Selasa, 27 Oktober 2009

Persoalan Parkir di Kota Pontianak

PERSOALAN PARKIR: WUJUD KETIDAK-WIBAWAAN PERDA

Parkir kendaraan sebenarnya adalah hal yang sederhana. Setiap pengemudi kendaraan pada prinsipnya pasti dapat menempatkan kendaraannya berhenti dengan baik. Tinggal yang diperlukan dalam pekerjaan yang sederhana ini adalah aturan dan petunjuknya saja. Dengan aturan dan petunjuk yang baik dan ditegakan secara konsisten itu, mungkin juga tidak mesti menggunakan jasa tukang parkir seperti yang banyak kita jumpai di kota Pontianak ini. Contohnya di negara tetangga, di Malaysia hampir tidak pernah kita menemukan juru parkir bersibuk seperti yang ada di daerah kita. Tetapi mereka dapat meletakkan kendaraannya berhenti dengan baik dan tersusun rapi pada tempat yang telah ditentukan. Di sana cukup hanya diberikan garis yang menggambarkan posisi kendaraan harus diparkir, dimana semua pengemudi memahami dan mematuhi rambu-rambu itu dengan baik. Menyalahi atau melanggar garis parkir yang sudah ditentukan akan dikenakan sanksi tilang atau saman. Dan itu betul-betul ditegakkan, bukan sekedar ancaman hukum saja.
Sementara di tempat kita (Kota Pontianak), parkir selalu menjadi persoalan, selalu mendapat sorotan dan kritikan dari masyarakat. Baik dari penempatan kawasan parkir yang terkesan sembarangan hingga pungutan biaya parkir yang tidak jelas menambah amburadulnya pengelolan pekerjaan yang satu ini. Belum lagi bicara mengenai keamanan kendaraan yang diparkir, sebagaimana yang kita ketahui, tidak sedikit kasus kehilangan motor di halaman parkir. Lantas siapa yang mesti bertanggung jawab dengan kejadian yang demikian? Lalu apa yang dibuat oleh tukang parkir? Apakah hanya memungut ongkos parkir saja? Dari sekian banyak persoalan mengenai perparkiran di kota ini, penulis hanya ingin mengangkat satu persoalan saja, yakni besaran tarip parkir kendararaan bermotor saja.
Setiap orang sebenarnya mengetahui bahwa tarip parkir kendaraan bermotor tidak lebih dari 500 rupiah, itulah ketentuan yang digariskan melalui peraturan daerah (Perda) mengenai perparkiran. Namun pada kenyataannya, aturan tersebut tidak mampu direalisasikan dengan baik di lapangan. Di banyak tempat parkir masih sering ditemukan pungutan biaya yang melebihi ketentuan tersebut. Bahkan hampir tidak pernah lagi dijumpai tukang parkir yang mengambil pungutan biaya parkir sesuai ketentuan perda. Hal ini terlihat ketika pemilik kendaraan membayar parkir dengan uang seribu rupiah misalnya, tidak pernah lagi dikembalikan sisanya oleh tukang parkir. Bagi sebagian orang mungkin uang 1000 rupiah memang tidak seberapa. Akan tetapi menjadi persoalan bagi sebagian yang lain, apalagi jika harus berulang-ulang atau pada tempat lain yang berbeda. Satu-satunya cara membayar parkir dalam kondisi demikian adalah dengan memberikan uang pas pecahan 500 rupiah. Meskipun tidak jarang tukang parkir masih meminta ongkos lebih dari itu. Sekilas mungkin wajar jika banyak orang yang rela membayar ongkos parkir sampai 1000 rupiah, akan tetapi perilaku itu akan memanjakan juru parkir untuk tidak mematuhi ketentuan perda. Jika itu yang terjadi, maka masyarakat sendiri yang dirugikan. Bahkan penulis sendiri pernah menemukan praktek pengelolaan parkir yang lebih gila lagi, dan itu melibatkan salah satu organisasi penting milik pemerintah. Dimana atas nama induk organisasi tersebut (tertera di kartu parkir) memungut biaya parkir kendaraan bermotor sampai 2000 rupiah (sama dengan ongkos parkir mobil). Penulis sempat mempertanyakan hal itu, dengan santai juru parkir itu menjawab, sama jak mobil dengan motor, parkirnya 2000. itulah ketentuan (dari organisasi milik pemerintah itu) katanya.
Berbicara mengenai besaran tarif, tentu saja bukan sekedar melihat keberatan atau tidak, akan tetapi juga menyangkut kewibawaan hukum dan peraturan yang telah dibuat. Sebab ketika hukum dan peraturan tidak lagi dijalankan, maka sebenarnya peraturan itu sudah diabaikan. Ketidak-wibawaan hukum dan peraturan inilah yang sebenarnya yang mendasari berbagai pelanggaran dan manipulasi. Jika dengan parkir saja masyarakat sudah dibiasakan dengan manipulasi dan korupsi, bagaimana dengan persoalan yang lebih besar lagi..?
Protes sering dilontarkan, keberatan masyarakat selalu terdengar atas persoalan tersebut, akan tetapi aparat terkait paling-paling hanya bisa menghimbau agar masyarakat tidak mau membayar ongkos parkir yang melebihi ketentuan perda. Juru parkir dihimbau untuk tidak memungut biaya parkir melebihi tarif yang telah ditentukan dalam perda, dsb. Apa sebenarnya yang terjadi dengan persoalan parkir di kota ini? Mengapa ketentuan biaya parkir yang sudah diperdakan hanya berlaku di atas kertas saja? Sementara realisasi di lapangan tidak demikian? Menurut penulis ada beberapa paktor yang menyebabkan pengelolaan perparkiran di kota ini semraut:
Pertama, pihak berwenang (pemerintah) belum pernah secara serius dan sungguh-sungguh mengatur persoalan perparkiran ini. Perda yang telah dibuat hanya untuk memenuhi kewajiban konstitusional sebagai pemerintah saja, sebab pada kenyataannya pelaksanaan perda di lapangan tidak pernah dikawal dan diawasi dengan baik dan benar.
Kedua, sebagian dari pihak berwenang (pemerintah) tidak memberikan contoh yang baik untuk menegakkan Perda perparkiran ini. Sebagai contoh, justru organisasi milik pemerintah daerah yang memungut biaya parkir kendaraan bermotor hingga 2000 rupiah.
Ketiga, perlu adanya pengawasan dan penegakan hukum yang sungguh-sungguh terhadap pelaksanaan perda perparkiran di kota ini, jika perlu berikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melanggar ketentuan perda tersebut. Termasuk pada instansi/organisasi milik pemerintah sendiri.
Keempat, perlu adanya ketentuan pemerintah yang mengatur dan mendata para juru parkir menjadi petugas yang legal, sehingga dapat dituntut tanggung jawab kerja yang lebih besar. Ini penting untuk keamanan kendaraan dan efektivitas hasil retribusi parkir menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah daerah.
Ketika beberapa hal di atas dapat disikapi dengan bijak dan arif oleh pemerintah, kita berharap tidak akan ada lagi persoalan perparkiran, tidak akan ada lagi instansi/organisasi yang menetapkan tarif parkir semaunya, tidak akan ada lagi juru parkir yang mengatakan parkir mobil dan motor sama saja besarnya. Atau mungkinkah persoalan perparkiran ini akan terus terjadi dalam kesemrautan? Mungkinkah itu semua wujud dari ketidak-wibawaan perda tentang perparkiran?

Sabtu, 24 Oktober 2009

Seri buku: Hidup & Komunikasi

KONTEKS BUDAYA DALAM KOMUNIKASI

Pengenalan
Konteks adalah segala situasi dan kondisi yang menyertai suatu proses. Dalam komunikasi, konteks itu bermakna segala situasi dan kondisi yang melingkupi dalam segenap proses komunikasi. Baik situasi dan kondisi komunikator, situasi dan kondisi komunikan, maupun ruang dan waktu tatkala komunikasi itu dilansungkan. Konteks inilah sebenarnya yang menentukan suatu makna dari komunikasi yang dilansungkan. Dalam realitas inilah para ahli komunikasi sepakat dengan pernyataan bahwa komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan konteksnya. Apalagi ketika konteks yang dimaksudkan menyangkut budaya hidup sesorang, itu akan semakin rumit untuk dipahami dalam komunikasi. Padahal pemahaman terhadap perbedaan itu mutlak diperlukan untuk memperoleh hasil komunikasi yang efektif. Sebab konteks itulah sebenarnya yang menentukan makna dari komunikasi yang dilansungkan.
Karena itu, tulisan bagian ini hendak mendiskusikan tentang konteks budaya dalam komunikasi.

Pengertian Konteks Budaya dalam Komunikasi
Secara sederhana konteks itu bermakna situasi dan kondisi. Konteks dalam komunikasi adalah situasi dan kondisi yang menyertai proses komunikasi yang dilansungkan. Dengan demikian, konteks adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dilupakan dalam komunikasi. Bahkan konteks itu sendirilah yang memberikan arti dalam sebuah komunikasi yang dilakukan.
Pentingnya memahami konteks dalam setiap komunikasi sama dengan pentingnya memahami apa tujuan dari komunikasi yang dibangun itu sendiri. Sebab kontekslah sebenarnya yang melahirkan komunikasi. Sebagai contoh, ungkapan “saya mencintaimu” tidak akan pernah bermakna sebagai benar-benar cinta ketika perkataan itu diungkapkan dalam keadaan seseorang yang tidak sadar, dalam tidur atau oleh orang gila. Berbeda jika “saya mencintaimu” diungkapkan oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan yang sedang dilanda mabuk cinta.
Contoh sederhana di atas dapat dianalisis dari segi symbol (verbal) dan makna (pesan) dalam satu konteks yang berbeda. Symbol (verbal) yang digunakan dalam kedua konteks tersebut sama saja, “saya mencintaimu”. Akan tetapi konteks yang menyertai proses komunikasi itu telah membawa makna (pesan) yang saling berbeda diantara kedua contoh tersebut. Konteks pertama lebih memberikan makna ketidak-sungguhan, tidak mewakili perasaan yang sebenarnya atau bukan ungkapan yang sadar. Akan tetapi pada kontek kedua adalah ungkapan secara sadar dan memang dimaksudkan untuk makna tersebut.
Contoh lain dapat dikemukakan, misalnya perkataan “anakku sayang, sini dong, mama ingin sekali memelukmu”. Perkataan tersebut akan memiliki makna yang berbeda jika diungkapkan oleh seorang Ibu tiri dengan seorang Ibu kandung. Pada konteks seorang ibu tiri, perkataan tersebut mungkin akan bermakna sebagai pemanis bibir saja. Akan tetapi pada konteks ibu kandung, perkataan tersebut lebih mungkin bermakna sebagai ungkapan perasaan yang benar-benar sayang kepada anaknya.
Jika konteks ini dimaknai bersamaan dengan budaya, maka konteks budaya pada dasarnya situasi dan kondisi budaya yang menyertai proses komunikasi yang dilakukan oleh seseorang. Konteks budaya ini tidak sekedar pilihan verbal yang khas dalam budaya, akan tetapi juga pikiran, perasaan, harapan, dan berbagai karakteristik suatu budaya tertentu yang mempengaruhi cara berkomunikasi seseorang. Setiap kebudayaan mengajarkan cara-cara tertentu untuk memproses informasi yang masuk dan keluar dari atau ke lingkungan sekeliling mereka, misalnya mengatur bagaimana setiap anggota budaya memahami cara mengemas informasi kemudian melakukan pertukaran informasi (Liliweri, 2003: 154). Artinya bahwa ada budaya yang mengajarkan cara-cara yang praktis dan lebih mudah dalam memproses informasi yang disebut low contect culture, akan tetapi ada pula budaya yang mengajarkan cara-cara memproses informasi yang lebih detil, rinci dan lebih sukar yang disebut high contect culture (Rogers dan Stienfatt, 1999: 90).

Kontek Budaya dan Komunikasi Antarbudaya
Edward T. Hall, pakar komunikasi dan antropologi budaya membagi konteks budaya dalam komunikasi kepada dua, yakni budaya konteks tinggi atau high contect culture dan budaya konteks rendah atau low contect culture (Rogers dan Stienfatt, 1999:90). Konteks budaya ini akan menentukan cara seseorang membangun komunikasi dengan orang lain. Dengan kata lain, setiap orang memiliki konteks budaya tertentu, dan dengan konteks budaya tersebut setiap orang memiliki karakter tersendiri dalam membangun komunikasi.
Ada orang yang menginginkan orang lain berlaku tertentu kepadanya, karena itu ia juga akan melakukan hal yang sama dengan orang lain. Orang yang terbuka dalam berkomunikasi lebih menginginkan keterbukaan yang sama dari lawan komunikasinya. Disinilah setiap diri kita selalu mengukur dan mengharapkan orang lain dengan ukuran dan harapan yang kita miliki. Padahal, mungkin saja setiap orang memiliki ukuran dan harapan yang tidak sama. Kesadaran inilah yang mengharuskan kita untuk belajar menyadari dan memahami siapa diri kita dan orang lain, bagaimana cara kita berkomunikasi dan bagaimana pula cara komunikasi orang lain. Apa yang kita harapkan, dan apa pula harapan pada orang lain.
Menurut Edward T. Hall, perbedaan kontek budaya itu akan menentukan apa harapan, keinginan dan pola komunikasi yang dibangun dalam hubungan sosial. Karena itulah menurutnya, penting bagi setiap kita memahami konteks budaya ini dalam berkomunikasi.

Budaya Konteks Tinggi
High contect culture atau budaya konteks tinggi adalah kebiasaan komunikasi yang dilakukan dengan penuh seni, halus dan terkadang bertele-tele demi alasan kesopanan dan kesantunan. Cara berkomunikasi orang dari budaya konteks tinggi ini cendrung tidak langsung pada sesuatu yang dimaksudkan alias tidak berterus terang dalam mengatakan apa yang diinginkan sebenarnya.
Budaya konteks tinggi ini dalam komunikasi tidaklah serta merta bermakna tidak baik. Budaya komunikasi seperti ini adalah bentuk komunikasi umumnya orang-orang asia, termasuk Indonesia (Rogers dan Stienfatt, 1999). Ada beberapa contoh budaya konteks tinggi yang bisa disebutkan dalam komunikasi orang Indonesia, masyarakat kita misalnya ketika diminta komentar oleh tetangga yang mengantar makanan tadi malam, kecendrungan kita akan mengatakan “enak makanannya, saya suka sekali”. Meskipun sebenarnya menurut dia makanan tersebut sangat tidak enak. Jika tidak dikatakan tidak jujur, jawaban tersebut lebih disebabkan rasa tidak enak untuk mengatakan yang sebenarnya. Karena itu kita selalu lebih cendrung mengatakan yang tidak sebenarnya, supaya tidak membuat seseorang kecewa dengan mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Cara komunikasi yang penuh dengan basa basi inilah yang oleh Edward T. Hall disebut dengan budaya konteks tinggi (high contect culture).

Budaya Konteks Rendah
Berbeda dengan budaya konteks tinggi, low contect culture atau budaya konteks rendah merupakan kebalikannya. Orang yang memiliki budaya konteks rendah dalam komunikasi lebih to the point, mengatakan apa adanya bahkan cendrung blak-blakan. Bagi orang yang memiliki budaya konteks rendah ini, berbicara sejujurnya dan apa adanya adalah pilihan cara komunikasinya. Mereka tidak melakukan komunikasi dengan berbunga-bunga, bertele-tele dan terkadang kurang jelas maksud yang sesungguhnya.
Komunikasi konteks rendah ini merupakan ciri komunikasi umumnya orang-orang Erofa. Bagi mereka sesuatu yang tidak baik mesti dikatakan sebagai tidak baik. Jadi berbeda dengan orang Indonesia yang mungkin saja mengatakan sesuatu yang tidak baik itu sebagai baik demi alasan ketidak-nyamanan untuk berterus terang.
Sama dengan konteks tinggi, budaya konteks rendah ini juga tidak bermakna sebagai kekurangan dalam komunikasi. Komunikasi pada orang yang memiliki budaya konteks rendah lebih mementingkan kejujuran dan keterus-terangan dalam berkomunikasi. Karena itu pada sebagian orang yang menganut budaya konteks tinggi, kejujuran orang dari budaya konteks rendah untuk mengatakan yang sebenarnya ini melahirkan satu image atau penilaian kepada orang Erofa sebagai kurang sopan, atau kurang bisa menghargai orang lain.

Karakteristik Konteks Budaya dalam Komunikasi
Sememangnya budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah dalam komunikasi mempunyai karakteristik yang khas, yang membedakan keduanya. Secara sederhana telah disebutkan di atas bahwa LCC lebih menuntut proses komunikasi yang praktis, singkat, to the point dan mudah saja. Sedangkan HCC lebih menginginkan proses komunikasi yang detil, rinci sehingga cendrung lebih sukar.
Menurut Liliweri (2003: 157-158), anggota budaya LCC lebih mengutamakan informasi tentang individu, aspek-aspek dari individu itu harus lengkap, mereka tidak mengutamakan pertimbangan latar belakang individu keanggotaan (sosial, budaya, etnik, agama). Bagi orang LCC, ia lebih menginginkan sebuah prediksi tentang siapa individu itu, bukan kelompoknya. Sebaliknya masyarakat dengan kebudayaan HCC lebih menekankan kehadiran seorang individu dengan dukungan faktor sosial, mereka tidak peduli siapa dia, apa pekerjaannya dan sebagainya. Hal ini dikarenakan HCC lebih mendengarkan loyalitas kelompoknya dibandingkan individu.
Berikut perbandingan persepsi budaya komunikasi pada HCC dan LCC ditampilkan.

Tabel I
Persepsi Budaya dalam Komunikasi

High Contect Culture (HCC) Low Contect Culture (LCC)
Prosedur pengalihan informasi lebih sukar Prosedur pengalihan informasi menjadi lebih gampang
Persepsi terhadap isu dan orang yang menyebarkan isu
Tidak memisahkan isu dan orang yang mengkomunikasikan isu Memisahkan isu dan orang yang menyampaikan isu tersebut
Persepsi terhadap tugas dan relasi
• Mengutamakan relasi sosial dalam melaksanakan tugas.
• Social oriented.
• Personal relations • Relasi antarmanusia dalam tugas berdasarkan relasi tugas.
• Task oriented.
• Impersonal relations
Persepsi terhadap kelogisan informasi
• Tidak menyukai informasi yang rasional.
• Mengutamakan emosi.
• Mengutamakan basa basi • Menyukai informasi yang rasional.
• Menjauhi sikap emosi
• Tidak mengutamakan basa basi
Persepsi terhadap gaya komunikasi
• Memakai gaya komunikasi tidak langsung.
• Mengutamakan pertukaran informasi secara nonverbal
• Mengutamakan suasana komunikasi yang informal • Memakai gaya komunikasi langsung.
• Mengutamakan pertukaran informasi secara verbal.
• Mengutamakan suasana komunikasi yang formal
Persepsi terhadap pola komunikasi
• Mengutamakan perundingan melalui human relations.
• Pilihan komunikasi meliputi perasaan dan intuisi.
• Mengutamakan hati daripada otak • Mengutamakan perundingan melalui bargaining.
• Pilihan komunikasi meliputi pertimbangan rasional.
• Mengutamakan otak daripada hati
Persepsi terhadap informasi tentang individu
• Mengutamakan individu dengan mempertimbangkan dukungan faktor sosial.
• Mempertimbangkan loyalitas individu kepada kelompok • Mengutamakan kafasitas individu tampa memperhatikan faktor sosial.
• Tidak mengutamakan pertimbangan loyalitas individu kepada kelompok
Bentuk pesan/informasi
Sebagian besar pesan tersembunyi atau implisit Sebagian pesan jelas tampak atau eksplisit
Reaksi terhadap sesuatu
Reaksi terhadap sesuatu tidak selalu tanpak Reaksi terhadap sesuatu selalu tampak
Memandang in group dan out group
Selalu luwes dalam melihat perbedaan in group dengan out group Selalu memisahkan kepentingan in group dengan out group
Sifat pertalian antarpribadi
Pertalian antarpribadi sangat kuat Pertalian antarpribadi sangat lemah
Konsep waktu
Konsep terhadap waktu sangat terbuka dan luwes Konsep terhadap waktu yang sangat terorganisir

Sumber: Liliweri, 2003: 158-159


Pengaruh Konteks Budaya dalam Komunikasi
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa konteks budaya yang beda akan melahirkan bentuk komunikasi yang berbeda pula. Orang yang memiliki konteks budaya yang rendah (LCC) berbeda cara berkomunikasi dengan orang yang memiliki konteks budaya yang tinggi (HCC). Orang dari konteks budaya rendah lebih berterus terang dalam perkataan, lebih jujur untuk mengatakan perasaan dan keinginannya. Orang dari budaya ini lebih mengharapkan orang lain mudah mengerti dengan apa yang diungkapkan dengan apa yang diharapkannya.
Orang yang datang dari budaya konteks rendah ini adalah orang yang mempunyai karakter komunikasi yang lebih terbuka. Mereka siap mengungkap keadaan diri yang sebenarnya, sebagaimana ia juga mengharapkan orang lain bisa terbuka terhadap dirinya. Sikap keterbukaan dalam komunikasi ini jika dilansungkan kepada orang yang mempunyai karakteristik yang sama, tentu saja akan sangat baik dalam proses komunikasi antarpribadi. Tapi tidak sama baiknya jika komunikasi terbuka ini berhadapan dengan karakteristik komunikasi yang tertutup pada orang dari budaya konteks tinggi.
Sedangkan orang dari budaya konteks tinggi lebih senang berbunga-bunga dalam pembicaraan, bertele-tele dalam berkata dan tidak mengatakan apa yang dirasakan dan diinginkan. Orang dari budaya ini lebih pandai bersindiran tentang apa yang dimaksudkan/dikatakan. Dia lebih mengharapkan orang lain bisa memahami dengan apa yang diinginkan sebenarnya dari apa yang diucapkan.
Orang yang datang dari budaya konteks tinggi ini adalah orang yang mempunyai karakteristik komunikasi yang cendrung lebih tertutup. Mereka tidak mau buka-bukaan tentang diri sendiri sebagaimana mereka juga menghargai orang lain dengan tidak mengatakan sejujurnya dan apa adanya. Bahkan dengan alasan kesopan-santunan, mereka ini cendrung tidak berkata jujur, tidak to the point dan terkesan bertele-tele dalam komunikasi.
Sikap komunikasi seperti ini jika dilansungkan kepada orang yang sama-sama dari budaya konteks tinggi tentu tidak ada masalah. Akan tetapi tidak demikian jika komunikasi kelompok ini berhadapan dengan orang dari budaya konteks rendah. Inilah sebenarnya yang lebih menarik, bahkan menjadi persoalan dalam komunikasi, bagaimana ketika komunikasi berlansung di antara orang yang memiliki perbedaan konteks budaya dalam komunikasi.

Penutup
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan beberapa hal utama mengenai konteks budaya dalam komunikasi, yakni:
Pertama, budaya dan komunikasi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena sesungguhnya orang berkomunikasi senantiasa mengikuti aturan budaya yang dimilikinya, dan sebaliknya budaya menjadi lestari melalui proses komunikasi yang dilakukan secara terus menerus. Disinilah ungkapan Edward T. Hall menjadi signifikan, Culture is communication and communication is culture.
Kedua, sebagai proses yang dinamis, komunikasi yang dilangsungkan senantiasa mengikuti situasi dan kondisi yang mengitarinya, yang disebut dengan konteks. Konteks inilah sebenarnya yang menentukan makna pesan yang dipertukarkan dalam proses komunikasi yang dilansungkan.
Ketiga, bagaimana cara berkomunikasi dan menafsirkan pesan yang disampaikan sangat bergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki seseorang dalam hidupnya, inilah yang disebut dengan konteks budaya. Karena itu konteks budaya ini mesti dipahami dalam setiap proses komunikasi yang dilansungkan, apalagi dalam konteks komunikasi antarbudaya.
Perbedaan konteks budaya memang berjalan seiring dengan polarisasi komunikasi yang terbangun dalam hubungan sosial manusia. Karena itu orang akan membangun komunikasi sesuai dengan apa yang diajarkan oleh budaya dan konteks budaya yang dilalui dalam hidupnya. Singkat kata, begitulah realitas hidup dan komunikasi yang sesungguhnya, senantiasa dinamis dan kontekstual. Wallhu a`lamu bish shawab.

Seri buku: Hidup & Komunikasi

DINAMIKA HIDUP & KOMUNIKASI

Hidup dan Komunikasi itu laksana aliran air di sungai
Dimana setiap kali melintasi, adalah air yang baru
Meskipun pada tempat lintasan yang sama
(Dedy Mulyana, 2001)


Hidup dan Komunikasi
Hidup itu dinamis. Setiap saat orang akan dihadapkan dengan berbagai situasi dan kondisi dalam hidupnya yang senantiasa berubah. Ada orang yang hari ini merasakan kebahagiaan dalam hidupnya setelah beberapa hari yang lalu mengalami musibah dan kekecewaan. Ada orang yang jatuh miskin setelah usahanya bangkrut setahun lalu. Realitas hidup yang dinamis dan selalu berubah itu layaknya perkembangan fisik dan mental seorang anak manusia dari bayi hingga menjadi dewasa, dari tidak mengerti apa-apa hingga menjadi seorang ilmuan dan sebagainya. Bahkan tidak jarang dinamika hidup itu layaknya sebuah roda kehidupan yang setiap orang akan bergantian menempati posisi yang berbeda dalam sejarah hidupnya. Meski berbeda dengan perputaran roda yang hanya akan menempati posisi yang sama dalam setiap lingkaran. Komunikasi senantiasa berubah, berputar dan berproses tanpa henti. Roda pasti berputar kata pepatah memberikan makna bahwa manusia senantiasa mengalami pengalaman hidup yang berubah-ubah.
Sebagaimana hidup yang sangat dinamis, komunikasi juga berlangsung dalam dinamikanya tersendiri. Bahkan tidak ada komunikasi yang terjadi bak hujan yang begitu saja jatuh dari langit, atau lemparan batu. Komunikasi terjadi dalam proses yang dinamis, layaknya dinamika sebuah kehidupan. Inilah yang selalu penulis contohkan kepada mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, bahwa seseorang menolak diajak mendugem, bukan semata-mata karena ia tidak mau melakukan perbuatan itu, melainkan karena ia sudah kapok dengan pengalaman mendugemnya 5 tahun yang lalu, yang hampir membinasakan jiwanya.
Dinamika hidup dan komunikasi juga dapat digambarkan dalam sejarah hidup manusia dan hubungan sosialnya. Tidak selamanya hubungan sosial itu berlangsung dalam keakraban, melainkan ada kemungkinan suatu ketika terjadi konplik dan sebagainya. Atau dengan kata lain, hubungan sosial yang damai, penuh keakraban dan saling pengertian hari ini mungkin terbangun setelah sebelumnya bersusah payah mencairkan kebekuan dan persoalan dalam komunikasi. Begitulah sesungguhnya dinamika dalam hidup dan komunikasi. Karena itu, jangan pernah mundur dari problem hidup dan komunikasi. Berupayalah untuk membangun hidup dan komunikasi menjadi lebih baik. Biarkan pengalaman yang kurang baik dan tidak menyenangkan dalam hidup dan komunikasi menjadi pelajaran untuk membangun masa depan hidup dan komunikasi yang lebih baik. Dengan begitulah kehidupan ini akan terasa nikmat, komunikasi akan terasa penting dalam membangun hubungan sosial dan kehidupan manusia.
Semakin banyak pengalaman yang dilalui sesorang dalam hidupnya, semakin cerdaslah dia dalam menghadapi hidup dan problematika yang dihadapinya. Pengalaman-pengalaman itulah yang akhirnya membantu seseorang meraih kebahagiaan dalam hidupnya. Begitupun dalam komunikasi, hanya orang yang mempunyai pengalaman yang banyak dalam hubungan sosial-lah yang akan mampu membangun komunikasi yang baik dan efektif itu. Selain pengetahuan (frame of reference) pengalaman-lah yang mengajarkan setiap orang membangun relasi dan hubungan yang baik antar sesama. Bahkan pengalaman (frame of ekperience) itulah yang membimbing komunikasi manusia dalam hidupnya. Pengalamanlah yang mengajarkan bagaimana seharusnya manusia bersikap dan bertindak dalam berbagai situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Dinamika hidup dan komunikasi sebagaimana di atas sesungguhnya dialami oleh banyak orang, terutama mereka yang saat ini tergolong sukses hidupnya, baik dari sisi ekonomi, karier, politik dan sebagainya. Kebanyakan mereka yang ”sukses” hidupnya hari ini bukanlah didapat dengan mudah, melainkan berbagai rintangan, hambatan dan mungkin juga kegagalan yang dilaluinya. Karena itu belajarlah tentang pengalaman gagal mereka, rintangan dan hambatan yang dihadapinya sehingga mereka mampu bangkit dan meraih kesuksesan. Pengalaman gagal inilah sebenarnya yang menarik untuk dikaji guna melihat kesuksesan yang didapatkan oleh seseorang hari ini.

Komunikasi melibatkan Kemampuan dan Kemauan
Berkomunikasi yang baik memang memerlukan keterampilan dan latihan. Atau mungkin juga melalui bentukan pengalaman yang memadai dalam hubungan sosial. Dengan kata lain, hubungan sosial yang baik baru dapat dibangun jika seseorang itu memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Kemampuan membangun komunikasi yang baik akan menentukan tingkatan hubungan sosial yang baik pula dalam hubungan manusia. Kemampuan komunikasi yang baik antar manusia akan melahirkan relasi sosial yang harmonis dan saling merasa manfaatnya. Inilah yang melahirkan ilmu komunikasi dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti komunikasi politik dalam bidang politik; komunikasi bisnis dalam bidang ekonomi dan bisnis; komunikasi sosial antarbudaya dalam bidang sosial budaya dan sebagainya.
Semua orang sepakat bahwa kemampuan berkomunikasi yang baik itu sangat penting, karena ia akan sangat menentukan dalam membangun hubungan sosial yang baik dan kebersamaan dalam relasi sosial kehidupan manusia. Akan tetapi ada yang luput dari perhatian banyak orang bahwa selain kemampuan, sebuah komunikasi yang baik juga memerlukan kemauan yang tulus dari seseorang untuk melakukannya. Ini bermakna bahwa mungkin saja seseorang memiliki kemampuan (pengetahuan dan pengalaman) yang memadai untuk membangun hubungan sosial yang baik, akan tetapi dia tidak punya kemauan untuk melakukan itu.
Sebaliknya, banyak orang yang punya kemauan untuk membangun hubungan sosial dan komunikasi yang baik, akan tetapi keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang membuatnya tidak punya kemampuan untuk mewujudkan kemauannya itu. Dan kelompok inilah yang paling dominan dalam kehidupan manusia. Karena itu kemampuan dan kemauan mesti dimiliki oleh setiap orang dalam membangun komunikasi dan hubungan sosial yang baik. Hanya dengan kemauan tentu saja tidak cukup untuk membangun sebuah hubungan sosial dan komunikasi yang baik, meskipun bekal kemauan sangat penting untuk memperbaiki kemampuan komunikasi. Sebaliknya kemampuan komunikasi yang baik juga belum tentu dapat membangun hubungan sosial yang baik dan harmonis jika tidak didukung oleh adanya kemauan mewujudkan hubungan yang baik tersebut. Ini juga merupakan realitas hidup dan komunikasi yang dinamis itu.

Konplik sebagai satu bentuk Komunikasi
Umumnya orang menganggap bahwa konplik terjadi disebabkan ketidakmampuan mewujudkan apa yang menjadi harapan bersama. Atau karena ada sebagian pihak yang merasa dirugikan dari proses komunikasi yang berlangsung. Dalam bentuk sederhana, konplik tersebut terjadi dalam bentuk ketidak-pahaman, ketidak-saling pengertian antara partisipan mengenai apa yang dikomunikasikan. Inilah yang memunculkan apa yang diistilahkan dalam komunikasi sebagai miscomunication, misunderstanding dan semacamnya.
Di lain pihak, seringkali konplik itu sengaja dibangun sebagai bagian dari strategi komunikasi. Ini dapat dilihat dalam berbagai kasus politik, termasuk politik negosiasi dan propaganda. Komunikasi bentuk inilah yang melahirkan propaganda komunikasi, atau komunikasi adu domba, dan semacamnya. Inilah yang jarang dipahami oleh kebanyakan orang sebagai bentuk komunikasi itu sendiri.
Sebagai sebuah strategi komunikasi, konplik dibangun bukanlah untuk tujuan akhir komunikasi, melainkan hanya sebagai strategi antara yang digunakan untuk mewujudkan harapan dan tujuan lebih lanjut. Dengan kata lain, konplik sebagai strategi komunikasi dibangun hanyalah untuk tahapan mencapai tujuan dan harapan yang lebih besar, yakni keberhasilan komunikasi. Akan tetapi mesti diingat bahwa menjadikan konplik sebagai strategi komunikasi bukanlah pilihan yang mudah dan tanpa resiko. Pilihan tersebut sangat sulit dan memiliki banyak resiko. Karena itu pertimbangkan dengan baik segala sesuatunya yang mesti disiapkan untuk mengawal proses komunikasi dari konplik menjadi keharmonisan dan kesepahaman. Dengan kata lain, konplik sebagai strategi komunikasi perlu dikelola dengan baik dan sadar untuk mencapai tujuan komunikasi yang lebih besar. Inilah salah satu alasan yang melahirkan kajian ”managemen konplik” dalam komunikasi.
Mungkinkah konplik dapat diperbaiki menjadi hubungan yang baik dan harmonis dalam komunikasi sosial kita? Jawabannya bisa iya dan juga bisa tidak.
Jawaban iya, apabila adanya kemampuan dan kemauan untuk merubah konplik menjadi keharmonisan. Apalagi jika konplik itu sengaja dibangun untuk sebuah taktik dan strategi komunikasi. Hanya saja prosesnya perlu dikawal dengan baik, dikelola dengan benar, untuk selanjutnya dicairkan menjadi hubungan sosial yang baik dan harmonis. Jika strategi ”konplik” (managemen konplik) dijalankan dengan baik dan berhasil, biasanya akan melahirkan satu hubungan sosial, kesepahaman dan saling pengertian yang sangat kuat diantara partisipan. Hal ini disebabkan adanya proses yang dilalui bersama sehingga memunculkan kesadaran diri masing-masing partisipan untuk mewujudkan keharmonisan dalam hubungan sosial dan komunikasi bersama.
Jawaban tidak, jika konplik yang mestinya sebagai strategi antara berubah menjadi akhir dari proses komunikasi, atau akibat dari sebuah proses komunikasi yang dibangun. Lantas, bagaimana mengelola konplik untuk kepentingan komunikasi itu? Paling tidak beberapa petunjuk berikut mesti diperhatikan dalam menjadikan konplik sebagai suatu strategi dalam mewujudkan tujuan komunikasi yang lebih besar.
Pertama, pastikan hanya ada satu isu yang dijadikan persoalan dan konplik. Sebab dengan demikian konplik tersebut mudah dikawal dan dikelola dengan baik. Meskipun kenyataannya konplik cendrung merambah kemana-mana, melibatkan berbagai isu lainnya. Jika kecendrungan itu terjadi, maka jangan diteruskan sebagai strategi dalam komunikasi. Segeralah untuk kembali hanya kepada satu isu saja yang dipersoalkan.
Kedua, pastikan sisi kemanusiaan dan hubungan sosial lainnya tetap terjaga dan terbangun dengan baik. Dengan kata lain, untuk suatu kepentingan praktis terjadi konplik, akan tetapi hubungan sosial dan kemanusiaan tetap terbangun dengan baik dan saling pengertian. Pada langkah ini, kita dituntut untuk mampu menempatkan diri dan sikap komunikasi pada tempat yang sewajarnya. Bukan semuanya sama rata, dan semuanya menjadi persoalan dan konplik.
Ketiga, jangan menjaga jarak komunikasi yang terlampau jauh, atau membiarkan konplik berlangsung dalam waktu yang panjang (lama). Bangunlah terus komunikasi. Jadikan konplik sebagai alasan membangun komunikasi yang lebih erat, intensif dan semakin tak berjarak. Begitulah sampai hubungan yang beku dan konplik berubah menjadi cair dan hubungan yang harmonis.
Keempat, jangan biarkan pihak-pihak lain mencampuri proses komunikasi dan konplik yang sedang dibangun. Sebab itu akan memperkeruh suasana dan akan merusak strategi yang sudah direncanakan.
Kelima, persiapkan diri dengan kesabaran yang tinggi, sebab strategi komunikasi dalam bentuk ini terkadang memerlukan proses yang panjang dan lama. Bahkan terkadang sangat sulit, sebab selain memerlukan kesabaran, juga diperlukan kecerdasan dan kebijaksanaan dalam mengambil sikap dalam komunikasi ini. Sebab, hidup dan komunikasi itu adalah dinamis. Karena alasan itulah apapun masih mungkin terjadi, termasuk konplik dan komunikasi itu sendiri. Wallahu a`lamu bish shawab.

Seri buku: Hidup & Komunikasi

HIDUP ADALAH KOMUNIKASI


Hidup adalah komunikasi
Tidak ada ruang yang hampa dengan komunikasi
Bahkan kita tidak bisa mengelak dari berkomunikasi
Karena itu, Perbaiki kemampuan dan kemauan untuk berkomunikasi
(Ibrahim, 2008)


Keniscayaan Berkomunikasi

We can,t not to communication, demikian uangkapan para ahli dalam memberikan pandangan betapa komunikasi itu merupakan sesuatu yang tidak bisa tidak. Dari bangun tidur hingga tidur lagi adalah proses komunikasi yang kita lakukan. Karena itu, kita tidak mungkin menghindarkan diri dari berkomunikasi, sebab komunikasi itu adalah kehidupan.
Satu contoh dalam kehidupan sosial, ada seorang ayah yang sedang dilanda masalah dalam keluarganya, kemudiaan ia menyendiri dan menyepi di suatu tempat yang tidak ada satu orang pun bersamanya, dan ia tidak berbicara sepatah katapun dengan keluarga dan anak-anaknya di tempat itu. Pada saat bersamaan, sang anak bertanya dan mencari dimana ayahnya. Oleh ibunya dipahamkan bahwa ayah sedang menenangkan diri, menyendiri dan tidak mau diganggu. Jadi biarkan ayah sendiri, dan jangan menemuninya dulu, ibu mengingatkan pada anaknya.
Sekilas contoh di atas memberikan pemahaman bahwa sang ayah sedang tidak mau berkomunikasi dengan keluarganya. Akan tetapi sebenarnya prilaku sang ayah tersebut tidak lain juga adalah komunikasi dalam bentuk tersendiri. Contoh tersebut menunjukkan apa yang dilakukan oleh seorang ayah yang menyendiri dan menyepi, dapat dipahami oleh isteri dan anaknya sebagai bentuk penenangan diri dan perasaan duka sang ayah, karena itu mereka membiarkannya dan tidak menemui sang ayah pada saat itu. Bukankah kesepahaman tersebut merupakan proses komunikasi yang sudah berlangsung diantara sang ayah dengan keluarga? Meskipun komunikasi tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan lambang, bahasa dan kata-kata, atau mungkin tidak dimaksudkan (secara sengaja) sebagai berkomunikasi.
Contoh lain misalnya, ada seorang lelaki yang lewat di depan anda dengan pakaian yang rapi, berjas dan berdasi, di tangannya tertenteng sebuah tas kecil warna hitam sambil menuju ke mobilnya di halaman parkir. Dia tidak berbicara sedikitpun, seperti halnya anda juga tidak menyapa sepatah katapun kepadanya. Akan tetapi dalam perasaan anda terlintas penilaian terhadap orang tersebut sebagai pemuda yang ganteng, sepertinya dia itu seorang eksekutif muda, atau apa saja. Pada saat itulah komunikasi sebenarnya sudah berlangsung diantara seorang lelaki itu dengan anda yang melihatnya. Disinilah komunikasi mesti dipahami sebagai perilaku yang terjadi bukan saja karena adanya tujuan yang terencana dan kesengajaan (Gerard L. Miller), melainkan apa saja yang bisa menimbulkan pengertian dan pemahaman diantara partisipan, meskipun tanpa rencana dan disengaja (Alek Gode).
Sebagai sebuah perilaku yang di sengaja dan terencana, komunikasi mungkin akan dapat berlangsung dengan baik diantara para partisipannya. Sebab semua aspek komunikasi sudah dipertimbangkan terlebih dahulu sebelumnya. Kepada siapa komunikasi itu dilangsungkan, apa yang akan dibicarakan, bagaimana cara membicarakannya, media apa saja yang dipilih untuk digunakan, apa tujuannya dan lain sebagainya. Meski komunikasi dalam bentuk ini cendrung struktural dan kaku, akan tetapi dia berlangsung dalam bingkai tertentu yang sudah direncanakan oleh komunikan. Dan tentunya, ada pengaruh yang akan muncul dari perilaku komunikasi tersebut dengan prediksi yang dibuat dalam merencanakan komunikasi itu sebelumnya.
Persoalannya adalah pada perilaku komunikasi yang tidak terencana dan tidak disengaja, akan tetapi ia berlangsung ketika adanya pihak yang menafsirkan, memahami dan menilai terhadap suatu perilaku, simbol dan isyarat yang muncul sebagaimana digambarkan dalam beberapa contoh di atas. Dalam bentuk ini, komunikasi lebih bermakna melalui ekpresi, penampilan dan isyarat, bukan melalui kata-kata verbal.
Sebagai satu bentuk perilaku komunikasi yang tidak direncanakan dan tidak disengaja, tidak jarang kita mengabaikannya. Akibatnya adalah terjadinya miskomunikasi diantara pastisipan. Atau paling tidak, terjadinya pemahaman yang keliru terhadap paket simbol, isyarat dan penampilan pisik yang ditampakkan. Padahal komunikasi dalam bentuk ini justru lebih banyak terjadi dalam hubungan sosial kemanusiaan dan lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan komunikasi dengan kata-kata (verbalistik).

Kebiasaan hidup juga paket komunikasi
Kita masih teringat betul dengan beberapa streotip antar kelompok budaya masyarakat etnis di Kalimantan Barat yang berkaitan langsung dengan perilaku hidup dan kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkan. Pada sebagian masyarakat kita yang gemar membawa celurit dipahami oleh sebagian yang lain sebagai perilaku yang dekat dengan kekerasan. Padahal mungkin saja karena kehidupannya memang akrab dengan celurit itu, karena kebiasaannya mesti mencari rumput setiap hari untuk makan ternak, dan sebagainya.
Begitupun halnya ketika kita berjalan di pasar misalnya, di sana kita melihat ada beberapa orang pemuda berambut panjang, berkulit hitam dengan tato di badan. Mereka memang tidak menyapa kita, akan tetapi dengan seketika kita mudah memberikan penilaian dan pemahaman terhadap sekelompok pemuda tersebut sebagai preman pasar, atau kelompok yang mesti dihindari. Padahal mungkin saja penampilan tersebut adalah sebuah perilaku yang biasa-biasa saja dalam komunitas sosial mereka, apalagi di tengah kehidupan pasar yang keras dan kejam.
Lantas, apakah salah jika kita memberikan penilaian awal dalam proses komunikasi tersebut? Apakah mesti ada proses komunikasi yang demikian? Bagaimana sikap komunikasi yang mesti dilakukan? Penilaian awal (prediksi dan persepsi) pasti akan selalu ada dalam setiap komunikasi. Persoalannya adalah prediksi dan persepsi tersebut tidak cukup untuk memberikan konsepsi apalagi justifikasi yang utuh dan final terhadap seseorang dalam proses komunikasi. Karena itu untuk memperoleh konsepsi dan justifikasi yang benar terhadap seseorang, prediksi dan persepsi awal komunikasi mesti dibuktikan (dilanjutkan) dalam proses komunikasi yang baik. Di sinilah kemungkinan persepsi awal akan dibenarkan atau bahkan mungkin berubah karena proses komunikasi.
Jika ditanya di mana kesalahan komunikasi yang berhenti pada persepsi dan konsepsi awal? Yang salah dalam komunikasi itu ialah pengetahuan (frame of reference) dan pengalaman (field of eksperience) diri kita yang menjadi dasar pemahaman sepihak untuk menilai satu perilaku tertentu sebagai tidak baik dan salah, tampa mampu melihat latar belakang sosial dan pertimbangan dari orang lain yang memiliki kebiasaan tersebut. Karena itu sikap yang mesti diambil adalah, berangkatlah menilai satu perilaku dan kebiasaan orang lain dari latar belakang sosial mereka dan petimbangan-pertimbangan yang menyebabkan mereka itu melakukannya, dan bukan hanya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman kita yang dangkal terhadap orang lain.
Dengan kata lain, kita selalu menilai bahkan menghakimi orang lain dengan perspektif hukum kita. Padahal mereka juga mempunyai perpektif hukum dan penilaian tersendiri dan berbeda dengan kita. Sebab mungkin perilaku kita juga akan tidak baik jika dinilai dari perspektif hukum mereka. Disinilah komunikasi mesti dibangun dengan proporsional dan adil. Sebab hanya dengan cara inilah kita bisa menempatkan perilaku komunikasi (khususnya yang tak terencana dan tak disengaja) pada tempat yang sebenarnya. Dan dengan cara ini pula kita mesti menyadari bahwa tidak ada kehidupan dan kebiasaan hidup kita yang bebas dari komunikasi, karena itu kehidupan dan kebiasaan tersebut mesti sadari dan dipahami maknanya.

Gagal & Sukses karena Komunikasi

Tidak sedikit orang di dunia ini yang berhasil menikmati kejayaan hidupnya karena komunikasi. Akan tetapi juga banyak orang di dunia ini yang gagal dan prustasi hidupnya karena komunikasi. Mengapa? Dan bagaimana itu bisa terjadi?
Jika kita kembali pada makna komunikasi yang sebenarnya adalah sebagai bentuk menghubungkan pesan, harapan dan maksud diantara para partisipan, maka keberhasilan proses inilah yang akan menghantarkan seseorang pada kesuksesan atau kegagalan. Jika pesan, harapan dan maksud yang diinginkan berhasil didapatkan dengan komunikasi yang dibangunnya, maka tentu saja kesuksesan yang akan diraih oleh seseorang itu. Sebaliknya, jika ia tidak memperoleh apa yang diharapkan dengan proses komunikasi yang dilangsungkan maka, kegagalanlah yang didapatkannya. Atau lebih ekstrim lagi adalah proses komunikasi itulah yang menyebabkan bencana dan petaka pada seseorang sebagaimana yang terjadi dalam rangkaian komunikasi pasukan Jepang dan pasukan Sekutu pada saat peperangan dunia kedua. Sekutu keliru dalam memahami istilah “makusatsu” sebagai pembangkangan Jepang untuk menyerah kepada Sekutu dalam perang dunia kedua (lihat ceritanya dalam Ibrahim, 2005).
Banyak bukti yang bisa ditunjukkan untuk menggambarkan betapa komunikasi yang baik telah menjadikan banyak orang sukses dalam hidupnya. Sebut saja dalam dunia politik misalnya, komunikasi yang baik dan efektif akan menjadi penentu karir seseorang sebagai pemimpin politik. Hanya orang yang bisa membangun komunikasi yang baik dengan masyarakatlah yang akan memegang tampuk kepemimpinan politik.
Kaitannya dengan kegagalan dan kesuksesan dalam hidup seseorang, tidak ada satu orangpun yang dapat memutuskannya, melainkan itu merupakan upaya sendiri yang dibangun dan terus diperjuangkan. Untuk mewujudkan inilah diperlukan strategi mengerahkan semua potensi pribadi yang dimilikinya. Salah satu upaya yang mungkin dilakukan untuk mengerahkan potensi tersebut adalah dengan komunikasi. Bangunlah kemampuan komunikasi pribadi yang baik, satu bentuk komunikasi yang mampu menghadirkan harapan, maksud dan keinginan dari proses sosial yang dilakukan.
Orang-orang yang sukses dalam hidupnya, selalu dimulai dari kesuksesannya membangun sebuah komunikasi. Dalam dunia akademis misalnya, komunikasi yang baik (baik verbal maupun non verbal) akan menentukan penguasaan seseorang dengan keilmuannya, dan pada akhirnya menjadikan seseorang itu dapat bersaing dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Begitupun dalam bidang politik, hanya dengan kemampuan komunikasi politik yang baiklah yang bisa menghantarkan seseorang pada kedudukan politik yang strategis. Apalagi dalam sistem politik demokrasi yang melibatkan banyak massa dalam pengambilan keputusan. Meskipun dalam banyak contoh, komunikasi politik yang dibangun oleh para elit bangsa ini lebih pada manuver politik semu dan palsu, namun itu menunjukkan bahwa komunikasi memiliki peran penting dalam semua itu.
Begitupun sebaliknya, beberapa tokoh politik yang gagal meraih simpatik masyarakat pemilih untuk menduduki satu posisi penting dalam pemerintahan dikarenakan mereka gagal membangun komunikasi politik yang baik. Komar (anggota DPPR RI) misalnya yang gagal meraih kursi Bupati Tuban pada tahun 2003 lalu mengakui bahwa kegagalannya disebabkan kurangnya waktu untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat pemilih (Sumber: apa kabar Indonesia pagi TVone, 9 Agustus 2008 ). Atau Yuli Nursanto, mantan calon Bupati Ponorogo yang gagal dalam pemilu tahun 2006 lalu (TVone, 9 Agustus 2008). Kegagalannya menjadi Bupati bukanlah proses yang terjadi begitu saja, melainkan disebabkan ia telah gagal membangun komunikasi politik dengan massa pemilih. Ia juga gagal memahami kecendrungan masa pemilihnya sebagai komunikan politik. Dengan komunikasi yang keliru, Yuli rela mengeluarkan banyak biaya, menggadaikan kekayaan dan perusahannya, bahkan berhutang miliaran rupiah demi keinginannya berkuasa di dunia politik. Namun ia gagal dan akibatnya adalah stress berat yang dialaminya hingga mengharuskan ia menjadi penghuni setia rumah sakit jiwa.
Kegagalan dan kesuksesan dengan komunikasi sesungguhnya terjadi dalam setiap aspek kehidupan. Tidak seorangpun yang sukses dalam hidupnya tampa didukung oleh kemampuannya dalam berkomunikasi. Sebaliknya tidak sedikit orang yang potensial namun gagal dalam hidupnya disebabkan ketidak-mampuannya membangun komunikasi yang baik. Percaya atau tidak, kita semua bisa mencari bukti dari semua ini.

Komunikasi: berangkat dari Pengalaman
Setiap orang mempunyai pengalaman, dan setiap pegalaman itulah yang akan membedakan seseorang dengan orang lain. Dengan pengalaman inilah seseorang bisa memaknai apa saja, dan dengan pengalaman seseorang mampu mengenal orang lain. Dengan pengalaman seseorang mempunyai tatanan nilai yang dijadikan untuk melihat, mengenal dan menafsirkan sesuatu. Karena dengan pengalamanlah setiap orang dapat membuat persepsi dan konsepsi terhadap apa yang ia lihat, ia dengar dan ia hadapi. Pengalaman inilah yang dikenal dengan istilah field of eksperience dan frame of reference (Ibrahim, 2005).
Field of Eksperience merupakan satu bentuk pengetahuan manusia terhadap apa yang pernah dialaminya dalam hidup, baik dalam diri pribadi, lingkungan keluarga, maupun masyarakat. Pengetahuan yang dialaminya inilah yang selalu menjadi acuan setiap orang dalam menilai dan memberikan identitas terhadap sesuatu yang ditemuinya. Kita seringkali menilai suatu perbuatan itu tidak baik dikarenakan pengalaman hidup kita menyebutnya tidak baik. Sebaliknya, seringkali kita menilai sesuatu sebagai baik dan menarik, karena pengalaman kita mendapati hal itu baik dan menyenangkan.
Denis Berkhamm, mantan pemain sepak bola Internasional Belanda yang mengakhiri karirnya bersama Arsenal, lebih memilih mengendarai kendaraan mobil pribadinya dari Belanda ke Inggris dibandingkan dengan naik pesawat terbang. Hal ini disebabkan Berkhamm punya pengalaman yang mengerikan dengan kecelakaan pesawat yang membuat ia trauma untuk tidak lagi mau menaiki pesawat terbang. Padahal ia sendiri menyadari betapa tenaganya terkuras dan kecapean menghadapi pertandingan disebabkan perjalanannya yang jauh dan selalu menggunakan jalan darat. Pada sebagian besar orang, pesawat adalah pilihan transportasi yang paling elit dan prestise.
Sementara frame of reference merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang secara kognitif dalam hidupnya, baik melalui pendidikan formal, tuntunan nilai-nilai adat, budaya dan agama. Dengan pengetahuan itulah setiap orang akan melihat dan menilai sesuatu yang ditemui dalam hidupnya. Karena itu, semakin luas pengetahuan (kognitif) seseorang, maka akan semakin kaya pengetahuan yang dapat dipilihnya dalam menilai sesuatu.
Sebaliknya, pengetahuan yang sempit dan terbatas cendrung akan membuat seseorang kaku dalam berkomunikasi. Ia tidak mempunyai banyak pengetahuan untuk menyaring dan memilih cara dan informasi dalam berkomunikasi. Orang dalam kelompok ini akan lebih mudah tersinggung jika dihadapkan pada suasana baru dan jarang ditemui dalam proses komunikasi. Orang ini lebih dekat terjerumus dalam apa yang disebut dengan gagap budaya (culture shock).
Dengan kata lain field of eksperience dan frame of reference menjadi penentu karakter sebuah komunikasi yang akan dibangun oleh setiap kita. Disinilah sebenarnya pentingnya pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang baik sebagai titik berangkat dalam membangun komunikasi yang berlangsung dalam hubungan sosial kemanusiaan.

Komunikasi: Membangun wadah KITA
Berkomunikasi pada prinsipnya bukanlah pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti apa yang kita pikirkan, melainkan mendekatkan pikiran kita dengan pikiran orang lain (Ibrahim, 2005). Karena itu orang berkomunikasi senantiasa menggunakan berbagai media dan simbol yang dipandang mampu mewakili apa yang dipikirkan, dilihat dan dirasakan untuk dibagi kepada orang lain dalam satu proses interaksi. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, pilihan simbol dan lambang tertentu pada dasarnya bukanlah itu sesungguhnya yang dipertukarkan dalam proses komunikasi tersebut, melainkan maknalah yang dipertukarkan di antara partisipan. Simbol atau lambang yang sama mungkin saja mempunyai makna atau dimaknai secara berbeda oleh komunikator dan komunikan.
Sebaliknya, pemberian makna yang sama terhadap satu simbol atau lambang yang digunakan itulah yang diharapkan dalam setiap proses komunikasi yang dilangsungkan. Pertukaran makna seperti inilah yang disebut dengan proses komunikaksi yang efektif dan berhasil, ketika didapatkannya pemaknaan yang sama. Karena itu, pilihan simbol dan lambang dalam komunikasi menjadi bagian yang sangat penting dalam komunikasi. Apalagi dalam kontek antarbudaya, dimana setiap orang memiliki seperangkat pengalaman dan pengetahuan yang berbeda dalam melihat, memandang dan menafsirkan sesuatu, termasuk simbol dan lambang komunikasinya. Inilah yang melahirkan istilah word don`t mean peoples means, satu istilah yang mengingatkan kita bahwa kata (sebagai simbol & lambang komunikasi) tidak mempunyai makna apa-apa, melainkan manusia yang menggunakannya lah yang memberikan makna pada simbol/lambang tersebut dalam proses komunikasi.
Sebagai sebuah substansi komunikasi, pertukaran makna yang sama dari simbol-simbol yang digunakan dalam proses komunikasi, pada dasarnya komunikan sedang membangun satu wadah konsepsi dan pemahaman bersama. Simbol atau lambang yang digunakan pada mulanya memang ditentukan oleh seorang komunikator, kemudiaan lambang itu dipahami dan ditafsirkan oleh komunikan sebagai suatu pesan yang bermakna, dan makna itulah sesungguhnya wadah bersama antara pasrtisipan tersebut.
Dalam setiap proses komunikasi, wadah (pemaknaan) itu bukan lagi ada pada komunikator atau komunikan saja, melainkan kedua-duanya. Dengan kata lain, antara komunikator dan komunikan mesti bersedia untuk meninggalkan sarang (pemaknaannya) masing-masing menuju wadah baru yang diciptakan bersama dengan orang lain. Itulah yang disebut sebagai wadah KITA sebagaimana digambarkan dalam diagram proses komunikasi di bawah ini.

Diagram proses pertukaran makna dalam komunikasi
a1 a2 b2 b1
A:saya KITA anda:B

Analisis: Ibrahim, 2008.
Legenda: komunikasi sebagai proses membangun wadah kita (pemaknaan yang sama antara komunikator A dan komunikan B) jika penafsiran yang diciptakan keduanya mengambil posisi yang semakin mendekatkan antara posisi A dan B (a1. a2, atau b1 dan b2), maka semakin baiklah wadah bersama yang dibangun. Sebaliknya komunikasi yang baik bukanlah keharusan A yang mengikuti konsepsi B atau sebaliknya, melainkan keduanya harus bertemu di a1 atau a2 atau b1 atau b2. inilah yang disebut komunikasi membangun wadah kita.

Dari gambaran di atas jelas bahwa proses komunikasi yang baik mensyaratkan setiap partisipan bersedia untuk meninggalkan posisinya masing-masing menuju satu wadah kesepahaman dan pemaknaan yang diciptakan bersama. Kesepahaman dan pemaknaan baru yang diciptakan bersama itulah yang disebut dengan wadah KITA, bukan lagi wadah saya (A) atau wadah anda (B). Sebab, jika wadah saya (A) yang masih diandalkan, maka saya cendrung memaksakan anda untuk masuk dan mengikuti pikiran dan kehendak saya sendiri. Sebaliknya jika wadah anda (B) yang digunakan, maka anda juga mengharuskan saya untuk masuk dan mengikuti semua kehendak anda dengan tampa kompromi sedikitpun. Akan tetapi dengan wadah baru yang diciptakan bersama, disitulah terjadinya kompromi dan negosiasi makna diantara partisipan menjadi pemahaman bersama sebagai wadah KITA.
Terjadinya konflik dalam hubungan pribadi, sosial dan budaya sangat ditentukan dengan paktor ini, dimana setiap partisipan tidak mampu atau mungkin tidak mau untuk keluar dari wadah (sarang) nya untuk kemudiaan menciptakan wadah bersama, yang memang diciptakan bersama menjadi wadah KITA.

Komunikasi: Belajar untuk Menghargai
Sebagai sebuah proses pertukaran makna, maka komunikasi juga sebenarnya adalah proses negosiasi dan kompromistis antara partisipan tentang makna tertentu yang dikehendaki. Bedanya adalah negosiasi dan kompromi itu terjadi melalui pengalaman (field of eksperience) dan latar belakang pengetahuan (frame of reference) partisipan. Sebagai sebuah bentuk negosiasi dan kompromistis, mungkin saja terjadi perbedaan kehendak yang mendasar antarpartisipan, dimana keduanya mempunyai pemahaman dan pemaknaan yang sangat jauh berbeda, meskipun proses komunikasi yang baik sudah dijalankan. Karena itu komunikasi pada tahap ini juga mesti dipahami sebagai proses belajar untuk menghargai perbedaan tersebut.
Sikap yang tidak mau menghargai perbedaan itu merupakan ancaman bagi hubungan sosial dan komunikasi. Sikap inilah yang menumbuh-kembangkan rasa etnosentrisme dan deskriminatif yang puncaknya adalah konflik karena “alasan perbedaan”. Ekstrimnya, sikap ini menjadikan perbedaan sebagai persoalan baik buruk, benar salah, karena itu perbedaan mesti hindari atau bahkan dimusnahkan. Jika sikap ini yang muncul, maka komunikasi yang merupakan proses penghargaan terhadap perbedaan menjadi kehilangan substansinya. Komunikasi bukan lagi ditempatkan sebagaimana mestinya untuk membangun kesefamahan dan toleransi, melainkan pemberangusan terhadap perbedaan untuk mewujudkan keseragaman. Akibat lebih jauh adalah pecahnya konflik pisik terbuka sebagaimana dalam sejarah politik orde baru dan konflik etnis di beberapa daerah di Indonesia. Inilah beberapa hal menurut penulis yang mesti disadari dan dipahami secara baik oleh setiap kita dalam membangun proses komunikasi yang baik dan efektif dalam hubungan sosial dan kemanusiaan, khususnya di bumi Kalimantan Barat. Wallahu a`lamu bish shawab.