Sabtu, 14 Februari 2009

Seri Artikel Komunikasi

RAMBU-RAMBU
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Berkomunikasi pada dasarnya
hanyalah upaya untuk mendekatkan keinginan kita dengan orang lain,
bukan harus memaksakan keinginan tersebut
untuk diterima oleh orang lain

(Aksioma Komunikasi)

Artikel ini merupakan sebagian dari isi buku penulis "Probematika Komunikasi Antarbudaya di Kalbar", yang diterbitkan oleh STAIN Pontianak Press, tahun 2005. buku ini merupakan buku wajib bacaan bagi Mahasiswa jurusan Dakwah STAIN Pontianak Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (Pengantar khusus Penulis untuk blog ini).

Berkomunikasi, tidak lain adalah aktivitas pemenuhan harapan dan keinginan antar pribadi orang, kelompok dan subjek yang terlibat dalam proses tersebut, baik sebagai komunikator maupun komunikan. Baik pemenuhan harapan dan keinginan secara lisan (speech - verbal communication), isyarat anggota badan (nonverbal communicatin), maupun antar idea dan pemikiran (inter ideas and think communication).

Dalam bentuk apapun, komunikasi itu senantiasa melibatkan paling tidak dua subjek di dalamnya sebagai komunikator dan komunikan (termasuk intrapersonal communication). Karena itu ada beberapa – banyak - hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan komunikasi yang baik dan efektif antar subjek tersebut. Sebab setiap subjek senantiasa memiliki cara dan sikap hidup yang juga berbeda, setiap orang (dari kelompok budaya apapun, dan dari latar belakang manapun) senantiasa memilik frame of reference dan field of eksperience yang juga berbeda. Perbedaan ini juga, tentu saja akan membentuk pola dan cara komunikasi yang dibangun. Atas dasar itu maka, perbedaan pada masing – masing subjek (yang terlibat dalam komunikasi) – selain unsur lainnya dalam komunikasi semisal pesan, media, dan konteknya – mesti dipahami dengan baik dan benar, sehingga bisa disikapi secara baik, wajar dan apa adanya. Berikut beberapa rambu – rambu dalam komunikasi antarbudaya.

Pahami diri dan orang lain

Ada sebuah pertanyaan dilontarkan oleh seseorang dalam teka tekinya ; apa yang paling sulit dipahami oleh setiap manusia., Yang paling sulit dipamahi oleh manusia dalam komunikasi adalah memahami diri sendiri. Baru setelah itu memahami orang lain.

Pemahaman yang baik terhadap diri akan menentukan keberhasilan mengerahkan segala potensi komunikasi yang ada dalam diri seseorang. Kemampuan mengenal diri sendiri, juga merupakan kunci untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan yang ada dalam diri seseorang.

Dalam kajian komunikasi, pengenalan terhadap diri dan orang lain, biasa diistilahkan dengan persepsi dan konsepsi diri. Persepsi dan konsepsi yang baik dan fositif terhadap diri dan orang lain, akan membentuk komunikasi yang baik dan positif pula dalam membangun hubungan komunikasi dengan orang lain. Sebaliknya persepsi dan konsepsi yang jelek dan negatif terhadap diri dan orang lain, juga akan menjadikan komunikasi yang janggal, penuh curiga, ugal-ugalan dan meremehkan dalam hubungan antar manusia. Pantaslah ada ungkapan komunikasi yang menyatakan bahwa, “orang cendrung akan berkomunikasi sebagaimana persepsi dan konsepsi yang ia miliki terhadap komunikasi yang akan ia lakukan”.

Ungkapan tersebut, jika dilanjutkan akan berarti bahwa, tatkala anda merasa diri anda lebih hebat, lebih baik dan lebih pintar dari orang yang akan anda temui, maka tentu anda akan melakukan komunikasi dengan santai, penuh percaya diri, terkadang sembarangan dan sombong. Sebaliknya jika anda merasakan diri anda rendah, miskin, jelek, maka anda akan melakukan komunikasi dengan pelan, menunduk, malu, bahasa yang lemah lembut dan tidak percaya diri.

Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain juga berlaku sama. Contoh, ketika seseorang memandang bahwa yang akan ia hadapi adalah seorang Dosen, Intelektual, pintar dan berwibawa, maka ia akan melakukan komunikasi dengan penuh penghormatan, sistematis bahasanya, selektif omongannya, bahkan cendrung merendah dan malu-malu. Sebaliknya jika anda punya persepsi dan konsepsi bahwa yang akan anda temui adalah seorang pemulung, yang meminta-minta, maka kemungkinan anda akan melakukan komunikasi dengan kasar, arogan, ugal-ugalan, sembarangan, bahkan maki-makian.

Karena itu, kemampuan memahami diri dan orang lain sangat menentukan dalam membangun komunikasi yang baik, apa lagi dalam kajian komunikasi antarbudaya. Untuk itulah, ada baiknya kembali dilihat persepsi dan konsepsi dalam komunikasi, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

Persepsi dan konsepsi diri.

Secara sederhana persepsi adalah proses aktif dan kreatif manusia dalam mengkonstruk suatu gambar mengenai dunia, benda, situasi, persitiwa, diri dan orang lain disekitar kita. Ia adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisir dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita, bahkan ia adalah inti dari komunikasi .

Defenisi lain mengenai persepsi dapat dilihat pada Brian Fellows : sebagai proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi, atau Kennet A Sereno dan Bodaken : sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita, atau john R Wenburg dan W Wilmot : cara organisme memberi makna, atau J Cohen : interpretasi bermakna atas sensasi sebagai refresentasi objek eksternal – pengetahuan yang tampa mengenai apa yang ada di luar sana .

Persepsi pada akhirnya akan membentuk konsepsi tertentu terhadap apa yang dipersepsi. Karena itu persepsi dan konsepsi senantiasa pengaruh – mempengaruhi. Persepsi yang salah akan membuat kelirunya konsepsi. Sebaliknya konsepsi yang salah juga akan membuat persepsi yang tidak benar. Jika digambarkan dalam bagan, maka persepsi dan konsepsi bagaikan lingkaran komunikasi ayam dan telur ayam, yang tidak pernah tau mana yang lebih dahulu keduanya.

Terlepas dari itu, persepsi dan konsepsi terhadap diri akan menentukan pola dan bentuk komunikasi yang akan dilakukan. Ketika persepsi dan konsepsi terhadap diri baik dan benar, maka komunikasi yang dilangsungkan akan mungkin berjalan dengan baik, positif, penuh percaya diri dan maksimal. Sebaliknya jika persepsi dan konsepsi diri kurang baik dan keliru, maka komunikasi yang terbangun akan bersifat tidak maksimal dan kurang percaya diri.

Sebagai sebuah proses stimuli untuk memberi makna terhadap suatu objek yang dipersepsi dan dikonsepsi, ada beberapa katagori besar objek yang dapat dipersepsi.

Pertama, terhadap lingkungan pisik, kongkrit dan dapat diamati secara nyata.
Kedua, terhadap objek-objek dan kejadian social yang kita alami dan saksikan dalam lingkungan social kita. Persepsi social ini senantiasa dipengaruhi oleh pengalaman (field of eksperience) seseorang, bersifat selektif, bersifat dugaan karena mempersepsi juga adalah menduga makna dari suatu objek yang diamati, dipersepsi dan dikonsepsi. Persepsi juga bersifat evaluatif dan kontekstual.

Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain.

Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain pada dasarnya hampir sama dengan terhadap diri sendiri. Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain, selain referensi dari luar dirinya dalam memandang orang lain, ia juga dipengaruhi oleh frame of referense dan field of eksperience dalam diri seseorang. Karenanya ada beberapa prinsip yang berlaku dalam mempersepsi dan mengkonsepsi orang lain dalam komunikasi antarbudaya .

Pertama, adanya kemiripan, kedekatan dan kelengkapan pada struktur objek dan kejadian. Struktur dan kejadian dimaksud dalam mempersepsi dan mengkonsepsi orang lain tentu saja mereka yang berada diluar pribadi yang mempersepsi dan mengkonsepsinya.

Kedua, kita cendrung mempersepsi dan mengkonsepsi suatu ransangan atau kejadian yang terdiri dari objek dan latar belakangnya. Semakin mirip suatu ransangan dan kejadian dengan ojek dan latar belakangnya, maka semakin mudah dan semakin baiklah persepsi dan konsepsi yang diberikan terhadap orang lain. Meskipun harus ditegaskan bahwa, tidak ada persepsi yang objektif. Semua persepsi pada dasarnya adalah subjektif. Andrea L Rich telah mengomentari ini dengan pernyataannya “persepsi pada dasarnya mewakili keadaan fisik dan psikologis individu, alih-alih menunjukkan karakteristik dan kualitas mutlak objek yang dipersepsi .

Sebagaimana terhadap diri sendiri, persepsi dan konsepsi terhadap orang lain juga terikat dan dipengaruhi oleh budaya (culture bound). Bagaimana memaknai suatu pesan, objek, atau lingkungan bergantung pada sistem nilai dan budaya yang kita anut, termasuklah di sini agama, ideology, tingkat intelektualitas, ekonomi, profesi dan word view seseorang juga akan mempengaruhinya dalam mempersepsi dan mengkonsepsi objek dan orang lain dalam komunikasi.

Berkaitan hal tersebut, Larry A Samovar dan Richard E Forter mengemukan unsur-unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi dan konsepsi komunikasi, yakni : kepercayaan (beliefs), nilai (values), sikap (attitudes), pandangan dunia (worldview), organisasi social (social organization), tabiat manusia (human nature), orientasi kegiatan (activity orientation), persepsi tenteng diri dan orang lain (perception of self and others).

Persepsi dan konsepsi dalam komunikasi juga dipengaruhi (cendrung dirusak) oleh karena kesalahan atribusi (penyebab perilaku orang lain), efek hallo (penilaian menyeluruh terhadap suatu sifat tertentu pada orang lain), streotif (generalisasi yang tidak cukup informasi), prasangka dan gegar budaya .

Sikapi Perbedaan secara wajar

“Kematangan dalam budaya adalah kemampuan bertoleransi atas perbedaan, mengutuk orang lain karena perbedaan adalah tanda kebengalan dan kecongkakan”. Demikian statemen yang dilontarkan oleh para ahli komunikasi ketika menjelaskan perlunya sikap yang wajar terhadap perbedaan dalam komunikasi antarbudaya .

Jika meruntut akar perbedaan dalam diri manusia, maka semua orang akan sepakat bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan tak terelakkan (conditio sain quo non). Dalam islam, perbedaan manusia adalah sunnatullah yang telah ditentukan jauh sebelum manusia itu diciptakan, yang dikenal dengan takdir Tuhan.

Dalam al-qur`an misalnya dengan jelas Allah berkata bahwa perbedaan adalah kehendah-Nya, jikalau Allah menghendaki semua manusia adalah satu, maka itu bukan persoalan yang sulit (Q.S. : ). Akan tetapi Allah berkeinginan menciptakan manusia yang beragam suku, bangsa,laki-laki dan perempuan dengan maksud supaya manusia dapat saling melengkapi, mengenal satu sama lain, dan pada akhirnya berkompetisi dalam kebajikan dan taqwa (al-Hujarat : 13).

Hukum alam sebetulnya juga telah mengisyaratkan, betapa perbedaan adalah hukum alam yang menjadikan kehidupan ini lengkap dan sempurna. Air sebagai zat yang mencair tidak akan pernah eksis jikalau tanpa adanya api dan panas yang membakar. Panasnya matahari pada siang hari, juga tidak akan pernah dirasakan oleh alam ketika tidak adanya kesejukan dan dingin pada malam hari.

Orang kaya tidak akan pernah ada, jikalau tidak adanya orang lain yang miskin, profesi dosen tidak akan ada, manakala tidak adanya mahasiswa yang mengikuti kuliah. Mahasiswa tidak akan pernah ada jikalau dibawahnya tidak ada yang namanya mahasiswa, dan seterusnya.

Demikian pula komunikasi, hubungan antarmanusia tidak akan pernah terjadi tarik menarik ketika tidak adanya keinginan dan harapan yang sama dari subjek yang berbeda. Harapan terpenuhinya keinginan seseorang tidak akan pernah terjadi, jika orang tersebut tidak pernah merasakan membutuhkan dan memerlukan sesuatu itu.

Contoh-contoh di atas, cukup menggugah kita bahwa perbedaan adalah sesuatu yang mesti ada. Karena itu sikap yang mesti dibangun dalam diri komunikator antarbudaya adalah, sikap memahami orang lain secara wajar, dengan dan dalam segala perbedaannya, bukan menafikan keberadaan pihak lain hanya karena mereka berbeda. Disinilah mesti dipahami aksioma komunikasi yang menyatakan bahwa “berkomunikasi, bukanlah pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti (sama seperti) kita, melainkan mendekatkan pemahaman orang lain mengenai diri kita (yang berbeda)”.

Ketika perbedaan yang ada mampu disikapi dengan baik dan wajar sebagai realitas komunikasi, maka akan tumbuhlah kewajaran sikap untuk mau memahami, menjelaskan dan menghargai perbedaan yang ada. Asumsi yang dikembangkan dalam sikap ini, tentu saja penghargaan bahwa orang lain mungkin baik dan benar, sebagaimana kebaikan dan kemungkinan kebenaran yang kita yakini, dan kita mungkin salah dan keliru sebagaimana orang lain juga bisa salah dan keliru.

Akan tetapi dari semua itu, yang harus anda ketahui bahwa, tidak ada satu manusia-pun yang akan berpegang (mati-matian) pada suatu prinsip, cara hidup dan nilai yang ia tau betul bahwa itu tidak baik, salah dan maksiat. Setiap orang akan mempertahankan cara hidup, prinsip dan nilai yang ia tau betul, dan yaqin bahwa hal itu baik dan benar-minimal dalam perspektif diri pelakunya. Oleh karena itu, sikap yang mesti dibangun dalam komunikasi antar orang-orang yang berbeda budaya adalah, pelajari dan pahami mengapa mereka berbeda dengan kita, apa yang menjadi pertimbangan mereka mengambil sikap, cara hidup dan prisip yang berbeda dengan kita dan sebagainya. Ketika hal ini terjawab, maka akan terjawablah “kotak hitam budaya” yang ternyata, mereka bersikap seperti itu, melakoni cara hidup seperti itu, dengan prinsip yang begitu, adalah karena ini dan seterusnya. Dengan demikian maka, perbedaan tadi tidak lagi menjadi persoalan dan biang bagi tumbuhnya sikap antipati, melainkan sesuatu yang menyenangkan dan bisa saling melengkapi.

Sikap inilah yang harus ditumbuh-kembangkan dalam komunikasi antarbudaya, dimana terbukanya peluang untuk saling membuka diri, memahami dan menghargai perbedaan yang ada. Penulis optimis, jika sikap ini telah menjadi pegangan dan cara hidup kesemua pelaku komunikasi antarbudaya, maka tidak akan pernah terjadi lagi konflik social antaretnis dengan mengkambing-hitamkan perbedaan budaya.

Pelajari mengapa mereka berbeda

Pentanyan “mengapa mereka berbeda”, adalah kelanjutan dari sikap komunikasi budaya yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Dan merupakan kelanjutan dari kemampuan menyiakapi secara wajar perbedaan yang ada.

Selain karena sunnatullah, orang berbeda cara hidup, tutur kata dan bahasa, nilai-nilai anutan dan prinsip hidup adalah ditentukan oleh budaya dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Orang yang dilahirkan di desa terpencil, dan dibesarkan di tengah keluarga kampungan, makan rebung dan tempoyak, tentu saja akan berbeda cara komunikasinya dengan orang yang dilahirkan di tengah gemerlap kota dan dibesarkan dalam keluarga sehat sejahtera empat sehat lima sempurna.

Anak yang dididik dengan ketertekanan jiwa, broken home dan ketelantaran tanggung jawab keluarga, tentunya akan berbeda cara komunikasinya dengan anak yang dididik dengan penuh kegembiraan, kasih sayang dan perlindungan dari orang tuanya.

Pada contoh pertama akan ditemukan kemampuan berkomunikasi yang baik, cerdas, kritis, percaya diri dan cara yang positif lainnya. Sebaliknya pada contoh kedua, akan ditemukan kemampuan komunikasi yang kurang lancar, malu-malu, kaku dan tidak percaya diri.

Ada bebagai factor lain yang membuat karakteristik perbedaan masing-masing individu dalam komunikasi, antara lain adalah pendidikan yang didapatkan oleh anak manusia sejak mereka dalam rumah tangga. Berkaitan dengan hal ini Jalaludin Rahmat (2001) mengutif ungkapan :

CHILDREN LEARN WHAT THEY LIFE
Anak belajar dari kehidupannya

If a child lives with criticism, he learn to condemn
(jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki)
if a child lives with hostility, he learn ti fight
(jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi)
if a child lives with ridicule, he leran to be shy
(jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri)
if a child lives a shame, he leran to feel quilty
(jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri)
if a child lives with tolerance, he learn to be patient
(jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri)
if a child lives with encouregement, he learn to be confident
(jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri)
if a child learn to with praise, he learn to appreciated
(jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai)
if a child lives with fairness, he learn to justice
(jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan)
if a child lives with security, he lerans to have faith
(jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan)
if a child lives with approval, he lerans to likes himself
(jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri)
if a child lives with acceptance and friendshif, he learns to find love in the world
(jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan)

Pelajari mengapa mereka berbeda, juga mensyaratkan komunikasi yang mesti melihat kontek (ruang dan waktu) dimana, dan kapan komunikasi itu berlangsung. Komunikasi dalam kontek ini, akan menjelaskan perbedaan komunikasi yang dilakukan dalam percakapan formal dengan non formal dan informal. Perbedaan komunikasi dalam hubungan struktur kerja dengan komunikasi dalam hubungan sahabat dan pertemanan, komunikasi dengan sesama jenis kelamin dengan yang berbeda jenis kelamin dan lain sebagainya. Kontek komunikasi ini juga akan menjelaskan perbedaan komunikasi yang berlangsung dalam suasana suka ria dengan ketika suasana duka cita, suasana kesal, sedih dan baru putus cinta akan berbeda komunikasinya dengan ketika dalam suasana senang, puas, dan baru diterima cintanya dan lain sebagainya.

Nuansa komunikasi atasan yang kebetulan baru dipromosikan untuk sebuah jabatan yang lebih tinggi, akan berbeda dengan komunikasi yang berlangsung tatkala atasan mendapat teguran pimpinan karena kesalahan membuat laporan kerja unit dan sebagainya.

Oleh karena itu, jangan ceroboh untuk menghakimi sikap orang yang pemdiam dan tidak menyapa ketika anda lewat didepan ruangannya, hanya karena dalam frame of reference dan field of eksperience kita yang menganggap itu sebagai bentuk kesombongan dan ketidak-pedulian. Sebab, mungkin saja saat itu ia sedang berduka lantaran ada masalah di rumah, bertengkar dengan isteri atau anaknya lagi sakit kritis di rumah sakit.

Perbedaan sikap seperti ini akan sering sekali ditemukan dalam komunikasi antarbudaya, dan seringkali pula menimbulkan kesalahpahaman dan konflik antar pribadi dan komunitas budaya.

Hindari Evaluasi terhadap perbedaan

Rambu berikutnya adalah hindari evaluasi yang tergesa – gesa terhadap perbedaan sebagai suatu sikap yang salah dan keliru. Di atas telah dicontohkan sikap seseorang yang diam dan tidak menyapa tatkala anda lewat di depan ruangannya. Berikut akan dikemukan beberapa contoh kesalahan-pahaman komunikasi (misunderstanding-miscommunication) antarbudaya yang berujung pada konflik peribadi dan budaya.

“anda tentu masih teringat peristiwa jatuhnya dua bom raksasa pasukan sekutu yang meluluh lantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki Jepang. Peristiwa itu terjadi ketika pasukan sekutu AS (yang dipimpin oleh Jendral Mc Athur) menginstruksikan Jepang agar menyerah dalam perang dunia II. Oleh jepang, instruksi tersebut di jawab dalam isyarat – bahasa Jepang ”Mokusatsu” yang berarti ”kami akan mentaati ultimatum tuan tanpa komentar”. Jawaban itu dipahami oleh pasukan sekutu yang berada di pesawat udara dengan makna ”mengabaikan” atau ”Jangan memberi komentar sampai keputusan diambil”. Ini berarti isyarat pembangkangan dan penolakan untuk menyerah, maka dijatuhkanlah dua bom itu di dua kota terbesar di Jepang : Hiroshima dan Nagasaki. Akibatnya Jepang hancur dan mengalami kerugian Sumber daya dan material yang tak terhitung jumlahnya” .

