Sabtu, 07 Agustus 2010

TRADISI & KOMUNIKASI

Studi atas Prosesi Topung Tawar pada Masyarakat Melayu di Nanga Jajang

Ibrahim MS
Makalah yang disampaikan pada Seminar Melayu Nusantara II, Malay Corner STAIN Pontianak, dan sudah diterbitkan dalam Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu, Editor Ibrahim MS, STAIN Press 2010




Pendahuluan
Bangsa kita, Indonesia adalah sebuah bangsa yang dikenal dengan berbagai kekayaan khazanah budaya hidup dan sosial masyarakatnya. Hal itu bersinergi dengan kekayaan bangsa ini akan pluralitas etnik, budaya dan agama, dimana setiap etnik, budaya dan agama yang berbeda akan memberikan arahan, tuntunan dan pedoman dalam hidup dan kehidupan sosial masyarakatnya. Realitas itu tidak terkecuali juga wujud di bumi Kalimantan Barat ini, dimana dari sisi agama misalnya, di Kalbar terdapat masyarakat yang bergama Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Budha, Konghu Chu, dan bahkan aliran kepercayaan (BPS, 2008). Dari sisi etnik, di Kalbar terdapat etnik Melayu, Dayak, Madura, China, Jawa, Bugis, Minang, dan sebagainya (BPS, 2008).
Sebagai salah satu komunitas terbesar di Kalimantan (Nieuwenhuis, 1894; Enthoven, 1903; King, 1993), masyarakat Melayu memiliki sejarah panjang dalam kehidupan sosial etnik di Kalimantan Barat. Sejarah panjang kehidupan masyarakat Melayu dari pesisir hingga ke pelosok daerah Ulu Kapuas, telah turut memberikan warna tersendiri dalam membangun tatanan sosial dan keselarasan alam hayati. Dengan kata lain, masyarakat Melayu telah turut memelihara dan menjaga kelestarian alam dan kehidupan sosial di Kalimantan Barat umumnya dan Kapuas Hulu khususnya, tak terkecuali dalam konteks ini adalah masyarakat Melayu di Nanga Jajang Kapuas Hulu.

Deskripsi Kawasan Kajian
Nanga Jajang sebagai sebuah kawasan kajian dalam tulisan ini adalah nama sebuah kampung kecil setingkat dusun. Penamaan kampung ini dengan Nanga Jajang sebenarnya dinisbahkan kepada nama salah satu sungai besar yang melintasi dan bermuara di sekitar perkampungan ini, yakni Sungai Jajang.
Kebiasaan memberi nama daerah dengan nama sungai atau nama muara seperti itu, sudah sejak lama dipraktekkan oleh masyarakat di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat. Di daerah Kabupaten Pontianak misalnya, ada banyak tempat yang menggunakan kata sungai sebagai nama daerahnya seperti Sungai Nipah, Sungai Purun, Sungai Kunyit, dan Sungai Raya. Kecenderungan penamaan tempat dengan metode ini banyak terdapat di daerah hilir Sungai Kapuas. Di daerah hulu, penamaan tempat dan daerah banyak menggunakan kata nanga yang berarti muara . Nanga Jajang adalah salah satu dari sekian banyak pemukiman yang menggunakan cara tersebut. Ini berarti bahwa Dusun Nanga Jajang terletak di muara Sungai Jajang yang merupakan anak Sungai Pengkadan. Secara administrasi, Dusun Nanga Jajang merupakan bagian dari Desa Riam Panjang yang terletak di wilayah Kecamatan Pengkadan (dulu Batu Datu), Kabupaten Kapuas Hulu.
Secara geografis, Nanga Jajang berbatasan dengan Desa Riam Panjang di sebelah selatan, dengan Buak Limbang di sebelah utara, dengan Nanga Semelangit di sebelah barat, dengan Riam Mengelai di sebelah timur. Dusun ini juga berada diantara dua sungai, yaitu Sungai Pengkadan dan Sungai Jajang yang berujung di kaki Bukit Jajang, dan dikelilingi oleh kebun penduduk dengan berbagai jenis kebun termasuk Karet dan kebun atau ladang tradisional berisi pohon-pohon buah, dan lainnya seperti Tengkawang yang merupakan pohon khas daerah hutan pedalaman di hulu Sungai Kapuas. Dengan potensi kekayaan alam inilah penduduk Nanga Jajang yang berjumlah sekitar 360 jiwa ini membangun dan mengambangkan pemukiman Nanga Jajang menjadi daerah yang cukup maju dengan taraf ekonomi pendukuk yang lumayan baik. Sebagai Dusun kecil, Nanga Jajang didiami oleh mayoritas etnik Melayu. Berikut keadaan penduduk di Dusun Nanga Jajang ditampilkan dalam bentuk tebel.

Tabel
Jumlah penduduk Dusun Nanga Jajang berdasarkan suku

Melayu Dayak Jawa Batak Jumlah
345 orang 3 orang 9 orang 3 orang 360 jiwa

Sumber: Dokumen Administrasi Dusun Nanga Jajang tahun 2009
Kondisi pemukiman Dusun Nanga Jajang telah didukung oleh banyak fasilitas umum yang memungkinkan masyarakat untuk meningkatkan produktifitas kerja dan aktifitas lainnya. Diantara fasilitas umum tersebut adalah listrik negara (PLN) yang sudah masuk sekitar tahun 1992/1993. Air bersih yang berasal dari sumber mata air dari gunung yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) telah dinikmati warga sejak tahun 1995. Jalan Raya Lintas-Putussibau hadir sebagai lambang perubahan dusun pada tahun 1987. Jalan kampung dan jembatan yang merupakan infrastruktur penting telah pula dibagun dan menjadi aset penting bagi warga. Sarana ibadah berupa Masjid Syuhada yang dapat menampung sekitar 200an lebih jamaah warga Nanga Jajang sudah berdiri sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Sarana pendidikan berupa satu buah Madrasah Ibtidaiyah Syuhada dengan sekitar 50 murid dan 8 orang guru guru juga masih aktif dan beroperasi dengan baik sampai saat ini.
Kondisi sarana informasi yang sudah maju dengan indikasi masuknya jaringan handphone sejak tahun 2005 dan TV parabola mulai tahun 1992 adalah salah satu tanda ke-modern-an Dusun Nanga Jajang. Tidak hanya itu, sarana olah raga yang cukup memadai dengan satu lapangan bola, satu lapangan voley ball, dan satu lapangan bulu tangkis menambah aset dusun yang didukung oleh toko-toko yang menyediakan barang kebutuhan masyarakat dari kebutuhan sehari-hari sampai kebutuhan sekunder seperti toko handphone dan meuble serta toko yang menjual sarana olah raga. Semuanya menjadi pelengkap kemudahan kehidupan masyarakat modern yang pada kenyataannya terletak jauh di pelosok pedalaman yang berjarak sekitar 680 km dari Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat.

Latar Belakang Kajian
Pada dasarnya, setiap orang dan kelompok sosial mempunyai karakteristik tersendiri yang unik dan khas dalam hidup dan kehidupannya. Karakteristik itulah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya, atau sekelompok orang dengan kelompok yang lainnya. Kekhasan itu dapat meliputi gaya hidup, bahasa, tradisi sosial dan sebagainya. Dengan kata lain, perbedaan dalam hal gaya hidup, bahasa, tradisi sosial dan lain-lain adalah sesuatu yang lumrah dan sunnatullah (Ibrahim MS, 2005). Karena itu, perbedaan tersebut mesti selalu dipahami sebagai bentukan sosial yang tak terelakkan, dan pastinya juga merupakan suatu bentuk komunikasi dalam masyarakat pemiliknya.
Sebagai suatu bentuk komunikasi, karakteristik-karakteristik sosial dan budaya tersebut tentunya mempunyai makna yang senantiasa dipertukarkan dalam masyarakat. Meskipun dalam banyak hal, tampak simbol-simbol budaya dan tradisi sosial yang hidup dalam suatu masyarakat hanya sekedar ritual belaka. Hal ini pulalah yang berlaku pada realitas sosial dan komunikasi masyarakat Melayu Nanga Jajang dalam bentuk tradisi topung tawar.
Sebagai seorang generasi muda yang awam akan makna tradisi sosial dalam masyarakat, selalunya muncul pertanyaan dalam hati ketika melihat prosesi topung tawar ini dilakukan. Mengapa tradisi ini ada? Untuk apa tradisi ini dilakukan? Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam tradisi ini? Mengapa harus dilakukan tradisi dan prosesi seperti ini? Itulah diantara pertanyaan yang selalu muncul dalam benak penulis.
Sebagai seorang pengkaji ilmu komunikasi, keyakinan bahwa adanya pesan-pesan tertentu yang selalu dikomunikasikan melalui tradisi topung tawar itu menjadikan ketertarikan dan rasa penasaran yang semakin besar. Karena itulah penelitian dan kajian lebih intens dilakukan, yang meskipun belum secara mendalam dan sungguh-sungguh, artikel ini adalah salah satu hasil kajianya.
Batasan Kajian
Sebagai suatu ritual adat dan budaya yang hidup dalam masyarakat, tradisi topung tawar mempunyai makna penting bagi kehidupan sosial mereka, sebab tradisi itu juga merupakan satu bentuk komunikasi sosial dan budaya yang hidup dan dipelihara dalam tradisi mereka.
Sebagai satu bentuk komunikasi, tentunya banyak perspektif yang dapat digunakan untuk melihat, mengkaji dan memahami tradisi ini, baik dari aspek sosial, budaya, hingga hukum dan agama. Kajian ini hanya akan melihat tradisi topung tawar sebagai satu bentuk komunikasi dalam tradisi adat dan budaya masyarakat Melayu Nanga Jajang. Dengan kata lain, perspektif kajian ini murni pada nilai-nilai komunikasi dari tradisi topung tawar itu (pure communication of values). Karena itu pula yang dicari dari kajian ini adalah seputar makna-makna atau pesan-pesan tertentu yang terkandung dalam setiap prosesi topung tawar itu.
Sebaliknya, kajian ini tidak akan melihat tradisi topung tawar itu dari perspektif hukum dan agama. Meskipun kenyataannya orang Melayu di Nanga Jajang sama dengan umumnya orang Melayu di Nusantara ini, yakni beragama Islam (muslim). Selain untuk memfokuskan kajian dari perspektif komunikasi, keengganan penulis mengkaji tradisi ini dari sisi hukum dan agama ada dikarenakan kemungkinan debateble nya kajian ini. Sebab, ada banyak pendapat dan rujukan yang saling berbeda dalam melihat tradisi topung tawar ini dari perspektif hukum dan agama (lihat Rusli Hasbi, 2009).

Tradisi Topung Tawar dalam Masyarakat
Sebagai suatu tradisi, topung tawar menjadi identitas masyarakat Melayu di nusantara, hal itu disebabkan hampir semua daerah yang memiliki budaya Melayu, pasti mengetahui tentang adat tepung tawar, hanya mungkin agak beda masing-masing daerah satu dengan daerah lainnya, baik menyangkut tata cara pelaksanaan maupun fungsinya (Tengku Ryo, 2008).
Salah satu fungsi dari upaca adat tepung tawar dalam masyarakat Melayu adalah bermakna pemberian restu dan do`a dari orang tua kepada calon pengantin atau yang dido`akan (Ariawijaya, 2008), atau untuk melepaskan gangguan tertentu dalam kekuatan manusia (Andi Amd, 2009), atau untuk buang sial (Iqbal Fadhil, 2006). Apapun yang dimaksudkan oleh masyarakat dengan tradisi ini, yang pasti adalah, adanya nilai-nilai komunikasi dalam setiap prosesi dan ritual adat topung tawar ini. Dengan tidak berkeinginan melibatkan diri dalam perdebatan tersebut, apalagi harus mengambil posisi dalam perdebatan yang ada, hanya pada nilai-nilai komunikasi lah kajian ini dilakukan atas tradisi topung tawar masyarakat Melayu di Nanga Jajang.

Seputar Defenisi Istilah
Secara sederhana, di banyak tempat, di mana terdapatnya masyarakat Melayu yang mengamalkan tradisi ini, selalu mereka sebutkan dengan nama tepung tawar. Apakah itu untuk selamatan dan syukuran, maupun untuk tolak bala dan buang sial (Andi Amd, 2009; Ariawijaya, 2008; Iqbal Fadhil, 2006). Pada masyarakat Melayu Aceh, tradisi topung tawar ini dikenal dengan sebutan peusijuek (Rusli Hasbi, 2009).
Pada masyarakat Melayu Nanga Jajang, tradisi tepung tawar ini disebut dengan vokal yang sedikit berbeda, mengikuti khas varian bahasa Melayu setempat, yakni topung tawar. Istilah topung tawar yang hidup dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang adalah bermakna sebagai berikut: Topung bermakna tepung. Topung dengan sebutan o (t-o-pung) merupakan ciri umum bahasa Melayu di Nanga Jajang dan sekitarnya (Ibrahim MS, 2009), yang berbeda sebutannya dengan Melayu di daerah lain seperti Melayu Pontianak dan Sambas yang menggunakan e (t-e-pung). Perbedaan sebutan huruf vokal tersebut merupakan varian mendasar bagi orang Melayu di Ulu Kapuas, bahkan menjadi identitas kawasan dan asal daerah (Yusriadi, 2008; Ibrahim 2009). Jika mengacu pada varian yang dipetakan oleh Yusriadi (2008) ataupun Ibrahim (2009a), jelas bahwa masyarakat Melayu Nanga Jajang menggunakan varian bahasa yang sama atau mirip dengan varian Embau Hilir (o=t-o-pung), bukannya t--pung (varian Selimbau), atau t--pung (varian Suhaid dan Putussibau) dan bukan pula t-e-pung (varian umum). Sebagai satu ciri umum dari bahasa orang Melayu di Nanga Jajang, berikut ini dapat dibandingkan beberapa perkataan yang khas dalam varian bahasa Melayu Nanga Jajang: kemana-kemona, siapa-sopa, harga-roga, ronyung, sodung dan sebagainya. Untuk analisis varian bahasa Melayu di Ulu Kapuas sila lihat Yusriadi, 2008; Ibrahim MS, 2009b.
Sementara topung itu sendiri bermakna tepung yang terbuat dari beras dengan cara ditumbuk sampai halus menjadi tepung. Tawar sendiri paling tidak mempunyai dua makna; pertama bermakna tabar dan tiada rasa apa-apa (tidak manis, asin, asam, pahit dan sebagainya). Itulah makna asal dari topung tawar itu. Kedua, bermakna sebagai obat atau penangkal dari suatu penyakit, bencana dan racun. Itulah yang selanjutnya lahir dalam bentuk istilah tawar racun, tawar kolera, tawar bisa dan lain-lain.
Dengan demikian, topung tawar itu adalah tepung yang terbuat dari beras yang sudah ditumbuk, yang tidak mempunyai rasa apa-apa, dan diperuntukkan menawar, mengobati, menangkal dan mendo`akan seseorang supaya terhindar dari penyakit dan bala bencana. Dalam konteks kajian ini, kedua-dua makna istilah ini mungkin saja relevan dan digunakan bersamaan, sebagaimana hal itu akan terlihat dalam kajian ini lebih lanjut.
Tujuan dari tradisi
Berdasarkan tujuannya, jelas bahwa tradisi topung tawar ini dilakukan untuk tujuan mendo`akan seseorang agar selamat, bahagia dan terhindar dari segala penyakit, bala dan bencana dalam hidupnya. Hal ini tampak dari makna simbol-simbol (perlengkapan) ritual tradisi dan lapadz-lapadz do`a ketika prosesi ini dilakukan. Kedua bentuk makna tersebut akan dikaji pada bagian lain dalam tulisan ini.
Tujuan lainnya dari tradisi ini tentu saja adalah untuk memelihara warisan hidup dan budaya orang Melayu, karenanya tradisi ini diwarisi secara turun temurun dari generasi ke generasi. Hal ini merupakan ciri umum dari bangsa Melayu itu sendiri yang dikenal dengan ketinggian budayanya.

Perlengkapan-perlengkapan Tradisi Topung Tawar
Perlengkapan yang digunakan dalam tradisi ini sangat bergantung pada tujuannya, untuk apa tradisi ini dilakukan. Jika topung tawar ini dilakukan untuk mendo`akan kebahagiaan orang yang menikah, akan beda bahannya dengan topung tawar untuk orang selamatan tujuh bulanan, atau untuk potong rambut anak bayinya. Meskipun ada beberapa bahan (perlengkapan) dasarnya yang sama.
Beberapa perlengkapan dasar dalam tradisi topung tawar itu, meliputi: seikat daun sabang dan juaran, sedikit beras yang diaduk satu dengan kunyit yang sudah ditumbuk supaya membentuk beras kuning, sebilah pisau sikin atau sejenis besi, dan tepung dari beras itu sendiri yang sudah diaduk dengan sedikit air yang sudah ditawari atau dibacakan do`a. Itulah bahan dasar dari topung tawar yang ada dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang.
Jika topung tawar itu untuk nujuh bulanan, akan ada perlengkapan lain seperti hamparan beras yang disimpan di bawah tempat duduk orang yang dido`akan, dan seekor ayam (penyawak) untuk diambil tetesan darahnya secara langsung.
Jika topnung tawar untuk potong rambut, mesti ada seuntai daun sirih yang bertulang naik dan setara, biji buah kelapa muda yang dibuka dengan seni yang khas dan tentunya gunting untuk memotong rambut anak/bayi. Bahkan untuk tambahan, biasa disiapkan juga recehan uang logam untuk dihamburkan kepada anak-anak yang menyaksikan prosesi tersebut.
Itulah beberapa perlengkapan (bahan) yang ada dalam tradisi topung tawar orang Melayu di Nanga Jajang, dan masing-masing bahan tersebut sesungguhnya mempunyai makna dn maksud tertentu. Hal ini juga akan dikaji dalam bagian lain dari tulisan ini.

Prosesi Pelaksanaan Tradisi Topung Tawar
Sebagaimana telah didiskusikan di muka, bahwa prosesi pelaksanaan tradisi topung tawar dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang dilakukan dalam beberapa momentum, seperti momentum perkawinan, besunat (sunatan), gunting rambut, nujuh bulanan, nyongkak ayun (ayunan) bayi, pindah rumah dan sebagainya.
Berdasarkan apa yang penulis ketahui mengenai prosesi topung tawar ini, baik dari pengamatan yang penulis lakukan secara sengaja dalam bentuk penelitian, maupun keikutsertaan dalam adat kebiasaan sosial di tengah masyarakat, dapat diuraikan kepada beberapa langkah pelaksanaannya.
Pertama-tama, tentu saja menyiapkan bahan-bahan yang biasa digunakan dan mesti ada dalam upacara topung tawar. Bahan-bahan tersebut paling tidak terdiri dari tepung (topung) yang berasal dari beras yang sudah ditumbuk, kemudian diaduk dengan sedikit air yang sudah ditawari atau dido`akan. Selain itu juga ada beras putih dan kunyit yang juga sudah ditumbuk, untuk kemudian diaduk menjadi satu sehingga beras yang putih tadi berubah warnanya menjadi kuning, itulah yang disebut beras kuning. Ketika prosesi topung tawar, sebagian dari tepung dan beras ini nantinya akan ditaruhkan ke bagian tubuh orang yang dido`akan, sebagian lagi di lempar ke beberapa penjuru disekitar. Kesemua bahan ini diletakkan dalam satu wadah (biasanya piring/mangok).
Disampingnya juga disiapkan seikat daun-daunan yang terdiri dari daun Sabang, daun Juaran dan terkadang juga daun pandan wangi. Ikatan daun ini nantinya yang difungsikan untuk mengibaskan air ke wajah/badan orang yang dido`akan. Dalam tradisi Melayu Sambas, dedaunan ini akan digunakan untuk bepapas (Muin Karim, 2005)
Kemudian juga disediakan peralatan berupa sikin atau apapun benda-benda yang mempunyai sifat keras seperti besi. Benda ini nantinya akan dimintakan kepada orang yang dido`akan untuk digigit atau sekedar di sentuhkan ke gigi, dan atau bagian tertentu dari badan orang yang dido`akan.
Pada upacara gunting rambut, akan ada bahan lain seperti daun sirih (yang bertulang senaik-sama), ditempatkan pada buah kelapa muda yang sudah dipotong bagian kepalanya, dengan potongan yang khas dan menarik. Disitu juga disediakan gunting untuk memotong rambut sang bayi.
Itulah perlengkapan yang biasanya pasti ada dalam upacara topung tawar. Untuk menyiapkan bahan-bahan tersebut pun biasanya hanya orang-orang tertentu saja yang biasa diminta dan dianggap mengetahui sarat dan fungsinya. Meskipun dalam setiap momen topung tawar, ada kemungkinan bahan-bahannya berbeda, sesuai dengan tujuan untuk apa topung tawar itu dilakukan, seperti untuk perkawinan akan beda bahannya dengan untuk gunting rambut dan sebagainya.
Akan tetapi dari kesemuanya itu, hanya ada empat sampai lima bahan saja yang tidak bisa tidak, dan pasti ada dalam setiap acara topung tawar, yakni tepung yang sudah diadukkan dengan air yang sudah dido`akan, beras dan pati kunyit yang sudah disatukan menjadi beras kuning, seikat daun sabang dan juaran, serta besi sikin atau semacamnya.
Gambar: Topung Tawar Nujuh Bulanan

Sumber: Dokumentasi Pribadi, Ibrahim 2009

Gambar di atas menunjukkan bahwa bahan untuk acara topung tawar paling tidak adalah tepung yang dibuat dari beras yang sudah ditumbuk, kemudiaan air yang sduah dido`akan, beras dan pati kunyit yang sudah diaduk satu menjadi beras kuning, seikat daun sabang dan juaran yang digunakan untuk menyapu (bepapas) air topung tawar, serta sebilah sikin atau sejenisnya. Masing-masing bahan ini pada masyarakat Melayu Nanga Jajang mempunyai makna dan maksud tertentu dalam prosesi topung tawar.


Tradisi & Komunikasi dalam Topung Tawar
Paparan di atas menunjukan bahwa prosesi topung tawar yang hidup dalam tradisi adat dan budaya orang Melayu di Nanga Jajang bukan sekedar ritual belaka, melainkan juga mempunyai makna komunikasi yang khas dan jelas. Sebagai ritual tradisi yang memiliki makna komunikasi, pesan-pesan tersebut dapat dilihat dari bahan-bahan yang digunakan untuk topung tawar, termasuk lapadz-lapadz yang dibacakan pada saat prosesi dilakukan. Inilah yang penulis sebut dengan tradisi dan komunikasi dalam topung tawar.
Sekilas paparan dimuka telah menyebutkan bahwa bahan dasar topung tawar itu paling tidak ada 5 macam, yakni tepung yang berasal dari beras ditumbuk, beras biji, kunyit (saripatinya), dedaunan (biasanya daun sabang dan juaran) serta pisau sikin atau sejenis besi. Sebagai sebuah tradisi, bahan-bahan ini mesti ada dalam setiap topung tawar, untuk konteks apapun ia. Ketika topung tawar ini untuk mendo`akan orang yang menikah, maka tambahan bahannya akan beda lagi. Begitupun untuk topung tawar orang yang nujuh bulanan, gunting rambut bayi dan sebagainya, akan ada bahan tambahan yang masing-masing berbeda.

Gambar: Bahan topung tawar untuk Gunting Rambut








Sumber: Dokumentasi Pribadi, Ibrahim MS 2009
Sebagai satu tradisi dan komunikasi, bahan-bahan yang digunakan untuk topung tawar itu sesungguhnya mempunyai makna tersendiri yang khas, termasuk penamaan topung tawar itu sendiri. Dalam bahasa masyarakat Melayu setempat, topung itu bermakna tepung yang berasal dari beras yang sudah ditumbuk. Kemudian tawar itu bermakna tiada rasa apa-apa (tidak manis, tidak asam, tidak asin dan sebagainya) kecuali tawar. Bahasa lain yang banyak digunakan oleh masyarakat setempat dalam menyebutkan rasa tawar tersebut adalah tabar. Tabar itu sama dengan tawar atau tiada rasa. Jadi biasa juga sebagian masyarakatnya menyebut topung tabar.
Tawar dalam bahasa Melayu setempat sebenarnya juga mempunyai makna lain, yakni sebagai obat, do`a atau penangkal. Sebagai contoh mereka akan minta tolong seseorang mengobati suatu penyakit dengan ungkapan, `minta tolong tawar penyakit ini..`. `tolonglah ditawar anak ini`, `ini tawar sakit perut`, `ini tawar kolera`, `ini tawar racun’ dan sebagainya.
Dengan demikian, jelas bahwa topung tawar atau topung tabar sesungguhnya mengisayaratkan makna netralitas/azalinya semua yang hidup dan berasa. Dengan kata lain, netralitas sesuatu adalah sebagaimana rasa yang tawar/tabar itu. Karena itu, semua makhluk Tuhan yang diciptakan di muka bumi ini sesungguhnya bermula dari netralitas itu. Kemudiaan netralitas tersebut dibekali dengan potensi-potensi, baik positif maupun negative, sebagaimana halnya rasa menjadi tidak lagi netral jika sudah menjadi manis, asin dan sebagainya. Ketika potensi positif yang berpengaruh, maka kebaikan dan kebahagiaan lah yang akan didapatkan. Sebaliknya, ketika potensi negative yang berpengaruh, maka sesuatu itu akan menjadi petaka, bencana, penyakit dan berbagai ketidak-baikan dalam hidup manusia. Karena itu, potensi negatif itu harus diusir dan dibuang sehingga kembali kepada fitrah netralitas yang tawar/tabar itu. Begitulah makna komunikasi yang dipahami oleh masyarakat dalam tradisi topung tawar yang mereka lakukan.
Bahan beras juga bermakna sebagai sumber utama kehidupan manusia. Sebagai makanan pokok, beras dipercayai menjadi sumber utama membantu kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Karena itu untuk mendo`akan kehidupan seseorang menjadi lebih baik, terbebas dari kesengsaraan dan sebagainya harus dimulai dari sumber pokok kebutuhan hidup manusia (pangan), yakni beras itu sendiri.
Adapun bahan kunyit yang memberikan warna kuning pada beras mempunyai makna yang cukup sederhana sebagai lambang dan identitas kebesaran orang Melayu. Menurut masyarakat setempat, kuning adalah identitas kebesaran orang Melayu, dan pemahaman itu telah mereka warisi secara turun temurun. Hal ini penulis dapatkan langsung dari pengakuan seorang tokoh agama, ketika ditanya mengenai maksud dan makna dari bahan kunyit (kuning) ini. Karena itu, kunyit menjadi tanaman yang penting, yang hampir semua keluarga mempunyai/menanaminya. Selain itu, berdasarkan ilmu kesehatan (medis maupun tradisional), kunyit mempunyai zat yang luar biasa penting bagi tubuh dan kesehatan manusia. Karena itu tidak sedikit ramuan pengobatan (medis dan tradisional) yang bahannya berasal dari kunyit.
Bahan dedaunan (sabang dan juaran) ini bermakna sebagai simbol kehidupan atau yang hidup. Sebagai sesuatu yang senantiasa hidup dan berkembang, dedaunan ini juga dipercayai oleh masyarakat mempunyai kekuatan dalam mitosnya. Kedua daun tersebut dipercayai sebagai pedang yang paling ditakuti oleh makhluk halus dan semua pembawa penyakit. Karena itu dalam prosesi topung tawar, dedaunan inilah yang digunakan untuk mengibaskan/memercikkan air kepada orang yang dido`akan (bepapas).
Bahan pisau sikin atau sejenis besi dimakna sebagai simbol kekuatan, keteguhan kekebalan dan keras sebagaimana kerasnya besi. Menurut kepercayaan masyarakat, untuk hidup yang sehat dan bahagia diperlukan semangat yang kuat dan keras. Karena itu kekuatan dan semangat mesti dimiliki untuk memperoleh kehidupan yang baik dan bahagia, terjauh dari segala bala bencana dan penyakit. Karena itu penggunaan bahan ini dalam prosesi topung tawar diiringi dengan do`a-do`a dan lapadz panggilan terhadap semangat, ”kusemongat” dan semacamnya.
Dalam prosesi adat topung tawar, penggunaan bahan-bahan tersebut juga diiringi dengan lapadz-lapadz do`a yang khas, dan itu adalah pesan lain dari komunikasi dalam tradisi topung tawar. Berikut penulis paparkan beberapa lapadz do`a dan bacaan ketika prosesi topung tawar dilakukan berdasarkan urutan prosesinya.
Pertama kali adalah memercikkan/menyiram air yang sudah dido`akan ke bagian tertentu dari badan orang yang dido`akan, baik untuk mendo`akan keselamatan (topung tawar selamatan), maupun untuk menjauhkan dari bala bencana (topung tawar untuk buang-buang). Ketika seseorang melakukan prosesi ini, adalah lapadz berikut yang akan dibacakan :
topung tawar si topung jati,
topung asal mula menjadi,
amay-amay pucuk mali-mali
limau purut si limau lelang
tegak dengan limau melaka
air surut penyakit ilang
tegak dengan sial celaka
Berikutnya adalah menaburkan beras kuning (beras putih yang sudah digaulkan dengan saripati kunyit sehingga berwarna kuning) ke bagian tertentu dari tubuh orang yang dido`akan (biasanya di dahi, kepala, di dada atas, ujung tangan dan ujung kaki) sambil melapadzkan do`a sebagai berikut:
Kuu.. semongat rezeki murah
apa dicinta lalu ada
apa diniat lalu didapat
manis muka senang hati
Terakhir adalah meminta orang yang dido`akan untuk mengecap atau menggigit besi pisau atau sikin dengan cara meletakkannya pada mulut mereka sambil melapadzkan do`a sebagai berikut:
kuu... semongat
korin bosi korin semongat
panyang aik panyang penyawak
tinggi tayak tinggi tuah
baka tanah na tau susur
baka batu na tau pupur
Begitulah setiap prosesi dilakukan dengan khidmat dan teratur oleh beberapa sesepuh atau para penua kampung secara bergiliran. Lapadz-lapadz do`a tersebut diakui oleh seorang tokoh agama sebagai warisan dari orang-orang tua mereka. Dan pada sebagian yang lain, terutama generasi baru tidak lagi menguasai lapadz seperti ini, mereka ikut mendo`akan dengan cara tersendiri seperti bacaan al-fatihah, selawat dan sebagainya. Dan menurutnya, itu baik dan boleh-boleh saja, sebab hakikat prosesi topung tawar itu sendiri adalah do`a yang kita berikan kepada orang yang sedang berhajat.
Dengan demikian jelas bahwa topung tawar yang hidup dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang bukan sekedar ritual tradisi adat dan budaya sosial, melainkan mempunyai makna komunikasi yang khas dan mendalam bagi kehidupan. Inilah sesungguhnya makna dari tradisi dan komunikasi topung tawar yang ada dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang.

Penutup
Dari kajian singkat di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa topung tawar dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang bukan sekedar bermakna sebagai tradisi sosial dan budaya belaka, melainkan mengandung pesan komunikasi yang khas dan mendalam bagi kehidupan manusia. Beberapa pesan komunikasi yang terkandung dalam tradisi topung tawar tersebut adalah:
Pertama, manusia mesti selalu sadar dan ingat akan kejadian asalnya yang tidak memiliki apa-apa, yang dalam tradisi disimbolkan dengan tawar atau topung tawar. Perjalanan hiduplah yang akhirnya membawa manusia kepada kondisi tertentu (kebaikan atau keburukan, kebahagiaan atau kesusahan, sehat atau sakit dan sebagainya). Semua makhluk hidup (selain manusia), pada dasarnya bermula dari kondisi yang netral ini. Oleh itu, jika kita dalam kesengsaraan, sakit dan dapat musibah mesti dikembalikan terlebih dahulu kepada kondisi semula (netralitas), yang bebas dari segala penyakit dan sebagainya. Barulah selanjutnya beralih ke kondisi yang sehat, bahagia dan penuh kesenangan, sebagaimana yang selalu dido`akan.
Kedua, untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, sehat dan jauh dari bala bencana sesungguhnya bukan hanya datang dari pengaruh luar diri manusia (seperti makhlus halus misalnya), melainkan telah ada dalam diri manusia itu sendiri berupa ”semangat”. Karenanya ”semangat” itu harus selalu dipelihara dan hidup. ”Semangat” itulah awal dari segala daya dan upaya untuk membentuk diri menjadi lebih baik, termasuk menangkal diri dari segala macam pengaruh yang tidak baik dari luar. ”Semangat” yang kuat dan tak pernah lemah itulah yang disimbolkan dengan besi dalam prosesi tersebut.
Itulah diantara makna komunikasi yang paling utama dari prosesi topung tawar yang hidup dalam tradisi masyarakat Melayu Nanga Jajang. Kiranya, tentu masih banyak lagi makna lain yang lebih spesifik dari prosesi tersebut, termasuk makna dan tujuan dari masing-masing bahan yang ada, sebagaimana telah dikemukakan dalam kajian di atas. Wallahu a`lamu bish shawab.


























Bibliography

A. Muin Karim. 2005. Tepung Tawar: Upacara Adat Melayu Sambas, dalam Dedy Ari Aspar, Yusriadi & Hermansyah, Budaya Melayu Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Press. Hal. 137 – 146.

Ariawijaya. 2008. Adat tepung tawar dalam Melayuonline.com/forum/viewtopic.php. diakses 17 Desember 2009.

Andi Amd. 2009. Tepung Tawar Masyarakat Sambas. wisatasambas.wordpress.com/2009/.../tepung-tawar-masyarakat-sambas/. Akses 17/12/2009.

Tengku Ryo. 2008. Adat Tepung Tawar Melayu dalam Melayuonline.com/forum/viewtopic.php. diakses 17 Desember 2009.

Ibrahim MS. 2008. Kearifan dalam tradisi Buma orang Melayu di Jajang. Makalah Seminar Regional yang disponsori oleh Flaght dan PSBMB.

Ibrahim MS. 2009a. Kearifan Komunikasi dalam Pantang Larang orang Melayu Nanga Jajang, makalah yang disampaikan dalam diskusi reguler dosen STAIN Pontianak.

Ibrahim MS. 2009b. Varian Bahasa Melayu di Badau, Jurnal Bahasa. Dewan Bahasa dan Pustaka Negara Brunei Darussalam, Bil. 18, hal. 93 – 104.

Ibrahim MS. 2010. Hidup dan Komunikasi. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Iqbal Fadhil. 2006. Buang Sial, Bupati Langkat Gelar Tepung Tawar untuk Raju
Detik News/detik.com

Ridwan, Zaenudin & Ibrahim. 2007. Merajut Damai di Kalimantan Barat, dalam Alpha Amirachman, Revitalisasi Kearifan Lokal. Jakarta: ICIP dan Eurupean Commition.
Rusli Hasbi. Tt. Upacara Tepung Tawar (Peusijuek) Boleh kah? Ruslihasbi. Wordpress.com/tanya jawab/merajut qalbun salim/. Diakses 17-12/2009.
Yusriadi, Ibrahim & Zaenudin. 2010. Kearifan Komunikasi dalam Pantang Larang Orang Melayu Nanga Jajang. Laporan Penelitian Kompetitif Kelompok. Proyek DIPA STAIN tahun 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar