Sabtu, 19 Desember 2015

Sinopsis buku "Dakwah dalam Kemasan Media"



Draff buku yang segera diluncurkan oleh penerbit IAIN Press untuk menutup akhir tahun dengan edisi cetak Desember 2015

Sebagai sebuah karya dari hasil penelitian ilmiah, setidaknya ada tiga hal penting yang mendasari kelahiran buku ini ke hadapan pembaca yang budiman. Pertama, Dari aspek materi, buku ini menyuguhkan sebuah bentuk pengemasan berita dakwah yang kreatif dan inovatif melalui media massa, khususnya media Online. Kemampuan mengemas pesan dakwah yang “menarik” di media menjadi kunci bagi kesuksesan gerakan dakwah di era modernisasi media TIK saat ini.
Kedua, dari aspek media, perkembangan TIK yang begitu pesat terkesan memiliki daya tarik yang luar biasa bagi umat saat ini. Karena itu, pejuang dakwah mesti berani mengambil peluang untuk memanfaatkan media secara maksimal untuk kepentingan dakwah yang lebih inovatif dan kreatif kedepan. Dengan begitu, gerakan dakwah yang ditawarkan tidak lagi “kalah menarik” dibandingkan program siaran di media (TIK) yang terus booming.
Ketiga, dari aspek metodologi, penggunakan cara kerja content analisys dalam mengkaji isi pesan media (sebagaimana dalam buku ini), sesungguhnya dapat menjadi model atau contoh bagi lahirnya penelitian-penelitian serupa dalam bidang ilmu komunikasi, khususnya analisis isi pesan media, semoga...

Sinopsis buku "Makan `Tal` dalam Tradisi Melayu



Draff buku yang disiapkan untuk menyambut tahun baru 2016, dengan edisi Cetak Januari 2016 (IAIN Press)
 
`Makan tal` adalah salah satu tradisi yang masih diamalkan oleh banyak masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Tradisi ini dilakukan berkaitan dengan kelahiran seorang anak bayi dalam sebuah keluarga. Tradisi ini dipercayai oleh masyarakat Melayu Nanga Jajang sebagai berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan bayinya hingga masa menyusui selesai. Karena itu, tradisi ini lebih identik dengan praktek menjaga kesehatan ibu dan bayi secara tradisional. Setidaknya ada tiga jenis `makan tal` dalam tradisi budaya masyarakat Melayu Nanga Jajang, yakni `tal angat` (panas), `tal colap` (dingin), dan `tal ntaradua` (sedang).
Kajian mengenai `makan tal` dalam tradisi masyarakat Melayu Nanga Jajang memiliki arti penting dalam rangka memahami, mempelajari dan melestarikan salah satu kearifan lokal masyarakat dalam memelihara kesehatan ibu dan bayinya. Karena itu, perspektif kajian ilmu komunikasi budaya, mendapati sedikitnya ada 7 nilai yang terkandung dalam tradisi `makan tal`, yakni; untuk pemulihan kesehatan ibu setelah melahirkan, untuk memperbanyak ASI, untuk kesehatan anak bayi, untuk menjaga keseimbangan alam, bernilai ekonomis, untuk menjaga kesehatan secara alamiah, serta untuk memelihara identitas diri dan keturunan.

Jumat, 24 April 2015

Seri Kajian Pantang Larang Melayu



PANTANG LARANG & PENGAJARAN KESEIMBANGAN HIDUP
Satu Kajian pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang, Ulu Kapuas

Oleh: Ibrahim MS
Artikel yang disampaikan dalam Kolokium Internasional Khazanah Pendidikan di Alam Melayu, di ATMA, Universiti Kebangsaan Malaysia, 24-25 Juni 2014



Abstrak

Orang Melayu dikenal sebagai masyarakat yang  kental akan adat dan tradisi budaya. Satu diantara tradisi yang masih terus hidup dan berkembang pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang adalah Pantang Larang. Sebagai sebuah produk dari sistem sosial dan budaya yang hidup dalam masyarakat, Pantang Larang bukanlah semata-mata warisan tradisi, melainkan mengandung nilai – nilai pengajaran yang penting dalam kehidupan, yakni tentang keseimbangan hidup dalam masyarakat Melayu. Berdasarkan analisis terhadap Pantang Larang dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang, didapati setidaknya dua katagorisasi pengajaran keseimbangan hidup; Berdasarkan isi, Pantang Larang mengajarkan keseimbangan hidup dalam hubungan dengan Tuhan (hablumminallah), hubungan dengan alam, dan hubungan dengan sesama manusia (hablumminannas). Berdasarkan proses, Pantang Larang itu sesungguhnya satu bentuk komunikasi (strategi) yang digunakan oleh orang-orang tua dalam memberikan pendidikan dan pengajaran hidup kepada anak dan generasi mudanya, yang dalam ilmu komunikasi modern identik dengan strategi komunikasi dua tahap (two step flow of communication). 

Kata kunci: Pantang Larang, nilai pengajaran, keseimbangan hidup















A.    Pendahuluan
Pada prinsipnya, manusia hidup dalam tatanan sosial dan budaya yang mereka ciptakan sendiri. Karena itu dapat dipastikan setiap manusia–komunitas apapun-senantiasa memiliki apa yang dikenal dengan tatanan sosial dan budaya yang bukan saja mereka ciptakan, akan tetapi menjadi panutan dan sistem nilai dalam kehidupan. Tatanan sosial dan budaya inilah yang pada akhirnya membangun aturan, norma, dan sistem nilai dalam hubungan sosial diantara mereka. Termasuk menjadi rujukan nilai dan ukuran tentang sesuatu yang disebut baik atau tidak baik, sopan atau tidak sopan, boleh atau tidak boleh, dan berbagai ketentuan normatif lainnya.
Berdasarkan kesadaran akan tatanan sosial dan budaya inilah pada akhirnya kita mengenal beragam tradisi, adat istiadat dan budaya yang hidup dan dipelihara oleh sesebuah masyarakat, termasuklah Pantang Larang dalam konteks ini. Sebagai wujud dari sebuah tatanan sosial dan budaya yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat, Pantang Larang memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Melayu Nanga Jajang. Bahkan menurut Ibrahim dkk (2012), Pantang Larang adalah salah satu tatanan sosial dan budaya yang masih eksis dan terus diamalkan oleh sebagian besar masyarakat Melayu Nanga Jajang. Hal ini disebabkan Pantang Larang masih dipandang sebagai memiliki muatan nilai/pengajaran yang penting mengenai keseimbangan hidup masyarakat Melayu. Apa saja Pantang Larang dimaksud, bagaimana fungsi dan kedudukannya, serta nilai keseimbangan hidup yang bagaimana dapat ditemukan dalam pengajaran Pantang Larang Melayu di Nanga Jajang? Itulah antara aspek penting yang dibincangkan lebih lanjut dalam tulisan ini.

B.     Deskripsi Kawasan Kajian
Nanga Jajang sebagai kawasan kajian ini adalah sebuah pemukiman kecil setingkat dusun, yang terletak jauh di pedalaman Ulu Kapuas. Jika diukur dari Pontianak, Nanga Jajang  berada pada 800 kilometer lebih ke arah timur Provinsi Kalimantan Barat. Dari kota Kabupaten Kapuas Hulu (Putussibau), Nanga Jajang berada pada jarak 100 an kilometer. Untuk sampai ke sana dari pontianak bisa memakan masa hingga satu hari semalam menggunakan bis dengan kondisi jalanan yang rusak seperti saat ini. Jika kondisi jalannya agak mulus, dari Pontianak ke Nanga Jajang dapat ditempuh dalam masa 14-15 jam perjalanan.
Secara administratif, Dusun Nanga Jajang adalah bagian dari Desa Karya Jaya, Kecamatan Pengkadan, Kabupaten Kapuas Hulu. Sebagai sebuah pemukiman kecil setingkat dusun, Nanga Jajang hanya didiami oleh lebih kurang 360 jiwa, dengan mayoritas penduduknya adalah Melayu dan beragama Islam (Ibrahim dkk, 2012).

C.    Masyarakat Melayu di Nanga Jajang
Sebagaimana lazimnya masyarakat Melayu pada umumnya, berbagai adat istiadat, budaya dan tradisi juga masih mewarnai dalam sebagian besar kehidupan sosial masyarakat. Bahkan sejarah memetakan bahwa sistem sosial masyarakat Melayu sangat terikat dengan adat istiadat dan tradisi yang diwarisi turun temurun (Ibrahim, 2013). Segala sistem nilai dan norma yang menentukan pemikiran dan pola tingkah laku masyarakat Melayu sebenarnya telah diperturunkan melalui proses pembudayaan atau sosialisasi daripada generasi tua kepada generasi muda zaman berzaman (Mohd. Kamaruddin, 2005: 69). Menurutnya, proses sosialisasi ini dilakukan oleh keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Segala sistem hidup mereka kuat berakar kepada nilai dan norma Islam yang mementingkan kesejahteraan sosial wujud dalam masyarakat.
Dengan demikian kita dapat memahami bahwa budaya atau kebudayaan adalah meliputi keseluruhan cara hidup orang Melayu, termasuk adat tradisi dan akal budinya (Noriah Mohamed, 2009: 76). Sebab itu makna adat dengan budaya bagi orang Melayu saling melengkapi. Orang Melayu sering merujuk fenomena budayanya dengan ungkapan ”ini adat kami” (Kamaruddin, 2005: 70).
Kemajuan pembangunan yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta sumber daya manusia yang semakin meningkat, tidak serta merta menghilangkan tradisi sosial dalam masyarakat. Banyak dari tradisi dan budaya masyarakat yang masih bisa bertahan dan terus hidup hingga saat ini. Sebagai contoh tradisi robo`-robo` yang masih eksis dilakukan oleh masyarakat Melayu di Pontianak dan Mempawah (Tribune Pontianak, 2013), tradisi saprahan oleh Melayu Sambas (Erwin & Andi Gidang, 2010). Kemudian untuk masyarakat Melayu di Nanga Jajang, kita masih menemukan banyak tradisi budaya yang masih eksis dan dipraktikkan seperti topung tawar (Ibrahim MS, 2010a), tradisi besunat kampung (Ibrahim MS, 2010b), tradisi pangil (Ibrahim MS, 2013), pantang larang (Yusriadi, Ibrahim MS, & Zaenuddin, 2009), hingga `makan tal`  pada Melayu Kapuas Hulu Melayu di Nanga Jajang (Ibrahim MS, 2013).
Sebagai salah satu tradisi budaya yang masih eksis dalam masyarakat, Pantang Larang dipercayai memiliki berbagai nilai penting bagi kehidupan masyarakat pengamalnya, diantaranya pengajaran mengenai keseimbangan hidup yang belum pernah dijadikan fokus kajian selama ini. Yusriadi, dkk (2009) pernah mengkaji Pantang Larang Melayu Nanga Jajang dari aspek komunikasi, yakni kearifan orang-orang tua dalam membangun komunikasi melalui pantang larang yang mereka ciptakan. Mengingat belum adanya kajian yang memberikan fokus aspek pendidikan/pengajaran, maka kajian mengenai nilai-nilai pendidikan dalam Pantang Larang Melayu menjadi tema yang sangat penting dibincangkan secara akademis dan ilmiah.

D.    Pantang Larang dalam Masyarakat
Pantang larang secara bahasa adalah segala yang dipantang dan dilarang. Karena itu, Pantang Larang dipahami sebagai “sesuatu yang tidak baik untuk dikerjakan, karena itu sebaiknya pekerjaan itu ditinggalkan”. Secara istilah pantang larang itu adalah “tidak melakukan sesuatu dalam kehidupan karena dapat mendatangkan kemudaratan bagi pelakunya. Menurut Wikipedia, pantang larang dimaknai sebagai tidak boleh melakukan sesuatu dalam kehidupan dikarenakan alasan kesehatan, kebiasaan dan keyakinan (Wikipedia.org., akses, 9/06/14). Makna serupa dapat ditemui dalam istilah Pamali (lihat Indospiritual.com., akses 9/06/14).
Untuk dapat memahami dengan baik menenai pantang larang dalam masyarakat, khususnya pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang, setidaknya ada dua hal yang menjadi tumpuan perbincangan berikut ini, yakni; asal usul lahirnya pantang larang dan klasifikasi Pantang Larang (fungsi dan kedudukannya) itu sendiri.
1. Asal Usul Lahirnya Pantang Larang
Secara jelas memang tidak ditemukan data mengenai asal usul lahirnya Pantang Larang dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Hal ini disebabkan kebanyakan masyarakat saat ini menerima Pantang Larang dalam tradisi hidup mereka begitu saja dari orang-orang tua mereka. Mereka lebih banyak hanya sebagai pewaris dari tradisi Pantang Larang yang ada. Karena itu ketika peneliti tanyakan dari mana asal usul pantang larang itu sebenarnya? Mereka hanya bisa menjawab bahwa itulah yang mereka dapatkan dari orang-orang tua mereka.
Untuk menjelaskan pandangan masyarakat Melayu dengan Pantang Larang yang mereka warisi, kebanyakannya hanya mencoba untuk selalu menghubungkan antara pantangan dan peristiwa hidup yang mereka lalui. Dengan kata lain, apa yang dianggap masyarakat sebagai akibat dari Pantang Larang itu mereka yakini dari peristiwa hidup yang dialami oleh masyarakat.
Berdasarkan data yang demikian, maka dapat dijelaskan bahwa Pantang Larang yang hidup dalam tradisi sosial masyarakat Melayu Nanga Jajang umumnya berasal dari budaya dan tradisi sosial masyarakat Melayu setempat. Budaya dan tradisi sosial inilah yang selanjutnya dipengaruhi oleh nilai-nilai agama dan moral seperti larangan melangkahi al-Qur`an, larangan melewati di depan orang yang sedang shalat, dan sebagainya. Begitupun pengaruh moral dan akhlak sosial yang banyak dijumpai dalam pantang larang orang Melayu di Nanga Jajang seperti `tidak boleh makan sambil berjalan`, `tidak boleh duduk di depan pintu`, `tidak boleh bersiul di malam hari` dan sebagainya.
Hasil wawancara di lapangan juga mendapati bahwa umumnya Pantang Larang diwirisi secara turun temurun dari orang-orang tua mereka. Pada sebagian informan juga ada yang mengakui bahwa Pantang Larang yang diketahuinya didapatkan dari kampung lain, Azmi (KP: 3 Oktober 2009) misalnya menyebutkan pantangan dalam `menugal padi di uma na tau betangkup, tapi harus ada lubang penyawa`[1]. Ada juga yang mengakui mendapatkan Pantang Larang dari buku yang didapatkannya di kampung lain, Ali (KP: 4 Oktober 2009) misalnya menyebutkan pantangan tentang hari-hari yang baik untuk melakukan sesuatu dalam kehidupan.
Dengan demikian jelas bahwa Pantang Larang yang hidup dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang umumnya berasal dari tradisi budaya yang diwarisi secara turun temurun dari orang-orang tua mereka. Meskipun sebagian kecil lainnya mempercayai Pantang Larang yang mereka dapatkan di kampung-kampung Melayu lainnya, dan bahkan dari bacaan-bacaan buku.
2. Klasifikasi Pantang Larang: Fungsi dan Kedudukannya
Sebagai sebuah tradisi yang tumbuh dalam masyaraat, Pantang Larang memiliki nilai yang sangat beragam. Bahkan Yusriadi dkk (2009) memberikan lima klasifikasi pantang larang yang meliputi; persoalan keselamatan jiwa, persoalan waktu, persoalan tempat, jenis kelamin, serta pekerjaan dan aktivitas. Artinya, hampir semua aspek hidup dan kehidupan masyarakat memiliki keterkaitannya dengan Pantang Larang yang hidup dalam tradisi sosial mereka. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa betapa Pantang Larang (pada prinsipnya) merupakan suatu tuntunan hidup dan kehidupan bagi orang Melayu di Nanga Jajang. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya, pemaknaan, fungsi dan kekuatan Pantang Larang telah mengalami reduksi bahkan eksistensinya yang cukup besar sampai ke hari ini.
Pentingnya kedudukan dan fungsi Pantang Larang dalam sejarah sosial dan kehidupan masyarakat Melayu Nanga Jajang dapat dilihat dari kompleksitas aspek yang dikenai dengan Pantang Larang. Deskripsi dan klasifikasi Pantang Larang di atas yang meliputi hampir seluruh aspek hidup menjadi bukti yang tak terbantahkan dengan kedudukan dan fungsi Pantang Larang ini pada masyarakat Melayu Nanga Jajang. 
Dalam hal tuntunan etika sosial kemanusiaan dan akhlak dalam keluarga juga dapat ditemukan dalam beberapa Pantang Larang seperti `larangan duduk di depan pintu`  sesungguhnya mempunyai makna tuntunan akhlak dan sopan santun yang tinggi. Sebab duduk di depan pintu itu dapat mengganggu bagi orang lain keluar masuk rumah pada satu sisi, pada sisi lain tentu saja kurang elok dipandang bagi seorang anak gadis yang duduk-duduk di depan pintu. Tuntunan akhlak sedemikian lebih dapat dibuktikan dibandingkan dengan ancaman tekstual sebagai balang tunang, sebab substansi duduk di depan pintu berbeda jauh dengan balang tunang. Meskipun bagi orang-orang Melayu dahulu, persoalan akhlak dan sopan santun sangat diperhitungkan dalam memilih seorang pasangan hidup yang baik. Jika hendak dicari hubung kait makna tekstual dengan kontekstual dalam Pantang Larang tersebut, maka pernyataan terakhir mungkin ada relevansinya. Dalam konteks Islam, akhlak dan sopan santun yang baik merupakan ciri keagamaan yang baik. Karena itu salah satu aspek penting yang harus dilihat dalam memilih jodoh dalam Islam adalah baik agamanya (al-Hadits)[2].
Dalam hal usaha, ekonomi dan ikhtiar juga ditemukan tuntunan yang jelas dalam Pantang Larang yang ada seperti `tidak boleh `melopus` ketika akan berangkat memancing atau berburu`. `Melopus` itu dimaknai sebagai simbol dalam menikmati sesuatu dengan tidak sungguh-sungguh atau bukan sebenarnya. Jika berburu dan memancing tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh atau tidak dengan usaha sebenarnya dikhawatirkan tidak akan mendapatkan apa-apa alias `pelopusah`. Tuntunan lainnya adalah `tidak boleh melangkahi juran pancing` atau `melangkahi senapang, kujur (tombak), seropang (trisula) dan alat sejenisnya untuk berburu`. Pantangan ini mengajarkan paling tidak dua hal; pertama, melangkahi benda-benda tersebut menandakan bahwa orang tersebut tidak sedang sungguh-sungguh dan dalam keadaan siap berburu atau menangkap sesuatu. Kedua, melangkahi benda-benda tersebut bisa berakibat rusaknya alat-alat berburu itu, atau malah membahayakan diri kita sendiri. Makna yang manapun terjadi, maka tetap saja akibatnya adalah kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari usaha memancing atau berburu itu.
Pertanian atau ladang huma yang merupakan sumber penghasilan utama masyarakat mempunyai tuntunan yang sangat banyak dalam Pantang Larang. Bahkan untuk persoalan yang satu ini, Pantang Larang sudah ada sejak dari aktivitas  memilih lahan hingga panen dan pasca panen (lihat dalam Ibrahim, 2008).

E.     Pelajaran Keseimbangan Hidup dalam Pantang Larang
Sebagai suatu tradisi yang tumbuh dan berkembang dalam sistem sosial dan budaya masyarakat, Pantang Larang dipercayai memiliki nilai atau pelajaran tertentu yang diwarisi secara turun temurun. Nilai-nilai yang dimaksud adalah pelajaran keseimbangan hidup. Untuk menemukan nilai-nilai keseimbangan hidup melalui Pantang Larang Melayu di Nanga Jajang, pengkaji akan membahasnya melalui dua klasifikasi analisis, yakni berdasarkan isi dan proses. Berdasarkan isi, pelajaran keseimbangan hidup secara jelas (tekstual/tersurat) dalam teks Pantang Larang. Berdasarkan proses, pelajaran keseimbangan hidup dipahami secara kontekstual dari Pantang Larang tersebut. Berikut analisis keduanya diuraikan.

1.      Berdasarkan Isi
Sebagai sebuah tradisi sosial yang tumbuh dan hidup dalam satu sistem sosial dan budaya masyarakat, Pantang Larang diyakini memiliki muatan-muatan pesan yang penting dipahami dan diketahui. Masyarakat Melayu yang juga merupakan muslim, mempunyai konsep keseimbangan hidup sebagaimana diajarkan dalam al-qur`an. Keseimbangan hidup dimaksud meliputi tiga dimensi hubungan, yakni hubungan dengan pencipta (hablumminallah), hubungan dengan alam, dan hubungan sesama manusia (hablumminannas). Dalam konteks ini, tiga dimensi tersebut menjadi simbol keseimbangan hidup pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Karena itu, analisis lebih lanjut adalah untuk menemukan pelajaran keseimbangan hidup yang terkandung dalam teks/isi Pantang Larang Melayu di Nanga Jajang.

a.      Hubungan manusia dengan Tuhan
Setidaknya ada dua katagorisasi isi pantang larang Melayu yang mengandung pelajaran keseimbangan hidup, dalam hal ini hubungan manusia dengan Tuhan, yakni:
1.      Mesti Pandai Bersyukur.
Pandai bersyukur atas nikmat dan karunia Tuhan merupakan satu bentuk hubungan yang penting antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Ini bukan saja terlihat dalam tuntunan nilai-nilai agama, melainkan juga wujud dalam Pantang Larang Melayu di Nanga Jajang. Diantara Pantang Larang Melayu yang memuat nilai pentingnya bersyukur sebagai bentuk hubungan hamba dengan Tuhan dapat dilihat dalam teks berikut:
“Saat panen padi, semua padi harus diambil besar kecilnya, tak boleh meninggalkan padi karena buahnya kecil (potin), karena padi yang ditinggal (padi potin) akan menangis jika tidak diambil”
“Padi yang sudah dipanen harus disimpan dengan baik, tak boleh ditaroh begitu saja di lantai, sebab padi kedinginan dan akan menangis. Padi tak mau ditaroh sembarangan. Karena itu padi lebih baik dibuatkan tempat/rumah yang kosong (kujuk)”
“Tangkai padi tak boleh sembarangan dipatah/diambil, melainkan harus terlebih dahulu memanggil semongatnya (semangat padi), biar terus dapat keberkatan”.
“Makan tak boleh jatuh-jatuh nasinya, sebab tuah padi akan marah dan tak mau lagi kasih rezeki”.

Salah satu bentuk hubungan yang baik sebagai makhluk kepada Tuhannya adalah pandai bersyukur atas segala rahmat dan nikmat hidup yang telah diberikan oleh Tuhan. Dalam banyak ayat al-qur`an ditemukan nilai pentingnya untuk banyak bersyukur dalam hidup. Bahkan dengan banyak bersyukur setiap kita bukan saja akan merasakan kenikmatan hidup, melainkan juga akan dilipatgandakan rezeki dan kenikmatan dari-Nya.
“Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azabku sangat pedih” (Q.S. Ibrahim/14: 5)

Dengan ini jelas bahwa adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara Pantang Larang (sistem sosial dan budaya masyarakat) dengan norma Islam sebagai tuntunan hidup masyarakat Muslim yang membentuk keseimbangan tatanan hidup masyarakat Melayu di Nanga Jajang, dalam konteks ini adalah sikap pandai bersyukur atas karunia nikmat-Nya.

2.      Pelaksanaan Perintah Agama
Pengajaran tentang hubungan manusia dengan Tuhannya juga dapat dilihat dalam Pantang Larang orang Melayu Nanga Jajang, terutama untuk konteks pengajaran pelaksanaan perintah agama. Pelaksanaan perintah agama dimaksud antara lain kemestian menghormati orang yang sedang shalat, karenanya dilarang menghalangi atau melintasi di depan orang yang sedang shalat sebagaimana dalam pantang larang berikut:
”Tidak boleh melewati di depan orang yang lagi shalat, sebab itu sama dengan melintasi api neraka”

Begitupun dengan al-qur`an yang merupakan kitab suci umat Islam, adalah suatu keharusan mempelakukannya dengan hormat. Bahkan dalam tradisi Melayu, Al-qur`an harus disimpan di tempat yang baik, tinggi dan dimuliakan. Karena itu dianjurkan pada setiap orang yang akan memegang dan membacanya dalam keadaan bersih dan suci (la yamassuhu illa muthahharun), menciumnya dan melatakkannya di atas kepala atau dahi. Penghormatan yang tinggi terhadap kedudukan al-qur`an ternyata juga menjadi pengajaran penting yang dapat ditemukan dalam Pantang Larang Melayu sebagaimana berikut:
”Tidak boleh melangkah al-qur`an, Sebab dapat menyebabkan kembang perut pelakunya”

Begitupun seterusnya larangan meratapi orang yang meninggal secara berlebihan, sehingga Nabi Saw melarang keras menangis di atas kuburan (al-hadits). Pengajaran serupa dapat ditemukan dalam Pantang Larang berikut:
”Orang tidak boleh menangis di kuburan, membuat si mati sakit terendam air”.
”Tidak boleh melangkah atau menginjak makam, melangkah makam bisa menyebabkan kembang perut”.

Selain itu, menjaga waktu shalat adalah kewajiban setiap muslim. Islam mengajarkan umatnya untuk melaksanakan shalat bila tiba waktunya sebagaimana dalam hadits Nabi Saw (ash shala tu `ala waktiha). Kehati-hatian terhadap waktu shalat, terutama shalat maghrib yang memiliki masa paling singkat, dapat dilihat dalam pengajaran Pantang Larang Melayu berikut ini:
”Tidak boleh tidur menjelang waktu Maghrib, disusupi hantu (kesurupan)”.
”Jendela tidak boleh dibiarkan terbuka pada waktu menjelang Maghrib dan setelah Isya, hantu dan setan masuk ke dalam rumah”.

Terakhir, pelajaran mengenai pelaksanaan perintah agama sebagai satu bentuk hubungan manusia dengan Tuhannya tercermin dalam pengamalan salah satu sunnah hidup untuk memulai perjalanan yang baik dengan kaki kanan. Pengajaran seperti ini wujud dalam teks pantang larang sebagai berikut:
”Jangan mulai melangkah dengan kaki kiri. Langkah kaki kiri membuat perjalanan jadi tidak bagus”.

Larangan memulai pekerjaan yang baik dengan kaki kiri merupakan penguat terhadap anjuran dalam Islam untuk memulai segala yang baik dengan sebelah kanan. Makan dengan tangan kanan. Wudhu dari sebelah kanan. Salam dari kanan, dan seterusnya.

b.      Hubungan Manusia dengan Alam
Pantang Larang Melayu Nanga Jajang juga memberikan pelajaran mengenai hubungan manusia dengan alam. Allah Swt memang telah menciptakan alam dengan segala isinya untuk manusia (al-Qur`an). Akan tetapi itu tidaklah bermakna bahwa manusia boleh berbuat semena-mena terhadap alam ciptaan-Nya. Alam adalah makhluk ciptaan-Nya sebagaimana manusia. Kesombongan manusia yang berpotensi merusak alam (hubungan dengan alam)  sesungguhnya menjadi paktor utama menyebabkan terjadinya bencana dan malapetaka bagi kehidupan diri manusia sendiri.
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)-(Q.S. Ar-Rum/30: 41)

Islam yang merupakan agama rahmatan lil alamin telah menuntun manusia untuk hidup sebagai pelindung, pemberi keselamatan dan rasa aman bagi semua makhluk Tuhan di muka bumi ini, termasuk alam sekitar. Manusia dengan semua makhluk Tuhan yang melata di alam raya ini sesungguhnya adalah satu kesatuan sistem hidup yang tak terpisahkan. Oleh karenanya mutlak diperlukan tatanan hubungan yang sentiasa baik dan harmoni. Kesadaran ini sepertinya yang ingin diwujudkan dalam sebuah pelajaran pada Pantang Larang Melayu Nanga Jajang yang berbunyi:
”Tidak boleh kencing di sungai yang airnya tidak mengalir, hantu marah, bisa sakit”.
“Tidak boleh kencing di bawah pokok, hantu marah, bisa sakit”.
Selain itu, hubungan yang baik terhadap alam juga dapat diimplementasikan dalam bentuk sikap menghargai terhadap kodrat diri. Semua makhluk Tuhan, termasuk manusia sesungguhnya diciptakan dengan kedudukan dan fungsi masing-masing yang sudah sangat jelas. Qur`an Surah az-Zariyat/51: 56 menyebutkan bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk menghamba kepada-Nya.
Tidak aku menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Q.S. 51: 56)

Dengan ayat ini jelas bahwa hanya Allah lah satu-satunya zat yang maha tinggi yang patut disembah. Selain-Nya adalah makhluk yang memiliki kedudukan yang sama atau bahkan lebih rendah dari manusia. Pentingnya pelajaran tentang kesadaran akan kodrat diri (sebagaimana konteks di atas) dapat ditemukan dalam beberapa Pantang Larang Melayu di Nanga Jajang, seperti:
”Tak boleh memakaikan baju pada binatang, terkena sambaran petir”
”Tidak boleh tidur memakai baju terbalik, sebab akan membuat tidur bermimpi buruk”
”Membuat lantai dapur tidak boleh lebih tinggi dari rumah, kalau dapur lebih tinggi, nanti perempuan akan lebih menguasai laki-laki” (Dapur itu ibarat perempuan).

Menurut para pakar tafsir, salah satu perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah syirik, bahkan tidak ada ampunan bagi orang yang berbuat syirik (musyrik). Besarnya dosa syirik disebabkan adanya pelanggaran kodrat ciptaan dengan sang pencipta. Menyembah selain Allah sang pencipta, sesungguhnya telah menyalahi kodrat bahwa selain Allah adalah makhluk yang diciptakan, yang karena tidak ada yang patut disembah kecuali Allah sang pencipta (lihat antara lain Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah).
  
c.       Hubungan Sesama Manusia
Sebagai suatu produk budaya, Pantang Larang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan perkembangan sejarah sosial dan budaya sesebuah masyarakat. Oleh itu, Pantang Larang sentiasa memiliki persentuhan yang jelas dalam hubungan sosial suatu masyarakat. Asumsi ini didukung oleh data di lapangan yang menempatkan hubungan sesama manusia sebagai aspek pengajaran yang paling dominan dalam Pantang Larang Melayu. Setidaknya ada empat katagorisasi nilai pengajaran yang terkait dengan hubungan sesama manusia sebagaimana terlihat dalam Pantang Larang Melayu di Nanga Jajang.
Pertama, kemestian hidup tertib dan teratur sebagaimana dalam dua teks pantang larang berikut:
”Kalau berjalan tidak boleh saling mendahului. Orang yang berjalan dahulu, harus tetap dahulu, yang di belakang harus tetap di belakang. Kalau saling mendahului menyebabkan sesuatu yang tidak baik terjadi”.
”Kalau sedang berjalan, orang pantang menginjak tumit orang yang berjalan di depan, nanti dipatok ular”.

Kedua, kemestian berusaha dengan sungguh-sungguh & Istiqamah sebagaimana pelajaran tersebut wujud dalam pantang larang berikut:
”Orang tidak boleh ‘melopus’ ketika akan pergi memancing, memancing tidak akan dapat ikan”.
”Kalau sudah berangkat, berjalan, pantang melihat ke belakang, kalau melihat ke belakang menyebabkan banyak urusan sangkut, akan banyak halangan”.

Ketiga, kemestian menjaga sikap/akhlak sebagaimana wujud dalam pelajaran pantang larang berikut:
”Anak dara (gadis) dilarang duduk di tengah pintu, nanti balang (diputuskan  oleh) tunang”
”Tidak boleh memandang seseorang yang sedang buang air, nanti matanya tumbir (mengembang)”.
“Tidak boleh makan dengan pinggan atau piring diangkat (pingan ditangung), nanti akan membuat istri atau suami diambil orang”

Keempat, kemestian menjaga keselamatan diri sebagaimana wujud pelajarannya pada teks Pantang Larang berikut:
“Dilarang memotong kuku pada malam hari, mendatangkan kesialan”.
”Tidak boleh mengasah pisau waktu malam, sebab akan mengundang kedatangan hantu”
”Tidak boleh melangkah pisau terlentang, bisa bahaya, sebab pisau terlentang sedang meminta darah”.
”Tidak boleh memanjat pokok pisang, sebab bisa menyebabkan kemaluannya membesar”


2.      Berdasarkan Proses
Berdasarkan prosesnya, Pantang Larang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang memberikan pelajaran penting mengenai strategi komunikasi bagi orang-orang tua dalam mendidik anak-anak dan generasi mudanya.  Analisis di atas menunjukan bahwa Pantang Larang mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dalam kajian komunikasi, maksud dan tujuan inilah yang dikenal dengan `makna`. Karena setiap Pantang Larang mempunyai makna, maka Pantang Larang itu sendiri sebenarnya adalah satu bentuk komunikasi yang dilakukan dalam tradisi sosial dan budaya masyarakat Melayu (Ibrahim MS, 2009a & 2010).
Sebagaimana umumnya dimaknai, komunikasi itu adalah proses pertukaran informasi, gagasan dan pikiran antara dua orang atau lebih ( Devito, 1997; Liliweri, 2003, hingga proses membangun kesepahaman untuk pemenuhan harapan dan perubahan tingkah laku (Rogers & Hovland, 1948; Dedy Mulyana, 2001).
Berdasarkan proses, sesungguhnya Pantang Larang dalam masyarakat Melayu itu tidak lain juga adalah proses komunikasi itu sendiri. Melalui Pantang Larang itulah berbagai pesan sosial kemanusiaan, akhlak, kesusilaan, dan sebagainya disampaikan dari generasi ke generasi dalam masyarakat Melayu. Dengan pantangan dan larangan ini pulalah sebenarnya tuntunan hidup diwarisi secara turun temurun dalam tradisi sosial dan budaya masyarakat Melayu Nanga Jajang. Realitas ini paling tidak memancing diskusi kita kepada tiga persoalan penting; apakah Pantang Larang itu secara jelas memberikan tuntunan hidup bagi masyarakat? Adakah pesan/makna terdalam dari setiap Pantang Larang yang hidup dalam masyarakat Melayu? Mengapa harus Pantang Larang yang digunakan dalam transformasi komunikasi orang Melayu?
Pertama, secara jujur harus diakui bahwa sebagian besar Pantang Larang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang tidak memberikan tuntunan dan bimbingan hidup secara jelas dalam bentuk teks. Sebaliknya, teks Pantang Larang pada umumnya menyampaikan sesuatu yang menakutkan atau ancaman. Contoh Pantang Larang `tidak boleh duduk di depan pintu, nanti balang tunang`. `Tidak boleh duduk di depan pintu` merupakan pantangan dan larangan, sedangkan `balang tunang` adalah ancaman. Berikut beberapa contoh lainnya ditampilkan dalam bentuk tabel.
Tabel
Analisis Teks Pantang Larang
PANTANG LARANG
PANTANGAN
ANCAMAN
Tidak boleh memotong kuku pada waktu malam, karena itu mendo`akan kematian orang tua
Memotong kuku waktu malam
Kematian orang tua
Anak kecil tidak boleh makan kerak nasi, takut tumbuh jadi anak yang bodoh/tidak cerdas
Makan kerak nasi
Jadi anak yang bodoh/tidak cerdas
Tidak boleh mengasah pisau malam hari, sebab mengundang kedatangan hantu
Mengasah pisau malam hari
Kedatangan hantu
Tidak boleh memanjat pokok pisang, bisa menyebabkan kemaluan membengkak (burut)
Memanjat pokok pisang
Kemaluan membengkak (burut)
Tidak boleh melewati depan orang yang lagi shalat, sebab sama dengan melintasi depan api neraka
Melewati di depan orang shalat
Panas melintasi api neraka
Sumber: Ibrahim MS dkk, 2012
Dari pemetaan di atas, tampak bahwa secara tekstual Pantang Larang hanya menampilkan apa yang dipantang dan dilarang (pantangan & larangan) dengan akibat yang akan terjadi jika melanggarnya (ancaman). Artinya, secara tekstual hampir tidak ditemukan hubungan yang jelas (korelasional) antara aspek pantangan dan larangan dengan ancaman pesan. Padahal makna atau pesan itu sendiri yang menjadi substansi komunikasi dalam Pantang Larang yang ada.
Kedua, jika kita sepakat bahwa Pantang Larang adalah satu bentuk komunikasi dan proses memberikan tuntunan hidup dalam masyarakat Melayu, maka kita mesti percaya adanya makna atau pesan terdalam yang sesungguhnya dibawa dalam Pantang Larang itu. Sikap tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa analisis sederhana terhadap Pantang Larang yang ada. Pantang Larang `tidak boleh memandang orang yang sedang buang air, nanti matanya tumbir (sakit bengkak)` misalnya, secara teks sama sekali tidak ada hubungan antara keduanya. Sebab, melihat orang yang sedang buang air adalah satu hal, dan sakit mata (tumbir) merupakan hal yang lain lagi. Lantas apa sebenarnya makna atau pesan yang hendak disampaikan dari pantang larang tersebut? Secara sosial dan budaya, pekerjaan tersebut memang tidak beretika. Secara agama, pekerjaan demikian termasuk dosa, karena melanggar norma agama di mana kita dilarang memandang aurat seseorang. Dalam beberapa kasus memang terjadi suatu peristiwa yang mirip dan berkaitan dengan apa yang dibunyikan dalam teks Pantang Larang itu, akan tetapi tentu saja tidak ada dasar yang dapat dijadikan bukti keterkaitan antara pantangan dengan peristiwa yang terjadi.
Ketiga, digunakannya Pantang Larang sebagai media komunikasi dan transpormasi pesan bagi tuntunan hidup dalam masyarakat Melayu, sepertinya sangat terkait dengan budaya hidup yang mendasar dalam tradisi sosial masyarakat Melayu. Tuntunan hidup melalui Pantang Larang merupakan satu strategi membentuk perilaku dengan cara mengancam dan menakuti-nakuti apabila tidak diperhatikan/melanggar. Dengan kata lain, Pantang Larang itu hanya untuk menakut-nakuti agar tidak melakukan sesuatu/melanggar ketentuan tertentu. Inilah setidaknya yang diakui oleh beberapa tokoh Melayu di Nanga Jajang seperti Uju Unui (KP. 29 November 2009).
Jika semua analisis ini benar adanya, maka dapat dipastikan bahwa Pantang Larang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang tidak lain adalah satu bentuk strategi komunikasi yang sengaja dibangun oleh generasi tua Melayu dalam memberikan bimbingan dan tuntunan dalam hidup. Dengan demikian, maka strategi komunikasi tersebut-yang lahir puluhan bahkan ratusan tahun yang silam telah lebih jauh mendahului kehadiran teori dan strategi komunikasi modern, dalam hal ini teori tahapan (step flow theories) yang dipopulerkan oleh Lazarfeld, Berelson, dll. Teroti inilah yang berikutnya dikembang dalam komunikasi massa sebagai teori tahapan, baik satu tahap (one step flow), dua tahap (two step flow), hingga banyak tahap (multi step flow of communication) – lihat dalam Burhan Bungin (2008); Sutaryo (2005); Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala (2004). 
Membandingkan dengan teori komunikasi modern tersebut, jelas bahwa Pantang Larang dalam masyarakat Melayu menggunakan dua tahap komunikasi (two step flow) dan banyak tahap (multi step flow) komunikasi. Generasi tua (pembuat pantangan dan larangan) sebagai komunikator, teks Pantang Larang (ancaman) sebagai tahapannya, dan kepatuhan untuk mengikuti atau tidak melanggar ketentuan sebagai makna atau substansi pesan komunikasi yang disampaikan. Jika mengacu kepada teori tahapan, maka  gambarannya adalah sebagai berikut:


Bagan Tahap Komunikasi
          A





         B




          C
Keterangan: 
A =     Gererasi tua/orang yang membuat pantang larang untuk memberikan tuntunan dan bimbingan hidup kepada generasi mudanya.
B =    Teks pantang larang yang digunakan sebagai tahapan (sarana/media untuk menakut-nakuti atau mengancam).
C =      Generasi muda/orang yang dikenakan pantangan dan larangan, yang merupakan sasaran komunikasi (tujuan dan maksud sesungguhnya) berupa kepatuhan untuk mengikuti sesuatu atau tidak melanggar sesuatu.

Sumber: dikutif dari Tahapan Komunikasi dalam Ibrahim MS, 2010
Pertanyaan lebih lanjut dari analisis tersebut adalah; mengapa Pantang Larang dijadikan strategi komunikasi bagi orang-orang tua Melayu dalam memberikan tuntunan dan bimbingan hidup secara turun temurun? Penelitian di lapangan memang tidak menemukan jawaban yang pasti atas pertanyaan ini, sebab, kebanyakan mereka mewarisi Pantang Larang tersebut secara apa adanya dan turun temurun. Karena itu, tidak heran jika sampai saat ini telah terjadi banyak reduksi bahkan un-eksistensi peran Pantang Larang dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu hari ini. Akan tetapi dari kajian ini, peneliti mencoba membuat beberapa asumsi yang dapat diungkapkan untuk konteks ini;
Pertama,  Makna sesungguhnya dalam Pantang Larang bukanlah semata-mata makna tekstual (seperti apa yang dipantang dan dilarang itu) melainkan makna kontekstualnya (tersimpan di balik teks pantang larang itu). Karena itulah makna kontekstual juga harus dipahami, sebab ia inti dari komunikasi pantang larang.
Kedua, Masyarakat sendiri sudah mulai kritis dan sadar bahwa secara tekstual, apa yang disebutkan dalam pantangan dan larangan itu sama sekali tidak ada hubungan yang berarti (korelasional). Paling-paling karena terlanjur diyakini, sehingga ketika terjadi suatu peristiwa selalu dikaitkan dengan Pantang Larang yang ada. Secara tekstual, Pantang Larang itu adalah untuk menakut-nakuti/mengancam saja.
Ketiga, terjadinya reduksi pemahaman dan keyakinan yang berimbas pada keberlangsungan eksistensi Pantang Larang dalam masyarakat disebabkan pola pewarisan yang keliru terhadap tradisi ini. Di mana pesan kontekstual (makna terdalam) tak terwairisi sebagaimana pesan tekstual itu sendiri. Sementara pesan tekstual tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara nyata dalam realitas sosial. Jika mengacu pada strategi komunikasi modern (step flow of communication theory), maka yang terwarisi dalam masyarakat Melayu saat ini adalah komunikasi dua tahap (two step flom of communication). Dengan teori ini, jalur komunikasi dipahami berlangsung bukanlah dari A (pembuat pesan) secara langsung kepada C (tujuan pesan), melainkan melalui B (Pantang Larang). Jadi, sebagai konsep komunikasi dua tahap, strategi komunikasi Pantang Larang berlangsung dari A ke B (tahap satu), dan dari B ke C (tahap dua). Jika A adalah pembuat pesan, maka C adalah tujuan pesan, dan B tahap perantara pesan.
Keempat, sebagai sebuah strategi, komunikasi melalui Pantang Larang terbukti lebih efektif dalam membimbing dan menuntun perilaku hidup masyarakat Melayu dalam sejarah sosial mereka. Inilah bentuk strategi komunikasi dua tahap dalam komunikasi (two step flow of communication). Tujuan pesan supaya anak tumbuh sehat dan cerdas (C), dapat diwujudkan (A), dengan pantangan memakan makanan yang tidak baik, kurang karbohidrat dan justru rawan bagi endapan kotoran besi, pasir dan sebagainya (B), sebagaimana dalam pantang larang `tidak boleh memakan kerak nasi bagi anak-anak, nanti jadi anak yang bodoh`.
Kelima, sebagai komunitas yang sangat dekat dengan Islam, tentu pengaruh agama juga sangat kentara dalam tradisi sosial mereka, termasuk dalam Pantang Larang. Asumsi ini dapat dilihat dengan jelas dari beberapa Pantang Larang yang berkaitan dengan norma agama seperti `larangan melewati di depan orang yang sedang shalat`, `larangan melangkah al-Qur`an` dan sebagainya. Dalam dakwah Islam pun dikenal suatu strategi komunikasi dengan cara memberikan kabar ancaman dan siksaan neraka. Metode inilah yang dikenal dengan Indzar[3] (Ibrahim MS, 2007). Kaitannya dengan kajian ini, metode komunikasi Pantang Larang dalam masyarakat Melayu sama dengan Indzar dalam metode dakwah, berupa ancaman bahaya jika melanggar pantangan atau tidak mematuhinya.




F.     Penutup
Kajian ini memberikan penegasan bahwa Pantang Larang yang ada pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang bukan saja sebagai produk dari sistem sosial dan budaya yang tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya, melainkan menjadi sebuah tatanan nilai dan pengajaran mengenai pentingnya menjaga keseimbangan hidup. Karena itu, kita dapat menemukan nilai dan pengajaran akan keseimbangan hidup melalui Pantang Larang pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang, Ulu Kapuas, baik berdasarkan isi (teks Pantang Larang) maupun proses (sebagai satu bentuk komunikasi).
Berdasarkan isi, Pantang Larang Melayu memberikan pengajaran keseimbangan hidup dalam tiga dimensi utama kehidupan masyarakat Melayu; menjaga hubungan dengan Tuhan atau hablumminallah (kemestian bersyukur & menjalankan perintah agama), menjaga hubungan dengan alam (misi rahmatan lil`alamin dan menghargai kodrat diri), dan menjaga hubungan dengan sesama manusia atau hablumminnas (berupa kemestian hidup tertib dan teratur, sungguh-sungguh dalam berusaha, menjaga akhlak, dan menjaga keselamatan diri). 
Berdasarkan proses, Pantang Larang sesungguhnya adalah satu strategi komunikasi yang digunakan oleh orang-orang tua dalam memberikan pendidikan dan pengajaran keseimbangan hidup bagi anak keturunan atau generasi mudanya. Kajian ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebuah tradisi sosial dan budaya sebagaimana Pantang Larang Melayu memiliki nilai-nilai pengajaran yang penting diketahui, dalam konteks ini adalah pengajaran keseimbangan hidup dalam masyarakat Melayu.
Akhirnya, dengan segala kekurangan, kelemahan, dan keterbatasannya, paling tidak inilah sebuah ikhtiar akademik yang dapat penulis lakukan dan akan terus diupayakan. Semoga bermanfaat, amin.








SUMBER BACAAN

Al-Aliyy: Al-qur`an dan terjemahannya. Bandung: Penerbit Diponegoro, tahun 2004.
Erwin dan Andi Gidang. 2010. Tradisi yang Membelajarkan: Mengurai unsur-unsur Pendidikan dalam tradisi Tepung Tawar Melayu Sambas, dalam Ibrahim MS. 2010. Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu. Pontianak: STAIN Press.
Ibrahim MS, Yusriadi, & Zaenuddin. 2012. Pantang Larang Melayu di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Press.
Ibrahim MS. 2010a. Tradisi dan Komunikasi: Studi atas Prosesi Topung Tawar pada Masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Dalam Ibrahim MS. 2010. Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu. Pontianak: STAIN Press.
Ibrahim MS. 2010b. Islam dan Tradisi di Nanga Jajang. Makalah yang dibentangkan dalam Konferensi Antarabangsa Islam Borneo (KAIB) ke III, STAIN Pontianak, 4 s/d 5 Oktober.
Ibrahim MS. 2008. Tradisi Buma pada Masyarakat Melayu Nanga Jajang, makalah Seminar Kearifan lokal dalam Pelestarian Lingkungan di Kalimantan Barat.
Ibrahim MS. 2007. Pendekatan Dakwah dalam Al-qur`an. Artikel Jurnal Mau`izatul Hasanah, Jurusan Dakwah STAIN Pontianak.
Kamarudin Mohd. Balwi. 2005. Peradaban Melayu. Johor: Universiti Teknologi Malaysia, Skudai.
Noriah Mohamed. 2009. Benang Sari Melayu-Jawa. Bangi: ATMA, UKM Ampang Press.
Yusriadi, Ibrahim MS, & Zaenuddin. 2009. Kearifan Komunikasi dalam Pantang Larang Orang Melayu Nanga Jajang. Laporan Penelitian Kompetitif Kelompok P3M, Proyek DIVA STAIN Pontianak tahun 2009.
Tribune Pontianak. 2013. Robo`-robo` digelar sebulan penuh. Terbitan harian, Minggu 6 Januari 2013.
Indosprititual.com. 2005. Berbagai macam Pamali. Akses, 9 Juni 2014.
Wikipedia.org. 2013. Pantang Larang. Akses, 9 Juni 2014.


[1] Maskudnya: “menanam padi di ladang/huma tidak boleh membentuk kurungan (tertutup), melainkan harus menyisakan tempat terbuka (berbaris/sejajar) untuk napas hidup padi”. 

[2] Dalam hadits Nabi dengan jelas disebutkan bahwa setidaknya ada empat kriteria calon isteri/suami yang baik, yakni: keturunan (nasab), harta kekayaan (maal), kecantikan/ketampanan (jamal), dan agamanya (din). Dari keempat ciri ini, kebaikan dalam hal agamalah yang paling utama untuk dipilih (al-Hadits).  
[3] Indzar sebagai metode dalam al-Qur`an bermakna pemberian kabar duka, siksaan dan ancaman hukuman. Sebagai metode dakwah Indzar selalu digunakan setelah tabsyir (pemberian kabar baik, pahala dan gembira). Karena banyak sekali ayat al-Qur`an yang menyebutkan kedua metode ini bersamaan ”tabsyîran wa tandzîran”, mubasysyiran wa nadzîran”, ”mubasysyirîn wa mundzirîn”, dan sebagainya.