Senin, 09 Februari 2009

Pluralisme dan Komunikasi

PLURALISME DAN KOMUNIKASI: KENISCAYAAN DALAM SATU HUBUNGAN SOSIAL
Oleh: Ibrahim MS

PENDAHULUAN
Perbedaan cara hidup, budaya, agama, etnik dan sebagainya seringkali menyebabkan satu kelompok menolak kehadiran kelompok lainnya. Atau paling tidak sering perbedaan tersebut menjadi alasan untuk memisahkan identitas satu kelompok dengan kelompok lainnya. Bahkan yang paling memprihatinkan lagi adalah sebagian dari kita yang dengan alasan perbedaan ini hendak menghapus keberadaan orang lain dari realitas sosial dan kehidupan. Apa yang terjadi di Kosovo, Serbia, Iran, Irak, Afganistan, Ambon, Poso, dan Sambas merupakan salah satu contoh betapa “perbedaan” telah menjadi garansi untuk saling menghilangkan nyawa sesama manusia. Realitas inilah yang menjadi keprihatinan terhadap kemajemukan atau pluralitas. Karena itu, berbagai pertanyaan pun muncul di benak kita. Mengapa manusia itu mesti berbeda? Apakah menghilangkan nyawa orang lain karena alasan perbedaan dapat dibenarkan? Lantas bagaimana semestinya menyikapi perbedaan, kemajemukan dan pluralitas itu?
Padahal jika kita mengutif teks ilahiyah dalam al-qur`an sebenarnya dengan tegas akan didapatkan mengapa pluralitas itu terjadi. Qur`an surah 7 ayat 172 menjelaskan bahwa Allah swt sengaja untuk tidak menciptakan manusia dalam satu syari`at (jalan hidup), akan tetapi Allah berkehendak untuk menciptakan manusia dalam berbagai syari`ah dan jalan hidup dengan tujuan supaya ada persaingan yang sehat diantara manusia “fastabiqul khairat”. Dengan alasan ini maka, keragaman jalan hidup manusia merupakan satu nilai positif yang memacu diri menjadi lebih baik, bukan sebaliknya menimbulkan konflik dan permusuhan sebagaimana dalam realitas sosial yang ada.
Sebagai sebuah bangsa yang majemuk, terdiri dari beragai etnik, agama dan budaya menuntut setiap kita untuk mampu nemempatkan diri dan perbedaan pada bingkai yang sesungguhnya, sebagaimana dalam teks ilahiyah tersebut. Inilah yang mesti dibangun melalui komunikasi dalam bentuk sikap hidup yang menerima setiap perbedaan dan membangun hubungan yang baik di tengah perbedaan yang ada. Sebaliknya menafikan perbedaan dan menolak keberadaan setiap perbedaan merupakan satu sikap ketololan dan kebodohan (Dedy Mulyana, 2001).
Atas dasar semua itulah konsep pluralisme itu muncul sebagai bentuk jalinan hubungan sosial yang ditawarkan diantara perbedaan-perbedaan yang ada, dalam bentuk penghargaan sikap terhadap perbedaan, kebersediaan untuk hidup berdampingan di tengah perbedaan tersebut dan menyikapi setiap perbedaan secara baik, berkeadilan dan penuh toleran (Mohamad Ali, 2003).

PLURALITAS SEBAGAI SATU KENISCAYAAN
Sebagai suatu keniscayaan, kita tidak mungkin menolak segala bentuk perbedaan diantara manusia. Baik perbedaan dalam agama, budaya, warna kulit, ras, suku bangsa dan sebagainya. Sebab dengan perbedaan itulah berlangsungnya kehidupan yang dinamis, supaya manusia saling kenal mengenal satu sama lain dalam kemuliaan dan ketakwaan kepada sang Pencipta (Q.S. Al-Hujarat: 13), dan fastabiqul khairat (Q.S. 7:172)
Sebagai suatu keniscayaan, pluralitas merupakan satu kehendak Tuhan (Sunnatullah/hukum alam) yang mesti diakui dan diterima dengan ikhlas. Atas kesadaran itulah munculnya satu tatanan sikap yang dikenal dengan ideologi pluralis-multikultural , satu ideologi yang bertujuan untuk membangun interaksi antarumat (agama, budaya, ras, suku bangsa dan sebagainya), yang tidak hanya berkoeksistensi secara harmonis dan damai, tetapi juga bersedia aktif dan proaktif menyelesaikan masalah bersama dengan etika kemanusiaan (Muhamad Ali, 2003). Karena itu secara sederhana pluralisme mesti dilihat sebagai satu faham atau sikap hidup yang sangat menghormati dan menghargai setiap perbedaan, bersedia hidup bersama di tengah perbedaan – perbedaan yang ada, bisa bersatu dalam perbedaan masing-masing (Nurchalis Madjid, 2007; Fathi Osman, 2006; Bahtiar Efendi, 2001).
Al-qur`an telah memberikan isyarat bahwa pluralisme ras dan etnis harus diterima, dan berbagai macam komponen pluralisme itu harus saling mengenal dengan baik (Q.S. 30:22 & 49:13), agar meratakan jalan bagi satu pertukaran gagasan dan pengalaman yang bersifat membangun dan agar saling bekerja sama dalam upaya mereka mengembangkan kemanusiaan dan dunia di mana mereka tinggal bersama (Fathi Osman, 2006: 38-39).
Dalam konteks Islam, sejarah penciptaan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi merupakan satu pesan, bahkan contoh betapa pluralitas itu merupakan satu tujuan penciptaan Allah swt yang mesti diterima oleh setiap makhluk-Nya. Pengingkaran terhadap perbedaan dan keragaman (pluralitas) itu sama maknanya dengan pengingkaran terhadap kehendak Ilahi (Ibrahim, 2005). Sebagai contohnya adalah penciptaan manusia setelah sebelumnya Allah menciptakan malaikat. Kehendak Allah untuk menciptakan manusia dan menjadikannya Khalifah di bumi pun disampaikan kepada para malaikat. Semua malaikat menerima dan samai`na wata`na dengan ketentuan Allah, kecuali satu, yakni Iblis yang ingkar dan tidak mau mengakui manusia yang Allah ciptakan. Pengingkaran Iblis dengan pencipataan manusia oleh Allah merupakan satu bentuk pengikarannya terhadap perbedaan, dimana malaikat diciptakan dari cahaya dengan sifat taat dan patuh, sedangkan manusia diciptakan dari tanah dengan berbagai potensi kreatif, termasuk bertumpahan darah dan berbuat kerusakan .
Peristiwa di atas sebebarnya merupakan satu pendidikan kepada manusia betapa perbedaan itu menjadi sesuatu yang mesti ada karena memang sengaja diciptakan. Karena itu satu-satunya sikap yang baik adalah bersedia menerima segala perbedaan dengan perasaan yang ikhlas memberikan kesempatan bagi keberadaan dan eksistensi perbedaan dan keragamaan tersebut. Dengan sikap inilah hubungan yang baik, harmonis dan penuh kedamaian akan dapat dibangun diantara manusia. Sebaliknya sikap yang tidak toleran terhadap perbedaan dan keragaman, cendrung akan merusak tatanan sosial dan hubungan kemanusiaan. Bahkan dalam banyak contoh sikap tersebutlah yang melahirkan berbegai peristiwa konflik sosial di muka bumi, sebagaimana konflik etnis di Sambas (Ibrahim, 2005), konflik Poso dan Ambon (Ibrahim dkk, 2007), dan lain-lain.

KOMUNIKASI MENJADI TITIK TEMU
Melihat realitas perbedaan, keragaman dan kemajemukan yang ada dan tak terbantahkan, lantas bagaimana sikap hidup kita?, Sikap apa yang mesti dibangun apabila kita percaya bahwa perbedaan dan keragaman adalah sunnatullah? Bagaimana kita membangun sikap tersebut sehingga mampu melahirkan satu tatanan hubungan sosial dan intekasi kemanusiaan yang baik dan harmonis? Komunikasi mungkin menjadi satu-satunya jawaban yang patut dipilih untuk menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut. Dengan komunikasi yang baik, perbedaan akan dapat difahami sebagaimana mestinya dan sebagaimana adanya. Sebab itu komunikasi yang baik bukanlah satu bentuk upaya merubah setiap perbedaan menjadi satu, melainkan mendekatkan perbedaan kepada satu titik temu yang menjadi harapan bersama (Ibrahim, 2005).
Orang melakukan komunikasi pada dasarnya bukanlah memaksa pihak lain untuk berubah dan mengikuti sikap kita, melainkan memberikan pemahaman dan kesadaran sikap orang lain mendekati-sedekat mungkin dengan apa yang kita pahami dan kita sadari (Aksioma komunikasi). Semakin dekata pemahaman dan kesadaran orang lain dengan pemahaman dan kesadaran kita, maka semakin baik dan efektiflah sebuah komunikasi itu. Sebaliknya, semakin jauh pemahaman dan kesadaran sikap orang lain dengan sikap kita, maka semakin tidak efektiflah proses komunikasi yang dibangun. Karena itu, komunikasi menjadi satu jembatan (titik temu) yang sangat baik dalam memunculkan satu hubungan sosial yang baik di tengah perbedaan, keragaman dan kemajemukan bangsa ini.

MEMBANGUN KOMUNIKASI DALAM REALITAS PLURALIS
Jika kita mengacu pada prinsip-prinsip kausalitas, tentu kita akan sepakat bahwa keberadaan kita ada karena adanya orang lain di luar kita, saya ada karena adanya anda, adanya sesuatu yang kita sebut baik karena adanya yang tidak baik dibalik itu, adanya hidup karena adanya konsep mati dan seterusnya. Atas prinsip inilah semua yang ada di alam ini diciptakan. Karena itu realitas tersebut mesti diterima dan disikapi dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Sadar akan keniscayan pluralitas dan komunikasi sebagai titik temunya, lantas bagaimana kita mesti membangun komunikasi di tengah realitas kemajemukan dan keragaman hidup manusia? Ada beberapa sikap yang mesti disadari:
Pertama, sikapi segala bentuk perbedaan dengan baik, wajar dan tulus ikhlas sebagai sarana fastabiqul khairat. Kedua, percayalah bahwa menghargai keberadaan orang lain dan segala bentuk perbedaan dan keragamanannya bukan mesti menghilangkan eksistensi dan keberadaan diri sendiri yang berbeda. Ketiga, dalam banyak teori mempercayai bahwa penguatan identitas yang berbeda pada kelompok yang lain sebenarnya juga menguatkan identitas diri yang juga berbeda. Karena itu jangan pernah takut untuk mengakui dan menghargai keberadaan kelompok lain yang berbeda itu. Keempat, bangunlah komunikasi dengan baik, tulus dan penuh keterbukaan kepada siapapun, termasuk kelompok yang berbeda agama, budaya, ras dan suku dengan kita. Berikan kesempatan kepada mereka untuk mengenali diri kita sebagaimana kita juga berusaha untuk mengenal mereka. Hanya dengan cara inilah hubungan diantara kelompok yang berbeda itu mampu menemukan sisi-sisi kesamaan dan kesepahaman. Sebaliknya tampa upaya yang komunikatif dan sungguh-sungguh, maka hubungan diantara komunitas yang majemuk, beragama ini justru cendrung melahirkan sisi-sisi yang berbeda. Dan kondisi mungkin wajar karena memang setiap orang dan kelompok sosial, keagamaan, budaya dan sebagainya memiliki nilai anut (frame of reference dan field of eksperience) yang berbeda.

SATU BENTUK HUBUNGAN SOSIAL YANG DITAWARKAN
Menghadapi realitas keragaman dan kemajemukan yang tidak bisa dibantahkan, maka sikap toleran dan penerimaan terhadap kemajemukan dan segala bentuk perbedaan juga merupakan suatu kemestian sikap. Sikap inilah yang belakangan ini dikenal dengan ideologi pluralis-multikultural, satu sikap dan pemahaman yang mengakui dan menghargai keragaman dan kemajemukan, sembari terus membangun dialog dan komunikasi dengan keberbudayaan manusia (Muhamad Ali, 2003).
Dalam kontek masyarakat bangsa yang majemuk dari sisi agama, budaya dan etnik, diperlukan satu formulasi sikap yang baik dan welcome terhadap perbedaan, toleransi untuk keberadaan orang lain yang berbeda. Bahkan dalam tataran idealnya adalah sikap yang mampu dan mau untuk saling melengkapi kebutuhan dan kebahagian bersama, baik antarumat beragama (pluralitas agama) maupun antaretnik, ras dan suku bangsa (pluralitas budaya).

Pluralitas dan Hubungan Antaragama
Agama sepatutnya (tataran ideal) menjadi satu nilai suci yang mendamaikan hati manusia dan rahmatan lil`alamin, karena ia memuat segala ketentuan hubungan manusia dan semua makhluk dengan Tuhannya. Dimana ia menjadi tempat kembali (rujukan) atas persoalan yang dihadapi manusia dalam beragama, termasuk pluralitas ciptaan dan kemestian membangun hubungan sesama makhluk Tuhan. Akan tetapi tidak jarang agama tampil (ditempatkan oleh umatnya) sebagai spirit pembunuh yang paling sadis dan kejam, menjadi inspirator lahirnya sebuah konflik sosial di tengah masyarakat. Sebab agama secara eksplisit menanamkan nilai-nilai ekslusifisme, fanatsime, keunggulan doktrin, truth claim, dan semangat “nasionalisme relegius”. Dengan kondisi demikian agama menjadi satu sistem nilai yang paradok, yang menjadi penjamin keselamatan, cinta kasih dan perdamaian pada satu sisi, dan pada sisi lain menjadi penyebab dan alasan kehancuran dan kemalangan umat manusia. Dengan nama dan alasan agama, orang bisa saling mencintai, akan tetapi dengan nama dan alasan agama pula orang sanggup melakukan apa saja, termasuk bom bunuh diri dan sebagainya. Kondisi inilah yang menempatkan agama menjadi sangat ambigu. Inilah yang diingatkan oleh Charles Kimball dengan tulisan when relegion become evil – ketika agama hadir sebagai pembawa bencana (dalam Sumanto al-Qurtubi, 2005).
Menurut Kimball (dalam Sumanto al-Qurtubi, 2005:86-87), ada beberapa hal yang membuat agama potensial ditempat oleh umatnya sebagai spirit pemberangusan manusia, menjadi kekuatan pembunuh yang mengerikan, korup dan jahat; pertama, ketika agama mengklaim kebenaran ajarannya, teks sucinya, doktrinya sebagai satu-satunya kebenaran; kedua, tumbuhnya sikap ketaatan buta terhadap pemimpin agama, yang membuat suara pemimpin agama seakan-akan suara Tuhan yang mesti diikuti; ketiga, ketika agama mulai merindukan zaman ideal dalam bentuk tuntutan mendirikan negara agama (teokratis); keempat, ketika agama membiarkan dan membenarkan tujuan yang menghalalkan segala cara, termasuk bom bunuh diri dengan alasan “jihad”; kelima, ketika pemeluknya telak memekikkan perang suci atas nama dan untuk agama.
Keresahan berbagai kalangan yang juga merupakan bagian umat beragama terhadap kecendrungan hubungan yang terjadi atas nama agama, menimbulkan beberapa paham dan sikap dalam membangun hubungan yang baik antaragama, antaranya adalah teologi pluralis-multikultural (Muhamad Ali, 2003). Beberapa nama para pejuang paham dan sikap pentingnya toleransi dan keterbukaan dalam hubungan antarumat beragama seperti Sayyed Husein Nasr, Frithjof Schoun (Muhamad Isa Nur al-Din), Muhamad Legenhausen, Farid Esack, dan Abdul Aziz Sachedina untuk ilmuan muslim. Di kalangan Kristiani dapat disebut nama William Cantwell Smith, W. Montgomery Watt, John Hick, dan Keputusan Rekonsili Vatikan II (1962-1965). Di Indonesia ada nama A. Mukti Ali, Alwi Shihab, Nurcholis Madjid, Franz Magniz Suseno, dan lain-lain.
Teologi ini merupakan satu sikap pengakuan terhadap berbagai perbedaan agama dan budaya sebagai kenyataan sejarah (historical necessity) dan kehendak Tuhan (Sunnatullah). Kitab-kitab suci dan para utusan Tuhan yang jumlah pastinya tidak diketahui merupakan intervensi Tuhan untukmengingatkan pesan-pesan universal dalam bahasa-bahasa yang spesifik (eksoteris, lahiriyyah). Karena keterbatasannya, manusia tidak dapat sendirian dalam mendekati kebenaran-kebenaran. Jika agama itu menuju pada Tuhan, maka disitulah titik temu perbedaan dalam bentuk kesamaannya sebagai titik esoteris (batiniyyah), yang oleh Cak Nur disebut pintu-pintu menuju Tuhan, atau banyak jalan menuju Tuhan (Nurcholis Madjid, 2007).
Dengan cara pandang pluralis multikulturalis ini menurut Cak Nur, perbedaan-perbedaan agama hanyalah sebagai perbedaan jalan saja. Sebab semua agama hadir untuk menghantarkan manusia bertemu Tuhannya. Dengan kata lain Tuhan yang satu adalah titik temu semua agama, dan kebenaran dari Tuhan adalah kebenaran yang mutlak bagi setiap agama (Nurcholis Madjid, 1994).
Berdasarkan beberapa prinsip dasar teologi pluralis di atas, bagaimana komunikasi mampu menawarkan satu bentuk hubungan sosial yang baik dan harmonis di tengah keragaman dan kemajemukan.

Pluralitas dan Hubungan antarbudaya
Sebagai satu bentuk cara hidup, sistem nilai, norma, adat istiadat dan kebiasaan yang dipercayai dan diamalkan, maka budaya menjadi ciri khas dan pembeda diantara kelompok etnik, suku bangsa dan agama. dengan kata lain, setiap etnik, ras, suku bangsa dan agama senantiasa memiliki budaya yang berbeda, yang akan membentuk satu prilaku hidup yang juga berbeda. Karena itulah budaya dipahami sebagai keseluruhan cara hidup manusia yang dipengaruhi oleh sistem nilai, norma, adat istiadat yang dianut oleh suatu masyarakat bangsa (The Total way of life of a people, composed of their learned and shared behavior patterns, values, norms, and material objeks).
Sama halnya dengan agama, perbedaan budaya juga merupakan keniscayaan yang bersifat semulajadi dan tak tebantahkan. Karena itu pilihan sikap satu-satunya adalah menerima segala bentuk perbedaan tersebut dengan tulus ikhlas dan apa adanya. Menempatkan perbedaan yang ada sebagai modal membangun hubungan kemanusiaan yang lebih kaya hazanah tradisi dan fastabiqul khairat. Dalam kontek pluralitas budaya, komunikasi yang mesti dibangun bukan suatu keharusan untuk merubah orang lain yang berbeda menjadi sama dengan kita, melainkan mendekatkan pemahaman orang lain dengan perbedaan yang ada diantara kita.
Komunikasi antarbudaya dibangun sebagai sau upaya untuk memberikan kepahaman kepada orang lain tentang diri kita, sebagaimana kita juga mesti dengan tulus membuka diri untuk mengenal orang lain dengan segala perbedaannya. Dengan cara inilah setiap kita yang berbeda akan mampu melihat apa yang baik dan yang tidak baik pada masing-masing budaya kita. Sebab dua kemungkinan ini senantiasa berjalan seiring dalam kehidupan manusia, dari komunitas budaya apapun dia.
Sebaliknya, tampa mau menyelami budaya orang lain dan membuka diri untuk dikenal oleh orang lain, maka kecendrungan nilai yang akan terlihat adalah perbedaan-perbedaan dan kekurangan-kekurangan. Hal ini disebabkan perspektif yang digunakan untuk melihat budaya orang lain adalah perspektif kami yang terpisah, bukan perspektif mereka atau kami. Dengan kata lain, kita selalu menampilkan diri sebagai orang luar, maka selalunya kita keliru atau tidak tahu dengan orang dalam yang sebenarnya. Komunikasi antarbudaya yang baik menghendaki kita mampu dan mau menggunakan perspektif orang dalam untuk melihat orang di dalam, dan menggunakan perspektif orang luar ketika mengenal orang luar.
Hidup sebagai sebuah bangsa yang majemuk dan plural dalam hal budaya mengharuskan kita mampu dan mau mengembangkan sistem hidup antarbudaya. Untuk itulah diperlukan berbagai keahlian dan kemampuan komunikasi yang baik antarbudaya, yang disebut rambu-rambu komunikasi antarbudaya (Ibrahim, 2005).
Rambu-rambu komunikasi antarbudaya yang dimaksudkan meliputi:
1. Fahami diri dan orang lain. kemampuan memahami segala kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan orang lain akan menentukan bentuk komunikasi yang akan dibangun antara setiap perbedaan, baik dari tingkat persepsi, konsepsi hingga perilaku komunikasinya.
2. Sikapi perbedaan secara baik dan wajar. Perbedaan merupakan sesuatu yang sunnatullah dan tak terhindarkan, karena itu perbedaan mesti disikapi secara baik dan wajar-wajar saja. Meskipun demikian, sikap ini bukan bermakna boleh mengabaikan perbedaan, melainkan melihat setiap perbedaan sebagai dinamika komunikasi yang mesti dibangun diantara setiap perbedaan yang ada.
3. Pelajari mengapa mereka berbeda. Sikap ini penting dilakukan untuk mengenal apa yang dianggap baik dan tidak baik pada budaya, agama orang lain, sebagaimana budaya dan agama kita sendiri juga memberikan penilaian terhadap sesuatu. Artinya bahwa jangan pernah menilai perbedaan budaya dan agama orang lain dari perspektif budaya dan agama yang berbeda, sebab ia hanya akan menemukan perbedaan-perbedaan. Sebaliknya mempelajari mengapa orang lain berbeda dengan perspektif yang punya budaya atau agama tersebut, maka persamaan dan kebaikan yang akan didapatkan. Inilah landasan sebuah kumonikasi yang baik di tengah pluralitas dan kemajemukan.
4. Hindari evaluasi terhadap perbedaan. Sikap ini menghendaki untuk menyikapi perbedaan sebagai persamaan nilai-nilai baik pada masing-masing perspektif. Kita boleh mempunyai banyak jalan (agama) menuju Tuhan, akan tetapi tetap saja Tuhan yang kita tuju adalah Tuhan yang Satu, Esa, dan Maha Kuasa menurut Nurchalis Majid (1994), dalam tulisannya Banyak Jalan menuju Tuhan.
5. Mulailah dari yang terkecil. Membangun hubungan yang baik diantara masyarakat yang plural agama dan budayanya, mesti dimulai dari pemahaman dan konsepsi terhadap perbedaan itu sendiri sebagai sesuatu yang lumrah, wajar dan sunnatullah. Bukan sesuatu yang mesti dinafikan atau bahkan dimusnahkan.
6. Perbaiki sikap antarbudaya. Satu sikap yang memandang bahwa setiap kita memang mempunyai perbedaan-perbedaan. Akan tetapi setiap kita juga mempunyai kesamaan-kesamaan, paling tidak sama-sama menghendaki kebaikan, ketentraman hidup dan nilai-nilai positif lainnya. Karena itu setiap kita juga mesti sadar bahwa perbedaan-perbedaan yang tampak secara lahiriah antarbudaya tidak baik, pada dasarnya memiliki makna bathiniyah yang sama-sama baik.

PENUTUP
Meski kajian ini bukan satu kajian yang spesifik mengenai realitas pluralisme agama dan budaya, akan tetapi dalam beberapa hal cukup signifikan dalam melihat kemestian membangun hubungan yang baik diantara pluralitas dan kemajemukan sosial yang ada. Dengan kata lain, normatifitas hubungan dan komunikasi diantara masyarakat bangsa yang plural dan majemuk menjadi satu muatan penting dalam kajian ini sebagaimana yang diusung oleh teologi pluralis-multikultural. Perspektif komunikasi antarbudaya sebagai titik temu kajian ini menjadi satu solusi yang baik dalam menghadapi realitas sosial bangsa ini yang memang sangat plural dan majemuk.
Akhirnya, sikap hidup yang mampu menjembatani perbedaan dengan komunikasi yang baik itulah yang akan memenangi perdebatan di seputar realitas masyarakat plural dan majemuk dengan berbagai persoalan yang ada, menjadi satu komunitas sosial yang damai, harmonis, maju dan sejahtera “baldatun thayyibatun warabbun ghafur”. Wallahu a`lamu bish shawab.

BIBLIOGRAFY

Bahtiar Effendy. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Galang Press; Jogjakarta.

Fathi Osman, Muhamed. 2006. Islam, Pluralisme & Toleransi Keagamaan. Yayasan Paramadina; Jakarta.

Ibrahim. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya. STAIN Pontianak Press: Pontianak

Ibrahim dkk. 2007. Merajut Perdamaian di Kalimantan Barat, dalam Alpha Amirachman (ed). 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal. ICIP dan EU; Jakarta.

Sumanto al-Qurtubi. 2005. Lubang Hitam Agama. RumahKata; Jogjakarta.

Muhammad Ali. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural. Kompas; Jakarta.

Nurcholis Madjid. 2007. Islam dan Pluralisme. Yayasan Paramadina; Jakarta.

Nurcholis Madjid. 1994. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Yayasan Paramadina; Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar