Selasa, 09 November 2010

KISAH MENGESANKAN DI KAMPUNG MELATI

Oleh: Ibrahim MS (Direktur Malay Corner STAIN Pontianak)

Satu catatan kisah perjalanan melakukan Riset Wisata di Kampung Melati, Parit Banjar, Kakap. Sabtu - Minggu, 30 - 31 Oktober 2010.


Kunjungan ke Dusun Melati desa Kalimas kec. Sei. Kakap merupakan program Riset Wisata (RW) kedua yang dilakukan oleh Malay Corner (MC). Sebelumnya tahun 2009, MC sudah menyelenggarakan riset wisata ke kampung durian, pemukiman baru warga Madura yang berasal dari sambas.
Lokasi yang akan dikunjungi untuk program RW tahun 2010 ini merupakan perkampungan orang Bugis di Parit Banjar, Dusun Melati, Desa Kalimas, Kec. Sungai Kakap.
“Agaknya kita perlu melengkapi koleksi data riset kita.
Kalau tahun lalu kita mengkaji Madura, maka sekarang kita mengkaji Bugis”,
begitulah informasi dan saran yang diberikan bang Yus ketika mengusulkan kampung ini sebagai lokasi yang akan dikunjungi.

Saya sendiri dapat memaklumi bahwa bang Yus sudah cukup mengenal kampung ini, karena tahun ini dia juga sedang melakukan kajian mengenai orang Bugis, dimana dusun ini meruPakan salah satu sampelnya. Dugaan saya.

Selain itu, lokasinya yang cukup dekat dan mudah dijangkau, makanya saya langsung setuju saja dengan usulan tersebut. Sejak itulah kami mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk pelaksanaan program ini.

***
Sabtu - Minggu, tanggal 30-31 oktober adalah waktu yang telah kami tentukan melalui rapat pengurus MC untuk pelaksanaan program RW ini.
Karena itu, pagi-pagi sabtu, saya dengan Didi sudah belanja ke pasar flamboyan untuk membeli segala keperluan logistik keberangkatan, maklum tradisi kegiatan RW di MC, logistik selalu dibawa sendiri oleh peserta.
Kita berpikir bahwa, sebisa mungkin program RW ini tidak boleh membebani masyarakat atau tuan rumah. Sudah diterima berkunjung dan diizinkan nginap saja sudah lebih dari cukup bagi MC, karena itu untuk urusan logistik harus disiapkan sendiri oleh peserta.
Alhamdulillah sebelum tengah hari, semua logistik untuk bekal kawan-kawan sudah siap di sekretariat MC.

Setiap kelompok sudah disiapkan logistiknya dalam kotak masing-masing. Karena rencananya peserta kunjungan belajar (begitu istilah yang selalu saya gunakan kepada masyarakat) di lapangan akan dibagi dalam enam kelompok, maka ada 6 kotak logistik yang sudah kami persiapkan pagi itu.
Sementara keberangkatan kami dijadwalkan ba`da ashar atau jam 15.30 sore itu. Dimana untuk keberangkatan ini, seperti biasa kami selalu berkumpul di sekretariat MC terlebih dahulu, di situlah kami berkoordinasi sampai kami berangkat ke lokasi dengan kendaraan motor masing-masing.

Ba`da zuhur saya pulang ke rumah. Dan rencananya jam 14.30 saya sudah akan berangkat ke MC untuk menunggu kawan-kawan kumpul di sana.
Di luar dugaan, kondisi cuaca siang itu mulai gelap. Tidak lama kemudian hujan turun dengan lebatnya, bahkan disertai dengan angin kencang. Saya tidak bisa tidur karena khawatir kalau-kalau hujan terus sampai sore atau malam, bisa-bisa gagal total rencana keberangkatan kami sore itu. Begitulah persaan saya kala itu, sambil beberapa kali bolak balik menjenguk ke luar rumah untuk melihat tanda-tanda hujan akan reda atau tidak.
Sampai jam 15.00 hujan belum juga berhenti, meski sudah agak reda. Sampai hampir jam setengah empat, saya keluar dan melihat masih ada gerimis kecil, karena itu saya putuskan untuk berangkat saja ke kampus. Tidak enak kalau justru saya yang terlambat datang di kampus, begitulah pribadiku.

Jam setengah empat lewat saya tiba di kampus (MC), saya mendapati sudah ada beberapa orang peserta yang menunggu di pendopo depan secretariat MC.
Saya langsung naik dan masuk ke ruang MC. Sementara beberapa orang peserta masih tetap menunggu peserta lainnya di bawah.
Lebih kurang 15 menit kemudian, saya melihat sudah cukup ramai peserta yang datang, termasuk bang zul yang selalu koordinasi dengan saya mengenai keberangkatan dengan cuaca sedemikian. Karena itu saya meminta kawan-kawan untuk naik dan koordinasi di ruang MC.
“ayo naik, kita kumpul di atas untuk ngecek kehadiran kawan-kawan”.
Begitulah alasan saya meminta semuanya naik.
Saya memanggil satu-satu persatu nama mereka yang sudah terdata dalam kelompok masing-masing, dan masing-masing kelompok saya serahkan persilakan mengambil satu dus logistic yang sudah disiapkan untuk dibawa langsung ke lokasi.
“sepertinya cuaca sudah semakin membaik, dan kita agaknya sudah bisa jalan”, begitulah kira-kira ajakan saya kepada kawan-kawan sore itu.
Dari peserta, saya melihat sudah hampir semuanya yang hadir kecuali Cici.
Kami pun turun ke bawah untuk siap-siap berangkat.

“Im, cici minta ditunggu, dia sudah jalan sekarang”,
begitu kata jun meminta saya menunggunya.
Meski agak keberatan, karena memang waktunya sudah sore (sudah lewat dari jadwal semula lagi), saya harus menunggu anggota saya.

Sementara itu, kawan-kawan yang sudah siap dengan motor masing-masing saya izinkan untuk berangkat duluan.

“Kawan-kawan yang sudah siap, silakan berangkat duluan, ikuti Mahmud.
Mahmud saya minta untuk memimpin keberangkatan kawan-kawan karena ia sangat mengenal dusun Melati, dia pernah tinggal beberapa lama dengan neneknya di kampung tersebut.
“Mud, kamu berangkat duluan bersama dengan teman-teman ya”,
sementara saya masih menunggu teman kita yang belum datang nih”,
pinta saya dengan Mahmud. “Saya masih harus menunggu yang belum datang ni, biar saya mengawal teman-teman belakangan”.
Jelas saya dengan Mahmud.

“Jun, sedang di mana Cici?” Tanyaku agak kurang sabar.
“Dia sudah jalan sekarang”. Jawab Jun.
Jun pun terus berusaha untuk koordinasi dengan Cici. Bersama saya dengan Jun, juga masih ada Didi yang setia menunggu kedatangan Cici.

“Im, cici menunggu di depan Pelni katanya, kita lewat kota baru kan?”
Tanya jun.
“Ya, kalau gitu kita berangkat saja sekalian jemput Cici”,
ajak saya.
Kami pun berangkat. Sampai di dekat Pelni saya sudah melihat Cici di seberang jalan. Cici diantar oleh baPaknya. Karena kami menuju Kota Baru, maka cici harus menyebrang. Sementara itu saya dengan Didi terus jalan, pelan.
Dugaan saya, Jun dengan cici terus menyusul kami jalan di belakang.
Sampailah di daerah kota Baru, ternyata masih ada bang Mail dan motornya kak Ifit dan Eva. Jadinya kami berjalan berbarengan.

Kami berbelok ke jalan Ampera, karena harus ikut jalan Kakap, maklum kondisi cuaca habis hujan. Kalau jalan kering, sebenarnya lebih dekat lewat jalan punggur ujung kota baru.
Lagi-lagi di sini, saya menduga Jun dan Cici masih bisa menyusul di belakang kami, mereka tau kalau ke lokasi lewat jalan Kakap, pikirku.

Kami 4 buah motor (mail, didi, ifit bonceng eva dan saya sendiri) terus berjalan. Ketika mulai masuk jalan kakap saya pun berhenti untuk memastikan rongbongan ikut semuanya di belakang. Ternyata Jun dan Cici tidak tampak. Saya dan Didi sempat menunggu beberapa saat.
Kemudian dengan perlahan kami lanjutkan perjalanan, belum juga tampak Jun dan Cici.
“Ah, Jun tau bah jalan kakap, pasti dia juga akan menyusul”, yakinku.
Belum sampai ke simpang kakap Jun telp.,
“Hallo Im, dimana kita` ni?”
Saya sendiri tidak langsung menjawab, tapi malah menanyakan posisi Jun.
“Kamu sendiri di mana Jun, kenapa lama sekali?” tanyaku.
“Saya di jalan punggur ni, ujung kota baru”, jawab Jun.
Mendengar jawaban itu, saya pun sadar kalau Jun dan Cici nyasar jalannya.
“Jun, bukan lewat situ, kita lewat jalan kakap”, jelasku setengah kesal.
“O ya kah, ya lah kami balek lagi ke situ”.
Jawab jun di telefon.
“Cepatlah, kami tunggu di simpang punggur, kakap”, jawabku.
Hampir setengah jam kami menunggu barulah Jun dan Cici datang.
Kami melanjutkan perjalanan ke dusun Melati. Hampir berkumandang azan magrib kami masuk wilayah dusun tersebut.

***
Motor Ifit dan Eva berhenti di depan sebuah rumah yang di situ telah parkir motor kawan-kawan rombongan yang berangkat duluan tadi. Di situ adalah rumahnya kakek si Mahmud.
Saya pun berhenti. Saya tidak sempat masuk ke dalam karena sudah hampir azan maghrib.
Saya memanggil Mahmud, dan saya meminta Mahmud untuk mengajak kawan-kawan menuju masjid.
“Kita janji kumpul di masjid, di masjid lah kita akan koordinasi dengan Pak RW (Pak Udin), termasuk penentuan posko menginap dan sebagainya”. Begitulah alasan ku meminta Mahmud mengkoordinir kawan-kawan untuk langsung menuju Masjid.
Kawan-kawan pun berangkat menujun masjid. Saya sendiri harus mampir terlebih dahulu ke rumah Pak Rusni, ketua RT 12, salah seorang yang saya temui untuk koordinasi kunjungan ini sebelumnya.
Rumah Pak Rusni ada di seberang parit, untuk ke rumahnya saya harus melalui jembatan yang sudah banyak berlobang, dan harus berhati-hati karena sebagian kayu jembatannya sudah patah. Kemudian di seberang pun masih harus melewati jembatan parit kecil yang sudah terapung karena banjir.

Saya perlu berhati-hati supaya tidak tercebur ke dalam parit, bisikku sambil menginjak perlahan jembatan yang sudah sedikit terapung di atas air.
Saya naik ke teras rumah Pak Rusni, belum sempat mengucap salam dan mengetuk pintu, dari balik jendela saya melihat Pak Rusni sedang shalat magrib berjama`ah dengan isterinya.
“Wah, ini bakalan lama saya menunggu selesai shalat”, pikirku. Semula saya berpikir untuk langsung ke Masjid. Tapi tak enak pula tak ada komfirmasi lagi dengan kedatangan rombongan, pikirku lagi. Terpaksa saya harus menunggu.

Sementara itu, di rumah sebelahnya saya melihat ada beberapa orang sedang ngumpul.
“Ah, bagus saya kesitu saja, sambil menunggu”, pikirku.

“Assalamu `alaikum”, aku menyapa mereka.
“Alaikum salam, sila naik pak, sambut dari tuan rumah”.
Beliau pun tampak sibuk mengambil bajunya, membukakan pintu dan menyilakan saya ke dalam. Sebelumnya saya melihat mereka hanya ngobrol di teras luar, makanya tidak mau diajak masuk dan ngobrol di dalam, saya minta duduk di luar saja.
Sambil bersalaman saya pun mengenalkan diri, menyampaikan mengenai tujuan kedatangan rombongan.
“Saya mau jumpa Pak Rusni, tapi beliau lagi shalat”, jelasku.
Obrolan kami pun berlangsung beberapa saat. Kemudian saya mohon diri untuk kembali ke rumah Pak Rusni, perkiraan saya shalatnya sudah mau selesai.
Setibanya di teras, ternyata Pak Rusni masih berzikir dan berdo`a, terpaksa aku menunggu lagi.
Begitu shalat nya selesai, aku segera mengucapkan salam dan mengetuk pintu.

“Assalamu`alaikum”, salamku pada Pak Rusni.
“Alaikum salam”, jawab Pak Rusni sambil membuka pintu.
“Eh, bapak, silakan masuk Pak”. Sapa Pak Rusni.
“Udah, disini saja Pak, sebentar saja, saya hanya mau komfirmasi bahwa rombongan saya sudah datang, dan sekarang sudah di Masjid,
biar nanti kita koordinasikan semuanya di Masjid saja”,
aku meminta kesepakatan dengan Pak Rusni.

“Saya duluan pak”, pamit ku.
“Ya, nanti saya menyusul pak”, jawab Pak Rusni.
Saya bertolak dari rumah Pak Rusni dan langsung menuju masjid sore itu.
***
Sampai di masjid, saya langsung menuju tempat wudu`, saya segera wudu` karena saya melihat jama`ah shalat maghrib sudah hampir selesai.
Begitu saya masuk ke dalam masjid, ternyata jama`ah benar-benar sudah selesai shalatnya. Saya mendapati Didi belum shalat. Rupanya Didi sengaja menunggu saya untuk shalat berjama`ah. Saya pun shalah berjama`ah dengan Didi.
Selesai shalat, saya bersalaman dengan beberapa orang jama`ah di belakang. Salah satunya yang saya salami tersenyum, sepertinya ia kenal dengan saya. Saya sendiri merasakan tidak asing dengan wajahnya. Saya pun bertanya namanya.
“siapa ni?” tanyaku.
Saya Hamadi pak (belakangan saya tau nama benarnya adalah Ahmadi),
“saya mahasiswa STAIN, Tarbiyah.
Saya belum selesai, karena saya pernah cuti”. Jelasnya.
Saya pun ngobrol beberapa hal singkat dengan Hamadi, karena saya harus mengurus posko kawan-kawan.

Saya mencari Pak Udin (Pak RW), orang yang selama ini saya hubungi untuk program kunjungan ini. Saya pun pergi ke rumah Pak Udin, untuk memberitahukan kalau rombongan sudah kumpul di masjid.
Sampai di rumah Pak Udin, ternyata Pak Rusni juga sudah ada di sana, tepatnya di rumah warungnya.
Akhirnya kami bertiga sepakat untuk mengatur semuanya di masjid.
Saya, Pak Udin dan Pak Rusni menuju masjid.
Saya, Pak Udin dan Pak Rusni mengambil posisi di teras sebelah kanan masjid. Rencananya kami ingin membicarakan soal posko kawan-kawan.
Belum sempat duduk tenang di masjid, saya, Pak Udin dan Pak Rusni langsung dikerumuni oleh kawan-kawan. Berbagai pertanyaan pun langsung disampaikan oleh kawan-kawan ke Pak Udin dan Pak Rusni. Mereka seakan-akan tidak ingin melewatkan sedikitpun kesempatan untuk bertanya mencari data dan informasi malam itu.

Saya sendiri, yang tadinya ingin menggenahkan soal posko dengan Pak Udin dan Pak Rusni, terPaksa harus menundanya.

Kawan-kawan tarus wawancara dengan Pak Udin. Beberapa lagi menghadap Pak Rusni dan mewawancarainya, sampailah azan isya berkumandang dari dalam masjid.

Azan sudah hampir selesai, masih saja teman-teman wawancara dengan Pak Udin dan Pak Rusni. Mau tidak mau saya harus menyelanya.
“Ok, sekarang kita shalat isya saja dulu, nanti lanjutkan”. Kilah ku.
Kamipun beranjak dari tempat duduk di teras dan masuk ke masjid untuk melakukan shalat isya malam itu.
Saya tidak mau disalib kawan-kawan lagi. Selesai shalat saya langsung meminta Pak Udin dan Pak Rusni bicarakan tentang posko nginap kawan-kawan.
Alhamdulillah, dari 6 kelompok semula yang artinya juga perlu 6 rumah untuk nginap, ternyata hanya 5 rumah yang dapat diusahakan Pak Udin dan Pak Rusni.
Pak Udin sebenarnya masih mau berusaha mencari 1 rumah lagi, tapi saya mencegahnya. Saya tak ingin Pak Udin repot lagi mencari 1 rumah malam itu juga.
“Tak apa-apa pak, 5 juga sudah cukup, biar satu kelompok saya gabungkan”, maklum ku. Akupun menentukan tempat nginap masing-masing kelompok. Untuk mengantar kawan-kawan ke posko dimaksud saya ditemani oleh Pak Rusni dan Pak Udin. Singkat cerita, kawan-kawan sudah dapat tempat nginap malam itu. Dan kami pun berpencar di kelompok posko masing-masing, mencari data dan informasi, serta silaturrahmi dengan warga yang mungkin dilakukan selama berada di lokasi.

***
Saya sendiri masuk kelompok 4. Posko kami di rumah ibu Fatmawati (atau biasa dipanggil ibu Wati). Sebagai ketua rombongan, sebenarnya saya bisa memilih dimana saja mau masuk kelompok dan posko. Sebelumnya koordinasi saya selalu dengan Pak Udin, dimana di rumah beliau juga ada 1 kelompok. Saya tidak memilih untuk masuk kelompok di rumah Pak Udin, tapi saya memilih di rumah ibu Wati.

Bagi saya, Pak Udin saya sudah pernah ketemu beliau dan ngobrol dengan beliau sejak dari survey pertama. Sementara ibu Wati tidak.
“Menantu ibu Wati itu alumni STAIN.
Dulu tu, dia KKN disini, itulah dapat anak bu Wati”.
Begitulah cerita Pak Udin ke saya tentang ibu Wati. Itulah yang membuat saya tertarik untuk memilih gabung dengan kelompok ini.

Hapir jam 8 malam saya baru sampai di rumah ibu Wati, tempat kelompok kami menginap. Saya memang terlambat dari kawan-kawan kelompok, karena saya harus mengantarkan kawan-kawan kelompok 1 ke poskonya. Sementara kawan-kawan kelompok saya sudah terlebih dahulu ditunjukkan oleh Mahmud tempat nginapnya.

“Assalamu`alaikum”
Itulah sapaan pertama saya akan masuk ke rumah ibu Wati.
“Alaikum salam” jawab dari seorang lelaki kisaran usia 25 –an tahun yang menyambut kedatangan saya di depan pintu.

“Apa kabar bang?” tanyaku.
“Saya Ibrahim”, saya coba mengenal diri sebagai basa basi awal.
“Alhamdulillah baik, silakan masuk”, beliau menyilakan saya masuk.
Di ruang dalam saya melihat kawan-kawan sedang beramah tamah dengan seorang Ibu dan 2 orang perempuan muda. Saya pun langsung menyalami mereka satu persatu sambil mengenalkan diri. Mereka itu adalah Ibu Wati dan dua putrinya.

Sementara yang menerima kedatangan saya di depan pintu tadi adalah menantunya ibu Wati, namanya Ahmad Junaidi.
Kedatangan kami sepertinya memang sudah ditunggu di rumah itu, sebab begitu saya masuk, kami sudah langsung disuguhkan dengan minuman teh hangat dan beberapa kue naga sari. Kami pun segera menikmati sambil berkenalan dan silaturahmi.

“Ada berapa orang rombongan Pak?”
Tanya ibu Wati singkat.
“Kita ada 31 orang bu, yang terbagi kepada 5 kelompok dan 5 rumah nginap. Sementara kami rencananya mau numpang nginap disini”. Basa basiku.
“O silakan, inilah tempat kami”, jawab bu Wati dengan penuh ramah.
“Kalau saya sengaja pilih tempat ini bu, karena saya dengar ada sejarah tersendiri rumah ini.
Ibu dapat menantu alumni STAIN kah bu?”
Begitu sapa basa yang saya lontarkan pertama kali.

Ibu wati tersenyum, terus menjawab,
“iya.
Itu Jamiat, dulu kan dia KKN disini.
Eh tau-tau, ada niat nak serius dengan anak saya, rohani.
Itulah jadinya.
Sekarang mereka tinggal di Pontianak”.

Saya sendiri sudah mendengarkan cerita ini dari Pak Yapandi 2 minggu sebelumnya, ketika saya mengajak Pak Yapandi ikut kegiatan RW di dusun Melati.
“O ya, disitu adalah alumni kita yang jadi dengan orang situ.
Dapatnya waktu kami KKN dulu lah”, jelas Pak Yapandi.

Kunjungan kali ini membuat saya tau bahwa ternyata di kampung itu sudah 2 kali KKL STAIN, yakni tahun 1985 dan 1990.

Jamiat dapat isteri anak ibu Wati adalah KKN tahun 1990. Termasuk KKN masa itu adalah Pak Yapandi. Dokumentasinya masih tampak di ruang tamu bu Wati. Saya melihat dengan jelas satu foto besar anggota kelompok KKL tahun 1990 (ada Pak Yapandi, Jamiat dan kawan-kawannya) yang masih di pajang di ruang tamu rumah bu Wati. Di situ juga masih tampak jelas foto Almarhum H. Yahya Natsir, pembimbing KKL ketika itu.

Saya juga mendengar, kalau sebelumnya tahun 1985 juga sudah ada KKN dari STAIN. Bahkan yang menarik dari sejarah itu, mahasiswa KKN STAIN tahun 1985 itulah yang pertama kali memberikan nama kampung ini menjadi kampung Melati (dusun Melati).

Informasi ini memberikan aku satu pengertian bahwa sebenarnya STAIN mempunyai tempat di hati masyarakat dusun Melati. Bahkan mereka selalu bandingkan kunjungan STAIN yang lebih diharapkan oleh mereka dibandingkan dengan kunjungan dari kampus yang lain. Tapi sayang, sudah 20 tahun STAIN tidak pernah lagi membawa program serupa ke kampung ini, hingga pada kesempatan ini baru ada kegiatan rombongan riset wisata masuk dan bersilaturahmi.

***
Silaturahmi malam itu, hingga menjelang tidur di rumah ibu Wati memberiku banyak pengetahuan tentang masyarakat Bugis, diantaranya adalah masih dipraktekkan beberapa adat budaya yang menjadi identitas masyarakan bugis. Adat tersebut antara lain, lesuji, mandre sepulung, makan dalam kelambu, keleleng, naik tojang, penok-penok dan sebagainya.

Saya merasa senang sekali memulai pemburuan data di kampung ini. Saya merasa bahwa saya pasti dapat informasi yang banyak mengenai adat orang Bugis yang selama ini kurang saya pahami. Karena itu, semula saya berharap dapat mengetahui secara baik dan mendalam mengenai adat-adat tersebut, terutama menyangkut pesan-pesan adatnya. Akan tetapi ketika saya mulai menanyakan lebih jauh ke Ibu Wati, anak dan menantunya malam itu, mereka hanya bisa menjelaskan secara singkat saja dari ada tersebut.

Salah satu adat yang saya tanyakan adalah Makan dalam kelambu, yang menurut mereka adalah adat memberi makan bayang-bayang kita sendiri.
“apa tujuan dari adat itu?” saya mulai bertanya mendalami.
“Tujuannya adalah untuk meminta keselamatan
Supaya orang yang akan menikah itu dihindarkan dari bala bencana” itulah jawaban mereka.
“mengapa harus dalam kelambu?”
Mengapa harus dengan makan? Dan dalam kelambu lagi?” tanyaku lebih lanjut.
“Nah, kalau itu tak tau lah kita”
“Kami hanya tau begitu saja adat dari orang tua dulu ”, jawab mereka singkat.

Begitupun dengan adat-adat yang lain, mereka hanya bisa menjawab bahwa adat itu dilakukan untuk tujuan meminta keselamatan dan memohon dihindarkan dari bala bencana.
Menyangkut pertanyaan, mengapa harus demikian, apa makna dari setiap perlengkapan yang digunakan, mereka tidak dapat memberikan jawaban yang pasti, kecuali untuk alasan keselamatan dan tolak bala.

“Ada kah orang yang mengerti banyak tentang adat ini? Tanyaku penasaran.
“disini ada dukunnya” kecuali dia lah yang lebih tau”, jawab bu Wati.
“itu mak ya, wak Syukur tu kan”
anak bu Wati menimpali memberikan informasi ke saya.
Saya pun meminta informasi mengenai wak syukur, alamat rumah dan kemungkinan untuk menemuinya.

Sejak malam itu, saya berencana untuk bersilaturahmi ke rumah wak Syukur keesokan paginya. Meski ada rada pesimis bisa ketemu, sebab informasi yang saya dengar wak Syukur itu bekerja sebagai petani ladang, yang biasanya subuh-subuh sudah turun dari rumah.

“ya saya harus ketemu wak syukur atau penua di kampong ini besok”
Mudah-mudahan dengan mereka saya dapat banyak pengetahuan yang lebih jauh mengenai adat orang bugis” begitulah niat hati yang saya bawa sampai istirahat tidur malam itu.

***

Allahu akbar Allahu akbar, Asyhadu alla ila ha Illallah
Suara azan subuh berkumandang di masjid membangunkan ku. Aku sadar waktu sudah pagi, waktu shalat subuh sudah masuk. Cuaca malam hari yang agak dingin karena turun hujan, ditambah dengan rasa capek di perjalanan membuat istirahat malam itu cukup pulas. Lantai keramik yang dingin terasa tersentuh ujung kakiku, aku berusaha untuk segera bangun dan menunaikan shalat subuh. Aku duduk sambil mengusap mata, aku belum melihat seorang pun yang terbangun, baik tuan rumah maupun kawan-kawan peserta. Kemudian aku bangun dan keluar mengambil wudhu untuk shalat subuh.
Kondisi cuaca di luar masih sedikit gerimis sehingga aku tidak pergi ke masjid subuh itu.

Tidak berapa lama kemudian barulah bang Zul dan Mahmud bangun, dan shalat subuh juga. Begitupun dengan tuan rumah dan kawan-kawan perempuan yang tidur di kamar dalam.
Selesai shalat subuh, kami duduk-dukuk di ruang tamu. Saya menjamah sedikit kue yang masih terhidang di meja sambil berbincang dengan Mahmud yang memulai membuka laptopnya.
“Mud, pagi ini kita jalan-jalan ya” ajak ku.
“Kemana Pak?”, Tanya Mahmud.
“Kita ke tempat wak Syukur ja`” ajakku.
Begitu hari betul-betul sudah terang pagi itu, dan tampak gerimis juga sedah berhenti, Mahmud mengingatkan ku.
“jadikah Pak kita jalan?, ayolah ke wak Syukur” ajak Mahmud.
“Ayo lah, bang Zuk ikut?” aku mengajak bang Zul yang juga sedang duduk-duduk di ruang tamu tempat kami menginap.
Kami bertiga pun jalan pagi itu.

Perjalan kami sampi di sebuah jembatan persimpangan ke arah parit gadoh, kami berhenti dan ngobrol disitu sembari mengamati situasi pagi itu.
Ada tiga orang anak (usia SD) pun bergabung dengan kami, satu diantaranya pakai sepeda. Saya bertanya kepada mereka dimana rumah wak syukur. Mereka menunjukkan ke saya rumah wak syukur. Dari tempat kami kira-kira sekita 50 meterlah rumah wak syukur, atau rumah ke 4 dari rumah di hadapan kami.
Aku langsung jalan ke situ dengan Mahmud. Disitu aku melihat ada seorang ibu yang keluar. “Ibu, numpang tanya, betulkan ini rumah wak syukur?”
“Betul”. Jawabnya.
“Adakah beliau ibu?” Tanyaku lebih lanjut.
“Wah, beliau sudah pergi ke ladang, ada apa pak?”, tanyanya lebih lanjut.
“Ngak, cuma mau silaturahmi saja rencananya”. Saya pun menjelaskan sedikit tentang kami dan tujuan kunjungannya.

Aku pun pamit, karena tidak ketemu dengan wak Syukur. Disitulah aku bertanya kepada Mahmud tentang siapa orang tua yang lain yang banyak tau dengan adat. Dan Mahmud merekomendasikan kepadaku nama tok Baka. Rumah beliau ada di hilir sana dekat sekolah, jelas Mahmud.

“Bapak mau ke rumah tok Baka?”
Tanya Mahmud yang sebenarnya juga mengajakku ke sana.
“Ayo lah”, jawabku singkat.
Kami pun kembali ke posko untuk mengambil motor, maklum tempatnya agak jauh. Kami mengeluarkan motor untuk rencana pergi ke sana. Belum jauh jalan, kami ketemu dengan Nindwi, Ica dan Erika yang baru selesai wawancara dengan tok Nyetong nampaknya. Mahmud nawarkan,
“ikut ke rumah tok Baka?”.
“Mau, mau. Kami ikutlah”. Jawab mereka.
Nindwi mengambil motornya, kami berlima pergi ke sana.
Kami sampai di sebuah rumah tua,
“itulah rumah tok Baka”, kata Mahmud.
Rumah masih tertutup rapat pintu dan jendelanya. Tiada suara apa –apa dalam rumah itu, saya menduga tidak ada orang di rumah itu. Mahmud naik dan mengucapkan salam. Lagi-lagi tak ada suara menjawab. Mahmud ke pintu dapur, mengucapkan salam sambil mengedur pintu.
“Tak ada kali mud”, kataku.
Mahmud tak putus asa, terus mengucapkan salam dan mengetuk pintu.
Ternyata ada suara di dalam (bagian dapur). Pintu dapur terbuka, di situlah Mahmud menyampaikan maksud untuk silaturahmi, dan kami pun diterima masuk.
Sebelum kami masuk, Mahmud sempat berpesan,
“ngomong harus kuat Pak, beliau sudah kurang mendengar”, Mahmud mengingatkan aku.
Pintu depan terbuka, di dalam rumah saya melihat seorang kakek tua dengan senyumnya yang ramah, raut wajahnya yag sejuk, suaranya yang halus dan lembut manyapa dan menyilakan kami masuk. Beliau begitu terlihat ramah, meski langkah kakinya yang agak lemah, beliau sibuk mengatur kursi tamu. Aku memintanya untuk membiarkan kami saja yang mengambil dan menyusun beberapa kursi tersebut.
“Silakan duduk”, beliau menyilakan kami dengan senyum dan raut wajahnya yang sejuk dipandang.
“Beliau ini tok Baka”, Mahmud mengenalkan kepada ku.
Aku mengacungkan tangan bersalaman, sambil mengenalkan nama.
“Saya Ibrahim tok”.
“kami dari Pontianak” Sapa basa ku singkat.
Semula saya ingin bertanya beberapa hal sambil menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan.
Sebagai peneliti (orang yang belajar), kami ingin kenal lebih jauh dengan tok Baka, termasuk namanya.
“Siapa nama atok?
Nama atok benar siapa?” Tanya Mahmud setengah berteriak.
“Abu bakar, Abu Bakar bin haji Muhammad”, jawabnya.
“Umur berapa? Umur datok berapa?” Tanya Mahmud mengulangi.
“Sembilan puluh, sembilan puluh tahun”, jawabnya.
Di rumah itu, tok Baka ditemani oleh satu orang anak dan menantunya. Kedua-duanya sedang bekerja di ladang pagi itu. Anak sulungnya tinggal di kalimas. Wak acong namanya. Anak sulung itulah yang katanya banyak mewarisi pengetahuan beliau sebagai dukun.
Kendatipun beliau sendiri tidak mau disebut dukun.
“Saya bukan dukun, saya hanya tau dan bantu orang saja.
Saya tidak pernah dibayar untuk bantu orang, melakukan acara adat bantu orang”, katanya.
Kami bertanya banyak hal kepada tok Baka,
“Kapan atok pindah kesini? Tanya kami.
“Saya lahir disini, dulu orang tua saya pindah ke sini setelah pulang dari Mekah. Waktu di Mekah, kata orang tua saya, ada orang kasih tau kalau di sini ada tanah dijual, murah lagi katanya. Makanya dari Mekah (mengerjakan haji) orang tua saya langsung ke sini”. Jelasnya.
“Mengapa ini dinamakan parit banjar tok? Tanya kami lagi.
“Karena orang banjar lah yang pertama kali membuka kampung ini. Tapi sekarang mereka tidak ada lagi di sini, mereka sudah pindah”, jelas tok baka.
Mahmud yang duduk di samping beliau menjadi juru bicara kami untuk bertanya sesuatu.
Bahkan terkadang harus dengan nada sedikit berteriak, Mahmud mewakili kami menyakan banyak hal, termasuk adat masyarakat Bugis.
“Makan dalam kelambu, apa tujuannya tok?” Tanya Mahmud
“Makan dalam kelambu tujuannya supaya kita selamat, kita berdoa untuk keselamatan orang yang melakukan adat itu”. Jelasnya dengan singkat.
Sama seperti yang lainnya, dengan tok Baka pun saya tak mendapat jawaban yang lebih detil mengenai adat istiadat makan dalam kelambu. Karena itu saya menduga bahwa adat makan dalam kelambu –sebagaimana adat yang lainnya- dilakukan murni sekedar ritual belaka. Masyarakat tidak begitu mengerti lagi dengan pesan-pesan tertentu dari adat tersebut. Karena itu wajar jika adat tersebut dan beberapa adat lainnya sudah mulai banyak dilupakan/ditinggalkan oleh masyarakat Bugis dusun Melati.
Beberapa saat kami bersilaturahmi, datang juga rombongan Ifit, Jun dan beberapa orang lainnya. Penuh ruang tamu tok baka, kursi tamu tak cukup.
Tok baka pun langsung turun dan duduk melantai, meskipun kami memintanya tetap duduk di kursi. Dengan itu kami semua menyingkirkan kursi dan jadinya duduk melantai dengan tok Baka.
Sambil mendengarkan cerita tot baka, mata kawan kawan –kawan melihat ke berbagai sudut ruang tamu rumah tok Baka. Kami melihat foto beliau masih muda yang tampak gagah dan berwibawa. Kemudian ada satu foto besar yang saya tak kenal betul orangnya.
“Eh, itu Ismail Mundu, foto Ismail Mundu”, kata jun.
Jun meminta saya menanyakan perihal foto tersebut kepada tok Baka.
Mahmud, yang tampil sebagai juru bicara kami bertanya kepada tok Baka.
“Itu foto siapa tok? Mahmud bertanya sambil menujukkan foto dimaksud.
“Itu Ismail Mundu, Ismail Mundu itu guru saya”, jawab beliau.
“Saya lama belajar dengan Ismail Mundu. Macam-macam lah ilmu agama, tarekat juga lah”, jelas tok Baka kepada kami.
Ifit menyodorkan 2 bungkus kue kepada tok Baka sebagai oleh-oleh dan ucapan terima kasih, ada permen juga nampaknya.
“apa ini? Tak usah lah” tok Baka agak tidak enak nampaknya. Demi menghargai beliau tetap mengucapkan terima kasih.
Banyak hal kami dengarkan informasi dari tok Baka pagi itu, sampai akhirnya kami mohon diri untuk pamit dan pulang.
Sebelum pulang pun mata kawan-kawan masih tertuju kepada satu benda yang digantung di atas pintu rumah beliau (di bagian dalam dan luar).
Di bagian dalam tampak ada selembar kertas ditempel, bertulisan arab yang menyerupai wafak. Kemudian di sebelah luar digantung benda yang terdiri dari bulu dan ijuk.
Jun tak kuasa menahan rasa ingin tahunya dan bertanya,
“Untuk apa benda ni tok?
“itu untuk menangkal pencuri” jawabnya singkat.
Dengan ucapan terima kasih dan rasa suka cita, kami meninggalkan rumah tok Baka karena mendapatkan banyak informasi pagi itu, sebagiannya sibuk dengan dokumentasi di rumah tok Baka.

***
Jam 10 pagi adalah jadwal kepulangan yang telah ditentukan. Meskipun beberapa diantara kami yang sudah pamit pulang lebih awal karena adanya kepentingan tersendiri.
Sebagai ketua rombongan, saya meminta kawan-kawan bersiap untuk pulang, karena sudah hampir jam 10. Saya melihat, sebagian kawan-awan masih bersemangat mengumpulkan data, Nindwi dan Mahmud masih silaturahmi ke rumah warga. Nindwi belum lagi sempat sarapan, padahal jadwalnya sudah mau pulang pagi itu. Begitupun di kelompok 3, Fitriani masih sibuk nak makan kelapa muda.
Banyak memang buah kelapa muda yang sudah diambil dan ditaroh di halaman depan rumah posko mereka. Kalau tak malu dan keburu dah harus pulang, rasanya mau juga menjamah buah kelapa muda itu.

“Ok lah, cepat sikit sarapan, makan kelapa cepat sikit, kita mau pulang, kami tunggu di masjid”.
Aku mengingatkan Fitriani dan Mardian yang nginap di rumah Pak Usman.
Sebagian besar kami sudah kumpul di masjid, tapi beberapa orang belum tampak. Yanti dan Jun lagi wawancara katanya Ambar memberitahu saya. Saya meminta Ambar untuk SMS mereka berdua, kita harus pulang.

Jam 10 lewat barulah kami semua kumpul di masjid.
Sebelum pulang, kawan-kawan mengajak berfoto bersama di depan masjid. Disitulah saya sampaikan beberapa pengumuman kepada kawan-kawan sebelum bubaran pulang. Tepat pukul 10.40 kami bertolak dari masjid dusun Melati dan pulang ke Pontianak dalam keadaan cuaca yang mendung, gelap dan mulai turun hujan.

Meskipun singkat, kunjungan belajar ke Dusun Melati memberikan banyak kisah yang berkesan buat saya, dari sejarah kedekatan STAIN dengan kampung ini 20 – 25 tahun silam, adat istiadat masyarakat yang mulai kehilangan identitas dan daya magisnya, hingga sosok (tok Baka) murid Ismail Mundu yang sepuh, bersahaja, ramah dan sejuk menerima kunjungan silaturahmi kami.

Dengan kesan dan kenangan tersendiri, kami pun beranjak pulang meninggalkan kampung Melati dalam suasana cuaca yang mulai gelap. Belum lagi rombongan kami sempat keluar dari jalan bebatuan bercampur tanah, hujan mulai turun, terpaksa kami harus mengeluarkan mantel hujan. Dan ternyata, perjalanan kami sampai datang ke rumah terus diguyur hujan pada pagi menjelang siang minggu itu. Itulah kisah perjalanan kami dalam kegiatan riset wisata hari itu.