Senin, 02 September 2013

IDENTITAS KAUM NAHDLIYIN...?



Satu perspektif mengenai identitas kaum Nahdliyin dalam dinamika sosial keagamaan, budaya dan politik kontemporer

[1]


[1] Makalah yang ditulis sebagai bahan diskusi Dosen di Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Pontianak, tahun 2013.




Oleh:



PENDAHULUAN
Ketika mendengar kata NU (baca: nadhliyin) diucapkan, maka yang segera terlintaskan dalam pikiran kebanyakan kita adalah sekelompok jamaah yang mengakui dan atau diidentifikasikan sebagai komunitas Islam tradisional yang mengamalkan berbagai tradisi dalam beragama. Secara organisasi akan segera terbayangkan dalam benak kita sebuah organisasi sosial kemasyarakatan terbesar di tanah air yang dikenal dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam realitas sosial pula, dengan mudah kita menemukan kelompok Nahdliyin ini, baik yang secara jelas mengamalkan ajaran ahlussunnah waljamaah maupun mereka yang mengakui kaum nahdliyin dengan tampa perlu menunjukkan identitas tersebut secara jelas.
Jika nahdliyin (pengikuti Nahdlatul Ulama) selama ini dikenal sebagai pemelihara dan pengamal praktek tradisi Islam ahlussunnah wal jamaah, maka identitas itu tidak lagi mudah dikenal dalam realitas sosial masyarakat agama hari ini. Sebab, pada sebagian mereka yang mengakui atau bahkan dikatagorikan sebagai kaum nahdliyin justru tidak lagi secara istiqamah mengamalkan tradisi dan praktek Ahlussunnah waljamaah sebagaimana identitas semula. Apalagi jika kaum nahdliyin ini dibicarakan dalam konteks politik, maka pada sebagiannya akan semakin kabur identitas kultural bahkan ideologi keagamaannya.
Disinilah muncul sebuah persoalan mengenai potret nahdliyin yang sesungguhnya hari ini. Adakah kaum nahdliyin hari ini masih memiliki identitas kultural dan ideologi keagamaan sebagaimana khittahnya? Atau justru nahdliyin hanya sebagai sebuah “identitas semu” yang dimanfaatkan sebagai sarana untuk mewujudkan berbagai kepentingan politik? Itulah diantara aspek penting yang akan didiskusikan dalam tulisan sederhana ini, sebuah tulisan yang lahir dari hasil pengamatan dan perenungan subjektif penulis terhadap kondisi NU (baca: kaum nahdliyin) hari ini, khususnya di Kalimantan Barat.      

NU SEBAGAI SEBUAH ORGANISASI
Dalam mendiskusikan NU sebagai sebuah organisasi sosial dan kemasyarakatan, penulis tidak akan membicarakan secara detil sejarah kelahiran dan para pendiri organisasi ini. Bagian ini hanya memaparkan secara umum latar belakang sosial, politik dan keagamaan yang secara umum membidani kelahiran organisasi NU pada tahun 1926.
Sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan yang lahir dalam realitas kultural dan tradisi yang mengakar dalam masyarakat, setidaknya ada tiga alasan yang melatar belakangi kelahirannya menurut Muhsin Jamil dkk (2007: 282).
Pertama, motivasi keagamaan, yakni untuk mempertahankan agama Islam dari serbuan “politik kristenisasi” yang dilancarkan penjajah Belanda, terutama (yang terang-terangan) sejak abad ke -20. Berbagai bantuan dilancarkan oleh kolonial Belanda untuk program misi Katolik dan Zending Protestan ketika itu. Perlawanan secara ideologi melalui kelahiran NU dipandang lebih baik dan menguntungkan, sebab perlawanan secara fisik justru selalu berujung pada kegagalan sebagaimana Perang Djawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo (1825-1830), Perang Padri yang dipimpin Imam Bonjol (1821-1837), Perang Aceh yang dipimpin Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro dan Cut Nya` Din (akhir abad 19-awal abad 20) dan sebagainya.
Kedua, membangun semangat nasionalisme untuk mencapai kemerdekaan Negara. Pada pendiri NU sadar betul bahwa semangat nasionalisme dan rasa kebangsaan menjadi kata kunci dalam memperjuangkan kemerdekaan. Motivasi ini tampak jelas dalam dialog antara Kyai Abdul Halim (Cirebon) dengan KH. Wahab, sehari sebelum lahirnya NU[2].
Ketiga, untuk mempertahankan faham Ahlussunnah waljamaah. Motivasi ini jelas menjadi alasan penting yang mendorong kelahiran NU sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan, dimana ketika itu muncul berbagai gerakan dan jargon purifikasi ajaran keislaman baik di tingkat lokal (Islam Indonesia) maupun dunia (Timur Tengah). Di Indonesia misalnya muncul Organisasi Muhammadiyah, Al-Isryad, dan Persis yang mengusung faham pembaharuan dengan mengkritisi tradisi sebagai jargon utamanya. Sementara di Timur Tengah, kemenangan rezim Sa`ud yang  beraliran Wahabi dalam politik Saudi Arabia juga menjadi faktor penting yang mendorong lahirnya NU. Oleh para ulama pendiri NU ketika itu, kemenangan rezim Sa`ud yang Wahabi dan anti tradisi itu menjadi ancaman yang membahayakan eksistensi tradisi dalam faham Ahlussunnah Waljamaah yang sebelumnya eksis di Timur Tengah. Argumentasi ini menjadi semakin jelas dengan dibentuknya komite Hijaz, sebuah tim yang hendak dikirim untuk menemui raja Sa`ud ketika itu. Bahkan menurut Choirul Anam dalam Muhsin Jamil dkk (2007: 285), peta politik Timur Tengah inilah yang menjadi satu-satunya alasan utama kelahiran NU, bukan persoalan Islam dan kehadiran ormas Islam lainnya di tanah air sebagaimana digambarkan di atas.
Atas dasar itulah, lahirnya NU sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang mengusung faham Ahlussunnah waljamaah ala madzahibil arba`ah dalam mainstream perjuangan di satu sisi, dan pada sisi lain juga mengikrarkan diri sebagai ormas yang peduli terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, perdagangan dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada bangsa, negara dan umat manusia.

KAUM NAHDLIYIN DALAM SOROTAN
Ada tiga aspek yang hendak dilihat sebagai kemungkinan identitas kaum nahdliyin dalam perbincangan saat ini; Adakah ia sebagai suatu identitas kultural, atau identitas ideologi keagamaan, atau bahkan identitas politik? Jika identitas kultural, maka kaum nahdliyin dicirikan dengan pengamalan kultur dan tradisi ke NU annya. Jika identitas ideologi keagamaan, maka kaum nahdliyin dicirikan dengan pengamalan ajaran agama dan praktek keagamaan yang bernafaskan faham Ahlussunnah waljamaah. Dan jika identitas politik, maka nahdliyin dicirikan sebagai jargon politik belaka yang “cendrung kering” dari nilai kultural dan ideologi keagamaan sebagai identitas dasar pengikut organisasi Nahdlatul Ulama. Berikut diskusi lebih detil ketiga identitas tersebut.

Nahdliyin sebagai identitas Kultural
Identitas kultural adalah identitas yang lahir dari keterlibatan seseorang terhadap sebuah budaya yang digeluti dalam kehidupannya. Dalam konteks ini, identitas kultural menyangkut ciri dan identifikasi seseorang berdasarkan latar belakang budaya dan keanggotaannya dengan kelompok budaya tersebut.
NU (baca: nahdliyin) sebagaimana dalam sejarahnya adalah komunitas yang lahir dalam budaya keagamaan tradisional, yang memelihara banyak tradisi dalam beragama. Diantara identitas kultural yang paling kentara adalah pengamalan sunnah Nabi Saw, tradisi pondok pesantren dan sebagainya. Dengan kata lain, orang yang secara sosial keagamaan masih mengamalkan praktek tradisional Islam ini, maka ia dapat diidentifikasi sebagai nahdliyin. Atau setidaknya, orang yang hidup dan terlahir dalam tradisi pesantren, atau di tengah keluarga yang mengamalkan praktek Islam tradisional (ahlussunnah waljamaah), maka ia juga kaum nahdliyin. Walaupun pada kenyataan, beberapa diantaranya tidak begitu menyadari identitas tersebut. Identifikasi sebagai kaum nahdliyin pada kelompok ini lebih disebabkan karena keberadaanya dalam kultural nahdliyin. Meskipun harus disadari bahwa bagi kelompok ini, substansi beragama jauh lebih penting dibandingkan membincangkan identitas kultural keagamaan dalam keluarga, pendidikan atau bahkan dalam budaya sosialnya.
Sebagai sebuah identitas kultural nahdliyin, pesantren adalah tolak ukurnya. Karena itu muncul ungkapan yang menyatakan bahwa; “NU adalah pesantren besar, dan pesantren adalah NU kecil” (Mukhsin Jamil dkk, 2007: 325). Ungkapan ini menunjukkan betapa eratnya hubungan NU dengan pesantren, dimana para ulama pendiri NU adalah para Kiyai yang memiliki pesantren, yang di dalamnya amalan tradisi dan sunnah Nabi Saw eksis dilakukan. Di dalamnya diajarkan faham-faham ke-Islaman ahlussunnah waljamaah dengan empat mazhab sebagai pilihannya.

Nahdliyin sebagai identitas Ideologi Keagamaan
Pada sisi yang lain, kita mengenal kaum nahdliyin sebagai komunitas yang mengamalkan faham keagamaan yang khas, yang berasaskan pada ideologi keagamaan Ahlussunnah wal jamaah dan mengikuti salah satu dari empat mazhab. Ideologi keagamaan ini sesungguhnya berawal dari realitas sejarah NU itu sendiri yang lahir dari kalangan Kiyai pesantren yang notabene memiliki hubungan historis dan kultural dengan faham Islam Aswaja (Barton, 1999). Sebagai identitas ideologi keagamaan, faham aswaja merupakan sistem nilai dan menjadi prinsip ajaran, tuntunan dan haluan bagi praktek keagamaan dan sosial kemasyarakatan kaum nahdliyyin (Mukhsin Jamil dkk, 2007: 352).
Ideologi keagamaan sebagai identitas kaum nahdliyin juga dapat dilihat dari pokok-pokok ajaran aswaja yang sering didefinisikan sebagai; faham keagamaan yang mengikuti Asy`ari dan Maturidi dalam berteologi (aqidah), mengikuti Syafi`i, Hanafi, Maliki dan Hambali dalam fiqih, dan mengikuti Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali dalam tasawuf (lihat Agil Siraj dalam Mukhsin Jamil dkk, 2007: 361).
Dengan demikian jelas bahwa Aswaja bukan hanya identitas teologi dan kultural bagi kaum nahdliyin, melainkan inti (dasar) dari pandangan keagamaan yang meliputi:
1.      Fiqih, mengikuti salah satu mazhab) Syafi`i, Hambali, Hanafi dan Maliki), baik secara qaulan (tekstualistik) maupun manhajiyan (metodologi).
2.      Tasawuf, sebagai penyeimbang antara tradisi fiqih yang formal dan serba permukaan (ekstrinsik), dengan dimensi spiritual dan kesadaran bathiniah (instrinsik) dalam beribadah total kepada Allah Swt, sebagaimana diajarkan Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali.
3.      Teologi, yang menengahi antara nash dan akal. Abu Hasan Al-Asy`ari dan Maturidi sebagai panutannya merupakan faham moderat dari dua ekstrimisme teologi ketika itu, dimana Mu`tazilah (Qadariah) yang menempatkan akal dalam fungsi yang maksimal untuk menentukan kebenaran, dan Fatalistik (Jabariah) yang mengabaikan fungsi akal dan kehendak manusia, dan sebaliknya mengembalikan segalanya kepada kehendak multak Tuhan.
4.      Sosial politik, yang merupakan adopsi dari pemikiran Al-Mawardi yang menganggap pendirian negara hukumnya fardhu kifayah, yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara pemenuhan “kebutuhan politik” (siyasah addunya) dan pemeliharaan agama Allah (hasarat addin). Ini bermakna bahwa kedudukan sosial dan politik sesungguhnya adalah alat untuk memelihara agama Allah. Karena itu tidak sepantasnya nilai sosial politik yang demikian dijadikan tujuan hidup kaum nahdliyin, sehingga rela menceburkan diri dalam dunia politik dan larut dalam kepentingan politik praktis, yang memang menggiurkan.
Dengan demikian, sampai pada tahap ini kita dapat mengenal identitas kaum nahdliyin melalui ideologi keagamaan yang dijalankan. Baik secara sadar diakui sebagai identitas ideologi keagamaan NU, maupun diidentifikasi sebagai berideologi keagamaan Nahdlatul Ulama, sebagaimana umumnya realitas kaum nahdliyin hari ini.

Nahdliyin dalam Kepentingan Politik
Sejarah mencatat betapa kaum nahdliyin pernah menjadi idola bagi kepentingan politik, baik yang lahir dari rahim Nahdltul Ulama sendiri sebagai sebuah organisasi maupun oleh pihak lain yang berkepentingan dengan dukungan suara kaum nadhliyyin yang memang mayoritas di tanah air. 
Kerentanan kaum nahdliyin terseret dalam kepentingan politik praktis terlihat jelas dengan dukungan (identifikasi) organisasi tersebut kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di era pemerintahan orde baru sebelum diambil kesepakatan NU kembali ke Khittah 1926 (lihat dalam Mahrus El-Mawa, 2003; Abdul Haris dkk, 2003, serta Mukhsin Jamil dkk, 2007).
Dengan kembali ke Khittah 1926, NU sebagai sebuah organisasi menyatakan kembali ke pangkuan rakyat sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan, dan bukan komoditas politik praktis. Sebaliknya sikap politik dan pilihan dukungan politik menjadi pilihan bebas kaum nahdliyin secara pribadi.
Bergulirnya arus reformasi tahun 1999 dengan lahirnya multi partai kembali membawa organisasi ini kepada “godaan” politik praktis, dimana NU dikenal sebagai ibu kandung dari Partai Kebangkitan Bangsa. Sejak itu PKB diklaim sebagai satu-satunya sayap politik resmi milik warga NU, yang dijadikan sebagai wadah penyaluran aspirasi politik kaum nahdliyin (Abdul Haris dkk, 2003). Meskipun pada sisi lain, PPP sesungguhnya masih melibatkan para Kyai NU sebagai pengurusnya. Bersamaan dengan itu lahir pula partai politik yang memberikan identitas ke NU an seperti Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU), Parta Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdlatul Ummat (PNU) dan sebagainya.
            Besarnya jumlah komunitas nahdliyin sesungguhnya menjadi daya tarik yang luar biasa bagi kepentingan mencari dukungan politik praktis. Karena itu, sejarah NU (secara jamaah dan jam`iyah) nyaris tak pernah benar-benar lepas dari tarik menarik untuk kepentingan dukungan politik praktis. Meskipun secara organisasi, sejak kembali ke Khittah 1926 organisasi ini menyatakan menarik diri dari politik praktis. Akan tetapi pemberian “restu” kepada kader (terutama tokoh) secara pribadi untuk terlibat dalam politik praktis sesungguhnya rentan terhadap manipulasi dukungan politik. Hal ini dibuktikan dengan ramainya para tokoh (pengurus NU) yang menggunakan identitas ke NU annya semata-mata untuk mencari dukungan politik dari kaum nahdliyin.
            Kondisi demikian pada satu sisi memang penting guna mendukung perjuangan besar kaum nahdliyyin, akan tetapi pada sisi lain dapat menyebabkan dua hal: pertama, memberi peluang bagi terseretnya NU (jamaah dan jam`iyah) kedalam kepentingan politik praktis, yang tentunya bertentangan dengan kesepakatan khittah 1926. Kedua, dan ini yang lebih parah ketika kepentingan dukungan politik menjadi “identitas semu” kaum nahdliyin hari ini. Sebab, tidak sedikit dari pengurus NU khususnya, dan kaum Nahdliyin umumnya yang telah “hilang” identitas kultural dan keagamaannya sebagainya dalam sejarah awal organisasi ini. Karena itu, marilah dengan kejujuran dan keterbukaan diri kita untuk melihat bagaimana sesungguhnya potret kaum nahdliyin hari ini, khususnya di Kalimantan Barat.

FOTRET KAUM NAHDLIYIN HARI INI
Bagaimana dengan NU dan kaum nadhliyin di Kalimantan Barat hari ini? Adakah NU merupakan identitas kultural dan ideologi faham keagamaan yang dijalani dengan segenap kesadaran dan pemahaman sebagaimana konsep ahlussunnah waljamaah? Ataukah hanya sebuah identitas yang diakui sebagai identifikasi kultural sebagai bagian dari komunitas umat yang berfahamkan keislaman dengan paham ahlussunnah waljamaah? Atau, jangan-jangan identitas NU (diakui dan mengakui sebagai nahdliyin) hanya karena mencari dukungan politik dan berbagai kepentingan politik praktis. Itulah aspek penting yang didiskusikan dalam potret kaum nahdliyin hari ini.
Jika kembali melihat NU dan kaum nahdliyin dalam konteks sejarah, maka kita akan melihat identitas kultural dan keagamaan yang jelas dalam faham keislaman ahlussunnah waljamaah dalam manhaj tauhid dan berpikir umat, dimana pesantren menjadi wadah formal penyebaran faham keagamaan ala NU. Bahkan para pendiri NU, hingga pengurus organisasi ini pada mulanya adalah para Kyai yang mempunyai basis nyata pondok pesantren. Singkat kata, NU sebagai organisasi ketika itu diisi oleh para ulama yang berasal dari pondok pesantren, yang memiliki santri dan pengikut paham aswaja yang jelas.
Bandingkan dengan kondisi hari ini, khususnya di Kalimantan Barat. Jika pondok pesantren menjadi ciri utama, dengan kemampuan mengkaji kitab-kitab klasik sebagai amalannya, maka banyak dari pengurus NU hari ini yang krisis identitas kultural tersebut. Banyak dari mereka yang mengaku nahdliyin, menjadi pengurus NU, namun tidak memiliki basis yang jelas ke NU an nya seperti pondok pesantren dan kitab-kitab klasik. Bahkan banyak diantaranya tidak mempunyai pengalaman hidup di dunia pesantren yang memiliki kemampuan mempelajari kitab kuning dan sebagainya.
Dalam aspek yang lain, faham keagamaan aswaja yang dijalankan sebagai identitas ideologi keagamaan, tampaknya juga mengalami kekaburan pada sebagian kita yang mengakui (diidentifikasi) sebagai nahdliyin. Jika dahulu, tahlilan dalam tradisi ruwahan, membaca al-barzanji dalam tradisi potong rambut, membaca qunut dalam shalat subuh, dan sebagainya adalah amalan kaum nahdliyin. Namun pada hari ini, khususnya di Kalimantan Barat, banyak dari kaum nahdliyin itu yang tidak mengamalkan tradisi tersebut. Hal ini mungkin disebabkan adanya pergeseran pemikiran kaum nahdliyin itu sendiri dengan kesadaran intelektualitas mereka.
Menurut Rumadi dkk (2003) setidaknya ada beberapa faktor yang turut berperan dalam mendorong pergeseran pemikiran kaum nahdliyin (terutama intelektual mudanya) yang kemudian mengkristal dalam komunitas postra (post tradisionalisme Islam), yakni:
            Pertama, perkembangan politik yang menyertai kelahiran dan sejarah panjang NU telah “memaksa” dan “menyeret” NU ke dalam permainan politik praktis, baik sebelum maupun sesudah keputusan kembali ke Khittah 1926. Dalam konteks kekinian, banyak dari kader NU (intelektual muda) yang menjadi tokoh sentral politik nasional dan daerah.
Kedua, adanya persaingan antara kelompok yang diidentifikasi sebagai modernis dengan tradisionalis di kalangan anak-anak muda NU, baik terselubung maupun secara jelas. Jika persaingan tersebut berlaku pada generasi awal adalah dalam konteks teologis kepada politis, maka pada generasi berikutnya persaingan muncul dalam konteks sosiologis.
Ketiga, munculnya arus intelektualisme progresif di belahan dunia arab (Timur Tengah) turut mendorong dan memberikan semangat intelektualisme postra sepertNasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Muh. Syahrur dan sebagainya. Dalam konteks nasional, identitas nahdliyin turut dipengaruhi oleh pemikiran tokoh NU seperti Gusdur dan Masdar F. Mas`udi dan lain-lain.
Jika identitas nahdliyin hari ini sudah mengalami pergeseran dari pengamalan tradisi keagamaan aswaja dengan berbagai karakteristiknya tidak lagi tampak, lantas apa identitas nahdliyin hari ini? Jika pesantren dan kitab-kitab klasik sudah dialihkan kepada pendidikan-pendidikan modern dengan sumber rujukan dari barat, lantas dimana nilai-nilai kulturalisme agama dan tradisi keagamaan yang merupakan dasar kelahiran NU dilestarikan oleh kaum nahdliyin hari ini?
Dalam kondisi sosial dan keagamaan yang demikian, masih pantaskah kita mengakui (diakui) sebagaimana kaum nahdliyin? Adakah ini bentuk “pemaknaan” dari slogan NU tidak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana? Jika slogan ini dimaknai sebagai keluasan kifrah dan kebesaran organisasi ini dalam pembangunan umat dan bangsa, tentu hal itu sangat kita harapkan. Akan tetapi, tentunya bukan makna identitas diri yang kabur (absurd), bukan?


PENUTUP
Apapun yang dapat kita lihat dan kita jelaskan, itulah realitas kaum nahdliyin di Kalimantan Barat hari ini. Begitulah potret diri kaum nahdliyin yang senantiasa diidentifikasi dalam berbagai identitas, mulai dari kultural, ideologi keagamaan dan politik, dan untuk apapun kepentingan identitas tersebut. Dalam konteks Kalimantan Barat pula, ada dua poin yang patut digaris-bawahi; pertama, kita berharap kaum nahdliyin dapat mengambil posisi yang benar lagi tepat dalam politik dan pembangunan daerah. Kedekatan dengan struktur politik memang penting sebagai pendukung perjuangan NU mewujudkan cita-cita pembangunan daerah dan pembinaan umat. Kedua, kita tidak berharap dengan kedekatan tersebut, NU (kaum nahdliyin) rela mengorbankan idealisme awal (cita-cita para pendiri organisasi ini), dengan menukarkan identitas kultural dan ideologi keagamaan dengan identitas politik praktis sesaat. Karena itu, sikap terbaik yang harus dibangun oleh kaum nahdliyin (terutama para pengurus NU) di Kalimantan Barat adalah memperhatikan kedua poin di atas sebagai garis perjuangan kedepan.
            Akhirnya, apa yang penulis bincangkan dalam coretan kecil ini adalah semata-mata hasil refleksi pemikiran pribadi yang dangkal dalam melihat, mengamati dan memahami kondisi NU (termasuk kaum nahdliyin) di Kalimantan Barat hari ini. Sebagai pandangan subjektif pribadi, tentu saja tidak menuntut apapun kesepakatan, apalagi perbenaran dari siapapun. Akan tetapi secara pribadi penulis bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pandangan subjektif ini, dengan satu harapan NU (dan kaum nahdliyin) di Kalimantan Barat bisa lebih maju dan berkembang bersama identitas diri yang jelas dan berwibawa, amin.   







DAFTAR PUSTAKA


Abdul Haris dkk. 2003. Pergeseran Perilaku Politik Kultural Nahdlatul Ulama (NU) di Era Multi Partai Pasca Orde Baru. Dalam Jurnal Istiqro`. Vol. 2, Nomor 01. Hal. 135-153

Barton, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Paramadina dan Pustaka Antara.

Mahrus El Mawa. 2003. Etika NU dalam Perpolitik. Dalam Jurnal Itiqro`. Vol. 02, Nomor 01. Hal. 179-199.

Muhsin Jamil, dkk. 2007. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU. Jakarta: Dirjen Diktis Kementerian Agama.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. 1999. Hasil-Hasil Muktamar ke- 30 Nahdlatul Ulama. Jakarta: Setjen PBNU.

Rumadi dkk. 2003. Post-Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU. Dalam Jurnal Istiqro`. Vol. 02, Nomor 01. Hal. 200-227.





[1] Kader NU yang berkhidmat sebagai Pengajar di STAIN Pontianak, khususnya di Program Komunikasi Penyiaran Islam. Meraih gelar Doktor of Philosopy dalam disiplin ilmu Komunikasi dan Sosiolinguistik dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
[2] Dialog tersebut bukan saja membincangkan mengenai pembentukan komite hijaz yang akan menjalankan misi Islam ke Timur Tengah (Saudi Arabia), melainkan mengenai tujuan dibalik pendirian sebuah organisasi (yang hari ini dikenal dengan NU) menjadi pelopor perjuangan merebut kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar