Sabtu, 14 Februari 2009

Seri Artikel Komunikasi

RAMBU-RAMBU
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Berkomunikasi pada dasarnya
hanyalah upaya untuk mendekatkan keinginan kita dengan orang lain,
bukan harus memaksakan keinginan tersebut
untuk diterima oleh orang lain

(Aksioma Komunikasi)

Artikel ini merupakan sebagian dari isi buku penulis "Probematika Komunikasi Antarbudaya di Kalbar", yang diterbitkan oleh STAIN Pontianak Press, tahun 2005. buku ini merupakan buku wajib bacaan bagi Mahasiswa jurusan Dakwah STAIN Pontianak Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (Pengantar khusus Penulis untuk blog ini).

Berkomunikasi, tidak lain adalah aktivitas pemenuhan harapan dan keinginan antar pribadi orang, kelompok dan subjek yang terlibat dalam proses tersebut, baik sebagai komunikator maupun komunikan. Baik pemenuhan harapan dan keinginan secara lisan (speech - verbal communication), isyarat anggota badan (nonverbal communicatin), maupun antar idea dan pemikiran (inter ideas and think communication).

Dalam bentuk apapun, komunikasi itu senantiasa melibatkan paling tidak dua subjek di dalamnya sebagai komunikator dan komunikan (termasuk intrapersonal communication). Karena itu ada beberapa – banyak - hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan komunikasi yang baik dan efektif antar subjek tersebut. Sebab setiap subjek senantiasa memiliki cara dan sikap hidup yang juga berbeda, setiap orang (dari kelompok budaya apapun, dan dari latar belakang manapun) senantiasa memilik frame of reference dan field of eksperience yang juga berbeda. Perbedaan ini juga, tentu saja akan membentuk pola dan cara komunikasi yang dibangun. Atas dasar itu maka, perbedaan pada masing – masing subjek (yang terlibat dalam komunikasi) – selain unsur lainnya dalam komunikasi semisal pesan, media, dan konteknya – mesti dipahami dengan baik dan benar, sehingga bisa disikapi secara baik, wajar dan apa adanya. Berikut beberapa rambu – rambu dalam komunikasi antarbudaya.

Pahami diri dan orang lain

Ada sebuah pertanyaan dilontarkan oleh seseorang dalam teka tekinya ; apa yang paling sulit dipahami oleh setiap manusia., Yang paling sulit dipamahi oleh manusia dalam komunikasi adalah memahami diri sendiri. Baru setelah itu memahami orang lain.

Pemahaman yang baik terhadap diri akan menentukan keberhasilan mengerahkan segala potensi komunikasi yang ada dalam diri seseorang. Kemampuan mengenal diri sendiri, juga merupakan kunci untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan yang ada dalam diri seseorang.

Dalam kajian komunikasi, pengenalan terhadap diri dan orang lain, biasa diistilahkan dengan persepsi dan konsepsi diri. Persepsi dan konsepsi yang baik dan fositif terhadap diri dan orang lain, akan membentuk komunikasi yang baik dan positif pula dalam membangun hubungan komunikasi dengan orang lain. Sebaliknya persepsi dan konsepsi yang jelek dan negatif terhadap diri dan orang lain, juga akan menjadikan komunikasi yang janggal, penuh curiga, ugal-ugalan dan meremehkan dalam hubungan antar manusia. Pantaslah ada ungkapan komunikasi yang menyatakan bahwa, “orang cendrung akan berkomunikasi sebagaimana persepsi dan konsepsi yang ia miliki terhadap komunikasi yang akan ia lakukan”.

Ungkapan tersebut, jika dilanjutkan akan berarti bahwa, tatkala anda merasa diri anda lebih hebat, lebih baik dan lebih pintar dari orang yang akan anda temui, maka tentu anda akan melakukan komunikasi dengan santai, penuh percaya diri, terkadang sembarangan dan sombong. Sebaliknya jika anda merasakan diri anda rendah, miskin, jelek, maka anda akan melakukan komunikasi dengan pelan, menunduk, malu, bahasa yang lemah lembut dan tidak percaya diri.

Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain juga berlaku sama. Contoh, ketika seseorang memandang bahwa yang akan ia hadapi adalah seorang Dosen, Intelektual, pintar dan berwibawa, maka ia akan melakukan komunikasi dengan penuh penghormatan, sistematis bahasanya, selektif omongannya, bahkan cendrung merendah dan malu-malu. Sebaliknya jika anda punya persepsi dan konsepsi bahwa yang akan anda temui adalah seorang pemulung, yang meminta-minta, maka kemungkinan anda akan melakukan komunikasi dengan kasar, arogan, ugal-ugalan, sembarangan, bahkan maki-makian.

Karena itu, kemampuan memahami diri dan orang lain sangat menentukan dalam membangun komunikasi yang baik, apa lagi dalam kajian komunikasi antarbudaya. Untuk itulah, ada baiknya kembali dilihat persepsi dan konsepsi dalam komunikasi, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

Persepsi dan konsepsi diri.

Secara sederhana persepsi adalah proses aktif dan kreatif manusia dalam mengkonstruk suatu gambar mengenai dunia, benda, situasi, persitiwa, diri dan orang lain disekitar kita. Ia adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisir dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita, bahkan ia adalah inti dari komunikasi .

Defenisi lain mengenai persepsi dapat dilihat pada Brian Fellows : sebagai proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi, atau Kennet A Sereno dan Bodaken : sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita, atau john R Wenburg dan W Wilmot : cara organisme memberi makna, atau J Cohen : interpretasi bermakna atas sensasi sebagai refresentasi objek eksternal – pengetahuan yang tampa mengenai apa yang ada di luar sana .

Persepsi pada akhirnya akan membentuk konsepsi tertentu terhadap apa yang dipersepsi. Karena itu persepsi dan konsepsi senantiasa pengaruh – mempengaruhi. Persepsi yang salah akan membuat kelirunya konsepsi. Sebaliknya konsepsi yang salah juga akan membuat persepsi yang tidak benar. Jika digambarkan dalam bagan, maka persepsi dan konsepsi bagaikan lingkaran komunikasi ayam dan telur ayam, yang tidak pernah tau mana yang lebih dahulu keduanya.

Terlepas dari itu, persepsi dan konsepsi terhadap diri akan menentukan pola dan bentuk komunikasi yang akan dilakukan. Ketika persepsi dan konsepsi terhadap diri baik dan benar, maka komunikasi yang dilangsungkan akan mungkin berjalan dengan baik, positif, penuh percaya diri dan maksimal. Sebaliknya jika persepsi dan konsepsi diri kurang baik dan keliru, maka komunikasi yang terbangun akan bersifat tidak maksimal dan kurang percaya diri.

Sebagai sebuah proses stimuli untuk memberi makna terhadap suatu objek yang dipersepsi dan dikonsepsi, ada beberapa katagori besar objek yang dapat dipersepsi.

Pertama, terhadap lingkungan pisik, kongkrit dan dapat diamati secara nyata.
Kedua, terhadap objek-objek dan kejadian social yang kita alami dan saksikan dalam lingkungan social kita. Persepsi social ini senantiasa dipengaruhi oleh pengalaman (field of eksperience) seseorang, bersifat selektif, bersifat dugaan karena mempersepsi juga adalah menduga makna dari suatu objek yang diamati, dipersepsi dan dikonsepsi. Persepsi juga bersifat evaluatif dan kontekstual.

Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain.

Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain pada dasarnya hampir sama dengan terhadap diri sendiri. Persepsi dan konsepsi terhadap orang lain, selain referensi dari luar dirinya dalam memandang orang lain, ia juga dipengaruhi oleh frame of referense dan field of eksperience dalam diri seseorang. Karenanya ada beberapa prinsip yang berlaku dalam mempersepsi dan mengkonsepsi orang lain dalam komunikasi antarbudaya .

Pertama, adanya kemiripan, kedekatan dan kelengkapan pada struktur objek dan kejadian. Struktur dan kejadian dimaksud dalam mempersepsi dan mengkonsepsi orang lain tentu saja mereka yang berada diluar pribadi yang mempersepsi dan mengkonsepsinya.

Kedua, kita cendrung mempersepsi dan mengkonsepsi suatu ransangan atau kejadian yang terdiri dari objek dan latar belakangnya. Semakin mirip suatu ransangan dan kejadian dengan ojek dan latar belakangnya, maka semakin mudah dan semakin baiklah persepsi dan konsepsi yang diberikan terhadap orang lain. Meskipun harus ditegaskan bahwa, tidak ada persepsi yang objektif. Semua persepsi pada dasarnya adalah subjektif. Andrea L Rich telah mengomentari ini dengan pernyataannya “persepsi pada dasarnya mewakili keadaan fisik dan psikologis individu, alih-alih menunjukkan karakteristik dan kualitas mutlak objek yang dipersepsi .

Sebagaimana terhadap diri sendiri, persepsi dan konsepsi terhadap orang lain juga terikat dan dipengaruhi oleh budaya (culture bound). Bagaimana memaknai suatu pesan, objek, atau lingkungan bergantung pada sistem nilai dan budaya yang kita anut, termasuklah di sini agama, ideology, tingkat intelektualitas, ekonomi, profesi dan word view seseorang juga akan mempengaruhinya dalam mempersepsi dan mengkonsepsi objek dan orang lain dalam komunikasi.

Berkaitan hal tersebut, Larry A Samovar dan Richard E Forter mengemukan unsur-unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi dan konsepsi komunikasi, yakni : kepercayaan (beliefs), nilai (values), sikap (attitudes), pandangan dunia (worldview), organisasi social (social organization), tabiat manusia (human nature), orientasi kegiatan (activity orientation), persepsi tenteng diri dan orang lain (perception of self and others).

Persepsi dan konsepsi dalam komunikasi juga dipengaruhi (cendrung dirusak) oleh karena kesalahan atribusi (penyebab perilaku orang lain), efek hallo (penilaian menyeluruh terhadap suatu sifat tertentu pada orang lain), streotif (generalisasi yang tidak cukup informasi), prasangka dan gegar budaya .

Sikapi Perbedaan secara wajar

“Kematangan dalam budaya adalah kemampuan bertoleransi atas perbedaan, mengutuk orang lain karena perbedaan adalah tanda kebengalan dan kecongkakan”. Demikian statemen yang dilontarkan oleh para ahli komunikasi ketika menjelaskan perlunya sikap yang wajar terhadap perbedaan dalam komunikasi antarbudaya .

Jika meruntut akar perbedaan dalam diri manusia, maka semua orang akan sepakat bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan tak terelakkan (conditio sain quo non). Dalam islam, perbedaan manusia adalah sunnatullah yang telah ditentukan jauh sebelum manusia itu diciptakan, yang dikenal dengan takdir Tuhan.

Dalam al-qur`an misalnya dengan jelas Allah berkata bahwa perbedaan adalah kehendah-Nya, jikalau Allah menghendaki semua manusia adalah satu, maka itu bukan persoalan yang sulit (Q.S. : ). Akan tetapi Allah berkeinginan menciptakan manusia yang beragam suku, bangsa,laki-laki dan perempuan dengan maksud supaya manusia dapat saling melengkapi, mengenal satu sama lain, dan pada akhirnya berkompetisi dalam kebajikan dan taqwa (al-Hujarat : 13).

Hukum alam sebetulnya juga telah mengisyaratkan, betapa perbedaan adalah hukum alam yang menjadikan kehidupan ini lengkap dan sempurna. Air sebagai zat yang mencair tidak akan pernah eksis jikalau tanpa adanya api dan panas yang membakar. Panasnya matahari pada siang hari, juga tidak akan pernah dirasakan oleh alam ketika tidak adanya kesejukan dan dingin pada malam hari.

Orang kaya tidak akan pernah ada, jikalau tidak adanya orang lain yang miskin, profesi dosen tidak akan ada, manakala tidak adanya mahasiswa yang mengikuti kuliah. Mahasiswa tidak akan pernah ada jikalau dibawahnya tidak ada yang namanya mahasiswa, dan seterusnya.

Demikian pula komunikasi, hubungan antarmanusia tidak akan pernah terjadi tarik menarik ketika tidak adanya keinginan dan harapan yang sama dari subjek yang berbeda. Harapan terpenuhinya keinginan seseorang tidak akan pernah terjadi, jika orang tersebut tidak pernah merasakan membutuhkan dan memerlukan sesuatu itu.

Contoh-contoh di atas, cukup menggugah kita bahwa perbedaan adalah sesuatu yang mesti ada. Karena itu sikap yang mesti dibangun dalam diri komunikator antarbudaya adalah, sikap memahami orang lain secara wajar, dengan dan dalam segala perbedaannya, bukan menafikan keberadaan pihak lain hanya karena mereka berbeda. Disinilah mesti dipahami aksioma komunikasi yang menyatakan bahwa “berkomunikasi, bukanlah pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti (sama seperti) kita, melainkan mendekatkan pemahaman orang lain mengenai diri kita (yang berbeda)”.

Ketika perbedaan yang ada mampu disikapi dengan baik dan wajar sebagai realitas komunikasi, maka akan tumbuhlah kewajaran sikap untuk mau memahami, menjelaskan dan menghargai perbedaan yang ada. Asumsi yang dikembangkan dalam sikap ini, tentu saja penghargaan bahwa orang lain mungkin baik dan benar, sebagaimana kebaikan dan kemungkinan kebenaran yang kita yakini, dan kita mungkin salah dan keliru sebagaimana orang lain juga bisa salah dan keliru.

Akan tetapi dari semua itu, yang harus anda ketahui bahwa, tidak ada satu manusia-pun yang akan berpegang (mati-matian) pada suatu prinsip, cara hidup dan nilai yang ia tau betul bahwa itu tidak baik, salah dan maksiat. Setiap orang akan mempertahankan cara hidup, prinsip dan nilai yang ia tau betul, dan yaqin bahwa hal itu baik dan benar-minimal dalam perspektif diri pelakunya. Oleh karena itu, sikap yang mesti dibangun dalam komunikasi antar orang-orang yang berbeda budaya adalah, pelajari dan pahami mengapa mereka berbeda dengan kita, apa yang menjadi pertimbangan mereka mengambil sikap, cara hidup dan prisip yang berbeda dengan kita dan sebagainya. Ketika hal ini terjawab, maka akan terjawablah “kotak hitam budaya” yang ternyata, mereka bersikap seperti itu, melakoni cara hidup seperti itu, dengan prinsip yang begitu, adalah karena ini dan seterusnya. Dengan demikian maka, perbedaan tadi tidak lagi menjadi persoalan dan biang bagi tumbuhnya sikap antipati, melainkan sesuatu yang menyenangkan dan bisa saling melengkapi.

Sikap inilah yang harus ditumbuh-kembangkan dalam komunikasi antarbudaya, dimana terbukanya peluang untuk saling membuka diri, memahami dan menghargai perbedaan yang ada. Penulis optimis, jika sikap ini telah menjadi pegangan dan cara hidup kesemua pelaku komunikasi antarbudaya, maka tidak akan pernah terjadi lagi konflik social antaretnis dengan mengkambing-hitamkan perbedaan budaya.

Pelajari mengapa mereka berbeda

Pentanyan “mengapa mereka berbeda”, adalah kelanjutan dari sikap komunikasi budaya yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Dan merupakan kelanjutan dari kemampuan menyiakapi secara wajar perbedaan yang ada.

Selain karena sunnatullah, orang berbeda cara hidup, tutur kata dan bahasa, nilai-nilai anutan dan prinsip hidup adalah ditentukan oleh budaya dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Orang yang dilahirkan di desa terpencil, dan dibesarkan di tengah keluarga kampungan, makan rebung dan tempoyak, tentu saja akan berbeda cara komunikasinya dengan orang yang dilahirkan di tengah gemerlap kota dan dibesarkan dalam keluarga sehat sejahtera empat sehat lima sempurna.

Anak yang dididik dengan ketertekanan jiwa, broken home dan ketelantaran tanggung jawab keluarga, tentunya akan berbeda cara komunikasinya dengan anak yang dididik dengan penuh kegembiraan, kasih sayang dan perlindungan dari orang tuanya.

Pada contoh pertama akan ditemukan kemampuan berkomunikasi yang baik, cerdas, kritis, percaya diri dan cara yang positif lainnya. Sebaliknya pada contoh kedua, akan ditemukan kemampuan komunikasi yang kurang lancar, malu-malu, kaku dan tidak percaya diri.

Ada bebagai factor lain yang membuat karakteristik perbedaan masing-masing individu dalam komunikasi, antara lain adalah pendidikan yang didapatkan oleh anak manusia sejak mereka dalam rumah tangga. Berkaitan dengan hal ini Jalaludin Rahmat (2001) mengutif ungkapan :

CHILDREN LEARN WHAT THEY LIFE
Anak belajar dari kehidupannya

If a child lives with criticism, he learn to condemn
(jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki)
if a child lives with hostility, he learn ti fight
(jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi)
if a child lives with ridicule, he leran to be shy
(jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri)
if a child lives a shame, he leran to feel quilty
(jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri)
if a child lives with tolerance, he learn to be patient
(jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri)
if a child lives with encouregement, he learn to be confident
(jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri)
if a child learn to with praise, he learn to appreciated
(jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai)
if a child lives with fairness, he learn to justice
(jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan)
if a child lives with security, he lerans to have faith
(jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan)
if a child lives with approval, he lerans to likes himself
(jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri)
if a child lives with acceptance and friendshif, he learns to find love in the world
(jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan)

Pelajari mengapa mereka berbeda, juga mensyaratkan komunikasi yang mesti melihat kontek (ruang dan waktu) dimana, dan kapan komunikasi itu berlangsung. Komunikasi dalam kontek ini, akan menjelaskan perbedaan komunikasi yang dilakukan dalam percakapan formal dengan non formal dan informal. Perbedaan komunikasi dalam hubungan struktur kerja dengan komunikasi dalam hubungan sahabat dan pertemanan, komunikasi dengan sesama jenis kelamin dengan yang berbeda jenis kelamin dan lain sebagainya. Kontek komunikasi ini juga akan menjelaskan perbedaan komunikasi yang berlangsung dalam suasana suka ria dengan ketika suasana duka cita, suasana kesal, sedih dan baru putus cinta akan berbeda komunikasinya dengan ketika dalam suasana senang, puas, dan baru diterima cintanya dan lain sebagainya.

Nuansa komunikasi atasan yang kebetulan baru dipromosikan untuk sebuah jabatan yang lebih tinggi, akan berbeda dengan komunikasi yang berlangsung tatkala atasan mendapat teguran pimpinan karena kesalahan membuat laporan kerja unit dan sebagainya.

Oleh karena itu, jangan ceroboh untuk menghakimi sikap orang yang pemdiam dan tidak menyapa ketika anda lewat didepan ruangannya, hanya karena dalam frame of reference dan field of eksperience kita yang menganggap itu sebagai bentuk kesombongan dan ketidak-pedulian. Sebab, mungkin saja saat itu ia sedang berduka lantaran ada masalah di rumah, bertengkar dengan isteri atau anaknya lagi sakit kritis di rumah sakit.

Perbedaan sikap seperti ini akan sering sekali ditemukan dalam komunikasi antarbudaya, dan seringkali pula menimbulkan kesalahpahaman dan konflik antar pribadi dan komunitas budaya.

Hindari Evaluasi terhadap perbedaan

Rambu berikutnya adalah hindari evaluasi yang tergesa – gesa terhadap perbedaan sebagai suatu sikap yang salah dan keliru. Di atas telah dicontohkan sikap seseorang yang diam dan tidak menyapa tatkala anda lewat di depan ruangannya. Berikut akan dikemukan beberapa contoh kesalahan-pahaman komunikasi (misunderstanding-miscommunication) antarbudaya yang berujung pada konflik peribadi dan budaya.

“anda tentu masih teringat peristiwa jatuhnya dua bom raksasa pasukan sekutu yang meluluh lantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki Jepang. Peristiwa itu terjadi ketika pasukan sekutu AS (yang dipimpin oleh Jendral Mc Athur) menginstruksikan Jepang agar menyerah dalam perang dunia II. Oleh jepang, instruksi tersebut di jawab dalam isyarat – bahasa Jepang ”Mokusatsu” yang berarti ”kami akan mentaati ultimatum tuan tanpa komentar”. Jawaban itu dipahami oleh pasukan sekutu yang berada di pesawat udara dengan makna ”mengabaikan” atau ”Jangan memberi komentar sampai keputusan diambil”. Ini berarti isyarat pembangkangan dan penolakan untuk menyerah, maka dijatuhkanlah dua bom itu di dua kota terbesar di Jepang : Hiroshima dan Nagasaki. Akibatnya Jepang hancur dan mengalami kerugian Sumber daya dan material yang tak terhitung jumlahnya” .

“Pasangan muda-mudi pernah bertengkar sekembalinya dari sebuah restoran pada suatu malam. Pertengkaran itu bermula dengan ketersinggungan melihat tingkah laku sang pacar yang diam, tidak mau berbicara, bahkan berpaling membelakangi dirinya. Di matanya sang pacar lagi marah, dan tidak lagi mencintainya. akibat tak kuasa menahan amarah dan ketersinggungannya itu, iapun keluar meninggalkan pacarnya itu dengan kesal. Peristiwa itu berlalu hingga keduanya berjalan pulang. Dengan kesal ia mendengarkan penjelasan pacarnya bahwa ia diam karena di restoran itu ada paman dan bibinya yang juga sedang makan malam, duduk di kursi kedua bagian depannya lagi. Makanya aku tak berani bicara dan memalingkan hadapanku. Kamukan tau kalau paman dan bibi tidak senang dengan hubungan kita, kata si pacar menjelaskannya”

Anda dapat membayangkan betapa kondisi itu bisa menjadikan malapetaka bagi siapa saja ketika evaluasi terlampau ceroboh diberikan pada kedua contoh kasus diatas, yang secara lahiriah – manusiawi, memang memiliki makna pembangkangan, penolakan dan ketidak-cintaan. Akan tetapi ternyata isyarat tersebut mempunyai makna khusus karena situasi dan kondisi saat itu.

Oleh karenanya, komunikasi yang baik dan efektif, akan terbangun jika pribadi dan komunitas budaya tidak terlalu mudah memberikan evaluasi terhadap sikap budaya yang berbeda antar partisipan komunikasi. Baik itu evaluasi positif maupun negatif. Evaluasi positif yang keliru akan menjadikan komunikasi yang dibangun gagal. Apalagi terhadap evaluasi yang negative, tentu saja bisa menjadi petaka dan konplik komunikasi.

Mulailah dari yang terkecil

Mulailah dari yang terkecil : komunikasi antarbudaya yang baik dan efektif mensyaratkan sikap keterbukaan, toleransi dengan perbedaan, pemahaman dan penghargaan terhadap perspektif orang lain yang mungkin benar sebagaimana kemungkinan perspektif kita yang salah, mesti dilakukan oleh setiap peserta komunikasi antarbudaya. Baik dalam hubugan social antarbudaya, antar ras, antar agama, antar bangsa dan negara, antar profesi, antar etnis maupun antar pribadi dan intra pribadi.

Sebagai prasyarat terwujudnya komunikasi antarbudaya yang baik dan efektif, kesediaan membuka diri, dan kemampuan memahami perbedaan dan perspektif orang lain, mesti harus dimulai dari hubungan komunikasi yang paling kecil yakni hubungan dialogis ide, pemikiran dan pertimbangan dalam diri sebelum keputusan komunikasi itu dilakukan (intrapersonal communication). Ini berarti bahwa komunikator antarbudaya yang baik mesti mampu mengatasi gejolak ide, pertarungan pemikiran dan pertimbangan dalam diri ketika akan mengambil suatu sikap atau keputusan.

Sebagai contoh dalam kontek ini, anda dapat membayangkan betapa terkadang anda punya keraguan yang luar biasa, untuk menentukan sebuah sikap atau keputusan. Terkadang ide, pikiran dan pertimbangan anda cendrung mengambil sikap dan keputusan A, terkadang cendrung untuk keputusan B. terkadang pengalaman budaya (Frame of reference dan field of eksperience) kita menghendaki untuk mengambil sikap dan keputusan A, terkadang juga untuk keputusan B. perdebatan intra personal ini tidak jarang membawa pada sebuah kegagalan komunikasi budaya yang akan dilakukan, sebab semua komunikasi (dalam bentuk dan kontek apapun) senantiasa berlangsung melalui komunikasi intrapersonal. Karena itulah, keberhasilan komunikasi dalam kontek yang lebih luas dan besar, sangat ditentukan oleh keberhasilan mengatasi persoalan komunikasi dalam kontek kecil intrapersonal ini.

Mulailah dari yang terkecil, bermakna bahwa komunikasi antarbudaya yang baik mesti dimulai oleh setiap pribadi komunikator antarbudaya, dalam bentuk apapun dan kontek manapun, termasuk komunikasi dalam diri pribadi (intrapersonal communication). Seseorang yang tidak mampu mengatasi kejolak tarik-menarik dan pertimbangan yang baik dan akurat dalam dirinya, maka ia akan gagal dalam melakukan komunikasi ke luar dirinya (to out others). Seseorang yang ceroboh, latah dan ugal-ugalan dalam komunikasi, merupakan gambaran komunikator yang tidak mampu mengatasi gejolak intrapersonal dengan baik. Akibatnya tentu saja akan merusak komunikasi yang dibangun dengan orang lain diluar dirinya, termasuk komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) dan antarbudaya (intercultural communication).

Perbaiki sikap antarbudaya

Setiap manusia hidup dalam komunitas dan sistem social tertentu yang tak terbantahkan, karenanya ia juga mempunyai cara hidup dan tuntunan perilaku tersendiri pula yang membedakan satu dengan lainnya. Realitas ini menunjukan bahwa aksioma filsafat yang mengatakan manusia adalah hewan yang berfikir, maka aksioma tersebut juga membenarkan bahwa dengan berfikir maka manusia berbudaya.

Budaya dalam pengertian sederhana adalah cara hidup manusia yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh nilai, norma, sikap, agama, adat istiadat, objek material dan non material, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Edward T Hall memberikan defenisi budaya sebagai The total way of life of a people, composed of their learned and shared behavior patterns, values, norms, and material objeks (keseluruhan cara hidup manusia yang dipelajari dan dipertukarkan dalam membentuk tingkah laku, nilai-nilai, norma-norma, dan objek material lainnya).

Dengan demikian, setiap manusia yang terlibat dalam komunikasi sudah memiliki budaya (cara hidup dan berperilaku) tersendiri, karenanya komunikasi yang baik dan mesti dibangun bukanlah menafikan cara hidup dan budaya para pelakunya, melainkan mendekatkan kesamaan budaya diantara mereka. Pantaslah prinsip komunikasi antarbudaya salah satunya menyatakan bahwa “semakin mirip latar belakang social dan budaya antar pelaku komunikasi, akan menjadikan komunikasi itu lebih baik dan efektif. Sebaliknya semakin besar perbedaan latar belakang social dan budaya keduanya maka semakin sulitlah komunikasi dibangun antar komunitas budaya yang berbeda” .

Melihat kondisi ini jelas bahwa, sikap yang harus dibangun dalam komunikasi antarbudaya adalah sikap yang tulus untuk memahami, mempelajari dan menghargai setiap perbedaan yang ada antara kita dengan orang lain, sembari juga membuka diri untuk dikenali, dipelajari dan dipahami oleh orang lain, termasuk kelebihan dan kekurangan yang ada.

Sikap yang tulus antarbudaya, tentu saja juga berupa perasaan yang terbuka bagi siapapun yang mungkin berbeda dengan kita, kendatipun terhadap prinsip hidup tertentu. Bukan sebaliknya antipati dengan perbedaan. Menghakimi setiap mereka yang berbeda dengan cara hidup dan perspektif kita adalah salah, adalah anggapan – perolaku yang keliru. Karenanya harus diluruskan, jika perlu disingkirkan. Paradigma inilah yang dicela dalam membangun komunikasi yang baik antarbudaya dengan ungkapan kebengalan dan kecongkakan. Sebab orang yang matang dan dewasa dalam budaya adalah mereka yang dapat menghargai setiap perbedaan dalam diri manusia sebagai makhluk yang berkomunikasi dan berbudaya .

Perangkat komunikasi antarbudaya yang baik, sesungguhnya sudah ada dalam seperangkat hukum kita (negara dan agama). Hukum negara yang melandaskan kehidupan social kemanusiaan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika, bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam kesatuan – Negara Republik Indonesia.

Hukum agama juga menyatakan perbedaan adalah Sunnatullah, manusia dinilai bukan karena perbedaan ras, suku, jenis kelamin, orang arab dan non arab, dan sebagainya. Tetapi kenyataannya, bangsa kita hingga saat ini masih jauh dari sikap penghargaan terhadap budaya yang ada. Kebebasan mengekspresikan budaya di masa orde baru merupakan bukti nyata betapa perilaku antarbudaya yang tidak seimbang dilakukan oleh bangsa kita. Suatu komunitas bebas mengekspresikan budaya dan cara hidupnya, sementara komunitas tertentu lainnya dipasung kebebasan dan kesempatan untuk memperkenalkan budaya sendiri. Akibat lebih jauh dari sikap anatarbudaya seperti ini adalah, tabunya komunitas bangsa terhadap perbedaan budaya yang ada. Inilah yang mesti di perhatikan dalam membangun sikap antarbudaya yang baik dan kondusif, guna membangun komunikasi yang baik antarbudaya.

Seri Artikel Motivasi

URANG ULU: DULU SAMPAI KINIH
Oleh: Ibrahim MS

Ketertinggalan, keterbelakangan, tidak berpendidikan, miskin, lugu, polos, hidup jauh di pedalaman, hingga jauh dari kemajuan dan kemodernan, itulah identitas yang selalu diberikan oleh banyak orang kepada urang ulu. Bahkan pada sebagian orang ulu, penilian sedemikian diakui sebagai identitasnya sehingga menjadikan mereka tidak percaya diri ketika berhadapan dengan orang lain. Penilaian tersebut mungkin dapat dibenarkan jika yang dimaksudkan adalah urang ulu pada era 10, 20 atau lebih dari 30 tahun yang lalu.
Tahun 80 –an akhir, ketika penulis masih kecil, hanya ada satu buah tv di kampung, yang dijadikan sebagai sumber informasi, itupun yang tv hitam putih. Bisa menonton tv masa itu merupakan kebahagiaan yang luar biasa. Selain itu ada lah beberapa buah radio yang biasa didengarkan oleh masyarakat kampung di rumah-rumah. Masa itu, media informasi merupakan barang langka dan susah didapatkan.
Untuk transportasi yang menghubungkan antar kampung masih menggunakan jalan setapak di tengah hutan dan di bawah rindang pohon tengkawang. Untuk sekolah harus pergi berjalan kaki ke kampung lain, karena tidak setiap kampung ada sekolah. Hampir tidak ditemukan warga kampung yang menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat SMP atau SMA. Sekedar menamatkan pendidikan dasarpun hanya dapat dihitung beberapa orang saja pada masa itu.
Singkat cerita, masa-masa itu tidak sedikitpun gambaran tentang kota dengan kemajuannya terlintas dalam memory seorang anak kampung. Bagi orang kampung, pagi hari adalah waktu untuk kerja menores karet, berladang dan berbagai pekerjaan lainnya guna menopang kebutuhan hidup sehari-harinya hingga datang malam hari untuk istirahat. Listrik belum tersedia, sehingga begitu malam datang, semuanya hanyalah bersiap untuk tidur dan beristirahat untuk memulihkan tenaga agar dapat kembali berangkat kerja besok harinya. Begitulah waktu demi waktu dilalui oleh urang ulu dalam kehidupannya puluhan tahun yang silam.
Memasuki tahun 1990 –an awal, pembangunan inprastruktur jalan mulai masuk, transportasi antar kampung hingga antar daerah yang cukup jauh mulai terbuka. kehadiran “orang-orang kota” sebagai pekerja proyek jalan dari luar daerah membawa pengaruh tersendiri terhadap wawasan hidup urang ulu. Kondisi ini membuat ruang komunikasi masyarakat di kampung semakin terbuka dengan dunia luar. Sedikit demi sedikit urang ulu mulai mengenal “orang kota”, kemajuan di kota dan gaya hidup kota yang berbeda dengan apa yang selama ini dilihatnya. Keinginan untuk mengenal hidup “orang kota” dan kemajuannya mulai tumbuh, wawasan sedikit demi sedikit makin terbuka, kesadaran akan rendahnya pengetahuan mulai muncul hingga timbulnya semangat untuk bersekolah. Proses inilah yang menjadi tonggak kebangkitan dan kemajuan urang ulu. Hasilnya adalah, banyak dari generasi orang ulu yang saat ini berhasil mengenyam pendidikan tinggi hingga S.2 dan S.3, menduduki posisi penting di tingkat daerah, provinsi hingga di tingkat Pusat.
Dengan perkembangan dan kemajuan yang diraih oleh urang ulu saat ini, tentu saja tidak tepat lagi penilaian dan anggapan umum tadi sebagai keterbelakangan, tidak berpendidikan dan sebagainya. Karena itu urang ulu saat ini tidak lagi perlu malu atau kalah bersaing dengan siapapun, baik dari pola pikirnya, pendidikan hingga gaya hidup yang mengikuti perkembangan dan kemajuan modern. Bahkan dengan modal kehidupan yang bersumber dari alam, urang ulu mempunyai kecerdasan intelektual yang pasti mampu bersaing dengan siapapun dan di bidang apapun.
Di saat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membahana, orang ulu menjadi bagian dari komunitas yang tidak lagi asing dengan perkembangan tersebut. Bahkan eksistensi diri urang ulu bisa bertahan dengan kokoh ketika krisis ekonomi melanda bangsa ini. Tv yang dulunya hanya dimiliki oleh 1 atau 2 orang saja dalam sekampung, saat ini hampir setiap buah rumah sudah mempunyai tv dengan kelengkapan parabola digital dan sebagainya. Begitupun dengan teknologi komunikasi HP saat ini, hampir dapat digunakan oleh setiap orang. Dengan masuknya jaringan HP, kebun karet yang jauh di hutan tidak lagi menghalangi mereka berkomunikasi dengan keluarga atau kerabatnya di rumah. Penulis pernah menerima telepon dari salah seorang teman, ketika penulis tanya sedang dimana menelpon sekarang, dia menjawab sedang di kebun karet. Subhanallah, penulis termenung juga tersenyum membandingkan kehidupan orang ulu saat ini dengan urang ulu dulu. Urang ulu saat ini begitu bisa menikmati segala perkembangan dan kemajuan yang ada.
Dengan segala realitas perubahan dan perkembangan yang ada, masih pantaskah penilaian sebagai tertinggal, terbelakang, tidak berpendidikan, miskin, lugu, polos, hidup jauh di pedalaman, hingga jauh dari kemajuan dan kemodernan diberikan kepada urang ulu saat ini? Masih patutkah urang ulu merasa minder, tidak percaya diri, dan takut menunjukkan potensi diri dalam persaingan? Tentu saja “tidak” jawabannya. Dengan potensi yang dimiliki, urang ulu memiliki kemampuan untuk bersaing dalam segala bidang dengan siapapun dan di manapun. Itulah urang ulu: dulu hingga kinih. Begitulah urang ulu yang sebenarnya. Urang ulu memanglah tetap urang ulu, akan tetapi urang ulu tidaklah harus identik dengan keterbelakangan, urang ulu mesti menjadi penghulu dan pelopor untuk kemajuan dalam segala bidang. Boh, kita buktikan…

Kisah Perjalanan

PENGALAMAN BERKUNJUNG KE RUMAH IBAN
Oleh: Ibrahim MS

Orang Iban sebenarnya bukanlah komunitas yang asing di Kapuas Hulu. Orang Iban di kapuas Hulu merupakan masyarakat asli daerah yang sudah hidup sepanjang sejarah social masyarakat di hulu sungai kapuas. Bahkan oleh banyak ahli, lembah kapuas di Kapuas hulu merupakan tanah asal usul orang Iban (Sandin, 1957; Padoch, 1982 ). Bahkan menurut King (1993), orang Muslim yang ada di ulu Kapuas dahulunya juga adalah orang Iban (dayak) yang berubah identitas menjadi Melayu karena mereka memeluk Islam.
Dalam tradisi lisan masyarakat juga dipercayai bahwa Iban dengan Melayu dahulunya berasal dari keturunan nenek moyang yang sama. Perbedaan dalam memeluk agama lah yang memisahkan identitas keduanya dalam sejarah menjadi Iban dan Melayu. Karena itu keyakinan akan tradisi lisan ini membuat hubungan keduanya tetap harmonis dan peneuh kekeluargaan dalam sejarah social di Kapuas Hulu.
Seiring dengan masuknya pengaruh dari luar melalui pembangunan dan sebagainya, nostalgia hubungan Iban degan Melayu sudah mulai tidak dikenal oleh generasi muda dari kedua komunitas ini. Mereka menjadi orang yang seakan-akan terasing antara satu dengan yang lainnya, tidak lagi mampu saling mengenal, berkunjung dan berbagi kebahagian sebagaimana pada generasi kedua komunitas ini dulu-dulunya. Perasaan terasing seperti ini pernah penulis alami. Perbedaan budaya dan agama yang menyertai perkembangan psikologi penulis memunculkan banyak persepsi ketika akan melakukan kunjungan pertama kali ke rumah Iban.
Pada akhir tahun 2006, penulis berkesempatan untuk berkunjung ke rumah Iban Kekurak di Badau. Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka penelitian pendahuluan untuk Disertasi penulis tentang komunikasi etnik Iban dengan etnik Melayu di Badau. Dengan ditemani oleh abang Ipar, penulis mengendarai sepeda motor berangkat dari Badau ke desa Kekurak. Di desa itu terdapat satu rumah panjang Iban, rumah panjang Kekurak namanya. Dengan perasaan yang sedikit berdebar penulis masuk ke rumah panjang dan berkomunikasi dengan orang Iban di sana. Beruntung penulis datang bersama abang ipar yang sudah sangat dikenal oleh orang Iban di sana, bahkan kami langsung menemui salah seorang sesepuh di rumah panjang itu, apay nanung namanya. Beliau ini (sekarang sudah al-marhum) merupakan saudara angkat ayah dari abang yang mengantar penulis hari itu. Kami disambut dengan ramah, diajak masuk hingga ke ruangan paling belakang dalam struktur rumah panjang. Ruang tersebut layaknya dapu dalam rumah orang Melayu. Disitulah kami dijamu dengan kopi dan buah-buahan.
Layaknya kenalan dan kerabat dekat, obrolan antara abang ipar saya dengan apay Nanung sekeluarga begitu asyik dan berlangsung dengan hangat. Pada mulanya, mereka semua berbicara dengan bahasa Iban, termasuk abang Ipar saya. Akan tetapi setelah saya dikenalkan kepada mereka, mereka sesekali mengobrol dengan bahasa melayu, ini mungkin dikarenakan mereka paham bahwa saya tidak begitu mengerti dengan bahasa Iban. Dengan menggunakan bahasa Iban yang sesekali diikuti dengan bahasa Melayu obrolan kami dilangsungkan, terutama dengan abang ipar penulis. Berbagai hal yang dibicarakan kami dalam kesempatan sore itu, terutama abang Ipar saya dengan keluarga besar apay Nanung yang sudah mengelili kami bertamu sore itu. Sementara saya sendiri juga bertanya beberapa hal yang ingin saya ketahui mengenai kehidupan orang Iban di rumah panjang itu. Tidak terasa obrolan kami sudah berlangung panjang lebar, sudah hampir 2 jam kami berada di rumah panjang itu. Karena itu saya dengan abang Ipar saya memutuskan untuk pamit pulang dan mohon diri kepada apay Nanung sekeluarga.
Yang mengejutkan saya adalah sekarung buah Durian sudah mereka siapkan untuk dibawa kami pulang sore itu. Saat itu memang musim durian Iban. Sambil berjalan pulang penulis terus berpikir dengan sikap orang Iban yang begitu baik dan ramah. Tidak sedikitpun terlihat perangai yang kasar, seram dan menakutkan seperti yang dibayangka sebelumnya. Kunjungan ke rumah Iban sore itu betul-betul telah merubah image yang ada dalam diri penulis sebelumnya tentang orang Iban. Yang ada justru munculnya rasa salut dengan kebaikan hati, dan keramahan yang ditunjukkan orang Iban dalam menerima kami bertamu di rumah panjang.
Pengalaman ini menuntun saya, untuk terus membuka tabir pembatas yang menghalangi setiap kita untuk mengenali seseorang secara baik dan benar. Karena pengetahuan yang baik dan benar ini sangat diperlukan dalam membangun komunikasi dan hubungan social yang harmonis.

Senin, 09 Februari 2009

Komunikasi Antarbudaya

PROFIL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Oleh: Ibrahim M Shaleh


“Setiap manusia hidup dalam komunitas dan sistem sosial tertentu yang tak terbantahkan,
karenanya ia juga mempunyai cara hidup dan tuntunan perilaku tersendiri pula
yang membedakan satu dengan yang lainnya.
Sebuah komunikasi yang baik antarbudaya,
bukanlah pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti (sama seperti) kita,
melainkan mendekatkan pemahaman orang lain
mengenai diri kita (yang berbeda)”
Ibrahim, 2005


Pendahuluan
Sebagai bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai etnik, agama dan budaya, sudah sepantasnya bagi masyarakat kita untuk mau saling membuka diri bagi keberadaan siapapun, mengenalnya dan membangun komunikasi yang baik. Untuk itu, sikap hidup inklusif tentu saja menjadi pilihan utama dalam masyarakat majemuk. Sebab hanya dengan sikap inilah ruang komunikasi akan hidup dan dapat terbangun di antara keberbagaian etnik, agama dan budaya yang ada.
Badau yang didiami oleh mayoritas suku Iban dan suku Melayu, serta beberapa suku lainnya dalam jumlah kecil telah menunjukkan betapa komunikasi yang baik antaretnik telah dapat dibangun di sana. Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan, dinamika sosial juga terjadi dalam hubungan antaretnik di Badau. Akan tetapi semua itu dapat diatasi dengan baik dan menjadi modal bagi jalinan komunikasi yang lebih akrab bahkan intens dalam berbagai ranah/kontek sosial. Kemauan dan kemampuan menggunakan dua bahasa dalam bentuk bilingualisme dua arah menjadi bukti betapa terbangunnya komunikasi yang baik antara orang Iban dan orang Melayu di Badau. Beberapa aspek itulah yang akan dikaji lebih lanjut dalam makalah ini.

Deskripsi Kawasan Kajian
Badau merupakan nama sebuah kawasan di pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu provinsi Kalimantan Barat, dan berbatasan langsung dengan Sarawak Malaysia. Jarak Badau dengan ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu mencapai 120 km, dengan ibu kota provinsi Kalimantan Barat mencapai lebih kurang 1000 km. Sementara dengan Lubok Antu Sarawak Malaysia hanya berjarak 10 km saja.
Sebelum tahun 1990-an kawasan Badau hanya dapat dijangkau melalui angkutan sungai dengan waktu tempuh yang boleh memakan waktu berhari-hari mencapai kawasan itu. Akan tetapi sejak dibangunnya jalan Lintas Utara tahun 1992 (Wadley, 1998), Badau sudah dapat dijangkau melalui angkutan darat dengan masa tempuh hanya lebih kurang 5 – 6 jam.




Badau dan beberapa perkampungan di bagian utara Kapuas Hulu yang bersempadan dengan Sarawak Malaysia merupakan kawasan yang selalu menarik untuk di kaji, baik dalam aspek sosiologi, antropologi, mahupun budaya komuniti yang berdiam di sana. Hal itu terbukti dengan ramainya ilmuan yang mengkaji di sekitar kawasan tersebut. Beberapa nama dapat disebutkan Grinten (1862), Bouman (1924), King (1974, 1985), Rousseau (1980), Freeman (1958, 1970) dan Sellato (2002) yang mengkaji masyarakat Dayak (Iban) baik dalam kontek se-alam Melayu mahupun persebaran masyarakat di pedalaman Borneo dan Kalimantan Barat.
Nama lain dapat disebutkan misalnya Enthoven (1903), Gerlach (1981), Bos (1917) dan Van der Putten (1917), penulis pada masa kekuasaan kolonialisme dan misionaris kristian di kawasan tersebut. Begitupun Wadley (1997, 1998, 2001, 2005 & 2006,), Eilenberg (2005), Wadley dan Eilenberg (2006) yang mengenalkan secara lebih terperinci mengenai kawasan Badau dan kehidupan masyarakat Iban di sekitar perbatasan Indonesia dengan Sarawak Malaysia . Terakhir adalah Ibrahim (2006, 2007a, 2007b,2008a, 2008b) yang mengkaji mengenai komuniti Iban dan komuniiti Melayu, bahasa komunikasi yang digunakan dalam hubungan sosial di kawasan itu, terutama menyangkut hubungan Iban dengan Melayu .

Suku Iban dan Suku Melayu di Badau
Iban dan Melayu merupakan suku terbesar di Kecamatan Badau. Berdasarkan klasifikasi statistik daerah, dari jumlah 5000 lebih penduduk di Kecamatan Badau, dianggarkan suku Iban mencapai 3000 an orang (lebih kurang 60 %). Sementara suku Melayu berada pada jumlah terbesar kedua, sekitar 1800 an orang (31 %). Selebihnya (9 %) adalah suku-suku lain seperti Kantuk, Jawa, Minang, dan lain-lain (Ibrahim, 2007a).
Besarnya jumlah masyarakat Iban di Badau dapat dilihat dari wilayah persebarannya yang menempati 16 kampung dari 19 kampung yang ada di wilayah Kecamatan Badau. Sedangkan orang Melayu tersebar di empat kampung saja, yakni Badau 1, Badau 2, Raden Sura dan Pulau Majang

Suku Iban
Suku Iban pertama kali menempati kawasan Badau sejak ratusan tahun silam. Sebelumnya kawasan Badau merupakan persebaran suku Kantuk. Peralihan suku ini terjadi ketika tradisi ngayau masih eksis dalam budaya Dayak, khususnya Iban. Sekelompok Iban dalam jumlah besar datang dari Sarawak Malaysia menyerang suku Kantuk di Badau. Iban berhasil memenangi peperangan tersebut, mengusir orang Kantuk, hingga bermulalah mereka menetap sebagai penduduk di Badau masa itu. Karena itulah, saat ini suku Iban hanya terdapat di sekitar kawasan Badau, dan beberapa kawasan yang berdekatan dengan perbatasan tersebut seperti Batang Lupar dan Benua Martinus. Sementara itu suku Kantuk lari menjauhi perbatasan dan membuat pemukiman baru di sepanjang sungai Kantuk, di wilayah Kecamatan Empanang. Wilayah inilah sekarang yang menjadi basis suku ini, karena itu wilayah ini lebih dikenal dengan Nanga Kantuk.
Mengenai suku Iban dan asal usulnya dalam sejarah, masih agak kabur datanya (Rahim Aman, 2006). Banyak memang para ahli yang mempercayai bahawa suku ini sebenarnya adalah berasal dari lembah Kapuas di Kalimantan Barat, Indonesia (lihat misalnya Darke, 1982; Sandin, 1968; Padoch, 1982; Rousseau, 1990; Bambang & Collins, 1985; Collins, 2004; Chong, 2006). Akan tetapi saat ini, suku Iban justru merupakan populasi terbesar kedua di Malaysia, setelah Melayu (Rahim Aman, 2006: 2). Keadaan sedemikian tentu saja mesti dilihat beriringan dengan kontek sejarah asal usul dan persebaran suku ini.
Sejarah menulis bahwa pada mulanya, suku ini sebenarnya tidak memiliki nama khas sebagai identiti perkaumannya, karena lazimnya suku ini menisbahkan namanya dan identiti kaumnya kepada nama tempat mereka berdiam, oleh itu dahulunya mereka menamakan dirinya “kami undop”, “kami Sekrang”, “kami menoa” (Sandin, 1967). Orang Barat menyebut suku ini sebagai “sea Dayak” (Aman, 2006; King, 1993; Asmah, 1993).
Di Badau, meskipun tidak sepenuhnya menggantikan nama sukunya dengan nama daerah, akan tetapi mereka senantiasa menyebutkan diri mereka bersamaan dengan nama daerah asal/kampung mereka, seperti Iban Sungai Tembaga, Iban Tangit, Iban Jantin, atau Iban Badau. Identitas mereka yang paling kentara adalah adanya pemukiman rumah panjang. Mereka juga menggunakan bahasa Iban sebagai lingua franca. Meskipun dalam konteks tertentu mereka juga menjadi penutur bilingualisme (Ibrahim, 2008), termasuk dalam hubungan dan komunikasi dengan etnis Melayu di Badau.

Penggunaan Bahasa Iban dalam Komunikasi di Badau

Di Borneo Barat yang melingkup Sarawak (Malaysia) dan Kalimantan Barat (Indonesia) terdapat sekurang-kurangnya dua belas bahasa dan dialek nonmelayu (dayak), satu antaranya adalah bahasa Iban yang merupakan bahagian daripada varian Ibanik (Collins, 2007: 32-33). Di Badau, bahasa Iban memiliki karakteristik kebahasaan yang khas dan berbeza dengan bahasa suku-suku lain, hal ini semakin menguatkan daulat para pakar linguistik dunia bahawa Kalimantan Barat merupakan tanah asal prasejarah yang menunjukkan diversiti bahasa yang sangat tinggi (lihat Collins, 1995, 1998, 2002, 2006; Blust 2006). Bahasa Iban merupakan bahasa yang lazim dipakai dalam komunikasi hari-hari orang Iban di Badau, terutama di rumah panjang sesama Iban. Bahkan di tempat-tempat umum tertentu di pasar misalnya, atau ditempat kerja bahasa Iban begitu banyak digunakan.
Secara umum bahasa Iban memang berbeza dengan bahasa Melayu, baik kosa kata mahupun dialeknya (lihat perbandingannya dalam Chairil Effendy dkk, 2006; Rahim Aman, 2006). Namun beberapa hal ternyata ada kesamaan bahasa Iban dengan bahasa Melayu di Badau, perbezaan hanya pada bahagian tertentu saja dari vokal bahasa tersebut (sila lihat dalam senarai). Kerana itu wajar jika orang Melayu di Badau banyak yang dapat berkomunikasi dengan bahasa Iban, sebagaimana umumnya Iban juga mengerti dan dapat berkomunikasi dalam bahasa Melayu. Dalam hal kemampuan komunikasi bilingual ini, yang terlihat perbezaannya hanya logat (dialek) saja. Terutama logat Iban yang pasti terdengar walaupun dengan menggunakan bahasa Melayu .
Kemampuan menggunakan atau paling tidak memahami bahasa Iban pada orang Melayu, dan bahasa Melayu pada orang Iban di Badau membuat mudahnya membangun komunikasi sosial di antara mereka. Akomodasi kedua bahasa sekaligus (bahasa Iban dan bahasa Melayu) dalam komunikasi sosial orang Iban dengan suku lain di Badau sepertinya telah membentuk bahasa komunikasi tersendiri (bahasa Iban Melayu-Melayu Iban). Ini juga yang menjadi alasan kekeluargaan dan harmonisasi begitu dapat dibangun antara Iban dan suku Melayu di Badau (Ibrahim, 2006).

Ciri utama bahasa Iban di Badau

Perbincangan mengenai bahasa Iban di pulau Borneo, terutama menyangkut fonologi, sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para pakar linguistik, baik bahasa Iban di Sarawak mahupun di Kalimantan Barat. Beberapa nama tersebut dapat disebutkan antaranya Hudson (1970), Asmah (1981), Rahim Aman (1997), Collins (2004), Chong (2003, 2006), Dedy (2004) dan Chairil Efendi dkk (2006).
Untuk lebih jelasnya mengenai bahasa Iban di Badau, berikut ini akan dipaparkan beberapa ciri fonologi bahasa Iban Badau terutama menyangkut perubahan vokal akhir /ay/ yang berkorespondensi dengan /-n/, /-ng/, dan /-ar/.

Vokal akhir /ay/ yang berkorespondensi dan beraturan

bejalay berjalan
bukay bukan
makay (mpa) makan

datay datang
pulay pulang
paay panjang

bsay besar

Selain bentuk korenspondesi di atas, bentuk diftong /ay/ yang digunakan secara tak beraturan boleh dikata sebagai ciri yang kentara dalam bahasa Iban di Badau, ini dapat dilihat dari beberapa kata dalam senarai berikut.

Vokal akhir /ay/ yang tak beraturan

naday tidak ada
utay barang / benda
bekeay seperti itu
kemenay kemana
namay apa namanya
makay makan (aktiviti)
ay tidak mau (menolak)
uai bukay orang lain
ntkay prenggi (nama buah sayur)
apay bapak
inay ibu

Vokal akhir campuran /aw/

taw mengetam/menuai padi
banaw ngobrol (beramah tamah)
mansaw matang/masak
bdaw sudah

Vokal akhir campuran //

inu dara perempuan gadis/perawan
bejaku katanya
meadi saudara
ayi air

Menurut Collins (1983, 1987, 2004), ciri lain bahasa Iban adalah diftongisasi vokal tinggi pada akhir kata dan diikuti dengan geluncuran. Ciri tersebut juga ditemui dalam bahasa Iban di Badau, berikut senarainya.

nmuw dapat/tau/boleh
nunuw membakar
mauah banyak
manuak ayam
pucua pucuk
laua lauk
buru burung
ngau mengantar/dorong ke atas

Dalam komunikasi sosial masyarakat di Badau, bahasa Iban merupakan lingua pranca yang tidak hanya digunakan oleh sesama masyarakat Iban, akan tetapi juga digunakan oleh orang Melayu, terutama apabila mereka berkomunikasi dengan orang Iban. Sebaliknya orang Iban di Badau umumnya juga dapat menggunakan bahasa Melayu, terutama apabila mereka berkomunikasi dengan orang Melayu yang tidak memahami dengan baik bahasa Iban. Bilingualisme dua arah antara orang Iban dengan orang Melayu di Badau menjadikan kedua-dua bahasa ini sentiasa digunakan dalam komunikasi mereka. Hanya saja ada situasi tertentu, terutama menyangkut kemampuan partisipan komunikasi yang menjadi pertimbangan untuk menggunakan bahasa Iban atau bahasa Melayu dalam komunikasi meraka.

Masyarakat Iban dan penutur Bilingualisme

Sebagaimana didapati bahawa masyarakat Iban (juga orang Melayu) di Badau merupakan penutur bilingualisme, suatu komuniti yang mampu menggunakan dua bahasa dalam pertuturannya. Hal ini dapat dilihat dari kesemua aspek bilingualisme (Fishman, 1968: 555 dalam Chaer, 1990: 125), yang wujud dalam komuniti Iban dan juga Melayu di Badau, seperti:

1. Degree: adanya kemampuan dalam menggunakan kedua-dua bahasa pertuturan.
2. Function: kedua-dua bahasa sentiasa difungsikan dan dipergunakan dalam pertuturan.
3. Alternation: berlakukanya pengertian atau peralihan dari satu bahasa pertuturan ke bahasa pertuturan lainnya.
4. Interference: berlakunya pemakaian ciri-ciri kebahasaan semasa berbicara atau menulis dengan bahasa lain.

Kesemua aspek bilingualisme tersebut didapati dalam penutur bilingualisme di Badau, dimana selain menggunakan bahasa Iban sebagai lingua pranca dalam komunikasi dan interaksi sesama, orang Iban di Badau juga mampu memahami dan menuturkan bahasa Melayu dalam komunikasi mereka, terutama ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat Melayu. Begitupun sebaliknya pada orang Melayu yang juga mampu memamahi dan menuturkan bahasa Iban dalam komunikasi dan interaksi mereka dengan orang Iban. Sebagai contoh misalnya perbualan yang terjadi antara inay Iban dengan orang Melayu.

Suku Melayu
Berbeda dengan kedatangan suku Iban di Badau (lihat Ibrahim, 2007a, 2007b, 2008), kedatangan orang Melayu di kawasan ini sesungguhnya tiada dapat dipastikan waktu dan peristiwanya. Hal ini disebabkan kedatangan orang Melayu di kawasan ini tidak secara serentak dalam bilangan yang besar sebagaimana kedatangan orang Iban. Melayu masuk dan mendiami kawasan ini lebih disebabkan dua alasan utama; pertama, persebaran penduduk secara alamiah dari kawasan sekitar hingga memasuki kawasan Badau. Hal ini dapat difahami dimana Melayu merupakan penduduk mayoritas di pesisir Sungai Kapuas yang berhampiran dengan kawasan Badau. Kedua, dinamika sosial dan ekonomi yang turut membawa sebagian orang Melayu menempati kawasan tersebut yang sebelumnya sudah ditempati oleh orang Iban. Hal ini utamanya didorong oleh keadaan kawasan Badau yang berbatasan dengan Sarawak Malaysia, dan menyediakan peluang ekonomi dan perniagaan yang maju dan lebih prospektif (Ibrahim, 2008).
Meskipun pada mulanya Badau dan sekitarnya hanyalah merupakan perkampungan Iban, akan tetapi hubungan perdagangan dengan orang Melayu sudahpun terjalin sejak masa dahulu lagi (Ibrahim, 2007b). Bahkan menurut Enthoven (1903), pedagang Melayu lah yang senantiasa membawa barang-barang keperluan sehari-hari dan dijual kepada orang-orang Iban dari kampung ke kampung.
Jauh lagi sebelum kedatangan Iban di Badau, Melayu sebenarnya sudah memainkan peranan yang penting di Kalimantan Barat dengan beberapa kerajaan seperti kerajaan Melayu Sukadana di Ketapang, kerajaan Melayu Sambas, kerajaan Melayu Mempawah, kerajaan Melayu Pontianak, kerajaan Melayu Kubu, kerajaan Melayu Sintang hingga ke beberapa kerajaan kecil Melayu di Kapuas Hulu (Enthoven, 1903). Kedudukan dan peranan penting orang Melayu hingga masa pendudukan kolonial Belanda, memberi pengaruh yang berarti bagi persebaran orang Melayu di seluruh Kalimantan Barat, termasuk Kapuas Hulu dan Badau beberapa tahun berikutnya.
Untuk Kapuas Hulu sendiri masa itu sebenarnya telah terdapat beberapa kerajaan Melayu seperti di Selimbau, Piasak, Jongkong, Bunut, dan Suhaid. Sebagai petanda bahwa mereka itu adalah keturunan raja dan keluarga bangsawan Melayu, maka digunalah gelaran “Abang” “Pangeran”, “Panembahan”, “Sultan”, “Raden”, dan “Kiyai” (Wadley, 2006a). Kemudian pada sebagian kecil keturunan kerajaan atau kaum bangsaan Melayu ada juga yang menggunakan gelar “Ade”. Bagi kalangan perempuan digunakan gelaran “Dayang” dan “Dara” seperti Dara Juanti yang memerintah kerajaan Sintang (Wadley, 2006a).
Di Badau, memang tidak pernah ada kerajaan melayu sebagaimana dalam sejarah Melayu di Selimbau, Piasak, Jongkong, Bunut dan Suhaid. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa umumnya Melayu di Badau adalah pendatang yang berasal dari beberapa daerah/kampung Melayu di Kapuas Hulu, termasuk beberapa di antaranya berasal dari Sintang dan Pinoh.
Identitas pokok orang Melayu di Badau sama seperti Melayu pada umumnya, yakni beragama Islam, menggunakan bahasa Melayu (varian Melayu Ulu Kapuas) sebagai lingua franca (Ibrahim, 2007c; Yusriadi, 2008), dan tidak sedikit juga merupakan penutur bilingualisme (Ibrahim, 2008).

Ciri Utama & Varian Bahasa Melayu di Badau
Pengenalan
Sebagai bagian daripada alam Melayu yang begitu luas, yang dihuni oleh banyak kaum dan bahasa, para ahli linguistik mempercayai bahawa pulau borneo merupakan tanah asal bahasa Melayu (Collins, 1995, 1998, 2007). Jauh di pedalaman Kalimantan Barat, khususnya perbatasan utara Kabupaten Kapuas Hulu dengan Sarawak Malaysia yang merupakan persebaran majoriti orang Iban dan orang Kantuk, ternyata juga terdapat sebilangan orang Melayu yang cukup signifikan di Badau. Bahasa Melayu juga merupakan lingua franca dalam komunikasi sosial orang Melayu di Badau, bahkan terhadap orang Iban dalam bentuk bilingualisme (Ibrahim, 2008).
Sebagai orang Melayu yang menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca di tengah majoriti orang Iban, ternyata ada banyak varian bahasa yang dituturkan oleh orang Melayu di Badau. Merujuk pada klasifikasi yang diberikan oleh Yusriadi (2007, 2008) yang menyebutkan empat varian dialek Melayu Ulu Kapuas, yakni varian Selimbau, varian Semitau/Putussibau, varian Embau dan varian Embau Hulu, ternyata keempat-empat varian itu juga dituturkan oleh orang Melayu di Badau. Akan tetapi yang paling ramai penuturnya adalah varian Semintau/Putussibau dan varian Embau. Wujudnya keempat-empat varian tersebut dalam pertuturan bahasa Melayu di Badau disebabkan umumnya orang Melayu di Badau adalah berasal dari kawasan asal empat varian tersebut.

Ciri Utama Bahasa Melayu di Badau

Secara umum bahasa Melayu di Badau sama dengan bahasa Melayu dialek Ulu Kapuas yang mempunyai 6 vokal /i/,/e/,//,/a/,/u/,/o/, 3 diftong /ay/, /aw/ dan /uy/, dan 19 konsonan /p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, //, /h/, //, /m/, /n/, //, //, /c/, /j/, /s/, /l/, /w/, /y/. Kerana itu bahasa Melayu di Badau juga dapat dikenali dengan beberapa ciri utamanya, baik dalam aspek fonoloji maupun morfolojinya. Yusriadi (2008) melaporkan bahawa ciri utama bahasa Melayu Kapuas Hulu dapat dilihat dari aspek fonoloji dan morfoloji. Daripada aspek fonoloji, bahasa Melayu Ulu Kapuas ditandai dengan:

1. Adanya peninggian vokal belakang madya [o] menjadi vokal belakang tinggi [u].
/kutu/ - `kotor` /ua/ - `orang` /butul/ - `botol`

2. Alveolarisasi bunyi velar yang wujud setelah vokal depan tinggi seperti bunyi [ik], [it];[i], [in].

/baik/ /bait/ `baik`
/mudik/ /mudit/ `mudik`
/tarik/ /tarit/ `tarik`

/kuni/ /kunin/ `kuning`
/kanci/ /kancin/ `kancing`
/kambi/ /kamin/ `kambing`

3. Luluhnya bunyi nasal homorganik.
/timbul/ /timul/ `timbul`
/mandi/ /mani/ `mandi`
/paja/ /paa/ `panjang`

Sementara daripada aspek morfoloji yang merupakan ciri lain bahasa Melayu dialek Ulu Kapuas dapat dilihat dalam bentuk morfofonoloji yang ditandai dengan wujudnya pemanjangan konsonan sebagai bagian daripada variasi morfolojinya (Yusriadi, 2008), contohnya:

/b:unuh/ /dibunuh/ `dibunuh`
/b:ona/ /bonabona/ `benar-benar`
/t:awa/ /ketawa/ `tertawa`

Selain klasifikasi yang dikemukakan oleh Yusriadi (2008), sebenarnya masih ada satu lagi ciri bahasa Melayu Ulu Kapuas yang paling kentara, yakni hilangnya bunyi konsonan pada awal kata.

Contoh:
/ucin/ /kuci/ `kucing`
/idu/ /hidu/ `hidung`
/ulu/ /hulu/ `hulu`
/itam/ /hitam/ `hitam`

Varian Bahasa Melayu di Badau
Melayu di Badau merupakan sebahagian daripada orang Melayu di Kapuas Hulu yang menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Meskipun hidup dalam komuniti yang tidak terlalu besar dibandingkan suku Iban, orang Melayu di Badau masih dapat menempatkan bahasa Melayu sebagai identiti dan alat komunikasi sosial mereka. Kerana itu, bahasa Melayu yang dituturkan di Badau sebenarnya juga mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu yang dituturkan di Ulu Kapuas. Bahkan yang lebih menarik lagi, beberapa varian bahasa Melayu dialek Ulu Kapuas dituturkan di kawasan Badau. Merujuk kepada Yusriadi (2007, 2008) yang melaporkan bahawa ada empat varian bahasa Melayu Ulu Kapuas meliputi; varian Selimbau (v1), varian Suhaid dan Putussibau (v2), varian Embau (v3) dan varian Embau Hulu (v4), dimana keempat-empat varian tersebut wujud dalam pertuturan orang Melayu di Badau.
Jika dilihat dari letak geografis, masing-masing varian sebenarnya memiliki penutur di dalam kawasan yang berbeda dan terpisah di Ulu Kapuas. Varian Selimbau (v1) misalnya merupakan varian bahasa Melayu yang dituturkan di daerah asal Selimbau yang terletak di pesisir sungai Kapuas bahagian utara Kabupaten Kapuas Hulu. Varian Suhaid dan Putussibau (v2) dituturkan di daerah asal Nanga Suhaid (pesisir Kapuas Hilir) bahagian barat Kabupaten Kapuas Hulu) dan Putussibau sendiri yang merupakan ibu kota kabupaten. Varian Embau (v3) yang dituturkan di daerah asal Sungai Embau bagian hilir. Sementara varian Embau Hulu (v4) merupakan varian bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Melayu di hulu sungai Embau, atau di sekitar wilayah kecamatan Hulu Gurung.
Pengamatan di lapangan mendapati bahawa keempat-empat varian ini ternyata dituturkan di Badau. Padahal Badau merupakan sebuah kawasan di perbatasan utara Kabupaten Kapuas Hulu dengan Sarawak Malaysia, yang tentunya berbeda dan terpisah dari kawasan penutur asal empat varian di atas. Hal ini mungkin disebabkan umumnya orang Melayu di Badau memang berasal dari kawasan yang merupakan tempat asal varian tersebut dituturkan, yang kemudian berpindah dan menetap di Badau sejak puluhan tahun yang lalu (Ibrahim, 2006). Berikut ini sekilas senarai varian di maksud.

v1 v2 v3 v4
put put pout peut
bas bas boas beas
snit sni soni soni
mata mata mata mat
kmna kmna kemona kemon
Pengalaman penulis selama melakukan penyelidikan di lapangan mendapati ke empat-empat varian tersebut dituturkan oleh masyarakat Melayu di Badau, meskipun oleh personal yang berbeda dan dalam kontek pertuturan yang juga berbeda. Berikut masing-masing contohnya dalam bentuk kalimat .

Contoh :

v1: Penutur varian Selimbau yang berjual ikan dengan menggunakan sepeda motor dan menawarkan kepada orang Melayu di Badau supaya mau membeli ikan jualannya.

O: bu, na mli ikan kian, itu baak ikan bsa-bsa ay.
Oh Ibu, mau beli ikan ngak? Ini banyak ikannya, besar-besar lagi.

v2: Penutur varian Suhaid/Putussibau yang sudah lama hidup di Badau dan bekerja di Badau. Dialog ini berlangsung ketika mereka bertemu di rumah Kepala Dusun Mentari.

wai Andi, kemna di dii na kala keliat, aku ngiga dai kemai
Wahai Andi, kemana saja kamu ngak pernah tampak, saya mencarimu sejak dari kemaren.

v3: Penutur varian Embau memulai dialog ketika menerima tamu di rumahnya, yang ternyata adalah keluarganya yang sudah lama tidak bertemu.

aku kia sopa ga dii todi, bahim ga nadi
tadinya saya kira kamu ini siapa, Ibrahim ataukah Nadi.

v4: Penutur varian Embau Hulu ketika memarahi anak lelakinya yang berjalan terlalu lama pada suatu pagi dimana pemungutan suara pilihan raya Gubernur Kalimantan Barat akan segera dilangsungkan.

aba, kemon ga pelam, iy ua dah ka uck
Abang kemana saja pergi lama-lama, di sini orang-orang sudah mau mulai mencoblos.

Dari beberapa varian tersebut, varian Suhaid/Putussibau (v2) dan varian Embau (v3) merupakan varian bahasa Melayu yang paling ramai dituturkan di Badau, termasuk oleh orang Iban yang merupakan penutur bilingualisme di Badau. Lagi-lagi hal ini mungkin disebabkan umumnya Melayu di Badau adalah berasal dari Suhaid/Putussibau sekitarnya dan Embau sekitarnya.
Orang Melayu di Badau merupakan penduduk pendatang yang berasal dari beberapa perkampungan Melayu di Kapuas Hulu, dan menetap sebagai penduduk Melayu di Badau puluhan tahun yang silam. Kerana itu dalam banyak hal orang Melayu di Badau mempunyai kesamaan dengan umumnya Melayu di Kapuas Hulu, termasuk dalam aspek bahasanya. Yusriadi (2007, 2008) menyebutkan ada empat varian dialek melayu Ulu Kapuas yakni Varian Selimbau (v1), varian Semitau/Putussibau (v2), varian Embau (v3) dan varian Embau Hulu (v4). Di Badau, ke empat-empat varian tersebut ternyata dituturkan oleh orang Melayu, hal ini mungkin disebabkan kerana orang Melayu di Badau umumnya adalah berasal dari daerah varian keempat bahasa tersebut. Akan tetapi daripada varian-varian tersebut, varian Semitau/Putussibau (v2) dan varian Embau (v3) merupakan yang paling ramai dituturkan oleh orang Melayu di Badau.
Persoalan kapan suatu varian tertentu dituturkan, dan dalam kondisi mana varian-varian tersebut dapat ditemukan dalam pertuturan orang Melayu di Badau, merupakan aspek penting lainnya yang dapat dikaji dalam tulisan selanjutnya.

Komunikasi Antarsuku Iban dengan Suku Melayu di Badau
Komunikasi antarsuku
Komunikasi antarsuku dapat dimaknai sebagai jalinan komunikasi dan hubungan sosial yang terjadi di antara suku yang berbeda. Mengacu kepada konsep umum komunikasi, maka dapat difahami bahwa para anggota suku yang senantiasa menjalin komunikasi dan hubungan sosial di antara mereka adalah merupakan komunikator sekaligus komunikannya. Dalam hal apa, dan untuk alasan apa komunikasi itu terjalin merupakan konteks/pesan/tujuan komunikasi itu sendiri. Bahasa verbal dan nonverbal yang digunakan dalam komunikasi mereka hanyalah sekedar pilihan simbol/lambang dalam mengkomunikasikan suatu pesan tertentu. Karena itu, aksioma komunikasi selalu mengingatkan bahwa “world don`t means people means”. Kata-kata, bahasa dan verbalisme bukanlah sesungguhnya pesan komunikasi, ia hanyalah sebagai simbol/lambang yang digunakan untuk menghantarkan pesan. Sebab makna pesan sebenarnya ada pada manusia sebagai partisipannya.




Berdasarkan kepada konsep di atas, komunikasi antarsuku yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah jalinan komunikasi dan hubungan sosial yang berlangsung di antara suku Iban dan suku Melayu di Badau. Bagaimana kedua suku itu membangun komunikasi dalam hubungan sosial mereka, dalam hal apa dan untuk maksud apa komunikasi dan hubungan sosial dibangun di antara mereka, bagaimana dengan pilihan bahasa dalam membangun komunikasi di antara mereka, dan bagaimana kontek/pesan/tujuan komunikasi yang terbangun di antara suku Iban dan suku Melayu di Badau.

Kontek komunikasi antarsuku
The communication context (particularly the relationships with the other individuals in the communication situation) plays an important part in the interpretation of a communication message, demikian Rogers & Stienfatt (1999: 90) menjelaskan mengenai kontek dalam komunikasi.
Dengan penjelasan tersebut dapat difahami bahwa kontek komunikasi itu menyangkut situasi apa dan bagaimana jalinan komunikasi itu dilangsungkan dalam satu hubungan sosial dan individu. Kontek inilah biasanya yang menentukan apa sesungguhnya pesan yang diinginkan dalam komunikasi tersebut. Perbedaan kontek akan memungkinkan perbedaan pesan yang ingin disampaikan dalam komunikasi, meskipun dengan menggunakan pilihan simbol/bahasa/verbal yang sama. Begitupun komunikasi nonverbal, tidak selamanya orang senyum itu bermakna sebagai keakraban, sebab mungkin saja senyum itu bermakna keanehan, merendahkan dan seribu makna lainnya, tergantung apa konteknya (Ibrahim, 2005). Karena itu menurut Rogers & Stienfatt (1999), memahami kontek merupakan suatu hal yang paling penting dalam upaya memahami pesan komunikasi yang sebenarnya.
Dalam komuniasi antarsuku Iban dan suku Melayu di Badau, kontek komunikasi yang dimaksudkan paling tidak menyangkut waktu, tempat dan partisipan yang terlibat ketika komunikasi itu berlangsung. Masing-masing kontek ini juga akan menentukan pada pilihan bahasa apa yang akan digunakan dalam komunikasi tersebut.
Dari aspek waktu, kontek komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu berlangsung ditentukan dalam komunikasi formal dan tidak formal. Kontek ini berlangsung dalam komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu ketika adanya urusan formal dalam urusan pemerintahan, baik di tingkat kecamatan, maupun desa. Pada kontek tersebut, komunikasi antarsuku berlangsung umumnya menggunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Melayu (varian) Badau. Hanya sesekali saja bahasa Iban digunakan dalam kontek komunikasi formal.
Kontek nonformal, komunikasi antarsuku berlangsung dalam keseluruhan hubungan sosial dan kemasyarakatan, baik sebagai anggota masyarakat dalam satu desa maupun sebagai anggota masyarakat antardesa. Hal ini dapat difahami ketika melihat persebaran masyarakat di Badau, khususnya di kampung Melayu yang juga ada anggotanya dari suku Iban. Meskipun di kampung-kampung Iban hanya sedikit sekali yang ada anggotanya orang dari suku Melayu. Akan tetapi secara keseluruhan, hubungan dan komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu sangat intens berlangsung. Pada kontek ini, bahasa Iban dan bahasa Melayu sama-sama selalu digunakan sesuai dengan kemauan dan kemampuan partisipan untuk menggunakannya.
Dari aspek tempat, kontek komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu berlangsung ditentukan oleh tempat komunikasi itu dilakukan. Beberapa tempat berlangsungnya komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu di Badau seperti di sekolah, pasar, pusat olah raga, lapangan kerja, organisasi sosial dan lembaga adat budaya. Pada konteks ini bahasa Iban dan bahasa Melayu sama-sama selalu digunakan dalam bentuk campur kod atau bilingualisme.
Dari aspek partisipan, bahasa yang digunakan dalam komunikasi antarsuku Iban dan suku Melayu sangat bergantung pada siapa yang berkomunikasi. Jika komunikasi berlangsung sesama suku Iban di Rumah Panjang, atau orang Melayu yang berkunjung ke Rumah Panjang, maka bahasa Iban yang digunakan. Sebaliknya jika sesama orang Melayu, atau orang Iban di kampung orang Melayu, maka bahasa Melayu menjadi pilihan utama bahasa komunikasi. Akan tetapi untuk kontek Badau, penggunaan bahasa komunikasi juga ditentukan oleh siapa yang pertama memulai komunikasi, dan dengan menggunakan bahasa apa. Jika yang pertama memulai komunikasi adalah orang Melayu akan tetapi menggunakan bahasa Iban, maka bahasa Iban yang dipakai seterusnya. Jika menggunakan bahasa Melayu, maka bahasa Melayu yang digunakan seterusnya, meskipun dengan orang Iban. Akan tetapi jika yang memulai orang Iban dengan menggunakan bahasa Iban, tetap saja bahasa Iban yang digunakan, kecuali orang Iban yang faham bahasa Melayu, dan orang Melayu yang tidak mengerti bahasa Iban, maka bahasa Melayu yang akan digunakan.
Kondisi kebahasaan dan kontek penggunaannya dalam komunikasi dan hubungan sosial antarsuku Iban dan suku Melayu seperti ini, menjadikan kedua suku ini di Badau sebagai penutur dua bahasa sekaligus (bilingualisme), bahasa Iban dan bahasa Melayu (Ibrahim, 2008).

Komunikasi antarsuku dalam sejarah sosial di Badau
Layaknya sebuah hubungan sosial umumnya, komunikasi antarsuku di Badau dalam sejarah sosial etnik juga mengalami dinamika tersendiri, baik yang bersifat fositif maupun yang negatif. Hubungan sosial komunikasi yang bersifat positif tentu saja sebuah jalinan hubungan dan komunikasi yang baik, penuh keterbukaan, toleransi dan persahabatan diantara anggota kelompok dan peribadi etnik. Sebaliknya yang bersifat negatif adalah hubungan sosial komunikasi yang mandeg, tidak saling mau terbuka, intoleran, bahkan konflik.
Untuk melihat realitas hubungan sosial Iban dan Melayu di Badau, tentu sejarah menjadi bagian yang penting untuk diperhatikan. Di atas telah dipaparkan bagaimana sejarah kedua suku ini masuk dan mendiami kawasan Badau. Iban yang memulainya melalui proses eksodus saat peperangan ngayau terjadi masa itu, karenanya mereka ini juga dikenal sebagai suku yang sangat agresif, kejam dan sadis untuk membunuh lawan-lawannya (lihat Wadley, 1997, 2001; Ibrahim, 2007a, 2007b). Sebaliknya Melayu masuk dengan strategi yang lebih diplomatik, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan di kawasan itu. Bagaimana posisi para pedagang Melayu di tengah komunitas Iban dalam sejarah sosial hubungan kedua etnik ini dapat dilihat dalam beberapa tulisan antara lain Enthoven (1903), Gerlach (1981), Bos (1917), Van der Putten (1917), Wadley (1997, 2001), Ibrahim (2007a, 2008b)
Latar belakang sosial yang beda, terutama agresifitas Iban, ternyata tidak berpengaruh secara langsung dalam bentuk negatif ketika membangun hubungan dengan Melayu. Keduanya bisa memelihara hubungan yang damai, harmonis, dan komunikatif. Persoalan apapun yang terjadi diantara mereka selalu dapat diselesaikan dengan cara yang baik, sebuah penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua-duanya.
Salah satu paktor yang menyebabkan hubungan baik dapat dibangun diantara kedua suku ini adalah, mereka saling memahami apa yang menjadi perinsip hidup dan nilai-nilai sosial dalam falsafah hidup mereka. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh seorang informan Melayu di lapangan.

”ua Iban palin menghagai ua ya udah sida pecaya. Pinsip sida ya pecaya pada ua ya dipanda udah bepengelaman, udah tua, udah lama idup. ua Iban palin kuat ngona jasa bait ua lain, sampai tuun temuun” (Ad. 42 tahun: 5 – 12 – 2006)

”Orang Iban paling menghargai orang yang sudah mereka percayai. Prinsip mereka adalah percaya pada orang yang lebih tua, sudah berpengalaman dalam hidup. Orang Iban paling kuat mengenang jasa orang lain, bahkan sampai turun temurun”

Perinsip hidup orang Iban di atas menjadi modal bagi orang Melayu untuk membangun hubungan dan komunikasi dengan orang Iban. Karena itu, kejujuran dan saling percaya menjadi falsafah keduanya dalam menjalin hubungan dan komunikasi sosial hingga saat ini.
Selain itu, untuk memelihara hubungan dan ketentraman bersama, dibentuklah satu lembaga adat yang terdiri dari tokoh-tokoh etnik yang ada di Badau. Jika ada persoalan menyangkut hubungan diantara anggota suku, maka melalui lembaga adat itulah dilakukan musyawarah dan penyelesaiannya (Junter, Unat, & Luther, 12-2006). Sebelum persoalan masuk ke lembaga adat bersama ini, di tingkat internal suku sebenarnya juga sudah ada lembaga adat tersendiri. Lembaga adat inilah yang menyelesaikan persoalan yang terjadi di internal suku di Badau. Setelah kedua lembaga adat (Internal & bersama antarsuku) ini menemukan jalan buntu, barulah perkara tersebut dialihkan ke hukum konvensional (kepolisian dan pengadilan).
Berikut ini pernyataan salah satu informan yang juga merupakan kedua dewan bersama.

”Hubungan ura Iban dengan suku lain baik, jadi kami bentuk kepala-kepala suku dari ura luar Kalbar (Jawa, Padang, Bugis, Batak, NTB-NTT) dan kepala suku adalah mereka ya sudah lama menetap di Badau, dibentuk masa pak Bubu (camat Badau). Apa gunanya, sebab di badau tahun 2000-an sampai sekara muncul banyak ura dari suku apa saja. Melalui kepala suku masi-masi ya akan bertangu jawab untuk menyelesaikan persoalan jika terjadi pada anak buah anggota sukunya. Jadi kami dewan adat hanya mengkoordinasikan dan memediasi persoalan suku-suku dan antara suku untuk diselesaikan masi-masi” (Lt. 55 tahun: 4-12-2006)

Beberapa kebijakan & kearifan lokal inilah yang menjadikan hubungan sosial dan komunikasi diantara suku Iban dengan suku Melayu dapat dibangun dengan baik dan harmonis sepanjang sejarah sosial keduanya.

Bilingualisme sebagai bentuk komunikasi antarsuku
Suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai penutur bilingual apabila terdapat suasana kebahasaan dimana dua atau lebih bahasa mampu digunakan dalam suatu suasana komunikasi (Appel & Musyken, 1987), atau adanya seseorang atau suatu komuniti yang mampu menggunakan dua bahasa dalam pertuturannya (Fishman, 1968). Merujuk pada pandangan tersebut, paling tidak ada tiga bentuk masyarakat penutur bilingualisme menurut Appel & Musyken (1987: 2); bentuk pertama, dimana dua kelompok bertemu dan masing-masing hanya menguasai bahasa sendiri; bentuk kedua, masing-masing menguasai bahasa sendiri dan bahasa lawan bicaranya atau lebih; dan bentuk ketiga, hanya satu kelompok yang menguasai dua bahasa, sedangkan kelompok yang lain hanya menguasai bahasa sendiri.
Begitupun menurut Fishman (1968), paling tidak ada beberapa aspek yang mesti wujud dalam suatu masyarakat penutur bilingual, yakni: adanya kemampuan dalam menggunakan kedua-dua bahasa pertuturan (degree); kedua-dua bahasa tersebut sentiasa difungsikan dan dipergunakan dalam pertuturan (function); berlakunya pengertian atau peralihan dari satu bahasa pertuturan ke bahasa pertuturan lainnya (alternation); dan, berlakunya pemakaian ciri-ciri kebahasaan semasa berbicara atau menulis dengan bahasa lain (interference).
Merujuk pada bentuk–bentuk penutur bilingualisme Appel & Musyken (1987) yang terdiri dari tiga bentuk, maka yang wujud di Badau adalah bentuk kedua, yakni bilingualisme dua arah, dimana orang Iban dan orang Melayu dapat menguasai bahasa lawan bicara dan menggunakannya dalam komunikasi, selain dengan bahasa mereka sendiri. Begitupun aspek-spek bilingualisme yang dipersyaratkan Fishman pada suatu penutur bilingual, hampir semuanya wujud dalam komunikasi masyarakat Iban dan Melayu di Badau, kecuali aspek keempat (Ibrahim, 2008a).
Bagi masyarakat Iban, bahasa Iban merupakan lingua franca dalam komunikasi sosial mereka, terutama di Rumah Panjang dan interaksi sesama orang Iban. Begitupun masyarakat Melayu di Badau juga menjadikan bahasa Melayu sebagai sebagai lingua franca komunikasi dan interaksi sesama mereka. Akan tetapi kedua-dua masyarakat ini boleh menukar bahasanya dalam situasi tertentu bergantung kepada tempat, siapa partisipan dan kapan komunikasi itu berlangsung (kontek komunikasi).
Pengamatan di lapangan mendapati bahawa orang Iban akan menggunakan bahasa Iban semasa mereka berbual sesama kaum sendiri, terutama di Rumah Panjang, akan tetapi apabila mereka berjumpa dengan orang Melayu, mereka juga boleh menggunakan bahasa Melayu (Ibrahim, 2007b). Perubahan itu mengikut situasi apabila suatu perbualan dimula. Ketika seseorang dari kaum Melayu memula pembualannya dengan bahasa Melayu, maka rakan Iban pun menyahutnya dengan bahasa Melayu. Akan tetapi apabila seseorang memula pembualannya dengan bahasa Iban, meskipun dia itu orang Melayu, maka bahasa Iban akan terus digunakan dalam perbualan tersebut.
Begitupun ketika seseorang dari kaum Iban memula pembicaraannya dengan bahasa Iban, maka umumnya Melayu di Badau dapat langsung menjawabnya dengan bahasa Iban. Akan tetapi apabila difahami bahawa orang Melayu tersebut tidak mahu atau tidak mengerti bahasa Iban, maka orang Iban tersebut segera merubah bahasa percakapannya dengan menggunakan bahasa Melayu .
Situasi lain yang juga menentukan bagi penggunaan bahasa dalam komunikasi sosial di Badau, baik menggunakan bahasa Iban ataupun bahasa Melayu adalah mengikuti tempat interaksi. Jika interaksi itu berlangsung di Rumah Panjang atau di kampung Iban, maka bahasa Iban merupakan bahasa pertama sebagai lingua franca. Akan tetapi jika interaksi itu terjadi di kantor pemerintahan, sekolah, pasar dan sebagainya, maka bahasa Melayu (dan Bahasa Indonesia) menjadi bahasa pertama sebagai lingua franca. Meskipun utnuk semua kontek ini bergantung pada kemauan partisipan untuk menggunakan salah satu atau kedua-dua bahasa dalam komunikasi mereka (Ibrahim, 2007b).
Dengan kondisi masyarakat yang bilingual inilah, kedua-dua bahasa, bahasa Iban dan bahasa Melayu begitu terpelihara sebagai lingua franca dalam masyarakat etnik di Badau. Dalam hal ini mayoritas masyarakat non Iban di Badau dapat memahami dan menguasai bahasa Iban, sebagaimana sebaliknya orang Iban di Badau juga boleh menguasai dan menuturkan dengan baik bahasa Melayu.

Penutup
Komunikasi yang baik dan efektif tentu saja mensyaratkan kesaling-pengertian dan kesaling-fahaman dalam berbagai aspek antara partisipan. Meskipun komunikasi itu bukan kemestian memaksa orang lain untuk mengikuti sama seperti kita, akan tetapi mendekatkan pemahaman dan pengertian antarpartisipan adalah suatu kemestian. Komunikasi antarsuku Iban dengan suku Melayu di Badau begitu dapat terbangun dengan baik. Kedua suku bisa saling memahami kontek dalam hubungan sosial dan komunikasi mereka, termasuk ketika harus memilih bahasa yang digunakan dalam komunikasi tersebut. Kondisi ini membawa kedua suku ini dapat hidup rukun, aman, damai dan penuh kekeluargaan dalam satu wilayah dan perkampungan. Hal ini dapat dibuktikan dengan wujudnya kedua suku ini sebagai penutur bilingual, bahasa Iban dan bahasa Melayu.


Daftar Bacaan

Abdul Chaer & Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta. Edisi revisi.

Appel, R dan Peter Musyken. 1987. Language Contact and Bilingualism. London: Edward Arnold.

Alo Liliweri. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Pustaka Pelajar; Jogjakarta.

Alo Liliweri. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi antarbudaya. LKIS; Jogjakarta.


Collins, J.T. 2004. Ibanic Languages in Kalimantan Barat, Indonesia: Exploring Nomenclature, Distribution and Characteristics, dalam Borneo Research Bulletin, ol 35 tahun 2004

Dedy Mulyana dan Jalaludin Rahmat. 2001. Komunikasi Antarbudaya. Rosda Karya; Bandung.

Enthoven, J.J.K. 1903. Borneo Wester-Afdeeling, Leiden, Boekhandel En Drukkerij voorheen E.J.Brill, Deel I.

Ibrahim M Shaleh. 2008a. Komuniti Iban dan Melayu di Badau: kajian daripada aspek Bilingualisme. Makalah yang dibentangkan dalam seminar dialek-dialek austronesia di Nusantara (SADDAN III),Universiti Brunei Darussalam 24 s/d 26 Januari.

Ibrahim M Shaleh. 2008b. Varian Bahasa Melayu di Badau. Makalah yang diajukan untuk jurnal bahasa, pusat bahasa Brunei Darussalam.

Ibrahim M Shaleh. 2008c. Potret Keberagamaan orang Melayu di Badau. Dalam Yusriadi & Edi Kurnanto. Agama & Etnisitas di Kalbar. Sedang proses penerbitan.

Ibrahim M Shaleh. 2007a. Mengenal orang Iban di Badau. Dalam yusriadi dan Chong Sin, Kelompok Ibanik di Kalimantan Barat. STAIN Pontianak Press; Pontianak.

Ibrahim M Shaleh. 2007b. Penggunaan Bahasa Iban di Badau. Dalam Chong Sin & Collins, Bahasa dan masyarakat Ibanik di Borneo, ATMA UKM Press; Bangi, Kuala Lumpur.

Ibrahim M Shaleh. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya. STAIN Pontianak Press; Pontianak.

Rahim bin Aman. 2006. Perbandingan Fonologi dan Morfologi bahasa Iban, Kantuk dan Mualang, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.

Rogers & Stienfatt. 1999. Intercultural Communication. WavelanPress; Witted State of Amerika.

Sandin, B. 1967. The Sea Dayaks of Borneo Before White Rajah Rule, East Lansing: Michigan State Universiti Press.

Wadley, Reed L. 1997. Circular Labor Migrations and Subsistence Agriculture: A Case of the Iban in West Kalimantan, Indonesia. Disertation Doctor of Philosophy Arizona State Universiti.

Wadley, Reed L. 1998. The Road to change in the Kapuas Hulu borderlands: Jalan Lintas Utara. Borneo Research Bulletin. Vol. 29: 71-94.

Wadley, Reed L. 2001. Frointers of death: Iban expansion and inter-ethnic relations in west Borneo. http://www/iias.nl/iiasn/24/theme/24T10.html , akses 2 Oktober 2007.

Yusriadi. 2008. Varian bahasa Melayu ulu Kapuas. Makalah seminar antarabangsa Dialek-dialek Austronesia se-Nusantara (SADDAN III) di Universiti Brunei Darussalam, 24 s/d 26 januari.

Keniscayaan berkomunikasi

HIDUP ADALAH KOMUNIKASI


Hidup adalah komunikasi
Tidak ada ruang yang hampa dengan komunikasi
Bahkan kita tidak bisa mengelak dari berkomunikasi
Karena itu
Perbaiki kemampuan dan kemauan untuk berkomunikasi
(Ibrahim, 2008)

Keniscayaan Berkomunikasi

We can,t not to communication, demikian uangkapan para ahli dalam memberikan pandangan betapa komunikasi itu merupakan sesuatu yang tidak bisa tidak. Dari bangun tidur hingga tidur lagi adalah proses komunikasi yang kita lakukan. karena itu, kita tidak mungkin menghindarkan diri dari berkomunikasi, sebab komunikasi itu adalah kehidupan.
Satu contoh dalam kehidupan sosial, ada seorang ayah yang sedang dilanda masalah dalam keluarganya, kemudiaan ia menyendiri dan menyepi di suatu tempat yang tidak ada satu orang pun bersamanya, dan ia tidak berbicara sepatah katapun dengan keluarga dan anak-anaknya di tempat itu. Pada saat bersamaan, sang anak bertanya dan mencari dimana ayahnya. Oleh ibunya dipahamkan bahwa ayah sedang menenangkan diri, menyendiri dan tidak mau diganggu. Jadi biarkan ayah sendiri, dan jangan menemuninya dulu, ibu mengingatkan pada anaknya.
Sekilas contoh di atas memberikan pemahaman bahwa sang ayah sedang tidak mau berkomunikasi dengan keluarganya. Akan tetapi sebenarnya prilaku sang ayah tersebut tidak lain juga adalah komunikasi dalam bentuk tersendiri. Contoh tersebut menunjukkan apa yang dilakukan oleh seorang ayah yang menyendiri dan menyepi, dapat dipahami oleh isteri dan anaknya sebagai bentuk penenangan diri dan perasaan duka sang ayah, karena itu mereka membiarkannya dan tidak menemui sang ayah pada saat itu. Bukankah kesepahaman tersebut merupakan proses komunikasi yang sudah berlangsung diantara sang ayah dengan keluarga? Meskipun komunikasi tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan lambang, bahasa dan kata-kata.
Contoh lain misalnya, ada seorang lelaki yang lewat di depan anda dengan pakaian yang rapi, berjas dan berdasi, di tangannya tertenteng sebuah tas kecil warna hitam sambil menuju ke mobilnya di halaman parkir. Dia tidak berbicara sedikitpun, seperti halnya kita juga tidak menyapa sepatah katapun kepadanya. Akan tetapi dalam perasaan kita terlintas penilaian terhadap orang tersebut sebagai pemuda yang ganteng, sepertinya dia itu seorang eksekutif muda, atau apa saja. Pada saat itulah komunikasi sebenarnya sudah berlangsung diantara seorang lelaki itu dengan anda yang melihatnya. Disinilah komunikasi mesti dipahami sebagai perilaku yang terjadi bukan saja karena adanya tujuan yang terencana dan kesengajaan (Gerard L. Miller), melainkan apa saja yang bisa menimbulkan pengertian dan pemahaman diantara partisipan, meskipun tanpa rencana dan disengaja (Alek Gode).
Sebagai sebuah perilaku yang di sengaja dan terencana, komunikasi mungkin akan dapat berlangsung dengan baik diantara para partisipannya. Sebab semua aspek komunikasi sudah dipertimbangkan terlebih dahulu sebelumnya. Kepada siapa komunikasi itu dilangsungkan, apa yang akan dibicarakan, bagaimana cara membicarakannya, media apa saja yang dipilih untuk digunakan, apa tujuannya dan lain sebagainya. Meski komunikasi dalam bentuk ini cendrung struktural dan kaku, akan tetapi dia berlangsung dalam bingkai tertentu yang sudah direncanakan oleh komunikan. Dan tentunya, ada pengaruh yang akan muncul dari perilaku komunikasi tersebut dengan prediksi yang dibuat dalam merencanakan komunikasi itu sebelumnya.
Persoalannya adalah pada perilaku komunikasi yang tidak terencana dan tidak disengaja, akan tetapi ia berlangsung ketika adanya pihak yang menafsirkan, memahami dan menilai terhadap suatu perilaku, simbol dan isyarat yang muncul sebagaimana digambarkan dalam beberapa contoh di atas. Dalam bentuk ini, komunikasi lebih bermakna melalui ekpresi, penampilan dan isyarat, bukan melalui kata-kata verbal.
Sebagai satu bentuk perilaku komunikasi yang tidak direncanakan dan tidak disengaja, tidak jarang kita mengabaikannya. Akibatnya adalah terjadinya miskomunikasi diantara pastisipan. Atau paling tidak, terjadinya pemahaman yang keliru terhadap paket simbol, isyarat dan penampilan pisik yang ditampakkan. Padahal komunikasi dalam bentuk ini justru lebih banyak terjadi dalam hubungan sosial kemanusiaan dan lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan komunikasi dengan kata-kata (verbalistik).

Kebiasaan hidup juga paket komunikasi
Kita masih teringat betul dengan beberapa streotip antar kelompok budaya masyarakat etnis di kalimantan barat yang berkaitan langsung dengan perilaku hidup dan kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkan. Pada sebagian masyarakat kita yang gemar membawa celurit dipahami oleh sebagian yang lain sebagai perilaku yang dekat dengan kekerasan. Padahal mungkin saja karena kehidupannya memang akrab dengan celurit itu, karena kebiasaannya mesti mencari rumput setiap hari untuk makan ternak, dan sebagainya.
Begitupun halnya ketika kita berjalan di pasar misalnya, di sana kita melihat ada beberapa orang pemuda berambut panjang, berkulit hitam dengan tato di badan. Mereka memang tidak menyapa kita, akan tetapi dengan seketika kita mudah memberikan penilaian dan pemahaman terhadap sekelompok pemuda tersebut sebagai preman pasar, atau kelompok yang mesti dihindari. Padahal mungkin saja penampilan tersebut adalah sebuah perilaku yang biasa-biasa saja dalam komunitas sosial mereka, apalagi di tengah kehidupan pasar yang keras dan kejam.
Lantas, apakah salah jika kita memberikan penilaian awal dalam proses komunikasi tersebut? Apakah mesti ada proses komunikasi yang demikian? Bagaimana sikap komunikasi yang mesti dilakukan? Penilaian awal (prediksi dan persepsi) pasti akan selalu ada dalam setiap komunikasi. Persoalannya adalah prediksi dan persepsi tersebut tidak cukup untuk memberikan konsepsi apalagi justifikasi yang utuh dan final terhadap seseorang dalam proses komunikasi. Karena itu untuk memperoleh konsepsi dan justifikasi yang benar terhadap seseorang, prediksi dan persepsi awal komunikasi mesti dibuktikan (dilanjutkan) dalam proses komunikasi yang baik. Di sinilah kemungkinan persepsi awal akan dibenarkan atau bahkan mungkin berubah karena proses komunikasi.
Jika ditanya dimana kesalahan komunikasi yang berhenti pada persepsi dan konsepsi awal? Yang salah dalam komunikasi itu ialah pengetahuan (frame of reference) dan pengalaman (field of eksperience) diri kita yang menjadi dasar pemahaman sepihak untuk menilai satu perilaku tertentu sebagai tidak baik dan salah, tampa mampu melihat latar belakang sosial dan pertimbangan dari orang lain yang memiliki kebiasaan tersebut. Karena itu sikap yang mesti diambil adalah, berangkatlah menilai satu perilaku dan kebiasaan orang lain dari latar belakang sosial mereka dan petimbangan-pertimbangan yang menyebabkan mereka itu melakukannya, dan bukan hanya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman kita yang dangkal terhadap orang lain.
Dengan kata lain, kita selalu menilai bahkan menghakikimi orang lain dengan perspektif hukum kita. Padahal mereka juga mempunyai perpektif hukum dan penilaian tersendiri dan berbeda dengan kita. Sebab mungkin perilaku kita juga akan tidak baik jika dinilai dari perspektif hukum mereka. Disinilah komunikasi mesti dibangun dengan proporsional dan adil. Sebab hanya dengan cara inilah kita bisa menempatkan perilaku komunikasi (khususnya yang tak terencana dan tak disengaja) pada tempat yang sebenarnya. Dan dengan cara ini pula kita mesti menyadari bahwa tidak ada kehidupan dan kebiasaan hidup kita yang bebas dari komunikasi, karena itu kehidupan dan kebiasaan tersebut mesti sadari dan dipahami maknanya.

Gagal & Sukses karena Komunikasi

Tidak sedikit orang di dunia ini yang berhasil menikmati kejayaan hidupnya karena komunikasi. Akan tetapi juga banyak orang di dunia ini yang gagal dan prustasi hidupnya karena komunikasi. Mengapa? Dan bagaimana itu bisa terjadi?
Jika kita kembali pada makna komunikasi yang sebenarnya adalah sebagai bentuk menghubungkan pesan, harapan dan maksud diantara para partisipan, maka keberhasilan proses inilah yang akan menghantarkan seseorang pada kesuksesan atau kegagalan. Jika pesan, harapan dan maksud yang diinginkan berhasil didapatkan dengan komunikasi yang dibangunnya, maka tentu saja kesuksesan yang akan diraih oleh seseorang itu. Sebaliknya, jika ia tidak memperoleh apa yang diharapkan dengan proses komunikasi yang dilangsungkan maka, kegagalanlah yang didapatkannya. Atau lebih ekstrim lagi adalah proses komunikasi itulah yang menyebabkan bencana dan petaka pada seseorang sebagaimana yang terjadi dalam rangkaian komunikasi jepang dan sekutu pada saat peperangan dunia kedua. Sekutu keliru dalam memahami istilah “makusatsu” sebagai pembangkangan Jepang untuk menyerah kepada Sekutu dalam perang dunia kedua (lihat ceritanya dalam Ibrahim, 2005).
Banyak bukti yang bisa ditunjukkan untuk menggambarkan betapa komunikasi yang baik telah menjadikan banyak orang sukses dalam hidupnya. Sebut saja dalam dunia politik misalnya, komunikasi yang baik dan efektif akan menjadi penentu karir seseorang sebagai pemimpin politik. Hanya orang yang bisa membangun komunikasi yang baik dengan masyarakatlah yang akan memegang tampuk kepemimpinan politik.
Kaitannya dengan kegagalan dan kesuksesan dalam hidup seseorang, tidak ada satu orangpun yang dapat memutuskannya, melainkan itu merupakan upaya sendiri yang dibangun dan terus diperjuangkan. Untuk mewujudkan inilah diperlukan strategi mengerahkan semua potensi pribadi yang dimilikinya. Salah satu upaya yang mungkin dilakukan untuk mengerahkan potensi tersebut adalah dengan komunikasi. Bangunlah kemampuan komunikasi pribadi yang baik, satu bentuk komunikasi yang mampu menghadirkan harapan, maksud dan keinginan dari proses sosial yang dilakukan.
Orang-orang yang sukses dalam hidupnya, selalu dimulai dari kesuksesannya membangun sebuah komunikasi. Dalam dunia akademis misalnya, komunikasi yang baik (baik verbal maupun non verbal) akan menentukan penguasaan seseorang dengan keilmuannya, dan pada akhirnya menjadikan seseorang itu dapat bersaing dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Begitupun dalam bidang politik, hanya dengan kemampuan komunikasi politik yang baiklah yang bisa menghantarkan seseorang pada kedudukan politk yang strategis. apalagi dalam sistem politik demokrasi yang melibatkan banyak massa dalam pengambilan keputusan. Meskipun dalam banyak contoh, komunikasi politik yang dibangun oleh para elit bangsa ini lebih pada manuver politik semu dan palsu, namun itu menunjukkan bahwa komunikasi memiliki peran penting dalam semua itu.
Begitupun sebaliknya, beberapa tokoh politik yang gagal meraih simpatik masyarakat pemilih untuk menduduki satu posisi penting dalam pemerintahan dikarenakan mereka gagal membangun komunikasi politik yang baik. Komar (anggota DPPR RI) misalnya yang gagal meraih kursi Bupati Tuban pada tahun 2003 lalu mengakui bahwa kegagalannya disebabkan kurangnya waktu untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat pemilih (Sumber: apa kabar Indonesia pagi TVone, 9 Agustus 2008 ). Atau Yuli Nursanto, mantan calon Bupati Ponorogo yang gagal dalam pemilu tahun 2006 lalu (TVone, 9 Agustus 2008). Kegagalannya menjadi Bupati bukanlah proses yang terjadi begitu saja, melainkan disebabkan ia telah gagal membangun komunikasi politik dengan massa pemilih. Ia gagal memahami kecendrungan masa pemilihnya sebagai komunikan politik. Dengan komunikasi yang keliru, Yuli rela mengeluarkan banyak biaya, menggadaikan kekayaan dan perusahannya, bahkan berhutang demi keinginannya di dunia politik. Namun ia gagal dan akibatnya adalah stress berat yang dialaminya saat ini.
Kegagalan dan kesuksesan dengan komunikasi sesungguhnya terjadi dalam setiap aspek kehidupan. Tidak seorangpun yang sukses dalam hidupnya tampa didukung oleh kemampuannya dalam berkomunikasi. Sebaliknya tidak sedikit orang yang potensial namun gagal dalam hidupnya disebabkan ketidakmampuannya membangun komunikasi yang baik. Percaya atau tidak, kita semua bisa mencari bukti dari semua ini. Wallahu a`lam.

Komunikasi: berangkat dari Pengalaman
Setiap orang mempunyai pengalaman, dan setiap pegalaman itulah yang akan membedakan seseorang dengan orang lain. Dengan pengalaman inilah seseorang bisa memaknai apa saja, dan dengan pengalaman seseorang mampu mengenal orang lain. Dengan pengalaman seseorang mempunyai tatanan nilai yang dijadikan untuk melihat, mengenal dan menafsirkan sesuatu. Karena dengan pengalamanlah setiap orang dapat membuat persepsi dan konsepsi terhadap apa yang ia lihat, ia dengar dan ia hadapi. Pengalaman inilah yang dikenal dengan istilah field of eksperience dan frame of reference (Ibrahim, 2005).
Field of Eksperience merupakan satu bentuk pengetahuan manusia terhadap apa yang pernah dialaminya dalam hidup, baik dalam diri pribadi, lingkungan keluarga, maupun masyarakat. Pengetahuan yang dialaminya inilah yang selalu menjadi acuan setiap orang dalam menilai dan memberikan identitas terhadap sesuatu yang ditemuinya. Kita seringkali menilai suatu perbuatan itu tidak baik dikarenakan pengalaman hidup kita menyebutnya tidak baik. Sebaliknya, seringkali kita menilai sesuatu sebagai baik dan menarik, karena pengalaman kita mendapati hal itu baik dan menyenangkan.
Denis Berkamm, mantan pemain sepak Bola nasional Belanda yang mengakhiri karirnya bersama Arsenal, lebih memilih mengendarai kendaraan mobil pribadinya dari Belanda ke Inggeris dibandingkan dengan naik pesawat terbang. Hal ini disebabkan Berkamm punya pengalaman yang mengerikan dengan kecelakaan pesawat yang membuat ia trauma untuk tidak lagi mau menaiki pesawat terbang. Padahal ia sendiri menyadari betapa tenaganya terkuras dan kecapean menghadapi pertandingan disebabkan perjalanannya yang jauh dan selalu menggunakan jalan darat. Pada sebagian besar orang, pesawat adalah pilihan transportasi yang paling elit dan prestise.
Sementara frame of reference merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang secara kognitif dalam hidupnya, baik melalui pendidikan formal, tuntunan nilai-nilai adat, budaya dan agama. dengan pengetahuan itulah setiap orang akan melihat dan menilai sesuatu yang ditemui dalam hidupnya. Karena itu, semakin luas pengetahuan (kognitif) seseorang, maka akan semakin kaya pengetahuan yang dapat dipilihnya dalam menilai sesuatu.
Sebaliknya, pengetahuan yang sempit dan terbatas cendrung akan membuat seseorang kaku dalam berkomunikasi. Ia tidak mempunyai banyak pengetahuan untuk menyaring dan memilih cara dan informasi dalam berkomunikasi. Orang dalam kelompok ini akan lebih mudah tersinggung jika dihadapkan pada suasana baru dan jarang ditemui dalam proses komunikasi.
Dengan kata lain field of eksperience dan frame of reference menjadi penentu karakter sebuah komunikasi yang akan dibangun oleh setiap kita. Disinilah sebenarnya pentingnya pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang baik sebagai titik berangkat dalam membangun komunikasi yang berlangsung dalam hubungan sosial kemanusiaan.

Komunikasi: Membangun wadah KITA
Berkomunikasi pada prinsipnya bukanlah pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti apa yang kita pikirkan, melainkan mendekatkan pikiran kita dengan pikiran orang lain (Ibrahim, 2005). Karena itu orang berkomunikasi senantiasa menggunakan berbagai media dan simbol yang dipandang mampu mewakili apa yang dipikirkan, dilihat dan dirasakan untuk dibagi kepada orang lain dalam satu proses interaksi. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, pilihan simbol dan lambang tertentu pada dasarnya bukanlah itu sesungguhnya yang dipertukarkan dalam proses komunikasi tersebut, melainkan maknalah yang dipertukarkan diantara partisipan. Simbol atau lambang yang sama mungkin saja mempunyai makna atau dimaknai secara berbeda oleh komunikator dan komunikan. Sebaliknya pemberian makna yang sama terhadap satu simbol atau lambang yang digunakan itulah yang diharapkan dalam setiap proses komunikasi yang dilangsungkan. Pertukaran makna seperti inilah yang disebut dengan proses komunikaksi yang efektif dan berhasil, ketika didapatkannya pemaknaan yang sama. Karena itu, pilihan simbol dan lambang dalam komunikasi menjadi bagian yang sangat penting dalam komunikasi. Apalagi dalam kontek antarbudaya, dimana setiap orang memiliki seperangkar pengalaman dan pengetahuan yang berbeda dalam melihat, memandang dan menafsirkan sesuatu, termasuk simbol dan lambang komunikasinya. Inilah yang melahirkan istilah word don`t mean peoples means, satu istilah yang mengingatkan kita bahwa kata (sebagai simbol & lambang komunikasi) tidak mempunyai makna apa-apa, melainkan manusialah memberikan makna pada simbol/lambang tersebut dalam proses komunikasi.
Sebagai sebuah substansi komunikasi, pertukaran makna yang sama dari simbol-simbol yang digunakan dalam proses komunikasi, pada dasarnya komunikan sedang membangun satu wadah konsepsi dan pemahaman bersama. Simbol atau lambang yang digunakan pada mulanya memang ditentukan oleh seorang komunikator, kemudiaan lambang itu dipahami dan ditafsirkan oleh komunikan sebagai suatu pesan yang bermakna, dan makna itulah sesungguhnya wadah bersama antara pasrtisipan tersebut.
Dalam setiap proses komunikasi, wadah (pemaknaan) itu bukan lagi ada pada komunikator atau komunikan saja, melainkan kedua-duanya. Dengan kata lain, antara komunikator dan komunikan mesti bersedia untuk meninggalkan sarang (pemaknaannya) masing-masing menuju wadah baru yang diciptakan bersama dengan orang lain. Itulah yang disebut sebagai wadah KITA sebagaimana digambarkan dalam diagram proses komunikasi di bawah ini.

Diagram proses pertukaran makna dalam komunikasi
a1 a2 b2 b1
A:saya KITA anda:B

Analisis: Ibrahim, 2008.
Legenda: komunikasi sebagai proses membangun wadah kita (pemaknaan yang sama antara komunikator A dan komunikan B) jika penafsiran yang diciptakan keduanya mengambil posisi yang semakin mendekatkan antara posisi A dan B (a1. a2, atau b1 dan b2), maka semakin baiklah wadah bersama yang dibangun. Sebaliknya komunikasi yang baik bukanlah keharusan A yang mengikuti konsepsi B atau sebaliknya, melainkan keduanya harus bertemu di a1 atau a2 atau b1 atau b2. inilah yang disebut komunikasi membangun wadah kita.

Dari gambaran di atas jelas bahwa proses komunikasi yang baik mensyaratkan setiap partisipan bersedia untuk meninggalkan posisinya masing-masing menuju satu wadah kesepahaman dan pemaknaan yang diciptakan bersama. Kesepahaman dan pemaknaan baru yang diciptakan bersama itulah yang disebut dengan wadah KITA, bukan lagi wadah saya (A) atau wadah anda (B). sebab, jika wadah saya (A) yang masih diandalkan, maka saya cendrung memaksakan anda untuk masuk dan mengikuti pikiran dan kehendak saya sendiri. Sebaliknya jika wadah anda (B) yang digunakan, maka anda juga mengharuskan saya untuk masuk dan mengikuti semua kehendak anda dengan tampa kompromi sedikitpun. Akan tetapi dengan wadah baru yang diciptakan bersama, disitulah terjadinya kompromi dan negosiasi makna diantara kita menjadi pemahaman bersama sebagai wadah KITA.
Terjadinya konflik dalam hubungan pribadi, sosial dan budaya sangat ditentukan dengan paktor ini, dimana setiap partisipan tidak mampu atau mungkin tidak mau untuk keluar dari wadah (sarang) nya untuk kemudiaan menciptakan wadah bersama, yang memang diciptakan bersama menjadi wadah KITA. Wallahu a`lam.

Komunikasi: Belajar untuk Menghargai
Sebagai sebuah proses pertukaran makna, maka komunikasi juga sebenarnya adalah proses negosiasi dan kompromistis antara partisipan tentang makna tertentu yang dikehendaki. Bedanya adalah negosiasi dan kompromi itu terjadi melalui pengalaman (field of eksperience) dan latar belakang pengetahuan (frame of reference) partisipan. Sebagai sebuah bentuk negosiasi dan kompromistis, mungkin saja terjadi perbedaan kehendak yang mendasar antarpartisipan, dimana keduanya mempunyai pemahaman dan pemaknaan yang sangat jauh berbeda, meskipun proses komunikasi yang baik sudah dijalankan. Karena itu komunikasi pada tahap ini juga mesti dipahami sebagai proses belajar untuk menghargai perbedaan tersebut.
Sikap yang tidak mau menghargai perbedaan itu merupakan ancaman bagi hubungan sosial dan komunikasi. Sikap inilah yang menumbuh-kembangkan rasa etnosentrisme dan deskriminatif yang puncaknya adalah konflik karena “alasan perbedaan”. Ekstrimnya, sikap ini menjadikan perbedaan sebagai persoalan baik buruk, benar salah, karena itu perbedaan mesti hindari atau bahkan dimusnahkan. Jika sikap ini yang muncul, maka komunikasi yang merupakan proses penghargaan terhadap perbedaan menjadi kehilangan substansinya. Komunikasi bukan lagi ditempatkan sebagaimana mestinya untuk membangun kesefamahan dan toleransi, melainkan pemberangusan terhadap perbedaan untuk mewujudkan keseragaman. Akibat lebih jauh adalah pecahnya konflik pisik terbuka sebagaimana dalam sejarah politik orde baru dan konflik etnis di beberapa daerah di Indonesia. Inilah beberapa hal menurut penulis yang mesti disadari dan dipahami secara baik oleh setiap kita dalam membangun proses komunikasi yang baik dan efektif dalam hubungan sosial dan kemanusiaan, khususnya di bumi Kalimantan Barat. Wallahu a`lam.





Daftar Bacaan
Ibrahim MS. 2005. Problematika Komunikasi Antarbudaya, Pontianak: Penerbit STAIN Pontianak Press.

Liliweri, Alo. 2002. Dasar-dasar Komunikasi antarbudaya, Jogjakarta, Pustaka Pelajar

Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antaramanusia, Profesional Books Jakarta

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Jogjakarta, LKIS

Mulyana, Dedy. 2001. Komunikai antarbudaya, Rosda Karya Bandung

Mulyana, Dedy. 2001. Ilmu Komunikasi ; Suatu Pengantara, Rosda Karya Bandung

Mulyana, Dedy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosda Karya Bandung.

Mulyana, Dedy. 2004. Komunikasi Efektif, Bandung, Rosda Karya h. 73.