Sabtu, 07 Agustus 2010

KOMUNIKASI SOSIAL DI KAMPUNG DURIAN

Studi atas Perjuangan Hidup Orang Madura

Artikel Riset Wisata Malay Corner STAIN Pontianak dan telah diterbitkan dalam Bunga Rampai "Menunggu di Tanah Harapan" Editor Yusriadi, 2009.

TETANG KAJIAN INI
Tulisan ini merupakan kajian singkat penulis di Kampung Durian, Kecamatan Kuala Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Kajian ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan program Riset Wisata yang diselenggarakan oleh Malay Corner STAIN Pontianak pada tanggal 21 s/d 22 Februari 2009.
Kajian ini diselenggarakan untuk memahami, mengenal dan meneliti kehidupan social masyarakat secara singkat. Hasil dari kajian ini selanjutnya akan dijadikan bahan diskusi dan menulis untuk keperluan pelatihan menulis kisah perjalanan dan makalah laporan hasil penelitian dalam seminar penelitian dan Lounching buku yang merupakan program lanjutan Malay Corner tahun 2009. Inilah hasilnya yang akan disajikan dalam diskusi seminar kali ini.

TENTANG KAMPUNG DURIAN

Masuk kira-kira 1 km dari jalan raya Ambawang, tepatnya disamping pondok Pesantren Nahdhatul Athfal ke arah barat menyusuri jalan Parit Adam terdapat sebuah kampung yang didiami oleh satu komunitas Madura. Mereka ini adalah eks Pengungsi korban kerusuhan antar etnis di Sambas tahun 1999. Jumlah penduduk yang mendiami kampong ini lebih kurang 28 Kepala Keluarga (KK).
Menurut para tokoh masyarakat setempat, Kampong ini baru dibuka pada tahun 2003. “sebelumnya kawasan ini adalah lahan kosong, kemudian dengan bantuan pemerintah kami disarankan untuk membeli lahan disini dan membuka usaha baru, jadilah seperti sekarang ini” jelas salah seorang tokoh masyarakat. Mereka (para pengungsi) diberikan bantuan oleh pemerintah untuk membeli lahan sebesar Rp. 5.000.000,- untuk masing-masing KK. setengah dari bantuan itu untuk membeli lahan, dan sisanya untuk membangun rumah dan usaha. Alhamdulillah masing-masing kami dapat tanah 1 kapling seluas 20 x 50, jelas salah satu warga yang lain. Kampong inilah yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Durian.
Walaupun baru dibuka dalam kurun waktu 5 tahunan ini, sekilas terlihat Kampung Durian ini adalah pemukiman yang sudah lama dibangun. Rumah-rumah warga sudah berdiri dengan megah, penataan pemukiman juga sudah cukup baik dan rapi. Jalan-jalan di tengah kampong juga sudah disemen dengan baik, meskipun dengan lebarnya hanya 1 meter saja. Perkembangan yang signifikan begitu tampak di perkampungan ini. 3 tahun yang lalu saya pernah berkunjung ke kampong ini, pada waktu itu jalan-jalan kampong masih tembok tanah saja (alias belum disemen), kondisi perkampungan masih sangat sederhana. Akan tetapi sekarang sudah terlihat begitu indah dan rapi.
Beberapa buah rumah warga dibangun dengan arsitektur dan desain yang modern layaknya perumahan di kota, seperti atap metal. Kondisi ini tidak menampakkan jika mereka ini sebenarnya adalah eks pengungsi yang baru mulai membangun pemukinan dalam sebuah perkampungan. Di sekeliling rumah dan di lahan-lahan sekitar kampong tampak dengan indah sawah dan kebun-kebun mereka. Kondisi ini seakan-akan memperjelas anggapan dan identitas masyarakat Madura sebagai orang yang gigih, ulet dan rajin dalam berusaha.
Selain identik dengan keuletan bertani, mereka juga rajin dalam beternak. Beberapa keluarga tampak masih memelihara sapi. Bahkan untuk makan sapi, mereka menanam rumput khusus di sekeliling jalan raya. Rumput-rumput ini persis seperti tanaman hias yang memagari jalan raya. Manfaat dan seni dipadukan dalam cara hidup masyarakat madura di kampong ini.
Meskipun mereka ini adalah eks pengungsi korban kerusuhan di Sambas, mereka mampu menempatkan diri secara baik dan bersahabat dengan siapapun. Termasuk dengan Melayu sambas sendiri, mereka tidak lagi menaruh dendam dan kebencian. Begitulah pengakuan beberapa orang warga ketika menceritakan keadaan mereka sendiri. Apalagi dengan suku Dayak, mereka begitu tulus membangun hubungan yang baik. Maklum di sebelah laut kampong Durian ini, kira-kira 500 meter terdapat sebuah kampong yang didiami oleh suku Dayak Ahe. Dan hubungan antara masyarakat Madura (Kampung Durian) dengan masyarakat Dayak (kampong Ahe) sangat baik dan berlangsung dengan harmonis. Mereka mampu bekerjasama dalam banyak persoalan sosial, saling memahami dan menjaga kepentingan bersama. Bahkan dalam kepengurusan desa, keduanya berada dalam satu RT yang sama.
Secara jujur, kita masih melihat klaim sejarah yang ”kurang baik” terhadap orang Madura, bahkan klaim-klaim tersebut telah melahirkan banyak sekali streotip, prejudice hingga deskriminasi yang turut mempengaruhi hubungan sosial dan komunikasi. Mengenai pandangan seperti itu terhadap orang Madura dapat dilihat dalam tulisan Munawar M. Saad (2003), Rusmin Tumanggor dkk (2002), Syarif Ibrahim (2003) dan sebagainya. Dalam perspektif kritik terhadap pandangan tersebut, dapat dilihat dalam tulisan Ibrahim (2004, 2005). Streotip yang diakibatkan klaim ”negatif” itu mengatakan bahwa orang madura itu arogan, keras, tidak bisa dipercaya, ekslusif dan sebagainya. Klaim dan streotip itulah yang dijadikan alasan pembenaran tindakan pembunuhan dan pembantaian oleh orang Melayu dan Dayak terhadap orang Madura dalam sejarah konplik sosial di Kalimantan Barat.
Masyarakat Madura yang hari ini menetap dan membuka pemukiman baru di Kampung Durian merupakan korban dan bukti dari klaim sejarah yang negatif itu. Akibatnya mereka terpaksa memulai hidup baru di tengah klaim negatif sejarah yang telah menghancurkan usaha dan kehidupan mereka dahulunya. Hari ini, di kampung Durian mereka membuka lahan kehidupan dan usahanya yang baru, membangun relasi dan hubungan sosial yang baru pula dengan siapapun, termasuk masyarakat Dayak Ahe di sebuah kampung bertetangga. Lima tahun sudah mereka menetap di Kampung Durian seakan-akan menjadi saksi dan bukti bahwa mereka tidak seburuk apa yang diklaim dalam sejarah, mereka adalah masyarakat yang ramah, dapat dipercaya, serta terbuka dengan siapapun. Pola komunikasi sosial yang dibangun oleh masyarakat Madura di Kampung Durian juga menunjukkan bahwa klaim negatif sejarah tidak tampak dalam kehidupan sosial mereka. Justru kesadaran sosial dalam bentuk hubungan dan komunikasi yang baik dan harmonis dengan siapapun semakin menguat. Itulah yang tampak dalam setiap prilaku komunikasi sosial mereka. Kajian di lapangan memperlihatkan dengan jelas bahwa klaim sejarahlah yang justru telah banyak merugikan mereka. Karena itu, demi sejarah Inilah masyarakat Madura di kampung Durian berupaya untuk Meretas Hidup menjadi lebih baik, yang akhirnya akan lahir sejarah baru bagi komunitas ini di Kampung Durian menjadi lebih baik dan lebih positif pula, Amin-Insya Allah.

METODOLOGI KAJIAN
Sebagaimana layaknya studi lapangan, metodologi kerja menjadi sesuatu yang dipentingkan dalam melakukan kajian. Baik kajian yang bersifat mendalam dan mendetail dalam bentuk penelitian sesungguhnya, maupun kajian singkat dan sederhana dalam bentuk pengamatan dan silaturahmi saja. Kajian ini yang merupakan hasil dari pengamatan sederhana dan silaturahmi yang dilakukan selama 1 hari semalam, juga dilangsungkan dalam kerangka kerja metodologi tersendiri.
Kajian ini dilakukan dengan cara berkunjung ke komunitas yang dikaji, mengamati kehidupan mereka, mendengarkan dan merasakan apa yang mereka alami, serta mengikuti sebagian rutinitas sosial dan keagamaan yang mereka lakukan seperti shalat jama`ah dan mengaji.
Kajian singkat ini juga mengelaborasi pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian participatory, yakni pemetaan wilayah (mapping area) dan penelurusan desa (transect). Dengan metode elaborasi ini, penulis dapat memahami, mengenali dan mengerti akan lingkungan fisik kehidupan mereka.
Kemudiaan untuk mengetahui bagaimana perasaan, pikiran dan pengetahuan masyarakat, wawancara juga dilakukan dengan beberapa orang warga, baik mereka yang ditempatkan sebagai tokoh masyarakat, maupun warga biasa.
Dengan cara kerja inilah penulis melakukan kajian di lapangan dan pada akhirnya menghasilkan tulisan sederhana ini.

DISKUSI KAJIAN
Pada bagian ini akan diuraikan beberap aspek komunikasi yang ada dalam masyarakat Madura kampung Durian. Uraian-uraian dimaksud merupakan diskusi kajian yang penulis dapat ketika melakukan pengamatan singkat di lapangan. Diskusi yang ditampilkan dalam tulisan berikut merupakan penjabaran dari apa yang penulis pahami dengan orang Madura di Kampung Durian yang terus berjuang demi masa depan hidupnya dan kalim negatif sejarah yang telah menjerumuskan masa lalu mereka. Kajian dalam diskusi berikut menjadi bukti bahwa klaim sejarah yang negatif terhadap orang Madura tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, terutama di Kampung Durian. Sebaliknya, semangat kerja, keuletan, kegigihan berusaha demi masa depan hidup yang lebih baik telah menjadi identitas sosial dan kehidupan pada masyarakata Madura di Kampung Durian ini. Berikut kajian dan diskusinya.

Pola Komunikasi yang dibangun
Banyak orang yang menilai bahwa masyarakat madura itu merupakan komunitas yang ekslusif dan tidak mau membuka diri untuk orang lain. Mereka membangun pemukiman sendiri, surau sendiri dan hanya menghormati sesepuh dari kalangan sendiri (Munawar, 2003, Syarif Ibrahim al-Qadri, 2003). Penilaian ini mungkin dapat dibenarkan, tapi mungkin juga perlu dipertegas wilayah kebenarannya (Ibrahim, 2004, 2005). Pada sebagian aspek, mungkin penilaian itu dapat dibenarkan. Akan tetapi pada sebagian yang lain, orang Madura sangat terbuka. Kampung durian menjadi bukti betapa masyarakat Madura terbuka dengan komunitas lain, mereka dapat hidup bersama, membangun komunikasi bersama dan berjuang untuk kepentingan bersama (Ibrahim, 2009).
Kajian di lapangan memberikan gambaran kehidupan komunitas Madura di Kampung Durian yang berdekatan dengan Komunitas Dayak Ahe di kampung sebelahnya. Jarak kedua kampung ini hanya sekita 500 meter saja. Karena itu dalam kepengurusan kampung, kampung Madura dengan kampung Dayak berada dalam satu administrasi desa, bahkan satu Rukun Tetangga (RT). Hal itu dapat dilihat pada RT yang dipimpin oleh Pak Katot yang merupakan orang Kampung Dayah Ahe.
Keterbukaan orang Madura di Kampung Durian ini dengan komunitas lain dapat dibuktikan dengan keberadaan pak Katot itu sendiri. Pak Katot yang saat ini merupakan ketua RT adalah orang Madura Asalnya. Beliau ini menikah dengan orang Dayak Ahe dan berpindah agama dari Islam ke Kristen (wawancara Ibu Jari & pak Buyar). Nama muslimnya adalah Romli, begitu masyarakat Madura Kampung durian menyebutkan. Pigur pak Romli yang merupakan orang Madura dan kemudiaan menjadi bagian dari komunitas Dayak Ahe semakin menjadi jembatan hubungan sosial dan komunikasi yang baik dan terbuka diantara komunitas ini.
Keterbukaan kedua komunitas ini dalam hubungan sosial dan kemasyarakatan di Kampung diakui oleh para tokoh Madura ketika kunjungan beberapa waktu lalu. Pak Buyar dan pak Adra`i misalnya mengakui bahwa hubungan sosial dan kerjasama dengan kampung Dayak Ahe sangat baik. Mereka secara bersama-sama bekerja membangun jalan kampung, maupun jalan yang menghubungkan kedua kampung mereka. Bahkan jika ada hajatan di kampung, kedua kampung itu saling mengundang dan sebagainya.
Berangkat dari realitas yang ada di lapangan, jelas bahwa pola komunikasi yang dibangun oleh orang Madura di Kampung Durian sangat terbuka. Dimana mereka mampu dan mau untuk terus berusaha mengerti, memahami, menghargai dan menerima siapapun yang berbeda dari komunitas mereka. Bahkan mereka sadar betul bahwa selain potensi sendiri yang harus dikembangkan secara maksimal, kemajuan masyarakat dan kampung mereka tidak bisa lepas dari kerjasama, bantuan dan dukungan dari orang lain.

Sistem lambang komunikasi sosial yang digunakan.
Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa memerlukan keberadaan orang lain. Tidak seorangpun yang dapat hidup sempurna, bahagia dan sejahtera tampa keterlibatan orang lain di sisinya, baik secara langsung maupun tidak, baik disadari maupun tidak. Seseorang dapat makan yang enak, bukan semata-mata faktor diri pribadi yang menghasilkan makanan yang enak itu. Makanan yang enak didapatkan karena ada orang lain yang menyediakan bahan makanan, memasak, ada orang yang menjual bumbu masak dan sebagainya.
Menyadari pentingnya keterlibatan orang lain dalam hidup itulah yang mengharuskan setiap orang berkomunikasi. Komunikasi itulah yang menjadi penyambung hidup manusia pada tataran yang paling sederhana. Termasuk menyangkut sejarah sosial dan perjuangan hidup manusia. Keberadaan orang lain adalah alasan wujudnya identitas diri dan pribadi itu, demikian pernyataan adagium komunikasi.
Untuk membangun komunikasi, manusia menggunakan lambang atau simbol tertentu. Dalam komunikasi, lambang atau simbol itu bisa berupa bahasa atau kata-kata, bisa juga dalam bentuk isyarat atau gerakan badan. Mendiskusikan lambang komunikasi inilah yang melahirkan istilah komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
Khusus untuk komunikasi verbal di Kampung Durian, dapat kita ketahui bahwa komunitas Madura di sana menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi sosial diantara mereka. Kecuali itu, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia apabila lawan bicara mereka adalah orang dari luar komunitas mereka, atau orang yang tidak mengerti bahasa Madura.
Ada hal yang paling mengesankan dan terasa istimewa dalam komunikasi sosial masyarakat Madura di Kampung Durian, yaitu tumbuhnya kebiasaan mengabadikan momentum-momentum tertentu dalam hidup mereka, dalam bentuk tulisan-tulisan di jalan, di dinding rumah maupun di tempat-tempat umum. Sebagai contoh, di jalan semen yang menghubungkan kampung Durian dengan Kampung Ahe, tertulis nama jalan dan suatu waktu yang diabadikan. Jl. Soeharto, tanggal 28 Januari 2008, begitulah tulisan itu dengan jelas dapat dibaca di atas jalan tersebut. Tulisan tersebut, membuat saya harus menduga tiga hal; pertama, jalan itu dibangun pada tanggal yang sama dengan kematian Soeharto. Kedua, merupakan bentuk penghormatan dan dedikasi mereka terhadap seorang Soeharto. Ketiga, tulisan tersebut menjadi bukti betapa tradisi komunikasi dalam bentuk sistem lambanng yang khas digunakan dalam masyarakat Madura di Kampung Durian. Tulisan itu memberikan makna bahwa pengerjaan jalan semen itu bersamaan dengan tanggal wafatnya Soeharto.
Begitupun di jalan semen di tengah-tengah kampung mereka tulis peringatan untuk tidak ngebut membawa kendaraan, mereka juga menulis hari dan tanggal yang dimaksudkan untuk mengingatkan waktu mereka membuat jalan tersebut. Tradisi komunikasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Madura di Kampung Durian begitu dekat dengan tradisi ilmu pengetahuan, terutama dunia tulis-menulis. Bahkan kondisi tersebut menjadi identitas dan modal sosial masyarakat yang melek hurup dan komunikatif tentunya.
Bukankah tradisi tulis-menulis ini yang melahirkan sejarah, dan menjadi pembeda era prasejarah kepada era sejarah? Jika demikian, maka masyarakat Madura di Kampung Durian sebenarnya adalah sumber daya sejarah yang luar biasa, yang harus dipelajari dan dicontohi untuk kelangsungan hidup dan peradaban manusia. Mungkin...

Surau sebagai Sarana Berkomunikasi.
Surau sebagaimana fungsi utamanya adalah tempat melakukan aktivitas keagamaan dan shalat. Dalam sejarah Islam Indonesia, surau memainkan peran penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam (Azra, 2003). Bahkan menurut Azra, Surau telah melahirkan banyak tokoh dan ulama besar di Indonesia.
Begitupun dalam masyarakat Madura, surau merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan menjadi identitas yang melekat dalam kehidupan sosial dan keagamaan mereka. Untuk konteks ini, kita sering mendengar ungkapan ”dimana ada rumah orang Madura selalunya di situ ada surau”. Pentingnya peran surau dalam kehidupan sosial dan keagamaan orang Madura tidak hanya sebagai tempat beribadah, shalat dan belajar agama. Surau bagi mereka merupakan sarana komunikasi dan silaturahmi yang paling dipentingkan. Di suraulah mereka saling berkomunikasi, berbagi cerita, pikiran dan pendapat hingga musyawarah.
Sebagai sarana komunikasi, surau betul-betul dimanfaatkan untuk membangun hubungan silaturahmi yang erat antar sesama jama`ah, antara sesama orang-orang tua, antara orang-orang tua dengan anak-anak dan remaja, termasuk antara sesama anak-anak dan remaja yang ada di kampung tersebut.
Surau juga menjadi sarana komunikasi pendidikan dan pembelajaran keagamaan yang epektif dalam masyarakat Madura. Melalui surau program-program pendidikan dan pembelajaran keagamaan dilakukan seperti belajar mengaji, belajar pengetahuan keagamaan, praktek ibadah dan sebagainya. Bagi mereka, surau selain sebagai pesantren kecil yang membentuk jiwa keagamaan dan ibadah masyarakat , juga merupakan sarana membangun komunikasi keagamaan antar jama`ah dan masyarakat.
Pentingnya peran surau dalam masyarakat Madura semakin terbukti dengan dibangunya kembali satu surau lagi di hujung kampung durian ini. Padahal dari sisi jarak bangunan surau yang lama dengan surau baru ini hanya lebih kurang 200 meter saja. Belum lagi dilihat dari sisi jumlah penduduknya yang hanya sekitar 28 kk. Tapi inilah bukti lebih lanjut mengenai pentingnya surau bagi masyarakat Madura untuk membangun komunikasi, silaturahmi, pendidikan dan pembinaan keagamaan bagi jama`ahnya, terutama anak-anak dengan pendidikan keagamaan, mengaji dan sebagainya.
Pentingnya surau bagi masyarakat Madura dalam membangun komunikasi pendidikan dan keagamaan tidak dapat dipungkiri lagi. Karena itu untuk membangun hubungan sosial yang akrab dan harmonis dengan komunitas ini, surau dapat dijadikan sebagai salah satu sarana utama dalam menjalin komunikasi dan silaturahmi ini.

Hajatan sebagai Momentum Komunikasi Sosial
Hajatan pada prinsipnya bukanlah suatu kewajiban agama, melainkan satu kemestian dari ritual sosial yang diwarisi sebagai tradisi, budaya dan adat kepercayaan. Dalam bahasa agama, hajatan (hajjatan, tahajjuj) mengandung makna sebagai “berkehendak, berkeinginan, atau mencita-citakan sesuatu”. Dengan demikian hajatan lebih dekat pemahamannya kepada upacara yang dilakukan sebagai do`a untuk memperoleh sesuatu, seperti untuk keselamatan dengan upacara “nyelamat”, do`a untuk memperoleh keberkahan hidup dan rezeki dengan upacara “syukuran”, do`a untuk dijauhkan dari bala dan bencana dengan upacara “tolak bala”, do`a untuk penghormatan pada sang Nabi dengan upacara “salawatan atau mauludan”, do`a untuk keselamatan kandungan dengan upacara “nujuh bulanan” dan sebagainya.
Secara tradisi sosial, budaya dan adat istiadat, upacara hajatan ini selalunya dilakukan dengan melibatkan banyak orang (warga). Karena itu hajatan ini biasanya diselenggarakan dengan sedekah makanan (makan-makan) sebagai rasa syukur dan sebagainya. Disinilah, upacara hajatan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Madura untuk berkumpul dan bersua bersama. Dengan demikian jadilah momentum ini sebagai ajang mereka berkomunikasi, bersilaturahmi dan berbagi, apapun persoalannya. Hasilnya adalah munculnya rasa kebersamaan, kesepahaman dan saling berbagi dari jalinan komunikasi yang terbangun melalui upacara hajatan yang ada dalam tradisi masyarakat. Sebagai contoh, minggu tanggal 22 Pebruari 2009, ketika penulis beserta rombongan riset wisata sedang berada di kampong Durian, masyarakat Madura di sana menyelenggarakan upacara “nujuh bulanan”. Hampir semua masyarakat berkumpul mengikuti upacara tersebut. Sebagai bentuk dari rasa kebersamaan, umumnya warga yang datang membawa sumbangan seadanya kepada pemilik hajatan. Pola seperti ini sebenarnya tidak pernah ditetapkan secara jelas sebagai ketentuan agama dan sosial, apalagi dalam bentuk tertulis. Akan tetapi semua warga memahaminya dengan kesadaran bersama. Inilah kiranya buah dari jalinan komunikasi dan silaturahmi yang telah terbangun dalam masyarakat Madura selama ini melalui upacara hajatan.

System Ekonomi sebagai Ranah Komunikasi Sosial.
Ada banyak anggapan (umumnya streotip) terhadap orang Madura yang tidak hanya bersifat positif, akan tetapi juga banyak yang negative. Orang madura dipandang sebagai berwatak keras (Munawar, 2003; Syarif Ibrahim al-Qadri, 2003 & Rusmin Tumaggor dkk, 2004), tidaklah semata bermakna negative sebagai kasar, ugal-ugalan dan sebagainya (Ibrahim, 2004). Makna positif dari watak keras orang madura dapat dilihat dari sisi ekonominya. Mereka adalah pekerja keras yang rajin, tangguh dan ulet (Ibrahim, 2005). Hampir tidak kita temukan di sekitar perkampungan orang Madura ada lokasi tanah yang terbiar kosong dan tak dimanfaatkan. Bagi masyarakat Madura, setiap lahan itu mempunyai makna ekonomi yang dapat dihitung setiap saat. Karena itu mereka sangat bisa memanfaatkan lahan–lahan yang ada untuk bertani, berkebun dan aktivitas pemanfaatan lahan lainnya.
Perhargaan yang tinggi terhadap lahan untuk kepentingan ekonomi tradisional orang Madura juga dapat ditemukan pada masyarakat Madura di kampung Durian. Masyarakat Madura di kampong ini umumnya bekerja sebagai petani sawah dan kebun. Mereka menanam padi pada setiap musim bertanam setahun sekali. Disamping itu mereka juga menanam ubi kayu dan kacang panjang di kebun sebagai aktivitas sampingan. Meski tidak banyak hasil yang didapatkan untuk dapat dijual, akan tetapi hasil pertanian dan kebun mereka bisa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga mereka. Karena itu dengan mudah kita menemukan gumbukan padi di setiap rumah-rumah warga di sana. Dengan siklus ekonomi seperti ini mereka tidak perlu tergantung pada pasar, sebab mereka tidak lagi perlu membeli beras dan sayur mayur ke pasar. Mereka mempunyai persediaan masing-masing untuk kebutuhan hidup seperti ini.
Selain itu, pada lahan-lahan tertentu yang tidak diolah dengan siklus ekonomi tahunan, mereka tanami dengan lada (sahang), termasuk baru mulai beberapa orang menanam cengkeh. Untuk kedua jenis tanaman yang terakhir ini tentu saja menjadi penopang ekonomi keluarga yang lebih besar dan lebih luas. Sebab, tidak mungkin mereka akan menggunakan secara langsung hasil dari pertanian ini.
System perekonomian ini dianut oleh mayoritas masyarakat Madura di kampung durian secara sadar dan terencana sebagai satu ciri ekonomi tradisional yang kuat dan mapan dengan kemandirian. Melalui siklus ekonomi tradisional ini, mereka mampu mengkomunikasikan kesejahteraan hidup dalam masyarakat secara baik dan merata. Meskipun bukan satu-satunya paktor, komunikasi yang baik mengenai siklus ekonomi antarwarga masyarakat dapat dibuktikan dengan kemampuan mereka membangun rumah yang baik. Bahkan beberapa diantaranya terkesan megah dan mewah, padahal mereka hidup di komunitas masyarakat kampung, yang baru dibuka dalam kurun waktu tidak lebih dari 5-6 tahun ini. Secara jujur hati saya berkata dan memuji sistem ekonomi yang mereka anut, saya merasa rindu melihat rumah-rumah mereka yang dibangun dari kayu-kayu yang bagus dan kuat, meskipun tidak semua nampak megak dilihat dari luar. Begitulah cara orang Madura membangun hidup dan kehidupannya dengan bertahap hingga menjadi lebih baik.

Gotong-royong dan Kebersamaan sebagai Model Komunikasi Sosial
Sebagaimana pada masyarakat lainnya, pada masyarakat Madura juga ada berbagai kelebihan dan kekurangannya. Karena itu tidaklah tepat jika membandingkan kelebihan dan kekurangan satu komunitas dengan komunitas lainnya, sebab itu bisa menjadi konflik baru antar komunitas. Meskipun demikian, dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa kelebihan sebagai potensi dalam komunitas Madura, seperti kegotong-royongan dan rasa kebersamaan yang tinggi.
Tingginya rasa kegotong-royongan dan kebersamaan dalam masyarakat Madura menjadikan komunitas ini solid dan kuat. Meskipun mereka ini adalah orang baru yang hidup dan membangun komunitas tersendiri di daerah itu paska konplik sambas, kekompakan dan kebersamaan menjadi modal utama mereka. Hal itu dapat didengar dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat di sana. Pak Buyar misalnya yang selalu memotivasi warganya dengan mengatakan bahwa orang Madura mesti bersatu padu, bekerjasama dan saling mendukung untuk mewujudkan kemajuan bersama. Dengan kebersamaan itulah orang Madura dapat melupakan trauma dan pengalaman pahit masa lalu. Dengan kebersamaan itulah orang Madura dapat membangun diri dan masyarakatnya menjadi lebih maju. Begitulah kira-kira motivasi yang selalu diucapkan oleh pak Buyar untuk memberikan semangat kepada warganya. Motivasi itu berkali-kali diucapkannya dihadapan penulis ketika kunjungan penelitian lapangan beberapa waktu lalu.

PENUTUP
Setiap manusia dilahirkan di muka bumi ini senantiasa dibekali dengan berbagai pontensi, baik yang akan menghantarkannya pada kebaikan (potensi baik), maupun yang dapat merusak dirinya (potensi tidak baik). Setiap orang mempunyai kesempatan untuk menjadi yang terbaik, sebagaimana sebaliknya juga setiap orang mungkin melakukan seauatu yang tidak baik. Begitulah realitas manusia yang telah Allah ciptakan. Karena itu klaim sejarah terhadap seseorang atau sekelompok orang yang hanya dapat melakukan kejahatan, atau tidak memiliki sesuatu yang baik merupakan pengingkaran terhadap realitas penciptaan Allah itu sendiri.
Apa yang penulis gambarkan dengan komunitas Madura di Kampung Durian, baik menyangkut sejarah sosial mereka dengan berbagai klaim negatif, hingga upaya komunikatif yang mereka bangun untuk masa depan mereka adalah satu perspektif akademis penulis yang bersifat subjektif. Sebuah perspektif yang masih sangat sederhana dan dangkal, karena memang berdasarkan kajian singkat dan satu perspektif sebagai orang luar yang berkunjung dan bertamu selama 24 jam saja.
Akan tetapi yang harus dipahami bahwa apa yang dihasilkan dari kajian ini adalah ihktiar akademis penulis untuk mengkaji sejarah sosial yang sesunguhnya dalam kehidupan komunitas Madura di Kampung Durian, menyangkut klaim sejarah hingga terwujudnya sejarah baru dalam bangunan pola komunikasi yang khas dalam kehidupan sosial yang mereka lalui. Wallahu a`lam.

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra. 2003. Pendidikan Islam Tradisional dalam Tradisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos.

Ibrahim MS. 2004. Problematika Komunikasi Antarbudaya: Kajian Kritik terhadap Konflik Etnis di Sambas. Tesis Magister Dakwah dan Komunikasi, UIN Jakarta.

Ibrahim MS. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya. Pontianak: STAIN Pontianak Press.

Ibrahim MS. 2009. Nostalgia. Dalam Yusriadi (ed). Menunggu di Tanah Harapan: Kumpulan catatan perjalanan ke Kampung Durian. Pontianak: Stain Pontianak Press.

Syarif Ibrahim Al-Qadri. 2003. Faktor Penyebab Konflik Etnis, Identitas dan Kesadaran Etnis, dalam Konplik Komunal di Tanah Air. Jakarta: INIS Leiden & PBB UIN Syarif Hidayatullah.

Munawar M. Saad. 2003. Sejarah Konplik Etnis di Sambas. Pontianak; STAIN Pontianak Press.

Rusmin Tumanggor dkk (Eds). 2004. Konplik dan Modal Kedamaian dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat Tanah Air. Lemlit dan LPM UIN Jakarta bekerjasama dengan Balatbangsos Depsos RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar