Senin, 09 Februari 2009

Keniscayaan berkomunikasi

HIDUP ADALAH KOMUNIKASI


Hidup adalah komunikasi
Tidak ada ruang yang hampa dengan komunikasi
Bahkan kita tidak bisa mengelak dari berkomunikasi
Karena itu
Perbaiki kemampuan dan kemauan untuk berkomunikasi
(Ibrahim, 2008)

Keniscayaan Berkomunikasi

We can,t not to communication, demikian uangkapan para ahli dalam memberikan pandangan betapa komunikasi itu merupakan sesuatu yang tidak bisa tidak. Dari bangun tidur hingga tidur lagi adalah proses komunikasi yang kita lakukan. karena itu, kita tidak mungkin menghindarkan diri dari berkomunikasi, sebab komunikasi itu adalah kehidupan.
Satu contoh dalam kehidupan sosial, ada seorang ayah yang sedang dilanda masalah dalam keluarganya, kemudiaan ia menyendiri dan menyepi di suatu tempat yang tidak ada satu orang pun bersamanya, dan ia tidak berbicara sepatah katapun dengan keluarga dan anak-anaknya di tempat itu. Pada saat bersamaan, sang anak bertanya dan mencari dimana ayahnya. Oleh ibunya dipahamkan bahwa ayah sedang menenangkan diri, menyendiri dan tidak mau diganggu. Jadi biarkan ayah sendiri, dan jangan menemuninya dulu, ibu mengingatkan pada anaknya.
Sekilas contoh di atas memberikan pemahaman bahwa sang ayah sedang tidak mau berkomunikasi dengan keluarganya. Akan tetapi sebenarnya prilaku sang ayah tersebut tidak lain juga adalah komunikasi dalam bentuk tersendiri. Contoh tersebut menunjukkan apa yang dilakukan oleh seorang ayah yang menyendiri dan menyepi, dapat dipahami oleh isteri dan anaknya sebagai bentuk penenangan diri dan perasaan duka sang ayah, karena itu mereka membiarkannya dan tidak menemui sang ayah pada saat itu. Bukankah kesepahaman tersebut merupakan proses komunikasi yang sudah berlangsung diantara sang ayah dengan keluarga? Meskipun komunikasi tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan lambang, bahasa dan kata-kata.
Contoh lain misalnya, ada seorang lelaki yang lewat di depan anda dengan pakaian yang rapi, berjas dan berdasi, di tangannya tertenteng sebuah tas kecil warna hitam sambil menuju ke mobilnya di halaman parkir. Dia tidak berbicara sedikitpun, seperti halnya kita juga tidak menyapa sepatah katapun kepadanya. Akan tetapi dalam perasaan kita terlintas penilaian terhadap orang tersebut sebagai pemuda yang ganteng, sepertinya dia itu seorang eksekutif muda, atau apa saja. Pada saat itulah komunikasi sebenarnya sudah berlangsung diantara seorang lelaki itu dengan anda yang melihatnya. Disinilah komunikasi mesti dipahami sebagai perilaku yang terjadi bukan saja karena adanya tujuan yang terencana dan kesengajaan (Gerard L. Miller), melainkan apa saja yang bisa menimbulkan pengertian dan pemahaman diantara partisipan, meskipun tanpa rencana dan disengaja (Alek Gode).
Sebagai sebuah perilaku yang di sengaja dan terencana, komunikasi mungkin akan dapat berlangsung dengan baik diantara para partisipannya. Sebab semua aspek komunikasi sudah dipertimbangkan terlebih dahulu sebelumnya. Kepada siapa komunikasi itu dilangsungkan, apa yang akan dibicarakan, bagaimana cara membicarakannya, media apa saja yang dipilih untuk digunakan, apa tujuannya dan lain sebagainya. Meski komunikasi dalam bentuk ini cendrung struktural dan kaku, akan tetapi dia berlangsung dalam bingkai tertentu yang sudah direncanakan oleh komunikan. Dan tentunya, ada pengaruh yang akan muncul dari perilaku komunikasi tersebut dengan prediksi yang dibuat dalam merencanakan komunikasi itu sebelumnya.
Persoalannya adalah pada perilaku komunikasi yang tidak terencana dan tidak disengaja, akan tetapi ia berlangsung ketika adanya pihak yang menafsirkan, memahami dan menilai terhadap suatu perilaku, simbol dan isyarat yang muncul sebagaimana digambarkan dalam beberapa contoh di atas. Dalam bentuk ini, komunikasi lebih bermakna melalui ekpresi, penampilan dan isyarat, bukan melalui kata-kata verbal.
Sebagai satu bentuk perilaku komunikasi yang tidak direncanakan dan tidak disengaja, tidak jarang kita mengabaikannya. Akibatnya adalah terjadinya miskomunikasi diantara pastisipan. Atau paling tidak, terjadinya pemahaman yang keliru terhadap paket simbol, isyarat dan penampilan pisik yang ditampakkan. Padahal komunikasi dalam bentuk ini justru lebih banyak terjadi dalam hubungan sosial kemanusiaan dan lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan komunikasi dengan kata-kata (verbalistik).

Kebiasaan hidup juga paket komunikasi
Kita masih teringat betul dengan beberapa streotip antar kelompok budaya masyarakat etnis di kalimantan barat yang berkaitan langsung dengan perilaku hidup dan kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkan. Pada sebagian masyarakat kita yang gemar membawa celurit dipahami oleh sebagian yang lain sebagai perilaku yang dekat dengan kekerasan. Padahal mungkin saja karena kehidupannya memang akrab dengan celurit itu, karena kebiasaannya mesti mencari rumput setiap hari untuk makan ternak, dan sebagainya.
Begitupun halnya ketika kita berjalan di pasar misalnya, di sana kita melihat ada beberapa orang pemuda berambut panjang, berkulit hitam dengan tato di badan. Mereka memang tidak menyapa kita, akan tetapi dengan seketika kita mudah memberikan penilaian dan pemahaman terhadap sekelompok pemuda tersebut sebagai preman pasar, atau kelompok yang mesti dihindari. Padahal mungkin saja penampilan tersebut adalah sebuah perilaku yang biasa-biasa saja dalam komunitas sosial mereka, apalagi di tengah kehidupan pasar yang keras dan kejam.
Lantas, apakah salah jika kita memberikan penilaian awal dalam proses komunikasi tersebut? Apakah mesti ada proses komunikasi yang demikian? Bagaimana sikap komunikasi yang mesti dilakukan? Penilaian awal (prediksi dan persepsi) pasti akan selalu ada dalam setiap komunikasi. Persoalannya adalah prediksi dan persepsi tersebut tidak cukup untuk memberikan konsepsi apalagi justifikasi yang utuh dan final terhadap seseorang dalam proses komunikasi. Karena itu untuk memperoleh konsepsi dan justifikasi yang benar terhadap seseorang, prediksi dan persepsi awal komunikasi mesti dibuktikan (dilanjutkan) dalam proses komunikasi yang baik. Di sinilah kemungkinan persepsi awal akan dibenarkan atau bahkan mungkin berubah karena proses komunikasi.
Jika ditanya dimana kesalahan komunikasi yang berhenti pada persepsi dan konsepsi awal? Yang salah dalam komunikasi itu ialah pengetahuan (frame of reference) dan pengalaman (field of eksperience) diri kita yang menjadi dasar pemahaman sepihak untuk menilai satu perilaku tertentu sebagai tidak baik dan salah, tampa mampu melihat latar belakang sosial dan pertimbangan dari orang lain yang memiliki kebiasaan tersebut. Karena itu sikap yang mesti diambil adalah, berangkatlah menilai satu perilaku dan kebiasaan orang lain dari latar belakang sosial mereka dan petimbangan-pertimbangan yang menyebabkan mereka itu melakukannya, dan bukan hanya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman kita yang dangkal terhadap orang lain.
Dengan kata lain, kita selalu menilai bahkan menghakikimi orang lain dengan perspektif hukum kita. Padahal mereka juga mempunyai perpektif hukum dan penilaian tersendiri dan berbeda dengan kita. Sebab mungkin perilaku kita juga akan tidak baik jika dinilai dari perspektif hukum mereka. Disinilah komunikasi mesti dibangun dengan proporsional dan adil. Sebab hanya dengan cara inilah kita bisa menempatkan perilaku komunikasi (khususnya yang tak terencana dan tak disengaja) pada tempat yang sebenarnya. Dan dengan cara ini pula kita mesti menyadari bahwa tidak ada kehidupan dan kebiasaan hidup kita yang bebas dari komunikasi, karena itu kehidupan dan kebiasaan tersebut mesti sadari dan dipahami maknanya.

Gagal & Sukses karena Komunikasi

Tidak sedikit orang di dunia ini yang berhasil menikmati kejayaan hidupnya karena komunikasi. Akan tetapi juga banyak orang di dunia ini yang gagal dan prustasi hidupnya karena komunikasi. Mengapa? Dan bagaimana itu bisa terjadi?
Jika kita kembali pada makna komunikasi yang sebenarnya adalah sebagai bentuk menghubungkan pesan, harapan dan maksud diantara para partisipan, maka keberhasilan proses inilah yang akan menghantarkan seseorang pada kesuksesan atau kegagalan. Jika pesan, harapan dan maksud yang diinginkan berhasil didapatkan dengan komunikasi yang dibangunnya, maka tentu saja kesuksesan yang akan diraih oleh seseorang itu. Sebaliknya, jika ia tidak memperoleh apa yang diharapkan dengan proses komunikasi yang dilangsungkan maka, kegagalanlah yang didapatkannya. Atau lebih ekstrim lagi adalah proses komunikasi itulah yang menyebabkan bencana dan petaka pada seseorang sebagaimana yang terjadi dalam rangkaian komunikasi jepang dan sekutu pada saat peperangan dunia kedua. Sekutu keliru dalam memahami istilah “makusatsu” sebagai pembangkangan Jepang untuk menyerah kepada Sekutu dalam perang dunia kedua (lihat ceritanya dalam Ibrahim, 2005).
Banyak bukti yang bisa ditunjukkan untuk menggambarkan betapa komunikasi yang baik telah menjadikan banyak orang sukses dalam hidupnya. Sebut saja dalam dunia politik misalnya, komunikasi yang baik dan efektif akan menjadi penentu karir seseorang sebagai pemimpin politik. Hanya orang yang bisa membangun komunikasi yang baik dengan masyarakatlah yang akan memegang tampuk kepemimpinan politik.
Kaitannya dengan kegagalan dan kesuksesan dalam hidup seseorang, tidak ada satu orangpun yang dapat memutuskannya, melainkan itu merupakan upaya sendiri yang dibangun dan terus diperjuangkan. Untuk mewujudkan inilah diperlukan strategi mengerahkan semua potensi pribadi yang dimilikinya. Salah satu upaya yang mungkin dilakukan untuk mengerahkan potensi tersebut adalah dengan komunikasi. Bangunlah kemampuan komunikasi pribadi yang baik, satu bentuk komunikasi yang mampu menghadirkan harapan, maksud dan keinginan dari proses sosial yang dilakukan.
Orang-orang yang sukses dalam hidupnya, selalu dimulai dari kesuksesannya membangun sebuah komunikasi. Dalam dunia akademis misalnya, komunikasi yang baik (baik verbal maupun non verbal) akan menentukan penguasaan seseorang dengan keilmuannya, dan pada akhirnya menjadikan seseorang itu dapat bersaing dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Begitupun dalam bidang politik, hanya dengan kemampuan komunikasi politik yang baiklah yang bisa menghantarkan seseorang pada kedudukan politk yang strategis. apalagi dalam sistem politik demokrasi yang melibatkan banyak massa dalam pengambilan keputusan. Meskipun dalam banyak contoh, komunikasi politik yang dibangun oleh para elit bangsa ini lebih pada manuver politik semu dan palsu, namun itu menunjukkan bahwa komunikasi memiliki peran penting dalam semua itu.
Begitupun sebaliknya, beberapa tokoh politik yang gagal meraih simpatik masyarakat pemilih untuk menduduki satu posisi penting dalam pemerintahan dikarenakan mereka gagal membangun komunikasi politik yang baik. Komar (anggota DPPR RI) misalnya yang gagal meraih kursi Bupati Tuban pada tahun 2003 lalu mengakui bahwa kegagalannya disebabkan kurangnya waktu untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat pemilih (Sumber: apa kabar Indonesia pagi TVone, 9 Agustus 2008 ). Atau Yuli Nursanto, mantan calon Bupati Ponorogo yang gagal dalam pemilu tahun 2006 lalu (TVone, 9 Agustus 2008). Kegagalannya menjadi Bupati bukanlah proses yang terjadi begitu saja, melainkan disebabkan ia telah gagal membangun komunikasi politik dengan massa pemilih. Ia gagal memahami kecendrungan masa pemilihnya sebagai komunikan politik. Dengan komunikasi yang keliru, Yuli rela mengeluarkan banyak biaya, menggadaikan kekayaan dan perusahannya, bahkan berhutang demi keinginannya di dunia politik. Namun ia gagal dan akibatnya adalah stress berat yang dialaminya saat ini.
Kegagalan dan kesuksesan dengan komunikasi sesungguhnya terjadi dalam setiap aspek kehidupan. Tidak seorangpun yang sukses dalam hidupnya tampa didukung oleh kemampuannya dalam berkomunikasi. Sebaliknya tidak sedikit orang yang potensial namun gagal dalam hidupnya disebabkan ketidakmampuannya membangun komunikasi yang baik. Percaya atau tidak, kita semua bisa mencari bukti dari semua ini. Wallahu a`lam.

Komunikasi: berangkat dari Pengalaman
Setiap orang mempunyai pengalaman, dan setiap pegalaman itulah yang akan membedakan seseorang dengan orang lain. Dengan pengalaman inilah seseorang bisa memaknai apa saja, dan dengan pengalaman seseorang mampu mengenal orang lain. Dengan pengalaman seseorang mempunyai tatanan nilai yang dijadikan untuk melihat, mengenal dan menafsirkan sesuatu. Karena dengan pengalamanlah setiap orang dapat membuat persepsi dan konsepsi terhadap apa yang ia lihat, ia dengar dan ia hadapi. Pengalaman inilah yang dikenal dengan istilah field of eksperience dan frame of reference (Ibrahim, 2005).
Field of Eksperience merupakan satu bentuk pengetahuan manusia terhadap apa yang pernah dialaminya dalam hidup, baik dalam diri pribadi, lingkungan keluarga, maupun masyarakat. Pengetahuan yang dialaminya inilah yang selalu menjadi acuan setiap orang dalam menilai dan memberikan identitas terhadap sesuatu yang ditemuinya. Kita seringkali menilai suatu perbuatan itu tidak baik dikarenakan pengalaman hidup kita menyebutnya tidak baik. Sebaliknya, seringkali kita menilai sesuatu sebagai baik dan menarik, karena pengalaman kita mendapati hal itu baik dan menyenangkan.
Denis Berkamm, mantan pemain sepak Bola nasional Belanda yang mengakhiri karirnya bersama Arsenal, lebih memilih mengendarai kendaraan mobil pribadinya dari Belanda ke Inggeris dibandingkan dengan naik pesawat terbang. Hal ini disebabkan Berkamm punya pengalaman yang mengerikan dengan kecelakaan pesawat yang membuat ia trauma untuk tidak lagi mau menaiki pesawat terbang. Padahal ia sendiri menyadari betapa tenaganya terkuras dan kecapean menghadapi pertandingan disebabkan perjalanannya yang jauh dan selalu menggunakan jalan darat. Pada sebagian besar orang, pesawat adalah pilihan transportasi yang paling elit dan prestise.
Sementara frame of reference merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang secara kognitif dalam hidupnya, baik melalui pendidikan formal, tuntunan nilai-nilai adat, budaya dan agama. dengan pengetahuan itulah setiap orang akan melihat dan menilai sesuatu yang ditemui dalam hidupnya. Karena itu, semakin luas pengetahuan (kognitif) seseorang, maka akan semakin kaya pengetahuan yang dapat dipilihnya dalam menilai sesuatu.
Sebaliknya, pengetahuan yang sempit dan terbatas cendrung akan membuat seseorang kaku dalam berkomunikasi. Ia tidak mempunyai banyak pengetahuan untuk menyaring dan memilih cara dan informasi dalam berkomunikasi. Orang dalam kelompok ini akan lebih mudah tersinggung jika dihadapkan pada suasana baru dan jarang ditemui dalam proses komunikasi.
Dengan kata lain field of eksperience dan frame of reference menjadi penentu karakter sebuah komunikasi yang akan dibangun oleh setiap kita. Disinilah sebenarnya pentingnya pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang baik sebagai titik berangkat dalam membangun komunikasi yang berlangsung dalam hubungan sosial kemanusiaan.

Komunikasi: Membangun wadah KITA
Berkomunikasi pada prinsipnya bukanlah pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti apa yang kita pikirkan, melainkan mendekatkan pikiran kita dengan pikiran orang lain (Ibrahim, 2005). Karena itu orang berkomunikasi senantiasa menggunakan berbagai media dan simbol yang dipandang mampu mewakili apa yang dipikirkan, dilihat dan dirasakan untuk dibagi kepada orang lain dalam satu proses interaksi. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, pilihan simbol dan lambang tertentu pada dasarnya bukanlah itu sesungguhnya yang dipertukarkan dalam proses komunikasi tersebut, melainkan maknalah yang dipertukarkan diantara partisipan. Simbol atau lambang yang sama mungkin saja mempunyai makna atau dimaknai secara berbeda oleh komunikator dan komunikan. Sebaliknya pemberian makna yang sama terhadap satu simbol atau lambang yang digunakan itulah yang diharapkan dalam setiap proses komunikasi yang dilangsungkan. Pertukaran makna seperti inilah yang disebut dengan proses komunikaksi yang efektif dan berhasil, ketika didapatkannya pemaknaan yang sama. Karena itu, pilihan simbol dan lambang dalam komunikasi menjadi bagian yang sangat penting dalam komunikasi. Apalagi dalam kontek antarbudaya, dimana setiap orang memiliki seperangkar pengalaman dan pengetahuan yang berbeda dalam melihat, memandang dan menafsirkan sesuatu, termasuk simbol dan lambang komunikasinya. Inilah yang melahirkan istilah word don`t mean peoples means, satu istilah yang mengingatkan kita bahwa kata (sebagai simbol & lambang komunikasi) tidak mempunyai makna apa-apa, melainkan manusialah memberikan makna pada simbol/lambang tersebut dalam proses komunikasi.
Sebagai sebuah substansi komunikasi, pertukaran makna yang sama dari simbol-simbol yang digunakan dalam proses komunikasi, pada dasarnya komunikan sedang membangun satu wadah konsepsi dan pemahaman bersama. Simbol atau lambang yang digunakan pada mulanya memang ditentukan oleh seorang komunikator, kemudiaan lambang itu dipahami dan ditafsirkan oleh komunikan sebagai suatu pesan yang bermakna, dan makna itulah sesungguhnya wadah bersama antara pasrtisipan tersebut.
Dalam setiap proses komunikasi, wadah (pemaknaan) itu bukan lagi ada pada komunikator atau komunikan saja, melainkan kedua-duanya. Dengan kata lain, antara komunikator dan komunikan mesti bersedia untuk meninggalkan sarang (pemaknaannya) masing-masing menuju wadah baru yang diciptakan bersama dengan orang lain. Itulah yang disebut sebagai wadah KITA sebagaimana digambarkan dalam diagram proses komunikasi di bawah ini.

Diagram proses pertukaran makna dalam komunikasi
a1 a2 b2 b1
A:saya KITA anda:B

Analisis: Ibrahim, 2008.
Legenda: komunikasi sebagai proses membangun wadah kita (pemaknaan yang sama antara komunikator A dan komunikan B) jika penafsiran yang diciptakan keduanya mengambil posisi yang semakin mendekatkan antara posisi A dan B (a1. a2, atau b1 dan b2), maka semakin baiklah wadah bersama yang dibangun. Sebaliknya komunikasi yang baik bukanlah keharusan A yang mengikuti konsepsi B atau sebaliknya, melainkan keduanya harus bertemu di a1 atau a2 atau b1 atau b2. inilah yang disebut komunikasi membangun wadah kita.

Dari gambaran di atas jelas bahwa proses komunikasi yang baik mensyaratkan setiap partisipan bersedia untuk meninggalkan posisinya masing-masing menuju satu wadah kesepahaman dan pemaknaan yang diciptakan bersama. Kesepahaman dan pemaknaan baru yang diciptakan bersama itulah yang disebut dengan wadah KITA, bukan lagi wadah saya (A) atau wadah anda (B). sebab, jika wadah saya (A) yang masih diandalkan, maka saya cendrung memaksakan anda untuk masuk dan mengikuti pikiran dan kehendak saya sendiri. Sebaliknya jika wadah anda (B) yang digunakan, maka anda juga mengharuskan saya untuk masuk dan mengikuti semua kehendak anda dengan tampa kompromi sedikitpun. Akan tetapi dengan wadah baru yang diciptakan bersama, disitulah terjadinya kompromi dan negosiasi makna diantara kita menjadi pemahaman bersama sebagai wadah KITA.
Terjadinya konflik dalam hubungan pribadi, sosial dan budaya sangat ditentukan dengan paktor ini, dimana setiap partisipan tidak mampu atau mungkin tidak mau untuk keluar dari wadah (sarang) nya untuk kemudiaan menciptakan wadah bersama, yang memang diciptakan bersama menjadi wadah KITA. Wallahu a`lam.

Komunikasi: Belajar untuk Menghargai
Sebagai sebuah proses pertukaran makna, maka komunikasi juga sebenarnya adalah proses negosiasi dan kompromistis antara partisipan tentang makna tertentu yang dikehendaki. Bedanya adalah negosiasi dan kompromi itu terjadi melalui pengalaman (field of eksperience) dan latar belakang pengetahuan (frame of reference) partisipan. Sebagai sebuah bentuk negosiasi dan kompromistis, mungkin saja terjadi perbedaan kehendak yang mendasar antarpartisipan, dimana keduanya mempunyai pemahaman dan pemaknaan yang sangat jauh berbeda, meskipun proses komunikasi yang baik sudah dijalankan. Karena itu komunikasi pada tahap ini juga mesti dipahami sebagai proses belajar untuk menghargai perbedaan tersebut.
Sikap yang tidak mau menghargai perbedaan itu merupakan ancaman bagi hubungan sosial dan komunikasi. Sikap inilah yang menumbuh-kembangkan rasa etnosentrisme dan deskriminatif yang puncaknya adalah konflik karena “alasan perbedaan”. Ekstrimnya, sikap ini menjadikan perbedaan sebagai persoalan baik buruk, benar salah, karena itu perbedaan mesti hindari atau bahkan dimusnahkan. Jika sikap ini yang muncul, maka komunikasi yang merupakan proses penghargaan terhadap perbedaan menjadi kehilangan substansinya. Komunikasi bukan lagi ditempatkan sebagaimana mestinya untuk membangun kesefamahan dan toleransi, melainkan pemberangusan terhadap perbedaan untuk mewujudkan keseragaman. Akibat lebih jauh adalah pecahnya konflik pisik terbuka sebagaimana dalam sejarah politik orde baru dan konflik etnis di beberapa daerah di Indonesia. Inilah beberapa hal menurut penulis yang mesti disadari dan dipahami secara baik oleh setiap kita dalam membangun proses komunikasi yang baik dan efektif dalam hubungan sosial dan kemanusiaan, khususnya di bumi Kalimantan Barat. Wallahu a`lam.





Daftar Bacaan
Ibrahim MS. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya, Pontianak: Penerbit STAIN Pontianak Press.

Liliweri, Alo. 2002. Dasar-dasar Komunikasi antarbudaya, Jogjakarta, Pustaka Pelajar

Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antaramanusia, Profesional Books Jakarta

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Jogjakarta, LKIS

Mulyana, Dedy. 2001. Komunikai antarbudaya, Rosda Karya Bandung

Mulyana, Dedy. 2001. Ilmu Komunikasi ; Suatu Pengantara, Rosda Karya Bandung

Mulyana, Dedy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda Karya Bandung.

Mulyana, Dedy. 2004. Komunikasi Efektif, Bandung, Rosda Karya h. 73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar