Jumat, 16 September 2011

PUASA DAN HIDUP HEMAT

Materi ceramah "Kolak Ramadhan 1432 H" di RRI Pro 2 Pontianak, 7 Agustus 2011

Oleh: Ibrahim MS (Dosen STAIN Pontianak)

Diantara makna utama dalam syariat puasa adalah Manahan diri. Orang yang berpuasa adalah mereka yang bisa menahan diri dari mengikuti kehendak hawa nafsu (manusiawi) untuk selanjutnya menyerahkan diri mengikuti kehendak Allah Swt. Kehendak hawa nafsu merupakan satu kehendak manusiawi yang tak pernah puas. Bahkan hawa nafsu yang tak terkontrol cendrung akan menjauhkan manusia dari ridha Allah Swt. Karena itu Allah Swt mencela setiap hambanya yang terlalu mengikuti bisikan hawa nafsunya. Perintah melakukan Ibadah Puasa pada bulan ramadhan ini merupakan satu pembiasan diri yang baik bagi setiap manusia untuk dapat mengontrol hawa nafsunya.
Perintah menahan diri dari mengikuti dorongan hawa nafsu sesungguhnya mempunyai dasar yang banyak dalam al-qur`an dan hadits dengan bentuk ungkapan antaralain supaya selalu hidup hemat dan jangan berlebih-lebihan. Sebagaimana firman Allah: Makan dan minumlah, dan janganlah kami berlebih-lebihan (Q.S.4: 141) “Janganlah berlebih-lebihan, sesunggunnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (Q.S.7: 31)
Orang yang mampu menahan dan mengontrol kehendak hawa nafsunya adalah orang yang senantiasa hidup hemat dan tidak berlebih-lebihan. Dengan kata lain, setiap orang yang senantiasa berhemat dalam hidupnya, maka ia akan terhindar dari sikap yang berlebih-lebihan. Allah Swt berkali-kali mengingatkan hambanya untuk tidak hidup berlebih-lebihan (la tusyrifu, innallaha la yuhibbul musyrifin).
Orang berpuasa dan senantiasa hemat dalam hidup adalah orang yang mengerti akan keseimbangan hidup. Orang sadar bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki dua titik ekstrim yang harus di seimbangkan. Ada yang kaya dan ada pula yang miskin, ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang berlebihan dan ada yang serba kekurangan. Karena itu hidup hemat merupakan titik tengah yang menjadi penyeimbang dari kedua sisi ekstrim itu.
Karena itu, Ibadah puasa yang kita lakukan sesungguhnya mengajarkan bagaimana hidup hemat dan tidak berlebih-lebihan. Tidak makan dan minum pada siang hari karena berpuasa bukanlah berarti tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan dan diminum. Melainkan supaya kita menyadari bagaimana rasanya orang yang kaya yang berlimpah makanan dan minuman dengan orang yang hidup dalam kemiskinan, yang tidak bisa makan dan minum karena ketiadaan.
Begitu berbukapun, kita juga dilarang untuk makan dan minum yang berlebih-lebihan. Sebab orang yang beriman sepatutnya membagi isi perutnya dengan tiga bagian, sebagian untuk makanan, sebagian untuk minuman dan sebagian lagi dikosongkan untuk bernafas (al-Hadits). orang yang hemat sesungguhnya juga mengatur kebutuhan hidupnya dengan baik. Dia tidak akan berlebih-lebihan, meskipun dia mempunyai kelebihan. Dan puasa ramadhan yang sedang dijalankan sesungguhnya mengajarkan diri kita untuk senantiasa hidup hemat, mampu menahan diri dari kehendak hawa nafsu yang cendrung berlebih-lebihan. Wallahu a`lam.

SEANDAINYA MEREKA "MENGERTI" PUASA

Opini Ramadhan 1432 H yang diterbitkan di Harian Borneo Tribune, 20 Agustus 2011

Oleh: Ibrahim MS

Nabi Saw pernah mengungkapkan harapannya kepada ummat manusia dengan pernyataan, “seandainya mereka mengerti puasa”.
Apa makna dari ungkapan Nabi Saw tersebut? adakah kita sebagai ummatnya tidak mengerti tentang ibadah puasa yang sebenarnya? Ataukah puasa yang kita lakukan selama ini bukanlah puasa dalam pengertian yang benar?
Pastinya, pernyataan Nabi Saw itu memiliki konteks sendiri yang harus dipahami. Dimana Puasa yang bermakna menahan diri, meredam kehendak nafsu manusiawi dan selanjutnya menyerahkan diri secara total kepada kehendak Allah Swt. Diantara hawa nafsu yang harus ditahan/dikontrol oleh orang yang berpuasa adalah makan, minum dan melakukan hubungan seksual pada siang hari. Sebaliknya, orang yang berpuasa dianjurkan untuk memperbanyak Ibadah, zikir dan mendekatkan diri kepada pencipta-Nya. Itulah makna utama Ibadah puasa yang dilakukan oleh umat muslim selama bulan ramadhan.
Berangkat dari substansi makna puasa tersebut, nyata bahwa setiap orang yang berpuasa seharusnya terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela, terpelihara dari dosa dan kemaksiatan yang membatalkan puasa. Sebab, orang yang sedang berpuasa sebenarnya adalah orang sedang mengikuti secara totalitas kehendak Allah Swt, mengerahkan segenap jiwa dan raga untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta melalui berbagai amaliah di bulan puasa.
Dengan kesadaran puasa yang demikian, maka kita akan mampu mengontrol diri dan hawa nafsu dalam hidup. Kita akan mampu menahan diri untuk tidak melakukan kemaksiatan dan dosa. Dengan keadaan iman yang selalu sadar bahwa “kita sedang berpuasa”, maka kita akan mampu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Inilah yang terus dilakukan, dan dilatih oleh orang yang berpuasa selama 1 bulan ramadhan. Orang-orang yang terlatih dengan puasa inilah yang sesungguhnya yang berhasil meraih kesucian jiwa dan ketakwaan pada hari kemenangan (idul fitri) nantinya.
Dengan menyadari makna substansi berpuasa, maka menjauhkan diri dari kemaksiatan dan dosa, bukan hanya kewajiban selama bulan ramadhan. Dengan kesadaran tersebut pula, maka kebijakan menutup tempat-tempat perjudian, prostitusi dan berbagai penyakit sosial lainnya oleh pemerintah juga bukan hanya selama bulan ramadhan, melainkan berterusan pada bulan-bulan yang lain.
Dengan menyadari makna puasa yang sebenarnya sebagai upaya mengontrol diri dan hawa nafsu menuju keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, maka sesungguhnya kita “wajib” berpuasa seumur hidup (bukan hanya pada bulan ramadhan). Sebab, puasa pada bulan ramadhan lebih merupakan latihan dan pembiasaan diri untuk kehidupan yang lebih panjang di bulan-bulan yang lain. Puasa inilah yang diinginkan oleh Nabi Saw untuk dipahami oleh Umatnya. Itulah yang dinyatakan Nabi Saw dengan “seandainya mereka mengerti puasa”. Wallahu a`lam.

PUASA DAN MAWAS DIRI

Opini Ramadhan 1432 H yang diterbitkan di Harian Borneo Tribune, 9 Agustus 2011

Oleh: Ibrahim MS

Puasa sebagai satu Ibadah yang dipercayai dapat menghantarkan seseorang kepada derajat ketakwaan (Q.S.2: 183) sebenarnya membawa banyak pelajaran yang patut dicermati oleh orang yang berpuasa (shaim). Berdasarkan pada istilahnya, puasa mempunyai makna “menahan diri” atau “kontrol diri”.
Dengan demikian puasa merupakan amal ibadah yang dikerjakan dengan cara menahan diri untuk tidak makan dan minum pada siang hari, serta tidak melakukan segala apa yang membatalkannya dari terbit pajar hingga terbenamnya matahari (Zainal Abidin, 1951).
Sebagai satu Ibadah yang diistimewakan, Allah SWT telah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang berpuasa. Bahkan satu dari empat kelompok manusia yang dirindukan oleh surga Allah adalah orang yang berpuasa di bulan ramadhan (al-Hadits).
Menurut Quraisy Shihab dalam tafsir Al-Mishbah, keistimewaan ibadah puasa dapat dilihat dari dasar perintah melakukan ibadah ini. Menurutnya, sapaan “hai orang-orang yang beriman” yang digunakan Allah dalam permulaan ayat perintah puasa itu bermakna panggilan kepada kesadaran diri dan hati (iman) seorang hamba. Iman itulah sesungguhnya yang menggerakkan setiap hambanya untuk berpuasa, menahan diri dari kuasa hawa nafsu, meredam kehendak diri (sebagai manusia) untuk selanjutnya mengikuti kehendak Allah SWT.
Beberapa keistimewaan lainnya dari Ibadah puasa adalah sebagai berikut:
Pertama, Puasa merupakan ibadah yang bersifat rahasia hamba dengan Tuhan, dimana kualitas puasa seseorang bergantung kepada keikhlasan hati dan kesadaran iman yang berpuasa. Karena itulah Allah menjanjikan balasan pahala yang khusus dan istimewa bagi orang yang berpuasa (hadits kudsi)
Kedua, ibadah puasa yang dilakukan berdasarkan panggilan hati dan kesadaran Iman senantiasa melibatkan seluruh aktivitas hambanya, dari fisik yang menahan diri untuk tidak makan dan minum pada siang hari serta melakukan hal-hal yang membatalkan puasa ,hingga non fisik berupa kesadaran hati, pikiran dan imannya bahwa dirinya sedang mengikuti kehendak Allah (berpuasa).
Ketiga, puasa dalam bentuk aktivitas fisik hanya akan memberikan dampak yang bersifat fisik pula. Sementara nilai ketakwaan yang dikehendaki dari ibadah puasa lebih merupakan dampak non fisik dari keimanan dan kesadaran dalam diri orang yang berpuasa.
Keempat, puasa yang dilakukan atas dasar kesadaran diri, perasaan, pikiran dan hati (iman) itulah sesungguhnya yang diyakini dapat membentuk sosok diri yang bertakwa, sebagaimana tujuan disyariatkan berpuasa (Q.S. 2: 183).
Terakhir, orang yang berhasil mencapai derajat takwa dari puasanya adalah mereka yang mampu menjadikan puasanya sebagai upaya mawas diri. Yakinlah bahwa seseorang tidak akan melakukan korupsi, mencuri dan berbagai kemaksiatan jika kesadaran imannya selalu mengingatkan bahawa “saya sedang berpuasa”. Sebab, dengan “selalu berpuasa dan mawas diri”, Insya Allah kita akan mampu menghindarkan diri dari berbuat dosa dan kemaksiatan hidup. Wallahu a`lam