Selasa, 30 April 2013

HILANGNYA PENDIDIKAN MADRASAH


Catatan Singkat di Dusun Gunung Ambawang, Desa Sungai Deras

Oleh: Ibrahim MS

SUNGAI DERAS: BAYANGAN AWAL
Beberapa hari sebelum keberangkatan mahasiswa ke lokasi KKL, kami dosen pembimbing diundang serta oleh panitia guna mendengarkan penjelasan mengenai lokasi masing-masing posko penempatan mahasiswa bimbingan. Satu persatu kelompok dijelaskan lokasinya oleh panitia kepada dosen pembimbing. Saya sendiri sebagai salah seorang pembimbing menunggu dengan sabar sampai penjelasan mengenai lokasi kelompok bimbingan saya dijelaskan panitia.
“Berikutnya lokasi di Sungai Deras”, kata salah seorang panitia ketika memulai penjelasan mengenai kelompok kami yang merupakan wilayah Kecamatan Teluk Pakedai. Dengan teliti dan penuh sabar saya mendengarkan penjelasan tersebut. Ketika sampai giliran lokasi kelompok 4 di Desa Sungai Deras B dengan dosen pembimbing saya sendiri, panitia mengatakan bahwa “kelompok ini belum tau pasti poskonya, karena kami tim survey tidak sampai ke lokasi tersebut dengan suatu alasan, tapi yang pasti lokasinya di kaki gunung”, itulah pernyataan dari tim survey ketika itu.
Mendengar hal ini, saya sedikit kecewa dengan tim survey panitia dan meminta mereka menggenahkan kerja-kerja survey itu. Dalam hati saya terbayangkan bahwa pasti lokasi ini jauh, dan mungkin akan lebih sukar dijangkau, di kaki gunung, begitulah bahasanya. Saya juga mulai menduga, jika lokasi ini berada di kaki gunung pada satu sisi, dan pada sisi lain ia dekat dengan sungai atau laut sehingga disebut dengan Sungai Deras.
“Ok lah, apapun bayangan itu, pastinya ada panitia yang bertanggung jawab mengurusnya, dan juga mengantar kami bersama mahasiswa kelompok 4 ke sana”. Begitulah pernyataan sabar dalam diri saya ketika itu.  Pada hari yang telah dijadwalkan, kamipun berangkat menuju lokasi masing-masing, termasuk kelompok bimbingan saya di Sungai Deras B.

SUNGAI DERAS B – DUSUN GUNUNG AMBAWANG
Setibanya kami (kelompok 3 dan 4) di Desa Sungai Deras tengah hari itu, saya tidak lagi mendengar sebutan Sungai Deras B, yang ada adalah Desa Sungai Deras dan Dusun Gunung Ambawang.
“Dari dua kelompok ini, satu di Desa Sungai Deras ini, satu lagi di Dusun Gunung (Ambawang)”, itulah yang saya dengar dari salah seorang pegawai desa yang menerima rombongan kami hari itu.
Meski masih teringat dengan bayangan sebelumnya jika Dusun Gunung ini jauh di sana. Saya coba bertanya kepada salah seorang warga desa yang kebetulan mengurus sesuatu di kantor desa siang itu.
“Jauhkah Dusun Gunung itu Pak?”.
“Ya, antara 15 – 20 kilo gitulah”, jelasnya.
“Oh, lumayan”, saya mengiyakan jawab bapak itu.

Sementara itu, kelompok 3 sudah bersiap menuju posko mereka. Kami juga mulai bersiap menuju Dusun Gunung dengan pick up yang juga sudah standby menunggu. Satu persatu mahasiswa dengan barang bawaan naik di atas pick up itu. Saya sendiri juga bersiap memulai perjalanan ke Dusun Gunung dengan sepeda motor andalan yang sengaja saya bawa dari Pontianak.
Singkat kata, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 1 jam kamipun sampai di sebuah kampung dengan dua cabang. Ini lah rupanya Dusun Gunung Ambawang yang terdiri dari Cabang Kanan dan Cabang Kiri. Kami dengan rombongan dibawa menyusuri Cabang Kiri hingga sampai di sebuah masjid,Masjid Istiqamah namanya. Disamping masjid itu tampak sebuah bangunan sekolah yang masih bertuliskan plang Madrasah Ibtidaiyah Al-Istiqamah. Disitulah kami berhenti dan memulai komunikasi dengan seorang lelaki yang tampak sepuh menunggu kami di bangunan tua Madrasah itu. Lelaki sepuh yang tidak memakai baju ketika itu ternyata adalah Pak Abdul Hamid, pengurus masjid yang juga Ketua RT 8 di Dusun Gunung Ambawang.
Beliau inilah yang disebutkan oleh pak Kadus (ketika saya hubungi melalui telepon) untuk ditemui apabila rombongan sampai di lokasi.
“Alhamdulillah sampai juga. Orang yang harus ditemui juga sudah dijumpai. Persoalan posko dan kehadiran mahasiswa KKL di kampung ini juga sudah selesai dibicarakan bersama pak Hamid”. Begitulah bisikan syukur dan lega dalam hati saya ketika itu.

MADRASAH IBTIDAIYYAH ISTIQAMAH
Dengan bentuk bangunan yang khas sebagaimana lazimnya gedung sekolah cukup memberikan identitas bahwa bangunan itu adalah sebuah sekolah. Ketika mengamatinya dari dekat, ternyata pada dinding bagian depan bangunan itu masih jelas sebuah plang nama yang bertuliskan Madrasah Ibtidaiyah Al-Istiqamah.
Saya merasa bangga dan terharu, karena di kampung ini ada sebuah madrasah, dimana kami bersama rombongan mahasiswa KKL diterima oleh seorang lelaki sepuh dengan penampilan yang santai. Lelaki tua itu menunjukkan kami dengan gedung tua madrasah itu dan menyilakan kami masuk ke dalamnya.
“Maaf, apakah bapak ini pak Abdul Hamid?” Tanyaku.
“Iya, saya pak Abdul Hamid”, jawabnya.

Nama ini saya kenal sejak di kantor desa di Sungai Deras, dimana beliau ini merupakan ketua salah satu RT di Dusun Gunung Ambawang ini.
Sebagaimana orang yang baru datang (alias tamu), saya menyapa ramah beliau sambil mengenalkan diri dan rombongan mahasiswa yang datang. “Kami dari STAIN Pontianak”, jelasku kepada beliau. Dengan penuh percaya diri, pak Hamid yang saat itu tidak mengenai baju menerima kedatangan kami. Bahkan beliau mengatakan bahwa mereka sudah mendapat kabar kedatangan kami, dan dalam rangka apa kedatangan kami. Karena itu mereka (warga) sudah menyiapkan bakal tempat nginap (posko) mahasiswa.
“Inilah rencananya tempat penginapan mahasiswa. cuman, mungkin perlu kita buat sekat dulu untuk yang ibu-ibu (mahasiswi maksudnya). Ini ada terpal sudah saya siapkan”, jelas pak Hamid dengan polos.
Dengan kondisi bangunan sekolah madrasah itu yang sudah tua, jendela tembus pandang dan bebas hambatan, atap bangunan yang tampak kelang kelip karena tembus pandang ke langit, sebagian lantai yang terbuka seperti bak sampah membuatku sedikit ragu dengan calon posko mahasiswa.
“Ada alternatif lain kah pak untuk penginapan mahasiswa?”
Saya coba bertanya siapa tau ada tempat yang lebih meyakinkan.
Dengan tampak ragu-ragu dan sempat diam sejenak. Pak Hamid minta izin untuk keluar dan menemui salah satu warga yang ada di rumah persis di depan madrasah lama itu. Sementara para mahasiswa tampak memikirkan kemungkinan posko mereka memang di madrasah itu. Beberapa saat kemudian pak Hamid datang dan kembali berbincang dengan saya.
“Pak, ini di depan ini ada rumah. Rumah besan saya. Jadi kalau yang ibu-ibu (mahasiswa) mau tidur di rumah silakan kata besan saya. Tapi mohon dimaklumi kalau pagi tuan rumahnya pergi ke kebun. Kalau mahasiswa tak merasa ngak nyaman taka apa. Terus soal alat masak mereka punya ngak? Nanti kalau untuk masak, mereka bisa dibuatkan dapur di bagian teras (menyekat teras) katanya. Jadi prinsipnya, mohon dimengerti, agar jangan sampai merugikan sebelah pihak”. Itulah kehati-hatian tuan rumah yang disampaikan oleh pak Hamid dengan pilihan rumah ini.
“Baik pak, terima kasih atas tawaran ini. Tapi saya perlu bertanya kepada para mahasiswa untuk menimbang dimana sebaiknya posko mereka”, aku meminta diri kepada pak Hamid.
Pertemuanpun kami gelar. Kami berdiskusi dengan tawaran-tawaran itu dan mempertimbangkan dengan baik hingga pada akhirnya dengan yakin para mahasiwa tetap memilih gedung madrasah sebagai posko mereka dan bersedia untuk mengemasnya sehingga layak huni. Kamar perempuan dibuatkan sekat darurat dengan terpal. Bola listrik pun dialirkan dari masjid. Untuk mandi mahasiswa sudah dapat izin dari pak Hamid menumpang di kamar mandi masjid. Singkat kata, dalam waktu 2 jam posko kelompok kami siap, dan bermulalah babak baru cerita mahasiswa sebagai warga Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Al-Istiqamah Dusun Gunung Ambawang sore itu.
Karena sejak sore itu, gedung MI Al-Istoqamah tidak lagi menyelanggarakan pendidikan untuk anak-anak Ibtidaiyah, sebab madrasah ini sudah lama menghilang dari aktivitas pendidikannya. Madrasah ini yang secara administratif masih terdaftar di Kemenag Kabupaten Kubu Raya, namun tidak lagi mampu menyelenggarakan PBM sebagaimana mestinya.
Sejak sore itu pula, gedung madrasah itu sudah menjadi kampus, sebab didiami oleh mahasiswa KKL. Gedung MI itu telah menjadi kampus dan asrama buat mahasiswa kelompok 4. Disinilah mereka akan menempa diri, berdiskusi dan merencanakan program pengabdian selama hampir dua bulan, dan di sini pula mereka menghilangkan penat dari aktivitas dan rutinitas PBM bersama warga kampong Dusun Gunung Ambawang.
Sejak sore itu pula, gedung madrasah yang memiliki ciri bangunan sekolah pada umumnya tidak lagi sunyi dari siswa atau guru-guru. Sebab gedung MI telah merubah menjadi tempat ramai dengan mahasiswa KKL sebagai penghuninya.
Alhamdulillah, semangat hidup dan kehidupan telah tampak kembali di bekas bangunan lama yang masih dengan jelas diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Al-Istiqamah Dusun Gunung Ambawang. Madrasah yang hilang (guru dan muridnya) sebelum ini telah hidup kembali dengan kehadiran mahasiswa KKL dengan segenap aktivitas yang telah, sedang dan akan dilakukan selama 2 bulan di lokasi. Harapannya tentu saja adalah, madrasah ini akan betul-betul hidup dengan aktivitas PBM nya setelah ditinggalkan oleh mahasiswa KKL.

HARAPAN; AKANKAN TINGGAL KENANGAN
Dalam beberapa kesempatan saya coba mendiskusikan mengenai madrasah itu kepada para sesepuh dan pemuka masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, khususnya Cabang Kiri. Saya ingin mendengar cerita dari mereka mengenai Madrasah Ibtidaiyah itu hingga ke-vakumannya saat ini.
Dari diskusi tersebut, setidaknya ada dua hal yang saya dapatkan. Pertama, MI itu awalnya berjalan dengan baik, mempunyai siswa yang lumayan banyak. Akan tetapi dalam perjalanannya, seringkali proses belajar mengajar (PBM) tidak terlaksana dengan baik, siswa terlantar, dan hasil belajar mereka juga rendah. Hal ini menurut mereka disebabkan kurangnya tenaga pengajar (guru) yang bisa standby dan memberikan perhatian penuh untuk mengurus MI tersebut.  Akibatnya, sebagian besar orang tua mulai menarik anak-anaknya dari madrasah, dan memindahkannya ke Sekolah Dasar (SD), meskipun agak lebih jauh jarak tempuhnya. Kondisi ini diperparah lagi dengan ketiadaan upaya kongkrit yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mendukung (bahkan memperbaiki) proses belajar di madrasah. Dari pihak guru sendiri juga tampak sikap acuh dan kurang bertanggung jawab dengan tugasnya membangun madrasah, bahkan akhirnya berhenti atau pindah tugas. Begitupun dengan pihak kementeriaan agama selaku lembaga yang menaungi pendidikan madrasah juga tidak bisa memberikan solusi apa-apa terhadap persoalan tersebut, bahkan sekedar turun meninjau dan memberikan pembinaan juga tidak pernah, begitulah cerita mereka tentang madrasah ini.
Kedua, sesungguhnya masih ada harapan dan keingininan pada sebagian masyarakat agar Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah dapat hidup kembali, menyelenggarakan PBM dengan baik, sebagaimana layaknya. Harapan ini muncul dari kesadaran akan pentingnya pendidikan madrasah bagi anak-anak mereka. Meskipun ada sekolah SD sebagai pilihan pendidikan anak-anak mereka, akan tetapi mereka sadar bahwa ada nilai plus (kelebihan) pendidikan madrasah dibandingkan dengan pendidikan umum (SD), terutama muatan-muatan keagamaan. Hal inilah yang menjadi harapan dan keinginan pada sebagian warga agar pendidikan madrasah dapat dihidupkan kembali.
Berdasarkan informasi dari pak Hamid (Ketua RT yang juga Ketua Masjid Istiqamah) dan pak Solihin (Kasi Kesra Desa Sungai Deras yang juga warga Dusun Gunung Ambawang), peluang menghidupkan kembali madrasah ini masih terbuka lebar, sebab secara administratif madrasah ini masih terdaftar di Kementerian agama Kabupaten Kubu Raya. Dengan kata lain, meskipun sudah beberapa tahun ini Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah tidak lagi beroperasi (sebagaimana persoalan di atas), namun sesungguhnya madrasah ini belum ditutup secara resmi administratif di Kementrian Agama. Konon katanya, masyarakat masih diberikan waktu untuk memikirkan dan mengevaluasi kemungkinan menghidupkan kembali PBM di madrasah ini.
Mendengar penjelasan tersebut, sontak saya merasakan ada harapan yang mungkin dapat diwujudkan untuk kembali hidupnya madrasah ini. Karena itu saya melanjutkan pertanyaan kepada pak Solihin dan pak Hamid. “Lantas apa yang disiapkan dan akan dilakukan oleh warga disini untuk masa depan Madrasah?”Dengan nada datar dan singkat keduanya menjawab, “tak taulah, tak ada guru yang mau mengajar lagi, anak-anak juga sudah sekolah ke SD semua”. Semula saya berpikir ada upaya konkrit tertentu yang mereka lakukan untuk mewujudkan harapan mereka. Akan tetapi jawaban keduanya justru menunjukkan sebuah harapan yang semu.
Saya kembali mendesak mereka dengan beberapa pertanyaan lanjutan, seperti; “sudah pernahkan warga disini meminta Kemenag untuk menugaskan guru di madrasah ini? Apakah bapak ibu dan warga disini bersedia menyekolahkan kembali anak-anak di madrasah ini? Bukan harus ke SD? atau peran apa yang telah dan akan dilakukan oleh warga disini dalam membantu jalannya PBM di madrasah ini? Apakah jika ada yang dapat membantu proses ini di Kemenag seperti penempatan guru baru di sini, warga akan mendukung sepenuhnya dengan mengembalikan sekolah anak-anak ke madrasah ini?” Lagi-lagi, saya tidak mendapatkan jawaban yang baik, tegas dan meyakinkan. Kondisi ini membuat saya sampai pada satu kekhawatiran akankah harapan kembali hidupnya madrasah ibtidaiyah al-Istiqamah ini hanya tinggal harapan.., atau harapan yang akan sirna menjadi kenangan..

POTENSI YANG BISA DIMANFAATKAN
Berdasarkan pengamatan singkat di lapangan, sesungguhnya masih ada banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali pendidikan di madrasah, antara lain gedung sekolah, SDM lokal (guru dan anak-anak), hingga refresentasi keberadaannya.
Dari sisi gedung sekolah, Madrasah Ibtidaiyah memiliki bangunan sekolah yang masih relatif baik dan layak untuk penyelenggaraan PBM. Artinya bahwa, dengan sedikit renovasi (perbaikan), gedung madrasah yang ada masih layak digunakan untuk penyelenggaraan proses belajar mengajar, meskipun baru ada dua lokal ruang kelas dan 1 ruang kantor yang saat ini justru dikontrakkan sebagai tempat tinggal warga.
Dari sisi SDM tenaga pengajar, di Dusun Gunung Ambawang sesungguhnya ada beberapa alumni pendidikan tinggi, termasuk STAIN Pontianak seperti pak Imran dan beberapa anggota keluarga dekatnya. Jika ada kemauan dan upaya masyarakat untuk memperjuangkan keberadaan madrasah, akankah mereka ini tidak mau mengabdi dan bertugas di kampung sendiri..?
Begitupun dari sisi anak-anak, kunjungan singkat penulis di Dusun Gunung Ambawang menemukan ada ramai anak-anak usia sekolah (madrasah) yang memiliki semangat belajar yang tinggi, terutama pendidikan agama dan TPA. Ini terlihat dari aktivitas mereka di masjid al-Istiqamah, belajar TPA dan mengisi waktu-waktu shalat berjama`ah.
Dari sisi refresentasi keberadaan sekolah, madrasah ini berada paling dekat dengan pemukiman warga Gunung Ambawang khususnya Cabang Kiri. Madrasah ini juga berada persis disamping Masjid al-Istiqamah, satu-satunya masjid di Cabang Kiri. Sementara SD berada lebih dari 1 km dari lingkungan masjid dan juga konsentrasi pemukiman penduduk Cabang Kiri. SD lebih dekat dengan pemukiman penduduk di Cabang Kanan.
Belum lagi informasi terakhir yang didapati oleh mahasiswa KKL dari Kantor Kecamatan Teluk Pakedai yang mengatakan bahwa pihak pemerintah setempat (melalui kecamatan) telah menyiapkan anggaran khusus untuk menghidupkan kembali madrasah tersebut. Sungguh suatu berita yang menyenangkan, yang bisa menjadi semangat lebih bagi para pemuka masyarakat khususnya, dan masyarakat Dusun Gunung Ambawang umumnya yang mendambakan kehidupan kembali madrasah Ibtidaiyyah ini. Karena itu, kepada mahasiswa peserta KKL saya menyampaikan harapan dan dukungan untuk segera menyampaikan kabar baik ini dan terus memberikan semangat kepada masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, khususnya para pemuka masyarakat dan sesepuh untuk dapat memikirkan, merencanakan dan segera melakukan langkah-langkah kongkrit dalam upaya merealisasi cita-cita menghidupkan Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah.     
Kondisi ini menurut penulis  merupakan potensi yang besar, yang masih dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali Madrasah Ibtidaiyab Al-Istiqamah, bahkan memajukannya. Hanya saja persoalannya adalah, apakah warga Dusun Gunung Ambawang (khususnya Cabang Kiri) betul-betul berkeinginan dan berharap untuk menghidupkan kembali madrasah ini kedepan? Dengan anggaran yang telah disipakan pemerintah, apakah masyarakat di Dusun Ambawang dapat memanfaatkan peluang dan dukungan ini? Jika mereka sepakat untuk membangun kembali madrasah, maka ada banyak pilihan yang dapat dilakukan segera, termasuk meminta dukungan dan pembinaan dari Kemenag Kabupaten Kubu Raya. Dengan kata lain, hidup atau matinya pendidikan di madrasah ini utamanya ditentukan oleh semangat dan dukungan riil dari seluruh masyarakat di Dusun Gunung Ambawang.

KEHADIRAN MAHASISWA KKL
Kehadiran mahasiswa dalam program KKL di kampung ini sesungguhnya bisa menjadi semangat baru pada masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, khususnya pada aspek pendidikan keagamaan. Nuansa keislaman dan pendidikan keagamaan yang menjadi ciri profesionalitas mahasiswa yang ber-KKL dalam setiap program pangabdiaan sejatinya dapat menjadi daya tarik dan kerinduan tersendiri pada orang-orang tua akan pentingnya pendidikan agama ditanamkan pada generai anak-anak mereka sejak dini.
Kerinduan dan daya tarik tersebut pada akhirnya akan menjadi semangat baru untuk memandang pentingnya keberadaan madrasah sebagai pendidikan agama pertama dan utama bagi generasi anak-anak mereka. Karenanya, mahasiswa dapat menjadikan proyek penyadaran ini sebagai misi penting dalam melaksanakan programnya di lapangan.
Dengan misi penyadaran ini, mahasiswa juga dapat memberikan pencerahan kepada warga akan pentingnya pendidikan agama bagi generasi anak-anak sejak dini, yang tentu saja tidak cukup didapatkan pada sekolah SD dan TPA. Bahkan mahasiswa mempunyai peluang membangun kekuatan sosial (social force) dari masyarakat itu sendiri untuk bergerak dan memperjuangkan apa saja yang menjadi harapan dan cita-cita mereka bersama ke depan, terutama menghidupkan kembali pendidikan madrasah. Penelusuran akan informasi adanya anggaran yang telah disiapkan oleh pemerintah (melalui kecamatan) untuk menghidupkan madrasah ini merupakan satu bukti adanya peran dan dukungan yang diberikan oleh mahasiswa KKL di lapangan. Apalagi jika kondisi ini didukung oleh upaya penyemangatan (supportivenes) yang baik melalui keseluruhan program KKL di lapangan. 
Apapun hasilnya dan pengaruh yang dapat diberikan oleh mahasiswa selama berada di lokasi KKL, yang pasti penguatan aspek pendidikan keagamaan mesti menjadi warna yang jelas dalam segenap aktivitas dan program kegiatan mereka. Sebab hanya dengan itu masyarakat akan melihat nilai penting dan unggul dari sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam yang notabene memiliki nilai-nilai sinergis dengan pendidikan madrasah yang harus mereka perjuangkan hari ini, yakni pendidikan madrasah yang berada dalam dilema hidup dan mati. Hidup karena secara administratif madrasah ini masih diakui keberadaannya di Kementerian Agama Kabupaten Kubu Raya. Mati karena secara riil tidak ada lagi proses belajar mengajar yang masih berjalan di madrasah ini. Akankan madrasah ini akan dapat hidup kembali, atau justru akan hilang dalam sejarah masyarakat Dusun Gunung Ambawang? Perjalanan waktu yang akan menjawabnya.
Sementara bagi para mahasiswa, apa yang dapat dilakukan dengan program KKL ini? Pastinya, berikan peran yang maksimal sesuai dengan batas tanggung jawab dan kapasitas yang dapat anda lakukan. Insya Allah sebuah amal baik (sekecil apapun ia) tidak akan pernah hilang dari catatan amal kita, meskipun sejarah hidup kita telah berakhir.…?
Akhirnya, semoga upaya menghidupkan kembali Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah dapat direalisasikan oleh masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, amin.  

Kamis, 06 Desember 2012

INIKAH POTRET PENDIDIKAN KITA


Oleh: Ibrahim MS (Satu catatan keprihatinan terhadap penyelenggaraan pendidikan)

Pendidikan pada asasnya merupakan ranah yang paling mulia dan menjadi cita-cita banyak orang, sebab dengan pendidikan kita akan menghasilkan manusia-manusia yang handal, cerdas nan berkualitas. Melalui pendidikan yang baik dan berkualitas kita akan mampu membangun pribadi, masyarakat dan bangsa ini menjadi lebih baik dan maju.
Tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pendidikan pada satu sisi, dengan kemunculan institusi pendidikan (terutama perguruan tinggi) yang semakin mengeliat pada sisi lain sesungguhnya memberikan harapan yang menggembirakan pada mulanya. Dimana kita melihat hampir di setiap kabupaten di Kalimantan Barat telah berdiri perguruan tinggi yang menawarkan berbagai disiplin keilmuannya. Bahkan dengan model pembelajarannya sendiri pendidikan tinggi tersebut sudah hadir hingga ke tingkat kecamatan-kecamatan.
Sungguh kondisi ini cukup memberikan harapan dan kemudahan bagi masyarakat kita untuk menimba ilmu hingga ke pendidikan tinggi, sebab mereka tidak perlu jauh-jauh lagi untuk kuliah, di dekat mereka, di hadapan mereka sudah banyak perguruan tinggi yang siap menampung keinginan mereka mengeyam pendidikan tinggi dan menjadi sarjana.
Ironisnya, kehadiran perguruan tinggi tersebut dengan berbagai kemudahan yang ada, terutama dari sisi jangkauannya, tidak dibarengi dengan jaminan kualitas pendidikan yang memadai sebagaimana diharapkan. Bahkan ada kesan bahwa pendidikan pada sebagian perguruan tinggi tersebut hanya bersifat formalitas semata guna mengejar gelar kesarjanaan dan lahan “bisnis yang berkedok pendidikan” oleh penyelenggara.
Jika sebelum ini dunia akademis diresahkan dengan adanya praktek jual beli gelar yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang tidak jelas, tampa perkuliahan dan proses belajar, tau-taunya sudah mendapat gelar kesarjanaan. Terhadap kasus ini, banyak dari kita yang berteriak bahwa itu adalah kejahatan akademis. Namun akhir-akhir ini kita jumpai kasus yang serupa meski tak sama, yakni adanya lembaga pendidikan (perguruan tinggi) yang jelas keberadaan dan sah pendiriannya secara hukum, akan tetapi ternyata dalam penyelenggarakan pendidikannya jauh dari prinsip-prinsip mengedepankan kualitas dan proses pendidikan yang baik. Bagaimana tidak, di luar etika akademis yang sepestinya, justru ada perguruan tinggi di sekitar kita yang secara resmi menawarkan paket pembuatan skripsi bagi mahasiswanya untuk menyelesaikan studi. Dengan tawaran ini mahasiswa tidak perlu repot meneliti, bahkan tidak perlu tau dengan skripsi akhir. Mereka hanya cukup menyetor bayaran sekian juta rupiah ke kampus (dengan tarif yang telah ditentukan), maka mereka akan terima jadi skripsinya dan menjadi sarjana. Subhanallah, percaya atau tidak, itulah kenyataan dan dapat dibuktikan di lapangan.
Sebagaimana kuliah umumnya, konon mereka ini juga akan melewati proses ujian skripsi di depan tim penguji, kemudian juga diwisuda. Karena itu mereka juga diminta sejumlah biaya untuk proses tersebut. “Ya, okelah. Untuk ujian dan wisuda memang sepantasnya ada. Tapi yang membuat saya bingung bagaimana ujian skripsi nanti? Skripsi sendiri saja saya tak tau karena tak pernah lihat. Skirpsi kami mereka yang buat. Apa yang mau diuji?” Keluh salah seorang mahasiswa di perguruan tinggi itu.
Sebuah keprihatinan yang mendalam dengan kondisi pendidikan yang seperti itu, ketika pendidikan diselenggarakan semata untuk kepentingan bisnis dan formalitas semata. Yang penting kuliah di perguruan tinggi resmi (sah), selesai dan mendapatkan gelar sarjana, cukup. Itulah agaknya yang terlintas dalam pikiran mereka. Bagi perguruan tinggi penyelenggara yang penting ramai mahasiswa, dan banyak pula sarjana yang dihasilkan. Lantas pertayaannya adalah, adakah kualitas yang didapatkan dengan proses pendidikan seperti itu. Pernahkah mereka berpikir bagaimana mempertanggungjawabkan gelar kesarjanaan mereka kelak? Jika mereka menjadi pendidik, mereka harus mengajar dengan kejujuran dan ilmu yang benar. Jika mereka PNS -menjadi guru dan dapat sertifikasi, mereka harus membuat penelitian dan karya untuk laporan beban kerja setiap semester?
Di sinilah mereka baru akan merasakan imbasnya. Mereka harus membuat semua itu. Mereka tidak mungkin lagi beralasan kalau mereka tidak mendapatkan pengalaman tersebut (meneliti & menulis) ketika kuliah dahulu. Ataukah mungkin pengalaman yang diajarkan dari kampus mereka dulu yang akan dijadikan pelajaran buat mereka, yakni membayar orang lagi untuk meneliti dan menulis karya atas nama mereka. Astaghfirullahal azhim dan mohon perlindungan Allah dari generasi pendidikan yang salah seperti ini. Generasi pendidik yang dicetak dan diwarisi oleh perguruan tinggi yang tidak berwibawa dan tidak berkualitas, bahkan perusak dunia akademis pendidikan kita.
Adakah itu gambaran pendidikan tinggi kita saat ini? Mungkin. Akan tetapi sesungguhnya masih banyak perguruan tinggi yang berjalan dalam koridor akademis yang baik dan benar, yang masih mengedepankan proses pendidikan yang berkualitas, menjunjung tinggi budaya akademis dan kejujuran ilmiah, yang dapat dipilih untuk pendidikan anak-anak dan generasi kita kedepan.
Oleh karena itu, jika penguasaan ilmu pengetahuan yang menjadi tujuan pendidikan tinggi anak-anak dan generasi kita, maka jauhkan mereka dari perguruan tinggi yang hanya mengedepankan praktek bisnis oriented dan formalitas belaka, yang justru merusak dunia akademis pendidikan kita. Wallahu a`lam.

BEGITULAH MEREKA MENCARI REZKI


Oleh: Ibrahim MS (Catatan di Bis Kuching-Pontianak)

“Mas, mau kemana? Ada yang jemput? Ayo langsung ke bandara 50 saja”. itulah sederet pertanyaan yang muncul dari seorang lelaki yang masuk ke dalam bis sore itu dan bertanya kepada salah satu penumpang. Suasana tersebut cukup  mengejutkan kami, maklum beberapa diantara penumpang masih tertidur dan dalam kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang dari Kuching, Malaysia.
Pengalaman ini saya alami beberapa hari yang lalu ketika saya pulang dari Malaysia dengan menumpang bis antar negara Kuching-Pontianak. Kira-kira pukul 4 sore bis kami sudah masuk kota Pontianak, dan diantara penumpang kami ada yang minta turun di Tanjung Raya 2. Belum sempat penumpang tersebut turun dari bis, begitu pintu terbuka tiba-tiba masuk 4 sampai 5 orang lelaki dan bertanya kepada penumpang satu persatu. Berbagai pertanyaan mereka ajukan seperti mau kemana? Siapa yang jemput? Ayo ikut dengan saya? Dan berbagai pertanyaan dan bujukan kepada penumpang untuk mau menggunakan jasa ojek mereka.
Kecuali saya dan teman di sebelah saya agak terlewati dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin karena sikap kami berdua yang santai dan cendrung cuek dengan kehadiran mereka.
Begitu penumpang tadi sudah turun, bis kami terus berjalan. Dan justru mereka-mereka itu tidak turun, mereka mengikuti bis kami sampai ke terminal (kantor agen). Di sepanjang jalan itulah mereka terus membujuk dan merayu kepada penumpang untuk mau menggunakan jasa ojek mereka ke tempat tujuan masing-masing.
Secara diam-diam saya mengamati situasi tersebut. Menurut saya, ada penumpang yang merasa senang dan diuntungkan dengan kehadiran mereka, apalagi kebetulan mereka saling mengenal, atau berasal dari komunitas yang sama. Atau mereka memang memerlukan jasa ojek tersebut. Akan tetapi ada juga yang tampak risih dan seperti merasa terganggu. Maklum saja, banyak cerita pengalaman yang tidak menyenangkan yang pernah dialami oleh penumpang seperti ditipu/ diakali oleh penawar jasa ojek seperti ini dengan meminta bayaran yang sangat mahal, bahkan dengan mata uang ringgit, karena mereka menganggap penumpang tersebut dari Malaysia, pasti punya banyak ringgit.
Atau mungkin juga tidak menyenangkan jika dihadapkan pada hak privasi setiap penumpang untuk merasakan kenyamanan dan ketenangan dalam kendaraan, dan itu semestinya adalah tanggung jawab yang mesti dijamin oleh pihak armada.
Kondisi ini mengingatkan saya pada suasana transportasi di Malaysia yang begitu nyaman, aman dan sangat menjamin privasi penumpangnya. Bukan untuk maksud membandingkan, tapi sejujurnya di Malaysia saya tidak pernah menemukan penawar jasa ojek yang berburu calon penumpangnya hingga masuk ke dalam kendaraan umum seperti di negara kita. Jika pun ada, itu juga oleh para warga negara kita yang ada di sana.
Saya berbisik dengan teman di sebelah saya, “inilah negara kita, begitulah cara sebagian warga kita mencari rezki untuk menopang hidup keluarga mereka. Mereka punya kreatifitas dalam mencari sumber penghidupan yang baik dan tentunya halal di tengah sukarnya mencari pekerjaan lainnya”. Dari lubuk hati yang dalam saya hanya bisa berdoa semoga mereka-mereka ini bisa menjalankan aktivitas mencari rezki seperti itu dengan benar, jujur dan utamanya menjunjung nilai kemanusiaan dan tolong menolong. Sebab pada substansinya, pemilik jasa ojek dan penumpangnya adalah saling membutuhkan. Yang penting jalani semua itu dengan baik dan benar, jangan sekali-kali memanfaatkan ketidaktahuan orang lain akan daerah kita dengan penipuan dan pemerasan untuk meraup keuntungan yang besar. Carilah rezki dengan cara halal, percayalah bahwa rezki Allah ada di mana-mana, dan setiap kita sesungguhnya sudah digariskan rezkinya masing-masing, termasuk para tukang ojek yang berburu rezki hingga ke dalam bis sore itu. Akhirnya dengan senyum saya berkata dengan teman yang duduk di sebelah saya “Ya, inilah negara kita, dan begitulah mereka mencari rezki”. ...!

Selasa, 30 Oktober 2012

Habis Gelap terbitlah Terang

Seringkali kita mendengar ungkapan "habis gelap terbitlah terang". Ungkapan motivasi itu seringkali kurang dipahami oleh kebanyakan kita. Kita seakan-akan tidak mau memahami dengan benar apa filosofis makna dalam ungkapan tersebut, karena watak kita yang cendrung instan dan tidak sabar.
Aa Gym pernah menyatakan dalam tausyiahnya bahwa semakin gelapnya keadaan suatu malam, makan semakin dekat ia dengan terangnya pagi. karena itu jangan pernah takut dengan gelap. sebab gelap adalah awal dari terbitnya terang.
Dalam kehidupan sosial kita, ungkapan serupa sesungguhnya mempunyai relevansi yang besar, dimana kita dituntut untuk banyak-banyak bersabar dalam menjalani hidup. Banyak kesuksesan dan nikmat hidup yang harus terlebih dahulu dilewati dengan kesengsaraan dan kesedihan. Bahkan dengan merasakan kesengsaraan dan kesedihan itulah kita akan benar-benar mampu merasakan kebahagiaan dan kesuksesan pada akhirnya. Oleh karena itu, kesabaran mesti menjadi perinsip hidup penting yang harus miliki oleh setiap kita dalam menjalani hidup dan perjuangan, sembari terus berusaha dan berusaha dengan tampa kenal kata menyerah apalagi berputus asa.
Dalam hidup, tentu tidak semua yang kita inginkan akan segera didapatkan. Bahkan tidak sedikit dari keinginan itu yang harus diperjuangkan dengan mati-matian (kesungguhan). Untuk semua itu, lagi-lagi kesabaranlah yang mesti dimiliki oleh setiap kita dalam berusaha dan terus berusaha mewujudkannya. Jika kita mampu menjadikan sikap sabar dalam berusaha, Insya Allah kesuksesan akan didapatkan. Jika kita berlapang dada menerima dan melewati gelapnya malam, maka kita akan sampai ke pagi hari yang terang benderang. Inilah sesungguhnya makna ungkapan "habis gelap terbitlah terang".