeleneh dengan gurauan bahwa tidak ada bukti seseorang
sudah sampai ke Dusun Besar jika tidak bisa membawa pulang oleh kerupuk udang
Dusun. Hal ini hampir sama dengan ke-khasan Kapuas Hulu dengan kerupuk basahnya
(temet).
***
Sebagai
seorang peneliti, atau paling tidak dalam kapasitas membawa rombongan peneliti
untuk program Kampung Riset, ada beberapa isu penting yang menjadi daya tarik
pengamatan, sebagaimana dijelaskan oleh pak Kades ketika pertemuan silaturrahmi
malam pertama. Salah satunya adalah persoalan sosial keagamaan dan rendahnya
pendidikan agama bagi generasi muda di kampung itu.
Untuk menelusuri informasi tersebut, saya memulai sebuah pengamatan
dari masjid Baitul Hasanah, masjid besar desa ini yang berada lebih kurang 250
meter dari tempat kami menginap. Untuk tujuan ini, saya sengaja untuk mengikuti
setiap shalat jamaah yang dilakukan di masjid itu, mulai dari Maghrib, Isya
hingga Subuh.
Menjelang masuknya waktu maghrib pertama tanggal 18/10 saya bersama
pak Rustam dan Syahroni bergegas menuju masjid, dan disusul oleh dua orang
mahasiswa Bambang dan Ilyas di belakang kami. Sesampai di masjid kami
menunaikan shalat sunnat tahiyatul masjid hingga seorang jamaah maju dan
mengumandangkan azan. Selesai azan kami siap berdiri untuk maksud melalukan
sunnat qabliyah. Namun belum sempat takbir, ternyata muazzin langsung
mengumandangkan iqamat. Kami pun shalat maghrib malam itu dengan jama`ah
sejumlah 11 orang, termasuk 5 orang kami dari rombongan Kampung Riset. Shalat
kami dipimpin oleh seorang imam yang belakangan saya kenal dengan nama wa` Ter,
salah seorang imam tetap masjid Baitul Hasanah itu.
Selesai shalat, salah seorang jamaah maju dengan membawa sebuah
kitab dan membacanya di hadapan kami, melalui kitab itu kami dibacakan beberapa
hadits nabi. Saya bangga dan senang dengan salah satu hadits yang dibacakannya,
yakni mengenai keutamaan shalat jamaah di masjid. Selesai dari itu, kami
salaman antar sesama jamaah. Kemudian saya dan beberapa diantaranya melakukan
shalat sunat ba`diyah sebelum kembali pulang ke posko.
***
Shalat
Isya saya kembali ke masjid, dimana disana azan sudah dikumandangkan oleh wa`
Ter. Saya cukup heran, dimana hingga shalat dimulai tidak ada lagi jamaah dari
masyarakat di kampung itu yang datang bersama kami melakukan shalat isya malam
itu. hanya ada kami bertiga (saya dengan pak Rustam) dan wak Ter itu.
Dimana ustadz yang maghrib tadi membacakan hadits di hadapan kami?
Dimana bekas keutamaan shalat jamaah di masjid yang baru saja disampaikan
melalui hadits yang dibacakan 1 jam sebelumnya? Itulah pertanyaan yang muncul
dalam benak saya malam itu.
Pagi tanggal 19/10, kami kembali ke masjid untuk melaksanakan
ibadah shalat subuh berjamaah. Lagi-lagi di masjid saya hanya mendapati wa` Ter
sendirian yang sedang mengumandangkan azan. Agak berbeda dengan Maghrib dan
Isya, kali ini selesai azan, kami mempunyai waktu untuk melakukan shalat sunat qabliyah.
Kesempatan ini dalam dugaan saya adalah supaya ada jamaah lain yang datang
menyusul untuk sama-sama shalat subuh di masjid. Namun keheranan kembali muncul
dalam benak saya dimana kembali hanya wa` Ter sendiri dari warga setempat yang
shalat subuh di masjid pagi itiu.
Selesai shalat, saya
coba mengajak ngobrol pak Imam, termasuk bertanya nama beliau dan beberapa hal
tentang keagamaan di Desa Dusun Besar.
Dimana ya pak, jamaah lain tak ada yang datang shalat bersama kita
ni.
Itulah pertanyaan pertama yang saya lontarkan sambil tersenyum dan
menyuguhkan salaman dengan pak Imam.
Itulah pak,
disini memang begitulah
Susah ngajak
masyarakat shalat jamaah ke masjid.
Jawab wa` Ter
dengan nada sedikit kecewa.
Di mana mereka
yang berjamaah maghrib bersama sama kita semalam
Termasuk yang membacakan
fadhilah amal tak datang juga yang pak,
Tanya saya lebih lanjut.
Seakan tidak ingin berprasangka negatif terhadap orang lain, wa`
Ter tidak menjawab secara langsung pertanyaan yang saya berikan. Beliau malah
mengatakan:
Ya, beginilah
kondisinya pak
sudah biasa lah
saya shalat sendiri di masjid ini,
tak ada jamaah
yang datang.
Tapi saya tak
masalah, selagi saya mampu
Diberikan kesehatan
saya tetap shalat ke masjid.
Ungkap wa` Ter mengundang keprihatinan saya.
Adakah kegiatan keagamaan yang dilakukan di masjid ini selain
shalat jamaah pak? Tanya saya lebih lanjut. Tak ada, paling-paling pengajian
ibu-ibu pada sore jum`at. Jawabnya dengan ringkas. Kegiatan remaja dan TPA juga
tidak adakah? Saya bertanya lagi. Tak ada. Jawab.
Kamipun pulang karena hari sudah mulai terang. Sepanjang perjalanan
saya berpikir, dimana masyarakat muslim yang mayoritas di kampung ini (hampir
4000 jiwa). Tidakkah mereka tertarik shalat berjamaah ke masjid yang berada di tengah-tengah
kampung mereka? Lalu bagaimana dengan kehadiran surau yang cukup banyak di
Kampung itu, adakah jamaahnya? Biarkan, jawaban ini saya buktikan selama
beberapa hari di sini, yakin dalam hati saya ketika itu.
***
Sesampai
di rumah, saya kembali merenungkan apa yang saya bicarakan dengan wa` Ter tadi
mengenai susahnya mengajak jamaah ke masjid. Disisi lain, kemunculan beberapa
surau di kampung itu juga disebabkan adanya aliran/faham keagamaan yang berbeda,
yakni jamaah Hizbullah.
Penyataan itu sesungguhnya sudah pernah saya dengar pada saat
kunjungan pertama lalu, ketika kami survey dan safari ramadhan. Bahkan pak
Kades juga pernah menyampaikan informasi yang sama ketika kami bersilaturrahmi
kerumahnya pada malam pertama. Bahkan ada pengalaman pemahaman keagamaan yang pernah
kami alami dengan salah seorang jamaah hizbullah tersebut ketika kunjungan
pertama bulan puasa yang lalu, menyangkut persoalan menyegerakan shalat maghrib
ba`da berbuka puasa.
Sebagai insan kampus yang mesti mampu melihat segala perbedaan
sebagai sebuah sesuatu yang pasti ada (sunnatullah), tentunya kita tidak
boleh terjebak pada konflik pemahaman keagamaan, apalagi terhadap masyarakat
kampung. Karena itu, diperlukan upaya dan cara yang baik dan tepat dalam
menanggapi semua itu. Mesti ada pendekatan dan momen yang tepat untuk mendiskusikan
setiap perbedaan paham sehingga benar-benar menghasilkan sebuah pengertian yang
baik dan benar.
Kepada Syahroni (ustad di rombongan kami), saya sampaikan hal itu,
dan saya sarankan beliau utnuk melalukan diskusi dan dialog yang baik dengan
jamaah hizbullah itu. Hal ini penting bukan saja menyangkut kebenaran faham
keagamaannya, melainkan untuk memperbaiki anggapan masyarakat umum terhadap
praktek keagamaan yang dipertentangkan antar faham/aliran tersebut. Karena
menurut pandangan saya, minimnya jamaah ke masjid, tidak adanya kegiatan
keagamaan di masjid dan berbagai ritual agama lainnya adalah karena pengaruh
paham keagamaan yang beda itu.
***
Sebagaimana
diketahui bahwa mayoritas masyarakat di
Desa Dusun Besar ini adalah Bugis, maka cukup mengherankan jika kenyataannya aktivitas
keagamaan justru memprihatinkan. Padahal Bugis begitu dikenal sebagai komunitas
yang melahirkan banyak ulama besar. Bahkan banyak dari penyebar Islam di
Nusantara ini adalah berasal dari suku Bugis sebagaimana Opu Daeng Manambon di
Mempawah.
Lantas, bagaimana dengan Bugis di Desa Dusun Besar? Bagaimana
sejarah Islam masuk di sana? Dan siapa yang membawa Islam masuk di sana?
Silaturahmi hari kedua (19/10) saya khususkan untuk menemukan
jawaban terhadap beberapa pertanyaan tersebut. Dan Tok Uda` atau biasa juga dipanggil oleh
masyarakat setempat sebagai wa` Loda` menjadi narasumber pertama saya hari itu.
Menurutnya, Islam masuk di kawasan Dusun Besar itu dibawa oleh para
pejuang Islam yang berasal dari Bugis. Terutama untuk Dusun Besar itu adalah
Tok Tily yang makamnya ada di Gunung Dusun. Tok Tily ini menurut beliau adalah
sahabatnya Opu Daeng Manambon (Manambong dalam lisan beliau).
Berdasarkan informasi dari beberapa sumber di lapangan, Dusun Besar
ini semula adalah perkampungan orang Dayak. Akan tetapi ketika Islam datang
dibawa oleh para pejuang (Opu Daeng Manambong dan Tok Tily) ketika itu, yang
oleh belanda disebut sebagai para lanun (pemberontak), maka orang Dayak itu
takut dan mundur hingga meninggalkan kampung ini. Sejak itulah banyak
masyarakat Bugis yang berpindah di sini, beranak pinak di sini sampai ajal
menjemput Tok Tily sebagai penyebar agama di sini.
Besarnya peran tok Tily dalam penyebaran Islam di Kampung ini juga
saya dapatkan dari narasumber yang lain. wak Dop atau Ladup misalnya yang
mengatakan bahwa Tok Tily itu adalah suami dari wa` Gini. Karena itu,
orang-orang sering juga menyebutnya dengan Tok Tily Gini.
Dari narasumber yang lain (Ruslan misalnya) memberitahukan bahwa
Tok Tily itu memiliki nama lengkap Syekh Yusuf bin Tily. Beliau ini bukan saja
bersahabat dengan Opu Daeng Manambong, melainkan juga keturunan dari Tily sang
ulama besar Bugis ketika itu.
Terhadap makam Tok Tily, saya sendiri bersama anggota kelompok 1
tidak sempat mengunjunginya karena tersita waktu dengan program yang lain. Sementara
kelompok 2 (Erwin dkk) sudah mengunjunginya dan membuktikan dengan jelas adanya
makam tersebut, makam yang ditemukan setelah puluhan tahun masyarakat Bugis
berada di Kampung Dusun Besar ini.
Dalam waktu bersamaan pedagang China dari RRC juga masuk ke Kampung
ini hingga saat ini masih ada beberapa warga China di sini.
***
Dalam hal beragama, masyarakat Bugis dikenal
sangat dekat dengan praktek keberagamaan tradisional,
atau yang beraliran ahlussunnah waljamaah. Sebagaimana dipahami, corak
keagamaan ini memberikan banyak ruang dan peluang untuk tumbuhnya
praktek-praktek tradisional dalam beragama, bahkan dalam perspektif tertentu,
pola keberagamaan masyarakat Bugis yang demikian mendekati praktek singkretisme
agama dan budaya.
Wawancara dengan beberapa narasumber seperti Tok Loda` (Abdullah), wak Dop
(Ladup), Wa` Ter dan bang Man menyebutkan bahwa salah satu tradisi yang masih
dilakukan oleh banyak masyarakat muslim (Bugis) di Desa Dusun Besar ini adalah
memberi makan kampung.
Memberi makan kampung ini boleh disebut sebagai tradisi umum
masyarakat Bugis. Sebab, di banyak tempat di Kalimantan Barat, seperti Punggur
dan Kalimas (lihat dalam Yusriadi, 2010), ataupun di Parit Wa` Gattak (lihat
dalam Ibrahim MS, 2011), tradisi yang satu ini masih diamalkan oleh masyarakat
Bugis. Hanya saja, yang lebih menarik di Dusun Besar ini adalah adanya
kepercayaan sejarah yang melatar-belakangi lahirnya tradisi ini.
Menurut Tok Loda` (atau biasa disebut Wa` Oda), tradisi memberi
makan kampung memiliki cerita sendiri dalam sejarah masyarakat Islam Bugis di
Kapung Dusun Besar itu. Katanya, dahulu kala hidup seorang saudagar di kampung
itu. Ia memulai usahanya dengan berkebun kopi dan beternak sapi. Di awal
usahanya ia bernazar di sebuah gua di gunung Dusun yang sekarang dikenal dengan
bilik batu. Jika kebun kopinya berhasil panen hingga tujuh puluh turun,
maka ia akan membawa kepala kambing bertanduk emas. Ia juga bernazar jika
sapinya berkembang hingga mencapai 40 ekor, maka ia akan membawakan kambing bertanduk
emas. Konon setelah nazar itu, hasil kebun kopinya melimpah hingga lebih dari
70 turun. Begitupun dengan ternak sapinya yang sehat dan terus berkembang biak
hingga lebih dari 40 ekor.
Si saudagar itupun hidup dalam limpahan harta hingga ia lupa dengan
nazarnya. Saudagar itu mengingkari janjinya. Ia tidak melaksanakan nazar yang
telah diucapkannya. Tidak berapa lama setelah itu hasil kebun kopinya merosot,
banyak kebun kopi yang kekeringan dan mati. Begitupun dengan ternak sapinya.
Banyak sapi yang mati. Bahkan beberapa diantaranya juga lepas dan lari hingga
ke gunung Dusun.
Singkat cerita, masyarakat Bugis di sini percaya bahwa apa yang
menimpa saudagar itu adalah akibat nazar yang tidak dipenuhinya. Karena itu,
masyarakat belajar dari peristiwa tersebut, dan karenanya tradisi memberi makan
kampung dengan membuat ancak yang ada di gunung dan di laut sebagai tebusan
atas kesalahan tersebut. Dengan melaksanakan tradisi ini masyarakat percaya
akan ada kemurahan rezeki, mereka juga dihindari dari musibah dan bencana di
kampung.
Karena itu,
mungkin kita tidak bisa bicara soal ini syirik atau tidak
namun begitulah
tradisi ini hidup dan dilakukan masyarakat bugis di sini.
Tutup tok` Loda saat menjelaskan sejarah tradisi ini.
***
Sore
harinya, saya coba menemukan narasumber lain, yakni wa` Dop atau wa` Ladup.
Kebetulan beliau ini adalah tuan rumah dimana kelompok kami menginap. Kami
memanggilnya nenek, karena beliau adalah ibu mertuanya pak Amri, temannya pak
Rustam.
Dari beliau saya mendapati penjelasan yang serupa bahwa tradisi
memberi makan kampung dengan mengantarkan makanan ke ancak di Gunung (bilik
batu) dan atau ke laut masih dilakukan oleh banyak orang di kampung itu. Terutama
mereka yang percaya akan huhungan tradisi tersebut dengan keselamatan kampung.
Anak saya yang
bunsu tu,
kalau dia tu belum
beri (member makan maksudnya),
ada jak tanda
pada dia tu, macam orang stress.
Nah kalau dah
begitu, berarti dia belum berikan makan lah tu.
Karena itu, dia
tu selalu memberikan makan ancak setiap tahunnya.
Jelas nek Dop.
Kemudian saya juga menanyakan hal yang sama dengan bang Man, tukang
antar air di posko kami. Menurutnya, hampir 70 persen masyarakat di Desa Dusun
Besar itu masih mengamalkan tradisi memberi makan kampung. Katanya, ada tiga
kelompok masyarakat dalam menghadapi tradisi ini; pertama, mereka yang ikut
menyumbang untuk membuat makanan dan mengikuti proses tradisi secara penuh
(jumlahnya kurang lebih 70 %). Kedua, mereka yang ikut menyumbang tapi
tidak mengikuti proses tradisi secara penuh (lebih kurang 20 %). Ketiga,
mereka yang tidak ikut menyumbang dan tidak ikut proses tradisi, atau menolak
sama sekali tradisi ini (hanya berjumlah 10 %).
Kelompok pertama menurutnya adalah mereka yang percaya sepenuhnya
dengan tradisi, terlepas dari penilaian syirik atau tidak. Sedangkan kelompok
kedua adalah mereka yang sudah mulai meragukan tradisi tersebut. Hanya saja
mereka tidak bisa menolak untuk menyumbang karena khawatir dianggap tidak ikut
masyarakat banyak. Karena itu keikutsertaan kelompok kedua ini lebih didasari
pada pemeliharaan hubungan sosial antara masyarakat. Sedangkan kelompok ketiga
adalah mereka yang tidak percaya sama sekali dengan tradisi tersebut, bahkan
menentangnya sebagai perbuatan syirik.
Begitulah bang Man memberikan penjelasan dengan detil siang itu mengenai
tradisi makan Kampung di Desa Dusun Besar.
Siapa tokoh
masyarakat yang memimpin pelaksanaan tradisi tersebut bang?
Tanya saya
lebih dalam.
Pak long
Derani, jawabnya.
Tapi beliau tu
sekarang banyak tinggal di Sukadana tempat anaknya.
Dia datang
kesini kalau mau melaksanakan tradisi itu jak,
masih ada rumahnya disini. Jelas bang Man.
Untuk melaksanakan tradisi tersebut, ada tiga tahap yang dikerjakan
oleh pak Long Derani sebagai pemimpin upacara. Bang Man kembali melanjutkan
ceritanya.
Pertama-tama pengumpulan bahan (sumbangan) berupa beras atau padi
dan uang oleh tim dukun yang berjumlah 5 – 6 orang. Setelah bahan terkumpulkan
barulah proses masak memasak untuk dimakan oleh orang sekampung. Dan biasanya
acara ini dilakukan di bagan. Kemudian pada sore harinya (sekitar jam 3)
sebagian makanan dibawa/ditaroh ke ancak yang ada di gunung (bilik batu) dan
laut, tergantung kepada yang berhajat. Jika nelayan biasanya memberikan ancak
ke laut. Sementara para petani memberikan ancak ke gunung.
***
Beberapa
hari saya berada di kampung Dusun Besar, berbagai pengamatan telahpun saya
lakukan, dan beberapa narasumber juga telah saya temui. Sampailah saya pada
sebuah pemahaman (yang mungkin penilaian subjektif saya) terhadap realitas sosial
dan keagamaan masyarakat di Desa Dusun Besar. Analisis saya, ada hubungan yang jelas
antara pola hidup, pemahaman keagamaan dan aktivitas keagamaan dalam masyarakat.
Sebagai contoh misalnya, kehidupan masyarakatnya jauh dari masjid, aktivitas
keagamaan kurang, masjid sepi dari jamaahnya. Pada sisi lain amalan tradisi
yang mendekati praktek syirik seperti memberi makan kampung dan semacamnya
masih dilakukan oleh masyarakatnya.
Pada aspek lain juga tampak adanya ketidak hati-hatian mereka
terhadap syarat dan ketentuan beribadah dalam Islam. Sebagai contoh shalat yang
harus terjaga (bersih) dari kotoran dan najis. Artinya bahwa orang yang
mementingkan amalan shalat yang baik tentu saja harus memperhatikan kebersihan
diri (tempat, badan dan pakaian) dari terkena kotoran dan najis. Apa yang ingin
penulis tunjukkan sebagai buktinya adalah masih berkeliarannya anjing-anjing di
halaman kampung. Anjing-anjing tersebut bukan saja di jalan, akan tetapi juga
tidur di tengah jalan/jembatan rumah warga, bahkan naik sampai ke teras rumah
warga. Bukankah anjing termasuk najis berat (mukhallazhah) yang
pencuciannya (hadast) harus dengan tanah? Sampai-sampai Bambang (seorang
peserta) membatalkan niatnya menyusul kami pergi shalat berjamaah ke masjid
pada suatu subuh karena takut melewati hadangan anjing-anjing yang berkeliaran
di jalanan.
Saya sempat bertanya kepada salah satu warga mengenai banyaknya
anjing di kampung itu.
Siapa yang
memelihara anjing-anjing itu?
Adakah orang
Muslim juga mempunyai peliharan anjing tersebut?
Oh ndak, itu anjing liar. Katanya.
Anjing liar. saya ragu dengan penjelasan tersebut. Sebab, saya
tidak melihat anjing-anjing itu liar. Anjing-anjing itu begitu jinak. Tidur di
tengah jalanan, di depan teras rumah, bahkan di depan pintu rumah warga. Rasanya
bukanlah anjing liar seperti itu, bisikku dalam hati.
Tapi, mau
gimana lagi, begitulah kondisinya.
Inilah
masyarakat yang saya hadapi.
Saya harus bisa
menyesuaikan, atau paling tidak memakluminya.
Karena itu menurutku, keberadaan anjing yang dibiarkan bebas
berkeliaran itu memberikan indikasi kalau pola hidup seperti itu sangat terkait
dengan lemahnya perhatian mereka terhadap agama dan ibadah, terutama shalat.
Karena itu wajar jika selama 5 hari di kampung itu, saya tidak pernah melihat
jumlah jamaah masjid lebih dari 10 orang untuk maghrib, 3-4 orang isya dan 1-2
orang shalat subuh. Wajar jika, azan berkumandang, sebagian besar mereka masih saja
duduk-dukuk santai di depan teras rumahnya, atau bergelut dengan kesibukan
duniawinya masing-masing. Inilah kenyataan beragama masyarakt di Desa Dusun
Besar. Keadaan yang memperihatinkan dari sisi agama. Sebuah kerisauan yang juga
diungkapkan oleh pak Yusnardi (Kades) yang mempelopori lahirnya sekolah
Madrasah Ibtidaiyyah swasta awal tahun ini. Meskipun dengan serba kekuarangan
(SDM dan fasilitas pendidikan), madrasah itu dipandang penting untuk membekali
generasi anak-anak di kampung Dusun Besar ini akan pengetahuan agama yang lebih
baik sejak dini. Begitulah harapan dari pak Kades yang untuk sementara juga
menjabat sebagai kepada Madsarah Ibtidaiyyah tersebut.
***
Akhirnya,
waktu lima hari di kampung Dusun Besar sungguh begitu berguna bagi kami, sebab
telah memberikan banyak pengajaran, pengalaman dan pengetahuan mengenai
masyarakatnya, baik dalam aspek sosial budaya, ekonomi, pendidikan dan
keagamaan. Sebuah pengalaman yang dihasilkan dari potret nyata sebuah
masyarakat di pinggiran kepulauan di Kabupaten Kayong Utara.
Karenanya perlu dipikirkan beberapa program terkait yang dapat
diberikan kepada masyarakat di Desa Dusun Besar ini, antara lain intensifikasi
program pendidikan keagamaan (madrasah), pembinaan keagamaan (dakwah), serta
promosi pendidikan bagi generasi muda lokal untuk mau melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi (sarjana). Semoga catatan kecil ini dapat memberikan
gambaran mengenai masyarakat Desa Dusun Besar dan realitas kehidupan yang
sesungguhnya, dan dapat menjadi feedback untuk pembangunan kawasan ini
ke arah yang lebih maju kedepan. Semoga, amin.
Daftar Bacaan
Ibrahim MS (ed.). 2011. Karunia
Tuhan di Parit Wa` Gattak. Pontianak: STAIN Press.
Yusriadi (ed.). 2010. Jejak Bugis
di Tanah Borneo. Pontianak: STAIN Press.