Oleh: Ibrahim
Pendahuluan
Rabu siang-menjelang sore (20-04-16) saya dihubungi
untuk berpartisipasi menyampaikan makalah dalam forum diskusi ilmiah Dosen
Pascasarjana IAIN Pontianak yang dikenal dengan FGD (focus group discussion). Saat itu saya sedang mengajar di kelas Komunikasi
Penyiaran Islam S.1. Sesuai jadwal, kegiatan dimaksud dilaksanakan selama 3
hari; Jum`at, Sabtu, Minggu (22 s/d 24-04-16, atau 2 hari setelah dihubungi).
Intinya, dalam waktu itu juga saya diminta untuk memberikan judul makalah yang
akan dipresentasikan. Surat undangan sudah kami sampaikan di meja, begitu
kira-kira penguatan yang diberikan oleh salah satu panitia penyelenggara sore
itu.
Dalam komunikasi singkat melalui
telepon, saya hanya bisa meminta waktu lebih kurang 30 menit untuk memberikan jawaban
(konfirmasi) kesediaan dan atau menyampaikan judul makalah ke penyelenggara karena
spanduk sudah mau segera dipesan, jelas panitia penyelenggara. Sementara saya
sendiri harus menyelesaikan perkuliahan yang sedang saya ampu sore itu. Selesai
kuliah, saya putuskan untuk mampir ke sekretariat panitia di Pascasarjana yang
kebetulan tidak jauh dari ruang kelas saya mengajar. Disitu saya coba memahami
maksud dan tujuan dari kegiatan FGD yang dimaksud.
Sebagai komunitas akademis dan seorang
individu dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, satu sisi saya merasakan
bahwa berpartisipasi dalam forum ilmiah seperti ini merupakan suatu keharusan
(peluang) yang tidak boleh saya tolak. Sebab, forum seperti ini sangat penting
dalam mengembangkan kemampuan akademis diri. Pada sisi lain, permintaan
berpartisipasi yang terkesan mendadak (“tak terencana”) menjadi persoalan
tersendiri dalam mempersiapkan diri dan bahan diskusi akademis yang baik dan
layak didiskusikan. Meskipun akhirnya,
dalam waktu yang singkat saya mengambil keputusan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan FGD ini, dengan persiapan diri dan materi seadanya. Yang memberikan
keyakinan diri berikutnya adalah ketika saya masih berikannya kelonggaran waktu
untuk sekedar menyiapkan slide presentasi saja (untuk kepentingan FGD),
sementara makalah penuh diselesaikan setelahnya (menyusul). Alhamdulillah, inilah makalah dimaksud,
intisari dari pikiran dan gagasan yang penulis sampaikan melalui forum diskusi
ilmiah dosen pascasarjana (FGD) tahun 2016, sebuah tulisan yang sangat
sederhana dan jauh dari kata sempurna.
Terkait dengan judul tulisan ini, setidaknya ada tiga hal yang menjadi
pertimbangan penulis ketika membuat dan menyelesaikan makalah ini. Pertama, tema kegiatan yang menyoroti
persoalan kesepakatan kerjasama negara-negara asia yang dikenal dengan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA menjadi diskursus yang cukup menarik dan
hangat dalam kurun waktu yang belum terlalu lama. Banyak orang melihatnya
seakan MEA membawa harapan atau tantangan baru bagi pergulatan sosial ekonomi masyarakat
ASEAN hari ini, termasuk dalam dunia pendidikan Islam sebagaimana yang diangkat
oleh panitia penyelenggara.
Kedua, konteks penyelengaraan kegiatan FGD ini adalah
Pendidikan Agama Islam, yakni “tantangan Pendidikan Islam dalam menghadapi
MEA”. Pertanyaannya, adakah MEA betul-betul membawa realitas sosial, ekonomi,
atau budaya yang baru dan sungguh-sungguh menantang? Dalam konteks pendidikan,
adakah Pendidikan Islam semacam IAIN Pontianak (dalam hal ini Pascasarjana)
juga memiliki peran dan tanggung jawab yang penting (diharapkan) dalam realitas
MEA hari ini (dan kedepannya)? Apapun jawabanya, harapannya melalui berbagai makalah yang
presentasikan di forum FGD ini kita menemukan secercah jawaban dari persoalan
dimaksud.
Ketiga, penulis yang bukanlah ekonom atau politikus yang
berkompeten untuk bicara MEA, atau pakar pendidikan untuk bicara peran dan
tantangan Pendidikan Islam menghadapi MEA. Kecuali S.1 yang penulis selesaikan
di Tarbiyah Pendidikan Agama Islam, basic keilmuan yang penulis geluti hingga
saat ini adalah Ilmu Komunikasi (lebih khusus Komunikasi Antarbudaya).
Dengan segala pertimbangan tersebut
penulis coba menyesuaikan kajian dalam makalah ini, dengan menempatkan MEA
dengan segala realitasnya di satu sisi, dan konteks Pendidikan Islam pada sisi
lain, menjadi satu kesatuan dalam perspektif Ilmu Komunikasi Antarbudaya. Dari
sinilah lahirnya sebuah artikel dengan judul “Mindfulness Antarbudaya: Prasyarat Membangun Komunikasi di Era
Keterbukaan” sebagaimana dalam tulisan ini.
MEA dan Realitas Keterbukaan
MEA dengan semboyannya “satu visi - satu identitas -
satu komunitas” merupakan visi komitmen bersama yang hendak dicapai oleh negara-negara
ASEAN di tahun 2020. Namun berdasarkan hasil KTT ke-12 ASEAN, disepakati
pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dipercepat menjadi tahun 2015 (Nurhadi,
2016).
Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA 2015) yang selama ini kita ketahui adalah tentang pasar
bebas, tetapi sebenarnya MEA bukanlah mengenai AFTA ataupun yang lebih sering
terdengar adalah perdagangan bebas di daerah ASEAN. MEA merupakan program
integrasi kawasan. Apa itu yang dimaksud dengan integrasi kawasan yang
diinginkan dengan dibentuknya MEA? Berawal dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
ASEAN ke-9 di Bali, dimana kepala negara ASEAN mengumumkan pembentukan ASEAN
Community pada tahun 2020 yang terbagi atas 3 pilar, yaitu political-security
community, economic community, socio-cultural community. Pada KTT ke-12
tahun 2007 di Cebu, Filipina, disepakati pencapaian MEA menjadi 2015.
Tujuan dari MEA itu sendiri adalah
dengan adanya (1) single market dan production base yaitu
arus perdagangan bebas untuk barang dan jasa, investasi, pekerja terampil,
serta modal. (2) menuju penciptaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing
tinggi, (3) menuju suatu kawasan pembangunan ekonomi yang merata melalui
pengembangan UKM dan program –program Initiative for ASEAN Integration
(IAI), serta (4) Menuju integrasi penuh pada ekonomi global, yang jangka
waktu realisasinya adalah 1 Januari 2016. (Purnama, 2015)
Singkatnya, MEA membawa kita kedalam
realitas hidup yang lebih terbuka, tampa sekat wilayah budaya, demografi,
bahkan bangsa dan negara. Dengan MEA, demografi negara dan bangsa di kawasan
tidak lagi menjadi penghalang dalam interaksi dan komunikasi masyarakat bangsa.
Berbagai pengaruh sosial, budaya, ekonomi dan politik menjadi satu kesatuan
yang turut menembus batas demografi dan sekat budaya bangsa (social cultural community). Jika
keterbukaan ini menjadi ciri penting di era MEA, maka muncul sebuah pertanyaan;
adakah keterbukaan dan komunikasi lintas budaya dan negara ini baru muncul
setelah bergulirnya era MEA? Atau, jangan-jangan keterbukaan dan komunikasi
lintas budaya dan negara ini sesungguhnya sudah berlangsung lama, jauh sebelum
diberlakukan MEA.
Jika MEA dicirikan dengan keterbukaan
interaksi dan komunikasi masyarakat, maka sesungguhnya realitas ini bukanlah
perkara baru. Persinggungan antar individu yang saling berbeda kebudayaan merupakan
realitas yang sudah berlangsung sejak pertama kali sejarah manusia dimulai. Penciptaan
Adam As setelah sebelumnya Allah SWT menciptakan Iblis dan Malaikat (Q.S. 2: 30[1]),
atau kelahiran anak cucu Adam As (Q.S. 4: 1[2])
dalam hal ini cerita Qabil dan Habil dengan kembarannya, atau bahkan pengutusan
para Nabi dan Rasul untuk meluruskan cara hidup suatu ummat (Q.S. 2: 213[3])
adalah satu contoh dari realitas antarbudaya yang tak terbantahkan.
Dengan kata lain, realitas antarbudaya
yang dipahami sebagai momen dan peristiwa komunikasi antar partisipan yang
berbeda kebudayaan sesungguhnya merupakan keniscayaan (sunnatullah) yang hanya bisa diterima dan sama sekali tidak bisa
ditolak (Haryadi Arief NR dalam Sukmono & Junaedi, 2014: v). Realitas
semacam ini adalah diciptakan Allah Swt untuk maksud yang jelas sebagaimana
dalam firmanNya (Q.S. 5: 48[4]).
Dengan demikian maka realitas sosial masyarakat di era keterbukaan (MEA)
mestinya bukan perkara baru yang terlalu mengkhawatirkan. Akan tetapi sebagai
sarana mengingatkan kita akan realitas antarbudaya yang harus dipahami dengan
baik dan tepat dalam pergaulan masyarakat antar-lintas budaya saat ini, termasuk
dalam dunia Pendidikan Islam.
Pendidikan
yang dipercayai sebagai aspek penting dalam pembangunan sumber daya manusia
(SDM) memiliki peran penting dalam segala aspek pembangunan. Karena itu,
kesadaran akan kualitas SDM menjadi suatu hal yang tak bisa diabaikan dalam
konteks persaingan dan interaksi di era keterbukaan seperti MEA. Berdasarkan
data terbaru, SDM Indonesia masih tergolong rendah. Pasar Tenaga Kerja Indonesia
masih masuk urutan 103 berdasarkan Indeks Global Kompetitif (IGK). Kualitas Sumber
Daya Manusia Indonesia juga masih berada di posisi 121 dari 187 negara yang
dikomparasikan oleh lembaga di bawah PBB (United
Nations Development Programme) (Wahyu, 2014: 3). Dari sisi Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) Indonesia memang tergolong besar (terbesar di Asia Tenggara),
akan tetapi dari sisi perkapitanya kita kalah jauh dari Singapore, Brunei,
Malaysia, dan Thailand (Muslihah, 2015: 298). Kondisi SDM kita yang demikian
patut menjadi perhatian dan kekhawatiran dalam menghadapi persaingan dan interaksi
masyarakat di era keterbukaan dan MEA hari ini.
Pendidikan dan Realitas Antarbudaya
Terkait
dengan persoalan pendidikan dan realitas komunikasi dan interaksi antarbudaya,
setidaknya ada beberapa asumsi penting yang mesti dipahami terkait dengan realitas
masyarakat, pendidikan dan hubungannya dalam konteks komunikasi antar-lintas
budaya di era keterbuakaan ini. Pertama,
mobilitas masyarakat lintas budaya merupakan sebuah keniscayaan yang
berlangsung sejak lama. Perbedaan wilayah demografis (bangsa, negara, agama dan
budaya) tidak lagi menjadi penghalang bagi wujudnya tatanan sosial dan
interaksi manusia lintas budaya. Artinya bahwa, mobilitas masyarakat yang
demikian sudah berlangsung lama sebelum pemimpin negara-negara Asia (ASEAN)
bersepakat dengan pemberlakukan MEA.
Kedua,
peranan pendidikan yang masih sangat penting (urgen dan signifikan)
dalam membangun sumberdaya manusia yang berkualitas, kompeten dan memiliki
kemampuan daya saing dalam percaturan dunia (regional-internasional-global). Bahkan pendidikan dipercayai
sebagai tonggak dalam membangun pribadi – individu manusia yang berkarakter,
humanis, dan rahmatan lil `alamin.
Artinya bahwa, pendidikan (dengan segala aspeknya) patut diperhitungkan dalam
membangun manusia Indonesia yang cakap, terbuka, memiliki daya saing, dan
berkarakter[5].
Ketiga, interaksi
sosial lintas budaya (agama, bangsa dan negara) mesti dipahami sebagai sebuah
kenisyaan yang tidak bisa dihindari (conditio
sain quo non). Karenanya tidak ada pilihan lain kecuali menerima
dan menghadapinya dengan segala kesiapan diri yang baik, yang dengan demikian
kita mampu membangun komunikasi dan interaksi sosial kemanusiaan. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa sejatinya dalam kehidupan sosial di era keterbukaan
dengan beragam budaya yang ada, tidak lagi cocok untuk hidup dalam pepatah
“bagai katak dalam tempurung”. Sebaliknya, setiap kita (manusia lintas budaya)
mesti mampu menyadarkan diri bahwa kita tidak hidup sendiri (dengan warna dan
budaya yang tunggal). Kita hidup bersama dalam sebuah tatanan global (global village dalam istilah Marshal Mc
Luhan), dimana ada banyak agama, budaya, bangsa, dan adat istiadat yang
senantiasa bersinggungan di dalamnya (Sihabudin, 2013: 49).
Singkatnya,
menghadapi realitas sosial lintas budaya (plus era MEA) yang merupakan
keniscayaan hari ini mengharuskan setiap kita mampu memainkan peran yang efektif
antarbudaya. Berangkat dan memiliki identitas budaya diri pada satu sisi, dan pada
sisi lain kita juga perlu menyadari dan memahami ke-beragaman konteks sosial dan
budaya yang dihadapi. Inilah yang ditawarkan oleh teori mindfulness (kesadaran penuh), diaman pentingnya sebuah keniscayaan
sikap dalam memahami perbedaan dalam proses komunikasi dan interaksi
antar-lintas budaya, termasuk dalam aspek pendidikan (Pendidikan Islam) yang
mesti lebih terbuka, sembari menghargai dan memahami keberagaman budaya (inklusi –multikultur).
Peta
Sosial dan Kesadaran Antarbudaya (mindfulness)
Jika
kita harus mencari bukti konkrit, adakah sebuah komunitas atau bangsa, atau
negara yang kenyataannya hidup menyendiri, dalam kelompok sendiri yang seragam,
dan sepenuhnya tertutup dengan kehadiran dan keberadaan kelompok lain yang
berbeda. Maka hampir dapat dipastikan setiap diri, kelompok, komunitas, bangsa
dan negara tidak dapat menghindarkan diri dari kehadiran atau keberadaan orang
lain (yang berbeda). Atau setidaknya semua kita memerlukan keberadaan orang
lain yang berbeda, apapun bentuknya. Bukankah kehadiran orang (pihak) lain yang
berbeda itulah sesungguhnya yang memicu (memotivasi) diri dan pengembangan diri
menjadi lebih baik. Bukankah perbedaan itu yang membuat kita sadar akan siapa
diri kita dan bagaimana semestinya kita bersikap dan membangun diri (Gudykunts,
1988). Kondisi inilah
kiranya yang mesti mampu kita fahami sebagai ruh fastabiqul khairat sebagaimana dalam pesan al-Qur`an surah
Al-Maidah: 48[6].
Di
sisi lain, mobilitas sosial masyarakat dunia hari ini menunjukkan bahwa hampir
tidak lagi ada batasan atau sekat yang betul-betul mampu memunculkan diri yang
ekslusif. Kita hidup dalam kompleksitas sosial, budaya, politik yang beragam. Karena
itu, komunikasi antar-lintasbudaya menjadi semakin penting dan vital
(Sihabuddin, 2013: 6). Selain alasan mobilitas masyarakat dunia yang semakin
meningkat, komunikasi antarbudaya dianggap penting karena beberapa faktor
lainnya, a.l. ketergantungan ekonomi, teknologi komunikasi dan informasi, pola
imigrasi lintas wilayah dan demografi, serta kesejahteraan politik (lihat dalam
Devito, 1997: 475)
Sebaliknya, realitas multikultur
dengan perkembangan mobilitas masyarakat dunia hari ini (termasuk MEA) “memaksa”
kita untuk menjadi individu yang inklusif[7] (mau atau tidak, siap atau tidak siap). Sebab
ada banyak nilai, cara hidup dan sistem sosial lainnya yang menerpa dalam
kehidupan sosial kita. Karena itu, kesadaran antarbudaya menjadi aspek penting
dalam komunikasi dan interaksi sosial kita, apalagi konteks masyarakat
multikultural lintas agama, budaya dan negara. Kemampuan menghargai semua
realitas perbedaan tersebut, sembari terus berupaya memahaminya sebagai sebuah
keniscayaan yang Allah Swt telah ciptakan adalah bagian dari nilai-nilai
penting dalam Pendidikan Islam. Bukankah Allah telah mengingatkan bahwa
perbedaan bahasa dan warna kulit adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran
penciptaan-Nya (lihat Q.S. 30: 22[8]).
Karena itu menurut Fathi Osman (2006: 38-39), tidak ada pilihan lain yang lebih
baik dilakukan selain harus menerima setiap perbedaan tersebut, saling mengenal
agar meratakan jalan bagi suatu pertukaran gagasan dan pengalaman yang bersifat
membangun, saling bekerjasama dalam upaya mengembangkan kemanusiaan dan dunia
dimana kita tinggal bersama.
Sementara
mindfulness adalah sebuah tawaran
konsep dalam membangun komunikasi yang sadar dan penuh pemahaman antarbudaya. Sebuah
pemahaman yang komplit terhadap diri komunikator (to intern) sekaligus terhadap komunikan (to ekstern). Memperhatikan, menghargai dan memahami setiap
perbedaan (budaya hidup) yang disertai dengan penyesuaian diri dalam prilaku
(budaya) dan komunikasi yang dibangun (interaksi sosial) adalah realitas yang
lahir dari kesadaran (mindfulness)
itu. Teori mindfulness antarbudaya
juga mengingatkan setiap diri kita untuk tidak mengabaikan aspek-aspek
kebudayaan yang berbeda dalam membangun komunikasi dan interaksi sosial
antar-lintas budaya. Mindfulness
merupakan konsep lanjutan dari sikap pluralis-multikultur (lihat Fahti Osman,
2006; Rahman, 2007; Ali, 2003) yang terimplementasikan dalam sebuah kesadaran
penuh untuk membangun komunikasi dalam segala perbedaan (antar-lintas budaya).
Pendidikan
di Era Keterbukaan
Pendidikan yang merupakan elemen penting dalam
membangun pribadi manusia, karenanya menjadi bagian tak terpisahkan dalam
diskursus membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Secara tegas
Undang-Undang No 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pribadinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara”.
Mengingat pentingnya peranan pendidikan,
maka penting juga untuk melihat bagaimana proses dan tujuan pendidikan itu
diselenggarakan. Proses pendidikan yang baik dan benar akan memberikan harapan
bagi keluaran (output) pendidikannya
juga baik dan benar. Proses pendidikan yang demokratis dan terbuka akan
melahirkan output pendidikan yang
mampu bersikap terbuka (inklusi-multikultur)
dan demokratis. Sebaliknya, proses pendidikan yang otoroter, tidak menghargai
perbedaan juga akan melahirkan output
pendidikan yang tidak terbuka dan tidak toleran terhadap perbedaan (ekslusif).
Begitupun dengan tujuan pendidikan. Jika
tujuan pendidikannya tepat sasaran dan sesuai dengan karakter yang diinginkan,
maka besar harapan pendidikan akan menghasilkan individu-individu yang handal
dan berkarakter. Sebuah hasil dari proses pendidikan manusia yang diinginkan
dengan istilah pendidikan inklusi-multikultur.
Pendidikan inklusi-multikultur tentu tidak sama dengan pendidikan inklusi
dalam perspektif umumya. Jika pendidikan inklusi lebih bermakna sebagai
pemerataan (keadilan) dalam mendapatkan layanan pendidikan (sebagai hak asasi),
maka pendidikan inklusi-multikultur
lebih dimaksudkan untuk makna proses dan tujuan pendidikan yang lebih terbuka
dan berwawasan antar-lintas budaya. Singkatnya, pendidikan inklusi-multikultur lebih mengedepankan proses dan tujuan
pendidikan yang tidak ekslusif,
terutama dari aspek nilai-nilai yang ditanamkan.
Pendidikan inklusi sendiri adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada umumnya
untuk belajar. Pendidikan inklusi adalah
hak azasi manusia atas pendidikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah
semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang tidak
mendiskriminasikan dengan kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin,
kemampuan dan lain-lain. Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan ini
meliputi tujuan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan inklusi-multikultur menghendaki proses
dan tujuan pendidikan yang tidak hanya melihat satu aspek nilai dalam proses
pendidikannya, melainkan semua aspek yang memungkinkan dengan keragamaan
nilai-nilai sosial (budaya, agama dan bangsa) yang ada. Dalam konteks
Pendidikan Islam, pendidikan inklusi-multikultur
menginginkan proses dan tujuan pendidikan yang mampu melahirkan
individu-individu yang mampu dan mau berfikir terbuka, bersikap well dan menghargai terhadap perbedaan
nilai yang ada sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur`an dan Hadits.
Individu-individu yang tidak anti terhadap perbedaan dan keragaman budaya dan
agama (Q.S. 5: 48)[9]. Individu-individu yang
mampu membangun komunikasi, interaksi dan kerjasama sosial antar-lintas budaya
(Q.S. 49:13)[10]. Individu-individu yang
mampu menyikapi perbedaan sebagai sebuah keniscayaaan yang dianugerahkan (as given – sunnatullah), untuk kemudian bersedia memahaminya (lita`arafu) dalam realitas hubungan
sosial dan komunikasi antarmanusia. Itulah beberapa hal yang diinginkan dengan
konsep pendidikan inklusi-multikultur
dalam Pendidikan Islam.
Dalam istilah yang sedikit berbeda,
pendidikan inklusi-multikultur lebih
dekat persamaan makna dan tujuannya dengan istilah pendidikan
pluralis-multikultural. Menurut Ali (2003: 99-100), pendidikan pluralis-multikultural adalah proses
penyadaran yang berwawasan pluralis
(secara agama) dan sekaligus berwawasan multikultural
(secara budaya). Pendidikan pluralis-multikultural
mesti dilihat sebagai bagian dari usaha komprehenshif menghindari, mencegah dan
menanggulangi konflik atas nama perbedaan agama dan budaya.
Di era keterbukaan saat ini, dimana
masyarakat kita dihadapkan dengan berbagai perbedaan budaya, agama, bahasa, dan
nilai-nilai sosial lainnya, Pendidikan Islam memiliki peran dan tanggung jawab
dalam menciptakan sumber daya manusia yang terbuka dan toleran. Dan ini mesti
dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh. Sebab, menurut Fernando Savater
(dalam Ali, 2003: 100), sikap toleran merupakan sikap warga negara yang aktif,
bukan sikap yang spontan[11].
Karena itu sikap toleran tidak akan tertanam dengan sendirinya tampa ada usaha
sadar untuk menginternalisasikannya. Sikap toleran, pluralis dan multikultural
mesti diajarkan dan dididik, bukan sebatas pengetahuan dan wacana belaka.
Mindfulness Antarbudaya di Era Keterbukaan
Secara bahasa, mindfulness bermakna “kesadaran penuh”
atau “keterlibatan pikiran secara utuh”. Sederhananya, dalam konteks komunikasi,
mindfulness bermakna sebagai
ketepatan pemahaman dalam berkomunikasi. Karena itu, mindfulness seringkali diidentikkan dengan komunikasi yang efektif.
Untuk mewujudkan mindfulness dalam komunikasi
antarbudaya, Raharjo (2004: 109) menuliskan beberapa situasi dan kondisi
komunikasi berikut:
1). Mesti adanya
kompetensi yang tinggi pada individu antarbudaya berupa kemampuan
mengintegrasikan komponen motivasi, pengetahuan, dan kecakapan sehingga bisa
berkomunikasi secara layak dan memuaskan.
2). Lingkungan pemukiman individu antarbudaya juga
tidak boleh tersegregasi (terisolasi) secara sosial, sehingga memberikan
kontribusi bagi terciptanya situasi komunikasi yang baik dan berhasil.
3). Sebaliknya,
penciptaan ruang sosial (social space)
berupa “wilayah” yang memungkinkan mereka bertemu, berkomunikasi, dan saling
mempengaruhi sangat menentukan proses komunikasi yang berhasil (mindful). Situasi inilah yang disebut
oleh Latane dkk (dalam Litlejohn, 2002) sebagai inti dari gagasan Teory Dinamyc Social Impact (DSI).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa mindfulness dalam komunikasi antarbudaya
membawa pada pengertian komunikasi yang baik dan berhasil, baik dalam proses
maupun pemaknaan pesan. Mindfulness
antarbudaya artinya kesadaran penuh akan perbedaan antar partisipan dalam satu
atau keseluruhan hubungan dan interaksi antar-lintas budaya, yang dengan
kesadaran tersebut setiap diri berupaya untuk membangun komunikasi yang baik
dan efektif.
Kesadaran antarbudaya (mindfulness) sangat erat kaitannya
dengan pemahaman bahwa dunia yang berkesatuan atau terbentuknya
kelompok-kelompok dengan ciri khas tertentu hanya bisa terwujud ketika seluruh
partisipan bisa menerima dan mentransfer pesan-pesan secara baik. Artinya,
globalisasi dan hilangnya batas-batas geografis hanya mungkin terbentuk ketika
para partisipan menyadari bahwa hal tersebut terjadi karena adanya keinginan
interaksi antar mereka (Sihabuddin, 2013: 49). Pun demikian dengan MEA, dimana
realitas komunikasi dan ketebukaan interaksi mensyaratkan sebuah kesadaran
pengetahuan dan sikap untuk membangun hubungan antar-lintas budaya yang baik
dan berhasil (mindful).
Dengan demikian, mindfulness tidak lain adalah efek dari sebuah kesepakatan
membangun komunikasi dan interaksi antar partisipan yang saling berbeda
(budaya, agama, negara, dan nilai-nilai sosial lainnya). Tanpa mindfulness, tidak mungkin sebuah
kesepakatan bersama dapat dihasilkan diantara partisipan komunikasi dan interaksi
yang saling berbeda kebudayaan tersebut, termasuk konteks keterbukaan dalam
Masyarakat Ekonomi ASEAN hari ini.
Dunia Pendidikan, lebih khusus
Pendidikan Islam bukan saja mesti mampu menyesuaikan diri, melainkan mampu
merespon secara positif setiap perubahan dan perkembangan yang ada. Dengan
kemampuan adaptif dan responship yang baik ini tentunya ada
harapan besar Pendidikan Islam mampu mengambil peran penting dalam berbagai
peluang dan tantangan yang ada. Diantara aspek yang mesti diambil perhatian
serius dalam Pendidikan Islam adalah lahirnya invididu-individu yang
berkarakter[12] pada satu sisi, dan
memiliki kemampuan komunikasi dan interaksi antar-lintasbudaya pada sisi lain.
Pendidikan Islam di era keterbukaan
meski mengedepankan penanaman nilai-nilai keberagaman dan pluralis dalam
hubungan kemanusiaan. Kebenaran (ajaran) Islam sebagai intisari dan substansi
nilai Pendidikan Islam mesti mampu diterjemahkan sebagai inspirasi yang
mendukung bagi bertumbuh-kembangnya nilai-nilai kebenaran dalam seluruh tatanan
sosial kemanusiaan antar-lintasbudaya. Bukankah ini bagian dari makna terdalam Islam Rahmatan lil `alamin[13] itu?. Dengan
demikian, Pendidikan Islam tidak dikhawatirkan akan melahirkan manusia-manusia
yang “picik” dalam pemikiran, atau “kaku” dalam bertindak. Sebaliknya karakter
Pendidikan Islam di era keterbukaan mesti mampu melahirkan individu yang luas
dalam pemikiran, dinamis dan kreatif dalam bertindak, serta adaptif dan toleran
terhadap keragaman dan perbedaan (antar-lintasbudaya). Menyadari besarnya peran
pendidikan dengan segala prosesnya dalam membangun karakter individu peserta
diri, ada baiknya kita mengambil pelajaran dari nasehat hukum Dorothy Law
Nolte. Menurut teori tersebut, proses pendidikan yang kita berikan akan sangat
menentukan seperti apa output yang
dihasilkan. Berikut teori Dorothy Law Nolte (sebagaimana dikutif dalam dalam
Rachmat, 2001: 102-103)
Children
Learn What They Life
Anak belajar dari kehidupannya
If a child lives with criticism, he
learn to condemn
(jika anak
dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki)
if a child
lives with hostility, he learn ti fight
(jika anak
dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi)
if a child
lives with ridicule, he leran to be shy
(jika anak
dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri)
if a child
lives a shame, he leran to feel quilty
(jika anak
dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri)
if
a child lives with tolerance, he learn to be patient
(jika
anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri)
if
a child lives with encouregement, he learn to be confident
(jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya
diri)
if
a child learn to with praise, he learn to appreciated
(jika
anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai)
if
a child lives with fairness, he learn to justice
(jika
anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan)
if
a child lives with security, he lerans to have faith
(jika
anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan)
if
a child lives with approval, he lerans to likes himself
(jika anak dibesarkan dengan
dukungan, ia belajar menyenangi diri)
if a child lives with acceptance
and friendshif, he learns to find love in the world
(jika
anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan
cinta dalam kehidupan)
Berdasarkan teori tersebut, peran
pendidikan bukan saja dapat kita andalkan dalam membangun sumber daya manusia
yang lebih baik dan lebih siap menatap persainagan hidup di era keterbukaan,
melainkan menjadi introspeksi dan evaluasi diri atas proses pendidikan yang
kita lakukan selama ini, baik dalam konteks formal, informal, atau bahkan non
formal sekalipun. Pendidikan (dalam semua aspek dan konteks) itulah yang
membentuk diri sebagai individu, masyarakat, atau bahkan sebuah bangsa dan
negara hari ini.
Refleksi: sebuah Catatan Akhir
Diskursus tentang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
dengan segala harapan dan tantangannya yang hangat (aktual) hari ini pada
substansinya bukanlah realitas yang benar-benar baru dalam konteks relasi dan
interaksi sosial manusia. Hubungan antar-lintas budaya sesungguhnya sudah
berlangsung lama dalam realitas sosial masyarakat kita. Dalam prakteknya, orang
dari berbagai perbedaan latar belakang sosial dan budaya sudah sering kali
melakukan kontak dan komunikasi. Kerjasama bisnis, ekonomi, pendidikan dan
politik juga sudah berlangsung melintas batas suku, agama, wilayah negara dan
sebagainya. Hanya saja, kehadiran MEA menjadikan hubungan komunikasi dan
interaksi antar-lintas budaya (baca: antar negara) lebih formal dan legal
dengan segala konsekuensi dan jaminannya. Inilah realitas keterbukaan sosial
dan komunikasi hari ini.
Realitas keterbukaan, membawa banyak
konsekuensi dalam interaksi sosial dan komunikasi masyarakat antar-lintas
budaya, diantaranya adalah kemampuan daya saing (competitif of powering). Artinya bahwa, era keterbukaan hanya akan
menjadi “kabar baik” dan “menguntungkan” bagi individu atau masyarakat bangsa
yang memiliki potensi dan kompetensi diri untuk bersaing, dalam hal apapun. Kondisi
ini mengharuskan setiap diri (bangsa) mulai memperhatikan proses apa yang
sudah, sedang dan akan disiapkan untuk memasuki persaingan di era keterbukaan
ini. Dalam konteks ini, pendidikan (baca: Pendidikan Islam) menjadi aspek
penting dan menentukan.
Bagaimana proses pendidikan yang
dijalankan, apa muatan-muatan nilai yang ditanamkan, apa saja tujuan dan
sasarannya, termasuk kualitas sumber daya manusia dalam proses pendidikan Islam
sangat berpengaruh dalam menghasilkan produk (output) nya. Artinya bahwa, persiapan diri menghadapi persaingan di
era keterbukaan (MEA misalnya), adalah mutlak untuk memperhatikan dan
menganalisis peranan dunia pendidikan.
Sederhana saja misalnya, pendidikan yang
tidak memperhatikan dan menghargai perbedaan dalam prosesnya justru akan
melahirkan individu (output) yang
juga tidak toleran (bahkan antipati) terhadap perbedaan. Sebaliknya, pendidikan
yang memberikan ruang bagi perbedaan-perbedaan nilai, menghargai dan memahami
setiap perbedaan yang ada dalam prosesnya, pastinya akan melahirkan individu (output) yang juga toleran dan
demokratis.
Di era keterbukaan, kita dihadapkan pada
realitas sosial antar-lintas budaya, dimana perbedaan menjadi bagian yang tak
terelakkan dalam hubungan dan interaksi sosial. Karena itu, tidak ada pilihan lain
yang dapat diambil kecuali berusaha menghargai dan memahami perbedaan tersebut
melalui proses komunikasi yang baik antar-lintas budaya. Pemahaman yang baik,
yang didasari atas kesadaran perbedaan budaya dalam sebuah realitas komunikasi
dan hubungan sosial inilah yang dikenal dengan mindfulness antarbudaya.
Konsep mindfulness ini mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan itu bukan
saja sebuah kemestian adanya (sunnatullah-conditio
sain quo non), melainkan keharusan untuk dihargai dan dipahami guna membangun
komunikasi dan interaksi dalam hubungan sosial. Di sinilah pendidikan (baca:
Pendidikan Islam) dituntut perannya dalam mendukung terwujudnya SDM yang mampu
bersikap dengan baik dan benar (kesadaran penuh) tentang realitas perbedaan
yang ada. Dengan kata lain, kesadaran penuh akan realitas perbedaan (mindfulness antarbudaya) sesungguhnya
menjadi prasyarat dalam membangun komunikasi dan interaksi yang baik dalam
hubungan sosial di era keterbukaan (terutama MEA) hari ini. Tampa itu semua,
kita akan terus menjadi individu-individu yang tertutup, tidak toleran, seperti
“katak dalam tempurung” yang hanya kenal dengan dunia sendiri, merasa hebat
sendiri, dan tidak pernah mengenal dunia (orang) lain yang berbeda.
Dengan mindfulness antarbudaya, kita mungkin menjalin komunikasi dan
interaksi yang lebih intens dengan
orang (negara) lain, kita bisa belajar dan bekerjasama dalam banyak hal, bahkan
bersaing (berkompetisi) untuk terus memperbaiki diri dan kualitas hidup dan
sosial kita. Sebab, pada kenyataannya perbedaanlah yang mengharuskan kita untuk
berkomunikasi dan saling memahami (lita`arafu
– Q.S. 49: 13). Perbedaan pulalah yang memicu semangat diri untuk bersaing atau
berkompetisi (fastabiqul khairat –
Q.S. 5: 48). Bukankah perbedaan pula yang melahirkan kesepakatan bersama yang
hari ini dikenal dengan MEA. Kalau demikian, maka semakin jelas bahwa mindfulness antarbudaya adalah kemampuan
yang mesti dimiliki (prasyarat) dalam membangun komunikasi di era keterbukaan
saat ini. wallahu a`lam.
Referensi
Ali, Muhammad. 2003: Teologi Pluralis-Mutikultural: Menghargai
Kemajemukan menjalin kebersamaan. Jakarta: Kompas.
Devito, Josep A. 1997. Komunikasi Antara Manusia. Jakarta: Profesional Book.
Effendy, Bahtiar. 2001. Masyarakat
Agama dan Pluralisme Keagamaan. Jogjakarta:
Galang Press.
Fathi Osman, Muhamed. 2006. Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan.
Jakarta: Paramadina.
Gudykunts, William B. 1988. Culture and Interpersonal Communication. SAGE Publication: Witted
State of Amerika.
Madjid, Nurcholis. 2007. Islam dan Pluralisme. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Muslihah, Nur Nisai. 2015. Menyikapi Tantangan, Peluang dan Harapan di Era Masyarakat Ekonomi
Asean Melalui Kajian Terhadap Kurikulum di Indonesia. Artikel yang
dipublikasi online di http://mipastkipllg.com/wp-content/uploads/2015/11/023.-Nur-Nisai-Muslihah.pdf . Akses, 21-04-2016.
Sukmono, Filosa Gita & Junaedi,
Fajar. 2014. Komunikasi Multikultur. Jogjakarta:
Buku Litera.
Tholchah Hasan, Muhammad. 2000. Islam dalam Perspektif Sosio Kultural. Jakarta:
Lantabora Press.
Purnama, Sonta. 2015. Peluang dan Tantangan Pemuda di Era Masyarakata Ekonomi Asean 2015. Artikel
online di https://ideasforaec.wordpress.com/2015/10/18/peluang-dan-tantangan-pemuda-dalam-era-masyarakat-ekonomi-asean-2015/ , Akses 21-04-2016.
Iriantara, Yosal & Syarifudin,
Usep. 2013. Komunikasi Pendidikan. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Nurhadi, Dian Khalisha Dwi. 2016. Tantangan Pengelolaan SDM di Era Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA). Artikel Online di http://www.jtanzilco.com/blog/detail/315/slug/tantangan-pengelolaan-sdm-di-era-masyarakat-ekonomi-asean-mea , akses 21-04-2016.
Sihabuddin, Ahmad. 2013. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Bumi Aksara.
Erdina, Maria Sinta. 2015. Mendukung Implementasi Pendidikan Inklusi di Indonesia. Artikel
Online di http://www.tkplb.org/index.php/11-warta/74-mendukung-implementasi-pendidikan-inklusi-di-indonesia akses, 22-04-2016.
Rachman, Budhy Munawar. 2007. Islam dan Pluralisme Nurchalis Madjid. Jakarta:
Paramadina.
Rachmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung:
Rosdakarya.
Raharjo, Turnomo. 2004. Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis,
dalam Jurnal Thesis. Departemen Ilmu
Komunikasi UI, Vol. III/ No. 2 Mei-Agustus 2014, h. 97-119.
Rusyanti, Hetty. 2015. Pengertian Pendidikan Inklusi. Artikel
online di http://www.kajianteori.com/2015/12/pengertian-pendidikan-inklusi.html, akses 22-04-2016.
Wahyu. 2014. Pendahuluan dalam
Ersis Warmansyah Abbas (Pny.) 2014. Pendidikan
Karakter. Bandung: Niaga Sarana Mandiri & Unlan Press.
[1]
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku
hendak menjadikan khalifah di bumi”.....” (Mushap Sahmalnour: 2013. Al-Qur`an al-Karim. Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur`an
Kementerian Agama, h. 6).
[2]
Artinya: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari
(diri) nya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu
saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan...” (Mushap Sahmalnour:
2013. Al-Qur`an al-Karim. Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur`an Kementerian
Agama, h. 77).
[3]
Artinya: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi
(untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama
mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan diantara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah
orang-orang yang telah diberi (kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai
kepada mereka, karena kedengkian diantara mereka sendiri. Maka dengan
kehendak-Nya Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang
kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang
Dia kehendaki ke jalan yang lurus” (Mushap Sahmalnour: 2013. Al-Qur`an al-Karim. Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur`an
Kementerian Agama, h. 33).
[4]
Artinya:”....untuk setiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah
diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan..” (Asy-Sifa, Al-Qur`an dan Terjemahnya,
Semarang: Raja Publhsing, h. 116)
[5]
Ada banyak definisi para pakar tentang karakter atau pendidikan karakter, salah
satunya adalah dari Dirjen Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI (2010)
yang mengemukakan bahwa karakter (character)
dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat
diidentifikasi pada prilaku individu yang bersifat unik (Wahyu dalam Ersis,
2014). Bahkan menurutnya (dengan mengutif pendapat Lickona (2012), Wahyu
menegaskan setidaknya ada tiga komponen karakter yang baik itu (components of good character), yakni Moral knowing (pengetahuan tentang
moral), moral feeling (perasaan
tentang moral), dan moral action (tindakan
moral). Dari sinilah Megawangi (2004)
menulis 9 karakter yang mesti diinternalisasi melalui proses pendidikan; 1)
Cinta Allah dan Kebenaran;2) Tanggung jawab, disiplin dan mandiri; 3) amanah;
4) hormat dan santun; 5) kasih sayang, peduli, dan kerjasama; 6) percaya diri,
kreatif, dan pantang menyerah; 7) adil dan berjiwa kepemimpinan; 8) baik dan
rendah hati; toleran dan cinta damai (Wahyu dalam Ersis, 2014: 8-10).
[6]
Lihat Footnote no (4)
[7]
Inklusif pada makna asasnya adalah
keterbukaan, tidak tertutup atau menutup diri. Selanjutnya istilah ini
berkembang sesuai dengan konteks penggunaannya. Dalam dunia pendidikan dikenal
pendidikan inklusi (tanpa f) yang
bermakna sebagai proses pendidikan yang adil dan setara, yang tidak membedakan
peserta didik karena perbedaan kemampuan fisik atau psikologi, perbedaan latar
belakang budaya, sosial dan semacamnya. Karenanya, pendidikan inklusi dalam dunia pendidikan lebih
identik (makna umumnya digunakan) untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus
(lihat misalnya Ernina, 2015; Rusyanti, 2015). Dalam studi agama, dikenal
istilah sikap keber-agamaan yang inklusi (dengan
f). Inklusi dalam konteks ini bermakna
sebagai sikap beragama yang bersedia memberikan ruang dan peluang bagi
kehadiran agama (dengan kebenarannya) yang lain selain agama (dengan
kebenarannya) yang kita yakini. Artinya bahwa, “kebenaran” agama dalam
pandangan sikap keberagamaan yang inklusif itu tidaklah tunggal, absolut,
satu-satunya, melainkan bisa lebih dari satu. Sikap ini berlaku ketika
kebenaran satu agama dihadapkan dengan kebenaran pada agama yang lain (dalam
hubungan antar agama). Sebaliknya adalah sikap keber-agamaan yang ekslusi adalah kebalikannya, lebih
khusus dalam konteks internal
(kedalam agama sendiri). Kajian lanjut sila dilihat dalam Madjid (2007);
Effendy (2001), Fathi Osman (2006). Dalam konteks kajian ini, Inklusi dimaknai sebagai sikap yang
terbuka dan tidak menutup diri terhadap segala perbedaan yang ada, untuk
kemudian dengan sikap ini mampu dan mau membangun komunikasi yang baik dan efektif
antar-lintas budaya.
[8]
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan
bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda bagi orang yang mengetahui” (Mushaf Sahmalnour.
2013. Al-Qur`anul Karim. Jakarta:
Lajnah Pentashih Al-Qur`an Kementerian Agama. H. 406)
[9]
Lihat Footnote No (4).
[10]
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah islah orang yang
paling bertakwa. Sungguh Allah maha Mengetahui, maha teliti” (Asy-Sifa, Al-Qur`an dan Terjemahnya,
Semarang: Raja Publhsing, h. 517)
[11]
Dalam pernyataan aslinya disebutkan; la
tolerance ast une position civique active, et non pas une attitude spontanee
(Fernando Savatar dalam Ali, 2003: 100)
[12]
Lihat penjelasan footnote no (5)
tentang pendidikan karakter.
[13]
Tentang konsep Islam Rahmatan Lil`alamin,
menarik dilihat kajian Tolchah Hasan (2000) dalam bukunya Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, yang diterbitkan oleh
Penerbit Lantabora Press, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar