Catatan Singkat di Dusun Gunung Ambawang, Desa Sungai Deras
Oleh:
Ibrahim MS
SUNGAI
DERAS: BAYANGAN AWAL
Beberapa
hari sebelum keberangkatan mahasiswa ke lokasi KKL, kami dosen pembimbing
diundang serta oleh panitia guna mendengarkan penjelasan mengenai lokasi
masing-masing posko penempatan mahasiswa bimbingan. Satu persatu kelompok
dijelaskan lokasinya oleh panitia kepada dosen pembimbing. Saya sendiri sebagai
salah seorang pembimbing menunggu dengan sabar sampai penjelasan mengenai
lokasi kelompok bimbingan saya dijelaskan panitia.
“Berikutnya
lokasi di Sungai Deras”, kata salah seorang panitia ketika memulai penjelasan
mengenai kelompok kami yang merupakan wilayah Kecamatan Teluk Pakedai. Dengan
teliti dan penuh sabar saya mendengarkan penjelasan tersebut. Ketika sampai
giliran lokasi kelompok 4 di Desa Sungai Deras B dengan dosen pembimbing saya
sendiri, panitia mengatakan bahwa “kelompok ini belum tau pasti poskonya,
karena kami tim survey tidak sampai ke lokasi tersebut dengan suatu alasan, tapi
yang pasti lokasinya di kaki gunung”, itulah pernyataan dari tim survey ketika
itu.
Mendengar
hal ini, saya sedikit kecewa dengan tim survey panitia dan meminta mereka
menggenahkan kerja-kerja survey itu. Dalam hati saya terbayangkan bahwa pasti
lokasi ini jauh, dan mungkin akan lebih sukar dijangkau, di kaki gunung, begitulah
bahasanya. Saya juga mulai menduga, jika lokasi ini berada di kaki gunung pada
satu sisi, dan pada sisi lain ia dekat dengan sungai atau laut sehingga disebut
dengan Sungai Deras.
“Ok
lah, apapun bayangan itu, pastinya ada panitia yang bertanggung jawab
mengurusnya, dan juga mengantar kami bersama mahasiswa kelompok 4 ke sana”.
Begitulah pernyataan sabar dalam diri saya ketika itu. Pada hari yang telah dijadwalkan, kamipun
berangkat menuju lokasi masing-masing, termasuk kelompok bimbingan saya di Sungai
Deras B.
SUNGAI
DERAS B – DUSUN GUNUNG AMBAWANG
Setibanya
kami (kelompok 3 dan 4) di Desa Sungai Deras tengah hari itu, saya tidak lagi mendengar
sebutan Sungai Deras B, yang ada adalah Desa Sungai Deras dan Dusun Gunung
Ambawang.
“Dari
dua kelompok ini, satu di Desa Sungai Deras ini, satu lagi di Dusun Gunung
(Ambawang)”, itulah yang saya dengar dari salah seorang pegawai desa yang
menerima rombongan kami hari itu.
Meski
masih teringat dengan bayangan sebelumnya jika Dusun Gunung ini jauh di sana. Saya
coba bertanya kepada salah seorang warga desa yang kebetulan mengurus sesuatu
di kantor desa siang itu.
“Jauhkah Dusun
Gunung itu Pak?”.
“Ya, antara 15
– 20 kilo gitulah”, jelasnya.
“Oh, lumayan”,
saya mengiyakan jawab bapak itu.
Sementara
itu, kelompok 3 sudah bersiap menuju posko mereka. Kami juga mulai bersiap
menuju Dusun Gunung dengan pick up yang juga sudah standby menunggu.
Satu persatu mahasiswa dengan barang bawaan naik di atas pick up itu.
Saya sendiri juga bersiap memulai perjalanan ke Dusun Gunung dengan sepeda
motor andalan yang sengaja saya bawa dari Pontianak.
Singkat
kata, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 1 jam kamipun sampai di sebuah
kampung dengan dua cabang. Ini lah rupanya Dusun Gunung Ambawang yang terdiri
dari Cabang Kanan dan Cabang Kiri. Kami dengan rombongan dibawa menyusuri
Cabang Kiri hingga sampai di sebuah masjid,Masjid Istiqamah namanya. Disamping
masjid itu tampak sebuah bangunan sekolah yang masih bertuliskan plang Madrasah
Ibtidaiyah Al-Istiqamah. Disitulah kami berhenti dan memulai komunikasi dengan
seorang lelaki yang tampak sepuh menunggu kami di bangunan tua Madrasah itu.
Lelaki sepuh yang tidak memakai baju ketika itu ternyata adalah Pak Abdul
Hamid, pengurus masjid yang juga Ketua RT 8 di Dusun Gunung Ambawang.
Beliau
inilah yang disebutkan oleh pak Kadus (ketika saya hubungi melalui telepon) untuk
ditemui apabila rombongan sampai di lokasi.
“Alhamdulillah
sampai juga. Orang yang harus ditemui juga sudah dijumpai. Persoalan posko dan
kehadiran mahasiswa KKL di kampung ini juga sudah selesai dibicarakan bersama
pak Hamid”. Begitulah bisikan syukur dan lega dalam hati saya ketika itu.
MADRASAH
IBTIDAIYYAH ISTIQAMAH
Dengan
bentuk bangunan yang khas sebagaimana lazimnya gedung sekolah cukup memberikan
identitas bahwa bangunan itu adalah sebuah sekolah. Ketika mengamatinya dari
dekat, ternyata pada dinding bagian depan bangunan itu masih jelas sebuah plang
nama yang bertuliskan Madrasah Ibtidaiyah Al-Istiqamah.
Saya
merasa bangga dan terharu, karena di kampung ini ada sebuah madrasah, dimana
kami bersama rombongan mahasiswa KKL diterima oleh seorang lelaki sepuh dengan
penampilan yang santai. Lelaki tua itu menunjukkan kami dengan gedung tua
madrasah itu dan menyilakan kami masuk ke dalamnya.
“Maaf, apakah
bapak ini pak Abdul Hamid?” Tanyaku.
“Iya, saya pak
Abdul Hamid”, jawabnya.
Nama
ini saya kenal sejak di kantor desa di Sungai Deras, dimana beliau ini
merupakan ketua salah satu RT di Dusun Gunung Ambawang ini.
Sebagaimana
orang yang baru datang (alias tamu), saya menyapa ramah beliau sambil
mengenalkan diri dan rombongan mahasiswa yang datang. “Kami dari STAIN
Pontianak”, jelasku kepada beliau. Dengan penuh percaya diri, pak Hamid yang
saat itu tidak mengenai baju menerima kedatangan kami. Bahkan beliau mengatakan
bahwa mereka sudah mendapat kabar kedatangan kami, dan dalam rangka apa
kedatangan kami. Karena itu mereka (warga) sudah menyiapkan bakal tempat nginap
(posko) mahasiswa.
“Inilah
rencananya tempat penginapan mahasiswa. cuman, mungkin perlu kita buat sekat dulu
untuk yang ibu-ibu (mahasiswi maksudnya). Ini ada terpal sudah saya siapkan”,
jelas pak Hamid dengan polos.
Dengan
kondisi bangunan sekolah madrasah itu yang sudah tua, jendela tembus pandang
dan bebas hambatan, atap bangunan yang tampak kelang kelip karena tembus
pandang ke langit, sebagian lantai yang terbuka seperti bak sampah membuatku
sedikit ragu dengan calon posko mahasiswa.
“Ada alternatif
lain kah pak untuk penginapan mahasiswa?”
Saya
coba bertanya siapa tau ada tempat yang lebih meyakinkan.
Dengan
tampak ragu-ragu dan sempat diam sejenak. Pak Hamid minta izin untuk keluar dan
menemui salah satu warga yang ada di rumah persis di depan madrasah lama itu. Sementara
para mahasiswa tampak memikirkan kemungkinan posko mereka memang di madrasah
itu. Beberapa saat kemudian pak Hamid datang dan kembali berbincang dengan
saya.
“Pak,
ini di depan ini ada rumah. Rumah besan saya. Jadi kalau yang ibu-ibu
(mahasiswa) mau tidur di rumah silakan kata besan saya. Tapi mohon dimaklumi
kalau pagi tuan rumahnya pergi ke kebun. Kalau mahasiswa tak merasa ngak nyaman
taka apa. Terus soal alat masak mereka punya ngak? Nanti kalau untuk masak,
mereka bisa dibuatkan dapur di bagian teras (menyekat teras) katanya. Jadi
prinsipnya, mohon dimengerti, agar jangan sampai merugikan sebelah pihak”.
Itulah kehati-hatian tuan rumah yang disampaikan oleh pak Hamid dengan pilihan
rumah ini.
“Baik
pak, terima kasih atas tawaran ini. Tapi saya perlu bertanya kepada para
mahasiswa untuk menimbang dimana sebaiknya posko mereka”, aku meminta diri
kepada pak Hamid.
Pertemuanpun
kami gelar. Kami berdiskusi dengan tawaran-tawaran itu dan mempertimbangkan
dengan baik hingga pada akhirnya dengan yakin para mahasiwa tetap memilih gedung
madrasah sebagai posko mereka dan bersedia untuk mengemasnya sehingga layak
huni. Kamar perempuan dibuatkan sekat darurat dengan terpal. Bola listrik pun
dialirkan dari masjid. Untuk mandi mahasiswa sudah dapat izin dari pak Hamid
menumpang di kamar mandi masjid. Singkat kata, dalam waktu 2 jam posko kelompok
kami siap, dan bermulalah babak baru cerita mahasiswa sebagai warga Madrasah Ibtidaiyyah
(MI) Al-Istiqamah Dusun Gunung Ambawang sore itu.
Karena
sejak sore itu, gedung MI Al-Istoqamah tidak lagi menyelanggarakan pendidikan
untuk anak-anak Ibtidaiyah, sebab madrasah ini sudah lama menghilang dari
aktivitas pendidikannya. Madrasah ini yang secara administratif masih terdaftar
di Kemenag Kabupaten Kubu Raya, namun tidak lagi mampu menyelenggarakan PBM
sebagaimana mestinya.
Sejak
sore itu pula, gedung madrasah itu sudah menjadi kampus, sebab didiami oleh
mahasiswa KKL. Gedung MI itu telah menjadi kampus dan asrama buat mahasiswa
kelompok 4. Disinilah mereka akan menempa diri, berdiskusi dan merencanakan
program pengabdian selama hampir dua bulan, dan di sini pula mereka
menghilangkan penat dari aktivitas dan rutinitas PBM bersama warga kampong
Dusun Gunung Ambawang.
Sejak
sore itu pula, gedung madrasah yang memiliki ciri bangunan sekolah pada umumnya
tidak lagi sunyi dari siswa atau guru-guru. Sebab gedung MI telah merubah
menjadi tempat ramai dengan mahasiswa KKL sebagai penghuninya.
Alhamdulillah,
semangat hidup dan kehidupan telah tampak kembali di bekas bangunan lama yang
masih dengan jelas diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Al-Istiqamah Dusun Gunung
Ambawang. Madrasah yang hilang (guru dan muridnya) sebelum ini telah hidup
kembali dengan kehadiran mahasiswa KKL dengan segenap aktivitas yang telah,
sedang dan akan dilakukan selama 2 bulan di lokasi. Harapannya tentu saja
adalah, madrasah ini akan betul-betul hidup dengan aktivitas PBM nya setelah
ditinggalkan oleh mahasiswa KKL.
HARAPAN;
AKANKAN TINGGAL KENANGAN
Dalam
beberapa kesempatan saya coba mendiskusikan mengenai madrasah itu kepada para
sesepuh dan pemuka masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, khususnya Cabang Kiri.
Saya ingin mendengar cerita dari mereka mengenai Madrasah Ibtidaiyah itu hingga
ke-vakumannya saat ini.
Dari
diskusi tersebut, setidaknya ada dua hal yang saya dapatkan. Pertama, MI
itu awalnya berjalan dengan baik, mempunyai siswa yang lumayan banyak. Akan
tetapi dalam perjalanannya, seringkali proses belajar mengajar (PBM) tidak
terlaksana dengan baik, siswa terlantar, dan hasil belajar mereka juga rendah.
Hal ini menurut mereka disebabkan kurangnya tenaga pengajar (guru) yang bisa
standby dan memberikan perhatian penuh untuk mengurus MI tersebut. Akibatnya, sebagian besar orang tua mulai
menarik anak-anaknya dari madrasah, dan memindahkannya ke Sekolah Dasar (SD),
meskipun agak lebih jauh jarak tempuhnya. Kondisi ini diperparah lagi dengan
ketiadaan upaya kongkrit yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam mendukung
(bahkan memperbaiki) proses belajar di madrasah. Dari pihak guru sendiri juga
tampak sikap acuh dan kurang bertanggung jawab dengan tugasnya membangun
madrasah, bahkan akhirnya berhenti atau pindah tugas. Begitupun dengan pihak
kementeriaan agama selaku lembaga yang menaungi pendidikan madrasah juga tidak bisa
memberikan solusi apa-apa terhadap persoalan tersebut, bahkan sekedar turun
meninjau dan memberikan pembinaan juga tidak pernah, begitulah cerita mereka
tentang madrasah ini.
Kedua,
sesungguhnya masih ada harapan dan keingininan pada sebagian masyarakat agar
Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah dapat hidup kembali, menyelenggarakan PBM
dengan baik, sebagaimana layaknya. Harapan ini muncul dari kesadaran akan pentingnya
pendidikan madrasah bagi anak-anak mereka. Meskipun ada sekolah SD sebagai
pilihan pendidikan anak-anak mereka, akan tetapi mereka sadar bahwa ada nilai
plus (kelebihan) pendidikan madrasah dibandingkan dengan pendidikan umum (SD),
terutama muatan-muatan keagamaan. Hal inilah yang menjadi harapan dan keinginan
pada sebagian warga agar pendidikan madrasah dapat dihidupkan kembali.
Berdasarkan
informasi dari pak Hamid (Ketua RT yang juga Ketua Masjid Istiqamah) dan pak Solihin
(Kasi Kesra Desa Sungai Deras yang juga warga Dusun Gunung Ambawang), peluang
menghidupkan kembali madrasah ini masih terbuka lebar, sebab secara
administratif madrasah ini masih terdaftar di Kementerian agama Kabupaten Kubu
Raya. Dengan kata lain, meskipun sudah beberapa tahun ini Madrasah Ibtidaiyah
al-Istiqamah tidak lagi beroperasi (sebagaimana persoalan di atas), namun
sesungguhnya madrasah ini belum ditutup secara resmi administratif di
Kementrian Agama. Konon katanya, masyarakat masih diberikan waktu untuk
memikirkan dan mengevaluasi kemungkinan menghidupkan kembali PBM di madrasah
ini.
Mendengar
penjelasan tersebut, sontak saya merasakan ada harapan yang mungkin dapat
diwujudkan untuk kembali hidupnya madrasah ini. Karena itu saya melanjutkan
pertanyaan kepada pak Solihin dan pak Hamid. “Lantas apa yang disiapkan dan
akan dilakukan oleh warga disini untuk masa depan Madrasah?”Dengan nada datar
dan singkat keduanya menjawab, “tak taulah, tak ada guru yang mau mengajar
lagi, anak-anak juga sudah sekolah ke SD semua”. Semula saya berpikir ada upaya
konkrit tertentu yang mereka lakukan untuk mewujudkan harapan mereka. Akan
tetapi jawaban keduanya justru menunjukkan sebuah harapan yang semu.
Saya
kembali mendesak mereka dengan beberapa pertanyaan lanjutan, seperti; “sudah pernahkan
warga disini meminta Kemenag untuk menugaskan guru di madrasah ini? Apakah
bapak ibu dan warga disini bersedia menyekolahkan kembali anak-anak di madrasah
ini? Bukan harus ke SD? atau peran apa yang telah dan akan dilakukan oleh warga
disini dalam membantu jalannya PBM di madrasah ini? Apakah jika ada yang dapat
membantu proses ini di Kemenag seperti penempatan guru baru di sini, warga akan
mendukung sepenuhnya dengan mengembalikan sekolah anak-anak ke madrasah ini?”
Lagi-lagi, saya tidak mendapatkan jawaban yang baik, tegas dan meyakinkan.
Kondisi ini membuat saya sampai pada satu kekhawatiran akankah harapan kembali
hidupnya madrasah ibtidaiyah al-Istiqamah ini hanya tinggal harapan.., atau
harapan yang akan sirna menjadi kenangan..
POTENSI
YANG BISA DIMANFAATKAN
Berdasarkan
pengamatan singkat di lapangan, sesungguhnya masih ada banyak potensi yang
dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali pendidikan di madrasah, antara
lain gedung sekolah, SDM lokal (guru dan anak-anak), hingga refresentasi
keberadaannya.
Dari
sisi gedung sekolah, Madrasah Ibtidaiyah memiliki bangunan sekolah yang masih
relatif baik dan layak untuk penyelenggaraan PBM. Artinya bahwa, dengan sedikit
renovasi (perbaikan), gedung madrasah yang ada masih layak digunakan untuk
penyelenggaraan proses belajar mengajar, meskipun baru ada dua lokal ruang
kelas dan 1 ruang kantor yang saat ini justru dikontrakkan sebagai tempat
tinggal warga.
Dari
sisi SDM tenaga pengajar, di Dusun Gunung Ambawang sesungguhnya ada beberapa
alumni pendidikan tinggi, termasuk STAIN Pontianak seperti pak Imran dan
beberapa anggota keluarga dekatnya. Jika ada kemauan dan upaya masyarakat untuk
memperjuangkan keberadaan madrasah, akankah mereka ini tidak mau mengabdi dan
bertugas di kampung sendiri..?
Begitupun
dari sisi anak-anak, kunjungan singkat penulis di Dusun Gunung Ambawang
menemukan ada ramai anak-anak usia sekolah (madrasah) yang memiliki semangat
belajar yang tinggi, terutama pendidikan agama dan TPA. Ini terlihat dari
aktivitas mereka di masjid al-Istiqamah, belajar TPA dan mengisi waktu-waktu
shalat berjama`ah.
Dari
sisi refresentasi keberadaan sekolah, madrasah ini berada paling dekat dengan
pemukiman warga Gunung Ambawang khususnya Cabang Kiri. Madrasah ini juga berada
persis disamping Masjid al-Istiqamah, satu-satunya masjid di Cabang Kiri.
Sementara SD berada lebih dari 1 km dari lingkungan masjid dan juga konsentrasi
pemukiman penduduk Cabang Kiri. SD lebih dekat dengan pemukiman penduduk di Cabang
Kanan.
Belum
lagi informasi terakhir yang didapati oleh mahasiswa KKL dari Kantor Kecamatan
Teluk Pakedai yang mengatakan bahwa pihak pemerintah setempat (melalui
kecamatan) telah menyiapkan anggaran khusus untuk menghidupkan kembali madrasah
tersebut. Sungguh suatu berita yang menyenangkan, yang bisa menjadi semangat
lebih bagi para pemuka masyarakat khususnya, dan masyarakat Dusun Gunung Ambawang
umumnya yang mendambakan kehidupan kembali madrasah Ibtidaiyyah ini. Karena
itu, kepada mahasiswa peserta KKL saya menyampaikan harapan dan dukungan untuk
segera menyampaikan kabar baik ini dan terus memberikan semangat kepada
masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, khususnya para pemuka masyarakat dan
sesepuh untuk dapat memikirkan, merencanakan dan segera melakukan
langkah-langkah kongkrit dalam upaya merealisasi cita-cita menghidupkan
Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah.
Kondisi
ini menurut penulis merupakan potensi
yang besar, yang masih dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk menghidupkan
kembali Madrasah Ibtidaiyab Al-Istiqamah, bahkan memajukannya. Hanya saja
persoalannya adalah, apakah warga Dusun Gunung Ambawang (khususnya Cabang Kiri)
betul-betul berkeinginan dan berharap untuk menghidupkan kembali madrasah ini
kedepan? Dengan anggaran yang telah disipakan pemerintah, apakah masyarakat di
Dusun Ambawang dapat memanfaatkan peluang dan dukungan ini? Jika mereka sepakat
untuk membangun kembali madrasah, maka ada banyak pilihan yang dapat dilakukan
segera, termasuk meminta dukungan dan pembinaan dari Kemenag Kabupaten Kubu
Raya. Dengan kata lain, hidup atau matinya pendidikan di madrasah ini utamanya
ditentukan oleh semangat dan dukungan riil dari seluruh masyarakat di Dusun
Gunung Ambawang.
KEHADIRAN
MAHASISWA KKL
Kehadiran
mahasiswa dalam program KKL di kampung ini sesungguhnya bisa menjadi semangat
baru pada masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, khususnya pada aspek pendidikan
keagamaan. Nuansa keislaman dan pendidikan keagamaan yang menjadi ciri
profesionalitas mahasiswa yang ber-KKL dalam setiap program pangabdiaan
sejatinya dapat menjadi daya tarik dan kerinduan tersendiri pada orang-orang
tua akan pentingnya pendidikan agama ditanamkan pada generai anak-anak mereka
sejak dini.
Kerinduan
dan daya tarik tersebut pada akhirnya akan menjadi semangat baru untuk
memandang pentingnya keberadaan madrasah sebagai pendidikan agama pertama dan
utama bagi generasi anak-anak mereka. Karenanya, mahasiswa dapat menjadikan
proyek penyadaran ini sebagai misi penting dalam melaksanakan programnya di
lapangan.
Dengan
misi penyadaran ini, mahasiswa juga dapat memberikan pencerahan kepada warga
akan pentingnya pendidikan agama bagi generasi anak-anak sejak dini, yang tentu
saja tidak cukup didapatkan pada sekolah SD dan TPA. Bahkan mahasiswa mempunyai
peluang membangun kekuatan sosial (social force) dari masyarakat itu
sendiri untuk bergerak dan memperjuangkan apa saja yang menjadi harapan dan
cita-cita mereka bersama ke depan, terutama menghidupkan kembali pendidikan
madrasah. Penelusuran akan informasi adanya anggaran yang telah disiapkan oleh
pemerintah (melalui kecamatan) untuk menghidupkan madrasah ini merupakan satu
bukti adanya peran dan dukungan yang diberikan oleh mahasiswa KKL di lapangan.
Apalagi jika kondisi ini didukung oleh upaya penyemangatan (supportivenes)
yang baik melalui keseluruhan program KKL di lapangan.
Apapun
hasilnya dan pengaruh yang dapat diberikan oleh mahasiswa selama berada di
lokasi KKL, yang pasti penguatan aspek pendidikan keagamaan mesti menjadi warna
yang jelas dalam segenap aktivitas dan program kegiatan mereka. Sebab hanya
dengan itu masyarakat akan melihat nilai penting dan unggul dari sebuah Perguruan
Tinggi Agama Islam yang notabene memiliki nilai-nilai sinergis dengan
pendidikan madrasah yang harus mereka perjuangkan hari ini, yakni pendidikan
madrasah yang berada dalam dilema hidup dan mati. Hidup karena secara
administratif madrasah ini masih diakui keberadaannya di Kementerian Agama
Kabupaten Kubu Raya. Mati karena secara riil tidak ada lagi proses belajar
mengajar yang masih berjalan di madrasah ini. Akankan madrasah ini akan dapat
hidup kembali, atau justru akan hilang dalam sejarah masyarakat Dusun Gunung
Ambawang? Perjalanan waktu yang akan menjawabnya.
Sementara
bagi para mahasiswa, apa yang dapat dilakukan dengan program KKL ini? Pastinya,
berikan peran yang maksimal sesuai dengan batas tanggung jawab dan kapasitas
yang dapat anda lakukan. Insya Allah sebuah amal baik (sekecil apapun ia) tidak
akan pernah hilang dari catatan amal kita, meskipun sejarah hidup kita telah
berakhir.…?
Akhirnya,
semoga upaya menghidupkan kembali Madrasah Ibtidaiyah al-Istiqamah dapat
direalisasikan oleh masyarakat di Dusun Gunung Ambawang, amin.