Jumat, 16 September 2011

PUASA DAN HIDUP HEMAT

Materi ceramah "Kolak Ramadhan 1432 H" di RRI Pro 2 Pontianak, 7 Agustus 2011

Oleh: Ibrahim MS (Dosen STAIN Pontianak)

Diantara makna utama dalam syariat puasa adalah Manahan diri. Orang yang berpuasa adalah mereka yang bisa menahan diri dari mengikuti kehendak hawa nafsu (manusiawi) untuk selanjutnya menyerahkan diri mengikuti kehendak Allah Swt. Kehendak hawa nafsu merupakan satu kehendak manusiawi yang tak pernah puas. Bahkan hawa nafsu yang tak terkontrol cendrung akan menjauhkan manusia dari ridha Allah Swt. Karena itu Allah Swt mencela setiap hambanya yang terlalu mengikuti bisikan hawa nafsunya. Perintah melakukan Ibadah Puasa pada bulan ramadhan ini merupakan satu pembiasan diri yang baik bagi setiap manusia untuk dapat mengontrol hawa nafsunya.
Perintah menahan diri dari mengikuti dorongan hawa nafsu sesungguhnya mempunyai dasar yang banyak dalam al-qur`an dan hadits dengan bentuk ungkapan antaralain supaya selalu hidup hemat dan jangan berlebih-lebihan. Sebagaimana firman Allah: Makan dan minumlah, dan janganlah kami berlebih-lebihan (Q.S.4: 141) “Janganlah berlebih-lebihan, sesunggunnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (Q.S.7: 31)
Orang yang mampu menahan dan mengontrol kehendak hawa nafsunya adalah orang yang senantiasa hidup hemat dan tidak berlebih-lebihan. Dengan kata lain, setiap orang yang senantiasa berhemat dalam hidupnya, maka ia akan terhindar dari sikap yang berlebih-lebihan. Allah Swt berkali-kali mengingatkan hambanya untuk tidak hidup berlebih-lebihan (la tusyrifu, innallaha la yuhibbul musyrifin).
Orang berpuasa dan senantiasa hemat dalam hidup adalah orang yang mengerti akan keseimbangan hidup. Orang sadar bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki dua titik ekstrim yang harus di seimbangkan. Ada yang kaya dan ada pula yang miskin, ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang berlebihan dan ada yang serba kekurangan. Karena itu hidup hemat merupakan titik tengah yang menjadi penyeimbang dari kedua sisi ekstrim itu.
Karena itu, Ibadah puasa yang kita lakukan sesungguhnya mengajarkan bagaimana hidup hemat dan tidak berlebih-lebihan. Tidak makan dan minum pada siang hari karena berpuasa bukanlah berarti tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan dan diminum. Melainkan supaya kita menyadari bagaimana rasanya orang yang kaya yang berlimpah makanan dan minuman dengan orang yang hidup dalam kemiskinan, yang tidak bisa makan dan minum karena ketiadaan.
Begitu berbukapun, kita juga dilarang untuk makan dan minum yang berlebih-lebihan. Sebab orang yang beriman sepatutnya membagi isi perutnya dengan tiga bagian, sebagian untuk makanan, sebagian untuk minuman dan sebagian lagi dikosongkan untuk bernafas (al-Hadits). orang yang hemat sesungguhnya juga mengatur kebutuhan hidupnya dengan baik. Dia tidak akan berlebih-lebihan, meskipun dia mempunyai kelebihan. Dan puasa ramadhan yang sedang dijalankan sesungguhnya mengajarkan diri kita untuk senantiasa hidup hemat, mampu menahan diri dari kehendak hawa nafsu yang cendrung berlebih-lebihan. Wallahu a`lam.

SEANDAINYA MEREKA "MENGERTI" PUASA

Opini Ramadhan 1432 H yang diterbitkan di Harian Borneo Tribune, 20 Agustus 2011

Oleh: Ibrahim MS

Nabi Saw pernah mengungkapkan harapannya kepada ummat manusia dengan pernyataan, “seandainya mereka mengerti puasa”.
Apa makna dari ungkapan Nabi Saw tersebut? adakah kita sebagai ummatnya tidak mengerti tentang ibadah puasa yang sebenarnya? Ataukah puasa yang kita lakukan selama ini bukanlah puasa dalam pengertian yang benar?
Pastinya, pernyataan Nabi Saw itu memiliki konteks sendiri yang harus dipahami. Dimana Puasa yang bermakna menahan diri, meredam kehendak nafsu manusiawi dan selanjutnya menyerahkan diri secara total kepada kehendak Allah Swt. Diantara hawa nafsu yang harus ditahan/dikontrol oleh orang yang berpuasa adalah makan, minum dan melakukan hubungan seksual pada siang hari. Sebaliknya, orang yang berpuasa dianjurkan untuk memperbanyak Ibadah, zikir dan mendekatkan diri kepada pencipta-Nya. Itulah makna utama Ibadah puasa yang dilakukan oleh umat muslim selama bulan ramadhan.
Berangkat dari substansi makna puasa tersebut, nyata bahwa setiap orang yang berpuasa seharusnya terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela, terpelihara dari dosa dan kemaksiatan yang membatalkan puasa. Sebab, orang yang sedang berpuasa sebenarnya adalah orang sedang mengikuti secara totalitas kehendak Allah Swt, mengerahkan segenap jiwa dan raga untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta melalui berbagai amaliah di bulan puasa.
Dengan kesadaran puasa yang demikian, maka kita akan mampu mengontrol diri dan hawa nafsu dalam hidup. Kita akan mampu menahan diri untuk tidak melakukan kemaksiatan dan dosa. Dengan keadaan iman yang selalu sadar bahwa “kita sedang berpuasa”, maka kita akan mampu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Inilah yang terus dilakukan, dan dilatih oleh orang yang berpuasa selama 1 bulan ramadhan. Orang-orang yang terlatih dengan puasa inilah yang sesungguhnya yang berhasil meraih kesucian jiwa dan ketakwaan pada hari kemenangan (idul fitri) nantinya.
Dengan menyadari makna substansi berpuasa, maka menjauhkan diri dari kemaksiatan dan dosa, bukan hanya kewajiban selama bulan ramadhan. Dengan kesadaran tersebut pula, maka kebijakan menutup tempat-tempat perjudian, prostitusi dan berbagai penyakit sosial lainnya oleh pemerintah juga bukan hanya selama bulan ramadhan, melainkan berterusan pada bulan-bulan yang lain.
Dengan menyadari makna puasa yang sebenarnya sebagai upaya mengontrol diri dan hawa nafsu menuju keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, maka sesungguhnya kita “wajib” berpuasa seumur hidup (bukan hanya pada bulan ramadhan). Sebab, puasa pada bulan ramadhan lebih merupakan latihan dan pembiasaan diri untuk kehidupan yang lebih panjang di bulan-bulan yang lain. Puasa inilah yang diinginkan oleh Nabi Saw untuk dipahami oleh Umatnya. Itulah yang dinyatakan Nabi Saw dengan “seandainya mereka mengerti puasa”. Wallahu a`lam.

PUASA DAN MAWAS DIRI

Opini Ramadhan 1432 H yang diterbitkan di Harian Borneo Tribune, 9 Agustus 2011

Oleh: Ibrahim MS

Puasa sebagai satu Ibadah yang dipercayai dapat menghantarkan seseorang kepada derajat ketakwaan (Q.S.2: 183) sebenarnya membawa banyak pelajaran yang patut dicermati oleh orang yang berpuasa (shaim). Berdasarkan pada istilahnya, puasa mempunyai makna “menahan diri” atau “kontrol diri”.
Dengan demikian puasa merupakan amal ibadah yang dikerjakan dengan cara menahan diri untuk tidak makan dan minum pada siang hari, serta tidak melakukan segala apa yang membatalkannya dari terbit pajar hingga terbenamnya matahari (Zainal Abidin, 1951).
Sebagai satu Ibadah yang diistimewakan, Allah SWT telah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang berpuasa. Bahkan satu dari empat kelompok manusia yang dirindukan oleh surga Allah adalah orang yang berpuasa di bulan ramadhan (al-Hadits).
Menurut Quraisy Shihab dalam tafsir Al-Mishbah, keistimewaan ibadah puasa dapat dilihat dari dasar perintah melakukan ibadah ini. Menurutnya, sapaan “hai orang-orang yang beriman” yang digunakan Allah dalam permulaan ayat perintah puasa itu bermakna panggilan kepada kesadaran diri dan hati (iman) seorang hamba. Iman itulah sesungguhnya yang menggerakkan setiap hambanya untuk berpuasa, menahan diri dari kuasa hawa nafsu, meredam kehendak diri (sebagai manusia) untuk selanjutnya mengikuti kehendak Allah SWT.
Beberapa keistimewaan lainnya dari Ibadah puasa adalah sebagai berikut:
Pertama, Puasa merupakan ibadah yang bersifat rahasia hamba dengan Tuhan, dimana kualitas puasa seseorang bergantung kepada keikhlasan hati dan kesadaran iman yang berpuasa. Karena itulah Allah menjanjikan balasan pahala yang khusus dan istimewa bagi orang yang berpuasa (hadits kudsi)
Kedua, ibadah puasa yang dilakukan berdasarkan panggilan hati dan kesadaran Iman senantiasa melibatkan seluruh aktivitas hambanya, dari fisik yang menahan diri untuk tidak makan dan minum pada siang hari serta melakukan hal-hal yang membatalkan puasa ,hingga non fisik berupa kesadaran hati, pikiran dan imannya bahwa dirinya sedang mengikuti kehendak Allah (berpuasa).
Ketiga, puasa dalam bentuk aktivitas fisik hanya akan memberikan dampak yang bersifat fisik pula. Sementara nilai ketakwaan yang dikehendaki dari ibadah puasa lebih merupakan dampak non fisik dari keimanan dan kesadaran dalam diri orang yang berpuasa.
Keempat, puasa yang dilakukan atas dasar kesadaran diri, perasaan, pikiran dan hati (iman) itulah sesungguhnya yang diyakini dapat membentuk sosok diri yang bertakwa, sebagaimana tujuan disyariatkan berpuasa (Q.S. 2: 183).
Terakhir, orang yang berhasil mencapai derajat takwa dari puasanya adalah mereka yang mampu menjadikan puasanya sebagai upaya mawas diri. Yakinlah bahwa seseorang tidak akan melakukan korupsi, mencuri dan berbagai kemaksiatan jika kesadaran imannya selalu mengingatkan bahawa “saya sedang berpuasa”. Sebab, dengan “selalu berpuasa dan mawas diri”, Insya Allah kita akan mampu menghindarkan diri dari berbuat dosa dan kemaksiatan hidup. Wallahu a`lam

Sabtu, 12 Februari 2011

Dakwah Dari Masjid

Pengantar Editor untuk buku PETA DAKWAH DI KALIMANTAN BARAT, yang diterbitkan oleh STAIN Press dan Jurusan Dakwah STAIN Pontianak, Februari 2011

Oleh: Ibrahim MS
Dosen Komunikasi Penyiaran Islam, Jurusan Dakwah STAIN Pontianak


Sejarah kelahiran Islam menjadi bukti betapa masjid telah memainkan peran penting sebagai tempat pelaksanaan ibadah dan pembinaan ummat, sebagaimana yang dilakukan Nabi Saw di Madinah. Bahkan pada sebagian masyarakat muslim, keberadaan masjid telah melebihi peran lembaga pendidikan agama itu sendiri. Lihat misalnya kajian Azyumardi Azra (2003) tentang peran masjid dan surau pada masyarakat Minangkabau.
Menurut Azyumardi Azra (2003), masjid dan surau telah memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat muslim Minangkabau. Masjid/surau bagi masyarakat muslim Minangkabau tidak saja sebagai tempat melakukan aktivitas ibadah kaum muslimin, melainkan sudah menjadi lembaga pendidikan secara umum. Melalui masjid dan suraulah pendidikan dan pembinaan ummat dilakukan secara intensif. Bahkan dalam konteks otonomisasi, orang Minang percaya bahwa surau/masjid dapat membangkitkan "batang tarandam", yakni melahirkan ulama-ulama besar sebagaimana masjid/surau di masa silam.
Peran besar masjid sebagai pusat pembinaan keagamaan mesti mampu membangun kesadaran dan kecerdasan kepada para jama`ahnya, bahwa agama tidaklah lahir dengan sendirinya tanpa maksud tertentu untuk kehidupan manusia. Agama lahir adalah sebagai satu bentuk arahan dan tuntunan yang diharapkan dapat membantu manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia juga di akhirat. Menyadari arti penting sebuah agama bagi manusia, mengharuskan setiap pemeluk agama untuk senantiasa berpikir dan menilai seberapa besarkah peran agama sebagai penuntun hidup, telah mampu dirasakan oleh setiap ummat.
Melalui peran Masjid juga mesti ditanamkan satu kesadaran agama bahwa Islam yang kita percayai sebagai agama yang turunkan dari Allah SWT (samawi) telah hadir dengan segenap tuntunan dan aturan yang qath`i, mesti berhadapan dengan realitas hidup dan perkembangan sosial kemanusiaan yang dinamis (zhanni). Dengan kata lain, Islam mesti harus selalu mampu memberikan arah dan tuntunan kepada jalan hidup manusia, termasuk dalam menghadapi problem sosial yang dinamis itu. Dengan iman, kita sadar bahwa tuntunan dasar Islam (al-qur`an & hadits) memang tidak pernah berubah & tidak mungkin dirubah. Akan tetapi penggalian terhadap tuntunan nilai-nilai Islam mutlak perlu dilakukan secara terus-menerus untuk mampu menjawab problem kekinian. Disinilah wilayah penafsiran teks-teks keagamaan (al-qur`an & hadits) penting dilakukan terhadap konteks yang berlaku. Dan masjid atau surau mempunyai peran dalam konteks ini.
Sadar akan pentingnya peran masjid yang bukan saja sebagai tempat kaum muslimin melaksanakan Ibadah (fungsi ubudiyah) melainkan juga fungsi ekonomi, sosial dan pendidikan jama`ah, mengharuskan kita kaum muslimin untuk senantiasa mampu membuka diri, melakukan introspeksi hingga merekonstruksi pemahaman tentang fungsi dan peran Masjid. Karena itu banyak penelitian dan kajian yang telah dilakukan berkaitan dengan fungsi dan peran masjid dalam keberagamaan masyarakat muslim hingga saat ini.
Diantara kajian tersebut adalah Anita (2008) yang mengkaji mengenai salah satu gerakan keagamaan dan dakwah yang dikembangkan oleh Masjid Mujahidin berupa program Penyiaran Dakwah melalui Radio Mujahidin Pontianak; Bayu (2008), Mahasiswa STAIN Pontianak, Jurusan Dakwah yang menulis Skripsinya dalam kajian tentang Optimalisasi Fungsi Masjid Mujahidin dalam upaya rekruitmen Jama`ahnya.
Kajian Ibrahim MS (2008) tentang Aktivitas Keagamaan Masyarakat Muslim di Komplek Perumahan Purnama Agung VII juga menjadikan Masjid Jami`atus Shalihin sebagai titik berangkat dan pusat pembinaan keagamaan para jamaah muslim di komplek tersebut. Melalui proyek penelitian yang dibiayai oleh DIPA STAIN Pontianak tahun 2008, Ibrahim MS melaporkan betapa Masjid Jami`atus Shalihin telah memainkan peran yang optimal dalam pembinaan kualitas keagamaan para jamaahnya yang berada di sekitaran komplek Purnama Agung VII, Pontianak.
Singkat perkataan, masih banyak lagi kajian yang memberikan pemahaman kepada kita bahwa masjid telah memainkan peran yang besar dalam kehidupan sosial dan keagamaan ummat. Melalui masjid umat dapat pembinaan keagamaan, pembinaan ekonomi, pembinaan pendidikan dan sebagainya. Kondisi ini tampak sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masjid yang semakin meningkat dari sisi kuantitasnya. Dari sisi fisik bangunannya juga tampak kemegahannya. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah perkembangan sedemikian juga dibarengi dengan peningkatan kualitas layanan dan peran yang dibawa melalui masjid yang ada? Adakah melalui masjid kita dapat berharap banyak untuk membentengi umat dari segala persoalan kemanusiaan, keummatan dan berbagai persoalan global yang semakin menerpa dalam kehidupan manusia saat ini? Apapun jawabanya, jelas bahwa melalui masjid aktivitas dakwah dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Melalui masjid peta dakwah dapat disusun sedemikian rupa, hingga menghasilkan gerakan dakwah yang efektif dan berhasil kedepan.
Sementara itu, untuk konteks Kalimantan Barat umumnya, dan Kota Pontianak khususnya, tampak adanya kendala dalam merencanakan formulasi gerakan dakwah yang lebih efektif dan berhasil. Hal ini disebabkan antara lain, kurangnya referensi mengenai simpul-simpul umat, termasuk keberadaan masjid dengan gambaran jamaahnya yang lebih utuh dan komprehenshif. Gerakan dakwah yang dijalankan selama ini terkesan berjalan sendiri-sendiri, dengan perspektif yang juga masing-masing tak berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Oleh itu dipandang perlu adanya peta dakwah yang baik bagi mewujudkan gerakan dakwah yang berhasil kedepan. Karena itu profil masjid sebagaimana disajikan dalam buku ini menjadi salah satu modal awal untuk membangun peta dakwah di Kalimantan Barat.
Sebagai suatu kumpulan tulisan dari hasil kajian singkat dan masih sangat sederhana, kami berupaya menyajikan keseluruhan tulisan profil Masjid se-Kota Pontianak berdasarkan perwakilan kawasan, yakni profil masjid di wilayah Pontianak Selatan, Pontianak Timur, Pontianak Barat, Pontianak Tenggara dan Pontianak Utara. Adapun masjid di wilayah Pontianak Kota tidak menjadi bagian dari kajian profil ini disebabkan kawasan sudah pernah dikaji oleh aktivis dakwah lain yang lain.
Untuk masjid di wilayah Pontianak Selatan, kami memilih Masjid Raya Mujahidin, Masjid Al-Jihad, Masjid Baiturrahman, Masjid Nurul Hasanah dan Masjid Miftahudin. Sedangkan untuk masjid di wilayah Pontianak Timur kami memilih Masjid Jami` Arrahman Keraton, Masjid Jami` Harunia, Masjid Al-Karim, dan Masjid Ar-Rafiul A`la. Untuk masjid di wilayah Pontianak Barat kami mengambil profil Masjid Agung Al-Falah, Masjid Sirajudin, Masjid Sirajul Munir, Masjid As-salam dan Masjid Ar-Risalah. Sedangkan untuk masjid di wilayah Pontianak Tenggara diambil profil Masjid Baitul Makmur, Masjid Islamiyah, Masjid Ikhwanul Mukminin, dan Masjid Quba. Terakhir untuk masjid di wilayah Pontianak Utara diambil profil masjid Baburrahman, Jalan Selat Panjang.
Pilihan masjid-masjid tersebut dalam kajian profil ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, baik menyangkut teknik kajian mahupun refresentasi kawasan pemetaan dakwah di wilayah Kota Pontianak. Dari sisi teknik, pemilihan masjid tersebut merupakan satu bentuk keterbatasan dari kemampuan para pengkaji, dimana kami tidak mungkin melakukan kajian dan menulis profil semua masjid yang ada di Kota Pontianak, karena itu kami memilih beberapa masjid saja. Dari sisi refresentasi, masjid yang dipilih dalam profil ini adalah masjid yang memiliki karakteristik yang khas seperti usia masjid yang tergolong tua, keberadaan jamaah yang juga ramai, serta memiliki nilai sejarah.
Sebagai suatu karya dari hasil kajian sederhana dan pemula, tentunya banyak kekurangan dari profil ini. Akan tetapi dengan i`tikad yang baik untuk kemaslahatan gerakan dakwah yang lebih besar ke depan, sedikit sebanyak profil masjid se-Kota Pontianak ini mempunyai peran dan manfaat tersendiri bagi upaya merumuskan Peta Dakwah Islam di Kalimantan Barat.
Akhirnya, dengan wujudnya Peta Dakwah (melalui profil masjid) ditambah lagi dengan wawasan yang memadai pada para juru dakwah dalam merencanakan gerakan dakwah kedepan, Insya Allah akan mampu mewujudkan gerakan dakwah yang lebih efektif dan berhasil dalam membangun ummat muslim yang paripurna, kaffah dan insan kamil, Wallahu a`lamu bish shawab.

Menara Damai, 10 Januari 2011
Tertanda,


Editor

MELAYU: BICARA TENTANG KITA

Ibrahim MS (Direktur Malay Corner STAIN Pontianak)
Pengantar editor untuk buku KEARIFAN KOMUNIKASI DALAM PANTANG LARANG MELAYU DI NANGA JAJANG. Diterbitkan STAIN Press, Mei 2010

Dalam banyak kesempatan, seringkali kita masih mendengarkan pertanyaan mengenai `siapa sebenarnya Melayu`. Sekilas pertanyaan demikian tentu membuat kita tersentak kaget, sebab yang ditanyakan itu adalah diri kita, atau komunitas yang kita akui sebagai identitas sosial etnik kita. Bahkan yang bertanya pun juga bagian dari komunitas itu sendiri.
Dalam pikiran sederhana, semestinya dengan mudah kita dapat menjelaskan mengenai siapa diri kita dan atau komunitas kita. Tapi kenyataannya tidak demikian untuk pertanyaan yang satu ini, `siapa Melayu`. Pertanyaan ini sesungguhnya tidak pernah dapat diberikan jawaban yang tunggal sepanjang sejarah social mengenai `apa dan siapa yang kita sebut sebagai Melayu hingga hari ini. Beragam defenisi yang telah diberikan oleh para pengkaji Melayu sesuai dengan perspektif mana yang digunakan. Dari sisi budaya dan bahasa, oleh para pengkaji Melayu didefenisikan sebagai orang yang berbudaya dan berbahasa Melayu, walaupun kenyataannya beragam pula budaya dan bahasa Melayu itu. Dari sisi agama, Melayu didefenisikan sebagai komunitas yang beragama Islam, tapi kenyataannya beragam pula komunitas yang memeluk Islam di wilayah nusantara ini, dan bahkan ada sebagian keturunan (yang diidentifikasi sebagai) Melayu yang tidak beragama Islam.
Sulitnya memberikan defenisi yang pasti dan tunggal tentang Melayu, agaknya disebabkan oleh beberapa paktor; pertama, panjang dan kompleknya sejarah sosial yang terjadi di nusantara ini, terutama menyangkut komunitas yang hendak didefenisikan sebagai Melayu; kedua, beragamnya perspektif keilmuan para ahli dalam mengkaji tentang Melayu, sehingga menimbulkan keragaman yang luar biasa dalam mendefenisikan tentang siapa Melayu, termasuk dari para ilmuan `Melayu` itu sendiri; ketiga, merupakan bukti bahwa sesungguhnya Melayu itu besar, wujud di tengah kompleksitas sosial, budaya, politik, ekonomi dan agama di seluruh wilayah nusantara ini. Karena itulah, kajian mengenai Melayu tidak akan pernah habis-habisnya (selesai). Dengan itu pula, pertanyaan mengenai `siapa sebenarnya Melayu` juga tidak akan pernah dapat dijawab secara tunggal dan pasti, karena siapapun, kapanpun, dimanapun dan dengan perspektif apapun akan selalu dapat memberikan jawabannya. Jika pun kita harus sepakat dengan salah satu defenisi dan menggunakannya dalam konteks mengkaji tentang Melayu, maka defenisi tersebut tetap terbatas, sesuai dengan perspektif tertentu yang digunakan untuk melihat siapa sebenarnya Melayu.
Pernyataan di atas dapat dibuktikan dengan beragamnya defenisi yang diberikan oleh para pengkaji mengenai `siapa sebenarnya Melayu`, baik dari para ilmuan kolonial seperti Enthoven (1903), Bouman (1924), Bos (1917), Van der Puten (1917), dan sebagainya, maupun setelah kemerdekaan seperti Gerlach (1981), King (1993) dan banyak lagi para ilmuan kontemporer abad ini. Hal ini, sekali lagi disebabkan mengkaji tentang Melayu memang menarik, karena Melayu sangat kompleksitas sebagaimana kompleksitasnya sejarah sosial yang berlangsung di seluruh wilayah nusantara ini. Kesadaran itulah setidaknya yang menjadi semangat mengkaji tentang Melayu terus muncul dalam sejarah, termasuk apa yang dilakukan oleh teman-teman peneliti dan akademisi melalui tulisan yang ada dalam buku ini.
Buku ini, sesungguhnya merupakan kumpulan tulisan dari para peneliti dan akademisi yang telah berpartisipasi sebagai pemakalah dalam Seminar Melayu Nusantara 2 yang diselenggarakan oleh Malay Corner STAIN Pontianak akhir tahun 2009. Sebagaimana lazimnya sebuah buku yang baik, kami berupaya untuk menyusun seluruh tulisan ini menjadi lebih sistematis, punya alur berpikir yang baik dan kerkesinambungan. Karena itu, tulisan ini disusun secara tematik, berdasarkan kelompok tema dan perspektif kajian masing-masing dari tulisan yang ada. Meskipun ada beberapa tulisan yang agaknya dipaksakan untuk masuk pada salah satu tema dalam buku ini. Hal ini mesti dimaklumi sebagai satu bentuk keterbukaan terhadap kompleksitas kajian tentang Melayu.
Meskipun agak dipaksakan, secara keseluruhan ada tiga bagian tulisan dalam buku ini. Bagian pertama berisi tulisan mengenai Perspektif tentang Orang Melayu. Bagian ini terdiri dari tulisan Patmawati mengenai `Melayu dalam Perspektif Sejarah`; Juniawati yang menulis mengenai `Identitas Melayu dalam Perspektif Media`; dan Kristianus Atok yang menulis mengenai `Identitas Melayu dari Perspektif Sosial`.
Bagian kedua pada buku ini berisi tulisan mengenai Bahasa dan Identitas orang Melayu. Bagian ini terdiri dari tulisan Dedy Ary Aspar dan Prima Dwantika yang mengkaji tentang `Bahasa dan Identitas Melayu Pontianak`; Irmayani yang menulis tentang `Proses Morpologi dalam Bahasa Melayu Pontianak`; Martina menulis tentang `Bahasa Melayu di Media Kalimantan Barat`; dan Dewi Juliastuti yang menulis mengenai `Identitas Melayu dalam Seni Lagu Daerah`.
Bagian ketiga berisi tulisan mengenai Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu di Kalimantan Barat. Bagian ini terdiri dari tulisan Erwin dan Andi Gidang mengenai `Nilai-nilai Pendidikan dalam Tradisi Tepung Tawar di Sambas`; Ibrahim MS yang menulis mengenai `Tradisi dan Komunikasi dalam Tepung Tawar pada Masyarakat Melayu Nanga Jajang`; dan Didi Darmadi yang menulis mengenai `Tradisi Peladangan orang Melayu Buyan dan beberapa peralatannya`.
Dari ketiga bagian tulisan dalam buku ini, tampak bahwa jika dikerucutkan kajiannya, hanya ada 2 katagori yang dibincangkan mengenai orang Melayu di Kalimantan Barat. Katagori pertama adalah tradisi yang diwujudkan dalam seni lagu daerah, tepung tawar dan peladangan. Katagori kedua adalah komunikasi yang berwujud upaya-upaya mengenal orang Melayu (perspektif tentang Melayu) dan bahasa (alat komunikasinya), termasuk komunikasi dalam tradisi sosialnya. Karena itu, buku ini diberi judul “Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu”.
Buku ini, dan semua tulisan yang ada memiliki kekuatan masing-masing, sesuai dengan perspektif yang digunakan. Karena itu sangat baik dibaca dan dijadikan salah satu referensi penting tentang Melayu, khususnya kajian Melayu di Kalimantan Barat.
Sebagai editor, yang telah berusaha untuk menghimpun semua tulisan ini, membaca dan melakukan editing, menyusunnya hingga siap diterbitkan menjadi sebuah buku ini, tentu merasa bangga dan bahagia. Meskipun dengan senantiasa menyadari kemungkinan terdapat beberapa kekurangan dari buku ini, terutama menyangkut kapasitas kerja dan tanggung jawab editor.
Apapun hasilnya, puji syukur kehadirat Allah Swt buku ini telah diterbitkan dan dipublikasi ke masyarakat. Karena itu hanya satu harapan dari kami, buku yang sederhana ini bermanfaat buat para pembaca sekalian, semoga.
Selamat Membaca!



Pontianak-Damai, 15 Maret 2010



Editor

Selasa, 09 November 2010

KISAH MENGESANKAN DI KAMPUNG MELATI

Oleh: Ibrahim MS (Direktur Malay Corner STAIN Pontianak)

Satu catatan kisah perjalanan melakukan Riset Wisata di Kampung Melati, Parit Banjar, Kakap. Sabtu - Minggu, 30 - 31 Oktober 2010.


Kunjungan ke Dusun Melati desa Kalimas kec. Sei. Kakap merupakan program Riset Wisata (RW) kedua yang dilakukan oleh Malay Corner (MC). Sebelumnya tahun 2009, MC sudah menyelenggarakan riset wisata ke kampung durian, pemukiman baru warga Madura yang berasal dari sambas.
Lokasi yang akan dikunjungi untuk program RW tahun 2010 ini merupakan perkampungan orang Bugis di Parit Banjar, Dusun Melati, Desa Kalimas, Kec. Sungai Kakap.
“Agaknya kita perlu melengkapi koleksi data riset kita.
Kalau tahun lalu kita mengkaji Madura, maka sekarang kita mengkaji Bugis”,
begitulah informasi dan saran yang diberikan bang Yus ketika mengusulkan kampung ini sebagai lokasi yang akan dikunjungi.

Saya sendiri dapat memaklumi bahwa bang Yus sudah cukup mengenal kampung ini, karena tahun ini dia juga sedang melakukan kajian mengenai orang Bugis, dimana dusun ini meruPakan salah satu sampelnya. Dugaan saya.

Selain itu, lokasinya yang cukup dekat dan mudah dijangkau, makanya saya langsung setuju saja dengan usulan tersebut. Sejak itulah kami mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk pelaksanaan program ini.

***
Sabtu - Minggu, tanggal 30-31 oktober adalah waktu yang telah kami tentukan melalui rapat pengurus MC untuk pelaksanaan program RW ini.
Karena itu, pagi-pagi sabtu, saya dengan Didi sudah belanja ke pasar flamboyan untuk membeli segala keperluan logistik keberangkatan, maklum tradisi kegiatan RW di MC, logistik selalu dibawa sendiri oleh peserta.
Kita berpikir bahwa, sebisa mungkin program RW ini tidak boleh membebani masyarakat atau tuan rumah. Sudah diterima berkunjung dan diizinkan nginap saja sudah lebih dari cukup bagi MC, karena itu untuk urusan logistik harus disiapkan sendiri oleh peserta.
Alhamdulillah sebelum tengah hari, semua logistik untuk bekal kawan-kawan sudah siap di sekretariat MC.

Setiap kelompok sudah disiapkan logistiknya dalam kotak masing-masing. Karena rencananya peserta kunjungan belajar (begitu istilah yang selalu saya gunakan kepada masyarakat) di lapangan akan dibagi dalam enam kelompok, maka ada 6 kotak logistik yang sudah kami persiapkan pagi itu.
Sementara keberangkatan kami dijadwalkan ba`da ashar atau jam 15.30 sore itu. Dimana untuk keberangkatan ini, seperti biasa kami selalu berkumpul di sekretariat MC terlebih dahulu, di situlah kami berkoordinasi sampai kami berangkat ke lokasi dengan kendaraan motor masing-masing.

Ba`da zuhur saya pulang ke rumah. Dan rencananya jam 14.30 saya sudah akan berangkat ke MC untuk menunggu kawan-kawan kumpul di sana.
Di luar dugaan, kondisi cuaca siang itu mulai gelap. Tidak lama kemudian hujan turun dengan lebatnya, bahkan disertai dengan angin kencang. Saya tidak bisa tidur karena khawatir kalau-kalau hujan terus sampai sore atau malam, bisa-bisa gagal total rencana keberangkatan kami sore itu. Begitulah persaan saya kala itu, sambil beberapa kali bolak balik menjenguk ke luar rumah untuk melihat tanda-tanda hujan akan reda atau tidak.
Sampai jam 15.00 hujan belum juga berhenti, meski sudah agak reda. Sampai hampir jam setengah empat, saya keluar dan melihat masih ada gerimis kecil, karena itu saya putuskan untuk berangkat saja ke kampus. Tidak enak kalau justru saya yang terlambat datang di kampus, begitulah pribadiku.

Jam setengah empat lewat saya tiba di kampus (MC), saya mendapati sudah ada beberapa orang peserta yang menunggu di pendopo depan secretariat MC.
Saya langsung naik dan masuk ke ruang MC. Sementara beberapa orang peserta masih tetap menunggu peserta lainnya di bawah.
Lebih kurang 15 menit kemudian, saya melihat sudah cukup ramai peserta yang datang, termasuk bang zul yang selalu koordinasi dengan saya mengenai keberangkatan dengan cuaca sedemikian. Karena itu saya meminta kawan-kawan untuk naik dan koordinasi di ruang MC.
“ayo naik, kita kumpul di atas untuk ngecek kehadiran kawan-kawan”.
Begitulah alasan saya meminta semuanya naik.
Saya memanggil satu-satu persatu nama mereka yang sudah terdata dalam kelompok masing-masing, dan masing-masing kelompok saya serahkan persilakan mengambil satu dus logistic yang sudah disiapkan untuk dibawa langsung ke lokasi.
“sepertinya cuaca sudah semakin membaik, dan kita agaknya sudah bisa jalan”, begitulah kira-kira ajakan saya kepada kawan-kawan sore itu.
Dari peserta, saya melihat sudah hampir semuanya yang hadir kecuali Cici.
Kami pun turun ke bawah untuk siap-siap berangkat.

“Im, cici minta ditunggu, dia sudah jalan sekarang”,
begitu kata jun meminta saya menunggunya.
Meski agak keberatan, karena memang waktunya sudah sore (sudah lewat dari jadwal semula lagi), saya harus menunggu anggota saya.

Sementara itu, kawan-kawan yang sudah siap dengan motor masing-masing saya izinkan untuk berangkat duluan.

“Kawan-kawan yang sudah siap, silakan berangkat duluan, ikuti Mahmud.
Mahmud saya minta untuk memimpin keberangkatan kawan-kawan karena ia sangat mengenal dusun Melati, dia pernah tinggal beberapa lama dengan neneknya di kampung tersebut.
“Mud, kamu berangkat duluan bersama dengan teman-teman ya”,
sementara saya masih menunggu teman kita yang belum datang nih”,
pinta saya dengan Mahmud. “Saya masih harus menunggu yang belum datang ni, biar saya mengawal teman-teman belakangan”.
Jelas saya dengan Mahmud.

“Jun, sedang di mana Cici?” Tanyaku agak kurang sabar.
“Dia sudah jalan sekarang”. Jawab Jun.
Jun pun terus berusaha untuk koordinasi dengan Cici. Bersama saya dengan Jun, juga masih ada Didi yang setia menunggu kedatangan Cici.

“Im, cici menunggu di depan Pelni katanya, kita lewat kota baru kan?”
Tanya jun.
“Ya, kalau gitu kita berangkat saja sekalian jemput Cici”,
ajak saya.
Kami pun berangkat. Sampai di dekat Pelni saya sudah melihat Cici di seberang jalan. Cici diantar oleh baPaknya. Karena kami menuju Kota Baru, maka cici harus menyebrang. Sementara itu saya dengan Didi terus jalan, pelan.
Dugaan saya, Jun dengan cici terus menyusul kami jalan di belakang.
Sampailah di daerah kota Baru, ternyata masih ada bang Mail dan motornya kak Ifit dan Eva. Jadinya kami berjalan berbarengan.

Kami berbelok ke jalan Ampera, karena harus ikut jalan Kakap, maklum kondisi cuaca habis hujan. Kalau jalan kering, sebenarnya lebih dekat lewat jalan punggur ujung kota baru.
Lagi-lagi di sini, saya menduga Jun dan Cici masih bisa menyusul di belakang kami, mereka tau kalau ke lokasi lewat jalan Kakap, pikirku.

Kami 4 buah motor (mail, didi, ifit bonceng eva dan saya sendiri) terus berjalan. Ketika mulai masuk jalan kakap saya pun berhenti untuk memastikan rongbongan ikut semuanya di belakang. Ternyata Jun dan Cici tidak tampak. Saya dan Didi sempat menunggu beberapa saat.
Kemudian dengan perlahan kami lanjutkan perjalanan, belum juga tampak Jun dan Cici.
“Ah, Jun tau bah jalan kakap, pasti dia juga akan menyusul”, yakinku.
Belum sampai ke simpang kakap Jun telp.,
“Hallo Im, dimana kita` ni?”
Saya sendiri tidak langsung menjawab, tapi malah menanyakan posisi Jun.
“Kamu sendiri di mana Jun, kenapa lama sekali?” tanyaku.
“Saya di jalan punggur ni, ujung kota baru”, jawab Jun.
Mendengar jawaban itu, saya pun sadar kalau Jun dan Cici nyasar jalannya.
“Jun, bukan lewat situ, kita lewat jalan kakap”, jelasku setengah kesal.
“O ya kah, ya lah kami balek lagi ke situ”.
Jawab jun di telefon.
“Cepatlah, kami tunggu di simpang punggur, kakap”, jawabku.
Hampir setengah jam kami menunggu barulah Jun dan Cici datang.
Kami melanjutkan perjalanan ke dusun Melati. Hampir berkumandang azan magrib kami masuk wilayah dusun tersebut.

***
Motor Ifit dan Eva berhenti di depan sebuah rumah yang di situ telah parkir motor kawan-kawan rombongan yang berangkat duluan tadi. Di situ adalah rumahnya kakek si Mahmud.
Saya pun berhenti. Saya tidak sempat masuk ke dalam karena sudah hampir azan maghrib.
Saya memanggil Mahmud, dan saya meminta Mahmud untuk mengajak kawan-kawan menuju masjid.
“Kita janji kumpul di masjid, di masjid lah kita akan koordinasi dengan Pak RW (Pak Udin), termasuk penentuan posko menginap dan sebagainya”. Begitulah alasan ku meminta Mahmud mengkoordinir kawan-kawan untuk langsung menuju Masjid.
Kawan-kawan pun berangkat menujun masjid. Saya sendiri harus mampir terlebih dahulu ke rumah Pak Rusni, ketua RT 12, salah seorang yang saya temui untuk koordinasi kunjungan ini sebelumnya.
Rumah Pak Rusni ada di seberang parit, untuk ke rumahnya saya harus melalui jembatan yang sudah banyak berlobang, dan harus berhati-hati karena sebagian kayu jembatannya sudah patah. Kemudian di seberang pun masih harus melewati jembatan parit kecil yang sudah terapung karena banjir.

Saya perlu berhati-hati supaya tidak tercebur ke dalam parit, bisikku sambil menginjak perlahan jembatan yang sudah sedikit terapung di atas air.
Saya naik ke teras rumah Pak Rusni, belum sempat mengucap salam dan mengetuk pintu, dari balik jendela saya melihat Pak Rusni sedang shalat magrib berjama`ah dengan isterinya.
“Wah, ini bakalan lama saya menunggu selesai shalat”, pikirku. Semula saya berpikir untuk langsung ke Masjid. Tapi tak enak pula tak ada komfirmasi lagi dengan kedatangan rombongan, pikirku lagi. Terpaksa saya harus menunggu.

Sementara itu, di rumah sebelahnya saya melihat ada beberapa orang sedang ngumpul.
“Ah, bagus saya kesitu saja, sambil menunggu”, pikirku.

“Assalamu `alaikum”, aku menyapa mereka.
“Alaikum salam, sila naik pak, sambut dari tuan rumah”.
Beliau pun tampak sibuk mengambil bajunya, membukakan pintu dan menyilakan saya ke dalam. Sebelumnya saya melihat mereka hanya ngobrol di teras luar, makanya tidak mau diajak masuk dan ngobrol di dalam, saya minta duduk di luar saja.
Sambil bersalaman saya pun mengenalkan diri, menyampaikan mengenai tujuan kedatangan rombongan.
“Saya mau jumpa Pak Rusni, tapi beliau lagi shalat”, jelasku.
Obrolan kami pun berlangsung beberapa saat. Kemudian saya mohon diri untuk kembali ke rumah Pak Rusni, perkiraan saya shalatnya sudah mau selesai.
Setibanya di teras, ternyata Pak Rusni masih berzikir dan berdo`a, terpaksa aku menunggu lagi.
Begitu shalat nya selesai, aku segera mengucapkan salam dan mengetuk pintu.

“Assalamu`alaikum”, salamku pada Pak Rusni.
“Alaikum salam”, jawab Pak Rusni sambil membuka pintu.
“Eh, bapak, silakan masuk Pak”. Sapa Pak Rusni.
“Udah, disini saja Pak, sebentar saja, saya hanya mau komfirmasi bahwa rombongan saya sudah datang, dan sekarang sudah di Masjid,
biar nanti kita koordinasikan semuanya di Masjid saja”,
aku meminta kesepakatan dengan Pak Rusni.

“Saya duluan pak”, pamit ku.
“Ya, nanti saya menyusul pak”, jawab Pak Rusni.
Saya bertolak dari rumah Pak Rusni dan langsung menuju masjid sore itu.
***
Sampai di masjid, saya langsung menuju tempat wudu`, saya segera wudu` karena saya melihat jama`ah shalat maghrib sudah hampir selesai.
Begitu saya masuk ke dalam masjid, ternyata jama`ah benar-benar sudah selesai shalatnya. Saya mendapati Didi belum shalat. Rupanya Didi sengaja menunggu saya untuk shalat berjama`ah. Saya pun shalah berjama`ah dengan Didi.
Selesai shalat, saya bersalaman dengan beberapa orang jama`ah di belakang. Salah satunya yang saya salami tersenyum, sepertinya ia kenal dengan saya. Saya sendiri merasakan tidak asing dengan wajahnya. Saya pun bertanya namanya.
“siapa ni?” tanyaku.
Saya Hamadi pak (belakangan saya tau nama benarnya adalah Ahmadi),
“saya mahasiswa STAIN, Tarbiyah.
Saya belum selesai, karena saya pernah cuti”. Jelasnya.
Saya pun ngobrol beberapa hal singkat dengan Hamadi, karena saya harus mengurus posko kawan-kawan.

Saya mencari Pak Udin (Pak RW), orang yang selama ini saya hubungi untuk program kunjungan ini. Saya pun pergi ke rumah Pak Udin, untuk memberitahukan kalau rombongan sudah kumpul di masjid.
Sampai di rumah Pak Udin, ternyata Pak Rusni juga sudah ada di sana, tepatnya di rumah warungnya.
Akhirnya kami bertiga sepakat untuk mengatur semuanya di masjid.
Saya, Pak Udin dan Pak Rusni menuju masjid.
Saya, Pak Udin dan Pak Rusni mengambil posisi di teras sebelah kanan masjid. Rencananya kami ingin membicarakan soal posko kawan-kawan.
Belum sempat duduk tenang di masjid, saya, Pak Udin dan Pak Rusni langsung dikerumuni oleh kawan-kawan. Berbagai pertanyaan pun langsung disampaikan oleh kawan-kawan ke Pak Udin dan Pak Rusni. Mereka seakan-akan tidak ingin melewatkan sedikitpun kesempatan untuk bertanya mencari data dan informasi malam itu.

Saya sendiri, yang tadinya ingin menggenahkan soal posko dengan Pak Udin dan Pak Rusni, terPaksa harus menundanya.

Kawan-kawan tarus wawancara dengan Pak Udin. Beberapa lagi menghadap Pak Rusni dan mewawancarainya, sampailah azan isya berkumandang dari dalam masjid.

Azan sudah hampir selesai, masih saja teman-teman wawancara dengan Pak Udin dan Pak Rusni. Mau tidak mau saya harus menyelanya.
“Ok, sekarang kita shalat isya saja dulu, nanti lanjutkan”. Kilah ku.
Kamipun beranjak dari tempat duduk di teras dan masuk ke masjid untuk melakukan shalat isya malam itu.
Saya tidak mau disalib kawan-kawan lagi. Selesai shalat saya langsung meminta Pak Udin dan Pak Rusni bicarakan tentang posko nginap kawan-kawan.
Alhamdulillah, dari 6 kelompok semula yang artinya juga perlu 6 rumah untuk nginap, ternyata hanya 5 rumah yang dapat diusahakan Pak Udin dan Pak Rusni.
Pak Udin sebenarnya masih mau berusaha mencari 1 rumah lagi, tapi saya mencegahnya. Saya tak ingin Pak Udin repot lagi mencari 1 rumah malam itu juga.
“Tak apa-apa pak, 5 juga sudah cukup, biar satu kelompok saya gabungkan”, maklum ku. Akupun menentukan tempat nginap masing-masing kelompok. Untuk mengantar kawan-kawan ke posko dimaksud saya ditemani oleh Pak Rusni dan Pak Udin. Singkat cerita, kawan-kawan sudah dapat tempat nginap malam itu. Dan kami pun berpencar di kelompok posko masing-masing, mencari data dan informasi, serta silaturrahmi dengan warga yang mungkin dilakukan selama berada di lokasi.

***
Saya sendiri masuk kelompok 4. Posko kami di rumah ibu Fatmawati (atau biasa dipanggil ibu Wati). Sebagai ketua rombongan, sebenarnya saya bisa memilih dimana saja mau masuk kelompok dan posko. Sebelumnya koordinasi saya selalu dengan Pak Udin, dimana di rumah beliau juga ada 1 kelompok. Saya tidak memilih untuk masuk kelompok di rumah Pak Udin, tapi saya memilih di rumah ibu Wati.

Bagi saya, Pak Udin saya sudah pernah ketemu beliau dan ngobrol dengan beliau sejak dari survey pertama. Sementara ibu Wati tidak.
“Menantu ibu Wati itu alumni STAIN.
Dulu tu, dia KKN disini, itulah dapat anak bu Wati”.
Begitulah cerita Pak Udin ke saya tentang ibu Wati. Itulah yang membuat saya tertarik untuk memilih gabung dengan kelompok ini.

Hapir jam 8 malam saya baru sampai di rumah ibu Wati, tempat kelompok kami menginap. Saya memang terlambat dari kawan-kawan kelompok, karena saya harus mengantarkan kawan-kawan kelompok 1 ke poskonya. Sementara kawan-kawan kelompok saya sudah terlebih dahulu ditunjukkan oleh Mahmud tempat nginapnya.

“Assalamu`alaikum”
Itulah sapaan pertama saya akan masuk ke rumah ibu Wati.
“Alaikum salam” jawab dari seorang lelaki kisaran usia 25 –an tahun yang menyambut kedatangan saya di depan pintu.

“Apa kabar bang?” tanyaku.
“Saya Ibrahim”, saya coba mengenal diri sebagai basa basi awal.
“Alhamdulillah baik, silakan masuk”, beliau menyilakan saya masuk.
Di ruang dalam saya melihat kawan-kawan sedang beramah tamah dengan seorang Ibu dan 2 orang perempuan muda. Saya pun langsung menyalami mereka satu persatu sambil mengenalkan diri. Mereka itu adalah Ibu Wati dan dua putrinya.

Sementara yang menerima kedatangan saya di depan pintu tadi adalah menantunya ibu Wati, namanya Ahmad Junaidi.
Kedatangan kami sepertinya memang sudah ditunggu di rumah itu, sebab begitu saya masuk, kami sudah langsung disuguhkan dengan minuman teh hangat dan beberapa kue naga sari. Kami pun segera menikmati sambil berkenalan dan silaturahmi.

“Ada berapa orang rombongan Pak?”
Tanya ibu Wati singkat.
“Kita ada 31 orang bu, yang terbagi kepada 5 kelompok dan 5 rumah nginap. Sementara kami rencananya mau numpang nginap disini”. Basa basiku.
“O silakan, inilah tempat kami”, jawab bu Wati dengan penuh ramah.
“Kalau saya sengaja pilih tempat ini bu, karena saya dengar ada sejarah tersendiri rumah ini.
Ibu dapat menantu alumni STAIN kah bu?”
Begitu sapa basa yang saya lontarkan pertama kali.

Ibu wati tersenyum, terus menjawab,
“iya.
Itu Jamiat, dulu kan dia KKN disini.
Eh tau-tau, ada niat nak serius dengan anak saya, rohani.
Itulah jadinya.
Sekarang mereka tinggal di Pontianak”.

Saya sendiri sudah mendengarkan cerita ini dari Pak Yapandi 2 minggu sebelumnya, ketika saya mengajak Pak Yapandi ikut kegiatan RW di dusun Melati.
“O ya, disitu adalah alumni kita yang jadi dengan orang situ.
Dapatnya waktu kami KKN dulu lah”, jelas Pak Yapandi.

Kunjungan kali ini membuat saya tau bahwa ternyata di kampung itu sudah 2 kali KKL STAIN, yakni tahun 1985 dan 1990.

Jamiat dapat isteri anak ibu Wati adalah KKN tahun 1990. Termasuk KKN masa itu adalah Pak Yapandi. Dokumentasinya masih tampak di ruang tamu bu Wati. Saya melihat dengan jelas satu foto besar anggota kelompok KKL tahun 1990 (ada Pak Yapandi, Jamiat dan kawan-kawannya) yang masih di pajang di ruang tamu rumah bu Wati. Di situ juga masih tampak jelas foto Almarhum H. Yahya Natsir, pembimbing KKL ketika itu.

Saya juga mendengar, kalau sebelumnya tahun 1985 juga sudah ada KKN dari STAIN. Bahkan yang menarik dari sejarah itu, mahasiswa KKN STAIN tahun 1985 itulah yang pertama kali memberikan nama kampung ini menjadi kampung Melati (dusun Melati).

Informasi ini memberikan aku satu pengertian bahwa sebenarnya STAIN mempunyai tempat di hati masyarakat dusun Melati. Bahkan mereka selalu bandingkan kunjungan STAIN yang lebih diharapkan oleh mereka dibandingkan dengan kunjungan dari kampus yang lain. Tapi sayang, sudah 20 tahun STAIN tidak pernah lagi membawa program serupa ke kampung ini, hingga pada kesempatan ini baru ada kegiatan rombongan riset wisata masuk dan bersilaturahmi.

***
Silaturahmi malam itu, hingga menjelang tidur di rumah ibu Wati memberiku banyak pengetahuan tentang masyarakat Bugis, diantaranya adalah masih dipraktekkan beberapa adat budaya yang menjadi identitas masyarakan bugis. Adat tersebut antara lain, lesuji, mandre sepulung, makan dalam kelambu, keleleng, naik tojang, penok-penok dan sebagainya.

Saya merasa senang sekali memulai pemburuan data di kampung ini. Saya merasa bahwa saya pasti dapat informasi yang banyak mengenai adat orang Bugis yang selama ini kurang saya pahami. Karena itu, semula saya berharap dapat mengetahui secara baik dan mendalam mengenai adat-adat tersebut, terutama menyangkut pesan-pesan adatnya. Akan tetapi ketika saya mulai menanyakan lebih jauh ke Ibu Wati, anak dan menantunya malam itu, mereka hanya bisa menjelaskan secara singkat saja dari ada tersebut.

Salah satu adat yang saya tanyakan adalah Makan dalam kelambu, yang menurut mereka adalah adat memberi makan bayang-bayang kita sendiri.
“apa tujuan dari adat itu?” saya mulai bertanya mendalami.
“Tujuannya adalah untuk meminta keselamatan
Supaya orang yang akan menikah itu dihindarkan dari bala bencana” itulah jawaban mereka.
“mengapa harus dalam kelambu?”
Mengapa harus dengan makan? Dan dalam kelambu lagi?” tanyaku lebih lanjut.
“Nah, kalau itu tak tau lah kita”
“Kami hanya tau begitu saja adat dari orang tua dulu ”, jawab mereka singkat.

Begitupun dengan adat-adat yang lain, mereka hanya bisa menjawab bahwa adat itu dilakukan untuk tujuan meminta keselamatan dan memohon dihindarkan dari bala bencana.
Menyangkut pertanyaan, mengapa harus demikian, apa makna dari setiap perlengkapan yang digunakan, mereka tidak dapat memberikan jawaban yang pasti, kecuali untuk alasan keselamatan dan tolak bala.

“Ada kah orang yang mengerti banyak tentang adat ini? Tanyaku penasaran.
“disini ada dukunnya” kecuali dia lah yang lebih tau”, jawab bu Wati.
“itu mak ya, wak Syukur tu kan”
anak bu Wati menimpali memberikan informasi ke saya.
Saya pun meminta informasi mengenai wak syukur, alamat rumah dan kemungkinan untuk menemuinya.

Sejak malam itu, saya berencana untuk bersilaturahmi ke rumah wak Syukur keesokan paginya. Meski ada rada pesimis bisa ketemu, sebab informasi yang saya dengar wak Syukur itu bekerja sebagai petani ladang, yang biasanya subuh-subuh sudah turun dari rumah.

“ya saya harus ketemu wak syukur atau penua di kampong ini besok”
Mudah-mudahan dengan mereka saya dapat banyak pengetahuan yang lebih jauh mengenai adat orang bugis” begitulah niat hati yang saya bawa sampai istirahat tidur malam itu.

***

Allahu akbar Allahu akbar, Asyhadu alla ila ha Illallah
Suara azan subuh berkumandang di masjid membangunkan ku. Aku sadar waktu sudah pagi, waktu shalat subuh sudah masuk. Cuaca malam hari yang agak dingin karena turun hujan, ditambah dengan rasa capek di perjalanan membuat istirahat malam itu cukup pulas. Lantai keramik yang dingin terasa tersentuh ujung kakiku, aku berusaha untuk segera bangun dan menunaikan shalat subuh. Aku duduk sambil mengusap mata, aku belum melihat seorang pun yang terbangun, baik tuan rumah maupun kawan-kawan peserta. Kemudian aku bangun dan keluar mengambil wudhu untuk shalat subuh.
Kondisi cuaca di luar masih sedikit gerimis sehingga aku tidak pergi ke masjid subuh itu.

Tidak berapa lama kemudian barulah bang Zul dan Mahmud bangun, dan shalat subuh juga. Begitupun dengan tuan rumah dan kawan-kawan perempuan yang tidur di kamar dalam.
Selesai shalat subuh, kami duduk-dukuk di ruang tamu. Saya menjamah sedikit kue yang masih terhidang di meja sambil berbincang dengan Mahmud yang memulai membuka laptopnya.
“Mud, pagi ini kita jalan-jalan ya” ajak ku.
“Kemana Pak?”, Tanya Mahmud.
“Kita ke tempat wak Syukur ja`” ajakku.
Begitu hari betul-betul sudah terang pagi itu, dan tampak gerimis juga sedah berhenti, Mahmud mengingatkan ku.
“jadikah Pak kita jalan?, ayolah ke wak Syukur” ajak Mahmud.
“Ayo lah, bang Zuk ikut?” aku mengajak bang Zul yang juga sedang duduk-duduk di ruang tamu tempat kami menginap.
Kami bertiga pun jalan pagi itu.

Perjalan kami sampi di sebuah jembatan persimpangan ke arah parit gadoh, kami berhenti dan ngobrol disitu sembari mengamati situasi pagi itu.
Ada tiga orang anak (usia SD) pun bergabung dengan kami, satu diantaranya pakai sepeda. Saya bertanya kepada mereka dimana rumah wak syukur. Mereka menunjukkan ke saya rumah wak syukur. Dari tempat kami kira-kira sekita 50 meterlah rumah wak syukur, atau rumah ke 4 dari rumah di hadapan kami.
Aku langsung jalan ke situ dengan Mahmud. Disitu aku melihat ada seorang ibu yang keluar. “Ibu, numpang tanya, betulkan ini rumah wak syukur?”
“Betul”. Jawabnya.
“Adakah beliau ibu?” Tanyaku lebih lanjut.
“Wah, beliau sudah pergi ke ladang, ada apa pak?”, tanyanya lebih lanjut.
“Ngak, cuma mau silaturahmi saja rencananya”. Saya pun menjelaskan sedikit tentang kami dan tujuan kunjungannya.

Aku pun pamit, karena tidak ketemu dengan wak Syukur. Disitulah aku bertanya kepada Mahmud tentang siapa orang tua yang lain yang banyak tau dengan adat. Dan Mahmud merekomendasikan kepadaku nama tok Baka. Rumah beliau ada di hilir sana dekat sekolah, jelas Mahmud.

“Bapak mau ke rumah tok Baka?”
Tanya Mahmud yang sebenarnya juga mengajakku ke sana.
“Ayo lah”, jawabku singkat.
Kami pun kembali ke posko untuk mengambil motor, maklum tempatnya agak jauh. Kami mengeluarkan motor untuk rencana pergi ke sana. Belum jauh jalan, kami ketemu dengan Nindwi, Ica dan Erika yang baru selesai wawancara dengan tok Nyetong nampaknya. Mahmud nawarkan,
“ikut ke rumah tok Baka?”.
“Mau, mau. Kami ikutlah”. Jawab mereka.
Nindwi mengambil motornya, kami berlima pergi ke sana.
Kami sampai di sebuah rumah tua,
“itulah rumah tok Baka”, kata Mahmud.
Rumah masih tertutup rapat pintu dan jendelanya. Tiada suara apa –apa dalam rumah itu, saya menduga tidak ada orang di rumah itu. Mahmud naik dan mengucapkan salam. Lagi-lagi tak ada suara menjawab. Mahmud ke pintu dapur, mengucapkan salam sambil mengedur pintu.
“Tak ada kali mud”, kataku.
Mahmud tak putus asa, terus mengucapkan salam dan mengetuk pintu.
Ternyata ada suara di dalam (bagian dapur). Pintu dapur terbuka, di situlah Mahmud menyampaikan maksud untuk silaturahmi, dan kami pun diterima masuk.
Sebelum kami masuk, Mahmud sempat berpesan,
“ngomong harus kuat Pak, beliau sudah kurang mendengar”, Mahmud mengingatkan aku.
Pintu depan terbuka, di dalam rumah saya melihat seorang kakek tua dengan senyumnya yang ramah, raut wajahnya yag sejuk, suaranya yang halus dan lembut manyapa dan menyilakan kami masuk. Beliau begitu terlihat ramah, meski langkah kakinya yang agak lemah, beliau sibuk mengatur kursi tamu. Aku memintanya untuk membiarkan kami saja yang mengambil dan menyusun beberapa kursi tersebut.
“Silakan duduk”, beliau menyilakan kami dengan senyum dan raut wajahnya yang sejuk dipandang.
“Beliau ini tok Baka”, Mahmud mengenalkan kepada ku.
Aku mengacungkan tangan bersalaman, sambil mengenalkan nama.
“Saya Ibrahim tok”.
“kami dari Pontianak” Sapa basa ku singkat.
Semula saya ingin bertanya beberapa hal sambil menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan.
Sebagai peneliti (orang yang belajar), kami ingin kenal lebih jauh dengan tok Baka, termasuk namanya.
“Siapa nama atok?
Nama atok benar siapa?” Tanya Mahmud setengah berteriak.
“Abu bakar, Abu Bakar bin haji Muhammad”, jawabnya.
“Umur berapa? Umur datok berapa?” Tanya Mahmud mengulangi.
“Sembilan puluh, sembilan puluh tahun”, jawabnya.
Di rumah itu, tok Baka ditemani oleh satu orang anak dan menantunya. Kedua-duanya sedang bekerja di ladang pagi itu. Anak sulungnya tinggal di kalimas. Wak acong namanya. Anak sulung itulah yang katanya banyak mewarisi pengetahuan beliau sebagai dukun.
Kendatipun beliau sendiri tidak mau disebut dukun.
“Saya bukan dukun, saya hanya tau dan bantu orang saja.
Saya tidak pernah dibayar untuk bantu orang, melakukan acara adat bantu orang”, katanya.
Kami bertanya banyak hal kepada tok Baka,
“Kapan atok pindah kesini? Tanya kami.
“Saya lahir disini, dulu orang tua saya pindah ke sini setelah pulang dari Mekah. Waktu di Mekah, kata orang tua saya, ada orang kasih tau kalau di sini ada tanah dijual, murah lagi katanya. Makanya dari Mekah (mengerjakan haji) orang tua saya langsung ke sini”. Jelasnya.
“Mengapa ini dinamakan parit banjar tok? Tanya kami lagi.
“Karena orang banjar lah yang pertama kali membuka kampung ini. Tapi sekarang mereka tidak ada lagi di sini, mereka sudah pindah”, jelas tok baka.
Mahmud yang duduk di samping beliau menjadi juru bicara kami untuk bertanya sesuatu.
Bahkan terkadang harus dengan nada sedikit berteriak, Mahmud mewakili kami menyakan banyak hal, termasuk adat masyarakat Bugis.
“Makan dalam kelambu, apa tujuannya tok?” Tanya Mahmud
“Makan dalam kelambu tujuannya supaya kita selamat, kita berdoa untuk keselamatan orang yang melakukan adat itu”. Jelasnya dengan singkat.
Sama seperti yang lainnya, dengan tok Baka pun saya tak mendapat jawaban yang lebih detil mengenai adat istiadat makan dalam kelambu. Karena itu saya menduga bahwa adat makan dalam kelambu –sebagaimana adat yang lainnya- dilakukan murni sekedar ritual belaka. Masyarakat tidak begitu mengerti lagi dengan pesan-pesan tertentu dari adat tersebut. Karena itu wajar jika adat tersebut dan beberapa adat lainnya sudah mulai banyak dilupakan/ditinggalkan oleh masyarakat Bugis dusun Melati.
Beberapa saat kami bersilaturahmi, datang juga rombongan Ifit, Jun dan beberapa orang lainnya. Penuh ruang tamu tok baka, kursi tamu tak cukup.
Tok baka pun langsung turun dan duduk melantai, meskipun kami memintanya tetap duduk di kursi. Dengan itu kami semua menyingkirkan kursi dan jadinya duduk melantai dengan tok Baka.
Sambil mendengarkan cerita tot baka, mata kawan kawan –kawan melihat ke berbagai sudut ruang tamu rumah tok Baka. Kami melihat foto beliau masih muda yang tampak gagah dan berwibawa. Kemudian ada satu foto besar yang saya tak kenal betul orangnya.
“Eh, itu Ismail Mundu, foto Ismail Mundu”, kata jun.
Jun meminta saya menanyakan perihal foto tersebut kepada tok Baka.
Mahmud, yang tampil sebagai juru bicara kami bertanya kepada tok Baka.
“Itu foto siapa tok? Mahmud bertanya sambil menujukkan foto dimaksud.
“Itu Ismail Mundu, Ismail Mundu itu guru saya”, jawab beliau.
“Saya lama belajar dengan Ismail Mundu. Macam-macam lah ilmu agama, tarekat juga lah”, jelas tok Baka kepada kami.
Ifit menyodorkan 2 bungkus kue kepada tok Baka sebagai oleh-oleh dan ucapan terima kasih, ada permen juga nampaknya.
“apa ini? Tak usah lah” tok Baka agak tidak enak nampaknya. Demi menghargai beliau tetap mengucapkan terima kasih.
Banyak hal kami dengarkan informasi dari tok Baka pagi itu, sampai akhirnya kami mohon diri untuk pamit dan pulang.
Sebelum pulang pun mata kawan-kawan masih tertuju kepada satu benda yang digantung di atas pintu rumah beliau (di bagian dalam dan luar).
Di bagian dalam tampak ada selembar kertas ditempel, bertulisan arab yang menyerupai wafak. Kemudian di sebelah luar digantung benda yang terdiri dari bulu dan ijuk.
Jun tak kuasa menahan rasa ingin tahunya dan bertanya,
“Untuk apa benda ni tok?
“itu untuk menangkal pencuri” jawabnya singkat.
Dengan ucapan terima kasih dan rasa suka cita, kami meninggalkan rumah tok Baka karena mendapatkan banyak informasi pagi itu, sebagiannya sibuk dengan dokumentasi di rumah tok Baka.

***
Jam 10 pagi adalah jadwal kepulangan yang telah ditentukan. Meskipun beberapa diantara kami yang sudah pamit pulang lebih awal karena adanya kepentingan tersendiri.
Sebagai ketua rombongan, saya meminta kawan-kawan bersiap untuk pulang, karena sudah hampir jam 10. Saya melihat, sebagian kawan-awan masih bersemangat mengumpulkan data, Nindwi dan Mahmud masih silaturahmi ke rumah warga. Nindwi belum lagi sempat sarapan, padahal jadwalnya sudah mau pulang pagi itu. Begitupun di kelompok 3, Fitriani masih sibuk nak makan kelapa muda.
Banyak memang buah kelapa muda yang sudah diambil dan ditaroh di halaman depan rumah posko mereka. Kalau tak malu dan keburu dah harus pulang, rasanya mau juga menjamah buah kelapa muda itu.

“Ok lah, cepat sikit sarapan, makan kelapa cepat sikit, kita mau pulang, kami tunggu di masjid”.
Aku mengingatkan Fitriani dan Mardian yang nginap di rumah Pak Usman.
Sebagian besar kami sudah kumpul di masjid, tapi beberapa orang belum tampak. Yanti dan Jun lagi wawancara katanya Ambar memberitahu saya. Saya meminta Ambar untuk SMS mereka berdua, kita harus pulang.

Jam 10 lewat barulah kami semua kumpul di masjid.
Sebelum pulang, kawan-kawan mengajak berfoto bersama di depan masjid. Disitulah saya sampaikan beberapa pengumuman kepada kawan-kawan sebelum bubaran pulang. Tepat pukul 10.40 kami bertolak dari masjid dusun Melati dan pulang ke Pontianak dalam keadaan cuaca yang mendung, gelap dan mulai turun hujan.

Meskipun singkat, kunjungan belajar ke Dusun Melati memberikan banyak kisah yang berkesan buat saya, dari sejarah kedekatan STAIN dengan kampung ini 20 – 25 tahun silam, adat istiadat masyarakat yang mulai kehilangan identitas dan daya magisnya, hingga sosok (tok Baka) murid Ismail Mundu yang sepuh, bersahaja, ramah dan sejuk menerima kunjungan silaturahmi kami.

Dengan kesan dan kenangan tersendiri, kami pun beranjak pulang meninggalkan kampung Melati dalam suasana cuaca yang mulai gelap. Belum lagi rombongan kami sempat keluar dari jalan bebatuan bercampur tanah, hujan mulai turun, terpaksa kami harus mengeluarkan mantel hujan. Dan ternyata, perjalanan kami sampai datang ke rumah terus diguyur hujan pada pagi menjelang siang minggu itu. Itulah kisah perjalanan kami dalam kegiatan riset wisata hari itu.

Sabtu, 09 Oktober 2010

ISLAM DAN TRADISI DI NANGA JAJANG

Kajian ke atas Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Sosial Masyarakat

Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Antarabangsa Islam Borneo (KAIB) III, STAIN Pontianak, 4 s/d 5 Oktober 2010

Oleh: Ibrahim MS (Dosen STAIN Pontianak, Direktur Malay Corner)

Abstrak

Islam sesungguhnya membawa nilai-nilai yang luhur dalam menata hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah), satu hubungan yang mengisyaratkan bahwa hanya Allah lah satu-satunya penolong yang patut disembah. Dengan keluhuran nilai inilah Islam mengajarkan tata cara manusia menyembah Tuhannya. Sementara tradisi yang merupakan ritual adat dan kebiasaan suatu masyarakat dalam melakukan sesuatu, juga merupakan satu upaya membangun hubungan dengan sesuatu yang lain di luar diri manusia. Hubungan yang dibangun dalam tradisi cenderung menjadikan kekuatan ghaib sebagai penolong dalam kehidupan manusia. Dengan kondisi demikian, jelas bahwa Islam dan tradisi hadir dalam perilaku masyarakat dengan membawa nilai-nilai tertentu dan jelas berbeda.
Pada masyarakat Melayu Nanga Jajang, Islam sebagai agama dan ritual keagamaan tidak dapat dipisahkan dengan penyelenggaraan ritual tradisi. Bahkan hampir tidak terlihat batasan yang jelas dan tegas antara tradisi dan ritual keagamaan dalam prakteknya, sebagaimana yang berlaku dalam acara gunting rambut, sunatan, barobat kampung dan sebagainya. Dimana dalam satu tradisi sosial, amalan-amalan agama juga dijalankan secara bersamaan seperti membaca al-qur`an dan selawat kepada nabi. Sebaliknya, amalan-amalan keagamaan juga dilakukan dengan memasukan beberapa tradisi tempatan seperti sunnah potong rambut bagi bayi, khitanan dan lain-lain yang dilakukan dengan seperangkat bahan yang dipercayai dalam tradisi sosial. Sebagai suatu amalan dengan membawa nilai-nilai yang berbeda, kenyataannya telah berlaku akomodasi nilai dalam prakteknya pada masyarakat. Inilah yang menjadi kekhasan kajian Islam dan Tradisi di Nanga Jajang dalam tulisan ini.

Kata Kunci: Islam, tradisi, akomodasi nilai.















Pengenalan.

Tulisan ini merupakan suatu kajian pendahuluan terhadap Islam dan Tradisi di Nanga Jajang. Sebagai kajian pendahuluan, tentu saja tulisan ini belum mampu menghadirkan data dan analisis yang konprehensif dan memadai sebagaimana kajian yang mendalam. Namun demikian, penulis berharap kajian sederhana ini dapat memancing semangat untuk melakukan kajian sesungguhnya yang lebih mendalam dan komprehensif, terutama bagi penulis sendiri. Dengan segala keterbatasan data dan kedalaman kajian, makalah ini hanya akan mendiskusi mengenai Islam dan Tradisi di Nanga Jajang dalam konteks ma`asyiral farhdu jum`at, prosesi tepung tawar dan bacaan doa dalam berobat kampung.

Nanga Jajang dalam Konteks Kajian ini
Nanga Jajang, adalah nama sebuah perkampungan kecil setingkat dusun, yang terletak di pedalaman Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Kampung ini berada persis di pesisir Jalan Lintas Selatan menuju Kota Putussibau. Jarak kampung Nanga Jajang dengan Kota Pontianak sekitar 650 KM. Sementara dengan kota Putussibau sekitar 30 KM. Dengan kemudahan transportasi saat ini, tidak lah terlalu sukar untuk berkunjung ke kampung ini, sebab ia berada di lintasan jalan utama yang menghubungi Pontianak dengan Putussibau.
Pemberian nama kampung ini dengan Nanga Jajang tentu saja tidak dapat dilepaskan daripada tradisi dan kebiasaan masyarakat Kapuas Hulu khususnya dan Kalimantan Barat umumnya yang senang menisbahkannya dengan nama sungai atau muara sungai (Ibrahim, Yusriadi & Zaenudin, 2009). Nanga dalam bahasa Melayu setempat bermakna muara atau tempat bermuara sebuah sungai. Jadi Nanga Jajang itu bermakna muara atau tempat bermuaranya sungai Jajang.
Apabila mengamati secara geografis perkampungan ini, jelas bahwa semula kampung Nanga Jajang memang berada di sekitar muara sungai Jajang. Kemudiaan apabila pembangunan Jalan Raya Lintas Selatan bermula tahun 1987 (Ibrahim, Yusriadi & Zaenudin, 2009), pemukiman warga sedikit bergeser dari pesisir sungai dan muara ke tepi jalan raya tersebut. Jika dahulunya perkampungan Nanga Jajang mengikuti bentuk aliran sungai Jajang dan sungai Pengkadan tempat bermuaranya sungai tersebut, maka saat ini pemukiman warga sudah mengikuti jalur Jalan Raya Lintas Selatan. Perubahan pemukiman seperti ini memang lazim berlaku di Kapuas Hulu, terutama pada setiap perkampungan yang dilintasi oleh jalan raya. Bahkan perkampungan lama betul-betul ditinggalkan, kerana masyarakat membangun pemukiman baru di pesisir jalan raya (perkampungan baru).
Nanga Jajang merupakan salah satu kampung Melayu tertua di pedalaman Kapuas Hulu. Karena itu Islam pun tumbuh dan berkembang dengan cukup kuat di perkampungan ini. Sebab itu, umumnya masyarakat yang berdiam di kampung Nanga Jajang adalah Muslim. Mengacu kepada dua aliran besar keagamaan Islam di Indonesia, maka Islam di Nanga Jajang merupakan penganut Islam Ahlussunnah waljama`ah (sunni), atau Nahdlatul Ulama, satu paham keagamaan yang masih sangat kental dengan tradisi. Bahkan paham kegamaan ini juga sering disebut sebagai Islam tradisional (Barthon, 1999). Pada masa itu, boleh dikata bahwa masyarakat Nanga Jajang keseluruhannya adalah Melayu dan Muslim.
Pada tahun 1990 –an program pemerintahan orde baru berupa transmigrasi mulai masuk ke sekitar wilayah tersebut. Sejak itu Nanga Jajang juga mendapat imbasnya dengan datangnya beberapa warga dari suku Jawa dan Sunda, yang kemudiaan bermukim dan menjadi warga kampung Nanga Jajang melalui perkawinan salah satunya. Sejak itu Nanga Jajang menjadi semakin terbuka dengan keragaman masyarakat.
Di tengah realitas sosial dan keagamaan seperti inilah, Nanga Jajang berkembang dalam sejarah sosialnya, baik pada aspek keagamaan, pendidikan, hingga pengaruh sosial dan budaya yang salah satu disebabkan perkembangan pembangunan jalan dan kemudahan global lainnya.

Islam di Nanga Jajang
Sebagaimana telah disinggung seimbas lalu di atas, bahwa Islam dianut oleh masyarakat Mulsim di Nanga Jajang adalah berfahamkan Ahlussunnah Waljama`ah atau Islam Sunni. Paham Islam Sunni itu mengacu pada suatu kepercayaan agama yang menjadikan Sunnah atau kebiasaan-kebiasaan hidup Nabi Saw sebagai dasar hukum dan pedoman hidup beragama, selain ketentuan langsung dari Al-qur`an. Dalam organisasi sosial keagamaan di Indoensia, Islam Sunni ini merupakan semangat keagamaan yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagai penganut Islam Sunni, maka paham Islam Ahlussunnah menjadi ciri keberagamaan masyarakat Muslim di Nanga Jajang. Inilah setidaknya yang mewarnai dalam perilaku keberagamaan masyarakat, termasuk dalam pola berpikir, berperilaku dan beribadah. Dalam berpikir dan berperilaku misalnya, masyarakat Muslim di Nanga Jajang mempercayai bahwa Sunnah (kebiasaan-kebiasaan yang baik yang pernah dilakukan oleh Nabi) menjadi dasar hukum yang kuat dan harus diikuti dalam beragama. Begitupun dalam hal beribadah, cara-cara yang biasa dicontohkan oleh Nabi (sunnah) merupakan pedoman utama dalam menjalankan perintah agama. Karena itu dapat dilihat dari cara masyarakat melakukan ritual perintah agama seperti shalat jum`at yang masih menggunakan ma`asyiral, tahlilan dalam ritual ruwahan, potong rambut yang diiringi dengan syarakalan dan berzanji dan sebagainya.
Beberapa bentuk amalan keagamaan seperti ini menjadi ciri dekatnya hubungan antara agama (perintah syara`) dengan tradisi dalam keberagamaan masyarakat di Nanga Jajang. Bahkan secara umum, karakteristik keagamaan yang demikian menjadi identitas beragama Muslim Sunni (Ahlussunnah), yang di Indonesia selalu dilihat berhadapan dengan ritual beragama Islam modern (Muhammadiyah).
Dengan warna Islam Sunni inilah masyarakat Nanga Jajang menjalankan kewajiban agamanya. Karena itu dengan mudah kita mendapati beberapa rutial keagamaan yang khas ala sunni yang dilakukan oleh masyarakat Nanga Jajang seperti Khutbah Jum`at yang masih menggunakan ma`asyiral, adanya ritual doa tahlilan yang mengiringi kematian, adanya amalan bacaan al-barzanji dan syarakalan yang mengiringi potong rambut anak bayi. Tradisi amaliah seperti ini tentu tidak akan ditemukan pada masyarakat muslim yang berfahamkan Islam modern (Muhammadiyah), meskipun agaknya dalam banyak hal melihat perbedaan faham Islam tradisional dengan Islam modern dari sisi amaliah tersebut tidak begitu tepat lagi digunakan untuk melabelkan suatu masyarakat sebagai muslim sunni atau muhammadiyah. Tetapi paling tidak untuk kasus di Nanga Jajang, ciri keberislaman yang sedemikian (tradisional) masih signifikan untuk memberikan identitas keberagamaan mereka sebagai muslim Sunni (Ahlussunnah). Sebab, cara keber-Islaman yang seperti inilah yang memungkinkan bagi eksisnya tradisi sosial masyarakat dalam perilaku hidup dan beragama di Nanga Jajang.

Tradisi dalam Masyarakat Nanga Jajang
Jika pada bagian di atas kita sudah mendiskusikan mengenai agama dan ritual keagamaan, maka pada bagian ini kita akan mendiskusikan mengenai tradisi sosial pada masyarakat Nanga Jajang. Untuk itu, tentunya kita harus mampu memilah antara ritual kegamaan dengan tradisi, sebab agama berbeda dengan tradisi. Sebaliknya tradisi bukanlah agama itu sendiri.
Sebagai sesuatu yang terpisah dan sememangnya berbeda, tapi pada kenyataannya tidak mudah bagi kita untuk melihat batasan antara ritual tradisi dan ritual agama yang telah dilakukan bertahun-tahun dalam sejarah hidup masyarakat. Namun demikian, kita tidak lantas begitu saja menyama-ratakan antara keduanya. Kita mesti selalu berupaya secara sungguh-sungguh dan sadar untuk melihat mana yang merupakan perintah agama dan mana yang merupakan ritual tradisi dari amalan yang biasa dilakukan dalam masyarakat. Sebab, hanya dengan inilah kita dapat menjamin terpeliharanya nilai-nilai agama dari campur aduk nilai-nilai lainnya.
Membincangkan mengenai tradisi sosial dalam masyarakat Nanga Jajang berarti mendiskusikan mengenai beberapa amaliah sosial yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Dalam konteks kajian ini, tradisi yang dimaksukan adalah ritual-ritual masyarakat yang menyertai pelaksanaan perintah agama seperti khutbah Jum`at, potong rambut, berobat kampung, membangun rumah, berladang, termasuk pantang larang dan sebagainya.
Ibadah jum`at misalnya, Shalat 2 raka`at dan membaca Khutbah sesungguhnya merupakan perintah Allah yang sangat jelas dalam Al-qur`an dan Hadits. Akan tetapi bagaimana cara yang dilakukan oleh masyarakat agama dalam mengiringi perintah tersebut itulah yang saya sebut sebagai tradisi. Satu diantaranya adalah ma`asyiral . Berdasarkan beberapa sumber, termasuk hadits Nabi, ma`asyiral itu semula adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh Nabi saw, berupa pidato pengantar kepada para jama`ah untuk dapat melaksanakan kewajiban jum`at dengan benar dan khusuk. Tidak cukup di situ, khatib pun ketika akan naik ke mimbar juga diberikan sebuah tongkat besi dan satu jubah/kain sal sebagai penanda pemberian amanah untuk berkhutbah. Tradisi tersebut (terutama tongkat) mungkin juga dilakukan oleh Nabi saw dahulunya, dengan makna tertentu. Akan tetapi dengan kondisi sekarang, agaknya praktek-praktek tersebut betul-betul hanya sebatas tradisi yang tidak lagi diketahui maknanya secara jelas. Meskipun pada kenyataannya, tradisi tersebut tetap saja dipelihara oleh masyarakat.
Potong rambut juga merupakan perintah yang tegas oleh Rasulullah Saw melalui hadistnya. Akan tetapi kemestian membaca al-barzanji dan syarakalan untuk menyertai amalan tersebut tentu saja datang belakangan (setelah rasul tiada). Lantas, apakah tradisi tersebut salah dan dilarang agama? Paham Islam Sunni justru memberikan ruang terhadap berkembangnya tradisi ini, sebab ia merupakan pelestraian dari tradisi Nabi Saw. Karena itu lantunan puji-pujian dan selawat kepada Nabi menjadi ciri pokok ritual tradisi yang satu ini.
Begitupun dengan berobat kampung. Islam hanya memerintahkan kepada ummatnya untuk tidak mudah berputus asa terhadap rahmat dan pertolongan Allah, termasuk dalam hal penyakit. Bahkan Al-qur`an memberikan jamiman bahwa penyakit itu adalah bagian ciptaan Allah, dan Allah jugalah yang telah menciptakan obatnya. Karena itu manusia disuruh meminta (berdoa) kepada-Nya. Namun, bagaimana praktek meminta/berdoa tersebut? Disinilah lahirnya kreasi masyarakat yang akhirnya mentradisi dalam berobat kampung.
Di Nanga Jajang, berobat kampung masih menjadi satu pilihan penting dalam masyarakat. Dengan berobat kampung mereka percaya bahwa kesembuhan akan didapatkan, karena itulah tumbuhnya tradisi ini dalam sejarah hidup mereka. Dalam tradisi ini, paling tidak ada dua model yang berlaku di masyarakat; pertama, berobat kampung berupa perantara lantunan doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah untuk kesembuhan si sakit. Pada model ini, biasanya perlengkapan ritualnya sangat sederhana seperti air putih atau sekedar di usap saja pada dahi, perut atau bagian yang sakit. Kedua, berobat kampung berupa perantaraan jampi-jampi atau tawar tertentu yang dipercayai dapat memberikan kesembuhan. Pada bentuk ini ada banyak perlengkapan ritualnya, dari ramuan-ramuan alam hingga benda-benda yang sukar difahami relevansinya secara akal biasa. Tradisi ini juga wujud di Nanga Jajang, meskipun sudah agak berkurang seiring dengan mulai bergesernya keyakinan masyarakat dengan kekuatan supranatural kepada kekuatan medis (dokter dan mantri) .
Tradisi lainnya yang hidup dalam masyarakat muslim di Nanga Jajang juga dapat ditemukan pada saat mereka membangun rumah, membuka ladang bahkan dalam banyak pantang larang masyarakat. Lantas pertanyaannya adalah, adakah tradisi yang mereka praktek itu menyalahi ketentuan agama? Atau adakah nilai-nilai agama melekat dalam tradisi sosial masyarakat? Itulah yang akan dihuraikan lebih lanjut pada bagian berikut.


Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Masyarakat

Berbibaca mengenai nilai-nilai Islam mununtut kita untuk memahami terlebih dahulu dengan beberapa ketentuan dasar Islam sebagai agama, dalam hal ini adalah ketauhidan. Tauhid dalam Islam difahami sebagai peng-Esaan Tuhan dalam segala Zat dan sifat-Nya. Dengan Tauhid ini, Islam menuntut setiap umat menyadari dan mengakui bahwa Allah sebagai satu-satunya tempat asal dan kembalinya manusia. Karena itu kepada Allah sajalah segala sesuatu digantungkan (Iyya ka na`budu wa Iyya ka nasta`in). Allah tempat semua makhluk akan kembali (Inna lillahi wa inna Ilaihi raji`un), Sang Penguasa hari pembalasan (Al Malikul Mulk, Maliki yaumiddin), sebab Allah lah yang memiliki semuanya. Tauhid ini merupakan dasar dari ajaran Islam, karena itu seseorang diakui sebagai beragama Islam apabila sudah mengikrarkan ketuhidannya (dua kalimah syahadah).
Sementara itu, Melayu di Nanga Jajang memiliki sejarah keagamaan seperti umumnya umat Islam di pedalaman Kalimantan, yang oleh King (1993) disebut sebagai orang non Melayu yang kemudian menjadi Melayu karena memeluk Islam. Meskipun tidak diketahui secara jelas kapan proses ini terjadi di Nanga Jajang, namun dapat dipastikan bahwa proses ini memang berlaku pada masyarakat Melayu Nanga Jajang, sebab adanya sejarah penyebaran Islam hingga ke pedalaman Kalimantan Barat. Kita juga tidak bisa memastikan nama kelompok masyarakat Nanga Jajang ini sebelum menjadi Melayu karena memeluk Islam.
Sebagai masyarakat lokal (sebelum masuknya Islam), tentu saja banyak kebiasaan hidup yang diamalkan oleh masyarakat saat itu, dan sebagiannya mungkin masih dipelihara secara turun temurun hingga generasi Melayu saat ini. Masih wujudnya beberapa tradisi lokal pada masyarakat Melayu kemungkinan disebabkan oleh beberapa paktor, antara lain; pertama, Islam yang masuk kemudian membawa nilai-nilai yang akomodatif antara ajaran ke-Islaman dengan tradisi lokal, dengan falsafat ”menerima kebaikan dari sesuatu yang baru, dan memelihara yang baik dari sesuatu yang lama”. Dengan pandangan demikian, maka Islam datang tidak dengan serta merta menghapus semua tradisi (yang baik) dalam masyarakat. Islam datang justru memanfaatkan tradisi (yang baik) itu untuk mempermudah dalam proses dakwah sebagaimana banyak dilakukan oleh Wali Songo yang menggunakan tradisi wayang sebagai metode berdakwah (Azra, 2002).
Kedua, Islam diterima oleh masyarakat Indonesia lebih merupakan satu bentuk Adhesi menurut istilah Nock dimaknai sebagai proses penerimaan Islam sebagai agama dengan tampa meninggalkan kepercayaan dan praktik kebudayaan yang lama (Azra, 2002).
Ketiga, berikutnya Islam datang dengan perlahan-lahan mempengaruhi cara hidup masyarakat menjadi lebih baik (lebih Islami), sebagaimana makna profetik Islam yang menuntut kepatuhan dan komitmen sebagai satu-satunya jalan keselamatan (Azra, 2002). Meskipun kenyataannya, Islam datang tidak dengan begitu saja memberikan larangan dan perintah tertentu, melainkan berdasarkan pemahaman dan kesadaran yang semakin baik (bertahap). Contohnya adalah tradisi magic yang sangat kental dalam masyarakat Melayu Kapuas Hulu (Hermansyah, 2010).
Berikut ini beberapa contoh bacaan dalam ilmu magic yang menampakkan adanya proses Islamisasi atau akomodatif antara nilai-nilai tradisi lokal (sebelumnya) dengan nilai-nilai ajaran Islam (yang datang belakangan).


Contoh: Tawar ular

Urat pusat mamang kunin
Raja mungkar dalam tanah
Menyengkung seperti akar
Berdiri seperti kayu
Mati yang kunin
Idup yang putih
Tabar bisa nait tawar
Berkat doa la ila ha illlallah
Berkat muhammad rasulullah

Sumber: Hermansyah, 2010 : 151.

Tawar Mpisa`

Tikar tujuh bolah
Kasah tujuh lobuh
Popa` antu mpisa`
Mpisa` balang tumuh
Berkat doa la ila ha illallah
Berkat muhammad rasulullah.

Sumber: Hermansyah, 2010: 153.


Tawar asal Tekonak

Bis millahirrahmanirrahim
Cuka apa cuka itu
Cuka ada dalam pasu
Luka apa luka itu
Luka pantap utan semolih antu
Berkat doa la ila ha illallah
Berkat muhammad rasulullah

Sumber: Hermansyah, 2010: 154.


Tawar Sumpit

Bismillah
Pinang tumuh di bukit
Aku menyanar antu menyumpit
Aku punya tawar bismillah pik tawar
Bisa tawr aku tabar mulut antu
Bismillah pik tawar

Sumber: Hermansyah, 2010: 146.


Beberapa contoh di atas menunjukkan adanya akomodatif nilai dari ajaran Islam dengan tradisi lokal masyarakat. Islam tidak dengan begitu saja menghapus magic pada tradisi masyarakat, melainkan memodifikasi dan mempengaruhinya dengan nilai-nilai Islam. Baik dari sekedar menambahkan satu atau dua kata dalam istilah keagamaan Islam seperti Allah & bismillah, maupun dengan bacaan penutup do`a yang lebih sempurna menyebutkan syahadat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Di bawah ini adalah contoh yang lain dari bacaan-bacaan yang masih diamalkan oleh orang Melayu di Nanga Jajang, yang sudah lebih banyak mengakomodir nilai-nilai Islami.

Do`a Pelias bejalan

Allah payung ku
Jibril kota ku
Malaikat empat puluh empat pagar ku
Aku berjalan dengan kuasa Allah
Aku melenggang dengan lenggang Muhammad
Bukan kata ku
Kata Allah
Berkat do`a la ilaha illallah
Berkat Muhammadurrasulullah

Sumber: Ust. Saleh Kamaruddin (Alm)

Selain dalam bentuk penyempurnaan beberapa perkataan dalam do`a dengan nama Allah atau berkat do`a La Ilaha Illallah, Muhammad rasul lullah, akomodasi nilai dalam tradisi masyarakat Melayu Nanga Jajang juga terlihat dalam bentuk pantun syair. Berikut ini adalah sekedar contoh bacaan ketika memberkan do`a topung tawar.

Do`a Topung tawar

topung tawar si topung jati,
topung asal mula menjadi,
amay-amay pucuk mali-mali
limau purut si limau lelang
tegak dengan limau melaka
air surut penyakit ilang
tegak dengan sial celaka
(dibaca ketika menyiram air topung tawar)

Kuu.. semongat rezeki murah
apa dicinta lalu ada
apa diniat lalu didapat
manis muka senang hati
(dibacakan ketika menaburkan beras kuning)

kuu... semongat
korin bosi korin semongat
panyang aik panyang penyawak
tinggi tayak tinggi tuah
baka tanah na tau susur
baka batu na tau pupur
(dibacakan ketika orang yang dido`akan mengecap besi)

Sumber: Uju Unui, Nov. 2009

Disamping dalam bentuk di atas, ternyata masih ditemukan beberapa bentuk tradisi pengobatan (dari sisi lapadz bacaan) yang tidak jelas muatan nilai-nilai ke-Islaman. Dengan kata lain, kemungkinan bentuk tersebut lebih mendekati bentuk sesungguhnya pada tradisi lama dalam sejarah sosial orang Melayu. Berikut adalah contoh tradisi pembacaan do`a yang tidak jelas kaitanya dengan nilai-nilai Islam.


Tawar Perdora`

Mpurung sibang sibu
Ngelayang batang kepuas
Puki inai ikau bebulu
Butuh apang ikau pulas

Sumber: Hermansyah, 2010: 153


Dari contoh-contoh di atas, tampak adanya akomodasi nilai-nilai keislaman dalam tradisi pengobatan di kampung Nanga Jajang, baik dari bentuk yang masih sangat magic hingga yang bernuansa Islami, atau adanya unsur-unusr Islami dalam lapadz do`a yang dibacakan. Kondisi tersebut dapat memberikan pemahaman kepada sebagian orang bahwa Islam dan tradisi sama saja. Sementara pada sebagian yang lain tetap mampu melihat batasan-batasan antara nilai-nilai Islami dan tradisi lokal dalam beberapa bentuk lapadz doa dan pengobatan kampung pada masyarakat Melayu Nanga Jajang.


Penutup

Kajian di atas menunjukkan bahwa masih wujudnya amalan tradisi budaya dalam masyarakat muslim di Nanga Jajang. Bahkan pada sebagiannya, amalan tradisi yang menyertai amalan keagamaan (Ibadah) seakan-akan menjadi suatu yang mesti ada dalam beribadah, ma`asyiral fardhu jum`at adalah salah satu contohnya.
Pada sebagian yang lain, tradisi yang diamalkan oleh masyarakat muslim di Nanga Jajang ternyata sudah dipengaruhi (ada muatan) nilai-nilai Islam, dalam bentuk penambahan kata-kata bismillah, Allah dan berkat do`a La Ila ha Illallah, Muhammadur rasulullah.
Kajian di atas juga membuktikan bahwa Islam masuk dan diterima oleh masyarakat Nanga Jajang dengan sangat akomodatif, memelihara tradisi yang baik sembari terus menambahkan muatan nilai-nilai Islam dalam segenap praktek tradisi yang diamalkan oleh masyarakat Nanga Jajang.
Akhirnya, semoga kajian sederhana ini bermanfaat buat pembaca sekalian, amin.






















Daftar Bacaan

Azyumardi Azra. 2002. Islam Nusantara: Jaringan Global & Lokal. Bandung: Penerbit Mizan.

Barthon, Greg. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Paramadina

Hermansyah. 2010. Ilmu Ghaib di Kalimantan Barat, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

King, Victor T. 1993. The People of Borneo, Oxford, Blackwell Publishers

Ibrahim MS. 2010. Tradisi dan Komunikasi di Nanga Jajang. Dalam Ibrahim MS (ed.) Tradisi dan Komunikasi orang Melayu. Pontianak: STAIN Press
.
Ibrahim, Yusriadi & Zaenudin. 2009. Kearifan Komunikasi Pantang Larang pada Masyarakat Melayu Nanga Jajang. Laporan Penelitian Kompetitif. DIPA STAIN Pontianak.