Oleh: Ibrahim MS (Satu catatan keprihatinan terhadap penyelenggaraan pendidikan)
Pendidikan pada asasnya merupakan
ranah yang paling mulia dan menjadi cita-cita banyak orang, sebab dengan
pendidikan kita akan menghasilkan manusia-manusia yang handal, cerdas nan
berkualitas. Melalui pendidikan yang baik dan berkualitas kita akan mampu
membangun pribadi, masyarakat dan bangsa ini menjadi lebih baik dan maju.
Tumbuhnya kesadaran akan pentingnya
pendidikan pada satu sisi, dengan kemunculan institusi pendidikan (terutama
perguruan tinggi) yang semakin mengeliat pada sisi lain sesungguhnya memberikan
harapan yang menggembirakan pada mulanya. Dimana kita melihat hampir di setiap
kabupaten di Kalimantan Barat telah berdiri perguruan tinggi yang menawarkan
berbagai disiplin keilmuannya. Bahkan dengan model pembelajarannya sendiri pendidikan
tinggi tersebut sudah hadir hingga ke tingkat kecamatan-kecamatan.
Sungguh kondisi ini cukup memberikan
harapan dan kemudahan bagi masyarakat kita untuk menimba ilmu hingga ke
pendidikan tinggi, sebab mereka tidak perlu jauh-jauh lagi untuk kuliah, di dekat
mereka, di hadapan mereka sudah banyak perguruan tinggi yang siap menampung
keinginan mereka mengeyam pendidikan tinggi dan menjadi sarjana.
Ironisnya, kehadiran perguruan
tinggi tersebut dengan berbagai kemudahan yang ada, terutama dari sisi
jangkauannya, tidak dibarengi dengan jaminan kualitas pendidikan yang memadai
sebagaimana diharapkan. Bahkan ada kesan bahwa pendidikan pada sebagian
perguruan tinggi tersebut hanya bersifat formalitas semata guna mengejar gelar
kesarjanaan dan lahan “bisnis yang berkedok pendidikan” oleh penyelenggara.
Jika sebelum ini dunia akademis
diresahkan dengan adanya praktek jual beli gelar yang dilakukan oleh lembaga
pendidikan yang tidak jelas, tampa perkuliahan dan proses belajar, tau-taunya
sudah mendapat gelar kesarjanaan. Terhadap kasus ini, banyak dari kita yang
berteriak bahwa itu adalah kejahatan akademis. Namun akhir-akhir ini kita jumpai
kasus yang serupa meski tak sama, yakni adanya lembaga pendidikan (perguruan
tinggi) yang jelas keberadaan dan sah pendiriannya secara hukum, akan tetapi
ternyata dalam penyelenggarakan pendidikannya jauh dari prinsip-prinsip
mengedepankan kualitas dan proses pendidikan yang baik. Bagaimana tidak, di
luar etika akademis yang sepestinya, justru ada perguruan tinggi di sekitar
kita yang secara resmi menawarkan paket pembuatan skripsi bagi mahasiswanya
untuk menyelesaikan studi. Dengan tawaran ini mahasiswa tidak perlu repot
meneliti, bahkan tidak perlu tau dengan skripsi akhir. Mereka hanya cukup menyetor
bayaran sekian juta rupiah ke kampus (dengan tarif yang telah ditentukan), maka
mereka akan terima jadi skripsinya dan menjadi sarjana. Subhanallah, percaya
atau tidak, itulah kenyataan dan dapat dibuktikan di lapangan.
Sebagaimana kuliah umumnya, konon
mereka ini juga akan melewati proses ujian skripsi di depan tim penguji, kemudian
juga diwisuda. Karena itu mereka juga diminta sejumlah biaya untuk proses
tersebut. “Ya, okelah. Untuk ujian dan wisuda memang sepantasnya ada. Tapi
yang membuat saya bingung bagaimana ujian skripsi nanti? Skripsi sendiri saja
saya tak tau karena tak pernah lihat. Skirpsi kami mereka yang buat. Apa yang
mau diuji?” Keluh salah seorang mahasiswa di perguruan tinggi itu.
Sebuah keprihatinan yang mendalam
dengan kondisi pendidikan yang seperti itu, ketika pendidikan diselenggarakan
semata untuk kepentingan bisnis dan formalitas semata. Yang penting kuliah di
perguruan tinggi resmi (sah), selesai dan mendapatkan gelar sarjana, cukup.
Itulah agaknya yang terlintas dalam pikiran mereka. Bagi perguruan tinggi
penyelenggara yang penting ramai mahasiswa, dan banyak pula sarjana yang
dihasilkan. Lantas pertayaannya adalah, adakah kualitas yang didapatkan dengan
proses pendidikan seperti itu. Pernahkah mereka berpikir bagaimana mempertanggungjawabkan
gelar kesarjanaan mereka kelak? Jika mereka menjadi pendidik, mereka harus
mengajar dengan kejujuran dan ilmu yang benar. Jika mereka PNS -menjadi guru
dan dapat sertifikasi, mereka harus membuat penelitian dan karya untuk laporan
beban kerja setiap semester?
Di sinilah mereka baru akan
merasakan imbasnya. Mereka harus membuat semua itu. Mereka tidak mungkin lagi
beralasan kalau mereka tidak mendapatkan pengalaman tersebut (meneliti &
menulis) ketika kuliah dahulu. Ataukah mungkin pengalaman yang diajarkan dari
kampus mereka dulu yang akan dijadikan pelajaran buat mereka, yakni membayar
orang lagi untuk meneliti dan menulis karya atas nama mereka. Astaghfirullahal
azhim dan mohon perlindungan Allah dari generasi pendidikan yang salah seperti
ini. Generasi pendidik yang dicetak dan diwarisi oleh perguruan tinggi yang
tidak berwibawa dan tidak berkualitas, bahkan perusak dunia akademis pendidikan
kita.
Adakah itu gambaran pendidikan
tinggi kita saat ini? Mungkin. Akan tetapi sesungguhnya masih banyak perguruan
tinggi yang berjalan dalam koridor akademis yang baik dan benar, yang masih mengedepankan
proses pendidikan yang berkualitas, menjunjung tinggi budaya akademis dan
kejujuran ilmiah, yang dapat dipilih untuk pendidikan anak-anak dan generasi
kita kedepan.
Oleh
karena itu, jika penguasaan ilmu pengetahuan yang menjadi tujuan pendidikan
tinggi anak-anak dan generasi kita, maka jauhkan mereka dari perguruan tinggi
yang hanya mengedepankan praktek bisnis oriented dan formalitas
belaka, yang justru merusak dunia akademis pendidikan kita. Wallahu a`lam.