Selasa, 25 Oktober 2016

MINDFULNESS ANTARBUDAYA: PRASYARAT MEMBANGUN KOMUNIKASI DI ERA KETERBUKAAN



Oleh: Ibrahim

Pendahuluan
Rabu siang-menjelang sore (20-04-16) saya dihubungi untuk berpartisipasi menyampaikan makalah dalam forum diskusi ilmiah Dosen Pascasarjana IAIN Pontianak yang dikenal dengan FGD (focus group discussion). Saat itu saya sedang mengajar di kelas Komunikasi Penyiaran Islam S.1. Sesuai jadwal, kegiatan dimaksud dilaksanakan selama 3 hari; Jum`at, Sabtu, Minggu (22 s/d 24-04-16, atau 2 hari setelah dihubungi). Intinya, dalam waktu itu juga saya diminta untuk memberikan judul makalah yang akan dipresentasikan. Surat undangan sudah kami sampaikan di meja, begitu kira-kira penguatan yang diberikan oleh salah satu panitia penyelenggara sore itu.
Dalam komunikasi singkat melalui telepon, saya hanya bisa meminta waktu lebih kurang 30 menit untuk memberikan jawaban (konfirmasi) kesediaan dan atau menyampaikan judul makalah ke penyelenggara karena spanduk sudah mau segera dipesan, jelas panitia penyelenggara. Sementara saya sendiri harus menyelesaikan perkuliahan yang sedang saya ampu sore itu. Selesai kuliah, saya putuskan untuk mampir ke sekretariat panitia di Pascasarjana yang kebetulan tidak jauh dari ruang kelas saya mengajar. Disitu saya coba memahami maksud dan tujuan dari kegiatan FGD yang dimaksud.
Sebagai komunitas akademis dan seorang individu dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, satu sisi saya merasakan bahwa berpartisipasi dalam forum ilmiah seperti ini merupakan suatu keharusan (peluang) yang tidak boleh saya tolak. Sebab, forum seperti ini sangat penting dalam mengembangkan kemampuan akademis diri. Pada sisi lain, permintaan berpartisipasi yang terkesan mendadak (“tak terencana”) menjadi persoalan tersendiri dalam mempersiapkan diri dan bahan diskusi akademis yang baik dan layak didiskusikan.  Meskipun akhirnya, dalam waktu yang singkat saya mengambil keputusan untuk berpartisipasi dalam kegiatan FGD ini, dengan persiapan diri dan materi seadanya. Yang memberikan keyakinan diri berikutnya adalah ketika saya masih berikannya kelonggaran waktu untuk sekedar menyiapkan slide presentasi saja (untuk kepentingan FGD), sementara makalah penuh diselesaikan setelahnya (menyusul). Alhamdulillah, inilah makalah dimaksud, intisari dari pikiran dan gagasan yang penulis sampaikan melalui forum diskusi ilmiah dosen pascasarjana (FGD) tahun 2016, sebuah tulisan yang sangat sederhana dan jauh dari kata sempurna. 
Terkait dengan judul tulisan ini, setidaknya ada tiga hal yang menjadi pertimbangan penulis ketika membuat dan menyelesaikan makalah ini. Pertama, tema kegiatan yang menyoroti persoalan kesepakatan kerjasama negara-negara asia yang dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA menjadi diskursus yang cukup menarik dan hangat dalam kurun waktu yang belum terlalu lama. Banyak orang melihatnya seakan MEA membawa harapan atau tantangan baru bagi pergulatan sosial ekonomi masyarakat ASEAN hari ini, termasuk dalam dunia pendidikan Islam sebagaimana yang diangkat oleh panitia penyelenggara.
Kedua, konteks penyelengaraan kegiatan FGD ini adalah Pendidikan Agama Islam, yakni “tantangan Pendidikan Islam dalam menghadapi MEA”. Pertanyaannya, adakah MEA betul-betul membawa realitas sosial, ekonomi, atau budaya yang baru dan sungguh-sungguh menantang? Dalam konteks pendidikan, adakah Pendidikan Islam semacam IAIN Pontianak (dalam hal ini Pascasarjana) juga memiliki peran dan tanggung jawab yang penting (diharapkan) dalam realitas MEA hari ini (dan kedepannya)? Apapun jawabanya, harapannya melalui berbagai makalah yang presentasikan di forum FGD ini kita menemukan secercah jawaban dari persoalan dimaksud.
Ketiga, penulis yang bukanlah ekonom atau politikus yang berkompeten untuk bicara MEA, atau pakar pendidikan untuk bicara peran dan tantangan Pendidikan Islam menghadapi MEA. Kecuali S.1 yang penulis selesaikan di Tarbiyah Pendidikan Agama Islam, basic keilmuan yang penulis geluti hingga saat ini adalah Ilmu Komunikasi (lebih khusus Komunikasi Antarbudaya).
Dengan segala pertimbangan tersebut penulis coba menyesuaikan kajian dalam makalah ini, dengan menempatkan MEA dengan segala realitasnya di satu sisi, dan konteks Pendidikan Islam pada sisi lain, menjadi satu kesatuan dalam perspektif Ilmu Komunikasi Antarbudaya. Dari sinilah lahirnya sebuah artikel dengan judul “Mindfulness Antarbudaya: Prasyarat Membangun Komunikasi di Era Keterbukaan” sebagaimana dalam tulisan ini.



MEA dan Realitas Keterbukaan
MEA dengan semboyannya “satu visi - satu identitas - satu komunitas” merupakan visi komitmen bersama yang hendak dicapai oleh negara-negara ASEAN di tahun 2020. Namun berdasarkan hasil KTT ke-12 ASEAN, disepakati pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dipercepat menjadi tahun 2015 (Nurhadi, 2016).
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA 2015) yang selama ini kita ketahui adalah tentang pasar bebas, tetapi sebenarnya MEA bukanlah mengenai AFTA ataupun yang lebih sering terdengar adalah perdagangan bebas di daerah ASEAN. MEA merupakan program integrasi kawasan. Apa itu yang dimaksud dengan integrasi kawasan yang diinginkan dengan dibentuknya MEA? Berawal dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-9 di Bali, dimana kepala negara ASEAN mengumumkan pembentukan ASEAN Community pada tahun 2020 yang terbagi atas 3 pilar, yaitu political-security community, economic community, socio-cultural community. Pada KTT ke-12 tahun 2007 di Cebu, Filipina, disepakati pencapaian MEA menjadi 2015.
Tujuan dari MEA itu sendiri adalah dengan adanya (1) single market dan production base yaitu arus perdagangan bebas untuk barang dan jasa, investasi, pekerja terampil, serta modal. (2) menuju penciptaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi, (3) menuju suatu kawasan pembangunan ekonomi yang merata melalui pengembangan UKM dan program –program Initiative for ASEAN Integration (IAI), serta (4) Menuju integrasi penuh pada ekonomi global, yang jangka waktu realisasinya adalah 1 Januari 2016. (Purnama, 2015)
Singkatnya, MEA membawa kita kedalam realitas hidup yang lebih terbuka, tampa sekat wilayah budaya, demografi, bahkan bangsa dan negara. Dengan MEA, demografi negara dan bangsa di kawasan tidak lagi menjadi penghalang dalam interaksi dan komunikasi masyarakat bangsa. Berbagai pengaruh sosial, budaya, ekonomi dan politik menjadi satu kesatuan yang turut menembus batas demografi dan sekat budaya bangsa (social cultural community). Jika keterbukaan ini menjadi ciri penting di era MEA, maka muncul sebuah pertanyaan; adakah keterbukaan dan komunikasi lintas budaya dan negara ini baru muncul setelah bergulirnya era MEA? Atau, jangan-jangan keterbukaan dan komunikasi lintas budaya dan negara ini sesungguhnya sudah berlangsung lama, jauh sebelum diberlakukan MEA.    
Jika MEA dicirikan dengan keterbukaan interaksi dan komunikasi masyarakat, maka sesungguhnya realitas ini bukanlah perkara baru. Persinggungan antar individu yang saling berbeda kebudayaan merupakan realitas yang sudah berlangsung sejak pertama kali sejarah manusia dimulai. Penciptaan Adam As setelah sebelumnya Allah SWT menciptakan Iblis dan Malaikat (Q.S. 2: 30[1]), atau kelahiran anak cucu Adam As (Q.S. 4: 1[2]) dalam hal ini cerita Qabil dan Habil dengan kembarannya, atau bahkan pengutusan para Nabi dan Rasul untuk meluruskan cara hidup suatu ummat (Q.S. 2: 213[3]) adalah satu contoh dari realitas antarbudaya yang tak terbantahkan.
Dengan kata lain, realitas antarbudaya yang dipahami sebagai momen dan peristiwa komunikasi antar partisipan yang berbeda kebudayaan sesungguhnya merupakan keniscayaan (sunnatullah) yang hanya bisa diterima dan sama sekali tidak bisa ditolak (Haryadi Arief NR dalam Sukmono & Junaedi, 2014: v). Realitas semacam ini adalah diciptakan Allah Swt untuk maksud yang jelas sebagaimana dalam firmanNya (Q.S. 5: 48[4]). Dengan demikian maka realitas sosial masyarakat di era keterbukaan (MEA) mestinya bukan perkara baru yang terlalu mengkhawatirkan. Akan tetapi sebagai sarana mengingatkan kita akan realitas antarbudaya yang harus dipahami dengan baik dan tepat dalam pergaulan masyarakat antar-lintas budaya saat ini, termasuk dalam dunia Pendidikan Islam.
Pendidikan yang dipercayai sebagai aspek penting dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) memiliki peran penting dalam segala aspek pembangunan. Karena itu, kesadaran akan kualitas SDM menjadi suatu hal yang tak bisa diabaikan dalam konteks persaingan dan interaksi di era keterbukaan seperti MEA. Berdasarkan data terbaru, SDM Indonesia masih tergolong rendah. Pasar Tenaga Kerja Indonesia masih masuk urutan 103 berdasarkan Indeks Global Kompetitif (IGK). Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia juga masih berada di posisi 121 dari 187 negara yang dikomparasikan oleh lembaga di bawah PBB (United Nations Development Programme) (Wahyu, 2014: 3). Dari sisi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia memang tergolong besar (terbesar di Asia Tenggara), akan tetapi dari sisi perkapitanya kita kalah jauh dari Singapore, Brunei, Malaysia, dan Thailand (Muslihah, 2015: 298). Kondisi SDM kita yang demikian patut menjadi perhatian dan kekhawatiran dalam menghadapi persaingan dan interaksi masyarakat di era keterbukaan dan MEA hari ini.

Pendidikan dan Realitas Antarbudaya
Terkait dengan persoalan pendidikan dan realitas komunikasi dan interaksi antarbudaya, setidaknya ada beberapa asumsi penting yang mesti dipahami terkait dengan realitas masyarakat, pendidikan dan hubungannya dalam konteks komunikasi antar-lintas budaya di era keterbuakaan ini. Pertama, mobilitas masyarakat lintas budaya merupakan sebuah keniscayaan yang berlangsung sejak lama. Perbedaan wilayah demografis (bangsa, negara, agama dan budaya) tidak lagi menjadi penghalang bagi wujudnya tatanan sosial dan interaksi manusia lintas budaya. Artinya bahwa, mobilitas masyarakat yang demikian sudah berlangsung lama sebelum pemimpin negara-negara Asia (ASEAN) bersepakat dengan pemberlakukan MEA.
Kedua, peranan pendidikan yang masih sangat penting (urgen dan signifikan) dalam membangun sumberdaya manusia yang berkualitas, kompeten dan memiliki kemampuan daya saing dalam percaturan dunia (regional-internasional-global). Bahkan pendidikan dipercayai sebagai tonggak dalam membangun pribadi – individu manusia yang berkarakter, humanis, dan rahmatan lil `alamin. Artinya bahwa, pendidikan (dengan segala aspeknya) patut diperhitungkan dalam membangun manusia Indonesia yang cakap, terbuka, memiliki daya saing, dan berkarakter[5].
Ketiga, interaksi sosial lintas budaya (agama, bangsa dan negara) mesti dipahami sebagai sebuah kenisyaan yang tidak bisa dihindari (conditio sain quo non). Karenanya tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan menghadapinya dengan segala kesiapan diri yang baik, yang dengan demikian kita mampu membangun komunikasi dan interaksi sosial kemanusiaan. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sejatinya dalam kehidupan sosial di era keterbukaan dengan beragam budaya yang ada, tidak lagi cocok untuk hidup dalam pepatah “bagai katak dalam tempurung”. Sebaliknya, setiap kita (manusia lintas budaya) mesti mampu menyadarkan diri bahwa kita tidak hidup sendiri (dengan warna dan budaya yang tunggal). Kita hidup bersama dalam sebuah tatanan global (global village dalam istilah Marshal Mc Luhan), dimana ada banyak agama, budaya, bangsa, dan adat istiadat yang senantiasa bersinggungan di dalamnya (Sihabudin, 2013: 49).
Singkatnya, menghadapi realitas sosial lintas budaya (plus era MEA) yang merupakan keniscayaan hari ini mengharuskan setiap kita mampu memainkan peran yang efektif antarbudaya. Berangkat dan memiliki identitas budaya diri pada satu sisi, dan pada sisi lain kita juga perlu menyadari dan memahami ke-beragaman konteks sosial dan budaya yang dihadapi. Inilah yang ditawarkan oleh teori mindfulness (kesadaran penuh), diaman pentingnya sebuah keniscayaan sikap dalam memahami perbedaan dalam proses komunikasi dan interaksi antar-lintas budaya, termasuk dalam aspek pendidikan (Pendidikan Islam) yang mesti lebih terbuka, sembari menghargai dan memahami keberagaman budaya (inklusi –multikultur).

Peta Sosial dan Kesadaran Antarbudaya (mindfulness)
Jika kita harus mencari bukti konkrit, adakah sebuah komunitas atau bangsa, atau negara yang kenyataannya hidup menyendiri, dalam kelompok sendiri yang seragam, dan sepenuhnya tertutup dengan kehadiran dan keberadaan kelompok lain yang berbeda. Maka hampir dapat dipastikan setiap diri, kelompok, komunitas, bangsa dan negara tidak dapat menghindarkan diri dari kehadiran atau keberadaan orang lain (yang berbeda). Atau setidaknya semua kita memerlukan keberadaan orang lain yang berbeda, apapun bentuknya. Bukankah kehadiran orang (pihak) lain yang berbeda itulah sesungguhnya yang memicu (memotivasi) diri dan pengembangan diri menjadi lebih baik. Bukankah perbedaan itu yang membuat kita sadar akan siapa diri kita dan bagaimana semestinya kita bersikap dan membangun diri (Gudykunts, 1988). Kondisi inilah kiranya yang mesti mampu kita fahami sebagai ruh fastabiqul khairat sebagaimana dalam pesan al-Qur`an surah Al-Maidah: 48[6].
Di sisi lain, mobilitas sosial masyarakat dunia hari ini menunjukkan bahwa hampir tidak lagi ada batasan atau sekat yang betul-betul mampu memunculkan diri yang ekslusif. Kita hidup dalam kompleksitas sosial, budaya, politik yang beragam. Karena itu, komunikasi antar-lintasbudaya menjadi semakin penting dan vital (Sihabuddin, 2013: 6). Selain alasan mobilitas masyarakat dunia yang semakin meningkat, komunikasi antarbudaya dianggap penting karena beberapa faktor lainnya, a.l. ketergantungan ekonomi, teknologi komunikasi dan informasi, pola imigrasi lintas wilayah dan demografi, serta kesejahteraan politik (lihat dalam Devito, 1997: 475)  
Sebaliknya, realitas multikultur dengan perkembangan mobilitas masyarakat dunia hari ini (termasuk MEA) “memaksa” kita untuk menjadi individu yang inklusif[7]  (mau atau tidak, siap atau tidak siap). Sebab ada banyak nilai, cara hidup dan sistem sosial lainnya yang menerpa dalam kehidupan sosial kita. Karena itu, kesadaran antarbudaya menjadi aspek penting dalam komunikasi dan interaksi sosial kita, apalagi konteks masyarakat multikultural lintas agama, budaya dan negara. Kemampuan menghargai semua realitas perbedaan tersebut, sembari terus berupaya memahaminya sebagai sebuah keniscayaan yang Allah Swt telah ciptakan adalah bagian dari nilai-nilai penting dalam Pendidikan Islam. Bukankah Allah telah mengingatkan bahwa perbedaan bahasa dan warna kulit adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran penciptaan-Nya (lihat Q.S. 30: 22[8]). Karena itu menurut Fathi Osman (2006: 38-39), tidak ada pilihan lain yang lebih baik dilakukan selain harus menerima setiap perbedaan tersebut, saling mengenal agar meratakan jalan bagi suatu pertukaran gagasan dan pengalaman yang bersifat membangun, saling bekerjasama dalam upaya mengembangkan kemanusiaan dan dunia dimana kita tinggal bersama.
Sementara mindfulness adalah sebuah tawaran konsep dalam membangun komunikasi yang sadar dan penuh pemahaman antarbudaya. Sebuah pemahaman yang komplit terhadap diri komunikator (to intern) sekaligus terhadap komunikan (to ekstern). Memperhatikan, menghargai dan memahami setiap perbedaan (budaya hidup) yang disertai dengan penyesuaian diri dalam prilaku (budaya) dan komunikasi yang dibangun (interaksi sosial) adalah realitas yang lahir dari kesadaran (mindfulness) itu. Teori mindfulness antarbudaya juga mengingatkan setiap diri kita untuk tidak mengabaikan aspek-aspek kebudayaan yang berbeda dalam membangun komunikasi dan interaksi sosial antar-lintas budaya. Mindfulness merupakan konsep lanjutan dari sikap pluralis-multikultur (lihat Fahti Osman, 2006; Rahman, 2007; Ali, 2003) yang terimplementasikan dalam sebuah kesadaran penuh untuk membangun komunikasi dalam segala perbedaan (antar-lintas budaya).

Pendidikan di Era Keterbukaan
Pendidikan yang merupakan elemen penting dalam membangun pribadi manusia, karenanya menjadi bagian tak terpisahkan dalam diskursus membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Secara tegas Undang-Undang No 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Mengingat pentingnya peranan pendidikan, maka penting juga untuk melihat bagaimana proses dan tujuan pendidikan itu diselenggarakan. Proses pendidikan yang baik dan benar akan memberikan harapan bagi keluaran (output) pendidikannya juga baik dan benar. Proses pendidikan yang demokratis dan terbuka akan melahirkan output pendidikan yang mampu bersikap terbuka (inklusi-multikultur) dan demokratis. Sebaliknya, proses pendidikan yang otoroter, tidak menghargai perbedaan juga akan melahirkan output pendidikan yang tidak terbuka dan tidak toleran terhadap perbedaan (ekslusif).
Begitupun dengan tujuan pendidikan. Jika tujuan pendidikannya tepat sasaran dan sesuai dengan karakter yang diinginkan, maka besar harapan pendidikan akan menghasilkan individu-individu yang handal dan berkarakter. Sebuah hasil dari proses pendidikan manusia yang diinginkan dengan istilah pendidikan inklusi-multikultur.
Pendidikan inklusi-multikultur tentu tidak sama dengan pendidikan inklusi dalam perspektif umumya. Jika pendidikan inklusi lebih bermakna sebagai pemerataan (keadilan) dalam mendapatkan layanan pendidikan (sebagai hak asasi), maka pendidikan inklusi-multikultur lebih dimaksudkan untuk makna proses dan tujuan pendidikan yang lebih terbuka dan berwawasan antar-lintas budaya. Singkatnya, pendidikan inklusi-multikultur lebih mengedepankan proses dan tujuan pendidikan yang tidak ekslusif, terutama dari aspek nilai-nilai yang ditanamkan. 
Pendidikan inklusi sendiri adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada umumnya untuk belajar.  Pendidikan inklusi adalah hak azasi manusia atas pendidikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang tidak mendiskriminasikan dengan kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain. Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan ini meliputi tujuan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan inklusi-multikultur menghendaki proses dan tujuan pendidikan yang tidak hanya melihat satu aspek nilai dalam proses pendidikannya, melainkan semua aspek yang memungkinkan dengan keragamaan nilai-nilai sosial (budaya, agama dan bangsa) yang ada. Dalam konteks Pendidikan Islam, pendidikan inklusi-multikultur menginginkan proses dan tujuan pendidikan yang mampu melahirkan individu-individu yang mampu dan mau berfikir terbuka, bersikap well dan menghargai terhadap perbedaan nilai yang ada sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur`an dan Hadits. Individu-individu yang tidak anti terhadap perbedaan dan keragaman budaya dan agama (Q.S. 5: 48)[9]. Individu-individu yang mampu membangun komunikasi, interaksi dan kerjasama sosial antar-lintas budaya (Q.S. 49:13)[10]. Individu-individu yang mampu menyikapi perbedaan sebagai sebuah keniscayaaan yang dianugerahkan (as givensunnatullah), untuk kemudian bersedia memahaminya (lita`arafu) dalam realitas hubungan sosial dan komunikasi antarmanusia. Itulah beberapa hal yang diinginkan dengan konsep pendidikan inklusi-multikultur dalam Pendidikan Islam.
Dalam istilah yang sedikit berbeda, pendidikan inklusi-multikultur lebih dekat persamaan makna dan tujuannya dengan istilah pendidikan pluralis-multikultural. Menurut Ali (2003: 99-100), pendidikan pluralis-multikultural adalah proses penyadaran yang berwawasan pluralis (secara agama) dan sekaligus berwawasan multikultural (secara budaya). Pendidikan pluralis-multikultural mesti dilihat sebagai bagian dari usaha komprehenshif menghindari, mencegah dan menanggulangi konflik atas nama perbedaan agama dan budaya.
Di era keterbukaan saat ini, dimana masyarakat kita dihadapkan dengan berbagai perbedaan budaya, agama, bahasa, dan nilai-nilai sosial lainnya, Pendidikan Islam memiliki peran dan tanggung jawab dalam menciptakan sumber daya manusia yang terbuka dan toleran. Dan ini mesti dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh. Sebab, menurut Fernando Savater (dalam Ali, 2003: 100), sikap toleran merupakan sikap warga negara yang aktif, bukan sikap yang spontan[11]. Karena itu sikap toleran tidak akan tertanam dengan sendirinya tampa ada usaha sadar untuk menginternalisasikannya. Sikap toleran, pluralis dan multikultural mesti diajarkan dan dididik, bukan sebatas pengetahuan dan wacana belaka.

Mindfulness Antarbudaya di Era Keterbukaan
Secara bahasa, mindfulness bermakna “kesadaran penuh” atau “keterlibatan pikiran secara utuh”. Sederhananya, dalam konteks komunikasi, mindfulness bermakna sebagai ketepatan pemahaman dalam berkomunikasi. Karena itu, mindfulness seringkali diidentikkan dengan komunikasi yang efektif. Untuk mewujudkan mindfulness dalam komunikasi antarbudaya, Raharjo (2004: 109) menuliskan beberapa situasi dan kondisi komunikasi berikut:
1). Mesti adanya kompetensi yang tinggi pada individu antarbudaya berupa kemampuan mengintegrasikan komponen motivasi, pengetahuan, dan kecakapan sehingga bisa berkomunikasi secara layak dan memuaskan.
2).  Lingkungan pemukiman individu antarbudaya juga tidak boleh tersegregasi (terisolasi) secara sosial, sehingga memberikan kontribusi bagi terciptanya situasi komunikasi yang baik dan berhasil.
3). Sebaliknya, penciptaan ruang sosial (social space) berupa “wilayah” yang memungkinkan mereka bertemu, berkomunikasi, dan saling mempengaruhi sangat menentukan proses komunikasi yang berhasil (mindful). Situasi inilah yang disebut oleh Latane dkk (dalam Litlejohn, 2002) sebagai inti dari gagasan Teory Dinamyc Social Impact (DSI).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa mindfulness dalam komunikasi antarbudaya membawa pada pengertian komunikasi yang baik dan berhasil, baik dalam proses maupun pemaknaan pesan. Mindfulness antarbudaya artinya kesadaran penuh akan perbedaan antar partisipan dalam satu atau keseluruhan hubungan dan interaksi antar-lintas budaya, yang dengan kesadaran tersebut setiap diri berupaya untuk membangun komunikasi yang baik dan efektif.
Kesadaran antarbudaya (mindfulness) sangat erat kaitannya dengan pemahaman bahwa dunia yang berkesatuan atau terbentuknya kelompok-kelompok dengan ciri khas tertentu hanya bisa terwujud ketika seluruh partisipan bisa menerima dan mentransfer pesan-pesan secara baik. Artinya, globalisasi dan hilangnya batas-batas geografis hanya mungkin terbentuk ketika para partisipan menyadari bahwa hal tersebut terjadi karena adanya keinginan interaksi antar mereka (Sihabuddin, 2013: 49). Pun demikian dengan MEA, dimana realitas komunikasi dan ketebukaan interaksi mensyaratkan sebuah kesadaran pengetahuan dan sikap untuk membangun hubungan antar-lintas budaya yang baik dan berhasil (mindful).
Dengan demikian, mindfulness tidak lain adalah efek dari sebuah kesepakatan membangun komunikasi dan interaksi antar partisipan yang saling berbeda (budaya, agama, negara, dan nilai-nilai sosial lainnya). Tanpa mindfulness, tidak mungkin sebuah kesepakatan bersama dapat dihasilkan diantara partisipan komunikasi dan interaksi yang saling berbeda kebudayaan tersebut, termasuk konteks keterbukaan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN hari ini.
Dunia Pendidikan, lebih khusus Pendidikan Islam bukan saja mesti mampu menyesuaikan diri, melainkan mampu merespon secara positif setiap perubahan dan perkembangan yang ada. Dengan kemampuan adaptif dan responship yang baik ini tentunya ada harapan besar Pendidikan Islam mampu mengambil peran penting dalam berbagai peluang dan tantangan yang ada. Diantara aspek yang mesti diambil perhatian serius dalam Pendidikan Islam adalah lahirnya invididu-individu yang berkarakter[12] pada satu sisi, dan memiliki kemampuan komunikasi dan interaksi antar-lintasbudaya pada sisi lain.
Pendidikan Islam di era keterbukaan meski mengedepankan penanaman nilai-nilai keberagaman dan pluralis dalam hubungan kemanusiaan. Kebenaran (ajaran) Islam sebagai intisari dan substansi nilai Pendidikan Islam mesti mampu diterjemahkan sebagai inspirasi yang mendukung bagi bertumbuh-kembangnya nilai-nilai kebenaran dalam seluruh tatanan sosial kemanusiaan antar-lintasbudaya. Bukankah ini bagian dari makna terdalam Islam Rahmatan lil `alamin[13] itu?. Dengan demikian, Pendidikan Islam tidak dikhawatirkan akan melahirkan manusia-manusia yang “picik” dalam pemikiran, atau “kaku” dalam bertindak. Sebaliknya karakter Pendidikan Islam di era keterbukaan mesti mampu melahirkan individu yang luas dalam pemikiran, dinamis dan kreatif dalam bertindak, serta adaptif dan toleran terhadap keragaman dan perbedaan (antar-lintasbudaya). Menyadari besarnya peran pendidikan dengan segala prosesnya dalam membangun karakter individu peserta diri, ada baiknya kita mengambil pelajaran dari nasehat hukum Dorothy Law Nolte. Menurut teori tersebut, proses pendidikan yang kita berikan akan sangat menentukan seperti apa output yang dihasilkan. Berikut teori Dorothy Law Nolte (sebagaimana dikutif dalam dalam Rachmat, 2001: 102-103)
Children Learn What They Life
Anak belajar dari kehidupannya
If a child lives with criticism, he learn to condemn
(jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki)

if a child lives with hostility, he learn ti fight
(jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi)

if a child lives with ridicule, he leran to be shy
(jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri)

if a child lives a shame, he leran to feel quilty
(jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri)

if a child lives with tolerance, he learn to be patient
(jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri)

if a child lives with encouregement, he learn to be confident
(jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri)

if a child learn to with praise, he learn to appreciated
(jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai)

if a child lives with fairness, he learn to justice
(jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan)

if a child lives with security, he lerans to have faith
(jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan)

if a child lives with approval, he lerans to likes himself
(jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri)

if a child lives with acceptance and friendshif, he learns to find love in the world
(jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan)

Berdasarkan teori tersebut, peran pendidikan bukan saja dapat kita andalkan dalam membangun sumber daya manusia yang lebih baik dan lebih siap menatap persainagan hidup di era keterbukaan, melainkan menjadi introspeksi dan evaluasi diri atas proses pendidikan yang kita lakukan selama ini, baik dalam konteks formal, informal, atau bahkan non formal sekalipun. Pendidikan (dalam semua aspek dan konteks) itulah yang membentuk diri sebagai individu, masyarakat, atau bahkan sebuah bangsa dan negara hari ini.

Refleksi: sebuah Catatan Akhir
Diskursus tentang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dengan segala harapan dan tantangannya yang hangat (aktual) hari ini pada substansinya bukanlah realitas yang benar-benar baru dalam konteks relasi dan interaksi sosial manusia. Hubungan antar-lintas budaya sesungguhnya sudah berlangsung lama dalam realitas sosial masyarakat kita. Dalam prakteknya, orang dari berbagai perbedaan latar belakang sosial dan budaya sudah sering kali melakukan kontak dan komunikasi. Kerjasama bisnis, ekonomi, pendidikan dan politik juga sudah berlangsung melintas batas suku, agama, wilayah negara dan sebagainya. Hanya saja, kehadiran MEA menjadikan hubungan komunikasi dan interaksi antar-lintas budaya (baca: antar negara) lebih formal dan legal dengan segala konsekuensi dan jaminannya. Inilah realitas keterbukaan sosial dan komunikasi hari ini.
Realitas keterbukaan, membawa banyak konsekuensi dalam interaksi sosial dan komunikasi masyarakat antar-lintas budaya, diantaranya adalah kemampuan daya saing (competitif of powering). Artinya bahwa, era keterbukaan hanya akan menjadi “kabar baik” dan “menguntungkan” bagi individu atau masyarakat bangsa yang memiliki potensi dan kompetensi diri untuk bersaing, dalam hal apapun. Kondisi ini mengharuskan setiap diri (bangsa) mulai memperhatikan proses apa yang sudah, sedang dan akan disiapkan untuk memasuki persaingan di era keterbukaan ini. Dalam konteks ini, pendidikan (baca: Pendidikan Islam) menjadi aspek penting dan menentukan.
Bagaimana proses pendidikan yang dijalankan, apa muatan-muatan nilai yang ditanamkan, apa saja tujuan dan sasarannya, termasuk kualitas sumber daya manusia dalam proses pendidikan Islam sangat berpengaruh dalam menghasilkan produk (output) nya. Artinya bahwa, persiapan diri menghadapi persaingan di era keterbukaan (MEA misalnya), adalah mutlak untuk memperhatikan dan menganalisis peranan dunia pendidikan.
Sederhana saja misalnya, pendidikan yang tidak memperhatikan dan menghargai perbedaan dalam prosesnya justru akan melahirkan individu (output) yang juga tidak toleran (bahkan antipati) terhadap perbedaan. Sebaliknya, pendidikan yang memberikan ruang bagi perbedaan-perbedaan nilai, menghargai dan memahami setiap perbedaan yang ada dalam prosesnya, pastinya akan melahirkan individu (output) yang juga toleran dan demokratis.
Di era keterbukaan, kita dihadapkan pada realitas sosial antar-lintas budaya, dimana perbedaan menjadi bagian yang tak terelakkan dalam hubungan dan interaksi sosial. Karena itu, tidak ada pilihan lain yang dapat diambil kecuali berusaha menghargai dan memahami perbedaan tersebut melalui proses komunikasi yang baik antar-lintas budaya. Pemahaman yang baik, yang didasari atas kesadaran perbedaan budaya dalam sebuah realitas komunikasi dan hubungan sosial inilah yang dikenal dengan mindfulness antarbudaya.
Konsep mindfulness ini mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan itu bukan saja sebuah kemestian adanya (sunnatullah-conditio sain quo non), melainkan keharusan untuk dihargai dan dipahami guna membangun komunikasi dan interaksi dalam hubungan sosial. Di sinilah pendidikan (baca: Pendidikan Islam) dituntut perannya dalam mendukung terwujudnya SDM yang mampu bersikap dengan baik dan benar (kesadaran penuh) tentang realitas perbedaan yang ada. Dengan kata lain, kesadaran penuh akan realitas perbedaan (mindfulness antarbudaya) sesungguhnya menjadi prasyarat dalam membangun komunikasi dan interaksi yang baik dalam hubungan sosial di era keterbukaan (terutama MEA) hari ini. Tampa itu semua, kita akan terus menjadi individu-individu yang tertutup, tidak toleran, seperti “katak dalam tempurung” yang hanya kenal dengan dunia sendiri, merasa hebat sendiri, dan tidak pernah mengenal dunia (orang) lain yang berbeda.
Dengan mindfulness antarbudaya, kita mungkin menjalin komunikasi dan interaksi yang lebih intens dengan orang (negara) lain, kita bisa belajar dan bekerjasama dalam banyak hal, bahkan bersaing (berkompetisi) untuk terus memperbaiki diri dan kualitas hidup dan sosial kita. Sebab, pada kenyataannya perbedaanlah yang mengharuskan kita untuk berkomunikasi dan saling memahami (lita`arafu – Q.S. 49: 13). Perbedaan pulalah yang memicu semangat diri untuk bersaing atau berkompetisi (fastabiqul khairat – Q.S. 5: 48). Bukankah perbedaan pula yang melahirkan kesepakatan bersama yang hari ini dikenal dengan MEA. Kalau demikian, maka semakin jelas bahwa mindfulness antarbudaya adalah kemampuan yang mesti dimiliki (prasyarat) dalam membangun komunikasi di era keterbukaan saat ini. wallahu a`lam.    
    
Referensi
Ali, Muhammad. 2003: Teologi Pluralis-Mutikultural: Menghargai Kemajemukan menjalin kebersamaan. Jakarta: Kompas.
Devito, Josep A. 1997. Komunikasi Antara Manusia. Jakarta: Profesional Book.
Effendy, Bahtiar. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Jogjakarta: Galang Press.
Fathi Osman, Muhamed. 2006. Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan. Jakarta: Paramadina.
Gudykunts, William B. 1988. Culture and Interpersonal Communication. SAGE Publication: Witted State of Amerika.
Madjid, Nurcholis. 2007. Islam dan Pluralisme. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Muslihah, Nur Nisai. 2015. Menyikapi Tantangan, Peluang dan Harapan di Era Masyarakat Ekonomi Asean Melalui Kajian Terhadap Kurikulum di Indonesia. Artikel yang dipublikasi online di http://mipastkipllg.com/wp-content/uploads/2015/11/023.-Nur-Nisai-Muslihah.pdf . Akses, 21-04-2016.
Sukmono, Filosa Gita & Junaedi, Fajar. 2014. Komunikasi Multikultur. Jogjakarta: Buku Litera.
Tholchah Hasan, Muhammad. 2000. Islam dalam Perspektif Sosio Kultural. Jakarta: Lantabora Press.
Purnama, Sonta. 2015. Peluang dan Tantangan Pemuda di Era Masyarakata Ekonomi Asean 2015. Artikel online di https://ideasforaec.wordpress.com/2015/10/18/peluang-dan-tantangan-pemuda-dalam-era-masyarakat-ekonomi-asean-2015/ , Akses 21-04-2016.
Iriantara, Yosal & Syarifudin, Usep. 2013. Komunikasi Pendidikan. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Nurhadi, Dian Khalisha Dwi. 2016. Tantangan Pengelolaan SDM di Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Artikel Online di http://www.jtanzilco.com/blog/detail/315/slug/tantangan-pengelolaan-sdm-di-era-masyarakat-ekonomi-asean-mea , akses 21-04-2016.
Sihabuddin, Ahmad. 2013. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Bumi Aksara.
Erdina, Maria Sinta. 2015. Mendukung Implementasi Pendidikan Inklusi di Indonesia. Artikel Online di http://www.tkplb.org/index.php/11-warta/74-mendukung-implementasi-pendidikan-inklusi-di-indonesia akses, 22-04-2016.
Rachman, Budhy Munawar. 2007. Islam dan Pluralisme Nurchalis Madjid. Jakarta: Paramadina.
Rachmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.
Raharjo, Turnomo. 2004. Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis, dalam Jurnal Thesis. Departemen Ilmu Komunikasi UI, Vol. III/ No. 2 Mei-Agustus 2014, h. 97-119.
Rusyanti, Hetty. 2015. Pengertian Pendidikan Inklusi. Artikel online di http://www.kajianteori.com/2015/12/pengertian-pendidikan-inklusi.html, akses 22-04-2016.
Wahyu. 2014. Pendahuluan dalam Ersis Warmansyah Abbas (Pny.) 2014. Pendidikan Karakter. Bandung: Niaga Sarana Mandiri & Unlan Press.


[1] Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”.....” (Mushap Sahmalnour: 2013. Al-Qur`an al-Karim.  Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur`an Kementerian Agama, h. 6).

[2] Artinya: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri) nya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan...” (Mushap Sahmalnour: 2013. Al-Qur`an al-Karim.  Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur`an Kementerian Agama, h. 77).

[3] Artinya: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian diantara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus” (Mushap Sahmalnour: 2013. Al-Qur`an al-Karim.  Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur`an Kementerian Agama, h. 33).

[4] Artinya:”....untuk setiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan..” (Asy-Sifa, Al-Qur`an dan Terjemahnya, Semarang: Raja Publhsing, h. 116)
[5] Ada banyak definisi para pakar tentang karakter atau pendidikan karakter, salah satunya adalah dari Dirjen Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI (2010) yang mengemukakan bahwa karakter (character) dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat diidentifikasi pada prilaku individu yang bersifat unik (Wahyu dalam Ersis, 2014). Bahkan menurutnya (dengan mengutif pendapat Lickona (2012), Wahyu menegaskan setidaknya ada tiga komponen karakter yang baik itu (components of good character), yakni Moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (tindakan moral).  Dari sinilah Megawangi (2004) menulis 9 karakter yang mesti diinternalisasi melalui proses pendidikan; 1) Cinta Allah dan Kebenaran;2) Tanggung jawab, disiplin dan mandiri; 3) amanah; 4) hormat dan santun; 5) kasih sayang, peduli, dan kerjasama; 6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah; 7) adil dan berjiwa kepemimpinan; 8) baik dan rendah hati; toleran dan cinta damai (Wahyu dalam Ersis, 2014: 8-10).
[6] Lihat Footnote no (4)

[7] Inklusif pada makna asasnya adalah keterbukaan, tidak tertutup atau menutup diri. Selanjutnya istilah ini berkembang sesuai dengan konteks penggunaannya. Dalam dunia pendidikan dikenal pendidikan inklusi (tanpa f) yang bermakna sebagai proses pendidikan yang adil dan setara, yang tidak membedakan peserta didik karena perbedaan kemampuan fisik atau psikologi, perbedaan latar belakang budaya, sosial dan semacamnya. Karenanya, pendidikan inklusi dalam dunia pendidikan lebih identik (makna umumnya digunakan) untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus (lihat misalnya Ernina, 2015; Rusyanti, 2015). Dalam studi agama, dikenal istilah sikap keber-agamaan yang inklusi (dengan f). Inklusi dalam konteks ini bermakna sebagai sikap beragama yang bersedia memberikan ruang dan peluang bagi kehadiran agama (dengan kebenarannya) yang lain selain agama (dengan kebenarannya) yang kita yakini. Artinya bahwa, “kebenaran” agama dalam pandangan sikap keberagamaan yang inklusif itu tidaklah tunggal, absolut, satu-satunya, melainkan bisa lebih dari satu. Sikap ini berlaku ketika kebenaran satu agama dihadapkan dengan kebenaran pada agama yang lain (dalam hubungan antar agama). Sebaliknya adalah sikap keber-agamaan yang ekslusi adalah kebalikannya, lebih khusus dalam konteks internal (kedalam agama sendiri). Kajian lanjut sila dilihat dalam Madjid (2007); Effendy (2001), Fathi Osman (2006). Dalam konteks kajian ini, Inklusi dimaknai sebagai sikap yang terbuka dan tidak menutup diri terhadap segala perbedaan yang ada, untuk kemudian dengan sikap ini mampu dan mau membangun komunikasi yang baik dan efektif antar-lintas budaya.   

[8] Artinya: “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang yang mengetahui” (Mushaf Sahmalnour. 2013. Al-Qur`anul Karim. Jakarta: Lajnah Pentashih Al-Qur`an Kementerian Agama. H. 406)
[9] Lihat Footnote No (4).

[10] Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu  di sisi Allah islah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah maha Mengetahui, maha teliti”  (Asy-Sifa, Al-Qur`an dan Terjemahnya, Semarang: Raja Publhsing, h. 517)

[11] Dalam pernyataan aslinya disebutkan; la tolerance ast une position civique active, et non pas une attitude spontanee (Fernando Savatar dalam Ali, 2003: 100)
[12] Lihat penjelasan footnote no (5) tentang pendidikan karakter.

[13] Tentang konsep Islam Rahmatan Lil`alamin, menarik dilihat kajian Tolchah Hasan (2000) dalam bukunya Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, yang diterbitkan oleh Penerbit Lantabora Press, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar