Senin, 11 November 2013

DUSUN BESAR DALAM POTRET AKADEMIK



Satu catatan perjalanan dalam Program Kampung Research IAIN Pontianak tahun 2013
di Dusun Besar, Pulau Maya, Kayong Utara.

Oleh: Ibrahim MS

Kamis, 17 Oktober adalah jadwal keberangkatan peserta program Kampung Riset 2013. Untuk program ini, kami memilih daerah Pulau Maya dan Kepulauan Karimata sebagai lokasi pelaksanaannya. Dimana kedua kawasan ini merupakan wilayah administratif Kabupaten Kayong Utara.
Pulau Maya dan Kepulauan Karimata yang sebelumnya lebih dikenal dengan Kepulauan Maya Karimata sesungguhnya bukanlah nama yang asing bagi saya. Saya sudah sering mendengar nama ini. Meskipun saya sendiri baru beberapa tahun mengenal nama kawasan ini. Tahun 2008 dan 2009 misalnya, saya mempunyai program monitoring dan suvervising terhadap pembangunan dan penyelenggaraan sekolah bantuan dari AIBEP (Australia – Indonesia Basic Education Program), dimana wilayah Kepulauan Maya Karimata hingga ke Pulau Betok adalah salah satu kawasan yang juga dikunjungi oleh tim saya di lapangan.
Sejak itu, saya mendapat bayangan bahwa kawasan ini sangat jauh berada di pedalaman kepulauan. Dimana untuk sampai kesana memerlukan perhitungan yang baik mengenai cuaca dan arah angin. Jika tidak, maka tidak mudah bagi siapapun untuk dapat sampai ke sana. Bahkan tim lapangan yang membantu saya untuk mendatangi sekolah AIBEP di kawasan Pulau Maya Karimata dan Betok ketika itu, harus menyewa secara khusus alat transportasi kesana, dan tentunya dengan biaya yang juga besar. Singkatnya, Pulau Maya dalam banyangan saya ketika itu adalah kawasan yang jauh di sana dan sulit dijangkau.
***
Awal tahun 2013, saya mendapatkan kabar jika usulan program Kampung Riset telah disetujui dalam anggraan DIPA STAIN Pontianak tahun 2013, dimana alokasinya ada di P3M (PPK Ketua 1 istilahnya). Saya merasa bangga, meskipun semula usulan tersebut adalah dari Malay Corner. Karena tahun sebelumnya Malay Corner pernah mengajukan program tersebut melalui Puket 1. Tapi, tak mengapalah, yang penting program ini terrealisasi. Saya juga faham, bahwa P3M lah yang paling memungkinkan untuk menaungi program ini secara resmi administratif dibanding Malay Corner yang masih berstatus lembaga non struktural.
Awal april 2013, saya bersama Zaenudin diminta oleh Kepala P3M untuk mengelola kegiatan Kampong Riset ini. Kamipun mulai merencanakan beberapa alternatif lokasi untuk pelaksanaan program ini, satu diantaranya adalah daerah Pulau Maya Kayong Utara, daerah yang lebih diidentikkan dengan daerah asalnya pak Rustam, puket 1 yang merupakan pemegang kuasa anggara kegiatan ini.
Pertengahan Juli 2013 kamipun memulai kegiatan survey lokasi. Kami beserta panitia inti melalukan perjalan survey ke Pulau Maya, sekaligus safari ramadhan. Karena kebetulan bertepatan dengan awal ramadhan 1434 H. Kami memilih Desa Dusun Besar dan Desa Pelapis sebagai alternatif utama pelaksanaan program Kampung Riset 2013. Alhamdulillah, meski harus berjibaku dengan derasnya ombak angin selatan, kami berhasil mendatangi kedua kawasan ini, dan memperoleh data awal untuk pelaksanaan program Kampung Riset 2013. Dari hasil survey inilah kami panitia menetapkan 5 lokasi penempatan mahasiswa dalam program Kampung Riset ini, yakni 2 kelompok di Dusun Besar Kecamatan Pulau Maya, dan 3 kelompok di Pulau Pelapis Kecamatan Kepulauan Maya Karimata. Dari informasi survey ini juga kami mendapatkan masukan dari masyarakat setempat mengenai waktu yang tepat untuk datang membawa rombongan, terutama pertimbangan gelombang laut (musim angin dan musim teduh)
***
Jum`at pagi tanggal 18 Oktober kami sampai di Dusun Besar, salah satu lokasi perkampungan yang dipilih untuk program Kampung Riset ini. Saya sendiri sebagai panitia yang bertanggung jawab untuk lokasi di Dusun Besar. Dimana ada 2 kelompok yang ditempatkan di lokasi ini, yakni kelompok 1 dan 2. Masing-masing kelompok terdiri dari 6 orang mahasiswa, 2 orang dosen pembimbing dan 2 orang panitia.
Tepat pukul 10.45 pagi kapal yang membawa rombongan kami merapat di dermaga Dusun Besar. Kami kelompok 1 dan 2 yang ditempatkan di desa inipun bersiap untuk turun dengan berbagai perlengkapan dan perbekalan yang telah disiapkan.
Sebagai panitia, dan telah melakukan survey di desa itu, saya segera melakukan koordinasi dan komunikasi mengenai tempat penginapan (posko) rombongan, sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya dengan tokoh masyarakat di desa ini. Benar sekali, begitu kapal merapat, saya turun ke dermaga, disana sudah menunggu pak Malik. Tokoh masyarakat yang banyak membantu kami dalam kunjungan lapangan, sejak survey. Beliaulah yang memilih posko penginapan dan menghubungi pemiliknya untuk dijadikan sebagai tempat penginapan rombongan.
Sementara itu, “kampung tengah” sudah terasa gelisah, maklum jadwal makan siang sudah tiba. Jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 11.15 Wib. Dari kejauhan (di masjid) suara ngaji sudah mulai terdengar, yang menandakan beberapa saat lagi waktu shalat jum`at akan tiba. Jarak dermaga dengan rumah tempat kami menginap juga cukup jauh, bahkan harus melewati masjid yang segera akan melakukan ibadah shalat jum`at siang itu.
Sebagai panitia yang harus bertanggung jawab dengan rombongan, saya putuskan untuk menunda shalat jum`at, sebab urusan kampung tengah para peserta sudah mendesak untuk segera dipenuhi.
Tak mengapalah, kan masih musafir.
Allah telah memberikan keringanan (rukhsah) untuk para musafir.

Begitulah yang terlintas dalam pikiran sederhana saya sambil bergegas menuju ke arah warung makan yang kebetulan searah dengan posko penginapan kami. Dengan kondisi badan yang sedikit kelimpungan karena pengaruh gelombang di kapal, kami semua membawa jinjingan masing-masing. Beberapa diantaranya, terutama perbekalan yang berat-berat diangkut pak malik menggunakan sepeda motornya.
Pukul 11.30 kami sudah stanby di rumah makan. Sebagian dari kami langsung memesan air minum karena memang sudah sangat lapar dan haus. Bahkan Jul (salah seorang peserta kelompok 2) terpaksa harus membantu tukang warung untuk melayani kawan-kawan dan membuatkan minuman. Di tempat ini kami tidak lagi memikirkan shalat jum`at yang sedang berlangsung di masjid. Kami hanya menunggu dengan sabar tukang warung menyiapkan hidangan makan siang buat kami. Beberapa diantara kami langsung menyantapnya dengan lahap. Dan, yang lainnya..?
Maaf, bapak ibu, nasi habis, tunggu ya..
kita masakkan dulu nasinya, tak lama kok.
Begitulah ibu tukang warung memberitahukan kami sambil menyiapkan segalanya dengan sigap. Kami terdiam. Perasaan kami sedikit kecewa. Tapi kami tidak punya pilihan lain, kecuali pasrah dan menunggu.
Inilah satu-satunya warung makan di Desa Dusun Besar. saya bisa memaklumi jika persedian masakan di warung itu memang sudah habis. Maklum baru diborong untuk 30 orang peserta rombongan yang segera akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Pelapis. Karena itu kami mesti mendahului keperluan mereka, sebab kami sudahpun sampai di lokasi.
Singkat cerita, jam di tangan menunjukkan sudah hampir jam 1 siang, urusan “kampung tengah” kami sudah klar di warung itu. Karenanya kami pun memulai perjalanan menuju ke rumah warga dimana kami akan menginap. Dengan bawaan barang masing-masing kami menyusuri Desa Dusun Besar menuju posko yang berjarak lebih kurang 500 meter dari warung makan itu. meski lelah dengan barang bawaan, namun kaki kami terus melangkah menyusuri jalan tembok kampung yang berada beriringan dengan sebuah parit besar diantara pemukiman warga. Sesekali kami menyapa warga yang kebetulan berada di depan rumah mereka.
Alhamdulillah akhirnya sampai juga kami di posko, dimana sudah ada tuan rumahnya yang menunggu.
Assalamu` alaikum nenek, apa kabar?
Nenek sehat?

Begitulah saya menyapanya untuk pertama kali sore itu.
Alhamdulilllah sehat, silakan lah, masuk. Jawab nenek itu dengan senyum ramah sambil mengajak kami ke dalam.
Nenek masih ingat saya? Tanya saya spontan.
Iya, tapi namanya lupa, jawab nenek sambil tersenyum menatap kepadaku. Begitulah perbincangan ramah kami di awal waktu menempati posko itu. saya sendiri sudah mengenal nenek itu, karena waktu survey dahulu kami juga menginap di rumah itu. Rumahnya wak Dup atau Ladup, yang merupakan ibu mertua dari bang Amri temannya pak Rustam.  Disinilah tempat saya bersama rombongan kelompok 1 menginap selama kegiatan Kampung Riset di Dusun Besar.
Sementara kelompok 2 (Erwin dan rombongan), setelah istirahat beberapa waktu di posko kami, mereka terus menuju ke penginapan posko 2 yang berada lebih ke hulu lagi dari posko kami. Mereka menginap di rumahnya Tok Loda`, ayah dari bang Ruslan yang merupakan alumni STAIN Pontianak. Itulah hari pertama kami memulai aktivitas Kampung Riset di Desa Dusun Besar.
***
Ba`da shalat isya, adalah jadwal saya bersama rombongan kelompok 1 bersilaturrahmi ke rumah pak Kades yang berada hampir berhadapan dengan penginapan kami. Sebagai tamu saya bersama rombongan datang untuk melaporkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan program yang dilakukan dan sekaligus memohon izin untuk tinggal beberapa waktu di desa tersebut.
Dengan ramah, pak Kades yang masih muda itu menyambut kedatangan kami. Beliau memberikan senyum kepada setiap rombongan yang saya perkenalkan satu persatu malam itu. Bahkan ketika saya memperkenalkan satu persatu dan asal daerah para peserta, beliau sempat menanyakan:
Ada yang berasal dari sambas kah?
Isteri saya dari sambas.
Begitulah keramahan yang beliau tunjukkan sambil tersenyum ke arah isterinya yang berada di samping kanannya.
Setelah mendengar apa maksud dan tujuan kedatangan kami, pak Kades memberikan banyak informasi awal mengenai desa itu. Mulai dari persoalan pembangunan desa, sosial keagamaan dalam masyarakat, pendidikan dan sebagainya. Momen itu juga digunakan beliau untuk menyampaikan beberapa program pembangunan desa yang sedang dan akan dilakukannya sebagai kepala desa, salah satunya adalah pembangunan madrasah ibtidaiyyah yang untuk sementara- dengan segala keterbatasannya- masih dipimpinnya secara langsung sebagai kepala sekolah.
Begitupun dengan para peserta, kesempatan silaturrahmi malam itu dimanfaatkan untuk memperolah beberapa data awal tentang desa, mulai dari jumlah dusun, jumlah penduduk, fasilitas pendidikan, rumah ibadah dan sebagainya.  Tak terasa jam di tangan sudah menunjukkan hampir pukul 9. Artinya sudah lebih 1 jam lebih kami bertamu di rumah pak Kades. Kami pun mohon diri untuk pamit malam itu.
Pak kami pamit dulu
Mohon waktunya jika nanti adek-adek ini kembali menemui bapak
Mungkin ada beberapa hal yang ingin ditanyakan mengenai kampung ini.
Basa basi saya sambil beranjak dari tempat duduk dan menyalami beliau.
Oh, ya. Silakan.
Mungkin perlu ke kantor desa. Datang saja.

Begitulah akhir perbincangan silaturrahim kami dengan pak Kades malam itu.
***
Desa Dusun Besar yang kami tempati dalam program Kampung Riset ini didiami oleh 3.951 jiwa yang tersebar di 6 dusun, yakni Dusun Selja 1, Selja 2, Selja 3, Budi Nelayan, Mulya Usaha dan Mulya Tani.  Dari keseluruhan jumlah jiwa yang ada di Desa Dusun Besar ini, mayoritasnya adalah masyarakat Bugis dan beragama Islam. Hanya ada beberapa orang saja masyarakat China dan non muslim, terutama para pedagang dan pengumpul hasil tangkapan nelayan di kawasan tersebut.
Sebagai sebuah desa dengan wilayah yang cukup besar dan jumlah penduduk yang ramai, ada beberapa fasilitas pembangunan yang ada di Desa Dusun Besar ini. Fasilitas pendidikan misalnya ada 1 Sekolah Dasar, 1 Sekolah Menengah Pertama, 1 Sekolah Menengah Atas dan 1 Madrasah Ibtidaiyyah Swasta. Begitupun dengan fasilitas ibadah, ada 2 buah Masjid, dan 6 buah Surau yang tersebar dari Dusun Parit Timur hingga ke Dusun Sungai Buaya.
Secara ekonomi, ada dua mata pencaharian utama masyarakat di Desa Dusun Besar ini, yakni sebagai nelayan dan petani ladang. Sebagai nelayan, maka melaut adalah rutinitas yang mereka geluti dari hari ke hari. Begitupun yang bekerja sebagai petani, maka aktivitas bercocok tanam padi/sawah adalah rutinitas yang mereka geluti, disamping perkebunan kelapa sebagai usaha dampingan.
Selain kedua usaha tersebut, pengamatan di lapangan juga mendapati bahwa beberapa warga Desa Dusun Besar yang menggeluti usaha penangkaran sarang burung walet. Ini tampak dengan berdirinya beberapa bangunan sarang walet di sepanjang perkampungan ini. Meski tidak sempat menghitung secara pasti, namun diperkirakan jumlah rumah walet di Desa Dusun Besar ini mencapai hampir 20 rumah, termasuk di belakang posko kami (kelompok 1) yang sedang dibangun rumah burung walet.
Banyaknya usaha penangkaran sarang burung walet ini disebabkan banyaknya burung walet berkeliaran di sekitar perkampungan mereka. Hal ini dapat dipahami karena kondisi perkampungan ini yang berada di dekat lautan pada sisi barat dan selatan, sementara pada sisi timur dan utara berada di kaki sebuah gunung besar yang oleh masyarakat setempat diberi nama Gunung Dusun.   
Namun yang menjadi ke-khasan dari Desa Dusun Besar ini bukanlah pertanian, juga bukan waletnya. Melainkan udang dari hasil tangkapan para nelayan. Udang inilah yang banyak diproduksi menjadi kerupuk udang dusun yang dikenal banyak orang dan dipasarkan hingga ke Kota Pontianak. Karena itulah tidak sedikit orang yang nyeleneh dengan gurauan bahwa tidak ada bukti seseorang sudah sampai ke Dusun Besar jika tidak bisa membawa pulang oleh kerupuk udang Dusun. Hal ini hampir sama dengan ke-khasan Kapuas Hulu dengan kerupuk basahnya (temet).
***
Sebagai seorang peneliti, atau paling tidak dalam kapasitas membawa rombongan peneliti untuk program Kampung Riset, ada beberapa isu penting yang menjadi daya tarik pengamatan, sebagaimana dijelaskan oleh pak Kades ketika pertemuan silaturrahmi malam pertama. Salah satunya adalah persoalan sosial keagamaan dan rendahnya pendidikan agama bagi generasi muda di kampung itu.
Untuk menelusuri informasi tersebut, saya memulai sebuah pengamatan dari masjid Baitul Hasanah, masjid besar desa ini yang berada lebih kurang 250 meter dari tempat kami menginap. Untuk tujuan ini, saya sengaja untuk mengikuti setiap shalat jamaah yang dilakukan di masjid itu, mulai dari Maghrib, Isya hingga Subuh.
Menjelang masuknya waktu maghrib pertama tanggal 18/10 saya bersama pak Rustam dan Syahroni bergegas menuju masjid, dan disusul oleh dua orang mahasiswa Bambang dan Ilyas di belakang kami. Sesampai di masjid kami menunaikan shalat sunnat tahiyatul masjid hingga seorang jamaah maju dan mengumandangkan azan. Selesai azan kami siap berdiri untuk maksud melalukan sunnat qabliyah. Namun belum sempat takbir, ternyata muazzin langsung mengumandangkan iqamat. Kami pun shalat maghrib malam itu dengan jama`ah sejumlah 11 orang, termasuk 5 orang kami dari rombongan Kampung Riset. Shalat kami dipimpin oleh seorang imam yang belakangan saya kenal dengan nama wa` Ter, salah seorang imam tetap masjid Baitul Hasanah itu.
Selesai shalat, salah seorang jamaah maju dengan membawa sebuah kitab dan membacanya di hadapan kami, melalui kitab itu kami dibacakan beberapa hadits nabi. Saya bangga dan senang dengan salah satu hadits yang dibacakannya, yakni mengenai keutamaan shalat jamaah di masjid. Selesai dari itu, kami salaman antar sesama jamaah. Kemudian saya dan beberapa diantaranya melakukan shalat sunat ba`diyah sebelum kembali pulang ke posko.
***
Shalat Isya saya kembali ke masjid, dimana disana azan sudah dikumandangkan oleh wa` Ter. Saya cukup heran, dimana hingga shalat dimulai tidak ada lagi jamaah dari masyarakat di kampung itu yang datang bersama kami melakukan shalat isya malam itu. hanya ada kami bertiga (saya dengan pak Rustam) dan wak Ter itu.
Dimana ustadz yang maghrib tadi membacakan hadits di hadapan kami? Dimana bekas keutamaan shalat jamaah di masjid yang baru saja disampaikan melalui hadits yang dibacakan 1 jam sebelumnya? Itulah pertanyaan yang muncul dalam benak saya malam itu.
Pagi tanggal 19/10, kami kembali ke masjid untuk melaksanakan ibadah shalat subuh berjamaah. Lagi-lagi di masjid saya hanya mendapati wa` Ter sendirian yang sedang mengumandangkan azan. Agak berbeda dengan Maghrib dan Isya, kali ini selesai azan, kami mempunyai waktu untuk melakukan shalat sunat qabliyah. Kesempatan ini dalam dugaan saya adalah supaya ada jamaah lain yang datang menyusul untuk sama-sama shalat subuh di masjid. Namun keheranan kembali muncul dalam benak saya dimana kembali hanya wa` Ter sendiri dari warga setempat yang shalat subuh di masjid pagi itiu.
Selesai shalat, saya coba mengajak ngobrol pak Imam, termasuk bertanya nama beliau dan beberapa hal tentang keagamaan di Desa Dusun Besar.
Dimana ya pak, jamaah lain tak ada yang datang shalat bersama kita ni.
Itulah pertanyaan pertama yang saya lontarkan sambil tersenyum dan menyuguhkan salaman dengan pak Imam.
Itulah pak, disini memang begitulah
Susah ngajak masyarakat shalat jamaah ke masjid.
Jawab wa` Ter dengan nada sedikit kecewa. 
Di mana mereka yang berjamaah maghrib bersama sama kita semalam
Termasuk yang membacakan fadhilah amal tak datang juga yang pak,
Tanya saya lebih lanjut.
Seakan tidak ingin berprasangka negatif terhadap orang lain, wa` Ter tidak menjawab secara langsung pertanyaan yang saya berikan. Beliau malah mengatakan:
Ya, beginilah kondisinya pak
sudah biasa lah saya shalat sendiri di masjid ini,
tak ada jamaah yang datang.
Tapi saya tak masalah, selagi saya mampu
Diberikan kesehatan saya tetap shalat ke masjid.
Ungkap wa` Ter mengundang keprihatinan saya.
Adakah kegiatan keagamaan yang dilakukan di masjid ini selain shalat jamaah pak? Tanya saya lebih lanjut. Tak ada, paling-paling pengajian ibu-ibu pada sore jum`at. Jawabnya dengan ringkas. Kegiatan remaja dan TPA juga tidak adakah? Saya bertanya lagi. Tak ada. Jawab.
Kamipun pulang karena hari sudah mulai terang. Sepanjang perjalanan saya berpikir, dimana masyarakat muslim yang mayoritas di kampung ini (hampir 4000 jiwa). Tidakkah mereka tertarik shalat berjamaah ke masjid yang berada di tengah-tengah kampung mereka? Lalu bagaimana dengan kehadiran surau yang cukup banyak di Kampung itu, adakah jamaahnya? Biarkan, jawaban ini saya buktikan selama beberapa hari di sini, yakin dalam hati saya ketika itu.
***
Sesampai di rumah, saya kembali merenungkan apa yang saya bicarakan dengan wa` Ter tadi mengenai susahnya mengajak jamaah ke masjid. Disisi lain, kemunculan beberapa surau di kampung itu juga disebabkan adanya aliran/faham keagamaan yang berbeda, yakni jamaah Hizbullah.  
Penyataan itu sesungguhnya sudah pernah saya dengar pada saat kunjungan pertama lalu, ketika kami survey dan safari ramadhan. Bahkan pak Kades juga pernah menyampaikan informasi yang sama ketika kami bersilaturrahmi kerumahnya pada malam pertama. Bahkan ada pengalaman pemahaman keagamaan yang pernah kami alami dengan salah seorang jamaah hizbullah tersebut ketika kunjungan pertama bulan puasa yang lalu, menyangkut persoalan menyegerakan shalat maghrib ba`da berbuka puasa.
Sebagai insan kampus yang mesti mampu melihat segala perbedaan sebagai sebuah sesuatu yang pasti ada (sunnatullah), tentunya kita tidak boleh terjebak pada konflik pemahaman keagamaan, apalagi terhadap masyarakat kampung. Karena itu, diperlukan upaya dan cara yang baik dan tepat dalam menanggapi semua itu. Mesti ada pendekatan dan momen yang tepat untuk mendiskusikan setiap perbedaan paham sehingga benar-benar menghasilkan sebuah pengertian yang baik dan benar.
Kepada Syahroni (ustad di rombongan kami), saya sampaikan hal itu, dan saya sarankan beliau utnuk melalukan diskusi dan dialog yang baik dengan jamaah hizbullah itu. Hal ini penting bukan saja menyangkut kebenaran faham keagamaannya, melainkan untuk memperbaiki anggapan masyarakat umum terhadap praktek keagamaan yang dipertentangkan antar faham/aliran tersebut. Karena menurut pandangan saya, minimnya jamaah ke masjid, tidak adanya kegiatan keagamaan di masjid dan berbagai ritual agama lainnya adalah karena pengaruh paham keagamaan yang beda itu.
***
Sebagaimana diketahui  bahwa mayoritas masyarakat di Desa Dusun Besar ini adalah Bugis, maka cukup mengherankan jika kenyataannya aktivitas keagamaan justru memprihatinkan. Padahal Bugis begitu dikenal sebagai komunitas yang melahirkan banyak ulama besar. Bahkan banyak dari penyebar Islam di Nusantara ini adalah berasal dari suku Bugis sebagaimana Opu Daeng Manambon di Mempawah.
Lantas, bagaimana dengan Bugis di Desa Dusun Besar? Bagaimana sejarah Islam masuk di sana? Dan siapa yang membawa Islam masuk di sana?
Silaturahmi hari kedua (19/10) saya khususkan untuk menemukan jawaban terhadap beberapa pertanyaan tersebut.  Dan Tok Uda` atau biasa juga dipanggil oleh masyarakat setempat sebagai wa` Loda` menjadi narasumber pertama saya hari itu.
Menurutnya, Islam masuk di kawasan Dusun Besar itu dibawa oleh para pejuang Islam yang berasal dari Bugis. Terutama untuk Dusun Besar itu adalah Tok Tily yang makamnya ada di Gunung Dusun. Tok Tily ini menurut beliau adalah sahabatnya Opu Daeng Manambon (Manambong dalam lisan beliau).
Berdasarkan informasi dari beberapa sumber di lapangan, Dusun Besar ini semula adalah perkampungan orang Dayak. Akan tetapi ketika Islam datang dibawa oleh para pejuang (Opu Daeng Manambong dan Tok Tily) ketika itu, yang oleh belanda disebut sebagai para lanun (pemberontak), maka orang Dayak itu takut dan mundur hingga meninggalkan kampung ini. Sejak itulah banyak masyarakat Bugis yang berpindah di sini, beranak pinak di sini sampai ajal menjemput Tok Tily sebagai penyebar agama di sini.
Besarnya peran tok Tily dalam penyebaran Islam di Kampung ini juga saya dapatkan dari narasumber yang lain. wak Dop atau Ladup misalnya yang mengatakan bahwa Tok Tily itu adalah suami dari wa` Gini. Karena itu, orang-orang sering juga menyebutnya dengan Tok Tily Gini.  
Dari narasumber yang lain (Ruslan misalnya) memberitahukan bahwa Tok Tily itu memiliki nama lengkap Syekh Yusuf bin Tily. Beliau ini bukan saja bersahabat dengan Opu Daeng Manambong, melainkan juga keturunan dari Tily sang ulama besar Bugis ketika itu.
Terhadap makam Tok Tily, saya sendiri bersama anggota kelompok 1 tidak sempat mengunjunginya karena tersita waktu dengan program yang lain. Sementara kelompok 2 (Erwin dkk) sudah mengunjunginya dan membuktikan dengan jelas adanya makam tersebut, makam yang ditemukan setelah puluhan tahun masyarakat Bugis berada di Kampung Dusun Besar ini.
Dalam waktu bersamaan pedagang China dari RRC juga masuk ke Kampung ini hingga saat ini masih ada beberapa warga China di sini.
***
Dalam hal beragama, masyarakat Bugis dikenal sangat dekat dengan praktek keberagamaan tradisional, atau yang beraliran ahlussunnah waljamaah. Sebagaimana dipahami, corak keagamaan ini memberikan banyak ruang dan peluang untuk tumbuhnya praktek-praktek tradisional dalam beragama, bahkan dalam perspektif tertentu, pola keberagamaan masyarakat Bugis yang demikian mendekati praktek singkretisme agama dan budaya.
Wawancara dengan beberapa narasumber seperti Tok Loda` (Abdullah), wak Dop (Ladup), Wa` Ter dan bang Man menyebutkan bahwa salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh banyak masyarakat muslim (Bugis) di Desa Dusun Besar ini adalah memberi makan kampung.
Memberi makan kampung ini boleh disebut sebagai tradisi umum masyarakat Bugis. Sebab, di banyak tempat di Kalimantan Barat, seperti Punggur dan Kalimas (lihat dalam Yusriadi, 2010), ataupun di Parit Wa` Gattak (lihat dalam Ibrahim MS, 2011), tradisi yang satu ini masih diamalkan oleh masyarakat Bugis. Hanya saja, yang lebih menarik di Dusun Besar ini adalah adanya kepercayaan sejarah yang melatar-belakangi lahirnya tradisi ini.  
Menurut Tok Loda` (atau biasa disebut Wa` Oda), tradisi memberi makan kampung memiliki cerita sendiri dalam sejarah masyarakat Islam Bugis di Kapung Dusun Besar itu. Katanya, dahulu kala hidup seorang saudagar di kampung itu. Ia memulai usahanya dengan berkebun kopi dan beternak sapi. Di awal usahanya ia bernazar di sebuah gua di gunung Dusun yang sekarang dikenal dengan bilik batu. Jika kebun kopinya berhasil panen hingga tujuh puluh turun, maka ia akan membawa kepala kambing bertanduk emas. Ia juga bernazar jika sapinya berkembang hingga mencapai 40 ekor, maka ia akan membawakan kambing bertanduk emas. Konon setelah nazar itu, hasil kebun kopinya melimpah hingga lebih dari 70 turun. Begitupun dengan ternak sapinya yang sehat dan terus berkembang biak hingga lebih dari 40 ekor.    
Si saudagar itupun hidup dalam limpahan harta hingga ia lupa dengan nazarnya. Saudagar itu mengingkari janjinya. Ia tidak melaksanakan nazar yang telah diucapkannya. Tidak berapa lama setelah itu hasil kebun kopinya merosot, banyak kebun kopi yang kekeringan dan mati. Begitupun dengan ternak sapinya. Banyak sapi yang mati. Bahkan beberapa diantaranya juga lepas dan lari hingga ke gunung Dusun.  
Singkat cerita, masyarakat Bugis di sini percaya bahwa apa yang menimpa saudagar itu adalah akibat nazar yang tidak dipenuhinya. Karena itu, masyarakat belajar dari peristiwa tersebut, dan karenanya tradisi memberi makan kampung dengan membuat ancak yang ada di gunung dan di laut sebagai tebusan atas kesalahan tersebut. Dengan melaksanakan tradisi ini masyarakat percaya akan ada kemurahan rezeki, mereka juga dihindari dari musibah dan bencana di kampung.
Karena itu, mungkin kita tidak bisa bicara soal ini syirik atau tidak
namun begitulah tradisi ini hidup dan dilakukan masyarakat bugis di sini.
Tutup tok` Loda saat menjelaskan sejarah tradisi ini.
***
Sore harinya, saya coba menemukan narasumber lain, yakni wa` Dop atau wa` Ladup. Kebetulan beliau ini adalah tuan rumah dimana kelompok kami menginap. Kami memanggilnya nenek, karena beliau adalah ibu mertuanya pak Amri, temannya pak Rustam.
Dari beliau saya mendapati penjelasan yang serupa bahwa tradisi memberi makan kampung dengan mengantarkan makanan ke ancak di Gunung (bilik batu) dan atau ke laut masih dilakukan oleh banyak orang di kampung itu. Terutama mereka yang percaya akan huhungan tradisi tersebut dengan keselamatan kampung.  
Anak saya yang bunsu tu,
kalau dia tu belum beri (member makan maksudnya),
ada jak tanda pada dia tu, macam orang stress.
Nah kalau dah begitu, berarti dia belum berikan makan lah tu.
Karena itu, dia tu selalu memberikan makan ancak setiap tahunnya.
Jelas nek Dop.  
Kemudian saya juga menanyakan hal yang sama dengan bang Man, tukang antar air di posko kami. Menurutnya, hampir 70 persen masyarakat di Desa Dusun Besar itu masih mengamalkan tradisi memberi makan kampung. Katanya, ada tiga kelompok masyarakat dalam menghadapi tradisi ini; pertama, mereka yang ikut menyumbang untuk membuat makanan dan mengikuti proses tradisi secara penuh (jumlahnya kurang lebih 70 %). Kedua, mereka yang ikut menyumbang tapi tidak mengikuti proses tradisi secara penuh (lebih kurang 20 %). Ketiga, mereka yang tidak ikut menyumbang dan tidak ikut proses tradisi, atau menolak sama sekali tradisi ini (hanya berjumlah 10 %).
Kelompok pertama menurutnya adalah mereka yang percaya sepenuhnya dengan tradisi, terlepas dari penilaian syirik atau tidak. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang sudah mulai meragukan tradisi tersebut. Hanya saja mereka tidak bisa menolak untuk menyumbang karena khawatir dianggap tidak ikut masyarakat banyak. Karena itu keikutsertaan kelompok kedua ini lebih didasari pada pemeliharaan hubungan sosial antara masyarakat. Sedangkan kelompok ketiga adalah mereka yang tidak percaya sama sekali dengan tradisi tersebut, bahkan menentangnya sebagai perbuatan syirik.
Begitulah bang Man memberikan penjelasan dengan detil siang itu mengenai tradisi makan Kampung di Desa Dusun Besar.
Siapa tokoh masyarakat yang memimpin pelaksanaan tradisi tersebut bang?
Tanya saya lebih dalam.
Pak long Derani, jawabnya.
Tapi beliau tu sekarang banyak tinggal di Sukadana tempat anaknya.
Dia datang kesini kalau mau melaksanakan tradisi itu jak,
masih ada rumahnya disini. Jelas bang Man.
Untuk melaksanakan tradisi tersebut, ada tiga tahap yang dikerjakan oleh pak Long Derani sebagai pemimpin upacara. Bang Man kembali melanjutkan ceritanya.
Pertama-tama pengumpulan bahan (sumbangan) berupa beras atau padi dan uang oleh tim dukun yang berjumlah 5 – 6 orang. Setelah bahan terkumpulkan barulah proses masak memasak untuk dimakan oleh orang sekampung. Dan biasanya acara ini dilakukan di bagan. Kemudian pada sore harinya (sekitar jam 3) sebagian makanan dibawa/ditaroh ke ancak yang ada di gunung (bilik batu) dan laut, tergantung kepada yang berhajat. Jika nelayan biasanya memberikan ancak ke laut. Sementara para petani memberikan ancak ke gunung.
***
Beberapa hari saya berada di kampung Dusun Besar, berbagai pengamatan telahpun saya lakukan, dan beberapa narasumber juga telah saya temui. Sampailah saya pada sebuah pemahaman (yang mungkin penilaian subjektif saya) terhadap realitas sosial dan keagamaan masyarakat di Desa Dusun Besar. Analisis saya, ada hubungan yang jelas antara pola hidup, pemahaman keagamaan dan aktivitas keagamaan dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya, kehidupan masyarakatnya jauh dari masjid, aktivitas keagamaan kurang, masjid sepi dari jamaahnya. Pada sisi lain amalan tradisi yang mendekati praktek syirik seperti memberi makan kampung dan semacamnya masih dilakukan oleh masyarakatnya.
Pada aspek lain juga tampak adanya ketidak hati-hatian mereka terhadap syarat dan ketentuan beribadah dalam Islam. Sebagai contoh shalat yang harus terjaga (bersih) dari kotoran dan najis. Artinya bahwa orang yang mementingkan amalan shalat yang baik tentu saja harus memperhatikan kebersihan diri (tempat, badan dan pakaian) dari terkena kotoran dan najis. Apa yang ingin penulis tunjukkan sebagai buktinya adalah masih berkeliarannya anjing-anjing di halaman kampung. Anjing-anjing tersebut bukan saja di jalan, akan tetapi juga tidur di tengah jalan/jembatan rumah warga, bahkan naik sampai ke teras rumah warga. Bukankah anjing termasuk najis berat (mukhallazhah) yang pencuciannya (hadast) harus dengan tanah? Sampai-sampai Bambang (seorang peserta) membatalkan niatnya menyusul kami pergi shalat berjamaah ke masjid pada suatu subuh karena takut melewati hadangan anjing-anjing yang berkeliaran di jalanan.
Saya sempat bertanya kepada salah satu warga mengenai banyaknya anjing di kampung itu.
Siapa yang memelihara anjing-anjing itu?
Adakah orang Muslim juga mempunyai peliharan anjing tersebut?  
Oh ndak, itu anjing liar. Katanya.
Anjing liar. saya ragu dengan penjelasan tersebut. Sebab, saya tidak melihat anjing-anjing itu liar. Anjing-anjing itu begitu jinak. Tidur di tengah jalanan, di depan teras rumah, bahkan di depan pintu rumah warga. Rasanya bukanlah anjing liar seperti itu, bisikku dalam hati.
Tapi, mau gimana lagi, begitulah kondisinya.
Inilah masyarakat yang saya hadapi.
Saya harus bisa menyesuaikan, atau paling tidak memakluminya.

Karena itu menurutku, keberadaan anjing yang dibiarkan bebas berkeliaran itu memberikan indikasi kalau pola hidup seperti itu sangat terkait dengan lemahnya perhatian mereka terhadap agama dan ibadah, terutama shalat. Karena itu wajar jika selama 5 hari di kampung itu, saya tidak pernah melihat jumlah jamaah masjid lebih dari 10 orang untuk maghrib, 3-4 orang isya dan 1-2 orang shalat subuh. Wajar jika, azan berkumandang, sebagian besar mereka masih saja duduk-dukuk santai di depan teras rumahnya, atau bergelut dengan kesibukan duniawinya masing-masing. Inilah kenyataan beragama masyarakt di Desa Dusun Besar. Keadaan yang memperihatinkan dari sisi agama. Sebuah kerisauan yang juga diungkapkan oleh pak Yusnardi (Kades) yang mempelopori lahirnya sekolah Madrasah Ibtidaiyyah swasta awal tahun ini. Meskipun dengan serba kekuarangan (SDM dan fasilitas pendidikan), madrasah itu dipandang penting untuk membekali generasi anak-anak di kampung Dusun Besar ini akan pengetahuan agama yang lebih baik sejak dini. Begitulah harapan dari pak Kades yang untuk sementara juga menjabat sebagai kepada Madsarah Ibtidaiyyah tersebut.
***
Akhirnya, waktu lima hari di kampung Dusun Besar sungguh begitu berguna bagi kami, sebab telah memberikan banyak pengajaran, pengalaman dan pengetahuan mengenai masyarakatnya, baik dalam aspek sosial budaya, ekonomi, pendidikan dan keagamaan. Sebuah pengalaman yang dihasilkan dari potret nyata sebuah masyarakat di pinggiran kepulauan di Kabupaten Kayong Utara.
Karenanya perlu dipikirkan beberapa program terkait yang dapat diberikan kepada masyarakat di Desa Dusun Besar ini, antara lain intensifikasi program pendidikan keagamaan (madrasah), pembinaan keagamaan (dakwah), serta promosi pendidikan bagi generasi muda lokal untuk mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (sarjana). Semoga catatan kecil ini dapat memberikan gambaran mengenai masyarakat Desa Dusun Besar dan realitas kehidupan yang sesungguhnya, dan dapat menjadi feedback untuk pembangunan kawasan ini ke arah yang lebih maju kedepan. Semoga, amin.

Daftar Bacaan
Ibrahim MS (ed.). 2011. Karunia Tuhan di Parit Wa` Gattak. Pontianak: STAIN Press.
Yusriadi (ed.). 2010. Jejak Bugis di Tanah Borneo. Pontianak: STAIN Press.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar