Sabtu, 07 Agustus 2010

MENCARI JATI DIRI YANG HILANG…?

Oleh: Ibrahim MS
Coretan wacana singkat untuk para sahabat-sahabat dan kader pergerakan dalam rangka Pelatihan Kader Dasar PMII Kota Pontianak yang dilaksanakan tanggal 20 s/d 21 Maret 2009.


Ketika pertama kali saya disodorkan dengan tema yang mesti disampaikan untuk kader baru dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), saya bertanya dengan apa yang dimaksudkan panitia dengan tema “antropologi kampus”. Selama ini yang saya tahu adalah antropologi sosial, antropologi budaya, antropologi agama, antropologi politik, antropologi komunikasi dan sebagainya. Penggunaan istilah tersebut merujuk pada makna dasar istilah antropologi itu sendiri sebagai “ilmu pengetahuan tentang manusia” (Kamus Istilah Populer: Lukman Hakim, tt), dengan demikian maka antropologi itu sesungguhnya adalah ilmu yang mengkaji tentang diri manusia dari berbagai sudut pandang. Jika melihat manusia dari sudut budaya maka lahirlah antropologi budaya; jika melihat manusia dari sudut bahasa, itulah yang disebut antropologi bahasa/linguistik; jika melihat manusia dari sudut komunikasi, itulah yang dikenal dengan antropologi komunikasi; jika melihat manusia dari sudut agama maka lahirlah antropologi agama, dan sebagainya.
Dengan kata lain, manusia adalah lahan kajian dalam bidang antropologi itu. Lantas bagaimana dengan tema yang dirumuskan oleh panitia, adakah kampus itu sama dengan manusia sehingga dapat disebutkan dengan istilah antropologi? Ataukah ada terminology baru yang dapat membenarkan istilah antropologi digunakan untuk ilmu pengetahuan diluar manusia? Temukan jawabannya dengan kemampuan analisis yang ada.
Bagi saya yang tidak begitu mengerti tentang antropologi, saya menduga bahwa sebenarnya ada kegundahan pada diri panitia PKD akan kehidupan di dunia kampus saat ini, sehingga merumuskan tema seperti ini. Dengan kemampuan yang saya miliki, perspektif komunikasi melihat bahwa adanya harapan yang besar dari sahabat-sahabat PMII untuk memperjelas jati diri kampus yang sebenarnya. Jati diri yang patut dibanggakan oleh civitas akademikanya, termasuk mahasiswa itu sendiri.
Berbicara mengenai jati diri kampus sebenarnya adalah melihat, menilai dan mendiskusikan apa dan bagaimana kehidupan akademis yang tumbuh di dunia kampus. Dan salah satu yang paling menentukan warna kehidupan dalam kampus adalah mahasiswanya. Mahasiswalah sebenarnya yang menjadi ruh bagi kehidupan kampus. Karena itu semua aktivitas yang berlangsung di dalam kampus adalah dalam rangka mendukung usaha mahasiswa menemukan jati diri pribadi, pengetahuan, professionalitas akademik untuk melanjutkan estapet pendidikan generasi bangsa. Karena itu hidupnya nuansa akademis di kampus juga sangat ditentukan oleh mahasiswanya. Disinilah diperlukan kesadaran akademis dari setiap mahasiswa untuk mampu memainkan peran penting melalui institusi kampus.
Sejarah bangsa ini memang telah mencatat betapa besarnya peran kampus dalam pembangunan bangsa, baik fisik maupun mental, baik moril maupun spiritual. Dan lagi-lagi mahasiswanya menjadi ujung tombak dalam setiap peran penting ini. Kita masih ingat betul dengan peristiwa lahirnya sumpah pemuda tahun 1928 yang dipelopori oleh Budi Utomo, yang sebenarnya juga adalah spirit dari seluruh elemen mahasiswa Indonesia di kampus. begitupun dengan bergulirnya tatanan sosial politik dan pemerintahan demokratis yang lebih dikenal dengan perjuangan reformasi tahun 1998 juga dikomandani oleh spirit perjuangan mahasiswa dari kampus.
Beberapa contoh di atas memang cukup membanggakan bagi dunia kampus, dalam hal ini mahasiswa yang selalu diharapkan untuk mampu memainkan peranan penting mempelopori dan mengawal proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Akan tetapi seiring dengan “uporia” atas keberhasilan mengantarkan bangsa ini ke gerbang demokratisasi dan reformasi pembangunan, terlihat ada sedikit persoalan yang terjadi di dunia kampus (mahasiswa maksudnya). Kebebasan berpendapat, mengkritik dan bersikap yang lahir dari tatanan demokratisasi dan reformasi sudah mulai kebablasan. Dengan dalih demokrasi dan kebebasan, tidak jarang etika, professionalitas dan proporsionalitas pun mulai diabaikan. Ini terlihat dari gerakan sebagian mahasiswa akhir-akhir ini. Padahal, selain sebagai agen pembaharuan dan perubahan, mahasiswa juga merupakan figur seorang pribadi yang bermoral dan beretika dalam gerak langkahnya. Jika kondisi ini tidak segera disadari dalam gerakan mahasiswa, bukan tidak mungkin ini akan menjadi bumerang bagi eksistensi diri dan perjuangan mahasiswa khususnya, dan kampus umumnya. Sebab warna jati diri mahasiswa yang sebenarnya sudah mulai berganti warna, karena itu mereka ingin mencarinya kembali hari ini-lagi-lagi jika saya tidak salah menduga.
Untuk konteks mencari warna jati diri gerakan mahasiswa ini, kita kembali bertanya dengan kondisi mahasiswa kita hari ini. Bagaimana peran mereka hari ini? Adakah peran besar mahasiswa sebagai agen pembaharuan dan perubahan yang lebih baik masih dapat dilakukan dari kampus? Karena pada saatnya nanti perubahan dan pembaharuan tersebut mesti dipindahkan ke ranah sosial yang lebih luas dan praktis, yakni masyarakat. Jika mahasiswa tidak lagi mampu memainkan peran pentingnya di kampus, maka patut diragukan mahasiswa mampu memainkan peran penting dalam masyarakat.
Apa yang saya ungkapkan di atas merupakan hasil pantauan dan pengamatan saya secara umum terhadap gerakan mahasiswa selama ini. Saya dapat memberikan penilaian dari pantauan tersebut dikarenakan saya sendiri juga pernah menjadi mahasiswa, aktif dalam berbagai aktivitas dan pergerakan, baik di kampus maupun di luar kampus. Saya sadar bahwa dunia dan segala persoalannya yang saya hadapi dahulunya tidak lagi sama dengan apa yang dihadapi mahasiswa hari ini. Akan tetapi saya yakin bahwa nilai-nilai etika, akhlak dan sopan santun dalam komunikasi tidak akan pernah berubah dari baik kepada tidak baik, dari penghargaan kepada penghinaan, dari penghormatan kepada caci maki dan sebagainya.
Apa yang saya maksudkan dengan pergeseran nilai-nilai tersebut tampak dari cara-cara komunikasi yang dibangun oleh mahasiswa dalam mengusung perjuangan dan aspirasinya. Komunitas akademis yang intelek, yang mesti mengedepankan rasionalitas, etika dan moral yang merupakan identitas mahasiswa, pada sebagian mahasiswa sudah mulai terkikis. Mereka lebih senang mengedepankan otot, kekerasan, anarkisme dan “brutalisasi” dalam menyampaikan aspirasi dan perjuangannya. Kondisi ini begitu mudah dijumpai dalam pemberitaan media, dimana tidak jarang mahasiswa bentrok dengan aparat ketika berdemonstrasi, mahasiswa menghancurkan gedung kampus sendiri karena protes terhadap kebijakan pimpinan, mahasiswa terlibat dalam tauran antar fakultas, dan sebagainya. Padahal, persoalan-persoalan tersebut bukanlah sesuatu yang khas dan baru terjadi. Persoalan serupa sebenarnya juga dihadapi oleh mahasiswa pada zaman dulu-dulunya. Akan tetapi bedanya adalah pada pilihan cara, strategy dan bentuk gerakan yang digunakan dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa. Pilihan yang tidak mengedepankan etika dan moral itulah yang menjadikan mahasiswa hari ini berada di jurang krisis jati diri yang semestinya. Oleh karena itu, kinilah saatnya untuk menggunakan kesempatan yang ada pada mahasiswa untuk kembali kepada jati diri yang sebenarnya, sebelum benar-benar terjerembab dalam jurang krisis moral dan jati diri pribadi yang goyah.
Apa langkah yang mesti diambil oleh mahasiswa dalam menemukan jati diri yang sebenarnya? Pertama, mahasiswa mesti kembali kepada apa yang menjadi tujuan sebenar keberadaannya di kampus. Dan tujuan ini mesti selalu menjadi pilihan yang pertama dan utama dalam keseluruhan aktivitas di dunia kampus. Dengan kata lain, pengembangan kepribadian diri dengan memperdalam pengetahuan, wawasan dan keilmuan akademis mesti menjadi pilihan utama yang tak boleh dikalahkan oleh aktivitas pendukung lainnya. Kedua, moralitas dan etika adalah nilai yang mutlak untuk dijadikan sebagai ruh dalam membangun komunikasi gerakan dan perjuangan mahasiswa. Dengan nilai ini maka, rasionalitas akan mengalahkan anarkisme dan “brutalisasi” dalam setiap pergerakan dan perjuangan aspirasi mahasiswa. Ketiga, meskipun mahasiswa itu adalah unsur utama dan menentukan bagi eksis tidaknya kehidupan kampus, akan tetapi mahasiswa bukanlah satu-satunya unsur yang hidup dan membangun kampus. Ada banyak pihak lain yang terlibat dalam mewujudkan harapan dan cita-cita kampus, seperti para dosen, pegawai, pemerintah dan juga masyarakat. Karena itu, membangun hubungan yang baik dan kerjasama diantara semua unsur ini adalah mutlak untuk dilakukan dalam kerangka menuju perubahan dan kemajuan yang lebih baik, dalam aspek apapun itu.
Keempat, perlunya penataan keorganisasian mahasiswa yang lebih baik, yang lebih singkron dan mendukung bagi program pengembangan kampus dan mahasiswanya, pembangunan daerah dan sumber daya mahasiswa yang professional dan berkualitas, yang mampu melahirkan pribadi yang khairunnasi man yanfa uhum linnas. Kelima, tempatkan aktivitas ekstrakurikuler dan organisasi sebagai pendukung keberhasilan kuliah (yang merupakan tujuan utama). Dengan kata lain, tidak ada lagi alasan karena kesibukan dalam kegiatan ekstra dan organisasi yang mengharuskan untuk mengabaikan kuliah, apalagi menjadi penghambat proses penyelesaian studi dengan cepat dan dengan hasil yang memuaskan. Wallahu a`lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar