Satu perspektif mengenai identitas kaum Nahdliyin dalam dinamika sosial keagamaan, budaya dan politik kontemporer
[1] Makalah yang ditulis sebagai bahan diskusi Dosen di
Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Pontianak, tahun 2013.
Oleh:
PENDAHULUAN
Ketika
mendengar kata NU (baca: nadhliyin) diucapkan, maka yang segera
terlintaskan dalam pikiran kebanyakan kita adalah sekelompok jamaah yang
mengakui dan atau diidentifikasikan sebagai komunitas Islam tradisional yang
mengamalkan berbagai tradisi dalam beragama. Secara organisasi akan segera
terbayangkan dalam benak kita sebuah organisasi sosial kemasyarakatan terbesar
di tanah air yang dikenal dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam
realitas sosial pula, dengan mudah kita menemukan kelompok Nahdliyin
ini, baik yang secara jelas mengamalkan ajaran ahlussunnah waljamaah maupun
mereka yang mengakui kaum nahdliyin dengan tampa perlu menunjukkan
identitas tersebut secara jelas.
Jika nahdliyin
(pengikuti Nahdlatul Ulama) selama ini dikenal sebagai pemelihara dan pengamal
praktek tradisi Islam ahlussunnah wal jamaah, maka identitas itu tidak
lagi mudah dikenal dalam realitas sosial masyarakat agama hari ini. Sebab, pada
sebagian mereka yang mengakui atau bahkan dikatagorikan sebagai kaum nahdliyin
justru tidak lagi secara istiqamah mengamalkan tradisi dan praktek Ahlussunnah
waljamaah sebagaimana identitas semula. Apalagi jika kaum nahdliyin
ini dibicarakan dalam konteks politik, maka pada sebagiannya akan semakin kabur
identitas kultural bahkan ideologi keagamaannya.
Disinilah
muncul sebuah persoalan mengenai potret nahdliyin yang sesungguhnya hari
ini. Adakah kaum nahdliyin hari ini masih memiliki identitas kultural dan
ideologi keagamaan sebagaimana khittahnya? Atau justru nahdliyin hanya sebagai
sebuah “identitas semu” yang dimanfaatkan sebagai sarana untuk mewujudkan
berbagai kepentingan politik? Itulah diantara aspek penting yang akan didiskusikan
dalam tulisan sederhana ini, sebuah tulisan yang lahir dari hasil pengamatan
dan perenungan subjektif penulis terhadap kondisi NU (baca: kaum nahdliyin)
hari ini, khususnya di Kalimantan Barat.
NU SEBAGAI SEBUAH
ORGANISASI
Dalam mendiskusikan
NU sebagai sebuah organisasi sosial dan kemasyarakatan, penulis tidak akan
membicarakan secara detil sejarah kelahiran dan para pendiri organisasi ini.
Bagian ini hanya memaparkan secara umum latar belakang sosial, politik dan
keagamaan yang secara umum membidani kelahiran organisasi NU pada tahun 1926.
Sebagai
sebuah organisasi sosial keagamaan yang lahir dalam realitas kultural dan
tradisi yang mengakar dalam masyarakat, setidaknya ada tiga alasan yang melatar
belakangi kelahirannya menurut Muhsin Jamil dkk (2007: 282).
Pertama, motivasi keagamaan,
yakni untuk mempertahankan agama Islam dari serbuan “politik kristenisasi” yang
dilancarkan penjajah Belanda, terutama (yang terang-terangan) sejak abad ke
-20. Berbagai bantuan dilancarkan oleh kolonial Belanda untuk program misi
Katolik dan Zending Protestan ketika itu. Perlawanan secara ideologi melalui
kelahiran NU dipandang lebih baik dan menguntungkan, sebab perlawanan secara
fisik justru selalu berujung pada kegagalan sebagaimana Perang Djawa yang
dipimpin Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo (1825-1830), Perang Padri yang
dipimpin Imam Bonjol (1821-1837), Perang Aceh yang dipimpin Teuku Umar, Teuku
Cik Ditiro dan Cut Nya` Din (akhir abad 19-awal abad 20) dan sebagainya.
Kedua, membangun
semangat nasionalisme untuk mencapai kemerdekaan Negara. Pada pendiri NU sadar
betul bahwa semangat nasionalisme dan rasa kebangsaan menjadi kata kunci dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Motivasi ini tampak jelas dalam dialog antara Kyai
Abdul Halim (Cirebon) dengan KH. Wahab, sehari sebelum lahirnya NU[2].
Ketiga, untuk
mempertahankan faham Ahlussunnah waljamaah. Motivasi ini jelas menjadi
alasan penting yang mendorong kelahiran NU sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan,
dimana ketika itu muncul berbagai gerakan dan jargon purifikasi ajaran
keislaman baik di tingkat lokal (Islam Indonesia) maupun dunia (Timur Tengah).
Di Indonesia misalnya muncul Organisasi Muhammadiyah, Al-Isryad, dan Persis
yang mengusung faham pembaharuan dengan mengkritisi tradisi sebagai jargon
utamanya. Sementara di Timur Tengah, kemenangan rezim Sa`ud yang beraliran Wahabi dalam politik Saudi Arabia
juga menjadi faktor penting yang mendorong lahirnya NU. Oleh para ulama pendiri
NU ketika itu, kemenangan rezim Sa`ud yang Wahabi dan anti tradisi itu menjadi
ancaman yang membahayakan eksistensi tradisi dalam faham Ahlussunnah Waljamaah
yang sebelumnya eksis di Timur Tengah. Argumentasi ini menjadi semakin jelas
dengan dibentuknya komite Hijaz, sebuah tim yang hendak dikirim untuk menemui
raja Sa`ud ketika itu. Bahkan menurut Choirul Anam dalam Muhsin Jamil dkk
(2007: 285), peta politik Timur Tengah inilah yang menjadi satu-satunya alasan
utama kelahiran NU, bukan persoalan Islam dan kehadiran ormas Islam lainnya di
tanah air sebagaimana digambarkan di atas.
Atas dasar
itulah, lahirnya NU sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang
mengusung faham Ahlussunnah waljamaah ala madzahibil arba`ah dalam mainstream
perjuangan di satu sisi, dan pada sisi lain juga mengikrarkan diri sebagai
ormas yang peduli terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, perdagangan dan
sebagainya dalam rangka pengabdian kepada bangsa, negara dan umat manusia.
KAUM NAHDLIYIN DALAM SOROTAN
Ada tiga
aspek yang hendak dilihat sebagai kemungkinan identitas kaum nahdliyin
dalam perbincangan saat ini; Adakah ia sebagai suatu identitas kultural, atau
identitas ideologi keagamaan, atau bahkan identitas politik? Jika identitas kultural,
maka kaum nahdliyin dicirikan dengan pengamalan kultur dan tradisi ke NU
annya. Jika identitas ideologi keagamaan, maka kaum nahdliyin dicirikan
dengan pengamalan ajaran agama dan praktek keagamaan yang bernafaskan faham Ahlussunnah
waljamaah. Dan jika identitas politik, maka nahdliyin dicirikan
sebagai jargon politik belaka yang “cendrung kering” dari nilai kultural dan
ideologi keagamaan sebagai identitas dasar pengikut organisasi Nahdlatul Ulama.
Berikut diskusi lebih detil ketiga identitas tersebut.
Nahdliyin sebagai identitas Kultural
Identitas kultural
adalah identitas yang lahir dari keterlibatan seseorang terhadap sebuah budaya
yang digeluti dalam kehidupannya. Dalam konteks ini, identitas kultural
menyangkut ciri dan identifikasi seseorang berdasarkan latar belakang budaya
dan keanggotaannya dengan kelompok budaya tersebut.
NU (baca: nahdliyin)
sebagaimana dalam sejarahnya adalah komunitas yang lahir dalam budaya keagamaan
tradisional, yang memelihara banyak tradisi dalam beragama. Diantara identitas
kultural yang paling kentara adalah pengamalan sunnah Nabi Saw, tradisi pondok
pesantren dan sebagainya. Dengan kata lain, orang yang secara sosial keagamaan
masih mengamalkan praktek tradisional Islam ini, maka ia dapat diidentifikasi
sebagai nahdliyin. Atau setidaknya, orang yang hidup dan terlahir dalam
tradisi pesantren, atau di tengah keluarga yang mengamalkan praktek Islam
tradisional (ahlussunnah waljamaah), maka ia juga kaum nahdliyin.
Walaupun pada kenyataan, beberapa diantaranya tidak begitu menyadari identitas
tersebut. Identifikasi sebagai kaum nahdliyin pada kelompok ini lebih
disebabkan karena keberadaanya dalam kultural nahdliyin. Meskipun harus
disadari bahwa bagi kelompok ini, substansi beragama jauh lebih penting dibandingkan
membincangkan identitas kultural keagamaan dalam keluarga, pendidikan atau
bahkan dalam budaya sosialnya.
Sebagai
sebuah identitas kultural nahdliyin, pesantren adalah tolak ukurnya.
Karena itu muncul ungkapan yang menyatakan bahwa; “NU adalah pesantren besar,
dan pesantren adalah NU kecil” (Mukhsin Jamil dkk, 2007: 325). Ungkapan ini
menunjukkan betapa eratnya hubungan NU dengan pesantren, dimana para ulama
pendiri NU adalah para Kiyai yang memiliki pesantren, yang di dalamnya amalan
tradisi dan sunnah Nabi Saw eksis dilakukan. Di dalamnya diajarkan faham-faham
ke-Islaman ahlussunnah waljamaah dengan empat mazhab sebagai pilihannya.
Nahdliyin
sebagai identitas Ideologi Keagamaan
Pada sisi
yang lain, kita mengenal kaum nahdliyin sebagai komunitas yang mengamalkan
faham keagamaan yang khas, yang berasaskan pada ideologi keagamaan Ahlussunnah
wal jamaah dan mengikuti salah satu dari empat mazhab. Ideologi keagamaan
ini sesungguhnya berawal dari realitas sejarah NU itu sendiri yang lahir dari
kalangan Kiyai pesantren yang notabene memiliki hubungan historis dan kultural
dengan faham Islam Aswaja (Barton, 1999). Sebagai identitas ideologi
keagamaan, faham aswaja merupakan sistem nilai dan menjadi prinsip ajaran,
tuntunan dan haluan bagi praktek keagamaan dan sosial kemasyarakatan kaum nahdliyyin
(Mukhsin Jamil dkk, 2007: 352).
Ideologi
keagamaan sebagai identitas kaum nahdliyin juga dapat dilihat dari
pokok-pokok ajaran aswaja yang sering didefinisikan sebagai; faham keagamaan
yang mengikuti Asy`ari dan Maturidi dalam berteologi (aqidah), mengikuti
Syafi`i, Hanafi, Maliki dan Hambali dalam fiqih, dan mengikuti Junaid
Al-Baghdadi dan Al-Ghazali dalam tasawuf (lihat Agil Siraj dalam Mukhsin Jamil
dkk, 2007: 361).
Dengan
demikian jelas bahwa Aswaja bukan hanya identitas teologi dan kultural bagi
kaum nahdliyin, melainkan inti (dasar) dari pandangan keagamaan yang
meliputi:
1.
Fiqih, mengikuti salah
satu mazhab) Syafi`i, Hambali, Hanafi dan Maliki), baik secara qaulan (tekstualistik)
maupun manhajiyan (metodologi).
2.
Tasawuf, sebagai
penyeimbang antara tradisi fiqih yang formal dan serba permukaan (ekstrinsik),
dengan dimensi spiritual dan kesadaran bathiniah (instrinsik) dalam
beribadah total kepada Allah Swt, sebagaimana diajarkan Junaid Al-Baghdadi dan
Al-Ghazali.
3.
Teologi, yang menengahi
antara nash dan akal. Abu Hasan Al-Asy`ari dan Maturidi sebagai panutannya
merupakan faham moderat dari dua ekstrimisme teologi ketika itu, dimana
Mu`tazilah (Qadariah) yang menempatkan akal dalam fungsi yang maksimal
untuk menentukan kebenaran, dan Fatalistik (Jabariah) yang mengabaikan
fungsi akal dan kehendak manusia, dan sebaliknya mengembalikan segalanya kepada
kehendak multak Tuhan.
4.
Sosial politik, yang
merupakan adopsi dari pemikiran Al-Mawardi yang menganggap pendirian negara
hukumnya fardhu kifayah, yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara
pemenuhan “kebutuhan politik” (siyasah addunya) dan pemeliharaan agama
Allah (hasarat addin). Ini bermakna bahwa kedudukan sosial dan politik
sesungguhnya adalah alat untuk memelihara agama Allah. Karena itu tidak
sepantasnya nilai sosial politik yang demikian dijadikan tujuan hidup kaum nahdliyin,
sehingga rela menceburkan diri dalam dunia politik dan larut dalam
kepentingan politik praktis, yang memang menggiurkan.
Dengan
demikian, sampai pada tahap ini kita dapat mengenal identitas kaum nahdliyin
melalui ideologi keagamaan yang dijalankan. Baik secara sadar diakui sebagai
identitas ideologi keagamaan NU, maupun diidentifikasi sebagai berideologi
keagamaan Nahdlatul Ulama, sebagaimana umumnya realitas kaum nahdliyin hari ini.
Nahdliyin dalam
Kepentingan Politik
Sejarah
mencatat betapa kaum nahdliyin pernah menjadi idola bagi kepentingan
politik, baik yang lahir dari rahim Nahdltul Ulama sendiri sebagai sebuah
organisasi maupun oleh pihak lain yang berkepentingan dengan dukungan suara
kaum nadhliyyin yang memang mayoritas di tanah air.
Kerentanan
kaum nahdliyin terseret dalam kepentingan politik praktis terlihat jelas dengan
dukungan (identifikasi) organisasi tersebut kepada Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) di era pemerintahan orde baru sebelum diambil kesepakatan NU kembali ke
Khittah 1926 (lihat dalam Mahrus El-Mawa, 2003; Abdul Haris dkk, 2003, serta
Mukhsin Jamil dkk, 2007).
Dengan
kembali ke Khittah 1926, NU sebagai sebuah organisasi menyatakan kembali ke
pangkuan rakyat sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan, dan bukan komoditas
politik praktis. Sebaliknya sikap politik dan pilihan dukungan politik menjadi
pilihan bebas kaum nahdliyin secara pribadi.
Bergulirnya
arus reformasi tahun 1999 dengan lahirnya multi partai kembali membawa
organisasi ini kepada “godaan” politik praktis, dimana NU dikenal sebagai ibu
kandung dari Partai Kebangkitan Bangsa. Sejak itu PKB diklaim sebagai
satu-satunya sayap politik resmi milik warga NU, yang dijadikan sebagai wadah
penyaluran aspirasi politik kaum nahdliyin (Abdul Haris dkk, 2003). Meskipun
pada sisi lain, PPP sesungguhnya masih melibatkan para Kyai NU sebagai
pengurusnya. Bersamaan dengan itu lahir pula partai politik yang memberikan
identitas ke NU an seperti Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU), Parta
Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdlatul Ummat (PNU) dan sebagainya.
Besarnya jumlah komunitas nahdliyin
sesungguhnya menjadi daya tarik yang luar biasa bagi kepentingan mencari
dukungan politik praktis. Karena itu, sejarah NU (secara jamaah dan jam`iyah)
nyaris tak pernah benar-benar lepas dari tarik menarik untuk kepentingan
dukungan politik praktis. Meskipun secara organisasi, sejak kembali ke Khittah
1926 organisasi ini menyatakan menarik diri dari politik praktis. Akan tetapi
pemberian “restu” kepada kader (terutama tokoh) secara pribadi untuk terlibat
dalam politik praktis sesungguhnya rentan terhadap manipulasi dukungan politik.
Hal ini dibuktikan dengan ramainya para tokoh (pengurus NU) yang menggunakan
identitas ke NU annya semata-mata untuk mencari dukungan politik dari kaum nahdliyin.
Kondisi demikian pada satu sisi
memang penting guna mendukung perjuangan besar kaum nahdliyyin, akan tetapi
pada sisi lain dapat menyebabkan dua hal: pertama, memberi peluang bagi
terseretnya NU (jamaah dan jam`iyah) kedalam kepentingan politik
praktis, yang tentunya bertentangan dengan kesepakatan khittah 1926. Kedua,
dan ini yang lebih parah ketika kepentingan dukungan politik menjadi “identitas
semu” kaum nahdliyin hari ini. Sebab, tidak sedikit dari pengurus NU khususnya,
dan kaum Nahdliyin umumnya yang telah “hilang” identitas kultural dan
keagamaannya sebagainya dalam sejarah awal organisasi ini. Karena itu, marilah
dengan kejujuran dan keterbukaan diri kita untuk melihat bagaimana sesungguhnya
potret kaum nahdliyin hari ini, khususnya di Kalimantan Barat.
FOTRET KAUM NAHDLIYIN
HARI INI
Bagaimana
dengan NU dan kaum nadhliyin di Kalimantan Barat hari ini? Adakah NU merupakan
identitas kultural dan ideologi faham keagamaan yang dijalani dengan segenap
kesadaran dan pemahaman sebagaimana konsep ahlussunnah waljamaah?
Ataukah hanya sebuah identitas yang diakui sebagai identifikasi kultural sebagai
bagian dari komunitas umat yang berfahamkan keislaman dengan paham ahlussunnah
waljamaah? Atau, jangan-jangan identitas NU (diakui dan mengakui sebagai nahdliyin)
hanya karena mencari dukungan politik dan berbagai kepentingan politik praktis.
Itulah aspek penting yang didiskusikan dalam potret kaum nahdliyin hari ini.
Jika kembali
melihat NU dan kaum nahdliyin dalam konteks sejarah, maka kita akan melihat
identitas kultural dan keagamaan yang jelas dalam faham keislaman ahlussunnah
waljamaah dalam manhaj tauhid dan berpikir umat, dimana pesantren
menjadi wadah formal penyebaran faham keagamaan ala NU. Bahkan para pendiri NU,
hingga pengurus organisasi ini pada mulanya adalah para Kyai yang mempunyai
basis nyata pondok pesantren. Singkat kata, NU sebagai organisasi ketika itu
diisi oleh para ulama yang berasal dari pondok pesantren, yang memiliki santri
dan pengikut paham aswaja yang jelas.
Bandingkan
dengan kondisi hari ini, khususnya di Kalimantan Barat. Jika pondok pesantren
menjadi ciri utama, dengan kemampuan mengkaji kitab-kitab klasik sebagai
amalannya, maka banyak dari pengurus NU hari ini yang krisis identitas kultural
tersebut. Banyak dari mereka yang mengaku nahdliyin, menjadi pengurus NU, namun
tidak memiliki basis yang jelas ke NU an nya seperti pondok pesantren dan
kitab-kitab klasik. Bahkan banyak diantaranya tidak mempunyai pengalaman hidup
di dunia pesantren yang memiliki kemampuan mempelajari kitab kuning dan
sebagainya.
Dalam aspek
yang lain, faham keagamaan aswaja yang dijalankan sebagai identitas ideologi keagamaan,
tampaknya juga mengalami kekaburan pada sebagian kita yang mengakui
(diidentifikasi) sebagai nahdliyin. Jika dahulu, tahlilan dalam tradisi
ruwahan, membaca al-barzanji dalam tradisi potong rambut, membaca qunut dalam
shalat subuh, dan sebagainya adalah amalan kaum nahdliyin. Namun pada hari ini,
khususnya di Kalimantan Barat, banyak dari kaum nahdliyin itu yang tidak
mengamalkan tradisi tersebut. Hal ini mungkin disebabkan adanya pergeseran
pemikiran kaum nahdliyin itu sendiri dengan kesadaran intelektualitas mereka.
Menurut
Rumadi dkk (2003) setidaknya ada beberapa faktor yang turut berperan dalam
mendorong pergeseran pemikiran kaum nahdliyin (terutama intelektual mudanya)
yang kemudian mengkristal dalam komunitas postra (post tradisionalisme
Islam), yakni:
Pertama, perkembangan politik
yang menyertai kelahiran dan sejarah panjang NU telah “memaksa” dan “menyeret”
NU ke dalam permainan politik praktis, baik sebelum maupun sesudah keputusan kembali
ke Khittah 1926. Dalam konteks kekinian, banyak dari kader NU (intelektual
muda) yang menjadi tokoh sentral politik nasional dan daerah.
Kedua, adanya
persaingan antara kelompok yang diidentifikasi sebagai modernis dengan
tradisionalis di kalangan anak-anak muda NU, baik terselubung maupun secara
jelas. Jika persaingan tersebut berlaku pada generasi awal adalah dalam konteks
teologis kepada politis, maka pada generasi berikutnya persaingan muncul dalam
konteks sosiologis.
Ketiga, munculnya
arus intelektualisme progresif di belahan dunia arab (Timur Tengah) turut
mendorong dan memberikan semangat intelektualisme postra sepertNasr
Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Muh. Syahrur dan sebagainya. Dalam konteks
nasional, identitas nahdliyin turut dipengaruhi oleh pemikiran tokoh NU seperti
Gusdur dan Masdar F. Mas`udi dan lain-lain.
Jika
identitas nahdliyin hari ini sudah mengalami pergeseran dari pengamalan tradisi
keagamaan aswaja dengan berbagai karakteristiknya tidak lagi tampak,
lantas apa identitas nahdliyin hari ini? Jika pesantren dan kitab-kitab klasik
sudah dialihkan kepada pendidikan-pendidikan modern dengan sumber rujukan dari
barat, lantas dimana nilai-nilai kulturalisme agama dan tradisi keagamaan yang
merupakan dasar kelahiran NU dilestarikan oleh kaum nahdliyin hari ini?
Dalam kondisi
sosial dan keagamaan yang demikian, masih pantaskah kita mengakui (diakui)
sebagaimana kaum nahdliyin? Adakah ini bentuk “pemaknaan” dari slogan NU tidak
ke mana-mana tetapi ada di mana-mana? Jika slogan ini dimaknai sebagai keluasan
kifrah dan kebesaran organisasi ini dalam pembangunan umat dan bangsa, tentu hal
itu sangat kita harapkan. Akan tetapi, tentunya bukan makna identitas diri yang
kabur (absurd), bukan?
PENUTUP
Apapun yang
dapat kita lihat dan kita jelaskan, itulah realitas kaum nahdliyin di
Kalimantan Barat hari ini. Begitulah potret diri kaum nahdliyin yang senantiasa
diidentifikasi dalam berbagai identitas, mulai dari kultural, ideologi keagamaan
dan politik, dan untuk apapun kepentingan identitas tersebut. Dalam konteks
Kalimantan Barat pula, ada dua poin yang patut digaris-bawahi; pertama,
kita berharap kaum nahdliyin dapat mengambil posisi yang benar lagi tepat dalam
politik dan pembangunan daerah. Kedekatan dengan struktur politik memang
penting sebagai pendukung perjuangan NU mewujudkan cita-cita pembangunan daerah
dan pembinaan umat. Kedua, kita tidak berharap dengan kedekatan tersebut,
NU (kaum nahdliyin) rela mengorbankan idealisme awal (cita-cita para pendiri
organisasi ini), dengan menukarkan identitas kultural dan ideologi keagamaan
dengan identitas politik praktis sesaat. Karena itu, sikap terbaik yang harus
dibangun oleh kaum nahdliyin (terutama para pengurus NU) di Kalimantan Barat
adalah memperhatikan kedua poin di atas sebagai garis perjuangan kedepan.
Akhirnya,
apa yang penulis bincangkan dalam coretan kecil ini adalah semata-mata hasil
refleksi pemikiran pribadi yang dangkal dalam melihat, mengamati dan memahami
kondisi NU (termasuk kaum nahdliyin) di Kalimantan Barat hari ini. Sebagai
pandangan subjektif pribadi, tentu saja tidak menuntut apapun kesepakatan,
apalagi perbenaran dari siapapun. Akan tetapi secara pribadi penulis
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pandangan subjektif ini, dengan satu
harapan NU (dan kaum nahdliyin) di Kalimantan Barat bisa lebih maju dan
berkembang bersama identitas diri yang jelas dan berwibawa, amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris
dkk. 2003. Pergeseran Perilaku Politik Kultural Nahdlatul Ulama (NU) di Era
Multi Partai Pasca Orde Baru. Dalam Jurnal Istiqro`. Vol. 2, Nomor 01.
Hal. 135-153
Barton, Greg.
1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Paramadina dan
Pustaka Antara.
Mahrus El
Mawa. 2003. Etika NU dalam Perpolitik. Dalam Jurnal Itiqro`. Vol. 02,
Nomor 01. Hal. 179-199.
Muhsin Jamil,
dkk. 2007. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad,
Persis dan NU. Jakarta: Dirjen Diktis Kementerian Agama.
Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama. 1999. Hasil-Hasil Muktamar ke- 30 Nahdlatul Ulama.
Jakarta: Setjen PBNU.
Rumadi dkk.
2003. Post-Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU.
Dalam Jurnal Istiqro`. Vol. 02, Nomor 01. Hal. 200-227.
[1] Kader NU yang berkhidmat sebagai Pengajar di STAIN
Pontianak, khususnya di Program Komunikasi Penyiaran Islam. Meraih gelar Doktor
of Philosopy dalam disiplin ilmu Komunikasi dan Sosiolinguistik dari Universiti
Kebangsaan Malaysia.
[2] Dialog tersebut bukan saja membincangkan mengenai
pembentukan komite hijaz yang akan menjalankan misi Islam ke Timur Tengah
(Saudi Arabia), melainkan mengenai tujuan dibalik pendirian sebuah organisasi
(yang hari ini dikenal dengan NU) menjadi pelopor perjuangan merebut
kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar