Jumat, 24 April 2015

Belajar Meneliti dari Cerita Kuda Nil

Kutipan dari bagian artikel pendahuluan untuk buku Metodologi Penelitian Kualitatif yang diterbitkan oleh Alfabeta Bandung



Belajar dari Cerita Kuda Nil
Untuk memahami realitas penelitian, hampir di setiap pertemuan pertama kuliah metodologi penelitian selalu saya buka dengan sebuah cerita (mungkin anekdot) tentang “Kuda Nil Mencari Surga”. Kuda Nil, atau Hippopotamius Amphibius dalam bahasa latin adalah seekor hewan darat terbesar ketiga setelah gajah dan badak putih yang berasal dari sub-sahara Afrika (Wikipedia.org). Hewan ini menghabiskan banyak waktu istirahatnya dengan berendam di air (dahulunya di sungai Nil). Jika binatang ini menguap, maka akan tampak lobang mulutnya yang lebar seperti sebuah gua besar.
Suatu ketika, entah ilham dari mana, atau mimpi apa, tiba-tiba Kuda Nil itu berazam untuk mencari apa yang disebutnya dengan “surga”.  Demi mencari surga yang dibayangkan itu, ia pun rela menempuh perjalanan panjang dan pengembaraan yang tak berbatas waktu dan tempat. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, hingga bulan dan tahun pun siap dilewatinya demi pengembaraan mencari surga itu. Siapapun yang ditemuinya dalam perjalanan itu, ia lontarkan pertanyaan tentang surga itu; taukah anda dimana surga itu, dan tunjukkan aku akan surga itu?
Banyak yang dia temui, dan dia tanyakan tentang surga, semua menjawab tidak tahu. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan hingga (bahkan) bertahun-tahun ia mencari setiap orang dan bertanya tentang surga. Dengan wajah yang tampak letih, lesu dan kelelahan, Kuda Nil teruskan pengembaraan mencari “surga” itu. Sampailah suatu hari ia bertemu dengan ikan paus, dan kepadanya diberikan pertanyaan yang sama.
“Wahai ikan Paus, tahukan engkau tentang surga?
Dan tolong beritahukan saya dimana surga itu?”. Tanya kuda Nil.
Jika sebelumnya ia dapat jawaban tidak tahu dengan surga itu. Berbeda dengan apa yang ia dapatkan dari ikan Paus. Ikan Paus tidak langsung menjawab pertanyaan Kuda Nil. Ia malah tertawa terbahak-bahak sehingga membuat Kuda Nil penasaran dan tak sabar menunggunya.
“mengapa engkau tertawa terbahak-bahak wahai ikan Paus?
Adakah engkau tahu tentang surga yang aku cari? Kalau engkau tahu, segeralah beritahu aku”. Desak Kuda Nil.
“sabar, tak perlu terburu-buru” jawab ikan Paus dengan santai.
Jawaban ikan Paus semakin membuat Kuda Nil penasaran dan tak sabaran. Dalam benak Kuda Nil, mungkin inilah saatnya aku menemukan “surga” itu. Sepertinya ikan Paus benar-benar tahu dimana surga yang aku cari. Dengan hati yang penuh harap dan tak sabaran menemukan apa yang dicarinya selama ini, Kuda Nil terus mendesak ikan Paus untuk segera memberitahukan ia akan “surga” itu.
“Ok lah, kalau kau benar-benar mau ketemu dengan surga yang kau cari, ikuti petunjuk ku” kata ikan Paus dengan penuh “wibawa” dan meyakinkan.
“Ok baiklah, cepatlah beri aku petunjuk wahai ikan Paus” pinta Kuda Nil tak sabaran.
“Baik lah”, jawab ikan Paus.
Ikan Paus pun memulai trik dan skenarionya untuk memenuhi permintaan Kuda Nil itu, dan memulai instruksinya.
“Kuda Nil, untuk menemukan surga yang kau cari, engkau mesti pejamkan matamu dengan benar, dan pastikan tidak membukanya hingga engkau merasakan surga itu benar-benar telah engkau dapatkan. Sekarang ikuti panduanku”. Kata Ikan Paus.
 Kuda Nil pun segera memajamkan matanya seperti yang diinstruksikan oleh ikan Paus.
“sudah kah engkau pejamkan matamu, wahai Kuda Nil? Tanya ikan Paus untuk memastikan.
“sudah” jawab Kuda Nil.
“Kalau begitu, silakan engkau bergerak empat langkah ke samping kiri, kemudian melangkahlah dengan perlahan ke hadapanmu. Jangan pernah membuka mata sebelum engkau merasakan berada dalam surga yang engkau cari itu”. Begitulah instruksi ikan Paus.
Kuda Nil pun melakukan semua instruksi itu dengan senang hati, perasaannya begitu berbunga-bungan karena sebentar lagi ia akan mendapati surga yang sudah sekian lama dicarinya. Sementara ikan Paus pun mengambil posisi tetap di hadapan kuda Nil yang sedang melangkah maju seperti yang diinstruksikannya.
Ikan Paus pun membuka mulutnya dengan sangat lebar, sehingga tampak seperti sebuah terowongan besar yang bisa dilalui oleh siapaun, termasuk kuda Nil.
Langkah demi langkah kuda Nil berjalan dengan mata terus terpejam, sampailah ia melangkah ke dalam mulut ikan Ikan Paus yang menganga besar itu. Tak terasa kuda Nil sudah berada dalam mulut ikan Paus. Begitu kuda Nil benar-benar sudah berada dalam mulutnya, ikan Paus pun menutup mulutnya dan menelan kuda Nil itu dengan lahap. Cerita kuda Nil mencari “surga” pun selesai dalam mulut ikan Paus.
Apa pelajaran yang dapat dipahami dari cerita tersebut? Itulah diskusi selanjutnya yang selalu saya lakukan bersama mahasiswa di pertemuan pengantar kuliah Metodologi Penelitian. Cerita Kuda Nil mencari “surga” setidaknya mengajarkan kita tentang empat hal dalam konteks penelitian.
Pertama, penelitian ilmiah hanya dapat dilakukan terhadap realitas yang kongkrit yang dalam bahasa Immanuel Kant disebut realitas phenomena. Realitas yang jelas, tampak, yang dapat dibuktikan keberadaan, serta dapat diverifikasi kebenarannya. Sebaliknya, penelitian ilmiah tidak bisa dilakukan terhadap realitas yang abstrak, tak bisa dibuktikan dan diverifikasi keberadaannya, atau realitas neumena dalam istilah Kant. Kembali pada cerita kuda Nil, jika “surga” yang dicarinya sama dengan surga dalam konsep Islam, maka ia merupakan realitas yang neumena, realitas yang tak bisa dibuktikan secara ilmiah keberadaannya. Realitas ini hanya bisa diterima dengan keyakinan dan iman, tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmu pengetahuan ilmiah sebagaimana realitas phenomena. Jika sesungguhnya “surge” dalam cerita kuda Nil adalah realitas yang neumena, maka sudah barang tentu tidak akan mungkin dapat ditemukan dalam realitas kehidupan dunia, apalagi dibuktikan melalui penelitian ilmiah.
Kedua, Penelitian ilmiah memiliki ketentuan kerja yang jelas, teruji dan sistematis (metodologi), antara lain dalam menentukan data dan sumber data, teknik bertanya dan sebagainya. Intinya, dalam penelitian ilmiah, kita tidak mungkin menjadikan semua orang yang ditemui sebagai sumber data, dan tidak mungkin kepada semua orang yang ditemui kita berikan pertanyaan penelitian yang sama (wawancara). Kesalahan dalam memilih sumber data dan melakukan wawancara tidak pada sumber yang benar dan terpercaya, maka ia bisa menjadi petaka sebagaimana pengalaman Kuda Nil yang binasa di dalam mulut besar ikan Paus.
Ketiga, Penelitian ilmiah mesti bermula dan berangkat dari satu kesadaran akan pengetahuan yang baik dan jelas tentang realitas. Kesadaran dan pengetahuan dimaksud biasanya berupa pemetaan terhadap realitas masalah di lapangan. Realitas yang wujud dalam bentuk adanya permasalahan antara kenyataan (das sein) dan harapan (das sollen). Adanya suatu realitas/kejadian yang unik, istimewa dan luar biasa yang mendorong perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut. Bukan dari sebuah hayalan, ilham atau mimpi di siang bolong sebagaimana yang terjadi pada kuda Nil yang mencari “surga”.
Keempat, yang dicari dalam penelitian ilmiah bukanlah kebenaran hasil (pernyataan ilmiah)  semata, tetapi juga kebenaran proses (metodologi). Artinya bahwa sebuah penelitian dianggap berhasil dan dapat dipercaya bukan sekedar didapatkannya jawaban yang diinginkan dalam penelitian (pernyataan ilmiah), melainkan juga ditentukan oleh cara-cara memperoleh (pernyataan) tersebut. Inilah yang disebut dengan kebenaran materi (isi) dan kebenaran metodologi (cara kerja penelitian). Sama seperti penyataan I love you yang baru dapat diterima dan dipercayai jika sudah disertai dengan penjelasan why do you love me. Bandingkan dengan kuda Nil yang tidak mampu mendapatkan kebenaran materi (isi-apa itu “surga”) dan metodologi dalam mencarinya.
Pelajaran di atas memberikan penegasan bahwa sebagai peneliti kita dituntut untuk memahami seluk beluk ilmu penelitian yang baik dan benar. Kita dituntut untuk mampu memahami realitas penelitian ilmiah dalam dunia penelitian. Kita dituntut untuk mampu memahami cara kerja yang baik dan benar dalam penelitian (aspek metodologisnya).
Penelitian bukanlah sekedar aktivitas mencari tahu, melainkan menemukan sesuatu. Karena itu penelitian meliputi semua aspek yang terkait dengan aktivitas mencari tahu. Apa yang dicari tahu (what), mengapa perlu dicari tahu (why), dan bagaimana cara mencari tahu sesuatu (how). Penelitian bukan saja sekedar melaporkan informasi dan fakta sebagaimana laporan seorang pekerja jurnalis, melainkan pembuktian data. Penelitian bukan saja mendeskripsikan realitas, melainkan juga menjelaskan faktor-faktor yang terkait dalam realitas itu.
Jika demikian, adakah pekerjaan penelitian itu sesuatu yang berat dan rumit? Bisa iya dan bisa tidak. Rumit, jika dilakukan tidak dengan pemahaman dan penguasaan ilmu meneliti (metodologi penelitian) yang baik. Mudah, jika memang mencintai aktivitas meneliti dan dilakukan dengan bekal pemahaman dan pengetahuan metodologi yang baik dan benar pula. Karena itu, tidak semua orang mau meneliti, dan tidak semua orang mampu melakukannya dengan baik dan benar.
Akhirnya, di kelompok yang manakah kita? Yang pasti tidak ada dari kita yang mau terjebak seperti halnya kuda Nil yang binasa karena angan-angan sendiri. Kita juga tidak rela binasa atau bahkan mati konyol karena ketidak-tahuan kita dengan apa yang kita lakukan (cari). Disinilah ilmu metodologi menjadi alat penting dalam dunia penelitian ilmiah. Dengan ilmu metodologi kita mesti memahami bahwa tidak semua niat (tujuan) yang baik akan berbuah kebaikan jika tidak dijalankan dengan cara yang baik dan benar. Dengan ilmu metodologi kita percaya bahwa niat (tujuan) yang baik akan menghasilkan kebajikan jika dilakukan dengan cara yang baik dan juga benar. Karena itu, mari bersama-sama belajar metodologi penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar