Oleh: Ibrahim MS
(Doktor dalam bidang Ilmu Komunikasi Antarbudaya-Mengajar di IAIN Pontianak)
Pendahuluan
Tahun
2003 adalah tahun bersejarah bagi saya dan beberapa orang teman Dosen di IAIN
Pontianak. Sebab, tahun itulah saya diterima dan diangkatkan sebagai abdi
negara (CPNS) di lingkungan IAIN Pontianak (STAIN Pontianak ketika itu). Hari
ini, tahun 2014, tak terasa sudah 10 tahun dilalui dalam aktivitas dan
kapasitas diri sebagai abdi negara (PNS). Lazimnya di dunia PNS, pengabdian
sepuluh tahun (satu decade) selalunya ditandai dengan pemberian penghargaan satyalencana karya, yang karenanya kami
pun diberikan tawaran untuk melengkapi beberapa berkas untuk mendapatkan
penghargaan tersebut.
Saya
sendiri dengan yakin menolak untuk melengkapi berkas tersebut, dan tidak
berkenan untuk mendapatkannya. Setidaknya ada dua pertimbangan dengan sikap
tersebut; pertama, sudah sepuluh tahun sebagai abdi negara sesungguhnya belum banyak
yang dapat saya berikan untuk bangsa
ini; kedua, daripada sekedar menerima penghargaan di atas selembar kertas yang
disebut piagam satyalencana karya,
saya lebih memilih untuk menulis setiap pengalaman dan perjalanan hidup saya
dari kampung, kuliah, hingga menjadi abdi negara (PNS) di IAIN Pontianak.
Inilah karya reflektif tersebut yang saya tulis dalam tema Kisah Pengabdian Seorang Anak Kampung.
Sejarah
Perantauan Anak Kampung
Tahun
1996, adalah untuk pertama kali sejarah perantauan seorang anak kampung
dimulai. Ya, tahun itulah pertama kali saya menginjakkan kaki ke Kota Pontianak
untuk sebuah perantauan dalam rangka menuntut ilmu di Perguruan Tinggi (kuliah).
Masa-masa itu, tidak mudah bagi seorang anak kampung dari pedalaman ulu Kapuas
seperti saya untuk sampai ke kota dan kuliah. Di kampung saya saja, rasanya,
sayalah orang pertama yang memulai misi ini, merantau dan kuliah di Kota Pontianak.
Kendala ini bukan saja karena letak geografis yang jauh di pedalaman, namun
juga faktor ekonomi keluarga yang jauh dari kata layak. Oleh karena itu,
sebelum selesainya ujian nasional SMA (Aliyah), sama sekali saya tidak pernah
berani berbicara soal kuliah, termasuk ketika datangnya tawaran PMDK (penerimaan
mahasiswa dengan kekhususan) Untan ketika itu, saya tidak berani mengambilnya,
meskipun secara nilai saya selalu berada
di rangking satu dan dua.
Dengan
keluarga pun demikian. Kepada emak dan saudara yang lain, saya tidak pernah
berani bicara soal kuliah, karena saya sadar dengan kondisi ekonomi keluarga
yang tidak memungkinkan. Satu-satunya cara yang dapat saya lakukan ketika itu
adalah secara diam-diam menyiapkan diri, dengan cara menyisihkan sebagian uang bekal
sekolah untuk tabungan kuliah.
Dengan
tabungan diam-diam itu, ditambah semangat diri yang kuat, hasilnya cukup untuk
saya berangkat daftar kuliah ke Pontianak tahun 1996. Alhamdulillah pula Allah
Swt menyertai niat baik itu. Saya mendaftar di STAIN Pontianak (Fakultas
Tarbiyah IAIN Syarif Hidyatullah Pontianak namanya ketika itu). Saya tes, dan dinyatakan
diterima kuliah. Jadilah seorang anak kampung yang hari-harinya bermain dengan
lebatnya hutan rimba, menoreh getah, dan bekerja ladang, sejak itu berubah
menjadi seorang anak kuliahan yang hidup di kota. Sejarah hidup baru, yang
menuntut komitmen dan perjuangan hidup yang lebih besar lagi sebagai perantau
yang sebatang kara.
Perjuangan Kuliah
Kuliah
bagi orang seperti saya bukanlah sebuah kesempatan untuk bersenang-senang, atau
karena keadaan yang serba tersedia dan mendukung, terutama dalam hal ekonomi.
Kuliah bagi saya adalah perjuangan yang luar biasa, baik dari sisi kesungguhan
dalam belajar maupun paktor ekonomi pembiayaan kuliah. Jika anak-anak yang lain
mungkin hanya perlu memikirkan bagaimana belajar yang giat, untuk memperoleh
nilai yang baik. Bagi saya ketika itu, memastikan diri bisa bertahan hidup di
Pontianak dan meneruskan kuliah adalah dua hal yang sama penting. Hanya sebuah
prinsip “pantang mundur sebelum berhasil” itulah yang menjadi penguat semangat
mengawali perjuangan masa-masa awal kuliah.
Alhamdulillah,
usaha yang gigih, yang lahir dari semangat dan tekad yang kuat dapat
mengalahkan segala kendala yang dihadapi selama kuliah, terutama kekurangan
dari sisi ekonomi. Sampailah tahun 2001 secara resmi saya menyelesaikan kuliah
S.1 dan dinyatakan lulus sebagai sarjana di STAIN Pontianak.
Pengalaman Pertama Mengajar di
Perguruan Tinggi
Selesai
kuliah tahun 2001, saya dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, segera kembali ke kampung, mengabdikan ilmu yang didapat
untuk mengajar sebagaimana niat awal ketika berangkat dari kampung 5 tahun
sebelumnya. Kedua, menerima tawaran
mengajar di perguruan tinggi, sebagai assisten dosen.
Pilihan
pertama sempat dijalani dengan mengikuti tes CPNS di Kementerian Agama
Kabupaten Kapuas Hulu. Namun dibalik pilihan pribadi saya, Allah Swt punya
rencana yang lebih baik untuk kehidupan seseorang. Saya dinyatakan tidak lulus.
Ya, Allah tidak berkehendak untuk saya lulus CPNS di kampung dan mengabdikan
diri di sana. Saya menerima dengan ikhlash dan lapang dada dengan
ketentuan-Nya.
Akhirnya
saya menjalani pilihan kedua dengan beberapa pertimbangan. Antara lain, tingginya
kecintaan saya terhadap aktivitas akademis dan pengembangan ilmu pengetahuan,
dimana dunia perguruan tinggi menjadi wadah yang paling memungkinkan
dibandingkan kembali ke kampung dan mengabdi di tingkat sekolahan. Dibalik itu, tantangan dan perjuangan lebih
berat lagi mesti siap dihadapi jika dunia perguruan tinggi menjadi pilihan
ketika itu. Maklum, kebijakan pengembangan pendidikan mengharuskan untuk
seorang dosen minimal berpendidikan master (S.2). Artinya, untuk benar-benar
menjadi seorang dosen saya harus memikirkan kuliah lagi. Begitulah pertimbangan
yang harus diperhitungkan saat itu.
Singkat
cerita, saya pun menerima tawaran menjadi assisten dosen ketika itu. Sebuah
pilihan hidup yang sesungguhnya tidak pernah terbayangkan jauh hari sebelum
berangkat dari kampung dan memulai perjuangan perantauan mencari ilmu. Saya
menjadi assisten pak Haitami mengajar di STAIN dan Universitas Panca Bhakti
(UPB). Di STAIN saya membantu pak Haitami mengajar mata kuliah Metodologi
Pengajaran Agama Islam. Sedangkan di UPB kami mengajar mata kuliah Agama Islam.
Pengalaman
mengajar untuk pertama kali di Perguruan Tinggi ini bukan saja menambahkan pengetahuan
saya mengenai teknik-teknik pengajaran (sebagaimana kompetensi yang diharapkan
pada lulusan Tarbiyah seperti saya), akan tetapi menambah semangat diri saya
untuk terus menimba ilmu, mengabdikan diri dan membangun karir akademis di
Perguruan Tinggi. Keterampilan mengajar di perguruan tinggi yang dipadukan
dengan seni komunikasi yang diperlihatkan pak Haitami kepada saya selama
membimbing saya mengajar ketika itu memberikan makna penting dalam hidup saya,
terutama tonggak awal karir akademis saya. Saya jadi semakin termotivasi untuk
berkarir di dunia kampus dan mengembangkan kapasitas akademis diri.
STAIN
yang ketika itu baru berusia 4 tahun, juga menjadi pertimbangan soal pengabdian
dan peluang karir akademis saya. Jurusan Dakwah yang merupakan salah satu
jurusan terbaru ketika itu, masih kekurangan banyak tenaga pengajar, baik dari
sisi disiplin ilmu (konsentrasi) maupun jenjang pendidikan master. Sebagai
contoh, untuk Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Jurusan Dakwah
belum memiliki dosen di bidang itu yang bergelar master. Atas semua itu, saya
memutuskan untuk melanjutkan kuliah lagi (S.2) tahun 2002 di UIN Jakarta,
dengan konsentrasi Dakwah dan Komunikasi sebagai pilihan.
Proses
kuliah S.2 saya pun dimulai tahun 2002 dalam status mahasiswa biasa. Biasa
dalam pengertian sesuai dengan pilihan pribadi, dengan pembiayaan sepenuhnya
juga pribadi. Sebab saya tidak terikat dengan siapapun, termasuk STAIN
Pontianak. Sebagai alumni dan komitmen untuk mengabdikan diri ke almamater,
tentu saja pilihan saya didukung oleh beberapa senior dan kolega di STAIN
Pontianak. Ya, setidaknya dukungan moril dan semangat untuk terus berjuang
mengejar cita-cita dan harapan ke depan. STAIN baru membuka Program Studi
Komunikasi dan Penyiaran Islam, dan tentunya memerlukan tenaga pengajar
(bergelar master) di bidang Dakwah dan Komunikasi. Itulah pertimbangannya.
Alhamdulillah,
dengan kekuatan semangat dan kebulatan tekad, semester demi semester kuliah
saya jalani dengan lancar dan tanpa kendala apapun, termasuk soal biaya yang
saya percayakan sepenuhnya pada rizki dari Allah Swt. Sebab saya yakin benar
dengan janji-Nya yang tidak akan menelantarkan hamba-Nya yang berjihad. Belajar
menuntut ilmu (kuliah) bagi saya adalah jihad. Meskipun terkadang harus bayar
SPP dengan cicilan, saya dapat menyelesaikan kuliah S.2 dalam waktu 1 tahun 10
bulan (termasuk lima besar dari angkatan kuliah yang sama, yang dapat
menyelesaikan kuliah dalam waktu tersebut)
Seleksi jadi CPNS STAIN
Awal
tahun 2003, tepatnya pada semester tiga, saya mendapatkan kabar jika ada
penerimaan CPNS Dosen di STAIN Pontianak. Salah satu tenaga yang dicari adalah
Dosen Komunikasi Penyiaran Islam yang bergelar master atau calon master. Dengan
adanya ketentuan yang membolehkan calon master, itulah yang menjadi peluang
saya untuk mengikuti seleksi ketika itu. Artinya bahwa, keikutsertaan saya
dalam seleksi ketika itu dapat dibenarkan jika tidak ada peserta seleksi yang
sudah bergelar master untuk konsentrasi tersebut.
Saya
sendiri sesungguhnya masih ragu untuk pulang dan mengikuti tes di STAIN, sebab
kuliah semester 3 juga belum selesai, bahkan belum ujian. Saya meminta pendapat
beberapa kolega, termasuk pak Andi Faisal Bhakti, salah satu dosen yang
mengajarkan saya ilmu komunikasi di semester itu. Sungguh di luar dugaan saya,
justru beliau memberikan dukungan penuh untuk saya kejar pulang dan mengikuti
seleksi CPNS di STAIN Pontianak ketika itu.
Masih
berpikir antara mengikuti tes CPNS atau menyelesaikan kuliah semester tiga,
yang salah satunya mata kuliah pak Andi (Prof. Andi Faisal Bhakti). Ada dua
mata kuliah dengan beliau ketika itu. Pertimbangannya, jika pulang ke
Pontianak, maka saya tidak lagi bisa ikut kuliah pak Andi, sebab setelah itu
beliau segera akan kembali ke Belanda dan mengajar di sana.
Ternyata
pak Andi bukan hanya memberikan izin tidak ikut perkuliahannya hingga selesai
untuk mendukung saya pulang, malah beliau menjanjikan kelulusan dua mata kuliah
tersebut untuk saya. “Ibrahim, selama ini kamu masuk teruskan matakuliah saya?
Tugas dan presentasi juga sudah kamu kerjakan semua kan? Ok, kalau gitu Ibrahim
pulang saja. Ikuti tes CPNS itu. Soal kuliah, Ibrahim jangan khawatir. Ibrahim pasti
lulus, hanya saja dengan angka berapa, nanti lah saya lihat. Tugasnya Ibrahim
kirim saja ke email saya. Ibrahim pulang saja, ikuti tes itu. Atau, Ibrahim
perlu rekomendasi saya untuk ikut seleksi CPNS?” itulah diantara motivasi besar yang
menguatkan saya untuk pulang dan mengikuti seleksi CPNS tahun 2003.
Dengan
motivasi dan dukungan itu, setidaknya membuat saya lebih konsentrasi menghadapi
tes CPNS. Saya tidak lagi khawatir akan tidak lulus mata kuliah dengan pak
Andi, sebab beliau sudah menjaminnya. Dengan perasaan hati yang senang dan
penuh semangat, saya mohon izin dengan beliau dan memohon do`anya agar saya
lulus dalam seleksi CPNS yang akan diikuti.
Begitulah
awal proses seleksi CPNS saya ikuti mulai dari pendaftaran, tes, hingga
pengumuman hasil tes. Alhamdulillah,
karena tidak ada pelamar yang sudah bergelar master, maka saya dianggap
memenuhi syarat sebagai peserta CPNS. Tidak lama setelah tes, keluarlah
pengumuman yang menyatakan saya lulus dan diterima sebagai CPNS Dosen di STAIN
Pontianak. Sungguh sebuah anugrah, rahmah dan karunia terbesar dari Tuhan dalam
hidupku. Sebuah hasil dari perjuangan panjang yang diamanahkan Tuhan untuk
hidup saya menjadi seorang calon abdi negara (CPNS). Ada rasa bangga dan haru
dalam diri saya ketika itu. Bangga atas anugrah Tuhan yang diamanahkan ke saya
sebagai CPNS. Haru, sebab, status sebagai CPNS ini adalah yang pertama dalam
keluarga saya (orang tua dan saudara saya). Apalagi menjadi abdi negara di
sebuah perguruan tinggi sama sekali tak pernah terlintas sebelumnya di benak seorang
anak perantauan dari kampung. Karenanya hanya puja puji pada Tuhan yang terus
saya ungkapkan ketika itu. Ucapan terima kasih kepada Emak tercinta (semoga
Allah merahmatinya) atas cinta dan do`a tulusnya dalam menyertai setiap perjuangan
dan perantauan saya.
Dengan
perasaan lega atas kelulusan tersebut, saya segera kembali ke Jakarta untuk
menyelesaikan seluruh proses kuliah. Sebuah misi penyelesaian kuliah yang
dipenuhi oleh motivasi, semangat dan
tekad yang berlipat ganda. Alhamdulillah
awal semester 4 saya sudah menyelesaikan tesis, ujian dan dinyatakan lulus dengan
nilai memuaskan (A). Hanya saja saya tidak terkejar untuk ikut wisuda periode
Juni. Saya baru bisa wisuda pada periode Oktober 2003, yang menjadikan saya
tercatat mampu menyelesaikan kuliah dalam waktu 1 tahun 10 bulan.
CPNS, Masa Adaptasi dan Persoalan
TP
Sebagai
CPNS baru, sebenarnya saya sudah dipanggil untuk mulai bekerja tidak lama
setelah pengumuman kelulusan. Akan tetapi, karena saya sedang dalam proses
penyelesaian akhir studi, saya langsung dinyatakan dalam status sedang izin
belajar ketika itu. Saya baru bisa memulai tugas masuk kerja sebagai CPNS pada
bulan November 2003, sepulang dari kuliah di Jakarta. Sebagaimana lazimnya
CPNS, saya harus segera mengikuti prajabatan. Saya tidak ingat persis angkatan
ke berapa prajabatan yang saya ikuti pada bulan November itu. Yang pasti, itu
angkatan prajabatan kami semua CPNS dosen STAIN Pontianak angkatan tahun
2003.
Lulus
dari prajabatan itulah dihitung sebagai periode pertama status Calon Pegawai
Negeri Sipil resmi saya sandang. Karena itu Desember 2003 (10 tahun silam) adalah
terhitung masa tugas (TMT) pertama saya dan teman-teman se-angkatan sebagai
CPNS di STAIN Pontianak.
Memulai
tugas sebagai abdi negara, dengan status baru sebagai CPNS tentu saja
memerlukan beberapa waktu untuk beradaptasi. Akan tetapi setidaknya masa-masa
itu ada sebuah semangat dan motivasi yang tinggi untuk bekerja. Apalagi sebagai
CPNS, masa-masa awal hanya diberikan tanggung jawab mengerjakan tugas-tugas
administratif, meskipun formasi status pegawai adalah calon dosen.
Selain
status CPNS untuk pegawai pemula, masa-masa itu juga masih ada jenjang status sebagai
Tenaga Pengajar (TP) yang harus dilalui. Dalam status itu, kami juga tidak
dibolehkan untuk mengajar dan mengampu matakuliah sendiri, kecuali mengikuti
dosen senior dalam bentuk assistensi. Alasannya, TP adalah masa pembinaan untuk
menjadi dosen. Dengan ketentuan tersebut, setidaknya diperlukan 1 sampai 2
tahun CPNS baru boleh menjadi dosen dan mengajar. Ya, begitulah aturannya, kata
salah satu pejabat ketika itu. Setiap CPNS dosen, termasuk kami hanya bisa
mengikuti saja aturan masa-masa itu.
Saya
sendiri merasa heran dengan ketentuan tersebut, yang menurut pandangan pribadi
saya ada kejanggalan yang jelas. Kondisi ini mengharuskan saya untuk menelusuri
aturan-aturan yang digunakan. Saya cari buku-buku terkait dengan ketentuan
perundang-undangan pegawai negara, termasuk keputusan Meskowasbangpan, dimana
tidak satupun aturan menyentuh soal TP. Saya bertanya kepada pimpinan, termasuk kabag. Administrasi ketika itu
mengenai dasar hukum dan ketentuan TP itu. Namun, yang mengejutkan saya adalah,
ternyata aturan yang digunakan untuk menetapkan masa TP bagi calon dosen justru
tidak jelas. Tidak ada undang-undang yang bisa dirujuk. Konon, katanya ada
surat edaran dari Jakarta (IAIN Syahid Jakarta ketika masih menaungi Fakultas
Tarbiyah Pontianak) ketika itu yang menjadi dasar hukumnya. Dan itupun tidak
ada satu lembarpun ketentuan aturan tersebut yang dipegang untuk melanggengkan
status TP itu.
Kondisi
ini semakin menguatkan saya untuk meminta pimpinan melakukan evaluasi terhadap
ketentuan TP bagi CPNS dosen. Sebab, menurut saya aturan TP itu hanya akan
menghambat perkembangan status dan karir akademis seorang CPNS calon dosen.
Dengan TP ini, seorang CPNS calon dosen harus melewati masa satu tahun CPNS
murni, satu tahun berikutnya TP, dan tahun ketiga baru bisa menjadi Dosen.
Termasuk saya yang saat itu sudah master, dan sudah dibenarkan undang-undang
untuk menjadi seorang dosen dari sisi pendidikan, namun tidak boleh mengajar
dan mengampu matakuliah sendiri dengan alasan masih status TP.
Alhamdulillah,
proses evaluasi dan kritik konstruktif yang dilakukan ketika itu dapat
menggugah hati para pimpinan STAIN, yang akhinya bersepakat untuk menghapus
kebijakan TP bagi setiap CPNS calon dosen. Terutama untuk CPNS setelah angkatan
kami tahun 2003. Kondisi ini semakin membuat saya bersemangat mengemban tugas
sebagai abdi negara, sehingga proses adaptasi di awal-awan tugas saya tidak
mengalami kesulitan yang berarti.
Bulan
Madu Kehidupan Akademis
Awal-awal
menyandang status sebagai seorang pegawai negeri (CPNS), tentu merupakan
masa-masa yang paling mengembirakan, apalagi sebagai calon dosen di sebuah
perguruan tinggi agama Islam satu-satunya yang berplat merah di provinsi ini.
Karena itu, ada sebuah kebanggaan dan rasa syukur yang luar biasa yang saya
rasakan ketika itu.
Pekerjaan
sebagai seorang abdi negara, khususnya pengajar (guru dan dosen) menurut saya
adalah pekerjaan yang sangat mulia. Sebab pekerjaan ini terkait dengan tugas
dan tanggung jawab membina seorang anak manusia, mendidik dan mengajarkannya.
Bahkan, mulianya tugas ini dapat dibuktikan bahwa dari proses inilah akan lahir
seorang pemimpin bangsa, ilmuan dan atau ahli apapun dan di bidang manapun.
Karenanya, meskipun secara langsung seorang guru atau dosen tidak mendapatkan
keuntungan besar dalam hal materi (selain gaji yang pas-pasan), akan tetapi ada
kebanggaan dan kepuasan bathin yang luar biasa ketika mampu mengantarkan anak didiknya
menjadi seorang yang berhasil dalam hidupnya. Karena itulah, pada akhirnya
dengan penuh kesadaran saya merasa bangga dengan profesi saya sebagai seorang
dosen. Ada kepuasan bathin dan ketenangan jiwa saya menjalani profesi akademis
yang saya tekuni saat ini. Profesi di mana kejujuran (mental akademis)
dikedepankan, pengabdian (yang tulus) dijadikan landasan, professionalitas
dijunjung tinggi, dan pastinya jauh dari intrik dan kepalsuan sebagaimana dunia
politik praktis.
Karena
itu, masa-masa itu bagi saya bagaikan periode bulan madu sebagai seorang abdi negara,
seorang calon dosen yang akan melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan
prinsip profesionalitas, kejujuran, dan ketulusan. Yang dengan ini semua,
kepuasan bathin begitu dapat saya rasakan sebagai abdi negara.
P3M
Unit Pengabdian Pertama
Saya
adalah satu-satunya CPNS angkatan tahun 2003 yang ditempat-tugaskan di unit P3M
(Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat), sebuah unit yang konon mengalami
metamorposa dalam sejarahnya. “Dahulu,
P3M adalah sebuah unit yang biasa-biasa saja, atau bahkan unit buangan”.
Begitulah guyonan seorang pejabat teras STAIN yang masih saya ingat betul ucapannya
ketika itu. Akan tetapi sekarang menjadi unit yang cukup disegani karena
perkembangan positif di dalamnya.
Ditempatkan
di sebuah unit yang notabene
aktivitasnya di bidang penelitian, pengabdian masyarakat dan berbagai
pengembangan keilmuan di dalamnya, justru membuat saya sangat bersyukur.
Melalui unit ini saya dapat mengembangkan ide dan semangat akademis saya,
terutama penelitian dan pengembangan ilmu. Bahkan dapat dikatakan bahwa, tiada
hari yang kami lakukan di unit ini selain pengembangan aktivitas akademis
tersebut. Karena itulah saya dipercayakan untuk mengkoordinir bidang penelitian
di unit itu.
Dalam
rangka mendukung tugas koordinator penelitian di unit P3M, saya dipercayakan
untuk menimba pengetahuan dan pengalaman, diantaranya pengembangan metodologi Participatory Action Research (PAR).
Saya menjadi salah satu orang yang dipercayakan untuk mendalami metodologi ini.
PAR yang merupakan kecendrungan metodologi riset dan pengabdian yang
dikembangkan oleh Kementerian Agama ketika itu. Tahun 2005 saya dipercayakan
untuk mengikuti pelatihan Pengembangan Metodologi PAR tingkat nasional di
Universitas Negeri Makasar selama 2 minggu. Kemudian tahun 2008 saya juga
dipercayakan untuk mengikuti Workshop Nasional Intensif Metodologi PAR di
Wonokeling, Solo selama 4 minggu.
Pengetahuan
dan pengalaman yang saya peroleh, terutama metodologi PAR itulah selanjutnya
yang mendasari kebijakan pengembangan PAR di lingkungan STAIN Pontianak, baik
dalam bidang penelitian (berbasis PAR) maupun Kuliah Kerja Lapangan (KKL) PAR
yang merupakan maskot hingga tahun-tahun berikutnya. Saya menjadi salah satu
dari tim PAR STAIN Pontianak yang dikukuhkan melalui Surat Keputusan (SK) Ketua
STAIN ketika itu.
Selain
itu, saya juga pernah dipercayakan untuk mengikuti Workshop Nasional Bimbingan Penulisan
Karya Ilmiah untuk Jurnal Nasional dan Internasional di Universitas Negeri Malang
(UM) pada tahun 2006. Dengan pengetahuan itu saya bersama teman-teman di P3M
memperkuat upaya penerbitan jurnal ilmiah dan menyempurnakan pengelolaannya
sebagaimana kaedah jurnal yang sesuai standarisasi nasional.
Ditempatkan
di unit P3M ketika itu juga memberikan banyak peluang bagi saya untuk
mengembangkan kafasitas akademis diri, yang bukan saja sebagai pekerja
administratif, melainkan juga aktivitas intelektual dan akademis seperti
menulis artikel jurnal, menerbitkan buku dan mendirikan forum diskusi ilmiah
dosen.
Untuk
peluang menulis artikel jurnal setidaknya ada lima jurnal yang tersedia ketika
itu. Yang langsung dikelola P3M ada Jurnal Khatulistiwa
(jurnal tertua yang didirikan sebelum saya bergabung di P3M). Kemudiaan
lahirnya jurnal Al-Albab yang
dibidani oleh unit P3M ketika itu, dengan ibu Laili sebagai perintisnya, karena
beliau kepala P3M ketika itu. Di Jurusan-jurusan juga lahir jurnal ilmiah pada
masa itu, seperti At-Turats untuk
Tarbiyah, Al-Mau`izatul Hasanah untuk
Dakwah (sekarang berubah menjadi Al-Hikmah),
dan Al-Maslahah untuk Jurusan
Syari`ah.
Untuk
penerbitan buku, masa-masa di P3M merupakan pengalaman pertama kali saya
menulis dan menerbitkan buku sendiri yang saya beri judul Problematika Komunikasi Antarbudaya, diterbitkan tahun 2005. Sebuah
karya ilmiah buku yang pertama saya hasilkan dari modifikasi tesis master di
Universitas Islam Negeri Jakarta. Meskipun hanya sebuah karya yang sangat
sederhana, namun terbitan buku itu menjadi inspirasi dan motivasi bagi saya
untuk menulis dan melahirkan karya-karya akademis lainnya, termasuk karya-karya
kompilasi seperti hasil diskusi ilmiah dosen melalui forum studi Akademia yang
saya dirikan ketika itu.
Akademia
yang Menggairahkan
Akademia
adalah nama sebuah forum diskusi ilmiah dosen yang saya bentuk ketika masih
bergabung di unit P3M. Forum ini lahir karena kecintaan saya terhadap
pengembangan akademis dan keilmuan di kampus pada satu sisi, pada sisi lain
saya ingin mengisi waktu-waktu kosong bagi komunitas akademis, khususnya para
dosen, dari miskinnya wahana pengembangan keilmuan akademis yang saya lihat.
Akademia, adalah sinonim yang saya ambil
dari makna Ajang Kreatifitas Akademis Insan Kampus sesungguhnya lahir untuk
memfasilitas pengembangan diri dan keilmuan para dosen. Melalui forum ini saya
dapat memfasilitasi para dosen untuk menulis, membuat makalah ilmiah dan
mendiskusikannya. Saya bangga dan bergairah mengelola forum ini, karena
besarnya partisipasi dari teman-teman dosen, termasuk yang lebih senior dan
sepuh. Begitu saya menawarkan tema-tema dalam silabus tahunan yang saya siapkan
untuk forum diskusi ini, hampir sebagian besar dosen dapat berpartisipasi
membuat makalah dan mempresentasikannya dalam diskusi. Keberhasilan ini dapat
dibuktikan dengan terbitnya sebuah buku kompilasi dari makalah-makalah hasil
diskusi yang saya beri judul Islam dan
Peradaban Global yang diterbitkan tahun 2005.
Perjalanan forum Akademia tahun 2005 ini
sungguh sangat penting dan menghidupkan gairah akademis di kampus ketika itu.
Secara keseluruhan saya dapat mengatakan bahwa program diskusi Akademia
berjalan dengan sukses untuk tahun pertama itu, mulai dari pembuatan silabus
materi, partisipasi dosen dalam menulis dan diskusi, hingga proses penerbitan
buku kompilasinya.
Periode kedua, tahun 2006 Akademia
mengalami beberapa hambatan dalam perjalanannya, diantaranya, dan paling utama
adalah keberangkatan saya untuk melanjutkan pendidikan S.3 di Malaysia.
Perhatian saya sudah mulai terbagi dengan persiapan kuliah. Sementara mereka yang
diberikan kepercayaan untuk melanjutkan pengelolaan forum ini juga tidak mampu
menunjukkan keseriusannya. Diskusi Akademia berjalan antara hidup dan mati,
terkadang ada dan terkadang tidak. Beda dengan tahun 2005 ketika saya masih fokus
mengelolanya, semua program berjalan dengan lancar sesuai dengan jadwal yang
ditetapkan. Saya sendiri prihatin, karena saya mencintai forum ini. Akan tetapi
berangkat kuliah S.3 juga harus segera saya siapkan. Meski dengan sangat berat
hati, pilihan untuk kuliah S.3 mengharuskan saya melimpahkan pengelolaan forum
diskusi Akademia ke teman-teman lain di P3M ketika itu. Termasuk jabatan
Sekretaris unit P3M yang hanya sempat saya emban dalam beberapa bulan saja, dan
harus saya lepaskan demi mengejar cita-cita kuliah S.3 ketika itu.
Begitulah realitas sebuah pilihan,
selalu ada konsekuensinya. Tapi, apapun pilihan dan konsekuensinya, saya bangga
dengan semua itu. Forum Akademia yang saya rintis ketika itu mampu
membangkitkan gairah akademis yang luar biasa, setidaknya dalam kurun waktu
tahun 2004-2005, hingga melahirkan karya fenomenal buku kompilasi hasil diskusi
para dosen selama satu periode tahun 2005.
Periode ini merupakan akhir dari
pengabdian saya secara langsung di unit P3M, sebab, sekembalinya dari Malaysia,
tahun 2008 akhir, saya memilih untuk mengembangkan Malay Corner, sebuah unit
non struktural yang dibentuk oleh Pak Haitami dan kawan-kawan, ketika beliau
masih menjabat sebagai Ketua STAIN Pontianak.
MC: Pengabdian dari Luar
Berbeda
dengan P3M yang merupakan unit struktural di STAIN Pontianak. Malay Corner (MC)
adalah sebuah unit non struktural di lingkungan STAIN Pontianak. Unit ini
dibentuk sebagai wadah memfasilitasi sekaligus mempelopori studi-studi tentang
masyarakat lokal Kalimantan Barat, khususnya Melayu. MC dibentuk tahun 2006
dengan pak Haitami sendiri sebagai direkturnya. Periode beliau berjalan hingga
tahun 2009 dengan menghasilkan beberapa koleksi buku-buku sebagai sebuah
perpustakaan penting mengenai Melayu. Kemudiaan tahun 2009, saya diamanahi
tugas untuk mengelola unit ini, sekaligus menjadi alasan saya untuk meninggalkan
P3M dan berkantor di MC.
Pada
tahun pertama, saya tidak terlalu terkendala dengan status nonstruktural unit
ini. Ya, meskipun kami tidak dibiayai oleh DIPA, karena memang tidak masuk
dalam struktur (nonstructural). Namun
setidaknya, pak Haitami sebagai ketua STAIN sekaligus orang yang membidani
lahirnya unit ini memiliki cara tersendiri untuk mencarikan pembiayaan
operasional unit ini. Karena itu, untuk menjalankan program, kami masih punya
peluang, asal pandai dan jelas programnya.
Suasana
kerja menjadi berubah ketika pergantian ketua STAIN dari pak Haitami kepada pak
Hamka. Status non struktural MC benar-benar ditempatkan sebagai unit yang berada
di luar lembaga. Jangankan untuk mendapat support (dukungan) pembiayaaan dengan
bahasa-bahasa apapun, sekedar meminta kebutuhan administrasi dasar seperti ATK
pun kami tidak bisa. Jika kami bisa melaksanakan beberapa program dan
menghasilkan karya pada masa-masa itu adalah karena kejelian kami di unit ini
membangun kerjasama kemitraan (termasuk pembiayaan) dengan pihak luar, atau
menarik kontribusi dengan peserta. Lama-kelamaan, kondisi ini tentu cukup
mempersulit ruang gerak kami di unit ini. Jangan kan dipandang sebelah mata,
sekedar didengarkan mungkin juga tidak oleh pimpinan. Ya, lagi-lagi alasannya
lembaga MC itu nonstruktural kata pimpinan pasca pak Haitami. Bukankah status
ini sudah disadari sejak pendiriannya di masa kepemimpinan pak Haitami..? dan
buktinya, pak Haitami bisa mencari jalan keluar yang tidak menyalahi ketentuan.
Ya, persoalannya ada pada kemauan dan keberpihakan….
Sebagai
sebuah unit non struktural, MC tidak dibiayai dari anggaran kampus (DIPA). MC
hidup dengan biaya operasional dari pengelolaan kegiatan mandiri. Jika di masa
kepemimpinan pak Haitami, MC dibiayai dari pos perpustakaan, sebab ia memiliki
fungsi yang serupa dengan perpustakaan. Bahkan dengan alasan itulah MC saat itu
ditempatkan di salah satu ruangan di gedung perpustakaan. Meskipun tidak
mendapat pos biaya khusus dan jelas ketika itu, masa-masa pak Haitami memimpin
STAIN ini MC masih dipandang sebagai bagian dari asset kampus, apalagi beliau
yang membentuknya, tentu sangat mengerti tujuan dan maksudnya.
Sebagaimana
fungsinya, selain mengeksplorasi buku-buku referensi mengenai masyarakat lokal
sebagaimana dilakukan masa-masa pak Haitami direkturnya, MC juga berupaya
melakukan kajian dan penelitian tentang masyarakat lokal, dalam hal ini Melayu
utamanya. Karena itu, periode saya mengelola unit ini, MC dapat menghasilkan
beberapa buku hasil penelitian, diskusi dan workshop yang terkait dengan
masyarakat Melayu di Kalimantan Barat. Sebut saja misalnya Menunggu di Tanah Harapan, Jejak Bugis di Tanah Borneo, Karunia Tuhan
di Parit Wa` Gattak. Ketiganya adalah karya hasil kegiatan Riset Wisata
yang dikoordinir oleh MC. Kemudiaan ada lagi buku Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu, sebuah karya kompilasi makalah
penelitian yang didiskusikan dalam kegiatan Seminar Melayu Nusantara di MC.
Berikutnya, yang terbaru adalah empat judul buku karya fenomenal dari program
Kampung Riset tahun 2013 yang diselenggarakan bersama P3M STAIN Pontianak.
Untuk
program kampung riset dan terbitan empat judul buku darinya, mungkin tidak
banyak yang mengetahui keterlibatan MC dalam program itu. Sebab, program kampung
riset itu secara mutlak dilabelkan di bawah unit P3M STAIN Pontianak, unit
resmi struktural yang menangani kegiatan penelitian dan pengabdian di lingkungan
STAIN Pontianak, yang melalui anggaran DIPA dapat direalisasikan.
Banyak
orang yang tidak mengetahui jika sesungguhnya program Kampung Riset itu adalah
program yang diajukan oleh MC kepada PK 1 dua tahun sebelumnya. Program ini
merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari program riset wisata yang telah dilakukan beberapa kali di MC. Dari sisi
teknis pelaksanaan, kegiatan dan target outputnya pun sama antara riset wisata
dan kampung riset. Sebagai satu pengembangan program, kampung riset
direncanakan untuk skop yang lebih besar, dalam waktu yang lebih panjang, dan
karenanya memerlukan pembiayaan yang lebih besar. Karena itulah program ini
diajukan ke pimpinan STAIN. Namun, karena status MC yang nonstruktural, maka
lembaga tidak dapat memasukkannya ke dalam rencana anggaran DIPA, begitulah
alasannya. Karena itu, PK 1 memutuskan untuk menitipkan program tersebut
melalui unit P3M STAIN Pontianak.
Atas
kompromi itulah, saya diminta terlibat aktif dalam pelaksanaan program
tersebut. Dari sisi output program, nama dan logo MC masih dapat dimasukkan
dalam karya monumental itu. Meskipun secara resmi dan formal administratif nama
MC tidak pernah dimunculkan selama program tersebut. Ya, begitulah lika-liku
perjuangan di MC, sebuah unit yang harus bertahan hidup secara mandiri. Tidak
ada perhatian dan dukungan apapun dari pimpinan, termasuk kebijakan.
SAMBUNGAN ARTIKEL INI ADA DALAM PERSI CETAK (BUKU SATU DEKADE DALAM SATU KARYA, DILAUNCHING, 17 AGUSTUS 2014_PENERBIT STAIN PRESS)