Selasa, 25 Februari 2020

Wacana Menulis_Kanwil


MENULIS & MENELITI: JEMBATAN ILMU PENGETAHUAN[1]

Oleh: Ibrahim[2]
(ab_irhamiy@yahoo.com)



Menulis dan meneliti, dua pekerjaan yang saling berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Jika menulis adalah upaya merangkai ide, pikiran dan gagasan ke dalam untaian kata di atas kertas, maka meneliti adalah upaya menghasilkan ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya dan diterima secara ilmiah berdasarkan prosedur kerja ilmiah pula. Menulis merupakan ekspresi seseorang atas pengalaman dan ilmu pengetahuan untuk dibagi, maka meneliti merupakan semangat ingin tau dan mencari kebenaran ilmiah itu sendiri yang disebut ilmu pengetahuan. 
Menulis menghasilkan tulisan (karya tulis). Meneliti menghasilkan pengetahuan (ilmu pengetahuan). Tulisan yang baik mestinya dihasilkan dari prosedur kerja ilmiah yang baik pula. Disinilah penelitian menjadi sumber penting menghadirkan data dan informasi yang bersifat ilmiah untuk ditulis sebagai karya tulis ilmiah. Karena itu, menulis dan meneliti adalah pekerjaan yang saling melengkapi dan tak terpisahkan untuk menghasilkan karya tulis ilmiah. Karenanya menulis dan meneliti adalah jembatan ilmu pengetahuan ilmiah itu. 

MENGAPA HARUS MENULIS
Menulis adalah jembatan ilmu. Dengan menulis kita bisa saling berbagi pengetahuan dengan orang lain. Melalui tulisan, ilmu pengetahuan terus berkembang, dibaca, dikaji dan diteliti. Menulis itu bagaikan ikatan keabadian, sebab dengan tulisan seseorang terus hidup dalam pikiran pembacanya. Imam Ali pernah berujar bahwa menulis adalah mengikat pemahaman dan pengetahuan. Semakin banyak menulis, akan semakin kuat ikatan pemahaman dan pengetahuan yang kita miliki. Karena itu, menulis dan menulislah...
Perkara menulis, bagi sebagian orang mungkin bukan suatu masalah. Sebab ada banyak hal yang bisa ditulis. Alam dengan segala isinya adalah segudang bahan dan materi yang dapat ditulis. Akan tetapi bagi sebagian yang lain, menulis itu adalah sesuatu yang sulit, bahkan momok yang menakutkan. Seringkali sebagian kita harus “menyerah” untuk sebuah tugas menulis. Bahkan sekedar menulis pengalaman sendiri kita tidak mampu.
Persoalannya, mengapa pekerjaan menulis itu mudah bagi sebagian orang? dan, mengapa pula menulis menjadi persoalan yang sangat sulit bagi sebagian yang lain? Kata kunci utamanya adalah pembiasaan. Mereka yang merasa mudah dalam menulis karena sudah terbiasa dan membiasakan diri untuk menulis, meskipun terhadap hal-hal yang sederhana. Menulis pengalaman, kisah perjalanan, ide, perasaanya, dan sebagainya. Sebaliknya, menulis menjadi pekerjaan yang sangat berat dan sulit karena kita tidak terbiasa dan kurang membiasakan diri dengan pekerjaan menulis. Banyak dari kita yang bisa berbicara (ceramah-diskusi) hingga berjam-jam, akan tetapi tidak mampu menulis satu kalimat atau satu paragraf pun.
Padahal bicara wawasan dan pengalaman hidup, semua orang punya. Setiap kita mungkin punya cerita dan pelajaran hidup yang bernilai dan bermanfaat bagi orang lain, atau paling tidak bagi anak cucu kita. Akan tetapi ketika kita tidak pernah menulisnya, maka semua itu akan hilang bersamaan dengan berakhirnya kehidupan kita. Karena itu, marilah untuk mulai membiasakan diri menulis.  Tulis lah apa yang bisa di tulis, dan tulislah apa yang mau ditulis.
Keterampilan menulis bukan keahlian yang datang begitu saja (instan), tapi sebuah proses. Lagi-lagi proses pembiasaan, dilatih dan terus dilatih. Karena itu, tidak satupun penulis di dunia ini muncul dengan serta merta menjadi penulis terkenal-hebat. Kesuksesan menjadi penulis ternama hari ini, mungkin satu dari sekian banyak pengalaman kegagalan menulis yang berhasil dilewati. Karena itu, kalau mau menjadi penulis yang hebat, mulailah menulis dari sekarang, dan jangan pernah berhenti menulis, maka kita akan jadi penulis.

Menulis Ilmiah
Menulis ilmiah adalah membuat tulisan yang memenuhi kriteria antara lain: pertama, isi tulisan mengandung nilai-nilai ilmu pengetahuan di dalamnya; kedua, apa yang ditulis adalah suatu fenomena yang benar-benar terjadi (faktual), yang bisa dibuktikan dan diverifikasi keberadaannya; ketiga, cara penulisan mengikuti gaya (struktur dan sistematika) tertentu yang disepakati (konsensus) di dunia ilmu pengetahuan; keempat, tulisan ilmiah selalunya memiliki sandaran ilmiah yang jelas dan kuat dalam bentuk sumber rujukan dan bahan kepustakaan. Sebab, pada dasarnya ilmu pengetahuan saling terkait dan bergantung. Tidak ada ilmu pengetahuan yang benar-benar berdiri sendiri tampa hubungan dan keterkaitan dengan ilmu pengetahuan yang lain.
Menulis ilmiah mesti memperhatikan ketercakupan keempat kriteria tersebut. Karena itu, tulisan ilmiah mesti dihasilkan dari prosedur kerja ilmiah yang baik dan jelas, seperti dari hasil penelitian. Karena hasil penelitian, maka tentu saja objek kajiannya jelas dan faktual, bukan sesuatu yang absurd, yang ada dalam hayalan dan mimpi belaka[3].
Tulisan Ilmiah yang baik yang bisa diverifikasi menyuguhkan informasi dan data dengan sumber yang jelas, baik nama sumber, tempat, maupun waktunya. Termasuk sumber rujukan yang digunakan dalam sebuah tulisan ilmiah juga harus berwibawa dan dapat diverifikasi kebenarannya. Karena itu, tidak semua bahan (sumber bacaan) layak untuk dijadikan rujukan dalam membuat karya tulis ilmiah yang baik[4].
Menulis ilmiah juga bermakna mengutarakan ide, gagasan dan pemikiran secara teratur, sistematis dan argumentatif, dengan bahasa yang baik dan mudah dipahami, dalam struktur kalimat yang baik dan sempurna, tampilan yang juga manarik dan rapi. Karena pada prinsipnya, menulis ilmiah adalah menyuguhkan sesuatu untuk dibaca dan dipahami oleh orang lain sebagai pembacanya.  
Dengan kata lain, menulis ilmiah mesti memperhatikan sisi materi (isi) dan cara-cara (teknik) penulisan yang baik dan disepakati dalam dunia ilmu pengetahuan ilmiah. Karena itu, karya tulis ilmiah selalunya mengacu pada ketentuan-ketentuan penulisan yang ada, yang disediakan-dibuat oleh lembaga atau institusi ilmiah tertentu. Bahkan dalam konteks karya tulis ilmiah, ketentuan atau pedoman penulisan itulah sesungguhnya “kitab suci” yang harus dipatuhi dalam menulis.

Menulis untuk Publikasi Ilmiah
Apalagi dalam konteks karya tulis ilmiah yang dipublikasi, setidaknya kita harus pahami bahwa, bukanlah tulisan yang baik yang dikejar. Sebab tidak ada tulisan yang benar-benar baik (sebagai suatu penilaian yang objektif-mutlak). Tulisan dianggap baik ketika mampu menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan penulisan yang telah ditetapkan, baik aspek isi maupun teknisnya. Dengan mengikuti secara baik dan benar semua ketentuan (pedoman) penulisan, maka sebuah tulisan dianggap baik dan diterima. Sebaliknya, sebagus apapun tulisan yang dihasilkan, jika tidak mengikuti ketentuan (gaya) penulisan yang diinginkan, tetap saja dianggap tidak baik dan ditolak.
Menulis karya ilmiah sama pentingnya dengan mempublikasikannya supaya dapat dibaca dan bermanfaat bagi transformasi dan sosialisasi keilmuan-akademis. Akan tetapi faktanya, menulis dan mempublikasikannya juga bukan pekerjaan yang mudah. Karena itu, kita bukan saja perlu tau teknik penulisannya, tetapi juga perlu tau teknik meraih peluang publikasinya, terutama di jurnal-jurnal ilmiah. Teknik yang paling fundamental itu ada dua; pertama, kecendrungan isi (materi) kajian yang sesuai, dalam hal ini bidang keilmuan jurnal dengan tulisan yang diajukan; kedua, teknik penulisan yang diinginkan, dalam hal ini gaya penulisan sebagaimana diatur dalam ketentuan penulisan yang harus dipatuhi. Jika bisa memastikan dua hal ini terakomodir dalam menulis, maka yakinlah proses penulisan dan publikasi jurnal akan didapatkan. Sebaliknya jika mengabaikan kedua hal ini, atau salah satunya, maka peluang tulisan diterima dan diterbitkan sangat kecil.
Dengan kata lain, untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang baik diperlukan ilmu dan stretegi menulis yang baik dan benar, selain pembiasaan. Untuk menembus publikasi di jurnal ilmiah juga diperlukan strategi dan teknik penulisan yang baik, terutama menyangkut ketentuan teknik penulisan yang diinginkan oleh setiap jurnal ilmiah.

MENGAPA HARUS MENELITI
Penelitian adalah mahkota pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah. Dan meneliti merupakan pekerjaan akademis dalam rangka menemukan dan mengembangkan pengetahuan ilmiah itu. Karena itu, aktivitas penelitian menjadi bagian penting dalam sebuah institusi pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah, dalam hal ini perguruan tinggi. Artinya bahwa, pengembangan ilmu pengetahuan itu sesungguhnya tidak mungkin mengabaikan apa yang disebut dengan penelitian ilmiah. Bahkan dengan dan melalui penelitian-penelitian itulah sebuah ilmu pengetahuan dihasilkan dan dikembangkan secara terus menerus.
Pentingnya arti penelitian bagi pengembangan ilmu pengetahuan, mengharuskan setiap individu di dalamnya dapat memahami dan menguasai ilmu penelitian itu. Dengan dan melalui penelitian itulah sebuah pengetahuan teoritis tidak lagi berkutat semata-mata sebagai pengetahuan kognitif (wacana belaka), melainkan juga dapat diaflikasikan sebagai pengetahuan yang bersifat fungsional dan praktis (sosial kemasyarakatan). Sebaliknya dengan dan melalui penelitian pula, pengalaman praktis (fungsional, lapangan dan terbatas) dapat menjadi wawasan yang bersifat ilmu pengetahuan yang diterima secara umum sebagai kenyataan ilmiah.
Pada prinsipnya, menyadari akan pentingnya makna dan fungsi penelitian akan memunculkan sikap yang sadar dan peduli akan perlunya ilmu meneliti. Apa itu penelitian, dan bagaimana cara kerja melakukan penelitian yang baik dan benar itu. Adakah meneliti itu pekerjaan yang susah atau gampang. Inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi penelitian.
 
Meneliti Itu Susah-Susah Gampang
Apakah meneliti itu sebuah pekerjaan yang susah? Ataukah sesungguhnya penelitian itu adalah pekerjaan yang gampang atau mudah? Dua pertanyaan ini seringkali menjadi persoalan utama dalam memulai suatu penelitian. Karenanya juga ada dua kemungkinan jawaban yang dapat diberikan terhadap pernyataan bahwa meneliti itu susah-susah gampang. Mengapa susah-susah gampang…? Berikut penjelasan dari kedua kemungkinan tersebut; meneliti, susah – gampang.
1.     Meneliti itu Susah
Meneliti menjadi sebuah pekerjaan yang susah, bahkan sangat susah jika tidak didasari pada pengetahuan yang baik dan memadai mengenai cara kerja meneliti. Dalam hal ini, ada banyak hal yang harus dipahami dan dikuasai oleh seseorang untuk dapat melakukan penelitian yang baik dan mendapatkan hasil penelitian yang berwibawa, diantaranya;
Pertama, penelitian yang baik mesti dimulai dengan pemahaman yang baik dan benar mengenai substansi apa yang mau diteliti. Inilah yang diwakili dengan pertanyaan what dalam penelitian. Jika penelitian itu bermakna mencari (search) atau mencari dan mencari (re-search), maka hal yang utama dan pertama harus jelas bagi peneliti adalah tentang apa yang mau dicari (di research)?
Untuk menemukan apa yang mau dicari sesungguhnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebab peneliti harus mampu memahami secara baik persoalan yang dihadapi. Masalah apa sesungguhnya yang terjadi, apa penyebabnya, dan berbagai aspek yang terkait di dalamnya. Artinya bahwa, untuk menentukan what dalam penelitian, seorang peneliti mesti mampu menemukan dan merumuskan satu aspek utama (penting) dari sebuah persoalan yang ada. Aspek inilah yang disebut dengan fokus pada penelitian kualitatif, atau variabel untuk penelitian kuantitatif.
Keliru dalam menentukan fokus atau variabel dalam sebuah penelitian, akan menyebabkan kelirunya kerja-kerja menemukan jawaban atau hasil dari suatu penelitian. Kesalahan dalam memilih fokus atau variabel akan berakibat pada kekeliruan dalam keseluruhan kerja-kerja penelitian. Karenanya, bagian ini diperlukan pengetahun yang baik dan memadai dengan ilmu meneliti.
Kedua, penelitian yang baik dan berwibawa bukan saja bicara soal hasil yang disuguhkan dalam bentuk pernyataan ilmiah, melainkan juga melandasi diri pada prosedur kerja yang jelas dan terpercaya yang disebut dengan metodologi. Bukankah sebuah kebenaran sangat bergantung terhadap konteksnya? Jika pernyataan ilmiah sebagai hasil penelitian adalah kebenaran, maka prosedur kerja (metodologi) penelitian itulah konteksnya. Dengan begitu maka, menguasai metodologi tidak kalah pentingnya dengan memahami substansi apa (what) yang mau diteliti. Lagi-lagi, untuk menjadi peneliti yang berwibawa mesti memahami dan menguasai ilmu meneliti (metodologi) yang baik dan benar pula.
2.     Meneliti itu Gampang
Pada sebagian orang, meneliti itu bukanlah pekerjaan yang susah-susah amat. Jika  memahami ilmunya, meneliti itu sesungguhnya adalah pekerjaan yang mudah. Untuk pendapat yang satu ini, meneliti layaknya pekerjaan kita sehari-hari. Dimana ketika perut lapar, kita akan berpikir untuk makan, mencari apa yang bisa dimakan, dimana bisa mendapatkan makanan, bagaimana cara mendapatkan makanan, dan seperti apa tahapan pengolahan bahannya hingga siap untuk dimakan. Berapa banyak kebutuhan untuk dimakan, dan bagaimana cara menyajikan makanan hingga perut yang tadinya lapar menjadi kenyang (tidak lagi lapar).
Sebagaimana prosedur makan di atas, meneliti itu pada prinsipnya juga sama, yakni mencari tahu terhadap beberapa persoalan dalam penelitian; apa persoalannya, mengapa persoalan itu muncul, bagaimana menemukan persoalan itu, dan bagaimana menjawab persoalan tersebut. Sebagaimana makan, penelitian juga tidak serta merta menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian. Tetapi mesti melalui prosedur yang tepat dan rasional. Prosedur kerja yang sistematis dan terpercaya. Itulah prosedur (metodologi) penelitian.
Meneliti itu gampang karena ia bukanlah pekerjaan teoritis, melainkan pekerjaan praktis. Dalam konteks penelitian yang benar (apalagi untuk penelitian kualitatif), teori hanya berperan untuk membantu dalam proses kerja dan menemukan jawaban dari sebuah penelitian. Akan tetapi dengan memahami teori, tentu akan semakin memudahkan kita dalam menjalankan penelitian di lapangan.
         
Meneliti, apa..?
Bagian utama yang harus dipahami oleh seorang peneliti adalah persoalan apa yang mau diteliti (what). Memahami apa yang mau diteliti akan membawa seorang peneliti pada kejelasan mengenai apa yang hendak dicari (di-research). Informasi apa yang mesti digali di lapangan. Dari sinilah seorang peneliti dapat menentukan langkah kerja apa yang akan dijalankan selama dan dalam proses penelitian.
Apa yang mau diteliti, itulah yang disebut fokus dalam penelitian kualitatif, atau variabel dalam penelitian kuantitatif. Sebagai sebuah fokus, peneliti telah memiliki kejelasan arah dan substansi kajian yang akan dilakukan. Peneliti sudah bisa membuat sebuah pertanyaan utama penelitian yang disebut Mayor research question (MaRQ). Dari MaRQ ini, selanjutnya juga peneliti dapat merumuskan beberapa pertanyaan spesifik sebagai penjabarannya yang disebut dengan Minor Research Question (MiRQ).
Kejelasan mengenai MaRQ dan MiRQ inilah sesungguhnya yang menuntun keseluruhan kerja penelitian di lapangan. Sebab, kedua hal inilah yang dicarikan datanya di lapangan, dan kedua hal ini pulalah yang mesti dijawab sebagai sebuah hasil akhir dari penelitian yang dilakukan. Karena itulah meneliti pada substansinya mencari jawaban terhadap persoalan yang disebut dengan apa (what). Bukankah ini semua merupakan ilmu meneliti (metodologi penelitian)..?

Meneliti, mengapa..?
Untuk memperkuat argumentasi mengenai pilihan apa (what) yang diteliti, penelitian yang baik juga mesti mampu mengemukakan sejumlah alasan mengapa penelitian dimaksud penting dilakukan. Alasan-alasan inilah yang dikemukakan sebagai alasan mengapa meneliti (why). Sebuah persoalan akan menjadi penting dan bernilai jika didasari pada alasan-alasan yang baik dan menyakinkan, meskipun bagi sebagian orang tidak menarik atau tidak ada persoalan. Sebaliknya, persoalan yang besar tidak tampak nilai pentingnya untuk diteliti jika tidak disertai dengan alasan-alasan yang baik dan menyakinkan untuk diteliti.
Artinya bahwa, bicara penelitian, penting bagi peneliti untuk merumuskan sejumlah alasan dan argumentasi mengapa (why) penelitian itu penting. Mengapa persoalan tertentu dipilih untuk diteliti, yang lain tidak. Apa isu problematiknya, atau keistimewaannya, atau keunikannya dan kekiniannya sebuah realitas yang diteliti. Dalam konteks penelitian, argumentasi (alasan) mengapa penelitian itu penting dilakukan itulah yang dikemas sebagai latar belakang masalah, tujuan dan manfaat, serta signifikansi penelitian. Bukankah ini semua juga ilmu-ilmu untuk meneliti (metodologi penelitian)..?

   
Meneliti, bagaimana..?
Setelah jelas apa yang diteliti (what), dan mengapa perlu diteliti (why), pada akhirnya seorang peneliti akan sampai pada pekerjaan merencanakan cara atau prosedur kerja apa yang akan ditempuh (how). Diantara prosedur kerja penelitian yang dimaksud meliputi pilihan pendekatan dan metode yang digunakan, penentuan data dan sumber data, penentuan teknik pengumpulan data, penentuan teknik analisis data, dan teknik pemeriksaan keabsahan data.  
Bagaimana meneliti...? sila baca panduan praktis penelitian kualitatif dalam buku-buku metodologi penelitian, diantaranya buku saya yang  berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif, yang diterbitkan oleh Penerbit Alfabeta, Bandung.
Akhirnya, jika kita sepakat bahwa menulis dan meneliti itu adalah jembatan ilmu pengetahuan, maka sudah sepatutnya untuk kita memberikan perhatian yang lebih terhadap kedua aktivitas ini dalam pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah. Tulisan yang baik yang dihasilkan dari penelitian yang benar, akan menjembatani pemikiran dan transformasi pengetahuan ilmiah. Karena itu tugas selanjutnya adalah memastikan bahwa sebuah tulisan yang dihasilkan itu dibaca dan dapat diakses oleh orag lain, adalah pekerjaan penting terkait publikasi karya tulis ilmiah. Sebab dengan begitu kita bisa saling berbagi pengalaman, pemahaman dan wawasan akademis dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Wallahu a`lamu bish shawab.


[1] Makalah pengantar diskusi dan motivasi menulis dan meneliti bagi pra Penyuluh Agama di lingkungan Kementerian Agama se Kalimantan Barat, di Hotel Kartika, 21-23 Agustus 2017.

[2] Lektor Kepala dalam bidang Keahlian Komunikasi Penyiaran Islam dan Antarbudaya pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Pontianak. Meraih gelar Doktor dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
[3] Dengan demikian, karya tulis dalam bentuk fiksi (hayalan) seperti novel dan sejenisnya tidak bisa dikategorikan sebagai karya tulis ilmiah. Tapi karya tulis saja. Meskipun untuk kasus-kasus tertentu (sangat khusus) mungkin ada yang mendekati kriteria ilmiah.
[4] Terutama sumber-sumber internet melalui browsing, yang didapatkan di halaman depan (homepage) berupa http, www, blogspot, facebook dan semacamnya umumnya tidak bisa diverifikasi dengan jelas kriteria keilmiahannya. Karena itu, sebaiknya dihindari untuk dijadikan sebagai sumber rujukan karya tulis ilmiah. Sumber karya tulis ilmiah di internet sebaiknya dalam bentuk artikel Journal Online (e-journal), dan buku online (e-books) yang penulis dan penerbitnya jelas.

DISKUSI PWNU


MODERNISASI TIK: REALITAS, PELUANG DAN TANTANGAN KOMUNIKASI ISLAM[1]


[1] Bahan diskusi Dwi Mingguan yang diselenggarakan oleh PWNU Kalimantan Barat bersama seluruh unsur Banom dan Lembaga NU. Balai NU, Jl. Husin Hamzah, 16 Februari 2018.



Ibrahim[1]
Ketua LTN PWNU Kalimantan Barat




PENDAHULUAN

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) seringkali dianggap sebagai ciri kemodernan sebuah bangsa. Dengan kata lain, pencapaian pembangunan sebuah negara maju (modern) selalunya dilihat berjalan seiring dengan pencapaian dalam bidang TIK. Tidak dipungkiri bahwa kehadiran TIK memberikan banyak kemudahan (peluang) dalam hubungan antar manusia, terutama akses informasi dan komunikasinya. TIK telah menjadikan interaksi dan komunikasi antarmanusia melintasi batas demografis, kelas sosial, lingkup budaya, dan berbagai nilai lokal lainnya. Kondisi inilah yang menjadikan kehidupan kita bagaikan sebuah perkampungan global (global village) dalam istilah Marshall Mcluhan.
TIK juga menjanjikan proses komunikasi dan interaksi antarmanusia yang lebih pleksibel, instan, simpel, dan efektif. Realitas ini sesungguhnya menjadi peluang jika mampu dimanfaatkan secara positif untuk kepentingan komunikasi Islam. Sebaliknya, kehadiran TIK juga bisa menjadi ancaman (tantangan) bagi komunikasi Islam, baik proses maupun nilainya (Ibrahim, 2015).
Dari sisi proses,  interaksi dalam bentuk komunikasi face to face semakin berkurang. Gaya & etika komunikasi cendrung diabaikan, hingga hilangnya wilayah privasi dan identitas diri dalam interaksi dan komunikasi manusia; Dari sisi pengaruhnya, kemodernan dan globalisasi TIK seringkali dijadikan alasan untuk meminggirkan nilai-nilai lokal (local values), menempatkan aturan dan norma keagamaan sebagai penghalang, serta sisi etis kemanusian dipandang sebagai tidak lagi penting dan berarti dalam interaksi dan komunikasi di era modern.
Fakta berikutnya, modern dan kemodernan adalah sebuah cita-cita setiap bangsa. Hampir dapat dipastikan bahwa pembangunan sebuah bangsa yang maju dan berhasil adalah pada saat ketika negara tersebut mampu mencapai tingkat modern atau kemodernan. Satu diantara ciri sebuah kemodernan dalam pencapaian pembangunan negara bangsa hari ini adalah perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Dengan kata lain, sebuah negara akan dapat disebut sebagai negara maju jika memiliki perangkat TIK yang memadai. TIK sudah menjadi trand dan gaya hidup sebagian besar masyarakatnya. Dan jika demikian, maka perkembangan TIK dan gaya hidup masyarakat yang berjalan seiring dengan kecanggihan dalam bidang TIK menjadi suatu keniscayaan hari ini. Sebab ia menjadi ukuran “kemajuan dan kemodern” sebuah bangsa.
Realitas perkembanan TIK dan trand gaya hidup masyarakat yang sangat bergantung dengan TIK di satu sisi, berpengaruh besar terhadap pola komunikasi dan interaksi pada sisi lain. Seringkali karena “kemudahan” yang ditawarkan oleh TIK membuat sebagian besar masyarakat kita mengabaikan beberapa etika dasar dalam komunikasi kemanusiaan.
Sebagaimana diyakini dalam komunikasi kemanusiaan, bahwa pertemuan tatap muka (face to face) membawa banyak paket pesan dalam sebuah komunikasi, mulai dari verbal, non verbal, bahasa tubuh, hingga intimasi komunikasi. Artinya bahwa, paket-paket pesan dalam komunikasi face to face itu tidak akan pernah dapat diwakili oleh komunikasi dan interaksi yang non tatap muka (perantara media). Sebagai contoh, dalam berkomunikasi dan memaknai pesannya, kita tidak cukup hanya mendengar suara (aspek bahasa verbalnya), tapi juga memaknai intonasinya (paralinguistik). Kita juga mengamati cara-cara menyampaikannya (aspek bahasa non verbal), bahasa tubuhnya (gesture & body language), dan sebagainya.
Singkatnya, kita berkomunikasi dalam paket-paket yang saling melengkapi. Dan paket-paket itu melingkupi dalam suatu interaksi tatap muka (face to face), termasuk nuansa dan rasanya. Untuk alasan ini, sekali lagi, komunikasi yang mengabaikan proses tatap muka karena alasan “kemudahan” TIK tidak akan mampu menemukan semua makna pesan seperti ini.
Media komunikasi masa akan mengantarkan perubahan atau transformasi budaya masyarakat. Umat Islam sebagai bagian dari penduduk dunia adalah konsumen dari produk dari berbagai meda komunikasi tersebut....
Pada gilirannya umat Islam harus mampu pula sebagai produsen, sehingga pengendalian informasi dapat dilakukan ke arah yang positif...gelombang arus informasi global sukar untuk dibendung, kecuali hanya dengan mengendalikan arus itu sendiri, sehingga tidak terjadi gelombang yang mematikan peradaban umat Islam (Mafri Amir, 1999: 4-6)
Dengan alasan “kemudahan” yang diberikan oleh TIK membuat banyak orang mengabaikan persoalan etika dan bahasa dalam berkomunikasi. Etika menyangkut cara dan ketentuan yang penting diperhatikan dalam menyampaikan pesan. Etika bukan saja sekedar penggunaan simbol untuk menyampaikan pesan komunikasi, melainkan bagaimana simbol-simbol tersebut mesti disampaikan. Sementara bahasa menyangkut pilihan kata dan simbol yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Bahasa yang jelas, lengkap, sistematis, lemah lembut, sopan dan sebagainya (Ibrahim, 2017).
Kecendrungan komunikasi hari ini, dengan berbagai kemudahan TIK sangat prakmatis, pleksibel, to the point, sehingga terkesan kurang sopan secara etika. Bahasa yang digunakan juga mengabaikan kaidah-kaidah yang semestinya dengan pilihan bahasa yang sopan, lemah lembut, jelas dan sistematis. Banyak dari bahasa komunikasi di era TIK yang justru merusak kosa kata dan tata bahasa. Dalam istilah komunikasi media di Malaysia disebut dengan bahasa rojak atau memey.
Dari sisi media dan kecendrungannya, kehadiran TIK yang menawarkan berbagai kemudahan berkomunikasi, diantaranya melalui media TV dan Cyber juga lebih cendrung mementingkan aspek pesan dan komersialisasi dibandingkan dengan aspek kepatutan dan etika. Persoalan pribadi dan aib justru menjadi isi berita (content) yang sangat “dipentingkan” dalam media komunikasi hari ini, sebab memiliki nilai jual (komersialisasi) yang tinggi. Akibatnya, bukan saja publikasi aib seseorang yang diumbar di media, melainkan penebaran pesan-pesan negatif dan fitnah yang sangat menjatuhkan nilai dan kewibawan seseorang. Begitukah realitas komunikasi media kita hari ini..?
Dari sisi pengaruhnya terhadap masyarakat (pengguna media), kehadiran media komunikasi yang merambah dalam semua aspek kehidupan sosial masyarakat hari ini menjadikan banyak dari masyarakat kita yang terbelenggu dan “terjajah” oleh media. Bagi mereka, media bukan lagi sarana pelengkap dalam mencari informasi, melainkan kebutuhan utama, yang mungkin saja melebihi kebutuhan spiritual. Masyarakat kita hari ini lebih legowo tidak pergi ke pasar, ke masjid atau ke pengajian dibandingkan meninggalkan layar kaca televisi, meninggalkan hp dan internet (FB, WA, dsb). Bahkan, media sosial semacam FB dianggap sebagai media yang sangat efektif dan berkesan dalam menyampaikan pesan-pesan komunikasi (Jauhariatul Akmal & Jamilah Ahmad, 2011: 176)
Teknologi informasi telah membuka mata dunia akan sebuah dunia baru, interaksi baru, dan sebuah jaringan baru tanpa batas. Penting untuk kita sadari bahwa perkembangan teknologi yang disebut internet, telah mengubah pola interaksi masyarakat. Internet memang telah memberikan kontribusi yang demikian besar bagi masyarakat, industri maupun pemerintah. Hadirnya internet telah menunjang efektifitas dan efisiensi sarana komunikasi, publikasi, serta sarana untuk mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat (Pardianto, 2013). Akan tetapi sebaliknya, internet menjadi problem baru bagi persoalan etka dan komunikasi umat, terutama dampak nilai liberal dibawanya. Disinilah tugas sekaligus tanggung jawab penting komunikasi Islam.       
PROSEDUR DAN FOKUS KAJIAN
Tulisan ini merupakan ulasan dari pengamatan sederhana penulis mengenai realitas media, terutama perkembangan TIK dan perilaku sebagian besar masyarakat kita terhadap media TIK pada satu sisi, dan pada sisi lain, ada tantang yang besar bagi kepentingan dakwah dan komunikasi Islam hari ini; pertama, booming media dan TIK telah memicu perubahan gaya komunikasi yang luar biasa pada sebagian besar umat, yang terkesan meninggalkan akar budaya komunikasi masyarakat nusantara; kedua, pola dakwah konvensional yang selama ini banyak dilakukan dalam mengkomunikasi pesan Islam dianggap tidak lagi menarik dibandingkan dengan program media dan pengaruh TIK.  Sehingga diperlukan reformulasi dakwah dan komunikasi Islam yang sesuai dengan kecendrungan modern, khususnya dihadapkan dengan perkembangan media dan TIK.
Dengan prosedur tersebut, maka tulisan ini memberikan fokus kajian pada diskursus media dan TIK, realitas, peluang dan tantangannya bagi komunikasi Islam. Termasuklah pertarungan antara kecendrungan “ketergantungan” umat terhadap media TIK dengan segala pengaruhnya di satu sisi, dengan kepentingan Islam dan pesan dakwah pada sisi lain. Sebagai sebuah tulisan yang diolah dari hasil pengamatan sederhana, tentu analisis ini masih sangat dangkal dan subjektif. Karena itu sangat terbuka bagi pikiran, kritik dan penyempurnaan dari sisi manapun. Dengan fokus tersebut, maka tulisan ini penulis beri judul Modernisasi TIK: Realitas, Peluang dan Tantangan Komunikasi Islam. 


TIK & REALITAS KOMUNIKASI MODERN
Laporan Tetra Pak Index 2017 yang belum lama diluncurkan, mencatat bahwa ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia, dimana hampir setengahnya (40 %) adalah penggila media sosial. Angka ini meningkat jauh dari tahun ke tahun. Tercatat ada lebih dari 106 juta orang Indonesia menggunakan media sosial tiap bulannya, dengan 85 % diantaranya mengakses melalui perangkat seluler. Adapun penggunanya didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z, generasi yang lahir di era digital, dimana smartphone dan belanja online sudah menjadi bagian dari keseharian mereka (lihat ulasan lengkap dalam https://kominfo.go.id)
Sementara laporan sebuah penelitian (survey) dari MarkPlus Insight Netizen Survei lima-enam tahun yang lalu (2012) menyebutkan bahwa jumlah penggunaan internet di Indonesia masih 61 juta orang. Jumlah itu membuat persentase pengguna internet dibanding jumlah penduduk adalah 23,5% dari jumlah tersebut, 40% diantaranya mengakses internet lebih dari 3 jam sehari. Adapun jumlah pengguna internet yang menggunakan perangkat mobile seperti ponsel dan tablet mencapai 58 juta jiwa (Pardianto, 2013)
Dari sisi peringkat penggunaan internet di dunia, lembaga Riset Pasar e-marketer menempatkan Indonesia pada peringkat ke enam terbesar, mengalahkan Jepang di peringkat kelima. Dibawahnya 4 – 1 ada Brazil, India, Amerika Serikat, dan Tiongkok (lihat tabel perangkingan dalam https://kominfo.go.id)
Sumber: Schreenshot dari https://kominfo.go.id, Februari 2018.
Sementara itu, laporan survey APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mengenai statistik pengguna internet di Indonesia tahun 2016, adalah sebagai berikut:
Jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2016 mencapai 132,7 juta (51,1 %) dari total jumlah penduduk sebesar 256,2 juta, terbanyak ada di pulau Jawa (86.339.350) atau 65 % dari total pengguna. Berdasarkan usia, pengguna terbanyak internet adalah usia 35-44 tahun (29,2 %), dan paling sedikit usia 55 tahun ke atas (10 %). Berdasarkan pekerjaan, pengguna terbanyak internet di Indonesia adalah mereka yang berprofesi sebagai pekerja atau wiraswasta (82,2 juta atau 62 %). Berikutnya Ibu rumah tangga (22 juta atau 16,6 %). Berdasarkan konten, yang paling sering dikunjungi adalah web onlineshop (82,2 juta atau 62 %), social media yang paling banyak dikunjungi adalah facebook (71,6 juta atau 54 %), instagram 19,9 juta atau 15 % (Lihat statistik lengkap dalam https://apjii.or.id)
Penggunaan Internet yang tinggi berjalan seiring dengan pemanfaatan media ini untuk interaksi dan komunikasi dalam banyak aspek, termasuk bisnis dan penyiaran. Dan dalam konteks penyiaran, penggunaan internet telah menemui pemeriksa dengan layanan TV live streaming atau digital (Hasrul bin Hasyim & Bahiyah Omar, 2011).    
1.    Modernisasi TIK & Peluang Bagi Komunikasi Islam
Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, sesungguhnya dakwah semakin dimudahkan. Saat ini, untuk mendengarkan pengajian tidak harus berhadapan langsung dengan ulama, namun cukup dengan mengakses internet, masyarakat bisa mendapatkan bahan bacaan keagamaan sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan, di manapun mereka berada (Pardianto, 2013).
Dalam perspektif Islam, komunikasi selain bertujuan untuk mewujudkan hubungan secara vertikal dengan Pencipta, juga berfungsi untuk menegakkan hubungan secara horizontal terhadap sesama manusia (Andi Faisal Bhakti, 2014). Komunikasi dengan Pencipta tercermin melalui ibadah mahdha (salat, puasa, zakat dan haji) yang bertujuan untuk membentuk takwa. Sedangkan komunikasi dengan sesama manusia terwujud melalui penekanan hubungan sosial yang yang tercermin dalam semua aspek kehidupan manusia seperti sosial, budaya, politik, ekonomi, seni dan sebagainya. Lebih lanjut menurutnya, komunikasi Islam menitikberatkan akan adanya unsur-unsur nilai ke-Islam-an dari komunikator kepada komunikannya yang sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Dalam konteks tersebut (Andi Faisal Bhakti, 2014).
Tehranian (1988) mengungkapkan bahwa dalam prepektif Islam komunikasi haruslah dikembangkan melalui Islamic World-View yang selanjutnya menjadi asas pembentukan teori komunikasi Islam seperti aspek bahwa kekuasaan mutlak hanyalah milik Allah, serta peranan institusi ulama dan masjid sebagai penyambung komunikasi dan aspek pengawasan syariah yang menjadi penunjang kehidupan Muslim. Hal ini yang diupayakan oleh Tehranian dan Maulana melalui gerakan pengintegrasian Islam dan komunikasi.
Dalam konteks modernisasi TIK dan komunikasi media, kualitas komunikasi yang dimaksud pun menyangkut nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebaikan, kejujuran, integritas, keadilan, ke-sahih-an pesan dan sumber yang ditegakkan atas sendi hubungan Islamic Tringular Relationship yaitu antara Allah, manusia, dan masyarakat (Andi Faisal Bhakti, 2014).
2.    Modernisasi TIK & Tantangan Bagi Komunikasi Islam
Andi Faisal Bhakti (2012), melalui sebuah artikelnya melukiskan dampak dari perkembangan sains dan teknologi, terutama dalam bidang komunikasi, salah satunya adalah globalisasi. Menurutnya, perkembangan TIK hari ini membuat istilah 5F (Fun, Fashion, Food, Facility, dan Fantacy) semakin  menglobal. Fun atau hiburan berbentuk film, CD, VCD, baik dalam bioskop maupun acara televisi dapat disaksikan di seluruh dunia. Lagu-lagu Celine Dion atau Mariah Carey dapat didengarkan di bus-bus atau mobil pribadi ataupun di mal-mal dan rumah rumah tempat tinggal. Fashion atau mode pakaian yang sedang trendy di Eropa dapat dengan cepat dijual dan dipakai oleh anak-anak muda di negara-negara terpencil sekali pun. Dari “belly botton” hingga “you can see” dapat kita saksikan bila kita ke mal-mal atau pusat pertokoan. Food atau makanan ala McDonald, KFC, Pizza Hut, semuanya dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang menghendakinya. Fasilitas hidup (facility), seperti mobil, mulai dari mercedes benz hingga BMW bertebaran di jalan-jalan raya. Begitu pun fasilitas rumah tangga seperti kulkas, microwave, stove, blender dapat dengan mudah diakses-dimiliki oleh rumah-rumah tangga hingga di pedesaan sekalipun. Obat-obatan yang dapat merangsang fantasi dijajakan di bar-bar hingga kepada anak-anak yang masih belasan tahun. Sungguh banyak yang terjebak dengan gaya hidup seperti ini. Kendati tidak merata di seluruh pelosok dunia, tapi demikianlah kondisi masyarakat kita di era globalisasi (modernisasi TIK).
Masalah utama pengasuhan di generasi saat ini adalah tidak adanya ikatan hati (emotional bonding). Padahal Nabi mengatakan: “ikat hati anak sebelum dikasih tau, kasih tau sebelum dikasih tugas” (al-Hadits)
...Kadang kita merasa sudah menjadi orang tua jika sudah memberi nasihat, padahal pengasuhan tidak sekedar memberi nasihat. Pengasuhan meliputi pendengaran, penglihatan dan nurani (Q.S. 16/an-Nahl: 78).
Ust. Bendri (Masjid Delatinos Al-Aqsha)
Orang Tua Zaman Old, Mendidik Anak Zaman Now.
Dalam konteks pendidikan (pengasuhan anak misalnya), kehadiran media TIK telah memberikan pengaruh dan perubahan yang luar biasa besar. Kemudahan TIK yang menawarkan segalanya serba mudah dan cepat (instan), membuat sebagian besar generasi kita manja dan tidak punya semangat juang hidup yang keras.
Bendri, seorang Ustadz di Masjid Delatinos Al-Aqsha menyebutkan beberapa efek negatif dari media TIK, terutama Gadget terhadap sikap hidup anak-anak zaman now; Pertama, kebanyakan anak-anak hari ini tidak sabaran, maunya serba cepat dan mudah (intsant). Lapar tinggal go food, beli tiket tinggal tak perlu antri tinggal go tix. Mereka tidak pernah lagi belajar berusaha dan antri.
Kedua, kebanyakan anak-anak hari ini gampang menyerah, tidak tangguh. Jika mereka tidak suka seseorang langsung block nomornya, tidak sependapat langsung unfollow fb-nya. Masuk sekolah, baru sebulan minta pindah karena hal sepele. Akibatnya lahirlah pribadi (karakter) yang tidak bertanggung jawab, mudah lari dari masalah, dan semacamnya.
3.    Dakwah di Media: Komunikasi Islam Modern
Dalam konteks dakwah dan komunikasi Islam modern, setidaknya ada tiga metode yang relevan untuk digunakan dalam konteks globalisasi media TIK menurut Andi Faisal Bhakti, 2014: 34-35: Pertama, dakwah dengan perspektif Ilmu Komunikasi dijalankan dalam bentuk konstruksi dan komunikasi interaktif, dimana ukurannya didasarkan pada nilai shiddiq (komitmen, kejujuran), istiqamah (konsistensi), fathanah (inteligensi), amanah (akuntabilitas) dan tabligh (komunikatibilitas).
Artinya bahwa, komunikasi Islam modern sebagai satu bentuk dakwah media mesti selalu mengedepankan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran (shiddiq) dalam berinteraksi. Kemudian kebenaran dan kejujuran tersebut mesti diperjuangkan secara terus menerus (istiqamah-konsisten) dalam setiap perilaku, tutur kata dan pesan komunikasi yang disampaikan.
Komunikasi Islam juga mesti dilandasi pada pilihan sikap (pola tingkah dan pola pikir) yang cerdas (fathanah-intelegensi), rasa dan sikap yang bertanggung-jawab (amanah-akuntabilitas), serta sikap yang saling mengingatkan dalam kebenaran dan kebaikan (tabligh-komunikatibitas).
Kedua, komunikasi Islam modern di media mesti dilandasri pada pemikiran bahwa orientasi dan isi pesan dakwah mesti lebih pada persoalan yang real / bisa dideteksi, baik pelaku dakwah, institusi, proses, dana, pelaksanaanya. Artinya bahwa, dakwah sebagai satu bentuk menyampaikan pesan Islam mesti dilakukan secara profesional dan terencana, sehingga memudahkan bagi pengorganisasian dakwah, perencanaan dan pelaksanaan dakwah, serta pertanggung jawaban program dakwah di media. Disinilah perlunya lembaga atau institusi dakwah semacam Nahdlatul Ulama mengambil peran dalam komunikasi media (Komunikasi Islam Modern).
Ketiga, komunikasi Islam modern sebagai bagian dari gerakan dakwah hari ini mestinya tidak memfokuskan diri pada persoalan yang menyangkut hal-hal yang transendental (ghaib dalam pengertian umum) an-sich, melainkan problematika faktual ummat yang memang memerlukan sentuhan dan penyelesaiannya.
Artinya bahwa, ada kesan selama ini dakwah Islam hanyalah penyampaian pesan-pesan ke-akhiratan (eskatologis) semata, sehingga persoalan aktual dan faktual dalam masyarakat justru kurang terbahaskan dalam dakwah. Akibatnya tentu saja, daya tarik pesan dakwah menjadi berkurang, sebab dianggap bukan untuk kepentingan kehidupan hari ini (di sini), melainkan untuk hari esok (di akhirat). Dengan kesadaran ini, maka dakwah sebagai satu bentuk komunikasi Islam mesti menjadi sarana penyampaian pesan-pesan keagamaan hari ini, sesuai persoalan yang sedang terjadi dan dihadapi oleh umat. Dengan demikian, dakwah dapat menjadi alternatif penting bagi ummat dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.  
TIK UNTUK KEPENTINGAN KOMUNIKASI DAKWAH
Pada akhirnya, ketika kita sadar bahwa kemajuan TIK adalah sebuah keniscayaan adanya, maka tidak mungkin kita akan menjauhkan umat dari realitas tersebut. TIK dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dibawanya di hadapan ummat kita hari adalah sebuah  konsekuensi kemanusiaan (modernisasi dan globalisasi) yang harus diterima dengan cerdas dan berbesar hati.
Cerdas artinya mampu mengambil setiap peluang (nilai positif) dari kemajuan TIK dan kecendrungan umat terhadap TIK untuk kepentingan dakwah Islam. Hanya itulah satu-satunya pilihan sikap yang paling mungkin diambil dalam konteks komunikasi Islam di era modernisasi TIK hari ini.
Berbesar hati artinya kita mesti mampu menempatkan kehadiran TIK dengan segala pengaruh negatifnya sebagai pemicu bagi kita untuk lebih giat melakukan kreasi, inovasi dan reformulasi gerakan dakwah Islam modern. Sebaliknya, perkuat sisi-sisi positif dari kehadiran TIK untuk kepentingan Komunikasi Islam. Dengan demikian, program keislaman mampu berdaya saing dengan program media TIK dan semacamnya. Disinilah dakwah mesti dikemas semenarik mungkin menjadi komunikasi modern, dan bukan semata-mata dengan pola konvensional (Ibrahim, 2015).
Dengan kehadiran TIK hari ini, harapannya umat tidak lagi semata-mata mendapatkan nilai-nilai (pesan komunikasi) yang liberal dan kering spiritualitas, melainkan juga pesan-pesan keislaman yang menyejukkan dan menuntun umat ke jalan hidup yang lebih baik. Disinilah dakwah media mesti mengambil peran yang maksimal.
Jika dahulu (sebelum era TIK) dakwah hanya dilakukan secara konvensional dari majlis ke majlis, dari mimbar ke mimbar, dari pengajian ke pengajian, maka kini saatnya kegiatan dakwah Islam merambah media. Saatnya majlis taklim disiarkan melalui media TV dan radio, ceramah agama disiarkan di berbagai media sosial (WA, FB, Yutube), film-film bernuansa keislaman dan dakwah menjadi populer dan sebagainya.
Jika sebelumnya, pesan-pesan Islam hanya disampaikan melalui lisan (komunikasi lisan), era media dan TIK hari ini menuntut kita mampu membuat formulasi dakwah Islam melalui tulisan di media cetak (termasuk media sosial), dakwah melalui film, drama, bahkan jejaring sosial media.
Dengan kata lain, kehadiran media dan TIK yang booming hari ini, mestinya menjadi kekayaan pilihan (alternatif) bagi komunikasi Islam modern, sebuah peluang bagi penyebaran pesan dakwah yang sesuai dengan kecendrungan modern umat. Kemajuan media dan TIK yang membuat kehidupan manusia seakan tampa sekat satu sama lain, mesti menjadi peluang bagi upaya pembinaan ummat dan komunikasi Islam modern yang lebih luas, efektif dan efisien.
PENUTUP
Pada akhirnya, satu harapan penulis adalah kita akan sampai pada kata sepakat bahwa media dan TIK adalah realitas dan niscaya adanya, yang harus kita terima dengan segala konsekuensi di belakangnya. Menyalahi kehadiran media dan TIK sebagai penyebab “kemunduran” umat jelas bukan pikiran yang bijak. Sebaliknya, membiarkan persoalan ini berjalan sendiri dengan tampa strategi dan kebijakan sikap yang jelas, tentu juga tidak memberikan pengaruh yang baik dan positif bagi kepentingan dakwah dan komunikasi Islam. Karena itu, pilihan terbaik yang mungkin dilakukan adalah, ambil peran sebanyak mungkin di media, kuasai TIK dengan program-program keislaman dan dakwah. Jadikan media dan TIK yang booming ini sebagai jalan baru bagi kepentingan dakwah dan komunikasi Islam modern yang lebih maju dan berhasil, Wallahu a`lam.











DAFTAR BACAAN

Andi Faisal Bhakti. 2014. Trendsettek Komunikasi di Era digital: Tantangan dan Peluang Pendidikan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Artikel Jurnal Komunikasi Islam, Volume 04, Nomor 01, Juni 2014, h. 20 - 44
APJII. Statistik-Asosiasi Penyelengga Jasa Internet Indonesia. https://apjii.or.id>content>utama . diakses 13 Februari 2018.
Bendri. 2018. Orang Tua Zaman Old, Mendidik Anak Zaman Now. Tulisan di media Sosial WhatsApp. Masjid Delatinos Al-Aqsha.
Berita Online Detik. 132 Juta Pengguna Internet Indonesia, 40 % Penggila Medsos. https://m.detik.com>inet>cyberl... Diakses 13 Februari 2018.
Hasrul bin Hashim & Bahiyah Omar, 2011. Transformasi Penyiaran Televisyen Melalui Internet: Kajian Perhubungan Kepuasan terhadap Pengguna Remaja. Jurnal Komunikasi Malaysian Journal of Communication. Jilid 27 (1) 146-169.
Ibrahim. 2017. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi Praktis dan Mudah. Pontianak: IAIN Pontianak Press.
Ibrahim. 2015. Dakwah dalam Kemasan Media. Pontianak: IAIN Pontianak Press.
Jauhariatul Akmah & Jamilah Ahmad, 2011. Penggunaan Facebook oleh Badan bukan Kerajaan Alam Sekitar (ENGO) dalam Menyampaikan Mesej Alam Sekitar. Jurnal Komunikasi Malaysian Journal of Communication. Jilid 27 (2) 161-172.
Kementerian Informasi dan Komunikasi. Pengguna Internet Indonesia Nomor Enam Dunia. https://kominfo.go.id>sorotan. Diakses 13 Februari 2018.
Mafri Amir. 2009. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu.
Pardianto. 2013. Meneguhkan Dakwah Melalui New Media. Artikel Jurnal Komunikasi Islam, Volume 03 Nomor 01, Edisi Juni 2013, h. 22-47.



[1] Lektor Kepala dalam bidang Keahlian Komunikasi Penyiaran Islam dan Antarbudaya, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, IAIN Pontianak. Staf pengajar di Program Pascasarjana IAIN Pontianak.