Jumat, 03 Februari 2012

KEARIFAN KOMUNIKASI DALAM PANTANG LARANG MELAYU

Suntingan (1 bagian) dari buku Pantang Larang Melayu Kalimantan Barat
Ditulis oleh: Ibrahim MS, Yusriadi dan Zaenuddin
Diterbitkan oleh STAIN Press Januari 2012




Pendahuluan
Pada bagian ini penulis akan paparkan mengenai kearifan komunikasi dalam pantang larang masyarakat Melayu Nanga Jajang. Apa dan bagaimana sesungguhnya makna atau pesan yang dimaksudkan dalam pantang latang itu. Adakah pantang larang betul-betul memberikan makna sebagaimana dalam tekstualnya, atau hanya merupakan sarana dan strategi dalam membangun komunikasi sosial dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang.
Selain persoalan makna, pada bagian ini juga akan dipaparkan beberapa hasil analisis mengenai beberapa hal yang terkait dengan pantang larang itu, seperti sejarah sosial dalam pantang larang, asal usul pantang larang, kekuatan pantang larang untuk dipatuhi, ranah keberlakukan pantang larang, serta dinamika sosial dan komunikasi masyarakat terhadap pantang larang.
 
Pantang Larang dalam Masyarakat
Asal Usul Lahirnya Pantang Larang
Secara jelas memang tidak ditemukan data mengenai asal usul lahirnya pantang larang dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Hal ini disebabkan kebanyakan masyarakat saat ini menerima begitu saja pantang larang dari orang-orang tua mereka. Mereka lebih banyak hanya sebagai pewaris dari tradisi pantang larang yang ada. Karena itu ketika peneliti melakukan kajian di lapangan, dan menanyakan kepada beberapa informan mengenai asal usul pantang larang itu sebenarnya? Mereka hanya bisa menjawab bahwa itulah yang mereka dapatkan dari orang-orang tua mereka. ”iyak mih joguk urang tua kami dulu madah, jadi kami ngimai magang pituk, kami pun na tau apa roti sebonar pantang larang iyak”[1]
Untuk menjelaskan pandangan mereka dengan pantang larang yang mereka warisi, paling-paling masyarakat mencoba untuk selalu menghubungkan antara pantangan dengan peristiwa hidup yang mereka lalui. Dengan kata lain, apa yang dianggap masyarakat sebagai akibat dari pantang larang itu mereka yakini dari peristiwa hidup yang dialami oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan data yang demikian, maka dapat dijelaskan bahwa pantang larang yang hidup dalam tradisi sosial masyarakat Melayu Nanga Jajang umumnya berasal dari budaya dan tradisi sosial masyarakat Melayu setempat. Sebagai masyarakat yang memiliki sejarah kuat dengan kedatangan Islam, bahkan identik sekali dengan Islam, banyak hal dari kehidupan orang Melayu yang dipengaruhi oleh Islam, di antaranya termasuk pantang larang. Beberapa bentuk budaya hidup dan tradisi sosial pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama dan moral seperti larangan melangkahi al-Qur`an, larangan melewati di depan orang yang sedang shalat, dan sebagainya. Begitupun pengaruh moral dan akhlak sosial yang banyak dijumpai dalam pantang larang orang Melayu di Nanga Jajang seperti `tidak boleh makan sambil berjalan`, `tidak boleh duduk di depan pintu`, `tidak boleh bersiul di malam hari` dan sebagainya.
Bagaimana Pantang Larang tersebut dipelihara dalam tradisi Masyarakat Melayu Nanga Jajang? Hasil wawancara di lapangan mendapatkan bahwa umumnya pantang larang diwirisi secara turun temurun dari orang-orang tua mereka. Meskipun pada sebagian informan mengakui bahwa pantang larang yang diketahuinya didapatkan dari kampung lain, Azmi (KP: 3 Oktober 2009) misalnya menyebutkan pantangan dalam `menugal padi di uma na tau betangkup, tapi harus ada lubang penyawa``[2]. Ada juga yang mengakui mendapatkan pantang larang dari buku yang didapatkannya di kampung lain, Ali (KP: 4 Oktober 2009) misalnya menyebutkan pantangan tentang hari-hari yang baik untuk melakukan sesuatu dalam kehidupan.
Dengan demikian jelas bahwa pantang larang yang hidup dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang umumnya berasal dari tradisi budaya yang diwarisi secara turun temurun dari orang-orang tua mereka. Meskipun sebagian kecil lainnya mempercayai pantang larang yang mereka dapatkan di kampung-kampung Melayu lainnya, dan bahkan dari bacaan-bacaan buku.
Selain itu, ketentuan agama Islam seperti juga turut menjadi awal bagi kemunculan pantang larang Melayu di Nanga Jajang, sebagai contoh adalah pantang larang yang terkait dengan etika-etika beragama, seperti al-qur`an yang harus dijaga dan dipelihara, orang sedang shalat harus dihormati. Dari sini lahirlah setidaknya dua pantang larang. Mengenai al-qur`an lahir pantang larang ”tidak boleh melangkahi al-qur`an, takut perut kembang”. ”tidak boleh melintasi di depan orang yang sedang shalat, kelak dijilat api neraka”.
Dalam ketentuan Islam kedua pekerjaan ini memang tidak boleh dilakukan. Karena itu, orang-orang tua memperkuat larangan tersebut dengan menambahkan hal-hal yang menakutkan jika larangan tersebut dilanggar, dengan `kembang perut` (bagi yang melangkah al-qur`an) dan `dijilat api neraka` (bagi yang melintasi di hadapan orang yang sedang shalat). Dengan itu tampak bahwa ketentuan-ketentuan agamalah yang mendasari lahirnya pantang larang tersebut.

Klasifikasi Pantang Larang: Fungsi dan Kedudukannya
Pada bab sebelumnya telah dideskripsikan secara lengkap dan apa adanya dari pantang larang yang ada dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang. Dari deskripsi tersebut tampak bahwa pantang larang yang hidup dalam tradisi sosial masyarakat itu beragam. Bahkan hampir semua aspek kehidupan masyarakat Melayu ada pantang larangnya. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa betapa pantang larang (pada prinsipnya) merupakan suatu tuntunan hidup dan kehidupan bagi orang Melayu di Nanga Jajang. Meskipun dalam perjalanan sejarahnya, pemaknaan, fungsi dan kekuatan pantang larang telah mengalami reduksi bahkan eksistensinya yang luar biasa itu sampai ke hari ini mulai dipertanyakan.
Pentingnya kedudukan dan fungsi pantang larang dalam sejarah sosial dan kehidupan masyarakat Melayu Nanga Jajang dapat dilihat dari kompleksitas aspek yang dikenai dengan pantang larang tersebut. Deskripsi dan klasifikasi pantang larang di atas yang meliputi hampir seluruh aspek hidup, menjadi bukti yang tak terbantahkan dengan kedudukan dan fungsi pantang larang ini pada masyarakat Melayu Nanga Jajang. 
Dalam hal tuntunan etika sosial kemanusiaan dan akhlak dalam keluarga juga dapat ditemukan dalam beberapa pantang larang seperti `larangan duduk di depan pintu`  sesungguhnya mempunyai makna tuntunan akhlak dan sopan santun yang tinggi. Sebab duduk di depan pintu itu dapat mengganggu bagi orang lain keluar masuk rumah pada satu sisi, pada sisi lain tentu saja kurang elok dipandang bagi seorang anak gadis yang duduk-duduk di depan pintu. Tuntunan akhlak sedemikian lebih dapat dibuktikan dibandingkan dengan ancaman tekstual sebagai `balang tunang`, sebab substansi duduk di depan pintu berbeda jauh dengan balang tunang. Meskipun bagi orang-orang Melayu dahulu, persoalan akhlak dan sopan santun sangat diperhitungkan dalam memilih seorang pasangan hidup yang baik. Jika hendak dicari hubungan makna tekstual dengan kontekstual dalam pantang larang tersebut, maka pernyataan terakhir mungkin lebih memiliki relevansinya, bahwa larangan duduk di depan pintu sebagai satu penilaian terhadap seorang perempuan yang berakhlak baik, yang patut dijadikan isteri atau tidak.
Dalam hal usaha, ekonomi dan ikhtiar juga ditemukan tuntunan yang jelas dalam pantang larang yang ada seperti tidak boleh `melopus` ketika akan berangkat memancing atau berburu. `Melopus` itu dimaknai sebagai simbol dalam menikmati sesuatu dengan tidak sungguh-sungguh atau bukan sebenarnya. Jika berburu dan memancing tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh atau tidak dengan usaha sebenarnya dikhawatirkan tidak akan mendapatkan apa-apa alias `pelopusah`.
Tuntunan lainnya adalah `tidak boleh melangkahi juran pancing` atau `melangkahi senapang, kujur (tombak), seropang (trisula) dan alat sejenisnya untuk berburu`. Pantangan ini mengajarkan paling tidak dua hal; pertama, melangkahi benda-benda tersebut menandakan bahwa orang tersebut tidak sedang sungguh-sungguh dalam keadaan siap berburu atau menangkap sesuatu. Kedua, melangkahi benda-benda tersebut bisa berakibat rusaknya alat-alat berburu itu, atau malah membahayakan diri kita sendiri. Makna yang manapun terjadi, maka tetap saja akibatnya adalah kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari usaha memancing atau berburu itu.
Pertanian atau ladang huma yang merupakan sumber penghasilan utama masyarakat juga mempunyai tuntunan yang sangat banyak dalam pantang larang. Bahkan untuk persoalan yang satu ini, pantang larang sudah ada sejak dari aktivitas memilih lahan hingga panen dan pasca panen. Untuk konteks ini sila lihat kembali klasifikasi pantang larang dalam peladangan/huma pada bab sebelumnya (lihat juga Ibrahim MS, 2008).

Pesan dalam Pantang Larang
Berdasarkan data dan komunikasi pribadi penulis dengan beberapa narasumber di lapangan didapati bahwa ada banyak pesan yang hendak disampaikan melalui pantang larang, baik secara langsung dan sederhana maupun secara tidak langsung dan mendalam.
Secara langsung dan sederhana pantang larang dibuat untuk menyampaikan pesan tekstual, sebagaimana dibunyikan dalam teks pantangan dan larangan. `tidak boleh memanjat batang pisang, takut kemaluannya bengkak`. pantang larang dalam konteks makna tersebut adalah sebatas larangan memanjat pokok pisang, karena dikhawatirkan dapat membuat kemaluan orang yang memanjatnya menjadi bengkak.
Contoh lain misalnya `tidak boleh memandang orang yang sedang buang air, takut matanya tumbir (sakit)`. Secara tekstual dan sederhana, kita tidak dibenarkan melihat orang yang sedang buang air karena dikhawatirkan akan berakibat mata kita menjadi sakit (tumbir).
Begitupun pada contoh pantang larang `tidak boleh melangkahi pisau yang terlentang`. Secara tekstual, masyarakat Melayu akan memaknai pantangan ini sebagai satu larangan saja bahwa kita tidak boleh melangkahi pisau yang sedang terlentang (mata pisaunya menghadap ke atas).
Semua pantang larang yang ada dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang memiliki makna tekstual seperti itu, meskipun pada sebagian pantang larang, agak sukar mencari keterkaitan secara langsung dan meyakinkan antara teks pantang larangnya dengan ancaman dan akibat yang didapatkan ketika melanggarnya. Karena itu, sebagiannya menganggap teks pantang larang itu hanya sebagai bentuk menakut-nakuti atau mengancam saja, bukanlah sesungguhnya makna yang ingin disampaikan. Hal ini tampak dalam pernyataan salah satu narasumber di lapangan “kebanyakan  pantang larang iya` hanya untuk ngidui magang, banyak pantang larang yang na` dimai agik ge urang kinih, kerna banyak nebiyak kita yang na takut lagi dengan didui magang” [3] (Uju Unui, 29 November 2009).
Secara tidak langsung, semua pantang larang yang ada dalam masyarakat mempunyai makna terdalam, yang melebihi dari sekedar makna tekstual di atas. Dan makna itulah sebenarnya yang harus didapatkan oleh setiap orang yang dikenai pantangan dan larangan tersebut, sebab makna terdalam inilah substansi dari komunikasi pantang larang yang ada. Makna terdalam inilah sebenarnya yang mengandung banyak bimbingan dan tuntunan hidup bagi orang Melayu. Makna terdalam ini pulalah yang sesungguhnya mempunyai rasionalitas terhadap realitas hidup masyarakat hingga saat ini.
Hilangnya pemahaman akan pesan terdalam dari pantang larang yang ada diduga menjadi alasan hilangnya kekuatan pantang larang dalam memberikan bimbingan dan tuntunan hidup pada masyarakat Melayu saat ini, sebab dengan hanya menangkap makna teks, maka rasionalitas dan pembuktiannya tidak selalu dapat ditemukan dalam pantang larang yang ada.
Kembali ke contoh di muka, `tidak boleh memanjat batang pisang, takut kemaluannya bengkak`, bukanlah sekedar menyampaikan pesan tekstual sebagaimana di atas, melainkan adanya makna terdalam di balik itu yang lebih rasional dan logis. Makna tersebut adalah, realitas pokok pisang yang lemah dan tidak kuat untuk dipanjat, sebab kemungkinan pokok pisang akan patah atau tumbang jika dipanjat. Jika itu yang terjadi maka dia dapat menyebabkan bahaya pada orang yang memanjatnya. Makna lainnya yang mungkin cocok dengan pantang larang tersebut adalah, kenyataan pokok pisang itu merupakan tumbuhan yang lembab dan mengandung banyak air, batangnya yang semak dengan kulit dahannya kemungkinan menjadi tempat bersarang semut, ulat dan semacamnya. jika yang demikian terkena pada kemaluan orang yang memanjatnya, tentu dapat menyebabkan kemaluannya gatal dan bengkak-bengkak. Karena itu pantang larang tersebut menganalogikan (menakuti-nakuti) memanjat pisang itu dengan bengkaknya kemaluan. Kemaluan yang merupakan privasi setiap orang, tentu akan dijaga dengan sekuat tenaga oleh setiap orang dari persialan `kebengkakan` tadi. Adanya makna terdalam ini dapat dibuktikan dengan realitas bahwa ada orang yang memanjat pokok pisang tapi tidak mengalami pembengkakan kemaluannya, sebagaimana dalam makna tekstual pantang larang yang ada.
Begitupun pada contoh lain `tidak boleh memandang orang yang sedang buang air, takut matanya tumbir (sakit)` dan `tidak boleh melangkahi pisau yang terlentang`. Pada pantang larang pertama makna terdalamnya adalah tuntunan etika dan moral; dimana seseorang dianggap tidak beretika dan bermoral jika dengan sengaja melihat orang lain yang sedang buang air. Apabila dianalisis dari sisi agama juga jelas bahwa melihat aurat adalah suatu perbuatan dosa dan karenanya dilarang. Untuk kita semua pahami bahwa orang Melayu adalah termasuk salah satu komunitas yang paling pertama menerima dan memeluk Islam, karena itu wajar jika persoalan Aurat menjadi bimbingan norma yang dipentingkan dalam realitas sosial mereka. Itulah salah satu makna penting dari pantang larang tersebut. Demikian pula pada pantang larang kedua, makna terdalamnya adalah kekhawatiran akan bahaya terluka, sebab posisi pisau terlentang adalah mata pisaunya sudah mengahap ke atas. Jika terinjak atau kita terjatuh menimpa pisau tersebut maka akan sangat membahayakan.
Itulah beberapa makna pesan yang ingin disampaikan dalam pantang larang yang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang, baik pesan tekstual (yang dipantang dan dilarang) maupun makna tekstual yang terdalam (bimbingan dan tuntunan hidup).
  

Kekuatan Pantang Larang dalam Menuntun Hidup
Pantang larang akan terus hidup ketika masyarakat meyakini kebenaran dari peristiwa yang mereka alami dalam pengalaman hidup mereka ada kaitannya dengan pantangan dan larangan yang mereka patuhi. Dalam konteks ini, pantang larang akan semakin kuat apabila dalam kehidupan sehari-hari mereka menemukan keterkaitan suatu peristiwa dengan pantang larang yang ada.  Sebaliknya, pada pantang larang yang tidak mereka temui akibat jika melanggarnya, maka ada kecenderungan, bahkan sebagian besarnya mulai mengabaikannya. Kecuali itu, pantang larang dalam aktivitas pertanian dan perladangan masih banyak dipercayai dan dipatuhi oleh masyarakat Melayu Nanga Jajang hingga hari ini. Berikut akan diuraikan secara rinci keyakinan terhadap pantang larang dalam kaitannya dengan peristiwa yang terjadi, dinamika kepercayaan terhadap pantang larang dan kepercayaan yang berkenaan dengan pantang larang masyarakat.

Keyakinan terhadap Pantang Larang & Peristiwa yang terjadi.
Besarnya kepercayaan masyarakat Melayu terhadap kebenaran pantang larang sangat erat kaitannya dengan peristiwa tertentu yang terjadi dalam pengalaman mereka. Peristiwa itulah yang mereka yakini berkaitan atau menjadi akibat dari ketidak-patuhan terhadap pantang larang yang ada. Kaitan antara keyakinan terhadap pantang larang dalam hubungannya dengan  peristiwa yang terjadi dapat disebutkan beberapa contoh berikut:
Keluarga Didi (36 tahun) yang `berpantang menanam jolik jujur (sejenis tanaman padi jagung) di tengah ladang`, menceritakan suatu peristiwa pernah terjadi ketika mereka berladang bedonay[4] dengan orang lain, dan ternyata tampa sepengetahuannya orang tersebut menanam jolik jujur di tengah (batas/antara) ladang mereka. Akibatnya anak kandung Didi sakit-sakitan, hingga akhirnya meninggal dunia (KP: Uju Unui, 29 November 2009). Oleh Didi dan keluarga, sakit anaknya hingga meninggal itu adalah disebabkan ditanamnya jolik jujur di tengah ladang mereka. Karena itulah peristiwa serupa terus mereka percayai sehingga semakin menguatkan eksistensi pantang larang tersebut bagi diri mereka. Mereka terus mempercayai bahwa karena terlanggar pantang larang ”menanam jolik jujur” di ladang mereka itulah anaknya jatuh sakit hingga meninggal dunia.
  Keluarga Sahdi (30 tahun) yang pernah melanggar pantangan `tidak boleh keluar rumah terlalu jauh (seperti masuk hutan) bagi orang tua yang baru dapat anak bayi, sebelum bayi itu diselamatkan`. Akibatnya justru anak bayinya yang meninggal. ”jadi hari ketiga ya`, ukan ia ka` ngamik aku nyelamat anak ya, tapi beruwah” [5](Mak Ngah: KP, 2 Oktober 2009). Kronologi peristiwa ini adalah; beberapa hari setelah kelahiran anaknya, Sahdi pergi ke hutan, sementara anak bayinya belum diselamatkan (dilakukan prosesi pembacaan doa selamat). Akibat setelah itu, Sahdi bukan lagi mengundang kehadiran orang-orang (termasuk Bidan kampung tadi) untuk acara selamatan anak bayi, melainkan untuk membacakan doa tahlil dan arwah bagi anak bayi yang baru saja meninggal.
Pengalaman yang lain diungkapkan oleh Ali (55 tahun). Katanya, dahulu ketika isterinya sedang hamil, dia pernah membunuh trenggiling (sejenis hewan liar yang bersisik keras dan berkuku tajam) dan memotong jari tangannya. Kemudian begitu isterinya melahirkan, dia mendapatkan anaknya lahir dengan kondisi buntung jari tangannya. Buntungnya jari tangan anak bayinya yang baru lahir itu dipercayai sebagai akibat (kenawak/karma) dari buntungnya jari tangan hewan (teringgiling) yang dipotongnya dahulu. Peristiwa inilah yang dipercayainya sebagai akibat dari pelanggaran atas pantangan tersebut, dimana kita `tidak boleh melakukan hal-hal yang aneh ketika isteri sedang hamil` (KP: 4 Oktober 2009).
Pengalaman terhadap peristiwa tersebut merupakan gambaran dari sebagian kecil pantang larang dan bukti yang dijadikan penguat kepercayaan masyarakat Melayu Nanga Jajang terhadap pantang larang yang ada. Pada sebagian besar pantang larang lainnya, justru jarang dapat dibuktikan kebenarannya. Karena itu hanya sedikit dari masyarakat Melayu yang benar-benar mempercayai kekuatan pantang larang itu, kecuali yang berkaitan dengan perladangan yang masih banyak dipatuhi (lihat deskripsi pantang larang dalam perladangan. Lihat juga Ibrahim MS, 2008).

Dinamika Kepercayaan terhadap Pantang Larang
Sebagai suatu produk budaya yang lahir dari sejarah hidup dan kehidupan dalam pengalaman sosial suatu masyarakat, pantang larang hidup dalam dinamikanya tersendiri. Dinamika dimaksud bisa dalam bentuk perubahan bentuk pantang larang hingga kekuatannya untuk dipercayai dan dipatuhi dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang, pantang larang yang ada juga tumbuh dan berkembang dalam dinamikanya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal menyangkut bentuk pantang larang dan kekuatannya untuk dipatuhi dalam masyarakat.
Dalam hal bentuk, perjalanan sejarah masyarakat Melayu pada satu sisi, dan wilayah geografis yang menjadi tempat hidup komunitas Melayu pada sisi lain telah menjadikan perubahan dan perbedaan pantang larang. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan bentuk pantang larang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang-Kapuas Hulu dengan Melayu Sintang, Melayu Sambas, Melayu Pontianak, Melayu Riau, Melayu Semenanjung dan sebagainya.
Dalam hal kekuatannya untuk dipatuhi, tampak jelas bahwa perjalanan waktu pada satu sisi dan tantangan pengaruh sosial di sisi lain telah memberikan dinamika tersendiri dan luar biasa terhadap pantang larang Melayu. ”Dulu` pantang larang memang paling di patuhi urang, nesik berani urang melangar pantang, kerna kalau melangar pantang pasti terjadi sesuatu, iyak mih kepercayaan urang tua dulu`”[6], begitulah pernyataan seorang informan di lapangan ketika diminta pendapatnya mengenai pantang larang itu. Dengan sikap yang demikian, maka jelas bahwa pantang larang pada masyarakat Melayu dahulu betul-betul menjadi penuntun hidup mereka, baik dalam hubungan sosial sesama manusia, manusia dengan kekuatan ghaib maupun hubungan manusia terhadap lingkungan dan alam.
Hal senada juga ditemukan dari informan lain di lapangan, sebagaimana yang dilaporkan oleh Yusriadi dalam catatan lapangannya. Menurut masyarakat Melayu Nanga Jajang, ”Pantang larang dipakai, dilanjutkan, sebagai cara untuk mengingat-ingat agar anak tidak dianggap durhaka (deraka) kepada orangtua. Kita hidup, dan tahu tentang kehidupan dari orangtua. Kita dilahirkan menjadi anak-anak. Dahulu, kalau orangtua sudah mengatakan pantang, sebagai anak tidak pernah berani membantah. Ikut saja.  Kalau dahulu, percaya saja langsung”.
Dengan demikian jelas bahwa kepatuhan masyarakat Melayu terhadap pantang larang bukan saja karena makna dan tuntunan yang disampaikan dalam bunyi pantang larang, melainkan juga kepatuhan terhadap orangtua yang mengingatkan pantang larang itu. Dalam kajian komunikasi antarpribadi (interpersonal of communication), pola inilah yang disebut dengan dimensi isi dan dimensi hubungan dalam komunikasi (Devito, 1997; Ibrahim MS, 2009b).
Efektivitas komunikasi dalam dimensi isi diukur dari tingkat penerimaan isi pesan yang disampaikan. Semakin baik penerimaan pesan hingga perubahan sikap dan perilaku, semakin berhasillah komunikasi antarpribadi. Sementara efektivitas komunikasi dalam dimensi hubungan bukanlah semata-mata diukur dari penerimaan isi pesan, melainkan faktor penyebab menerima pesan dan cara menerima pesan itu, dimana sebuah pesan akan diterima lebih disebabkan karena hubungan tertentu antara komunikator dengan komunikan. 
Kaitannya dengan kajian ini, maka dimensi isi dalam komunikasi pantang larang itu menyangkut makna teks dan konteks dari pantang larang yang ada. Sedangkan dimensi hubungan dalam pantang larang itu menyangkut kepatuhan terhadap siapa yang mengingatkan pantang larang itu. Itulah kepatuhan dan penerimaan apa adanya dari pantangan dan larangan yang ditetapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya dahulu. 
Bagaimana dengan realitas sosial masyarakat Melayu Nanga Jajang dengan pantang larang yang ada. Pengakuan beberapa narasumber di lapangan menunjukkan adanya perbedaan kepatuhan antara orang-orang tua dahulu dengan kondisi sosial masyarakat Melayu saat ini, di mana telah terjadinya pergeseran budaya dan cara hidup yang cukup signifikan. Jika pada masyarakat Melayu dahulu, pantang larang masih memiliki kekuatan tuntutan atas perilaku hidup masyarakat, maka sekarang pantang larang oleh sebagian besar generasi muda Melayu tidak lebih sekedar cerita pengalaman sejarah yang tidak lagi dihiraukan.
Mengapa degradasi kekuatan pantang larang sebagai tuntutan hidup terjadi dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang? Untuk menjawab itu paling tidak ada tiga hal penting yang dapat dikemukakan:
Pertama, Perkembangan ilmu pengetahuan dan tingkat pemikiran masyarakat Melayu, khusus generasi mudanya, sehingga ada kecenderungan bagi mereka untuk mencari rasionalisasi (logika berpikir yang baik, sistematis dan argumentatif) terhadap sesuatu, termasuk pantang larang. Dalam konteks ini, banyak dari pantang larang yang sukar ditemukan rasionalisasinya menurut mereka. Bahkan bagi generasi ini, peristiwa yang selama ini diyakini oleh orang-orang tua sebagai berkaitan dengan pantangan dan larangan sesungguhnya suatu kebetulan saja, atau dikait-kaitkan begitu saja. Karena itu, generasi ini mulai berpikir kritis dan cendrung tidak mempercayai pantang larang dan akibatnya sebagaimana diyakini oleh generasi tua. 
Kedua, Pengaruh budaya global yang ditandai dengan keterbukaan informasi dan komunikasi telah turut membuka wawasan, pengalaman dan cakrawala berpikir masyarakat. Dengan kondisi ini, sadar ataupun tidak, perlahan namun pasti mereka mulai mengkritisi, mengevaluasi dan selanjutnya menentukan pilihan-pilihan cara hidup mereka, termasuk dalam menata hubungan sosial kemanusiaan, lingkungan dan alam.
Ketiga, Jika pantang larang dapat disebut sebagai warisan budaya, maka sesungguhnya telah terjadi reduksi makna yang sangat besar dalam pewarisan nilai budaya pantang larang itu dari generasi tua ke generasi muda saat ini. Dari generasi pertama yang menciptakan pantang larang sebagai media komunikasi (mendidik dan membimbing hidup anak-anak) kepada generasi menengah yang mewarisi secara turun temurun (apa adanya dari pantang larang itu) hingga generasi muda saat ini yang mulai berpikir kritis, rasional dan realistis.
Pantangan dan larangan yang dibuat sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral dan tuntunan cara hidup yang baik kepada masyarakat (oleh generasi pertama), justru hanya dipahami dan diwarisi kulitnya (apa yang dipantang dan dilarang) oleh generasi menengah. Sementara maksud atau makna sesungguhnya di balik pantangan dan larangan (analogi) itu tidak terwarisi, sehingga menimbulkan sikap penafian dan pengabaian eksistensinya pada generasi muda saat ini.  
Alasan ketiga inilah sesungguhnya yang merupakan substansi dari persoalan melemahnya kekuatan pantang larang dalam menuntun cara hidup masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan seorang narasumber di lapangan ketika ditanya mengenai kekuatan pantang larang dalam menuntun hidup masyarakat. ”kebanyakan  pantang larang iya` hanya untuk ngidui magang, banyak pantang larang yang na` dimai agik oleh urang kinih, kerna banyak nebiyak kita yang na takut lagi dengan didui magang”[7] (Uju Unui Salim, 29 Novemver 2009).

Kepercayaan yang berkenaan dengan Pantang Larang
Zainudin Isman (2001) pernah menulis tentang Kepercayaan dan Agama Masyarakat Melayu Pedalaman, dalam hal ini adalah Melayu di Kampung Temuyuk. Menurutnya, orang Melayu Temuyuk masih mempercayai adanya hantu, keramat, penunggu, jin, dewa, semangat, dukun dan pantang larang, meskipun secara agama mereka semua adalah pemeluk agama Islam.
            Merujuk kepada kajian Isman, maka dapat dipastikan bahwa kondisi serupa juga terjadi pada masyarakat Melayu Nanga Jajang. Bahkan dapat dipastikan bahwa semua kepercayaan itu terkandung dalam pantang larang yang ada (sila lihat deskripsi pantang larang pada bab sebelumnya). Dalam konteks ini, penulis hanya akan membahas kepercayaan masyarakat Melayu dengan ”semongat” dalam kaitannya dengan pantang larang.
Secara sederhana `semongat` itu adalah semangat, kekuatan, roh atau jiwa sesuatu. Karena itu semongat menjadi sesuatu yang paling menentukan dan harus selalu ada dalam hidup dan kehidupan. `Semongat` itu ada dalam jiwa seseorang, dalam padi, beras, rezki, dan sebagainya[8]. Semongat itu tidak boleh hilang. Sebaliknya semongat itu harus selalu dijaga, dipelihara, dipanggil dan dilayani dengan baik. Sebab semongat dalam kepercayaan mereka bisa lari dan berpindah jika tidak dilayani dengan baik (Amat Johari Maoin dalam Isman, 2001). Dengan kepercayaan tersebut maka lahirkan tradisi `ngumai semongat`[9] pada masyarakat Melayu Nanga Jajang.
Kaitannya dengan pantangan `tidak boleh makan semerayan` atau `tidak boleh sebarang matah buah padi`, `tidak boleh nobak royung monih` dan sebagainya[10]. Hal ini disebabkan masyarakat Melayu percaya bahwa nasi dan padi ada semongatnya. Jika beberapa pantangan terkait hal di atas terpaksa atau tidak sengaja terjadi, maka harus segera memanggil semongatnya. `ku semongat nasi`, `ku semongat padi`, `ku semongat inik anan` dan semacamnya[11]. Begitupun jika pantang larang menyangkut keselamatan jiwa seseorang. Tiba-tiba, misalnya, didapati pisau yang terletak dalam posisi terlentang, dimana mereka berpantangan `tidak boleh melangkahi pisau yang terlentang`. Maka segeralah memperbaiki posisi pisau tersebut sambil mengucapkan `ku semongat`. Itulah sekelumit gambaran kepercayaan dengan `semongat` dalam kaitannya dengan tradisi pantang larang yang ada dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang.  
 
Kearifan Komunikasi dalam Pantang Larang
Sebagaimana telah disinggung dalam kajian di muka bahwa sesungguhnya pantang larang itu dimaksudkan untuk menuntun cara hidup masyarakat Melayu, baik dalam hubungannya dengan kekuatan ghaib, hubungan sesama manusia, maupun hubungan manusia dengan lingkungan dan alam sekitar.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa setiap pantang larang memiliki makna/maksud tertentu sesuai konteks (ruang dan waktu) berlakunya. Makna dan konteks inilah sebenarnya unsur komunikasi yang penting untuk dipahami dalam pantang larang, selain tentu saja, apa yang dipantang dan dilarang dalam pantang larang yang ada. Untuk melihat semua itu, kajian berikut ini akan dibingkai dalam diskusi mengenai ranah keberlakukan pantang larang, dinamika sosial dan komunikasi dalam masyarakat terhadap pantang larang dan diskusi mengenai pantang larang yang dilihat sebagai suatu strategi komunikasi dalam masyarakat Melayu.

Ranah Keberlakukan Pantang Larang
Bicara ranah berarti membincangkan mengenai wilayah, tempat dan lokasi. Apa yang dimaksudkan dengan ranah keberlakukan pantang larang dalam konteks ini adalah wilayah, tempat dan lokasi berlakunya pantang larang yang ada.
Pantang larang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang umumnya berlaku dalam ranah tersendiri dan bersifat khusus dan konteks tertentu. Dengan kata lain, umumnya pantang larang tidak berlaku dalam semua konteks dan untuk semua orang. Ada sebagian orang yang pantang terhadap sesuatu, tapi ada juga sebagian yang lain tidak pantangan. Begitupun menyangkut waktu, ada orang yang berpantang pada waktu tertentu, tapi pada waktu yang lain tidak berpantang apa-apa.
Berkenaan dengan ranah keberlakuan pantang larang ini, beberapa contoh dapat disebutkan seperti: `tidak boleh mengucapkan kata melopus ketika hendak pergi berburu atau memancing, takut benar-benar tidak dapat apa-apa dari buruan/pancingannya`. Pantang larang tersebut hanya berlaku ketika akan bepergian berburu atau memancing. Ketika bepergian biasa misalnya, kemudiaan ada sesuatu niat (makan atau minum) yang lupa dilakukan (dijamah), maka boleh mengucapkan kata pelopusah. Bahkan dalam konteks terakhir ini, lebih baik (mendekati keharusan) untuk mengucapkan pelopusah, supaya terjauh dari bahaya kempunan dan semacamnya.
Contoh lain adalah pantang larang menanam jolik jujur di tengah huma (ladang). Pantang larang tersebut hanya berlaku pada keluarga yang mempercayainya. Pada masyarakat Melayu lain yang tidak mempercayai pantangan tersebut, maka tidak masalah baginya untuk menanam jolik jujur itu di tengah ladangnya. Pada kelompok pertama, menanam jolik jujur di tengah huma (dipercayai) dapat mendatangkan bencana begi keluarganya. Tapi pada kelompok kedua, melakukan hal tersebut tak ada masalah.   
Disamping itu, hampir semua pantang larang yang ada hanya diperuntukkan bagi masyarakat Melayu setempat, dipercayai dan digunakan untuk dan kepada sesama Melayu setempat. Dengan kata lain, hampir tidak ada pantang larang orang Melayu Nanga Jajang yang digunakan untuk memaksa orang lain di luar kampung itu untuk mempercayai/mematuhinya. Walaupun kenyataannya, sesama komunitas Melayu juga memiliki pantangan dan larangan yang serupa atau hampir sama. 

Dinamika Sosial & Komunikasi terhadap Pantang Larang
Perubahan pola pikir, cara hidup dan kehidupan adalah suatu realitas dinamis yang tak terbantahkan dalam sejarah sosial manusia. Dengan realitas dinamis itulah manusia mengalami perubahan hidup yang mendasar dalam sejarahnya, dari pra sejarah, sejarah dan pasca sejarah, dari purba hingga modern. Dalam realitas dinamis tersebut, perubahan juga akan terjadi dalam berbagai hal, seperti cara hidup, berpakaian, berbahasa hingga piranti-piranti sosial lainnya, termasuk nilai tradisi, sosial dan budaya yang lahir dan hidup dalam masyarakat dalam bentuk pantang larang.
Di atas telah dikemukakan bahwa pantang larang dahulu memiliki peran sosial dan komunikasi yang sangat penting dalam masyarakat Melayu. Akan tetapi perjalanan sejarah yang panjang, yang dilalui dengan berbagai tantangan dan pengaruh (baik dari luar maupun dari dalam) telah turut merubah realitas ini. Perubahan yang mendasar dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu Nanga Jajang  (lihat bab 4), ditambah dengan pola pewarisan yang keliru (terdistorsi) terhadap nilai-nilai tradisi dalam pantang larang menjadikan alasan utama penurunan eksistensi pantang larang dalam masyarakat Melayu saat ini. Dinamika sosial dan komunikasi inilah yang menyebabkan pantang larang kehilangan kekuatan dan eksistensi dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu Nanga Jajang saat ini.

Pantang Larang sebagai suatu Strategi Komunikasi
Berdasarkan analisis dan kajian yang ada, jelas bahwa pantang larang mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dalam kajian komunikasi, maksud dan tujuan inilah yang dikenal dengan `makna`. Karena setiap pantang larang mempunyai makna, maka pantang larang itu sendiri sebenarnya adalah satu bentuk komunikasi yang dilakukan dalam tradisi sosial dan budaya masyarakat Melayu (Ibrahim MS, 2009a & 2010). Dengan persepektif tersebut, dapat dipastikan bahwa pantang larang tidak muncul begitu saja tampa makna yang ingin disampaikan. Pantang larang diciptakan adalah untuk membawa pesan-pesan tertentu. Dan pesan-pesan itulah sesungguhnya inti atau substansi dari makna komunikasi pantang larang yang ada. 
Sebagaimana umumnya dimaknai, komunikasi itu adalah proses pertukaran informasi, gagasan dan pikiran antara dua orang atau lebih ( Devito, 1997; Liliweri, 2003) hingga proses membangun kesepahaman untuk pemenuhan harapan dan perubahan tingkah laku (Rogers & Hovland, 1948; Dedy Mulyana, 2001).
Kaitannya dengan kajian ini, maka sesungguhnya pantang larang dalam masyarakat Melayu itu tidak lain juga adalah proses komunikasi itu sendiri. Melalui pantang larang itulah berbagai pesan sosial kemanusiaan, akhlak, kesusilaan, dan sebagainya disampaikan dari generasi ke generasi dalam masyarakat Melayu. Dengan pantangan dan larangan ini pulalah sebenarnya tuntunan hidup diwarisi secara turun temurun dalam tradisi sosial dan budaya masyarakat Melayu Nanga Jajang. Realitas ini paling tidak memancing diskusi kita kepada tiga persoalan penting; apakah pantang larang itu secara jelas memberikan tuntunan hidup bagi masyarakat? Adakah pesan/makna terdalam dari setiap pantang larang yang hidup dalam masyarakat Melayu sehingga penting untuk terus dipahami? Mengapa harus pantang larang yang digunakan dalam transformasi komunikasi orang Melayu?
Pertama, secara jujur harus diakui bahwa sebagian besar pantang larang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang tidak memberikan tuntunan dan bimbingan hidup secara jelas dalam bentuk teks. Sebaliknya, teks pantang larang pada umumnya menyampaikan sesuatu yang menakutkan atau ancaman. Contoh pantang larang `tidak boleh duduk di depan pintu, nanti balang tunang`. `Tidak boleh duduk di depan pintu` merupakan pantangan dan larangan, sedangkan `balang tunang` adalah ancaman. Berikut beberapa contoh lainnya ditampilkan dalam bentuk tabel.
Tabel
Analisis Teks Pantang Larang
PANTANG LARANG
PANTANGAN
ANCAMAN
Tidak boleh memotong kuku pada waktu malam, karena itu mendoakan kematian orang tua
Memotong kuku waktu malam
Kematian orang tua

Anak kecil tidak boleh makan kerak nasi, takut tumbuh jadi anak yang bodoh/tidak cerdas

Makan kerak nasi

Jadi anak yang bodoh/ tidak cerdas

Tidak boleh mengasah pisau malam hari, sebab mengundang kedatangan hantu

Mengasah pisau malam hari

Kedatangan hantu

Tidak boleh memanjat pokok pisang, bisa menyebabkan kemaluan membengkak (burut)

Memanjat pokok pisang

Kemaluan membengkak (burut)

Tidak boleh melewati depan orang yang lagi shalat, sebab sama dengan melintasi depan api neraka

Melewati di depan orang shalat

Panas melintasi api neraka
Dari pemetaan di atas, tampak bahwa secara tekstual pantang larang hanya menampilkan apa yang dipantang dan dilarang (pantangan & larangan) dengan akibat yang akan terjadi jika melanggarnya (ancaman). Artinya, secara tekstual hampir tidak didapatkan pesan-pesan atau makna-makna terdalam dari pantang larang yang ada. Bahkan, nyaris tidak ada kaitan yang rasional dan argumentatif antara pantangan dan larangan yang disebut secara tekstual. Karena itu ada makna atau pesan yang harus ditemukan dari pantang larang tersebut. Bukankah makna atau pesan itu sendiri yang menjadi substansi komunikasi dalam pantang larang yang ada.
Kedua, jika kita sepakat bahwa pantang larang adalah satu bentuk komunikasi dan proses memberikan tuntunan hidup dalam masyarakat Melayu, maka kita mesti percaya adanya makna atau pesan terdalam yang sesungguhnya dibawa dalam pantang larang itu. Sikap tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa analisis sederhana terhadap pantang larang yang ada. Pantang larang `tidak boleh memandang orang yang sedang buang air, nanti matanya tumbir (sakit-bengkak)` misalnya, secara teks sama sekali tidak ada hubungan antara keduanya. Sebab, melihat orang yang sedang buang air adalah satu hal, dan sakit mata (tumbir) merupakan hal yang lain lagi. Lantas apa sebenarnya makna atau pesan yang hendak disampaikan dari pantang larang tersebut? Secara sosial dan budaya, pekerjaan tersebut memang tidak beretika. Secara agama, pekerjaan demikian termasuk dosa, karena melanggar norma agama di mana kita dilarang memandang aurat seseorang. Dalam beberapa kasus memang terjadi suatu peristiwa yang mirip dan berkaitan dengan apa yang dibunyikan dalam teks pantang larang itu, akan tetapi tentu saja tidak ada dasar yang dapat dijadikan bukti keterkaitan yang jelas antara pantangan dengan peristiwa yang terjadi.
Ketiga, digunakannya pantang larang sebagai media komunikasi dan transpormasi pesan bagi tuntunan hidup dalam masyarakat Melayu, sepertinya sangat terkait dengan budaya hidup yang mendasar dalam tradisi sosial masyarakat Melayu. Tuntunan hidup melalui pantang larang merupakan satu strategi membentuk perilaku dengan cara mengancam dan menakuti-nakuti apabila tidak diperhatikan/melanggar. Dengan kata lain, pantang larang itu hanya untuk menakut-nakuti agar tidak melakukan sesuatu/melanggar ketentuan tertentu. Inilah setidaknya yang diakui oleh beberapa tokoh Melayu di Nanga Jajang seperti Uju Unui Salim (29 November 2009).
Jika semua analisis ini benar adanya, maka dapat dipastikan bahwa pantang larang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang tidak lain adalah satu bentuk strategi komunikasi yang sengaja dibangun oleh generasi tua Melayu dalam memberikan bimbingan dan tuntunan dalam hidup. Dengan demikian maka, strategi komunikasi tersebut, yang lahir puluhan bahkan ratusan tahun yang silam telah lebih jauh mendahului kehadiran teori dan strategi komunikasi modern, dalam hal ini adalah teori two step flow of communication dan multi step flow of communication (Burhan Bungin, 2008; Sutaryo, 2005; Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala, 2004). 
Membandingkan dengan teori komunikasi modern tersebut, jelas bahwa pantang larang dalam masyarakat Melayu menggunakan dua tahap komunikasi (two step flow) dan banyak tahap (multi step flow) komunikasi. Generasi tua (pembuat pantangan dan larangan) sebagai komunikator, teks pantang larang (ancaman) sebagai tahapannya, dan kepatuhan untuk mengikuti atau tidak melanggar ketentuan sebagai makna atau substansi pesan komunikasi yang disampaikan kepada generasi muda sebagai komunikannya.  Jika mengacu kepada teori tahapan, maka  gambarannya adalah sebagai berikut:








Bagan Dua Tahap Komunikasi
          A





   B




          C
 
Keterangan: 
A =  Gererasi tua/orang yang membuat pantang larang untuk memberikan tuntunan dan bimbingan hidup kepada generasi mudanya.
B = Teks pantang larang yang digunakan sebagai tahapan (sarana/media untuk menakut-nakuti atau mengancam).
C =   Generasi muda/orang yang dikenakan pantangan dan larangan, yang merupakan sasaran komunikasi (tujuan dan maksud sesungguhnya) berupa kepatuhan untuk mengikuti sesuatu atau tidak melanggar sesuatu.

Sumber: dikutif dari Tahapan Komunikasi dalam Ibrahim MS, 2010

Pertanyaan lebih lanjut dari analisis tersebut adalah; mengapa pantang larang dijadikan strategi komunikasi bagi orang-orang tua Melayu dalam memberikan tuntunan dan bimbingan hidup secara turun temurun? Kajian di lapangan memang tidak menemukan jawaban yang pasti atas pertanyaan ini, sebab kebanyakan mereka mewarisi pantang larang tersebut secara apa adanya dan turun temurun. Karena itu tidak heran jika sampai saat ini telah terjadi banyak reduksi bahkan in-eksistensi peran pantang larang dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu hari ini. Akan tetapi dari kajian ini, penulis dapat membuat beberapa asumsi yang patut diungkapkan untuk konteks ini; Pertama,  Makna sesungguhnya dalam pantang larang bukanlah makna tekstual (seperti apa yang dipantang dan dilarang itu) melainkan makna kontekstualnya (tersimpan di balik teks pantang larang itu). Karena itu makna kontekstual itulah yang harus dicari, dipahami, dan dijadikan pengajaran, karena itulah inti dari komunikasi pantang larang.
Kedua, Masyarakat sendiri sudah mulai kritis dan sadar bahwa secara tekstual, apa yang disebutkan dalam pantangan dan larangan itu sama sekali tidak ada hubungan langsung yang berarti. Paling-paling karena terlanjur diyakini, sehingga ketika terjadi suatu peristiwa selalu dikaitkan dengan pantang larang yang ada. Secara tekstual, pantang larang itu adalah untuk menakut-nakuti/mengancam saja.
Ketiga, terjadinya reduksi pemahaman dan keyakinan yang berimbas pada keberlangsungan eksistensi pantang larang dalam masyarakat disebabkan pola pewarisan yang keliru terhadap tradisi ini. Di mana pesan kontekstual (makna terdalam) tak terwarisi sebagaimana pewarisan pesan tekstual itu sendiri. Sementara pesan tekstual tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara nyata dalam realitas sosial. Jika mengacu pada strategi komunikasi modern (dua tahap), maka yang terwarisi dalam masyarakat Melayu saat ini adalah jalur komunikasi B (pantang larang) kepada C (generasi muda), bukan A (pembuat pesan) kepada C (tujuan pesan).
Keempat,  sebagai sebuah strategi, komunikasi melalui pantang larang terbukti lebih efektif dalam membimbing dan menuntun perilaku hidup masyarakat Melayu dalam sejarah sosial mereka. Inilah bentuk strategi komunikasi dua tahap dalam komunikasi (two step flow of communication). Tujuan pesan supaya anak tumbuh sehat dan cerdas (C) dapat diwujudkan (A) dengan pantangan memakan makanan yang tidak baik, kurang karbohidrat dan justru rawan bagi endapan kotoran besi, pasir dan sebagainya (B) melalui pantang larang `tidak boleh memakan kerak nasi bagi anak-anak`.
Kelima, sebagai komunitas yang sangat dekat dengan Islam, tentu pengaruh Islam juga sangat kental dalam tradisi sosial mereka, termasuk dalam pantang larang. Asumsi ini dapat dilihat dengan jelas dari beberapa pantang larang yang berkaitan dengan norma agama seperti `larangan melewati di depan orang yang sedang shalat`, `larangan melangkah al-Qur`an` dan sebagainya.
Jika komunikasi pantang larang dilihat sebagai metode bimbingan dan pendidikan akhlak, maka sebenarnya Islam juga telah mengajarkan metodenya sebagaimana dalam berdakwah. Dalam dakwah Islam kita mengenal suatu metode pemberian kabar gembira (tabsyir) dan ancaman akan siksaan neraka (tandzir). Tabsyir sebagai metode dakwah dilakukan dengan cara mengajak orang untuk taat kepada Allah dengan memberikan janji-janji pahala dan surga (segala sesuatu yang menggembirakan bagi pelakunya). Sebaliknya tandzir sebagai metode dakwah dilakukan dengan cara mengajak orang untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dengan mengemukakan ancaman dan siksa neraka bagi yang melanggarnya. Kaitannya dengan komunikasi pantang larang, maka metode kedua inilah yang paling menjadi rujukan komunikasinya, yakni pendekatan Indzar[12] (Ibrahim MS, 2007), yakni berupa ancaman bahaya jika melanggar pantangan atau tidak mematuhinya.


[1] Terjemahan: begitulah kata orang tua kami dahulu mengajarkan, jadi kami hanya mengikuti saja sampai hari ini, dan kami pun tidak mengetahui apa makna sebenarnya dari pantang larang tersebut.
[2] Terjemahan: menanam padi di ladang tidak boleh membentuk lingkaran bulat atau keliling tepi, melainkan harus berjajar hingga ada celah untuk padi bernafas.
[3] Terjemahan bahasa Indonesia: “sebagian besar pantang larang itu hanya dibuat untuk menakut-nakuti saja, banyak pantang larang yang tidak diikuti oleh generasi muda sekarang karena kebanyakan mereka (anak-anak muda) tidak peduli dengan cara ditakut-takuti saja begitu”.
[4] Bedonay itu adalah istilah yang digunakan oleh orang Melayu di Jajang untuk menyebutkan aktivitas berladang yang dilakukan bersama dalam satu lokasi atau berdekatan. Berladang bentuk ini bisa terdiri dari 2, 3 atau lebih kepala keluarga. Berladang dalam bentuk ini hampir tidak tampak batasnya jika dilihat dari jauh, sebab batas ladang mereka hanya berupa jalan sebesar 50 CM. itupun biasanya masih ditanami dengan tanaman-tanaman kecil lainnya, termasuk jolik jujur itu.

[5] Terjemahannya: ”jadi hari ketiga kelahiran anaknya, bukan malah ia menjemput saya untuk acara selamatan anak, melainkan untuk acara beruwah anaknya yang baru meninggal”. Itulah penuturan dari seorang bidang kampung.
[6] Terjemahan: ”dahulu, pantang larang memang sangat dipatuhi, tak seorangpun yang berani melanggar apa yang dipantang dan dilarang, sebab mereka percaya bahwa jika melanggar pasti akan menerima akibatnya berupa malapetaka dan bencana, itulah kepercayaan orang-orang dahulu” (Uju Unui Salim, 11/2009).
[7] Terjemahan bahasa Indonesia: “sebagian besar Pantang Larang itu hanya dibuat untuk menakut-nakuti saja, banyak pantang larang yang tidak diikuti oleh generasi muda sekarang karena kebanyakan mereka (anak-anak muda) tidak peduli dengan cara ditakut-takuti saja begitu”.

[8] Kaitannya dengan `semongat` atau semangat, khususnya semangat Padi, sila juga dibaca tulisan William W. Skeat (1990), dan Winstedt (1920).

[9] Terjemahan: ngumay itu bermakna memanggil, semongat itu bermakna semangat, kekuatan, jiwa dan roh. Jadi ngumay semongat itu bermakna memanggil semangat, hidup, kekuatan, jiwa dan roh. Baik itu untuk diri manusia, padi, beras, nasi, maupun rezki lainnya.

[10] Terjemahan: tidak boleh makan berceceran, panen padi harus beretika/teratur, tidak boleh melempar wadah untuk menanam padi.

[11] Terjemahan: wahai semangat nasi, wahai semangat padi, wahai semangat dewi padi.
[12] Indzar sebagai metode dalam al-Qur`an bermakna pemberian kabar duka, siksaan dan ancaman hukuman. Sebagai metode dakwah Indzar selalu digunakan setelah tabsyir (pemberian kabar baik, pahala dan gembira). Karena banyak sekali ayat al-Qur`an yang menyebutkan kedua metode ini bersamaan ”tabsyîran wa tandzîran”, mubasysyiran wa nadzîran”, ”mubasysyirîn wa mundzirîn”, dan sebagainya.