“Pasangan muda-mudi pernah bertengkar sekembalinya dari sebuah restoran pada suatu malam. Pertengkaran itu bermula dengan ketersinggungan melihat tingkah laku sang pacar yang diam, tidak mau berbicara, bahkan berpaling membelakangi dirinya. Di matanya sang pacar lagi marah, dan tidak lagi mencintainya. akibat tak kuasa menahan amarah dan ketersinggungannya itu, iapun keluar meninggalkan pacarnya itu dengan kesal. Peristiwa itu berlalu hingga keduanya berjalan pulang. Dengan kesal ia mendengarkan penjelasan pacarnya bahwa ia diam karena di restoran itu ada paman dan bibinya yang juga sedang makan malam, duduk di kursi kedua bagian depannya lagi. Makanya aku tak berani bicara dan memalingkan hadapanku. Kamukan tau kalau paman dan bibi tidak senang dengan hubungan kita, kata si pacar menjelaskannya”

Anda dapat membayangkan betapa kondisi itu bisa menjadikan malapetaka bagi siapa saja ketika evaluasi terlampau ceroboh diberikan pada kedua contoh kasus diatas, yang secara lahiriah – manusiawi, memang memiliki makna pembangkangan, penolakan dan ketidak-cintaan. Akan tetapi ternyata isyarat tersebut mempunyai makna khusus karena situasi dan kondisi saat itu.

Oleh karenanya, komunikasi yang baik dan efektif, akan terbangun jika pribadi dan komunitas budaya tidak terlalu mudah memberikan evaluasi terhadap sikap budaya yang berbeda antar partisipan komunikasi. Baik itu evaluasi positif maupun negatif. Evaluasi positif yang keliru akan menjadikan komunikasi yang dibangun gagal. Apalagi terhadap evaluasi yang negative, tentu saja bisa menjadi petaka dan konplik komunikasi.

Mulailah dari yang terkecil

Mulailah dari yang terkecil : komunikasi antarbudaya yang baik dan efektif mensyaratkan sikap keterbukaan, toleransi dengan perbedaan, pemahaman dan penghargaan terhadap perspektif orang lain yang mungkin benar sebagaimana kemungkinan perspektif kita yang salah, mesti dilakukan oleh setiap peserta komunikasi antarbudaya. Baik dalam hubugan social antarbudaya, antar ras, antar agama, antar bangsa dan negara, antar profesi, antar etnis maupun antar pribadi dan intra pribadi.

Sebagai prasyarat terwujudnya komunikasi antarbudaya yang baik dan efektif, kesediaan membuka diri, dan kemampuan memahami perbedaan dan perspektif orang lain, mesti harus dimulai dari hubungan komunikasi yang paling kecil yakni hubungan dialogis ide, pemikiran dan pertimbangan dalam diri sebelum keputusan komunikasi itu dilakukan (intrapersonal communication). Ini berarti bahwa komunikator antarbudaya yang baik mesti mampu mengatasi gejolak ide, pertarungan pemikiran dan pertimbangan dalam diri ketika akan mengambil suatu sikap atau keputusan.

Sebagai contoh dalam kontek ini, anda dapat membayangkan betapa terkadang anda punya keraguan yang luar biasa, untuk menentukan sebuah sikap atau keputusan. Terkadang ide, pikiran dan pertimbangan anda cendrung mengambil sikap dan keputusan A, terkadang cendrung untuk keputusan B. terkadang pengalaman budaya (Frame of reference dan field of eksperience) kita menghendaki untuk mengambil sikap dan keputusan A, terkadang juga untuk keputusan B. perdebatan intra personal ini tidak jarang membawa pada sebuah kegagalan komunikasi budaya yang akan dilakukan, sebab semua komunikasi (dalam bentuk dan kontek apapun) senantiasa berlangsung melalui komunikasi intrapersonal. Karena itulah, keberhasilan komunikasi dalam kontek yang lebih luas dan besar, sangat ditentukan oleh keberhasilan mengatasi persoalan komunikasi dalam kontek kecil intrapersonal ini.

Mulailah dari yang terkecil, bermakna bahwa komunikasi antarbudaya yang baik mesti dimulai oleh setiap pribadi komunikator antarbudaya, dalam bentuk apapun dan kontek manapun, termasuk komunikasi dalam diri pribadi (intrapersonal communication). Seseorang yang tidak mampu mengatasi kejolak tarik-menarik dan pertimbangan yang baik dan akurat dalam dirinya, maka ia akan gagal dalam melakukan komunikasi ke luar dirinya (to out others). Seseorang yang ceroboh, latah dan ugal-ugalan dalam komunikasi, merupakan gambaran komunikator yang tidak mampu mengatasi gejolak intrapersonal dengan baik. Akibatnya tentu saja akan merusak komunikasi yang dibangun dengan orang lain diluar dirinya, termasuk komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) dan antarbudaya (intercultural communication).

Perbaiki sikap antarbudaya

Setiap manusia hidup dalam komunitas dan sistem social tertentu yang tak terbantahkan, karenanya ia juga mempunyai cara hidup dan tuntunan perilaku tersendiri pula yang membedakan satu dengan lainnya. Realitas ini menunjukan bahwa aksioma filsafat yang mengatakan manusia adalah hewan yang berfikir, maka aksioma tersebut juga membenarkan bahwa dengan berfikir maka manusia berbudaya.

Budaya dalam pengertian sederhana adalah cara hidup manusia yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh nilai, norma, sikap, agama, adat istiadat, objek material dan non material, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Edward T Hall memberikan defenisi budaya sebagai The total way of life of a people, composed of their learned and shared behavior patterns, values, norms, and material objeks (keseluruhan cara hidup manusia yang dipelajari dan dipertukarkan dalam membentuk tingkah laku, nilai-nilai, norma-norma, dan objek material lainnya).

Dengan demikian, setiap manusia yang terlibat dalam komunikasi sudah memiliki budaya (cara hidup dan berperilaku) tersendiri, karenanya komunikasi yang baik dan mesti dibangun bukanlah menafikan cara hidup dan budaya para pelakunya, melainkan mendekatkan kesamaan budaya diantara mereka. Pantaslah prinsip komunikasi antarbudaya salah satunya menyatakan bahwa “semakin mirip latar belakang social dan budaya antar pelaku komunikasi, akan menjadikan komunikasi itu lebih baik dan efektif. Sebaliknya semakin besar perbedaan latar belakang social dan budaya keduanya maka semakin sulitlah komunikasi dibangun antar komunitas budaya yang berbeda” .

Melihat kondisi ini jelas bahwa, sikap yang harus dibangun dalam komunikasi antarbudaya adalah sikap yang tulus untuk memahami, mempelajari dan menghargai setiap perbedaan yang ada antara kita dengan orang lain, sembari juga membuka diri untuk dikenali, dipelajari dan dipahami oleh orang lain, termasuk kelebihan dan kekurangan yang ada.

Sikap yang tulus antarbudaya, tentu saja juga berupa perasaan yang terbuka bagi siapapun yang mungkin berbeda dengan kita, kendatipun terhadap prinsip hidup tertentu. Bukan sebaliknya antipati dengan perbedaan. Menghakimi setiap mereka yang berbeda dengan cara hidup dan perspektif kita adalah salah, adalah anggapan – perolaku yang keliru. Karenanya harus diluruskan, jika perlu disingkirkan. Paradigma inilah yang dicela dalam membangun komunikasi yang baik antarbudaya dengan ungkapan kebengalan dan kecongkakan. Sebab orang yang matang dan dewasa dalam budaya adalah mereka yang dapat menghargai setiap perbedaan dalam diri manusia sebagai makhluk yang berkomunikasi dan berbudaya .

Perangkat komunikasi antarbudaya yang baik, sesungguhnya sudah ada dalam seperangkat hukum kita (negara dan agama). Hukum negara yang melandaskan kehidupan social kemanusiaan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika, bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam kesatuan – Negara Republik Indonesia.

Hukum agama juga menyatakan perbedaan adalah Sunnatullah, manusia dinilai bukan karena perbedaan ras, suku, jenis kelamin, orang arab dan non arab, dan sebagainya. Tetapi kenyataannya, bangsa kita hingga saat ini masih jauh dari sikap penghargaan terhadap budaya yang ada. Kebebasan mengekspresikan budaya di masa orde baru merupakan bukti nyata betapa perilaku antarbudaya yang tidak seimbang dilakukan oleh bangsa kita. Suatu komunitas bebas mengekspresikan budaya dan cara hidupnya, sementara komunitas tertentu lainnya dipasung kebebasan dan kesempatan untuk memperkenalkan budaya sendiri. Akibat lebih jauh dari sikap anatarbudaya seperti ini adalah, tabunya komunitas bangsa terhadap perbedaan budaya yang ada. Inilah yang mesti di perhatikan dalam membangun sikap antarbudaya yang baik dan kondusif, guna membangun komunikasi yang baik antarbudaya.

1 komentar: