PANTANG
LARANG & PENGAJARAN KESEIMBANGAN HIDUP
Satu
Kajian pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang, Ulu Kapuas
Oleh: Ibrahim MS
Artikel yang disampaikan dalam Kolokium Internasional Khazanah Pendidikan di Alam Melayu, di ATMA, Universiti Kebangsaan Malaysia, 24-25 Juni 2014
Abstrak
Orang
Melayu dikenal sebagai masyarakat yang
kental akan adat dan tradisi budaya. Satu diantara tradisi yang masih
terus hidup dan berkembang pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang adalah
Pantang Larang. Sebagai sebuah produk dari sistem sosial dan budaya yang hidup
dalam masyarakat, Pantang Larang bukanlah semata-mata warisan tradisi,
melainkan mengandung nilai – nilai pengajaran yang penting dalam kehidupan,
yakni tentang keseimbangan hidup dalam masyarakat Melayu. Berdasarkan analisis
terhadap Pantang Larang dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang, didapati setidaknya
dua katagorisasi pengajaran keseimbangan hidup; Berdasarkan isi, Pantang Larang mengajarkan
keseimbangan hidup dalam hubungan dengan Tuhan (hablumminallah), hubungan dengan alam, dan hubungan dengan sesama
manusia (hablumminannas). Berdasarkan
proses, Pantang Larang itu
sesungguhnya satu bentuk komunikasi (strategi) yang digunakan oleh orang-orang
tua dalam memberikan pendidikan dan pengajaran hidup kepada anak dan generasi
mudanya, yang dalam ilmu komunikasi modern identik dengan strategi komunikasi dua
tahap (two step flow of communication).
Kata
kunci: Pantang Larang, nilai pengajaran, keseimbangan
hidup
A.
Pendahuluan
Pada
prinsipnya, manusia hidup dalam tatanan sosial dan budaya yang mereka ciptakan
sendiri. Karena itu dapat dipastikan setiap manusia–komunitas apapun-senantiasa
memiliki apa yang dikenal dengan tatanan sosial dan budaya yang bukan saja
mereka ciptakan, akan tetapi menjadi panutan dan sistem nilai dalam kehidupan.
Tatanan sosial dan budaya inilah yang pada akhirnya membangun aturan, norma,
dan sistem nilai dalam hubungan sosial diantara mereka. Termasuk menjadi
rujukan nilai dan ukuran tentang sesuatu yang disebut baik atau tidak baik, sopan
atau tidak sopan, boleh atau tidak boleh, dan berbagai ketentuan normatif
lainnya.
Berdasarkan
kesadaran akan tatanan sosial dan budaya inilah pada akhirnya kita mengenal
beragam tradisi, adat istiadat dan budaya yang hidup dan dipelihara oleh
sesebuah masyarakat, termasuklah Pantang Larang dalam konteks ini. Sebagai
wujud dari sebuah tatanan sosial dan budaya yang hidup dan tumbuh dalam
masyarakat, Pantang Larang memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat
Melayu Nanga Jajang. Bahkan menurut Ibrahim dkk (2012), Pantang Larang adalah
salah satu tatanan sosial dan budaya yang masih eksis dan terus diamalkan oleh
sebagian besar masyarakat Melayu Nanga Jajang. Hal ini disebabkan Pantang
Larang masih dipandang sebagai memiliki muatan nilai/pengajaran yang penting
mengenai keseimbangan hidup masyarakat Melayu. Apa saja Pantang Larang
dimaksud, bagaimana fungsi dan kedudukannya, serta nilai keseimbangan hidup
yang bagaimana dapat ditemukan dalam pengajaran Pantang Larang Melayu di Nanga
Jajang? Itulah antara aspek penting yang dibincangkan lebih lanjut dalam
tulisan ini.
B.
Deskripsi
Kawasan Kajian
Nanga
Jajang sebagai kawasan kajian ini adalah sebuah pemukiman kecil setingkat dusun,
yang terletak jauh di pedalaman Ulu Kapuas. Jika diukur dari Pontianak, Nanga
Jajang berada pada 800 kilometer lebih
ke arah timur Provinsi Kalimantan Barat. Dari kota Kabupaten Kapuas Hulu
(Putussibau), Nanga Jajang berada pada jarak 100 an kilometer. Untuk sampai ke
sana dari pontianak bisa memakan masa hingga satu hari semalam menggunakan bis dengan
kondisi jalanan yang rusak seperti saat ini. Jika kondisi jalannya agak mulus,
dari Pontianak ke Nanga Jajang dapat ditempuh dalam masa 14-15 jam perjalanan.
Secara
administratif, Dusun Nanga Jajang adalah bagian dari Desa Karya Jaya, Kecamatan
Pengkadan, Kabupaten Kapuas Hulu. Sebagai sebuah pemukiman kecil setingkat
dusun, Nanga Jajang hanya didiami oleh lebih kurang 360 jiwa, dengan mayoritas
penduduknya adalah Melayu dan beragama Islam (Ibrahim dkk, 2012).
C.
Masyarakat
Melayu di Nanga Jajang
Sebagaimana lazimnya masyarakat Melayu
pada umumnya, berbagai adat istiadat, budaya dan tradisi juga masih mewarnai
dalam sebagian besar kehidupan sosial masyarakat. Bahkan sejarah memetakan
bahwa sistem sosial masyarakat Melayu sangat terikat dengan adat istiadat dan
tradisi yang diwarisi turun temurun (Ibrahim, 2013). Segala
sistem nilai dan norma yang menentukan pemikiran dan pola tingkah laku masyarakat
Melayu sebenarnya telah diperturunkan melalui proses pembudayaan atau
sosialisasi daripada generasi tua kepada generasi muda zaman berzaman (Mohd.
Kamaruddin, 2005: 69). Menurutnya, proses sosialisasi ini dilakukan oleh
keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Segala sistem hidup mereka kuat
berakar kepada nilai dan norma Islam yang mementingkan kesejahteraan sosial
wujud dalam masyarakat.
Dengan
demikian kita dapat memahami bahwa budaya atau kebudayaan adalah meliputi
keseluruhan cara hidup orang Melayu, termasuk adat tradisi dan akal budinya
(Noriah Mohamed, 2009: 76). Sebab itu makna adat dengan budaya bagi orang
Melayu saling melengkapi. Orang Melayu sering merujuk fenomena budayanya dengan
ungkapan ”ini adat kami” (Kamaruddin, 2005: 70).
Kemajuan pembangunan yang ditandai dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta sumber daya manusia yang
semakin meningkat, tidak serta merta menghilangkan tradisi sosial dalam
masyarakat. Banyak dari tradisi dan budaya masyarakat yang masih bisa bertahan dan
terus hidup hingga saat ini. Sebagai contoh tradisi robo`-robo` yang
masih eksis dilakukan oleh masyarakat Melayu di Pontianak dan Mempawah (Tribune
Pontianak, 2013), tradisi saprahan oleh Melayu Sambas (Erwin & Andi
Gidang, 2010). Kemudian untuk masyarakat Melayu di Nanga Jajang, kita masih
menemukan banyak tradisi budaya yang masih eksis dan dipraktikkan seperti topung
tawar (Ibrahim MS, 2010a), tradisi besunat kampung (Ibrahim MS,
2010b), tradisi pangil (Ibrahim MS, 2013), pantang larang (Yusriadi,
Ibrahim MS, & Zaenuddin, 2009), hingga `makan tal` pada Melayu Kapuas Hulu Melayu di Nanga
Jajang (Ibrahim MS, 2013).
Sebagai salah satu tradisi budaya yang masih
eksis dalam masyarakat, Pantang Larang dipercayai memiliki berbagai nilai
penting bagi kehidupan masyarakat pengamalnya, diantaranya pengajaran mengenai
keseimbangan hidup yang belum pernah dijadikan fokus kajian selama ini. Yusriadi,
dkk (2009) pernah mengkaji Pantang Larang Melayu Nanga Jajang dari aspek
komunikasi, yakni kearifan orang-orang tua dalam membangun komunikasi melalui
pantang larang yang mereka ciptakan. Mengingat belum adanya kajian yang
memberikan fokus aspek pendidikan/pengajaran, maka kajian mengenai nilai-nilai
pendidikan dalam Pantang Larang Melayu menjadi tema yang sangat penting
dibincangkan secara akademis dan ilmiah.
D.
Pantang
Larang dalam Masyarakat
Pantang larang secara bahasa adalah segala yang dipantang dan
dilarang. Karena itu, Pantang Larang dipahami sebagai “sesuatu yang tidak baik
untuk dikerjakan, karena itu sebaiknya pekerjaan itu ditinggalkan”. Secara
istilah pantang larang itu adalah “tidak melakukan sesuatu dalam kehidupan karena
dapat mendatangkan kemudaratan bagi pelakunya. Menurut Wikipedia, pantang
larang dimaknai sebagai tidak boleh melakukan sesuatu dalam kehidupan
dikarenakan alasan kesehatan, kebiasaan dan keyakinan (Wikipedia.org., akses,
9/06/14). Makna serupa dapat ditemui dalam istilah Pamali (lihat Indospiritual.com., akses 9/06/14).
Untuk dapat memahami dengan baik menenai pantang larang dalam
masyarakat, khususnya pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang, setidaknya ada
dua hal yang menjadi tumpuan perbincangan berikut ini, yakni; asal usul
lahirnya pantang larang dan klasifikasi Pantang Larang (fungsi dan
kedudukannya) itu sendiri.
1. Asal Usul Lahirnya Pantang Larang
Secara
jelas memang tidak ditemukan data mengenai asal usul lahirnya Pantang Larang
dalam masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Hal ini disebabkan kebanyakan masyarakat saat ini menerima Pantang Larang
dalam tradisi hidup mereka begitu saja dari orang-orang tua mereka. Mereka
lebih banyak hanya sebagai pewaris dari tradisi Pantang Larang yang ada. Karena
itu ketika peneliti tanyakan dari mana asal usul pantang larang itu sebenarnya?
Mereka hanya bisa menjawab bahwa itulah yang mereka dapatkan dari orang-orang
tua mereka.
Untuk menjelaskan pandangan masyarakat Melayu dengan Pantang
Larang yang mereka warisi, kebanyakannya hanya mencoba untuk selalu
menghubungkan antara pantangan dan peristiwa hidup yang mereka lalui. Dengan
kata lain, apa yang dianggap masyarakat sebagai akibat dari Pantang Larang itu
mereka yakini dari peristiwa hidup yang dialami oleh masyarakat.
Berdasarkan data yang demikian, maka dapat dijelaskan
bahwa Pantang Larang yang hidup dalam tradisi sosial masyarakat Melayu Nanga
Jajang umumnya berasal dari budaya dan tradisi sosial masyarakat Melayu
setempat. Budaya dan tradisi sosial inilah yang selanjutnya dipengaruhi oleh
nilai-nilai agama dan moral seperti larangan
melangkahi al-Qur`an, larangan melewati di depan orang yang sedang shalat,
dan sebagainya. Begitupun pengaruh moral dan akhlak sosial yang banyak dijumpai
dalam pantang larang orang Melayu di Nanga Jajang seperti `tidak boleh makan sambil berjalan`, `tidak boleh duduk di depan pintu`,
`tidak boleh bersiul di malam hari` dan sebagainya.
Hasil wawancara di lapangan juga mendapati bahwa umumnya
Pantang Larang diwirisi secara turun temurun dari orang-orang tua mereka. Pada
sebagian informan juga ada yang mengakui bahwa Pantang Larang yang diketahuinya
didapatkan dari kampung lain, Azmi (KP: 3 Oktober 2009) misalnya menyebutkan
pantangan dalam `menugal padi di uma na
tau betangkup, tapi harus ada lubang penyawa`[1].
Ada juga yang mengakui mendapatkan Pantang Larang dari buku yang didapatkannya
di kampung lain, Ali (KP: 4 Oktober 2009) misalnya menyebutkan pantangan
tentang hari-hari yang baik untuk melakukan sesuatu dalam kehidupan.
Dengan demikian jelas bahwa Pantang Larang yang hidup
dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang umumnya berasal dari tradisi budaya yang
diwarisi secara turun temurun dari orang-orang tua mereka. Meskipun sebagian
kecil lainnya mempercayai Pantang Larang yang mereka dapatkan di
kampung-kampung Melayu lainnya, dan bahkan dari bacaan-bacaan buku.
2. Klasifikasi Pantang Larang: Fungsi dan Kedudukannya
Sebagai sebuah tradisi yang tumbuh dalam masyaraat, Pantang
Larang memiliki nilai yang sangat beragam. Bahkan Yusriadi dkk (2009)
memberikan lima klasifikasi pantang larang yang meliputi; persoalan keselamatan
jiwa, persoalan waktu, persoalan tempat, jenis kelamin, serta pekerjaan dan
aktivitas. Artinya, hampir semua aspek hidup dan kehidupan masyarakat memiliki
keterkaitannya dengan Pantang Larang yang hidup dalam tradisi sosial mereka. Kondisi
ini semakin mempertegas bahwa betapa Pantang Larang (pada prinsipnya) merupakan
suatu tuntunan hidup dan kehidupan bagi orang Melayu di Nanga Jajang. Meskipun
dalam perjalanan sejarahnya, pemaknaan, fungsi dan kekuatan Pantang Larang
telah mengalami reduksi bahkan eksistensinya yang cukup besar sampai ke hari
ini.
Pentingnya kedudukan dan fungsi Pantang Larang dalam
sejarah sosial dan kehidupan masyarakat Melayu Nanga Jajang dapat dilihat dari
kompleksitas aspek yang dikenai dengan Pantang Larang. Deskripsi dan
klasifikasi Pantang Larang di atas yang meliputi hampir seluruh aspek hidup
menjadi bukti yang tak terbantahkan dengan kedudukan dan fungsi Pantang Larang
ini pada masyarakat Melayu Nanga Jajang.
Dalam hal tuntunan etika sosial kemanusiaan dan akhlak
dalam keluarga juga dapat ditemukan dalam beberapa Pantang Larang seperti `larangan duduk di depan pintu` sesungguhnya mempunyai makna tuntunan akhlak
dan sopan santun yang tinggi. Sebab duduk di depan pintu itu dapat mengganggu
bagi orang lain keluar masuk rumah pada satu sisi, pada sisi lain tentu saja
kurang elok dipandang bagi seorang anak gadis yang duduk-duduk di depan pintu.
Tuntunan akhlak sedemikian lebih dapat dibuktikan dibandingkan dengan ancaman
tekstual sebagai balang tunang, sebab
substansi duduk di depan pintu berbeda jauh dengan balang tunang. Meskipun bagi
orang-orang Melayu dahulu, persoalan akhlak dan sopan santun sangat
diperhitungkan dalam memilih seorang pasangan hidup yang baik. Jika hendak
dicari hubung kait makna tekstual dengan kontekstual dalam Pantang Larang
tersebut, maka pernyataan terakhir mungkin ada relevansinya. Dalam konteks
Islam, akhlak dan sopan santun yang baik merupakan ciri keagamaan yang baik.
Karena itu salah satu aspek penting yang harus dilihat dalam memilih jodoh
dalam Islam adalah baik agamanya (al-Hadits)[2].
Dalam hal usaha, ekonomi dan ikhtiar juga ditemukan tuntunan
yang jelas dalam Pantang Larang yang ada seperti `tidak boleh `melopus` ketika akan berangkat memancing atau berburu`.
`Melopus` itu dimaknai sebagai simbol
dalam menikmati sesuatu dengan tidak sungguh-sungguh atau bukan sebenarnya.
Jika berburu dan memancing tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh atau tidak
dengan usaha sebenarnya dikhawatirkan tidak akan mendapatkan apa-apa alias `pelopusah`. Tuntunan lainnya adalah `tidak boleh melangkahi juran pancing` atau
`melangkahi senapang, kujur (tombak), seropang (trisula) dan alat sejenisnya
untuk berburu`. Pantangan ini mengajarkan paling tidak dua hal; pertama, melangkahi benda-benda tersebut
menandakan bahwa orang tersebut tidak sedang sungguh-sungguh dan dalam keadaan
siap berburu atau menangkap sesuatu. Kedua,
melangkahi benda-benda tersebut bisa berakibat rusaknya alat-alat berburu itu,
atau malah membahayakan diri kita sendiri. Makna yang manapun terjadi, maka
tetap saja akibatnya adalah kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari usaha
memancing atau berburu itu.
Pertanian
atau ladang huma yang merupakan sumber penghasilan utama masyarakat mempunyai
tuntunan yang sangat banyak dalam Pantang Larang. Bahkan untuk persoalan yang
satu ini, Pantang Larang sudah ada sejak dari aktivitas memilih lahan hingga panen dan pasca panen
(lihat dalam Ibrahim, 2008).
E.
Pelajaran
Keseimbangan Hidup dalam Pantang Larang
Sebagai
suatu tradisi yang tumbuh dan berkembang dalam sistem sosial dan budaya
masyarakat, Pantang Larang dipercayai memiliki nilai atau pelajaran tertentu
yang diwarisi secara turun temurun. Nilai-nilai yang dimaksud adalah pelajaran
keseimbangan hidup. Untuk menemukan nilai-nilai keseimbangan hidup melalui Pantang
Larang Melayu di Nanga Jajang, pengkaji akan membahasnya melalui dua
klasifikasi analisis, yakni berdasarkan isi
dan proses. Berdasarkan isi,
pelajaran keseimbangan hidup secara jelas (tekstual/tersurat) dalam teks Pantang
Larang. Berdasarkan proses, pelajaran keseimbangan hidup dipahami secara
kontekstual dari Pantang Larang tersebut. Berikut analisis keduanya diuraikan.
1. Berdasarkan
Isi
Sebagai sebuah tradisi sosial yang
tumbuh dan hidup dalam satu sistem sosial dan budaya masyarakat, Pantang Larang
diyakini memiliki muatan-muatan pesan yang penting dipahami dan diketahui. Masyarakat
Melayu yang juga merupakan muslim, mempunyai konsep keseimbangan hidup
sebagaimana diajarkan dalam al-qur`an. Keseimbangan hidup dimaksud meliputi
tiga dimensi hubungan, yakni hubungan dengan pencipta (hablumminallah), hubungan dengan alam, dan hubungan sesama manusia
(hablumminannas). Dalam konteks ini, tiga
dimensi tersebut menjadi simbol keseimbangan hidup pada masyarakat Melayu di
Nanga Jajang. Karena itu, analisis lebih lanjut adalah untuk menemukan
pelajaran keseimbangan hidup yang terkandung dalam teks/isi Pantang Larang
Melayu di Nanga Jajang.
a.
Hubungan
manusia dengan Tuhan
Setidaknya ada dua katagorisasi isi
pantang larang Melayu yang mengandung pelajaran keseimbangan hidup, dalam hal
ini hubungan manusia dengan Tuhan, yakni:
1. Mesti Pandai Bersyukur.
Pandai bersyukur atas nikmat dan
karunia Tuhan merupakan satu bentuk hubungan yang penting antara seorang hamba
dengan Tuhan-Nya. Ini bukan saja terlihat dalam tuntunan nilai-nilai agama,
melainkan juga wujud dalam Pantang Larang Melayu di Nanga Jajang. Diantara
Pantang Larang Melayu yang memuat nilai pentingnya bersyukur sebagai bentuk
hubungan hamba dengan Tuhan dapat dilihat dalam teks berikut:
“Saat panen padi,
semua padi harus diambil besar kecilnya, tak boleh meninggalkan padi karena
buahnya kecil (potin), karena padi yang ditinggal (padi potin) akan menangis
jika tidak diambil”
“Padi yang sudah
dipanen harus disimpan dengan baik, tak boleh ditaroh begitu saja di lantai, sebab
padi kedinginan dan akan menangis. Padi tak mau ditaroh sembarangan. Karena itu
padi lebih baik dibuatkan tempat/rumah yang kosong (kujuk)”
“Tangkai padi
tak boleh sembarangan dipatah/diambil, melainkan harus terlebih dahulu memanggil
semongatnya (semangat padi), biar terus dapat keberkatan”.
“Makan tak boleh
jatuh-jatuh nasinya, sebab tuah padi akan marah dan tak mau lagi kasih rezeki”.
Salah satu
bentuk hubungan yang baik sebagai makhluk kepada Tuhannya adalah pandai
bersyukur atas segala rahmat dan nikmat hidup yang telah diberikan oleh Tuhan.
Dalam banyak ayat al-qur`an ditemukan nilai pentingnya untuk banyak bersyukur
dalam hidup. Bahkan dengan banyak bersyukur setiap kita bukan saja akan
merasakan kenikmatan hidup, melainkan juga akan dilipatgandakan rezeki dan
kenikmatan dari-Nya.
“Dan (ingatlah
juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami
akan menambahkan (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azabku sangat pedih” (Q.S. Ibrahim/14: 5)
Dengan ini jelas
bahwa adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara Pantang Larang (sistem sosial
dan budaya masyarakat) dengan norma Islam sebagai tuntunan hidup masyarakat
Muslim yang membentuk keseimbangan tatanan hidup masyarakat Melayu di Nanga
Jajang, dalam konteks ini adalah sikap pandai bersyukur atas karunia
nikmat-Nya.
2. Pelaksanaan Perintah Agama
Pengajaran
tentang hubungan manusia dengan Tuhannya juga dapat dilihat dalam Pantang Larang
orang Melayu Nanga Jajang, terutama untuk konteks pengajaran pelaksanaan
perintah agama. Pelaksanaan perintah agama dimaksud antara lain kemestian
menghormati orang yang sedang shalat, karenanya dilarang menghalangi atau
melintasi di depan orang yang sedang shalat sebagaimana dalam pantang larang
berikut:
”Tidak boleh melewati di depan orang yang lagi shalat, sebab
itu sama dengan melintasi api neraka”
Begitupun dengan al-qur`an yang merupakan kitab suci
umat Islam, adalah suatu keharusan mempelakukannya dengan hormat. Bahkan dalam
tradisi Melayu, Al-qur`an harus disimpan di tempat yang baik, tinggi dan
dimuliakan. Karena itu dianjurkan pada setiap orang yang akan memegang dan
membacanya dalam keadaan bersih dan suci (la
yamassuhu illa muthahharun), menciumnya dan melatakkannya di atas kepala
atau dahi. Penghormatan yang tinggi terhadap kedudukan al-qur`an ternyata juga
menjadi pengajaran penting yang dapat ditemukan dalam Pantang Larang Melayu
sebagaimana berikut:
”Tidak boleh melangkah al-qur`an, Sebab dapat menyebabkan
kembang perut pelakunya”
Begitupun seterusnya larangan meratapi orang yang
meninggal secara berlebihan, sehingga Nabi Saw melarang keras menangis di atas
kuburan (al-hadits). Pengajaran
serupa dapat ditemukan dalam Pantang Larang berikut:
”Orang tidak boleh menangis di kuburan, membuat
si mati sakit terendam air”.
”Tidak boleh melangkah atau menginjak makam, melangkah
makam bisa menyebabkan kembang perut”.
Selain itu, menjaga waktu shalat adalah kewajiban
setiap muslim. Islam mengajarkan umatnya untuk melaksanakan shalat bila tiba
waktunya sebagaimana dalam hadits Nabi Saw (ash
shala tu `ala waktiha). Kehati-hatian terhadap waktu shalat, terutama
shalat maghrib yang memiliki masa paling singkat, dapat dilihat dalam pengajaran
Pantang Larang Melayu berikut ini:
”Tidak boleh tidur menjelang waktu Maghrib,
disusupi hantu (kesurupan)”.
”Jendela tidak boleh dibiarkan terbuka pada waktu menjelang
Maghrib dan setelah Isya, hantu dan setan masuk ke dalam rumah”.
Terakhir, pelajaran mengenai pelaksanaan perintah
agama sebagai satu bentuk hubungan manusia dengan Tuhannya tercermin dalam
pengamalan salah satu sunnah hidup untuk memulai perjalanan yang baik dengan
kaki kanan. Pengajaran seperti ini wujud dalam teks pantang larang sebagai
berikut:
”Jangan mulai melangkah dengan kaki kiri. Langkah kaki
kiri membuat perjalanan jadi tidak bagus”.
Larangan memulai pekerjaan yang baik dengan kaki
kiri merupakan penguat terhadap anjuran dalam Islam untuk memulai segala yang
baik dengan sebelah kanan. Makan dengan tangan kanan. Wudhu dari sebelah kanan.
Salam dari kanan, dan seterusnya.
b.
Hubungan
Manusia dengan Alam
Pantang Larang Melayu Nanga Jajang juga
memberikan pelajaran mengenai hubungan manusia dengan alam. Allah Swt memang
telah menciptakan alam dengan segala isinya untuk manusia (al-Qur`an). Akan tetapi itu tidaklah bermakna bahwa manusia boleh
berbuat semena-mena terhadap alam ciptaan-Nya. Alam adalah makhluk ciptaan-Nya
sebagaimana manusia. Kesombongan manusia yang berpotensi merusak alam (hubungan
dengan alam) sesungguhnya menjadi paktor
utama menyebabkan terjadinya bencana dan malapetaka bagi kehidupan diri manusia
sendiri.
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)-(Q.S.
Ar-Rum/30: 41)
Islam yang merupakan
agama rahmatan lil alamin telah
menuntun manusia untuk hidup sebagai pelindung, pemberi keselamatan dan rasa
aman bagi semua makhluk Tuhan di muka bumi ini, termasuk alam sekitar. Manusia
dengan semua makhluk Tuhan yang melata di alam raya ini sesungguhnya adalah
satu kesatuan sistem hidup yang tak terpisahkan. Oleh karenanya mutlak
diperlukan tatanan hubungan yang sentiasa baik dan harmoni. Kesadaran ini
sepertinya yang ingin diwujudkan dalam sebuah pelajaran pada Pantang Larang
Melayu Nanga Jajang yang berbunyi:
”Tidak boleh kencing di sungai yang airnya tidak
mengalir, hantu marah, bisa sakit”.
“Tidak boleh kencing di bawah pokok, hantu marah,
bisa sakit”.
Selain itu, hubungan
yang baik terhadap alam juga dapat diimplementasikan dalam bentuk sikap
menghargai terhadap kodrat diri. Semua makhluk Tuhan, termasuk manusia
sesungguhnya diciptakan dengan kedudukan dan fungsi masing-masing yang sudah
sangat jelas. Qur`an Surah az-Zariyat/51:
56 menyebutkan bahwa manusia diciptakan semata-mata untuk menghamba
kepada-Nya.
Tidak aku menciptakan Jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku. (Q.S. 51: 56)
Dengan ayat ini jelas
bahwa hanya Allah lah satu-satunya zat yang maha tinggi yang patut disembah.
Selain-Nya adalah makhluk yang memiliki kedudukan yang sama atau bahkan lebih
rendah dari manusia. Pentingnya pelajaran tentang kesadaran akan kodrat diri
(sebagaimana konteks di atas) dapat ditemukan dalam beberapa Pantang Larang
Melayu di Nanga Jajang, seperti:
”Tak boleh memakaikan baju pada binatang, terkena
sambaran petir”
”Tidak boleh tidur memakai baju terbalik, sebab akan
membuat tidur bermimpi buruk”
”Membuat lantai dapur tidak boleh lebih tinggi dari rumah,
kalau dapur lebih tinggi, nanti perempuan akan lebih menguasai laki-laki” (Dapur
itu ibarat perempuan).
Menurut para pakar
tafsir, salah satu perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah syirik,
bahkan tidak ada ampunan bagi orang yang berbuat syirik (musyrik). Besarnya dosa syirik disebabkan adanya pelanggaran kodrat
ciptaan dengan sang pencipta. Menyembah selain Allah sang pencipta,
sesungguhnya telah menyalahi kodrat bahwa selain Allah adalah makhluk yang
diciptakan, yang karena tidak ada yang patut disembah kecuali Allah sang
pencipta (lihat antara lain Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah).
c.
Hubungan
Sesama Manusia
Sebagai suatu produk budaya, Pantang Larang
tumbuh dan berkembang bersamaan dengan perkembangan sejarah sosial dan budaya sesebuah
masyarakat. Oleh itu, Pantang Larang sentiasa memiliki persentuhan yang jelas
dalam hubungan sosial suatu masyarakat. Asumsi ini didukung oleh data di
lapangan yang menempatkan hubungan sesama manusia sebagai aspek pengajaran yang
paling dominan dalam Pantang Larang Melayu. Setidaknya ada empat katagorisasi
nilai pengajaran yang terkait dengan hubungan sesama manusia sebagaimana
terlihat dalam Pantang Larang Melayu di Nanga Jajang.
Pertama,
kemestian hidup tertib dan teratur sebagaimana dalam dua teks pantang larang
berikut:
”Kalau berjalan tidak boleh saling mendahului. Orang yang
berjalan dahulu, harus tetap dahulu, yang di belakang harus tetap di belakang.
Kalau saling mendahului menyebabkan sesuatu yang tidak baik terjadi”.
”Kalau sedang berjalan, orang pantang menginjak tumit
orang yang berjalan di depan, nanti dipatok ular”.
Kedua,
kemestian berusaha dengan sungguh-sungguh & Istiqamah sebagaimana pelajaran
tersebut wujud dalam pantang larang berikut:
”Orang tidak boleh ‘melopus’ ketika akan pergi memancing,
memancing tidak akan dapat ikan”.
”Kalau sudah berangkat, berjalan, pantang melihat ke
belakang, kalau melihat ke belakang menyebabkan banyak urusan sangkut, akan
banyak halangan”.
Ketiga,
kemestian menjaga sikap/akhlak sebagaimana wujud dalam pelajaran pantang larang
berikut:
”Anak dara (gadis) dilarang duduk di tengah pintu, nanti
balang (diputuskan oleh) tunang”
”Tidak boleh memandang seseorang yang sedang buang air, nanti
matanya tumbir (mengembang)”.
“Tidak
boleh makan dengan pinggan atau piring diangkat (pingan ditangung), nanti akan
membuat istri atau suami diambil orang”
Keempat,
kemestian menjaga keselamatan diri sebagaimana wujud pelajarannya pada teks Pantang
Larang berikut:
“Dilarang
memotong kuku pada malam hari, mendatangkan kesialan”.
”Tidak boleh
mengasah pisau waktu malam, sebab akan mengundang kedatangan hantu”
”Tidak boleh
melangkah pisau terlentang, bisa bahaya, sebab pisau
terlentang sedang meminta darah”.
”Tidak boleh
memanjat pokok pisang, sebab bisa menyebabkan kemaluannya
membesar”
2.
Berdasarkan
Proses
Berdasarkan
prosesnya, Pantang Larang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang memberikan
pelajaran penting mengenai strategi komunikasi bagi orang-orang tua dalam
mendidik anak-anak dan generasi mudanya. Analisis di atas menunjukan bahwa Pantang Larang mempunyai
maksud dan tujuan tertentu. Dalam kajian komunikasi, maksud dan tujuan inilah
yang dikenal dengan `makna`. Karena setiap Pantang Larang mempunyai makna, maka
Pantang Larang itu sendiri sebenarnya adalah satu bentuk komunikasi yang
dilakukan dalam tradisi sosial dan budaya masyarakat Melayu (Ibrahim MS, 2009a
& 2010).
Sebagaimana umumnya dimaknai, komunikasi itu adalah
proses pertukaran informasi, gagasan dan pikiran antara dua orang atau lebih (
Devito, 1997; Liliweri, 2003, hingga proses membangun kesepahaman untuk
pemenuhan harapan dan perubahan tingkah laku (Rogers & Hovland, 1948; Dedy
Mulyana, 2001).
Berdasarkan proses, sesungguhnya Pantang Larang dalam
masyarakat Melayu itu tidak lain juga adalah proses komunikasi itu sendiri.
Melalui Pantang Larang itulah berbagai pesan sosial kemanusiaan, akhlak,
kesusilaan, dan sebagainya disampaikan dari generasi ke generasi dalam
masyarakat Melayu. Dengan pantangan dan larangan ini pulalah sebenarnya
tuntunan hidup diwarisi secara turun temurun dalam tradisi sosial dan budaya
masyarakat Melayu Nanga Jajang. Realitas ini paling tidak memancing diskusi
kita kepada tiga persoalan penting; apakah Pantang Larang itu secara jelas
memberikan tuntunan hidup bagi masyarakat? Adakah pesan/makna terdalam dari
setiap Pantang Larang yang hidup dalam masyarakat Melayu? Mengapa harus Pantang
Larang yang digunakan dalam transformasi komunikasi orang Melayu?
Pertama, secara jujur harus diakui bahwa sebagian besar Pantang Larang
dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang tidak memberikan tuntunan dan bimbingan
hidup secara jelas dalam bentuk teks. Sebaliknya, teks Pantang Larang pada
umumnya menyampaikan sesuatu yang menakutkan atau ancaman. Contoh Pantang Larang
`tidak boleh duduk di depan pintu, nanti
balang tunang`. `Tidak boleh duduk di depan pintu` merupakan pantangan dan
larangan, sedangkan `balang tunang`
adalah ancaman. Berikut beberapa contoh lainnya ditampilkan dalam bentuk tabel.
Tabel
Analisis
Teks Pantang Larang
PANTANG
LARANG
|
PANTANGAN
|
ANCAMAN
|
Tidak boleh memotong kuku pada waktu malam, karena itu
mendo`akan kematian orang tua
|
Memotong kuku waktu malam
|
Kematian orang tua
|
Anak kecil tidak boleh makan kerak nasi, takut tumbuh
jadi anak yang bodoh/tidak cerdas
|
Makan kerak nasi
|
Jadi anak yang bodoh/tidak cerdas
|
Tidak boleh mengasah pisau malam hari, sebab mengundang
kedatangan hantu
|
Mengasah pisau malam hari
|
Kedatangan hantu
|
Tidak boleh memanjat pokok pisang, bisa menyebabkan
kemaluan membengkak (burut)
|
Memanjat pokok pisang
|
Kemaluan membengkak (burut)
|
Tidak boleh melewati depan orang yang lagi shalat,
sebab sama dengan melintasi depan api neraka
|
Melewati di depan orang shalat
|
Panas melintasi api neraka
|
Sumber: Ibrahim MS
dkk, 2012
Dari pemetaan di atas, tampak bahwa secara tekstual Pantang
Larang hanya menampilkan apa yang dipantang dan dilarang (pantangan &
larangan) dengan akibat yang akan terjadi jika melanggarnya (ancaman). Artinya,
secara tekstual hampir tidak ditemukan hubungan yang jelas (korelasional) antara aspek pantangan dan
larangan dengan ancaman pesan. Padahal makna atau pesan itu sendiri yang menjadi
substansi komunikasi dalam Pantang Larang yang ada.
Kedua, jika kita sepakat bahwa Pantang Larang adalah satu
bentuk komunikasi dan proses memberikan tuntunan hidup dalam masyarakat Melayu,
maka kita mesti percaya adanya makna atau pesan terdalam yang sesungguhnya
dibawa dalam Pantang Larang itu. Sikap tersebut dapat dibuktikan dengan
beberapa analisis sederhana terhadap Pantang Larang yang ada. Pantang Larang `tidak boleh memandang orang yang sedang
buang air, nanti matanya tumbir (sakit bengkak)` misalnya, secara teks sama
sekali tidak ada hubungan antara keduanya. Sebab, melihat orang yang sedang
buang air adalah satu hal, dan sakit mata (tumbir)
merupakan hal yang lain lagi. Lantas apa sebenarnya makna atau pesan yang
hendak disampaikan dari pantang larang tersebut? Secara sosial dan budaya,
pekerjaan tersebut memang tidak beretika. Secara agama, pekerjaan demikian
termasuk dosa, karena melanggar norma agama di mana kita dilarang memandang
aurat seseorang. Dalam beberapa kasus memang terjadi suatu peristiwa yang mirip
dan berkaitan dengan apa yang dibunyikan dalam teks Pantang Larang itu, akan tetapi
tentu saja tidak ada dasar yang dapat dijadikan bukti keterkaitan antara
pantangan dengan peristiwa yang terjadi.
Ketiga,
digunakannya Pantang Larang
sebagai media komunikasi dan transpormasi pesan bagi tuntunan hidup dalam
masyarakat Melayu, sepertinya sangat terkait dengan budaya hidup yang mendasar
dalam tradisi sosial masyarakat Melayu. Tuntunan hidup melalui Pantang Larang
merupakan satu strategi membentuk perilaku dengan cara mengancam dan
menakuti-nakuti apabila tidak diperhatikan/melanggar. Dengan kata lain, Pantang
Larang itu hanya untuk menakut-nakuti agar tidak melakukan sesuatu/melanggar
ketentuan tertentu. Inilah setidaknya yang diakui oleh beberapa tokoh Melayu di
Nanga Jajang seperti Uju Unui (KP. 29 November 2009).
Jika semua analisis ini benar adanya, maka dapat
dipastikan bahwa Pantang Larang dalam masyarakat Melayu Nanga Jajang tidak lain
adalah satu bentuk strategi komunikasi yang sengaja dibangun oleh generasi tua
Melayu dalam memberikan bimbingan dan tuntunan dalam hidup. Dengan demikian,
maka strategi komunikasi tersebut-yang lahir puluhan bahkan ratusan tahun yang
silam telah lebih jauh mendahului kehadiran teori dan strategi komunikasi
modern, dalam hal ini teori tahapan (step flow theories) yang dipopulerkan oleh
Lazarfeld, Berelson, dll. Teroti inilah yang berikutnya dikembang dalam
komunikasi massa sebagai teori tahapan, baik satu tahap (one step flow), dua tahap (two
step flow), hingga banyak tahap (multi step flow of communication) – lihat
dalam Burhan Bungin (2008); Sutaryo (2005); Elvinaro Ardianto & Lukiati
Komala (2004).
Membandingkan dengan teori komunikasi modern tersebut,
jelas bahwa Pantang Larang dalam masyarakat Melayu menggunakan dua tahap
komunikasi (two step flow) dan banyak
tahap (multi step flow) komunikasi.
Generasi tua (pembuat pantangan dan larangan) sebagai komunikator, teks Pantang
Larang (ancaman) sebagai tahapannya, dan kepatuhan untuk mengikuti atau tidak
melanggar ketentuan sebagai makna atau substansi pesan komunikasi yang disampaikan.
Jika mengacu kepada teori tahapan, maka
gambarannya adalah sebagai berikut:
Bagan Tahap Komunikasi
A
B
C
|
A = Gererasi tua/orang yang membuat pantang
larang untuk memberikan tuntunan dan bimbingan hidup kepada generasi mudanya.
B
= Teks pantang larang yang digunakan
sebagai tahapan (sarana/media untuk menakut-nakuti atau mengancam).
C
= Generasi muda/orang yang dikenakan
pantangan dan larangan, yang merupakan sasaran komunikasi (tujuan dan maksud
sesungguhnya) berupa kepatuhan untuk mengikuti sesuatu atau tidak melanggar
sesuatu.
Sumber: dikutif dari Tahapan
Komunikasi dalam Ibrahim MS, 2010
Pertanyaan lebih lanjut dari analisis tersebut adalah;
mengapa Pantang Larang dijadikan strategi komunikasi bagi orang-orang tua
Melayu dalam memberikan tuntunan dan bimbingan hidup secara turun temurun?
Penelitian di lapangan memang tidak menemukan jawaban yang pasti atas
pertanyaan ini, sebab, kebanyakan mereka mewarisi Pantang Larang tersebut
secara apa adanya dan turun temurun. Karena itu, tidak heran jika sampai saat
ini telah terjadi banyak reduksi bahkan un-eksistensi peran Pantang Larang
dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu hari ini. Akan tetapi dari kajian ini,
peneliti mencoba membuat beberapa asumsi yang dapat diungkapkan untuk konteks
ini;
Pertama, Makna
sesungguhnya dalam Pantang Larang bukanlah semata-mata makna tekstual (seperti
apa yang dipantang dan dilarang itu) melainkan makna kontekstualnya (tersimpan
di balik teks pantang larang itu). Karena itulah makna kontekstual juga harus
dipahami, sebab ia inti dari komunikasi pantang larang.
Kedua, Masyarakat sendiri sudah mulai kritis dan sadar bahwa
secara tekstual, apa yang disebutkan dalam pantangan dan larangan itu sama sekali
tidak ada hubungan yang berarti (korelasional).
Paling-paling karena terlanjur diyakini, sehingga ketika terjadi suatu peristiwa
selalu dikaitkan dengan Pantang Larang yang ada. Secara tekstual, Pantang Larang
itu adalah untuk menakut-nakuti/mengancam saja.
Ketiga, terjadinya reduksi pemahaman dan keyakinan yang
berimbas pada keberlangsungan eksistensi Pantang Larang dalam masyarakat
disebabkan pola pewarisan yang keliru terhadap tradisi ini. Di
mana pesan kontekstual (makna terdalam) tak terwairisi sebagaimana pesan
tekstual itu sendiri. Sementara pesan tekstual tidak dapat dibuktikan
kebenarannya secara nyata dalam realitas sosial. Jika mengacu pada strategi
komunikasi modern (step flow of
communication theory), maka yang terwarisi dalam masyarakat Melayu saat ini
adalah komunikasi dua tahap (two step flom of communication). Dengan teori ini,
jalur komunikasi dipahami berlangsung bukanlah dari A (pembuat pesan) secara
langsung kepada C (tujuan pesan), melainkan melalui B (Pantang Larang). Jadi,
sebagai konsep komunikasi dua tahap, strategi komunikasi Pantang Larang
berlangsung dari A ke B (tahap satu), dan dari B ke C (tahap dua). Jika A
adalah pembuat pesan, maka C adalah tujuan pesan, dan B tahap perantara pesan.
Keempat,
sebagai sebuah strategi, komunikasi melalui Pantang Larang terbukti lebih
efektif dalam membimbing dan menuntun perilaku hidup masyarakat Melayu dalam
sejarah sosial mereka. Inilah bentuk strategi komunikasi dua tahap dalam
komunikasi (two step flow of communication).
Tujuan pesan supaya anak tumbuh sehat dan cerdas (C), dapat diwujudkan (A),
dengan pantangan memakan makanan yang tidak baik, kurang karbohidrat dan justru
rawan bagi endapan kotoran besi, pasir dan sebagainya (B), sebagaimana dalam
pantang larang `tidak boleh memakan kerak
nasi bagi anak-anak, nanti jadi anak yang bodoh`.
Kelima,
sebagai komunitas yang sangat dekat dengan Islam, tentu pengaruh agama juga
sangat kentara dalam tradisi sosial mereka, termasuk dalam Pantang Larang.
Asumsi ini dapat dilihat dengan jelas dari beberapa Pantang Larang yang
berkaitan dengan norma agama seperti `larangan
melewati di depan orang yang sedang shalat`, `larangan melangkah al-Qur`an`
dan sebagainya. Dalam dakwah Islam
pun dikenal suatu strategi komunikasi dengan cara memberikan kabar ancaman dan
siksaan neraka. Metode inilah yang dikenal dengan Indzar[3]
(Ibrahim MS, 2007). Kaitannya dengan kajian ini, metode komunikasi Pantang Larang
dalam masyarakat Melayu sama dengan Indzar dalam metode dakwah, berupa ancaman
bahaya jika melanggar pantangan atau tidak mematuhinya.
F.
Penutup
Kajian
ini memberikan penegasan bahwa Pantang Larang yang ada pada masyarakat Melayu
di Nanga Jajang bukan saja sebagai produk dari sistem sosial dan budaya yang
tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya, melainkan menjadi sebuah tatanan
nilai dan pengajaran mengenai pentingnya menjaga keseimbangan hidup. Karena
itu, kita dapat menemukan nilai dan pengajaran akan keseimbangan hidup melalui
Pantang Larang pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang, Ulu Kapuas, baik
berdasarkan isi (teks Pantang Larang) maupun proses (sebagai satu bentuk
komunikasi).
Berdasarkan
isi, Pantang Larang Melayu memberikan
pengajaran keseimbangan hidup dalam tiga dimensi utama kehidupan masyarakat
Melayu; menjaga hubungan dengan Tuhan atau hablumminallah
(kemestian bersyukur & menjalankan perintah agama), menjaga hubungan dengan
alam (misi rahmatan lil`alamin dan
menghargai kodrat diri), dan menjaga hubungan dengan sesama manusia atau hablumminnas (berupa kemestian hidup
tertib dan teratur, sungguh-sungguh dalam berusaha, menjaga akhlak, dan menjaga
keselamatan diri).
Berdasarkan
proses, Pantang Larang sesungguhnya
adalah satu strategi komunikasi yang digunakan oleh orang-orang tua dalam
memberikan pendidikan dan pengajaran keseimbangan hidup bagi anak keturunan
atau generasi mudanya. Kajian ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebuah
tradisi sosial dan budaya sebagaimana Pantang Larang Melayu memiliki
nilai-nilai pengajaran yang penting diketahui, dalam konteks ini adalah
pengajaran keseimbangan hidup dalam masyarakat Melayu.
Akhirnya,
dengan segala kekurangan, kelemahan, dan keterbatasannya, paling tidak inilah
sebuah ikhtiar akademik yang dapat penulis lakukan dan akan terus diupayakan.
Semoga bermanfaat, amin.
SUMBER BACAAN
Al-Aliyy:
Al-qur`an dan terjemahannya. Bandung: Penerbit Diponegoro, tahun 2004.
Erwin
dan Andi Gidang. 2010. Tradisi yang Membelajarkan: Mengurai unsur-unsur
Pendidikan dalam tradisi Tepung Tawar Melayu Sambas, dalam Ibrahim MS. 2010. Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu.
Pontianak: STAIN Press.
Ibrahim
MS, Yusriadi, & Zaenuddin. 2012. Pantang
Larang Melayu di Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Press.
Ibrahim
MS. 2010a. Tradisi dan Komunikasi: Studi atas Prosesi Topung Tawar pada
Masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Dalam Ibrahim MS. 2010. Tradisi dan Komunikasi Orang Melayu. Pontianak: STAIN Press.
Ibrahim
MS. 2010b. Islam dan Tradisi di Nanga Jajang. Makalah yang dibentangkan dalam Konferensi Antarabangsa Islam
Borneo (KAIB) ke III, STAIN Pontianak, 4 s/d 5 Oktober.
Ibrahim
MS. 2008. Tradisi Buma pada Masyarakat Melayu Nanga Jajang, makalah Seminar Kearifan lokal dalam
Pelestarian Lingkungan di Kalimantan Barat.
Ibrahim
MS. 2007. Pendekatan Dakwah dalam Al-qur`an. Artikel Jurnal Mau`izatul Hasanah, Jurusan Dakwah STAIN Pontianak.
Kamarudin
Mohd. Balwi. 2005. Peradaban Melayu.
Johor: Universiti Teknologi Malaysia, Skudai.
Noriah
Mohamed. 2009. Benang Sari Melayu-Jawa.
Bangi: ATMA, UKM Ampang Press.
Yusriadi,
Ibrahim MS, & Zaenuddin. 2009. Kearifan Komunikasi dalam Pantang Larang
Orang Melayu Nanga Jajang. Laporan
Penelitian Kompetitif Kelompok P3M, Proyek DIVA STAIN Pontianak tahun 2009.
Tribune
Pontianak. 2013. Robo`-robo` digelar sebulan penuh. Terbitan harian, Minggu 6
Januari 2013.
Indosprititual.com.
2005. Berbagai macam Pamali. Akses, 9 Juni 2014.
Wikipedia.org.
2013. Pantang Larang. Akses, 9 Juni 2014.
[1]
Maskudnya: “menanam padi di ladang/huma
tidak boleh membentuk kurungan (tertutup), melainkan harus menyisakan tempat
terbuka (berbaris/sejajar) untuk napas hidup padi”.
[2]
Dalam hadits Nabi dengan jelas disebutkan bahwa setidaknya ada empat kriteria
calon isteri/suami yang baik, yakni: keturunan (nasab), harta kekayaan (maal),
kecantikan/ketampanan (jamal), dan
agamanya (din). Dari keempat ciri
ini, kebaikan dalam hal agamalah yang paling utama untuk dipilih
(al-Hadits).
[3] Indzar sebagai metode dalam al-Qur`an
bermakna pemberian kabar duka, siksaan dan ancaman hukuman. Sebagai metode
dakwah Indzar selalu digunakan
setelah tabsyir (pemberian kabar
baik, pahala dan gembira). Karena banyak sekali ayat al-Qur`an yang menyebutkan
kedua metode ini bersamaan ”tabsyîran wa
tandzîran”, mubasysyiran wa nadzîran”, ”mubasysyirîn wa mundzirîn”, dan
sebagainya.